BAB II JARIMAH ZINA DAN PEMBUKTIANNYA MENURUT HUKUM ISLAM
A. TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA 1. Pengertian Zina Kata zina berasal dari bahasa arab, yaitu zanaa – yazni – zinaa-an yang berarti Atal mar-ata min ghairi ‘aqdin syar’iiyin aw milkin, artinya menyetubuhi wanita tanpa didahului akad nikah menurut syara’ atau disebabkan wanitanya budak belian.1 Ibnu Rusyd mendefinisikan zina sebagai setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah (subhat) dan bukan pula karena pemilikan (terhadap hamba).2 Secara garis besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama, meski mereka masih berselisih pendapat tentang manakah yang dikatakan syubhat (semu/mirip) yang menghindarkan hukuman had dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut. Namun Imam Taqiyuddin memberikan definisi zina sebagai perbuatan persetubuhan dengan memasukan zakar ke dalam vagina dengan cara apapun
1
Ibnu Hajar Ash-Qalani, Bulugh al-Maram, terj. KH. Kahar Masyhur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 190. 2 Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid, Beirut – Libanon: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm. 324.
18
19
yang diharamkan oleh syara’ dan bukan wath’i subhat.3 Sedangkan Sayyid Sabiq menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak bertanggung jawab.4 Definisi zina yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam tersebut secara esensi tidak ada perbedaan yang signifikan, karena pada dasarnya perbuatan zina ada dua unsur yang harus terpenuhi yaitu; a. Adanya persetubuhan antar dua orang yang berlainan jenis. b. Adapun laki-laki atau perempuan tersebut tidak dalam ikatan yang sah. Oleh karena itu apabila ada seorang laki-laki dan wanita yang bermesraan dan atau bertelanjang di atas
tempat tidur belum bisa
dikategorikan sebagai perbuatan zina. Di sini dibutuhkan pemeriksaan secara medis sebagai justifikasi apakah sudah terjadi zina atau belum. Perlu diketahui sebagai catatan bahwa ada perbedaan yang sangat esensial mengenai definisi zina di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum Islam. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pasal 284 dinyatakan bahwa zina adalah
persetubuhan yang
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dan supaya masuk pasal ini,
3 4
Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamin, 1995, hlm 619. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9 , Kuwait: Dar al-Bayan, 1968, hlm. 90.
20
maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.5 Kenyataan tersebut menunjukkan betapa jauh perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif. Walaupun sama-sama bertujuan untuk memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat, serta
menjamin
kelangsungan hidup namun hukum Islam lebih memperhatikan soal akhlak, di mana tiap-tiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam hukuman. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan hukum positif yang boleh dikatakan telah mengabaikan soal-soal akhlak sama sekali dan baru mengambil tindakan, apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan atau ketentuan masyarakat.6 Sebagai contoh adalah perbuatan zina. Hukum positif tidak menghukum perbuatan tersebut, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah satu pihak atau tanpa kerelaan salah satunya. Karena dalam keadaan demikian, perbuatan tersebut merugikan perorangan maupun ketenteraman umum. Akan tetapi syari’at menghukum perbuatan zina dalam keadaan dan bentuk bagaimanapun juga, karena zina dipandangnya bertentangan dengan akhlak dan apabila akhlak sudah rusak maka rusaklah masyarakat.
5 6
R. Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, t.th., hlm. 181. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 4.
21
2. Unsur-unsur Jarimah Zina Sebelum pengkajian lebih mendalam mengenai beberapa ihwal perbuatan zina terlebih dahulu perlu diketahui mengenai unsur-unsur delik (jarimah) secara umum. Jika unsur-unsur tersebut ada pada suatu perbuatan, maka dapat diklasifikasikan sebagai delik (jarimah) dengan akibat hukum berupa ancaman sanksi yang telah dilegitimasi oleh syara’ (Hukum Islam). Dan sebelum mengkaji unsur-unsur jarimah, ada baiknya diketahui tentang pengertian dari jarimah itu sendiri. Jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut ada kalanya berupa perbuatan yang dicegah atau meninggalkan yang disuruh. Penyebutan kata-kata
syara`
dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’ dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancam hukuman terhadapnya.7 Dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu, a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya. Unsur ini biasa disebut unsur formil (rukun syar’i).
7
Ibid., hlm. 5.
22
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatanperbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur ini biasa disebut unsur materiil (rukun maddi). c. Pelaku adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuat. Unsur ini disebut unsur moril (rukun adabi).8 Di samping unsur-unsur umum, ada unsur-unsur yang bersifat khusus. Misalnya dalam peristiwa pencurian, selain telah memenuhi unsur-unsur umum, juga harus memenuhi unsur secara khusus yaitu barang yang dicuri bernilai seperempat dinar ke atas, dilakukan dengan diam-diam dan benda yang dicuri tersebut disimpan ditempat yang pantas. Demikian juga dengan perbuatan zina, bahwa suatu perbuatan baru bisa dianggap zina apabila telah memenuhi kedua unsur tersebut, yakni, a. Unsur-unsur yang bersifat umum 1) Adanya nash yang melarang, yaitu surat al-Isra’: 32:
.ﻼ ﺳﺒِﻴ ﹰ ﺎ َﺀﻭﺳ ﺸ ﹰﺔ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻓﹶﺎ ِﺣ ﻰ ِﺇﻧﺰﻧ ﻮﹾﺍ ﺍﻟﺮﺑ ﺗ ﹾﻘ ﻭ ﹶﻻ Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk.” 2) Adanya perbuatan zina atau persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita diluar ikatan perkawinan. 8
Ibid., hlm. 6.
