BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Matematika Menurut Suyitno (2004 : 1) pembelajaran merupakan usaha untuk membentuk kondisi yang mendukung kemampuan, minat, bakat, serta kebutuhan siswa agar tercipta interaksi yang optimal. Kondisi yang mendukung proses belajar akan mendorong siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Hal ini diperkuat oleh Erman Suherman, dkk. (2001 : 8) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah usaha untuk mengatur lingkungan agar program belajar bisa berkembang secara optimal. Pembelajaran
merupakan
bagian
penting
dari
pendidikan.
Pembelajaran berkaitan dengan pengkondisian lingkuangan serta interaksi antara guru dan siswa. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Depdiknas, 2003 : 7). Dengan demikian, pembelajaran melibatkan beberapa komponen penting yaitu interaksi antara siswa dan guru, serta dengan lingkungannya. Di lain pihak, matematika didefinisikan dengan banyak makna. Abraham S Luchins dan Edith N Luchins (Herman Hudojo, 2001 : 17) menyatakan bahwa matematika akan diartikan sesuai dengan siapa yang ditanya mengenai matematika. Pernyataan ini memiliki maksud bahwa
13
matematika memiliki banyak arti berbeda sesuai dengan orang yang mendefinisikannya. Jadi, definisi tentang matematika akan mengikuti sudut pandang masing-masing orang. Ruseffendi (Erman Suherman, dkk. 2001 : 16), mendefinisikan matematika sebagai suatu hasil pemikiran manusia yang berkaitan dengan penalaran, ide, dan proses. Pendapat ini menekankan bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang membutuhkan kemampuan berpikir. Di sekolah matematika diharapkan mampu melatih kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah. Straker
(Marsigit, 2012: 8)
Di sisi lain, menurut Ebbutt dan
hakekat matematika sekolah antara lain:
matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; matematika adalah kegiatan problem solving; dan matematika adalah alat komunikasi. Dengan kata lain, pembelajaan matematika di sini menekankan kegiatan siswa untuk melatih kemampuan berpikirnya sendiri. Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya, Yansen Marpaung (2008 : 24), menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran matematika siswa sebaiknya aktif dalam melakukan proses matematisasi. Matematisasi di sini
diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada
siswa untuk merekonstruksi pengetahuan melalui kegiatan : mengamati, mengklasifikasi, menyelesaikan masalah, berkomunikasi, berinteraksi dengan yang lain termasuk dengan gurunya, melakukan refleksi,
14
melakukan estimasi, mengambil kesimpulan, menyelidiki keterkaitan, dan
sebagainya. Sebagai fasilitator guru diharapkan berperan untuk
mengarahkan siswa agar aktif dalam proses matematisasi ini. Dengan demikian, proses rekonstruksi pengetahuan oleh siswa dapat berjalan dengan baik. Dari uraian yang telah disampaikan di atas, disimpulkan bahwa pembelajaran matematika menekankan pada kegiatan siswa, sedangkan guru hanya bersifat memfasilitasi siswa untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang mendukung proses matematisasi. 2. Efektivitas Pembelajaran Matematika Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti berdampak. Kata efektif dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang membawa dampak yang baik. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2002: 159), efektivitas berasal dari kata efektif berarti memiliki efek, akibat, atau pengaruh. Sementara itu, menurut Institute of Education University of London (2002: 4), efektivitas merujuk pada tujuan tertentu. Dengan demikian, sesuatu akan dikatakan efektif apabila telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Apabila efektivitas dikaitkan dengan pembelajaran maka pembelajaran yang efektif merupakan pembelajaran yang mampu mencapai tujuan atau keberhasilan. Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran matematika diperlukan suatu pedoman. Menurut O”Neil (Roy Killen, 2009: 4) pembelajaran matematika dikatakan efektif apabila memenuhi kriteria sebagai berikut.
15
a. Siswa mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah. b. Siswa mampu mengomunikasikan pengetahuannya kepada temannya. c. Siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan yang baru. d. Siswa dapat mengingat pengetahuan yang baru diperolehnya untuk waktu yang lama. e. Siswa mampu menciptakan pengetahuannya sendiri. f. Siswa mau belajar lebih. Sementara itu, kerangka pembelajaran efektif menurut Kyriacou (2009: 7-9) terdiri dari tiga hal, meliputi context, process, dan product. Context (konteks) dalam pendapat ini berkaitan dengan ciri pembelajaran yang dilakukan. Process (proses) dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan yang
berlangsung
dalam
pembelajaran
meliputi
strategi,
model
pembelajaran, pendekatan, kondisi siswa dan guru serta tugas yang diberikan. Selanjutnya, product ( produk ) berkaitan dengan tujuan yang diinginkan, tujuan ini bisa berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan, motivasi, ataupun pengembangan sikap sosial. Dari dua pendapat yang sudah diuraikan dapat dinyatakan kembali bahwa salah satu kerangka dasar pembelajaran efektif menurut Kyricacou adalah product yaitu hasil dalam pembelajaran berdasarkan tujuan yang telah dibuat. Hasil ini misalnya kepercayaan diri siswa. Sehubungan dengan itu, dari pendapat O”Neil diketahui bahwa salah satu karakteristik pembelajaran matematika yang efektif adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, efektivitas yang dimaksud di sini adalah tingkat keberhasilan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran
16
TPS dan SGD dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri dan kemampuan pemecahan masalah. 3. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif mengarahkan siswa untuk belajar secara berkelompok. Proses belajar ini, diharapkan mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Arends & Kilcher (2010 : 306) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model atau strategi yang memaksimalkan keterlibatan siswa dalam kegiatan kelompok seperti diskusi, debat, atau belajar untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan yang dimaksud dalam pendapat ini seringkali dihubungkan dengan pemecahan masalah. Sejalan dengan hal ini, Robert E.Slavin (2009 : 8) menambahkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa saling berdiskusi, bekerja sama, dan berargumentasi dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah. Pembelajaran kooperatif dipandang sebagai suatu pembelajaran paling efektif untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kegiatan penyelesaian
masalah
yang
dilakukan
secara
berkelompok akan
memfasilitasi siswa untuk membangun konsepnya sendiri. Menurut Spencer Kagan
& Miguel Kagan (2009 :
3.1-3.2) pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang paling efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ketercapaian tujuan pembelajaran ini, akan membentuk kualitas siswa yang diharapkan.