23
Maka ketika ada dua orang berlainan jenis sedang bermesraan seperti berciuman atau bercumbu belum bisa dikatakan zina dan tidak dihukum dengan hukuman had, karena perbuatan tersebut belum bisa didefinisikan sebagai perzinaan. 3) Pelaku zina adalah mukallaf. Dalam arti pelaku adalah orang yang telah cakap bertindak hukum, yang ditandai dengan telah baliq dan berakal. b. Unsur-unsur yang bersifat khusus 1) Perbuatan zina dilakukan secara sadar dan sengaja. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dikenai hukuman perzinaan. Menurut ulama madzhab Hanbali, apabila yang dipaksa itu laki-laki, maka ia dikenai hukuman perzinaan, tetapi apabila yang dipaksa itu wanita, maka ia tidak dikenai hukuman perzinaan. 2) Yang dizinai adalah manusia, menurut ulama madzhab Hanafi, Maliki serta pendapat terkuat di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, seseorang tidak dikenai hukuman perrzinaan apabila yang dizinainya itu adalah hewan. 3) Perbuatan itu terhindar dari segala bentuk keraguan syubhat. Ulama fiqh membagi hubungan seksual yang berbentuk syubhat itu menjadi tiga bentuk; a) Syubhat fi al-fi’l (keraguan dalam perbuatan), seperti
24
seorang laki-laki menyenggamai istrinya yang diceraikan melalui khuluk. b) Syubhat fi al-mahal (keraguan pada tempat) yang disebut juga dengan syubhat al-milk, seperti menyenggamai istri yang telah ditalak tiga kali dengan lafal kinayah (kata kiasan talak). c) Syubhat fi al-fa’il (keraguan pada pihak pelaku), seperti laki-laki yang menyenggamai seorang wanita yang bukan istrinya dan berada di kamar tidurnya. Pada saat itu tidak ada alat penerang, sehingga lakilaki itu tidak mengetahui bahwa wanita tersebut bukan istrinya. Dalam ketiga bentuk syubhat ini, hubungan seksual tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan zina yang dikenai hukuman perzinaan. 4) Pelaku mengetahui bahwa perbuatan zina itu diharamkan. 5) Ulama madzhab Hanafi dan az-Zahiri mensyaratkan bahwa wanita yang dizinai itu masih hidup. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, apabila mayat wanita itu bukan mayat istrinya, maka perbuatan itu termasuk zina.9 Oleh karena itu apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi maka perbuatan tersebut bisa dikategorikan sebagai perbuatan zina dengan implementasi sanksi berupa had dapat diterapkan.
9
Abdul Azis Dahlan et.al. (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 2027 – 2028.
25
3. Sanksi Jarimah Zina Hukum Islam disyari’atkan oleh Allah Swt. untuk melindungi kemaslahatan
umat
manusia,
baik
kemaslahatan
individu
maupun
kemaslahatan masyarakat dan atau keduanya. Kemaslahatan umat manusia yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek yaitu dharuriyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (pelengkap).10 Untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan tersebut Islam menetapkan sejumlah aturan berupa perintah dan larangan. Aturan ini disertai dengan ancaman hukuman duniawi dan ukhrawi manakala dilanggar. Dalam hukum Islam ada tiga bentuk had yang diancamkan terhadap pelaku jarimah zina yaitu hukum jilid (cambuk), rajam dan pengasingan. Klasifikasi terhadap jarimah ini dilihat dari sudut berat/ringan, serta kriteria pelaku. Bentuk hukuman Islam tidak mengenal hukuman yang bersifat deskriminatif
terhadap
wanita
maupun
laki-laki
sebagai
konsistensi
implementasi terhadap pelaksanaan aturan syari’at karena perzinaan ini banyak menjadikan nilai agama menjadi luntur. Pada dasarnya tujuan pemberian sanksi hukum menurut pidana Islam adalah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru), pengajaran dan pendidikan (al-islah wat-tahdzib)11 yang dimaksudkan agar pelaku tindak pidana dapat
10
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ush al- Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesiy li al-Da`wah al-Islamiyah, 1982, hlm. 197. 11 Ahmad hanafi, Op. Cit., hlm. 255
26
mengambil hikmah terhadap apa yang didapat pelaku kejahatan ketika mendapat hukuman. Islam mengklasifikasikan pelaku zina menjadi dua macam untuk menetapkan jenis hukuman yang akan dilaksanakan, yaitu, a. Zina Muhshan Al-muhshan adalah orang yang telah baliq, berakal, merdeka dan telah menikah, baik masih terikat perkawinan maupun yang telah bercerai.12 Para ulama telah bersepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina muhshan adalah dirajam. Pendapat ini didasarkan atas dalil-dalil sebagai berikut; 1) Hadits Rasulullah Saw.
ﻦ ﺑ ﻤ ِﻦ ﺣ ﺮ ﺪ ﺍﻟ ﺒﻋ ﺪﹶﺛِﻨﻲ ﺣ ،ﺚ ﻴ ﹸﺪﹶﺛِﻨﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺣ : ﹶﻔ ٍﲑ ﹶﻗﺎ ﹶﻝﻦ ﻋ ﺪ ﺑ ﻴﺳ ِﻌ ﻨﺎﺪﹶﺛ ﺣ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﺑﺎ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺃ،ﻤ ﹶﺔ ﺳﹶﻠ ﻭﹶﺃِﺑﻲ ﺐ ِ ﻴﺴ ﺑ ِﻦ ﺍ ﹸﳌﻋ ِﻦ ﺍ ،ﺏ ٍ ﻬﺎ ﺑ ِﻦ ِﺷﻋ ِﻦ ﺍ ،ﺧﺎِﻟ ٍﺪ ﻳﺎ ﻩ ﺩﺍ ﻨﺎ ﹶﻓ،ﺠ ِﺪ ِﺴ ﻮِﻓﻲ ﺍ ﹶﳌ ﻫ ﻭ ﺱ ِ ﻨﺎﻦ ﺍﻟ ﺟ ﹲﻞ ِﻣ ﺭ b ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﺗﻰ ﺃ:ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺤﻰ ﻨﺘ ﹶﻓb ﻲ ﻨِﺒﻪ ﺍﻟ ﻨﻋ ﺽ ﺮ ﻋ ﹶﻓﺄ،ﻪ ﺴ ﻧﻔ ﺪ ﻳﻳ ِﺮ ﺖ ﻴﻧﺯ ﻧﻲﷲ ﺇ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﺮ ﻋ ﺟ ِﻬ ِﻪ ﺍﱠﻟ ِﺬﻱ ﺃ ﻭ ﻖ ﺸ ِ ِﻟ ،ﺖ ﻧﻴﺯ ﻧﻲﷲ ﺇ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻳﺎ : ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ،ﻪ ﺒﹶﻠﺽ ِﻗ 12
Abdul Aziz Dahlan et.al. (Ed.), Op. Cit., hlm. 2028.
27
ﻤﺎ ﹶﻓﹶﻠ،ﻪ ﻨﻋ ﺽ ﺮ ﻋ ﺍﱠﻟ ِﺬﻱ ﺃb ﱯ ﻨﺟ ِﻪ ﺍﻟ ﻭ ﻖ ﺸ ِ ﺠﺎ َﺀ ِﻟ ﻪ ﹶﻓ ﻨﻋ ﺽ ﺮ ﻋ ﹶﻓﺄ "ﻮ ﹲﻥ؟ ﻨﺟ ﻚ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ"ﺃِﺑb ﻲ ﻨِﺒﻩ ﺍﻟ ﻋﺎ ﺩ ﺕ ٍ ﺩﺍ ﻬﺎ ﺷ ﻊ ﺑﺭ ﺴ ِﻪ ﺃ ِ ﻧ ﹾﻔ ﻋﹶﻠﻰ ﺪ ﺷ ِﻬ ِ ﺳﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭ ﻳﺎ ﹶﻻ:ﹶﻗﺎ ﹶﻝ .ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻳﺎ ﻢ ﻌ ﻧ :ﺖ؟" ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻨﺼ ﺣ "ﺃ:ﷲ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ 13
ﺭ ﺒﻮﺍ ﹶﻓﺎﻫ "ﺍ ﹾﺫ:ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ."ﻩ ﻤﻮ ﺟ
Artinya: “Hadits Abu Hurairah dan Jabir ra., Abu Hurairah berkata: “Ada seorang pria datang kepada Rasulullah Saw., ketika beliau sedang berada di masjid, hingga beliau memanggilnya. Maka ia berkata: “Ya Rasulullah, saya telah berzina”. (Mendengar ucapan itu) Rasulullah berpaling darinya. Tetapi orang itu mengulang-ulang perkataannya itu empat kali. Tatkala ia mengakui akan dirinya (yang berzina itu), maka Nabi Saw. memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau ini gila?” ia menjawab: “Tidak”. Nabi bertanya lagi: “Apakah engkau sudah beristri?” ia menjawab: “Ya (benar)”. Kemudian Nabi Saw. bersabda: “Bawalah orang ini lalu kenakanlah hukuman rajam!” 2) Kata-kata Umar bin Khathab ra. dalam suatu khutbahnya.
،ﺤ ِّﻖ ِﺑﺎﹾﻟb ﺪﺍ ﻤ ﺤ ﻣ ﺚ ﻌ ﹶ ﺑ ﺪ ﷲ ﹶﻗ َ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ.ﺏ ِ ﳋ ﹶﻄﺎ ﺑ ِﻦ ﺍ ﹶ ﻤ ِﺮ ﻋ ﺚ ﻳ ﹸﺣ ِﺪ ﻫﺎ ﻧﺎﺮﺃ ﹶﻓ ﹶﻘ،ﺟ ِﻢ ﺮ ﻳ ﹶﺔ ﺍﻟﷲ ﺁ ُ ﺰ ﹶﻝ ﺍ ﻧﻤﺎ ﹶﺍ ﺏ ﹶﻓ ﹶﻜﺎ ﹶﻥ ِﻣ ﺘﺎﻴ ِﻪ ﺍﻟ ِﻜﻋﹶﻠ ﺰ ﹶﻝ ﻧﻭﹶﺍ ﺸﻰ ِﺍ ﹾﻥ ﺧ ﹶﻓﹶﺎ.ﻩ ﺪ ﻌ ﺑ ﻨﺎﻤ ﺟ ﺭ ﻭ b ﷲ ِ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻢ ﺟ ﺭ .ﻫﺎ ﻨﺎﻴﻋ ﻭ ﻭ ﻫﺎ ﻨﺎﻋ ﹶﻘ ﹾﻠ ﻭ
13
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut – Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992, hlm. 339.