17
Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif akan membawa manfaat bagi siswa. Pembelajaran ini memfasilitasi siswa untuk bertukar pikiran dalam kelompok belajar. Menurut Robert E. Slavin (2009 : 10),
manfaat
dari
pembelajaran
kooperatif
yaitu
siswa
bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya sehingga mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Hal ini menyebabkan kemampuan semua siswa di dalam kelas akan berkembang secara beriringan, sehingga kesenjangan kemampuan pemecahan masalah akan berkurang. Selain itu, tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar siswa bisa saling berbagi pengetahuan. Proses saling membagi pengetahuan ini akan mempercepat pembangunan konsep oleh siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran diharapkan akan lebih efektif. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Isjoni (2010 : 135), yang menyatakan bahwa tujuan
utama
dari
pembelajaran kooperatif
adalah
agar
siswa
memperoleh pengetahuan dari teman sesamanya. Berdasarkan beberapa definisi yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini merupakan model pembelajaran yang mengkondisikan siswa dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu dalam memperoleh pengetahuan. 4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk belajar secara berpasangan.
18
Arends dan Kilcher (2010 : 316) menyatakan, "in think pair share, the teacher poses a question, individual student think about (and record) their answer. Individuals then pair with another student to share their answer. The teacher calls on individuals or pairs to share with the large group". Pendapat ini dapat diartikan bahwa dalam pembelajaran TPS guru mengajukan pertanyaan kemudian siswa memikirkan jawabanya secara mandiri kemudian jawaban ini dibawa dalam diskusi kelompok, selanjutnya guru akan memanggil siswa secara individu atau kelompok untuk menyampaikan hasil diskusinya kepada kelompok besar. Pada pembelajaran TPS siswa akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam berpartisipasi menyelesaikan permasalahan. Pada model pembelajaran ini siswa diberi kesempatan terlebih dahulu untuk memikirkan penyelesaian masalah secara individu baru membawanya dalam diskusi kelompok. Hal ini akan membuat pembelajaran kelompok menjadi lebih aktif. Menurut Fogarty dan Robin (Daryanto, 2014 : 38) pembelajaran
kooperatif
tipe
TPS
melatih
siswa
untuk
berani
menyampaikan pendapatnya dan mudah dilaksanakan dalam kelas yang besar. Selanjutnya, Abdul Majid (2013 : 191-192) menyatakan bahwa tahap-tahap model pembelajaran kooperatif TPS dapat dijabarkan sebagai berikut.
19
1. Tahap think atau berpikir Pada tahap awal, guru akan menyajikan permasalahan untuk siswa,
selanjutnya siswa diminta untuk mencoba memikirkan
solusi dari permasalahan itu secara mandiri terlebih dahulu. 2. Tahap pair atau berpasangan Tahap yang selajutnya, siswa dipasangkan secara heterogen untuk saling
berdiskusi,
membantu
dan
bertukar
ide
dalam
menyelesaikan permasalahan. 3. Tahap share atau berbagi Pada tahap akhir, masing-masing kelompok diminta untuk membagikan hasil diskusi yang sudah mereka peroleh kepada kelompok yang lebih besar melalui presentasi di depan kelas. Presentasi
dilakukan
sampai
seperempat
kelompok
telah
mendapat kesempatan untuk melakukan presentasi. Model pembelajaran TPS memberi kesempatan bagi siswa untuk menyelesaikan masalah secara individu terlebih dahulu kemudian membawa hasil pemikirannya pada diskusi kelompok. Akibatnya, kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi lebih berkembang baik secara individu maupun berkelompok. Selain itu, TPS memiliki tahapan share yang dapat melatih kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan pendapat. Namun, karena kelompok yang dibentuk dalam TPS hanya terdiri dari dua orang atau berpasangan maka kemungkinan ide yang muncul dalam pemecahan masalah menjadi lebih sedikit sehingga proses
20
pemecahan masalah akan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan lebih banyak. Selanjutnya, berdasarkan definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa model pembelajaraan kooperatif tipe TPS merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap berfikir, berpasangan, dan berbagi. 5. Pembelajaran Kooperatif Tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) Spontaneous Group Discussion (SGD) merupakan metode diskusi kelompok yang tidak direncanakan sebelumnya, tetapi dilaksanakan secara spontan dan sederhana (Miftahul Huda, 2012: 129). Pembelajaran kooperatif tipe SGD menuntut siswa untuk aktif dalam berdiskusi kelompok. Siswa diharapkan mampu bertukar pikiran mengenai cara pemecahan masalah melalui kegiatan diskusi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat (Gagne dan Briggs, 2010: 251) yang menyatakan bahwa pembelajaran SGD merupakan pembelajaran interaktif yang melibatkan anggota kelompok untuk saling bertukar pendapat dalam pemecahan masalah. Selanjutnya Miftahul Huda (2012 : 129) menyebutkan bahwa langkah-langkah pembelajaran model SGD adalah sebagai berikut : 1) 2) 3) 4)
Meminta siswa untuk berkelompok; Siswa berdiskusi tentang sesuatu, yaitu soal atau permasalahan tentang materi pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa; Guru memanggil kelompok satu persatu; dan Siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
21
Di samping itu, menurut Umi Solihatun (2012 : 31) langkahlangkah pembelajaran inovatif menggunakan model Cooperative Learning tipe SGD yaitu: 1) Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi; 2) Meminta siswa belajar kelompok dan mengerjakan LKS; 3) Memanggil nama kelompok satu per satu untuk mempresentasikan hasil LKS serta membahas hasil diskusi/LKS; dan 4) Memberi penghargaan kelompok. Model pembelajaran SGD mudah untuk dilakukan karena pembelajarannya
yang
sederhana
dan
spontan
sehingga
tidak
membutuhkan banyak persiapan. Pembelajaran SGD yang dilakukan secara berkelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling bertukar ide dalam diskusi pemecahan masalah. Selain itu, dalam model pembelajaran SGD terdapat tahap pemanggilan semua kelompok untuk melakukan presentasi, tahap ini mendorong siswa untuk meningkatkan kepercayaan diri terutama dalam menyampaikan pendapat. Namun, karena kelompok dibentuk secara spontan maka besar kemungkinan bahwa anggota pada masing-masing kelompok memiliki kemampuan yang homogen. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kemampuan pemecahan masalah di antara para siswa. Selanjutnya, berdasarkan keterangan yang telah disampaikan maka disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe SGD merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah melalui tahapan berkelompok secara spontan dan bervariasi, berdiskusi
22
tentang permasalahan, guru memanggil kelompok satu persatu, kemudian meminta siswa untuk melakukan presentasi hasil diskusi. 6. Pendekatan Saintifik Pendekatan saintifik memiliki pengaruh yang besar dalam perbaikan proses pembelajaran. Menurut Varelas, M and
Ford,
M,
(2008 : 31) pendekatan saintifik memudahkan guru dalam membantu peningkatan proses
pembelajaran, hal ini terjadi karena pembelajaran
akan dipisah dalam tahapan-tahapan terperinci yang memuat instruksi untuk siswa dalam melaksanakan kegiatan. Pemecahan kegiatan ini akan membuat siswa menjadi lebih fokus dalam belajar. Selain itu, tahapan yang dirancang berdasarkan metode ilmiah akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Pendekatan saintifik sesuai untuk menghadapi tuntutan dunia global yang senantiasa menginginkan inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Vhurumuku & Mokeleche (Washington T Dudu, 2014: 1) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan pembelajaran dengan menggunakan langkah yang dilakukan oleh ilmuwan dalam mengembangakan ilmu pengetahuan yang valid. Siswa yang telah terbiasa menggunakan pendekatan saintifik diharapkan menjadi lebih peka terhadap lingkungannya sehingga inovasi-inovasi dalam dunia ilmu pengetahuan akan semakin berkembang. Pendekatan saintifik memiliki karakteristik yang membedakan dengan pendekatan yang lain. Karakteristik dalam pendekatan saintifik
23
berkaitan dengan tahapan metode ilmiah yang menuntut keaktifan peneliti dan kemampuan pemikiran tingkat tinggi.
Hosnan (2014 : 36)
menyampaikan bahwa pendekatan saintifik memiliki karakter sebagai berikut : a. Terpusat pada siswa b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip. c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. d. Mampu mengembangkan karakter siswa. Pada prinsipnya pendekatan ilmiah akan membantu siswa dalam membangun konsep matematika yang dipelajarinya. Proses membangun konsep bisa terjadi karena siswa mengikuti langkah-langakah yang dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh ilmu baru. Hal ini selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh Daryanto (2014 : 51)
yang
menyatakan bahwa pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep atau hukum melalui proses : a. b. c. d. e. f.
Mengamati, Merumuskan masalah, Mengajukan hipotesis, Mengumpulkan data, Menganalisis data, Menarik kesimpulan dan mengomunikasikan prinsip, konsep, atau hukum.
Dalam Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014, pendekatan saintifik pada
24
kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkahlangkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu: a. Mengamati Proses mengamati dapat dilakukan melalui kegiatan menyimak, mendengar, melihat, dan membaca. Kegiatan ini difasilitasi oleh guru mata pelajaran. Dalam hal ini guru juga mengarahkan siswa untuk melakukan kegiatan pengamatan yang berkualitas. b. Menanya Kegiatan menanya akan melatih siswa untuk memiliki pemikiran yang kristis dalam menghadapi suatu permasalahan. Dalam kegiatan ini guru mengarahkan siswa untuk membuat pertanyaan mulai dari pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik. Untuk mencapai kemampuan bertanya tingkat tinggi siswa awalnya mendapatkan bantuan dari guru setelah terbiasa maka siswa akan mampu untuk menyusun pertanyaannya sendiri. Kemampuan bertanya akan mendorong siswa untuk mencari informasi yang lebih banyak berkaitan dengan obyek yang diamatinya.
25
c. Mengumpulkan informasi Setelah menyusun daftar pertanyaan, kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan oleh siswa adalah mencari informasi dari berbagai sumber terkait dengan permasalahan yang sedag dihadapi. Proses mengumpulkan informasi dapat dilakukan dengan membaca buku, referensi online atau mengamati objek secara lebih teliti atau bahkan melakukan eksperimen. d. Mengasosiasi Langakah selanjutnya setelah mengumpulan informasi adalah mengasosiasi.
Mengasosiasi
di
sini
dimaksudkan
untuk
menemukan keterkaitan antarinformasi yang sudah diperoleh. Pada tahap berikutnya setelah keterkaitan antarinformasi ditemukan maka dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pola keterkaitan informasi. e. Mengkomunikasikan Kegiatan
terakhir
dalam
pendekatan
saintifik
adalah
mengomunikasikan. Kegiatan ini mengarahkan siswa untuk menyampaikan hasil yang sudah mereka peroleh. Penyampaian ini dapat berupa menuliskan hasil ataupun menceritakan hasil penemuan mereka. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pendektan saintifik merupakan proses pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif dalam menemukan konsep, prinsip, atau
26
hukum melalui proses mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. 7. Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Pendekatan Saintifik Pembelajaran
matematika
dengan
pendekatan
saintifik
menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui tahaptahap saintifik yang dilakukan secara berkelompok menggunakan model TPS sehingga di akhir pembelajaran siswa mampu menemukan konsep, prinsip atau hukum matematika tertentu. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah : a. Mengamati b. Menanya c. Mengumpulkan informasi d. Mengasosiasi e. Mengomunikasikan Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model TPS yang dijelaskan sebelumnya terdiri atas : a. Think (Berpikir) b. Pair (Berpasangan) c. Share (Berbagi)
27
Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe TPS disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1. Langkah Pembelajaran TPS dengan Pendekatan Saintifik No
Tahap TPS
Tahap Saintifik
Mengamati 1 Think (berpikir) Menanya
Mengumpulkan informasi 2
3
Pair Mengasosiasi (berpasangan)
Share (berbagi)
Mengomunikasikan
Keterangan Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan pengamatan dan memperhatikan ( melihat, membaca, mendengar ) berbagai hal yang penting dari suatu objek secara mandiri. Siswa diberi kesempatan untuk membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri. Siswa diberi kesempatan mencari data dan mencoba mengerjakan permasalahan secara mandiri. Siswa diminta untuk berdiskusi secara berpasangan mengenai hasil pemikiran, pengamatan, dan informasi yang sudah diperoleh. Beberapa pasangan mempresentasikan hasil diskusi yang sudah diperoleh kepada pasangan lain di depan kelas. Siswa dari pasangan lain memberikan pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang dipresentasikan.