28
ﺟ ِﻢ ِﻓﻰ ﺮ ﺪ ﺁﻳ ﹶﺔ ﺍﻟ ﺠ ِ ﻧ ﻣﺎ !ﷲ ِ ﻭﺍ :ﻮ ﹶﻝ ﹶﻗﺎِﺋ ﹲﻞ ﻳ ﹸﻘ ﹶﺍ ﹾﻥ،ﻣﺎ ﹲﻥ ﺯ ﺱ ِ ﻨﺎﹶﻃﺎ ﹶﻝ ِﺑﺎﻟ ﺴﺎ ُﺀ ِﺍ ﹶﺫﺍ ﻨﻭﺍﻟ ﺟﺎ ﹸﻝ ﺮ ﻭﺍﻟ .ﷲ ُ ﻬﺎ ﺍ ﺰﹶﻟ ﻧﻀ ٍﺔ ﹶﺍ ﻳﺮ ِﻙ ﹶﻓ ِﺮ ﺘﻮﺍ ِﺑ ﻀﻠﱡ ِ ﻴ ﹶﻓ.ﷲ ِﺏﺍ ِ ﺘﺎِﻛ 14
ِ ﻣ ﹶﻗﺎ .ﻑ ﺮﺍ ﻋِﺘ ﻭﺍ ِﻻ ﺒ ﹸﻞ ﹶﺍﺤ ﻭ ﹶﻛﺎ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ﻨ ﹸﺔ ﹶﺍﻴﺒﺖ ﹾﺍﻟ
Artinya : “Hadits ‘Umar bin Khaththab, bahwasanya Allah mengutus Muhammad Saw. dengan kebenaran dan Allah menurunkan al-Qur’an kepadanya, maka diantara ayat yang Allah turunkan, yaitu ayat rajam, maka kami membacakannya, memahaminya dan memperhatikannya. Rasulullah Saw. menerapkan hukuman rajam dan kami menerapkannya sesudah masa beliau. Tetapi saya takut, jika suatu zaman yang panjang ditengah umat manusia ada seseorang berkata: “Demi Allah! Kami tidak mendapatkan ayat rajam dalam kitab Allah,” lalu mereka sesat sebab meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Sedangkan hukuman rajam dalam kitab Allah adalah suatu kepastian atas orang yang berzina, apabila dia itu terjaga (sudah berkeluarga) baik laki-laki maupun perempuan apabila ada saksi yang bisa membuktikan atau ada kehamilan atau pengakuan.” b. Ghairu Muhshan Yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang tidak ada ikatan perkawinan antara keduanya. Hukuman bagi pelakunya adalah hukuman jilid / cambuk 100 kali.
Sebagaimana dalam
Qs. An-Nur (24) :2,
14
Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut-Libanon: Dar al-Ihya’ al-Tiratsi al-Arabiy, 209-261, hlm. 1317.
29
ﺎﺧ ﹾﺬﻛﹸﻢ ِﺑ ِﻬﻤ ﺗ ﹾﺄ ﻭ ﹶﻻ ﺪ ٍﺓ ﺟ ﹾﻠ ﺎ ِﻣﹶﺌ ﹶﺔﻬﻤ ﻨﻣ ﺍ ِﺣ ٍﺪﻭﺍ ﹸﻛ ﱠﻞ ﻭﺟِﻠﺪ ﺍﻧِﻲ ﻓﹶﺎﺍﻟﺰﻴﺔﹸ ﻭﺍِﻧﺍﻟﺰ ﺎﻬﻤ ﺑﻋﺬﹶﺍ ﺪ ﻬ ﺸ ﻴﻭﹾﻟ ﻮ ِﻡ ﺍ َﻷ ِﺧ ِﺮ ﻴﺍﹾﻟﷲ ﻭ ِ ﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎﺆ ِﻣﻨ ﺗ ﻢ ﺘﷲ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨ ِ ﻳ ِﻦ ﺍﺭﹾﺃﹶﻓ ﹲﺔ ﻓِﻲ ِﺩ ﺆ ِﻣِﻨ ﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻣ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ .ﲔ Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing mereka seratus kali dera/pukul. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya menghalangi kamu untuk menjalankan agama Allah, jika memang kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka itu disaksikan oleh sekumpulan orang yang beriman.” Pelaku perzinaan ghairu muhshan di samping mendapat hukuman jilid diancam pula dengan hukuman pengasingan, hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw. :
ﻭﺍ ﺧ ﹸﺬ b ﷲ ِ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ:ﻪ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻨﻋ ﷲ ُ ﻲ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺖ ِ ﺼﺎ ِﻣ ﺑ ِﻦ ﺍﻟ ﺩ ﹶﺓ ﺒﺎﻋ ﻦ ﻋ ﻭ ﺪ ِﻣﺎﹶﺋ ٍﺔ ﺟ ﹾﻠ ﺮ ِﺑﺎﹾﻟِﺒ ﹾﻜ ِﺮ ﺍﹾﻟِﺒ ﹾﻜ،ﻼ ﻴ ﹰﺳِﺒ ﻦ ﻬ ﷲ ﹶﻟ ُ ﻌ ﹶﻞ ﺍ ﺟ ﺪ ﹶﻓ ﹶﻘ،ﻨﻰﻋ ﻭﺍ ﺧ ﹸﺬ ،ﻨﻰﻋ 15
(ﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﺟ ﺮ ﻭﺍﻟ ﺪ ِﻣﺎﹶﺋ ٍﺔ ﺟ ﹾﻠ ﺐ ِ ﻴﺐ ِﺑﺎﻟﱠﺜ ﻴﻭﺍﻟﱠﺜ ،ﻨ ٍﺔﺳ ﻲ ﻧ ﹾﻘﻭ
Artinya: “Dari Ubadah bin Shamit ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sungguh Allah telah memberikan jalan penghukuman bagi mereka. Orang muda dengan orang muda adalah dihukum jilid seratus kali dan pengasingan satu tahun. Orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin adalah dihukum jilid seratus kali dan dirajam dengan batu”. 15
Ibid, hlm. 1316.