8. Pembelajaran Kooperatif Tipe SGD dengan pendekatan Saintifik Pembelajaran
matematika
dengan
pendekatan
saintifik
menggunakan model kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui tahap-
28
tahap saintifik yang dilakukan secara spontan dan sederhana. Pembelajaran ini akan mengarahkan siswa untuk lebih berperan aktif dalam berdiskusi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah : a. Mengamati b. Menanya c. Mengumpulkan informasi d. Mengasosiasi e. Mengomunikasikan Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model SGD yang dijelaskan sebelumnya terdiri atas : a. Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi b. Berdiskusi mengenai masalah c. Guru memanggil kelompok satu persatu dan meminta siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi yang diperoleh. Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe SGD disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2. Langkah Pembelajaran SGD dengan Pendekatan Saintifik No 1
Tahap SGD Berkelompok secara spontan dan bervariasi
Tahap Mengamati
Keterangan Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan pengamatan dan memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) berbagai hal yang penting dari suatu objek
29
No
Tahap SGD
Tahap Menanya
Mengumpulkan informasi
2
3
Berdiskusi tentang permasalahan
Memanggil nama kelompok satu per satu untuk mempresentas ikan hasil diskusi.
Mengasosiasi
Mengomunikasikan
Keterangan secara berkelompok. Siswa diberi kesempatan untuk membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri. Siswa diberi kesempatan untuk mencari data yang dibutuhkan dan mencoba memecahkan masalah untuk menjawab pertanyaan yang diajukan secara berkelompok. Siswa diminta untuk membentuk kategori berdasarkan informasi, menetukan keterhubungan data, kemudian menyimpulkan berdasarkan analisis yang dilakukan. Guru memberi kesempatan kepada setiap kelopok untuk melakukan presentasi dengan memanggil tiap kelompok ke depan kelas secara bergantian. Kemudian, setiap kelompok mempresentasikan hasil yang diperoleh. Sementara itu siswa dari kelompok lain memberikan pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang dipresentasikan.
9. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari suatu masalah. Setiap hari manusia akan terus dihadapkan dengan berbagai masalah. Hal ini mendorong mereka untuk terus berusaha melakukan proses pemecahan masalah. Herman Hudojo (2003 : 148) menyatakan bahwa memecahkan masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia, sehingga memiliki kemampuan pemecahan masalah menjadi kebutuhan bagi manusia.
30
Kemampuan
pemecahan
masalah
relevan
dengan
proses
pembelajaran yang diharapkan oleh kurikulum 2013 yaitu pembelajaran saintifik. Dalam pembelajaran saintifik kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong siswa dalam mencari tahu dari berbagai sumber, melalui observasi dan bukan hanya diberi tahu (Daryanto, 2014 : 51). Siswa yang melakukan proses mencari tahu akan terdorong untuk memecahakan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalahnya akan terus terasah. Secara lebih spesifik, kemampuan pemecahkan masalah perlu diintegrasikan dalam proses pembelajaran matematika. Disebutkan bahwa “problem solving is an integral part of all mathematics learning, and so it should not be an isolated part of the mathematics program” (NCTM, 2000b: 52). Pendapat ini dapat diartikan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian dari matematika sehingga tidak bisa dipisahkan dari matematika. Keterangan ini memperkuat bahwa pemecahan masalah harus menjadi bagian dari proses pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika perlu diberikan masalah yang akan melatih siswa untuk berpikir logis secara matematis. Oleh karena itu, masalah yang diberikan harus memenuhi kriteria tertentu. Menurut Herman Hujodo (2003 : 149), masalah bagi siswa harus memenuhi syarat sebagai berikut :
31
a. Pertanyaan yang diberikan harus dapat dimengerti siswa, tetapi pertanyaan tersebut juga merupakan tantangan tersendiri bagi siswa. b. Pertanyaan
yang diberikan
tidak
dapat
dijawab
dengan
prosedur rutin yang biasa dilakukan siswa. Selanjutnya, Sukirman (2005 : 4) menyatakan bahwa masalah matematika dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu masalah mencari (problem to find) dan masalah membuktikan (problem to prove) : a. Masalah mencari (problem to find), dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari masalah ini adalah sebagai berikut: 1) Apakah yang dicari? 2) Bagaimana data yang diketahui? 3) Bagaimana syaratnya? Ketiga
bagian
utama
tersebut
menjadi
landasan
dalam
menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah untuk mencari lebih penting diterapkan untuk matematika tingkat dasar. b. Masalah untuk membuktikan (problem to prove) adalah untuk menunjukkan suatu pertanyaan itu benar atau tidak benar keduaduanya. Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Kedua
bagian
utama
tersebut
menjadi
landasan
dalam
32
menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah membuktikan penting untuk diterapkan pada matematika tingkat lanjut. Siswa perlu melalui tahapan-tahapan tertentu dalam melakukan penyelesaian masalah. Tahapan-tahapan ini akan mengarahkan siswa pada solusi masalah yang diinginkan. Susan O’Connell (2000 : 3) menyatakan bahwa “Problem solving is a process that requires students to follow a series of steps to find a solution.” Pemecahan masalah di sini diartikan sebagai
proses
yang
mengharuskan
siswa
mengikuti serangkaian
tahap-tahap untuk menemukan sebuah penyelesaian. Menurut Aisyah (2007 : 6) selama memecahkan masalah siswa akan dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu (mengidentifikasi
unsur
yang
diketahui
dan
memahami yang
masalah
ditanyakan),
membuat model matematika, memilih strategi penyelesaian model matematika,
melaksanakan penyelesaikan model matematika dan
menyimpulkan. Di samping itu, menurut Polya (Sri Wardhani, 2010 : 56) terdapat empat tahap dalam pemecahan masalah, yaitu: a.
Memahami masalah Langkah pertama dalam menyelesaikan masalah adalah memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mampu menemukan hal yang belum diketahui, data yang sudah diketahui, dan syarat yang ada dalam masalah. Selanjutnya, siswa diharapkan mampu menuliskan hal-hal tersebut dalam notasi matematika.
33
b.