30
Hukuman pengasingan tidak lain bertujuan sebagai upaya preventif yakni mengalihkan manusia dari tindak pidana secara sesempurna mungkin dan agar pezina tidak berlarut larut untuk melakukannya. Selain itu untuk menumbuhkan rasa condong hati agar senantiasa taat pada perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan evaluasi keimanan. Implementasi terhadap hukuman tindak pidana baik berupa rajam, jilid dan pengasingan dalam syari’at Islam terhadap pelaku perzinaan dilakukan secara setahap demi setahap, karena syari’at Islam sangat memperhatikan kemaslahatan dan menghilangkan kesempitan pada manusia. Hukuman tersebut bukan hanya sebagai hukuman terhadap pelakunya saja, akan tetapi sekaligus maklumat yang berfungsi sebagai upaya
preventif
sedini
mungkin
bagi
seluruh
manusia
untuk
menghindarkan diri dari larangan syar’i, karena agama Islam sendiri sangat memuliakan manusia baik jasmani maupun rohani. B. Pembuktian Jarimah Zina dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Pembuktian Menurut bahasa, pembuktian berasal dari kata ”bukti” yang telah mendapat awalan “pem“ dan akhiran “an” menjadi pembuktian yang berarti
31
usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.16 Sedang pembuktian menurut bahasa arab disebut dengan al-bayyinah
(ﻴﻨﺔ )ﺍﻟﺒyang berarti
ﺍﳊﺠﺔ ﻭﺍﻟﱪﻫﺎﻥ
(hujah dan bukti).17 Sebagaimana
firman Allah Swt. dalam surat al-Hadid: 25,
….ﺕ ِ ﺎﻴﻨﺒﺎ ﺑِﺎﹾﻟﺳﹶﻠﻨ ﺭ ﺎﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺪ ﹶﺃ ﹶﻟ ﹶﻘ Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti.” Juga hadits Rasulullah Saw: 18
.َ ﻜﺮ ﻧ ﹶﻦ ﹶﺃ ﻣ ﻋﹶﻠﻰ ﻦ ﻴﻴ ِﻤﻭﹾﺍﻟ ﺪ ِﻋﻲ ﻤ ﻋﹶﻠﻰ ﺍﹾﻟ ﻨ ﹸﺔﻴﺒ ﹶﺍﹾﻟ:ﻴ ٍﺢﺤ ِﺻ ﻨﺎ ٍﺩﺳ ﻲ ِﺑِﺈ ﻬ ِﻘ ﻴﺒﻭِﻟ ﹾﻠ
Artinya: “Bukti itu bagi penggugat (penuntut) dan sumpah bagi yang mengingkari.” Dari bunyi ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa al-bayyinah pada dasarnya merupakan ungkapan bagi setiap apa dan siapa yang menerangkan hak (kebenaran). Oleh karena itu, pengertiannya lebih umum dari istilah fuqaha’ yang lebih menekankan maksud al-bayyinah
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 133. 17 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Ponpes al-Munawir, 1984, hlm. 136. 18 Imam Muhammad bin Ismail al-Amiri al-Yamaniy al-Shina’aniy, Subulus Salam Sarh Bulughul Maram min Jam’i Adilati al-Ahkam, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th, hlm. 244.
32
sebagai saksi atau sumpah, seperti yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad Sarbini al-Khatib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj. 19
.ﺩ ﻮ ﻬ ﺸ ﻮ ﺍﻟ ﻫ ﻭ ﺕ ﻨﺎﻴﺒﻊ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺟ ﻨ ﹸﺔﻴﺒﺍﹾﻟ
Artinya: “al Bayyinah berbentuk jama’ bayyinat adalah merupakan para saksi.” Pengertian al-bayyinah yang lebih dekat dengan maksud ayat atau hadits di atas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim dalam bukunya at-Turuqu al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iah, mengartikan pembuktian dengan 20
.ﻩ ﺮ ﻳ ﹾﻈ ِﻬﻭ ﻖ ﺤ ﻦ ﺍﹾﻟ ﻴﺑ ﻣﺎ ﻢ ِﻟ ﹸﻜ ﱢﻞ ﺳ ﻨ ﹸﺔ ِﺇﻴﺒﺍﹾﻟ
Artinya : “Al bayyinah (pembuktian) menurut istilah adalah nama terhadap sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran dan menampakkannya.” Sedang Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Peradilan dan Hukum Acara Islam, mengartikan pembuktian dengan memberikan keterangan dan dalil hingga dapat meyakinkan.
21
Di dalam bukunya yang lain, ia
mengartikan pembuktian dengan segala apa yang dapat menampakkan kebenaran, baik berupa saksi atau yang lainnya.22
19
Muhammad Sarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1978, hlm.
461. 20
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iah, Kairo: alMuassasah al-Arabiyah, 1975, hlm 28. 21 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 129. 22 Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1975, hlm., 139.
33
Dari semua pengertian di atas, jelaslah bahwa di antara pengertian tersebut tidak ada yang saling bertentangan. Demikian juga dalam hukum positif. R. Subekti menjelaskan bahwa pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalildalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan atau yang diperiksa oleh hakim.23 Sedangkan menurut R. Soepomo, pembuktian dalam arti yang luas yaitu membenarkan hubungan hukum atau memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti yang terbatas pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah tidak perlu diselidiki.24 Pendapat-pendapat itu memberikan pengertian bahwa pembuktian merupakan usaha yang dilakukan oleh masing-masing pihak untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran suatu perkara yang diajukan dalam suatu sidang. Dengan demikian masing-masing pihak mempunyai hak yang sama dalam melaksanakan dan mencari kebenaran di muka hakim. Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran 23
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1995, hlm. 1. R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1994,
24
hlm. 63.
34
formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Dalam praktek peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, kerena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu,
sehingga
hakim
dalam
mengkonstatir,
mengkualifisir
dan
mengkonstituir serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut. Kebenaran formil yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara.25 Jadi baik kebenaran formil maupun kebenaran materiil hendaknya harus dicari secara bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepadanya. 2. Dasar Hukum Pembuktian Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sedang bagi para pihak yang berperkara, pembuktian bertujuan agar permohonannya terkabul dan hak-haknya bisa terpenuhi.
25
H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000, hlm. 129.