Merencanakan penyelesaian masalah Dalam merencanakan penyelesaian masalah siswa harus menguasai materi sebelumnya dan juga memiliki pengetahuan pendukung mengenai materi itu. Selanjutnya, siswa dituntut untuk memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukan. Pada tahapan ini pengalaman akan mempengaruhi kreatifitas siswa dalam menyelesaikan masalah. Wheeler (Herman Hudojo, 2003 : 163) menyatakan bahwa dalam merencanakan penyelesaian suatu masalah, siswa dapat melakukan beberapa hal, contohnya: 1) membuat tabel, gambar, ataupun model matematika, 2) mencari pola, 3) menyatakan kembali permasalahan, 4) menggunakan penalaran, variabel, ataupun persamaan, 5) menyederhanakan permasalahan, 6) menghilangkan situasi yang tidak mungkin, 7) menggunakan algoritma, 8) memecah kasus menjadi beberapa bagian, 9) menggunakan rumus, 10) menggunakan
informasi
yang
diketahui
untuk
mengembangkan informasi baru. c.
Menyelesaikan masalah sesuai rencana Setelah membuat rencana penyelesaian masalah, selanjutnya siswa melaksanakan rencana yang telah dibuatnya. Proses penyelesaian
34
masalah dilakukan dengan perhitungan matematis dan juga mencantumkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan benar. d.
Melakukan pengecekan jawaban Langkah terakhir dalam penyelesaian masalah adalah melakukan pengecekan.
Langkah
ini
dilakukan
dengan
menguji
dan
mempertimbangkan jawaban yang telah diperoleh melalui langkah pertama sampai ketiga. Menurut Wirdah Pramita (2014 : 3) pada tahap memeriksa kembali, siswa diminta untuk mengecek hasil yang diperoleh apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanyakan. Ada empat langkah yang dapat dijadikan pedoman dalam tahap ini, yaitu : 1) Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan, 2) Menginterpretasikan jawaban yang diperoleh, 3) Mengidentifikasi adakah
cara
lain untuk
mendapatkan
penyelesaian masalah, 4) Mengidentifikasi adakah jawaban atau hasil lain yang memenuhi. Dari uraian sebelumnya, masalah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai masalah untuk menemukan yang memenuhi syarat dapat dimengerti oleh siswa namun tetap menjadi tantangan bagi siswa dan tidak bisa diselesaikan menggunakan prosedur yang rutin dilakukan siswa. Sementara itu, kemampuan pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses untuk memperoleh solusi dari masalah matematika dengan
35
menerapkan empat tahap pemecahan masalah yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan jawaban. Secara lebih rinci, indikator pemecahan masalah dari keempat tahapan pemecahan masalah dijelaskan melalui tabel berikut. Tabel 3. Indikator Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika No 1
2
3 4
Kemampuan Penyelesaian Masalah Memahami masalah
Indikator a.
Menuliskan apa yang diketahui dari permasalahan. b. Menuliskan apa yang ditanyakan dari permasalahan. c. Menuliskan syarat yang ada dalam permasalahan. Merencanakan penyelesaian Menuliskan langkah – langkah yang akan masalah digunakan untuk menyelesaikan masalah, hal ini dapat berupa : a. Menyatakan kembali permasalahan b. Menuliskan rumus yang akan digunakan c. Menuliskan langkah penyelesaian masalah yang akan digunakan. Menyelesaiakan masalah Menyelesaikan masalah sesuai langkah sesuai rencana yang telah dituliskan. Melakukan pengecekan a. Melakukan pengecekan jawaban kembali dengan perhitungan matematis atau cara lain dengan benar. b. Mencocokkan hasil yang sudah didapatkan dengan pertanyaan. c. Menuliskan kesimpulan dari proses yang dilakukan.
10. Kepercayaan Diri Menurut Lauster (2002 : 4) kepercayaan diri merupakan keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai
36
keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Rasa
yakin
yang
dimaksud di sini adalah keyakinan bahwa seseorang tersebut dapat mencapai keberhasilan dari tujuannya. Kepercayaan diri akan menjadi jembatan bagi seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya. Orang yang memiliki
kepercayaan
diri
akan
memiliki
rasa
yakin
terhadap
kemampuannya. Hal ini mengakibatkan kemampuannya dapat digunakan secara maksimal. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Lauster, menurut Yusuf AL-Uqshari (2005 : 9) self confidence adalah keyakinan seorang individu akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan keadaannya. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki sikap positif yang didasari oleh kemampuannya. Sikap positif ini membantu mereka dalam menghadapi permasalahan yang menimpa mereka. Hal ini diperkuat dengan pendapat Gençtan (Ali Haydar Sar, 2010 : 1205) yang menyatakan “Self-confidence is defined as an individual’s recognition of his own abilities, loving himself and being aware of his own emotions”. Pendapat ini dapat diartikan bahwa kepercayaan diri didefinisikan sebagai penghargaan terhadap kemampuannya sendiri, mencintai diri sendiri dan sadar akan kondisi emosinya. Dengan penghargaan terhadap kemampuan yang dimiliki, seseorang dapat mengaktualisasikan
kemampaun
yang
ada
di
dalam
dirinya.
37
Pengaktualisasian kemampuan diri akan mengarahkan seseorang dalam suatu keberhasilan tujuannya. Selanjutnya, Lauster (Sudarjo Siska & Esti Hayu Purnamaningsih, 2003: 69) menyatakan bahwa kepercayaan diri juga perlu dilatihkan dan
ditanamkan
pada
diri masing-masing siswa, misalnya dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan kepercayaan diri bukanlah kemampuan bawaan namun sesuatu yang diperoleh melalui latihan dan pengalaman. Dengan demikian, diharapkan melalui penerapan sikap percaya diri dalam pembelajaran matematika, siswa akan memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan yang menimpanya dalam kehidupan nyata. Terdapat
beberapa
langkah
yang
bisa
ditempuh
untuk
meningkatkan kepercayaan diri siswa. Akrim Ridha (2002 : 29) menyatakan bahwa terdapat enam faktor yang dapat meningkatkan kepercayaan diri yaitu melalui : a. Menanyakan mengapa kita tidak mau berusaha. b. Bekerja atau berbuat langsung. c. Mengganti kelemahan dan kekurangan menjadi potensi dalam hati. d. Menerima dan menghadapi kemungkinan sesuai kemampuan. e. Menghitung segala bentuk kesuksesan yang pernah diraih. f. Keimanan. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan terlihat melalui perilakunya.
Perilaku ini menjadi ciri yang membedakan orang yang
38
memiliki kepercayaan diri tinggi dan rendah. Lauster (Surya Bintarti, 2013: 93) menyebutkan aspek-aspek kepercayaan diri sebagai berikut. a. Keyakinan akan kemampuan diri, merupakan sikap mempercayai kemampuan diri mengenai apa yang akan dilakukan. b. Optimis, merupakan sikap yang mendorong seseorang untuk selalu memiliki pandangan yang baik dalam menghadapi segala sesuatu, baik tentang diri maupun kemampuan. c. Objektif, merupakan cara memandang masalah menggunakan kebenaran yang semestinya, dengan demikian unsur subjektivitas pribadi dapat dikurangi. d. Bertanggung jawab, merupakan sikap untuk menerima akibat dari segala sesuatu yang sudah dilakukan. e. Rasional dan realistis, merupakan kemampuan untuk menganalisis masalah
menggunakan
pemikiran
yang
logis
berdasarkan
kenyataan yang ada. Di lain pihak, menurut Ignoffo (dalam Megawati, 2010 : 3), terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan individu yang memiliki kepercayaan diri yaitu : a.
Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri.
b.
Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
c.
Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan.
d.
Berpikir positif dalam kehidupan.
e.
Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.
f.
Memiliki potensi dan kemampuan. Selanjutnya menurut Jacita F. Rini, (Abu Al-Ghifari, 2003 : 16).
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proposional diantaranya :
39
a. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri. b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atu kelompok. c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain dan berani menjadi diri sendiri. d. Mempunyai pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil). e. Mempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain). f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya. g. Mempunyai
harapan
yang
realistik
terhadap
diri
sendiri,
sehingga ketika harapan itu tidak terwujud ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi. Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya maka kepercayaan diri pada penelitian ini adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk bisa mencapai tujuan tertentu. Adapun aspek kepercayaan diri yang dimaksud meliputi : keyakinan akan kemampuan diri, kempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan dari usaha dan tidak mudah menyerah), objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis. Secara lebih rinci aspek dan indikator dari kepercayaan diri disajikan dalam tabel berikut. Tabel 4. Indikator Kepercayaan Diri Siswa No 1
Aspek Kepercayaan Indikator Diri Keyakinan akan a. Memiliki keyakinan untuk mengerjakan tugas kemampuan diri atau PR tanpa bantuan orang lain. b. Tidak mencontek saat ujian c. Berani menyampaikan pendapat tanpa ditujuk. d. Berani mengerjakan penyelesaian soal di depan
40
No
Aspek Kepercayaan Diri
2
3
Mempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan dari usaha dan tidak mudah menyerah) Objektif
4
Bertanggung jawab
5
Rasional dan realistis
Indikator kelas. a. Tidak mudah putus asa saat mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. b. Memiliki semangat bersaing dengan temantemannya. c. Mau berusaha dengan keras untuk memahami materi yang diberikan. a. Mau menerima saran dan kritik atas pendapat yang disampaikan. b. Mampu menghargai pendapat lain yang lebih baik dari pendapatnya sendiri. c. Lebih mementingkan kebenaran pendapat daripada orang yang menyampaikannya a. Mengerjakan PR yang diberikan dengan sungguhsungguh. b. Menyelesaikan tugas yang diberikan tepat pada waktunya. a. Mampu menyelesaikan permasalahan matematika menggunakan konsep yang sudah dimiliki. b. Mampu mengaplikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pemecahan masalah. c. Mengetahui kekurangan kemampuan diri sendiri dalam pemecahan masalah d. Merasa dapat menyelesaiakan permasalahan jika sudah belajar dan berlatih e. Menggunakan fakta yang diketahui untuk menyelesaikan permasalahan
Kedua kemampuan yaitu kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri merupakan kemampuan yang penting dimiliki oleh siswa. Walaupun demikian kedua kemampuan ini ternyata tidak saling mempengaruhi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sena Gürşen Otacioğlu menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa tidak saling berhubungan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut “It has been revealed that the relations between students’ self confidence and problem solving skills are
41
negative. “ (Sena Gürşen Otacioğlu, 2008 : 915). Kesimpulan ini menunjukkan bahwa hubungan antara kepercayaan diri siswa dan kemampuan pemecahan masalah adalah negatif. Dari keterangan ini diketahui bahwa kedua variabel tidak saling mempengaruhi sehingga menyebabkan kedua kemampuan penting ini nantinya dapat diuji secara terpisah. 11. Tinjauan Materi Barisan dan Deret Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), materi pada pembelajaran matematika wajib SMA / MA kelas X MIA meliputi fungsi eksponen dan logaritma, persamaan dan pertidaksamaan linear, sistem persamaam dan pertidaksamaan linear, matriks, relasi dan fungsi, barisan dan deret, persamaan dan fungsi kuadrat, geometri, trigonometri, limit fungsi aljabar, statistika, dan peluang. Menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2012: 8) salah satu hakikat matematika sekolah adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan. Materi barisan dan deret dirasa sesuai untuk hakekat matematika ini. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari barisan dan deret menggambarkan keteraturan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga diharapkan siswa akan lebih tertarik dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan barisan dan deret. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar materi Barisan dan Deret disajikan dalam tabel berikut.
42
Tabel 5. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Materi Barisan dan Deret Kompetensi Inti 3. Memahami, menerapkan,
dan
Kompetensi Dasar 3 8. Memprediksi pola barisan
menganalisis pengetahuan faktual,
dan deret aritmetika dan
konseptual,
geometri
prosedural,
dan
atau
barisan
metakognitif berdasarkan rasa ingin
lainnya melalui pengamatan
tahunya tentang ilmu pengetahuan,
dan memberikan alasannya.
teknologi, humaniora
seni,
budaya,
dengan
kemanusiaan,
dan
wawasan kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan
pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya
untuk
memecahkan
masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji
3 9. Menyajikan hasil,
dalam ranah konkret dan ranah
menemukan
abstrak terkait dengan pengembangan
dan deret dan penerapannya
dari yang dipelajarinya di sekolah
dalam penyelesaian masalah
secara
sederhana.
mandiri,
bertindak
secara
pola
barisan
efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
43
Berikut merupakan uraian singkat materi barisan dan deret : a.
Barisan Aritmetika Barisan aritmetika adalah barisan bilangan yang beda setiap dua suku
yang
berurutan
adalah
sama.