35
Keharusan pembuktian ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat alBaqarah: 282, yang berbunyi;
ﹲﻞﺮﺟ ﻴ ِﻦ ﹶﻓﹶﻠﺭﺟ ﺎﻳﻜﹸﻮﻧ ﻢ ﻢ ﹶﻓﺈِﻥ ﱠﻟ ﺎِﻟ ﹸﻜﺭﺟ ﻳ ِﻦ ﻣﻦﺪ ﺷﻬِﻴ ﻭﹾﺍﺸ ِﻬﺪ ﺘﺳ ﺍﻭ... ﺎﻫﻤ ﺍﺣﺪ ﺮ ِﺇ ﹶﺬ ﱢﻛﺎ ﹶﻓﺘﻫﻤ ﺍﺣﺪ ﻀﻞﱠ ﹾﺇ ِ ﺗ ﺍﺀ ﺃﹶﻥﻬﺪ ﺸ ﻦ ﺍﻟ ﻮ ﹶﻥ ِﻣ ﺿ ﺮ ﺗ ﻦﺎ ِﻥ ِﻣﻤﺮﹶﺃﺗ ﻣ ﺍﻭ ...ﻮﹾﺍﺩﻋ ﺎﺍﺀ ِﺇﺫﹶﺍ ﻣﻬﺪ ﺸ ﺏ ﺍﻟ ﻳ ﹾﺄ ﻭ ﹶﻻ ﻯﺧﺮ ﺍ ُﻷ Artinya : “…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antaramu, jika tak ada dua orang saksi, maka (boleh) seorang lakilaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil….”
ﻧﻪﻌﻠﹸﻮﹾﺍ ﹶﻓِﺈ ﺗ ﹾﻔ ﻭﺇِﻥ ﺪ ﺷﻬِﻴ ﻭ ﹶﻻ ﺐ ﺭ ﻛﹶﺎِﺗ ﺂﻳﻀ ﻭ ﹶﻻ ﻢ ﺘﻌ ﻳﺎﺗﺒ ﻭﹾﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﺪ ﺷ ِﻬ ﻭﹶﺃ ... .ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﷲ ِﺑ ﹸﻜﻞﱢ ُ ﻭﺍ ﷲ ُ ﺍﻜﹸﻢﻌﻠﱢﻤ ﻭﻳ ﷲ َ ﺗﻘﹸﻮﹾﺍ ﺍﺍﻢ ﻭ ﻕ ِﺑ ﹸﻜ ﻮﹸﻓﺴ Artinya : “…dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarkanmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282) Juga dalam firman Allah Swt. Q.S. al-Maidah (5): 106,
ﻴ ِﺔﺻ ِ ﻮ ﻦ ﺍﹾﻟ ﻴﺕ ِﺣ ﻮ ﻤ ﺍﹾﻟﺪﻛﹸﻢ ﺣ ﺮ ﹶﺃ ﻀ ﺣ ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﻴِﻨ ﹸﻜﺑ ﺩﺓﹸ ﺎﺷﻬ ﻮﹾﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻳﺎ ﺍﱠﻟ ِﺬﻳﻬﻳﺎ ﹶﺃ ﻴ ِﺮ ﹸﻦ ﹶﻏ ﺍ ِﻥ ِﻣﺧﺮ ﻭ ﺁ ﻢ ﹶﺃ ﻨ ﹸﻜﺪ ٍﻝ ﻣ ﻋ ﺍﺎ ِﻥ ﹶﺫﻭﺍﹾﺛﻨ …ﻢ ﻛ
36
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu….” Ayat-ayat di atas mengandung makna bahwa bilamana seseorang sedang berperkara atau sedang mendapatkan permasalahan, maka para pihak harus mampu membuktikan hak-haknya dengan mengajukan saksi-saksi yang dipandang adil. Perintah untuk membuktikan ini juga didasarkan pada sabda Nabi Muhammad Saw., yang berbunyi;
ﺱ ﺎﻰ ﻧﺩﻋ ﻢ ﹶﻻ ﻫ ﺍﻋﻮ ﺪ ﺱ ِﺑ ﻨﺎﻌﻄﹶﻰ ﺍﻟ ﻳ ﻟﹶﻮ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝb ﻲ ﻨِﺒﺱ َﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟ ٍ ﺎﻋﺒ ﺑ ِﻦﻋ ِﻦ ﺍ 26
ِ ﻭﹶﻟ ﻢ ﻬ ﺍﹶﻟﻣﻮ ﻭﹶﺃ ﺎ ٍﻝﺎ َﺀ ِﺭﺟِﺩﻣ .ﻪِ ﻋﹶﻠﻴ ﻰﺪﻋ ﻤ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻦ ﻴﻴ ِﻤﻦ ﺍﹾﻟ ﻜ
Artinya: “Sekiranya diberikan kepada manusia apa saja yang digugatnya, tentulah manusia akan menggugat apa yang dia kehendaki, baik jiwa maupun harta. Akan tetapi bukti itu dimintakan kepada si penggugat dan sumpah itu dihadapkan atas orang yang tergugat”. Makna dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa barangsiapa yang mengajukan perkara untuk menuntut haknya, maka orang itu harus mampu membuktikan dengan menyertakan alat-alat bukti yang mendukung isi gugatannya. Inilah suatu kaidah yang umum, walaupun kaidah ini kadangkadang menimbulkan bahaya. Karena kadang-kadang suatu gugatan yang
26
Imam Muslim, Op. Cit., hlm. 59
37
sebenarnya benar, harus ditolak apabila si penggugat tidak dapat membuktikan kebenarannya. Dan kadang harus kita benarkan gugatangugatan yang dapat dibuktikan, walaupun bukti itu sebenarnya bukti palsu.27 Meskipun pembuktian dalam dunia hukum penuh dengan unsur subjektifitasnya, namun acara tersebut mutlak harus diadakan, karena pembuktian bertujuan untuk dijadikan dasar bagi para hakim dalam menyusun putusannya. Seorang hakim tidak boleh hanya bersandar pada keyakinannya belaka, akan tetapi harus pula bersandar kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa yang merupakan alat bukti, sehingga dapat tercapai suatu keputusan yang obyektif.28 Dalam hukum positif, perihal pembuktian mempunyai muatan unsur materiil dan formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.29 Dasar hukum pembuktian dalam hukum positif tercantum pada pasal 163 HIR, pasal 283 RBg dan pasal 1865 BW. Bunyi ketiga pasal tersebut pada hakikatnya adalah sama, yakni: 27
Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 129. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 39-40. 29 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1998, hlm. 105. 28
38
“Barangsiapa menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”. Perlunya pembuktian ini agar manusia tidak semaunya saja menuduh orang lain dengan tanpa adanya bukti yang menguatkan tuduhannya. Adanya kewajiban ini akan mengurungkan gugatan orang-orang yang dusta, lemah dan gugatan asal gugat. Oleh karena itu, Imam Malik dan sebagian fuqaha tidak membenarkan gugatan yang tidak nampak adanya kebenaran dan penggugatnya tidak perlu diminta sumpahnya, karena sematamata melihat qarinah-qarinah secara lahiriyah.30 3. Macam-macam Alat Bukti Pada dasarnya alat bukti adalah sesuatu yang dapat menampakkan kebenaran. Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa digunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutuskan perkara. Jadi alat bukti tersebut diperlukan oleh pencari keadilan ataupun pengadilan. Berbagai macam alat bukti dalam hukum Islam dan hukum positif akan penulis uraikan sebagai berikut 30
hlm. 95.