Beda,
dinotasikan
“b”
(Kemendikbud,2014:202). Barisan U1 , U2 , U3 , … , U
n-1
, Un disebut suatu barisan aritmatika
jika memenuhi hubungan U2 - U1 = U3 - U2 = b Rumus umum barisan aritmatika adalah sebagai berikut : U1 = a U2 = a + b U3 = a + 2b U4 = a + 3b …………… Un = a + (n-1) b Jadi rumus umum suku ke n barisan aritmatika adalah Un = a + (n-1) b dimana : Un = suku ke n a = U1 = suku pertama n = banyaknya suku b = beda
44
b.
Deret Aritmetika Jika U1, U2, U3, …., Un merupakan suku-suku barisan aritmetika maka : U1+ U2+ U3+ ….+ Un disebut deret aritmatika dan ditulis : Sn = U1+ U2+ U3+ ….+ Un, atau : Sn = a + ( a+b) + ( a + 2b) + ….+ ( a + (n - 1)b) Sn = Un+ (Un - b)+ (Un - 2b)+ ….+ a
+
2Sn = (a+Un) + (a+Un)+ (a+Un)+ (a+Un)+….+ (a+Un) Sn = n (a+Un) = .n ( a + a + (n-1) b) = .n ( 2a + (n-1) b) Jadi rumus jumlah n suku pertama deret aritmatika adalah Sn = . n ( 2a + (n-1) b) Sn : jumlah n suku pertama a : suku pertama n : banyak suku b : beda
45
c.
Barisan Geometri Barisan geometri adalah suatu barisan dengan pembanding
(rasio) antara dua suku yang berurutan selalu tetap (Kemendikbud, 2014 : 275). Berikut merupakan bentuk umum dari barisan geometri. U1 , U2 , U3 , U4 , ... , Un-1 , Un a , ar , ar2 , ar3 , … , arn-2 , arn-1 Rumus suku ke-n barisan Geometri adalah sebagai berikut : Un = a. rn-1 Dimana : a : suku pertama r
: rasio =
n
: banyakanya suku
d.
Deret Geometri
Jika U1 , U2, U3, …., Un merupakan suku-suku barisan geometri maka : U1+ U2+ U3+ ….+ Un disebut deret geometri dan ditulis : Sn = U1+ U2+ U3+ ….+ Un, atau Sn = a + ar2 + ar3 + …arn-2+ arn-1 rSn = ar + ar3 + ar4 + …arn-1+ arn Sn - rSn = a - arn
-
(1-r)Sn = a - arn
Sn
a ar n a(1 r n ) a(r n 1) untuk r ≠ 1 1 r 1 r r 1
46
e.
Contoh soal penyelesaian masalah
Pada sebuah panggung terdapat empat baris tempat duduk. Setiap baris memuat sejumlah kursi tertentu. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika dengan beda bukan nol. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat akan membentuk barisan geometri. Jika banyaknya kursi pada baris kedua adalah 16 kursi, berapakah jumlah semua kursi pada keempat baris? Solusi : 1.
Memahami masalah Siswa diharapkan mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari permasalahan. Diketahui : Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat membentuk barisan geometri. Banyaknya kursi pada barisan kedua adalah 16 buah. Beda barisan aritmetika bukan nol Ditanyakan : Berapakah jumlah kursi pada keempat baris ?
47
Syarat Dalam permasalahan ini digunakan aturan dari barisan aritmetika pada suku pertama, kedua, ketiga dan keempat serta aturan bilangan geometri pada suku pertama kedua dan keempat. 2.
Merencanakan penyelesaian masalah Siswa
diharapkan
mampu
menyatakan
kembali
permasalahan,
menuliskan rumus yang akan digunakan dan menuliskan langkah yang akan dilakukan. Menyatakan kembali Misalkan : banyaknya kursi pada barisan pertama = a banyaknya kursi pada barisan ketiga
=c
banyaknya kursi pada barisan keempat = d Sehingga, a , 16, c , d merupakan barisan aritmetika a, 16 , d
merupakan barisan geometri
Menuliskan rumus Untuk menyelesaikan masalah ini perlu diingat kembali bahwa pada barisan aritmetika selisih antara dua suku yang berurutan selalu tetap. Sementara itu, pada barisan geometri rasionya tetap. Sehingga 16 – a = c - 16 = d – c dan
48
Menuliskan langkah penyelesaian Dari keterangan bahwa 16 – a = c - 16 = d – c dan
selanjutnya
dibentuk persamaan untuk menentukan nilai a, c dan d. 3.
Menyelesaiakan masalah sesuai rencana Langkah
selanjutnya
siswa
diharapkan
mampu
menyelesaikan
permasalahan dengan meggunakan rencana yang telah dibuat. 16 – a = c – 16 maka a + c = 32 maka c = 32 – a
….….. (1)
c - 16 = d – c
...…… (2)
maka 2c –d = 16
……… (3)
2c–d
= 16
↔ 2 ( 32 – a ) – d
= 16
(substitusikan persamaan 1)
↔ 64 – 2a -
= 16
(substitusikan persamaan 3)
↔ 48 -2a -
= 0
(kurangkan kedua ruas dengan 16)
↔ 48a – 2 a2 – 256
= 0
(Kalikan kedua ruas dengan a)
↔ 2 a2 - 48a + 256
= 0
(Kalikan kedua ruas dengan -1 )
↔ (a – 16) ( a – 8 )
= 0
sehingga a = 16 atau a = 8
Pilih a = 8 karena jika a = 16 maka beda barisan aritmetika akan sama dengan nol. Substitusi a pada persamaan 1 diperoleh nilai c = 24, substitusi nilai a pada persamaan 3 diperoleh nilai d = 32
49
4.
Melakukan Pengecekan kembali
Pengecekan Pada proses ini siswa diharapkan mampu memastikan kebenaran jawabannya dengan melakukan pengecekan yang sesuai. banyaknya kursi pada barisan pertama = a = 8 banyaknya kursi pada barisan kedua
= b =16
banyaknya kursi pada barisan ketiga
= c =24
banyaknya kursi pada barisan keempat = d =32 Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika, gunakan konsep bahwa beda dua suku yang berurutan pada barisan aritmetika adalah sama. b-a =8 c- b =8 d- c = 8 Karena beda dua suku yang berurutan memiliki nilai yang sama maka barisan ini merupakan barisan aritmetika. Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat membentuk barisan geometri gunakan konsep bahwa rasio pada barisan geometri tetap.