Muhammad Salam Madkur, al-Qada’ fi al-Islami, Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiah, 1964,
39
a. Menurut Hukum Islam Para fuqaha berpendapat bahwa bukti-bukti ada tujuh macam yaitu: 1) Iqrar (pengakuan) 2) Syahadah (kesaksian) 3) Yamin (Sumpah) 4) Nukul ( Menolak Sumpah) 5) Qasamah (Bersumpah +50 orang) 6) Keyakinan Hakim 7) Bukti-bukti lain yang dapat dipergunakan.31 Sedangkan menurut ulama di kalangan madzhab Hanafi alat-alat bukti juga ada tujuh, tetapi dengan susunan sebagai berikut: 1) Sumpah 2) Pengakuan 3) Penolakan sumpah 4) Qasamah 5) Bayyinah 6) I’lamul Qadli (keyakinan hakim). 7) Qarinah (persangkaan/petunjuk).32 Menurut Ibnu Rusyd, alat bukti dalam peradilan Islam ada empat, yaitu: 31 32
Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 136. Muhammad Salam Madkur, Op. Cit., hlm. 74,
40
1) Saksi 2) Sumpah 3) Penolakan Sumpah 4) Pengakuan33 Dan menurut Ahmad Fathi Bahansyi, bahwa alat bukti dalam peradilan Islam ada sembilan, yaitu: 1) Saksi 2) Pengakuan 3) Qarinah 4) Pendapat Ahli 5) Pengetahuan Hakim 6) Tulisan / Surat 7) Sumpah 8) Qasamah 9) Li’an34 Adanya perbedaan di kalangan ulama tersebut pada dasarnya tidak ada pertentangan satu sama lain, bahkan saling melengkapi. Juga tidak menutup kemungkinan masih ada bukti lain selain alat bukti tersebut sepanjang alat bukti itu dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan jiwa Islam. 33
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut: Dar al- Kutub al-Islamiyah, 595 H, hlm. 346 Ahmad Fathi Bahansyi, Nasriyah al-Isbat fil Fiqh al-Jina’i al Islami, Kairo: Al-Syirkah al Arabiyah al-Ittiba’ah Wa al-Nasyr, 1984, hlm 134 34
41
b. Menurut Hukum Positif Dalam hukum acara pidana, perihal alat bukti tercantum dalam pasal 184 KUH Pidana. Dinyatakan dalam pasal itu bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari: 3) Keterangan Saksi 4) Keterangan Ahli 5) Surat 6) Petunjuk 7) Keterangan Terdakwa 35 4. Pembuktian Jarimah Zina dalam Pidana Islam Zina merupakan kejahatan yang dihukum dengan cukup berat, sehingga syari’at
Islam
memberikan
persyaratan
yang
berat
pula
dalam
pembuktiannya. Tujuan pensyaratan ini adalah untuk menutup jalan bagi siapa saja yang sengaja menuduh orang baik-baik dengan semena-mena dan dhalim. Rangkaian pembuktian zina menurut sistematika pembuktian dalam hukum acara pidana Islam yaitu : a. Pengakuan (Iqrar)
35
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Surabaya: Karya Anda, t.th, hlm 82.
42
Semua ulama hukum mengatakan iqrar merupakan dalil atau dasar utama bagi penetapan hukuman. Hal ini sesuai dengan sikap Rasulullah Saw. yang juga mendasarkan suatu hukuman dari pengakuan seorang tertuduh dari suku Ghamidiyah dalam kasus perzinaan mereka. Kekuatan
hukum
pengakuan
sebagai
dasar
pengambilan
keputusan hukum memang tidak diperselisihkan lagi, kecuali tentang jumlah pengakuan yang diucapkan tertuduh. Dalam masalah ini, Imam Malik, Imam Syafi’i, Daud Zhahiri, al-Thabari dan Abu Tsaur menganggap pengakuan itu cukup diucapkan satu kali saja dan atas dasar ini suatu hukuman sudah bisa ditetapkan. Alasan ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid :
ﺎﻴﻬﻋﹶﻠ ﺍﻐﺪ ﹶﻓ،ﻬﺎ ﻤ ﺟ ﺭ ﺖ ﹶﻓﺎ ﺮﹶﻓ ﺘ ﹶﻓِﺈ ِﻥ ﺍ ﹾﻏ،ﻫ ﹶﺬﺍ ﺮﹶﺃ ِﺓ ﻣ ﻋﹶﻠﻰ ﺍ ﺲ ﻴﻧﻳﺎ ﹸﺃ ﺪ ﻭﺍ ﹾﻏ .ﻬﺎ ﻤ ﺟ ﺮ ﺖ ﹶﻓ ﺮﹶﻓ ﺘﻭﺍ ﹾﻏ “Hai Unais ! pergilah dan tanyailah istri orang ini, apabila istri orang ini mengaku (telah berzina), maka kenakanlah hukuman rajam. Kemudian ia mengaku, maka Unaispun merajamnya.”36 Adapun menurut ulama madzhab Hanafi, pengakuan itu tidak bisa kurang dari empat kali yang dinyatakan dalam majelis yang berbeda.