Karena rasionya tetap maka barisan ini adalah barisan geometri.
50
Mencocokkan
hasil
dengan
pertanyaan
dan
Menuliskan
kesimpulan dari proses yang dilakukan. Hasil yang diinginkan dari pertanyaan adalah jumlah semua kursi sehingga dari perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai a = 8, c = 24 , d = 32, maka jumlah semua kursi adalah a + 16 + c + d = 40 kursi. Membuat kesimpulan Jadi jumlah semua kursi pada keempat baris adalah 40 kursi B. Penelitian Relevan 1. Hasil penelitian Eny Sulistyaningsih (2014) yang berjudul " Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan Pendekatan Kontekstual ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Sikap Tanggung Jawab Siswa Kelas VII SMP Negeri
1
Wates
“
menunjukkan
bahwa
pembelajaran
menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan pendekatan kontekstual
efektif
ditinjau
dari kemampuan
pemecahan
masalah peserta didik. 2. Penelitian Fadiah Khairina Pertiwi “Efektivitas
Pembelajaran
(2014) yang berjudul
Matematika
Berbasis
Masalah
Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Think Talk Write (TTW) dan Think Pair Share (TPS) Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Kepercayaan Diri Siswa
51
Kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosari Gunungkidul “ menunjukkan bahwa pembelajaran matematika berbasis masalah menggunakan model
pembelajaran
kooperatif
TPS
efektif
ditinjau
kemampuan pemecahan masalah matematika dan kepercayaan diri siswa. 3. Penelitian Ratih Damayanti (2013) yang berjudul “Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika dengan Metode Spontaneous Group Discussion
“
menunjukkan
bahwa
aktivitas siswa
dalam
memecahkan masalah meningkat dari 17,4 % menjadi 73,91 %. C. Kerangka Berpikir Sebagai mata pelajaran wajib, matematika diharapkan mampu memenuhi tuntutan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mengharapkan terbentuknya siswa yang memiliki kemampuan kognisi tinggi yang diiringi dengan keterampilan dan sikap yang baik. Salah satu kemampuan kognisi dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh siswa adalah kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah matematika penting dimiliki oleh siswa. Proses pemecahan masalah matematika melatih siswa untuk aktif dalam mencari informasi. Kemudian, dari informasi yang diperoleh siswa akan berlatih untuk menganalisis solusi yang tepat dari masalah yang dihadapi. Pola berpikir logis inilah yang akan melatih siswa untuk menghadapi permasalahan hidup yang sebenarnya.
52
Selanjutnya, salah satu sikap yang diharapkan dimiliki siswa adalah kepercayaan diri. Kepercayaan diri merupakan keyakinan yang akan mengantarkan siswa pada tujuannya. Dalam pembelajaran matematika kepercayaan diri dibutuhkan agar siswa mampu menyampaikan hasil pemikirannya kepada orang lain. Dengan demikian, sikap percaya diri menjadi salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa dan keberhasilan siswa dalam kehidupan yang sebenarnya. Di lain pihak, terdapat indikasi bahwa kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri belum berkembang secara maksimal. Hal ini terjadi di Madrasah Aliyah yang memiliki beban belajar lebih berat dibandingkan sekolah menengah atas biasa. Tuntutan belajar yang lebih berat
mengakibatkan
waktu
untuk
mengembangkan
kemampuan
pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah menjadi lebih terbatas dibandingkan siswa di sekolah menengah atas pada umumnya. Dalam menghadapi hal ini guru diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan kepercayaan diri. Salah satu upaya yang bisa ditempuh oleh guru adalah menerapkan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang tepat. Berdasarkan kajian yang disampaikan sebelumnya, pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang dianjurkan oleh kurikulum 2013. Selain itu proses pembelajaran dalam pendekatan saintifik diharapkan mampu memberikan
kesempatan
yang
lebih
banyak
bagi
siswa
untuk
53
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri. Di lain pihak, model pembelajaran yang diharapkan mampu untuk menangani hal ini adalah model pembelajaran kooperatif. Sesuai dengan uraian sebelumnya model pembelajan kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Disscussion (SGD) diharapkan mampu memfasilitasi siswa dalam mengembangkan dua kemampuan penting yaitu pemecahan masalah dan kepercayaan diri. Oleh karena itu, penggabungan antara pendekatan saintifik dan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan SGD perlu dilakukan untuk memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran matematika dalam rangka mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa. Dalam pembelajaran matematika menggunakan model TPS dengan pendekatan saintifik siswa akan bekerja secara berpasangan. Pasangan ini dikondisikan agar lebih heterogen.
Kondisi pembelajaran secara
berpasangan menuntut tanggung jawab yang lebih dari siswa. Dalam pembelajaran TPS siswa juga akan memiliki kesempatan untuk memikirkan permasalahan secara individu terlebih dahulu. Akibatnya, saat kegiatan diskusi dalam kelompok siswa akan lebih aktif karena sudah memiliki modal awal hasil pemikirannya sendiri. Selain itu, pembelajaran TPS dengan pendekatan saintifik juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan presentasi pada kegiatan share yang diharapkan akan meningkatkan kepercayaan diri siswa.
54
Pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik berlangsung secara lebih natural dan spontan. Siswa akan berkelompok secara spontan dan bervariasi pada setiap pertemuan. Dengan demikian, siswa diharapkan lebih nyaman dalam berdiskusi. Dalam diskusi yang dilakukan akan muncul ide-ide dari para siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Setelah diskusi dirasa cukup nantinya
guru
akan
memanggil
kelompok
satu
persatu
untuk
mempresentasikan hasil diskusinya, sehingga setiap kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapatnya. Hal ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan sikap kepercayaan diri yang dimiliki. Diharapkan kedua model pembelajaran dengan pendekatan saintifik ini akan mampu membantu siswa dalam belajar, namun apabila dilihat dalam hal proses pembentukan kelompok dan kesempatan yang dimiliki oleh siswa, pembelajaran dengan model Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dirasa
lebih unggul untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa. D. Perumusan Hipotesis Berdasarkan kajian teori yang sudah diuraikan dan kerangka berpikir, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.
55
2. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa. 3. Model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa. 4. Model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa. 5. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik lebih efektif daripada pembelajaran kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa. 6. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik lebih efektif daripada pembelajaran kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.
56