36
Imam Bukhari, Op. Cit., hlm. 339-340.
43
Mereka berpegangan dengan hadits Sa’id bin Jubair ra. dari Ibnu ‘Abbas ra. dari Nabi Saw.:
.ﺟ ِﻤ ِﻪ ﺮ ﺮ ِﺑ ﻣ ﻢ ﹶﺍ ﺕ ﹸﺛ ٍ ﺮﺍ ﻣ ﻊ ﺑﺭ ﺮ ﹶﺍ ﺘﻰ ﹶﺍﹶﻗﺣ ﺰﺍ ﻣﺎ ِﻋ ﺩ ﺭ ﻪ ﻧِﺍ “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. menolak (pengakuan) Ma’iz sehingga ia mengaku empat kali, kemudian beliau menyuruh merajamnya.”37 Menurut mereka keterangan yang disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa pengakuan satu kali, dua kali dan tiga kali adalah suatu kekurangan. Dan barangsiapa dalam kekurangan, maka ia tidak bisa mengalahkan orang mengingat dengan sempurna. b. Kesaksian Ulama telah sependapat bahwa perbuatan zina dapat ditetapkan berdasarkan saksi-saksi dan bahwa bilangan yang diisyaratkan adalah empat orang, berbeda halnya dengan perkara-perkara yang lain. Dasarnya adalah firman Allah Swt. dalam surat al-Nur: 4 :
ﻢ ﻫ ﻭﺟِﻠﺪ ﺍﺀ ﻓﹶﺎﻬﺪ ﻌ ِﺔ ﺷ ﺑﺭ ﻮﺍ ِﺑﹶﺄﻳ ﹾﺄﺗ ﻢ ﹶﻟﺕ ﹸﺛﻢ ِ ﺎﺼﻨ ﺤ ﻤ ﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟﺮﻣ ﻳ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻭ ﲔ ﺎِﻧﹶﺛﻤ ….ً ﺓﺟ ﹾﻠﺪ “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali pukulan….” 37
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan Haris Abdullah, Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hlm. 630.
44
Menurut para ahli fiqh, kesaksian yang dapat diterima sebagai pembuktian tindak pidana perzinaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; Pertama, para saksi tersebut telah baliq dan berakal. Kedua, terdiri dari empat orang laki-laki, sehingga kesaksian wanita tidak diterima, meskipun lebih dari empat orang atau bersama-sama laki-laki. Ketiga, para saksi adalah muslim dan adil. Keempat, saksi melihat sendiri perbuatan zina tersebut yaitu ketika alat kelamin laki-laki berada pada alat kelamin perempuan dan bahwa kesaksian itu harus dinyatakan dengan kata-kata yang jelas, bukan dengan kata-kata kinayah (sindiran). Kelima, saksi tidak mempunyai halangan syara’ untuk menjadi saksi, seperti tidak ada hubungan kekeluargaan dan tidak ada permusuhan antara salah seorang saksi atau seluruhnya dengan orang-orang yang dituduh berzina. Keenam, menurut ulama mazhab Hanafi, kesaksian itu tidak kadaluarsa, kecuali ada uzur. Maksudnya, ada tenggang waktu yang cukup lama, tanpa ada uzur antara perbuatan zina yang disaksikan itu dengan kesaksian yang dikemukakan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila ada kadaluarsa tersebut disebabkan adanya uzur, seperti di
45
negeri itu belum ada lembaga peradilan, maka syarat ini tidak berlaku. Ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali tidak menyetujui syarat ini.38 Ketujuh, fuqaha mensyaratkan para saksi harus memberikan kesaksiannya dalam satu tempat secara simultan. Jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah, baik dalam arti waktu maupun tempat, maka hal itu tidak bisa diterima. Akan tetapi pengikut-pengikut madzhab Imam Syafi’i , Daud Zahiri dan Zaid tidak mensyaratkan hal ini.39 Silang pendapat disebabkan, apakah kesaksian yang berbedabeda mengenai tempat itu dapat digabungkan ataukah tidak dapat digabungkan, seperti kesaksian yang berbeda-beda mengenai zaman. Demikian itu karena fuqaha telah sependapat bahwa kesaksian yang berbeda-beda tempatnya itu tidak dapat digabungkan, sedang tempat itu lebih mirip dengan zaman.40
Di sini terlihat bahwa syara’ bermaksud
lebih banyak berhati-hati dalam menetapkan hukuman tersebut ketimbang hukuman-hukuman lainnya. Kedelapan, ulama mazhab Hanafi juga mensyaratkan bahwa para saksi itu tidak kehilangan kecakapan untuk bertindak hukum sampai hukuman dilaksanakan. Apabila para saksi itu kehilangan kecakapan untuk bertindak hukum, seperti murtad, wafat atau dikenai hukuman qadzaf,
38
Abdul Aziz Dahlan et.al. (Ed.), Op. Cit., hlm. 2030. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9, terj. Moh. Nabhan Husein, Bandung: al-Ma’arif, 1990, hlm. 116. 40 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman….Op. Cit., hlm. 632. 39
46
maka kesaksian mereka gugur dan orang yang dituduh melakukan perbuatan zina bebas dari hukuman. Menurut jumhur ulama, kecakapan bertindak hukum yang diminta hanyalah ketika para saksi mengemukakan kesaksian mereka didepan hakim. Apabila setelah kesaksian itu mereka kehilangan kecakapan untuk bertindak hukum, maka tidak ada pengaruhnya dalam pembuktian perzinayan tersebut.