BAB II IMPLIKASI PENGATURAN PERBANKAN SYARIAH BAGI ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
A. Dinamika Pengaturan Perbankan Syariah Dalam Memperkuat Eksistensi Perbankan Syariah Pada Sistem Hukum Perbankan Nasiona Perbankan memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Berbagai kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sektor perbankan. Dari berbagai jenis lembaga keuangan, perbankan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya dalam aktivitas perekonomian masyarakat modern. 185 Perbankan menjadi urat nadi ekonomi yang sangat berpengaruh dalam lalu lintas harta dan pengembangan ekonomi. 186 Pelaku dan dunia usaha dalam melakukan kegiatan ekonomi syariah, senantiasa berhubungan dengan perbankan. Tidak ragu lagi, perbankan yang berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediary), memiliki peran penting dalam kehidupan perekonomian masyarakat. 187 Industri perbankan berfungsi sebagai penunjang perekonomian suatu negara yang berbentuk penghimpunan dan penyaluran dana serta dapat berbentuk memperlancar pembayaran transaksi perdagangan domestik maupun internasional. 188 Fungsi tersebut dapat
185
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk Dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 20. 186 Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 71. 187 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 67. 188 Zulkarnain Sitompul, Op. Cit., hlm. 23. Fungsi bank dikatakan sebagai perantara (financial intermediary) karena merupakan lembaga yang menghimpun dana dari investor, mengumpul dan menginvestasikan dana tersebut kepada perusahaan lain. jadi bank sebagai lembaga yang berada pada posisi di antara investor dan perusahaan yang menerima investasi.
Universitas Sumatera Utara
dikatakan sebagai ‘aliran darah’ bagi perkembangan perekonomian dan peningkatan standar taraf hidup. 189 Perbankan bagi perekonomian modern telah memudahkan pertukaran dan membantu pembentukan modal dan produksi yang berskala massal yang tidak ada taranya dalam sejarah umat manusia. 190 Perbankan telah menunjukkan peranan penting dalam pengembangan dan pertumbuhan masyarakat industri modern. Produksi berskala besar dan besarnya modal yang dilibatkan dalam pengembangan dan pertumbuhan itu tidak mungkin dicapai tanpa bantuan bank. Tidak ada masyarakat modern yang dapat mencapai kemajuan pesat atau bahkan dapat mempertahankan angka pertumbuhan tanpa bank. 191 Dalam konteks pemahaman ajaran Islam, aktivitas perekonomian (economic activities) merupakan bagian dari kegiatan muamalah yang memberi perhatian terhadap berbagai kepraktisan kehidupan duniawi dalam berbagai bentuk hubungan antarmanusia. Dari dalam aktivitas ekonomi inilah terdapat aktivitas keuangan dan perbankan (banking and financial activities). 192 Merealisasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam aktivitas nyata masyarakat, dilakukan dengan mendirikan lembagalembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, diantaranya mendirikan lembaga keuangan bank dalam bentuk bank syariah. 193 Perbankan syariah
189
Ibid., hlm. 1. Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 58. 191 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 4, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), hlm. 337-338.. 192 Abdul Halim Ismail, “Bank Islam Malaysia Berhad”, dalam Pengembangan Perbankan, Nomor 28, Jan-Peb. 1991, hlm. 54. 193 Sistem keuangan di Indonesia dijalankan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Dikaitkan dengan lembaga keuangan syariah, lembaga keuangan bank terdiri atas bank umum syariah, bank pembiayaan rakyat syariah dan unit usaha syariah. Sementara lembaga 190
Universitas Sumatera Utara
sebagai bagian dari struktur keuangan Islam turut berperan dalam aktivitas pembangunan perekonomian. Struktur keuangan Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah dan penafsiran fuqaha terhadap sumber otoritas tadi. Struktur keuangan Islam dalam beberapa dekade terakhir tampil sebagai salah satu implementasi modern dari sistem hukum Islam yang paling penting dan berhasil. 194 Eksistensi keuangan Islam bersumber dari perintah Alquran dan Sunnah yang memberi makna, struktur keuangan dalam Islam merupakan bawaan yang menjadi bagian dari agama Islam, dan bukan berasal dari temuan gerakan politik Islam modern. 195 Karena Alquran dan Sunnah menjadi sumber dan rujukan utama pemikiran ekonomi Islam, aktivitas perekonomian Islam juga telah muncul sejak Islam diturunkan dan berlangsung di masa kehidupan Nabi Muhammad, pada akhir abad 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa itu, banyak pemikiran ekonomi Islam yang mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia, pada saat Barat masih dalam kegelapan (dark age). 196 Berdasarkan fakta normatif ini, kurang tepat untuk menempatkan perbankan Islam yang menjadi bagian dari struktur keuangan Islam sebagai alternatif dalam menangani berbagai krisis keuangan yang terjadi. Justeru perbankan Islam yang pengoperasiannya didasarkan pada prinsip syariah merupakan solusi. Pola pengoperasionalan perbankan syariah dilakukan dengan rambu
keuangan non-bank diantaranya pasar modal syariah, pasar uang syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, dan sebagainya. Perhatikan Andri Soemita, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009). 194 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 14. 195 Ibid., hlm. 16. 196 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
menjauhkan aktivitas dari berbagai unsur riba, dengan mengedepankan prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil (profit and loss sharing). 197 Praktek keuangan Islam yang telah berusia beberapa abad, sebagian besar mengalami kemunduran selama kurun waktu ketika hampir seluruh dunia Islam berada di bawah kekuasaan kolonial Barat. Dunia Islam di bawah pengaruh kolonial diperkenalkan untuk mengadopsi sistem keuangan dan perbankan berdasarkan pemikiran Barat serta meninggalkan praktik perdagangan Islam. Seiring perjalanan sejarah, priode modern keuangan Islam dimulai ketika negara-negara Islam memperoleh kemerdekaan setelah Perang Dunia Kedua. 198 Kesalehan relijius telah mendorong kehidupan umat di dunia modern, untuk menyesuaikan berbagai aktivitas kehidupan, termasuk dalam kehidupan perdagangan yang memanfaatkan perbankan Islam dengan ajaran agama. Selain itu, ada kekurangpuasan terhadap perbankan konvensional di kebanyakan negara Muslim, baik di kalangan ulama dan intelektual muslim maupun masyarakat awam yang sadar akan pandangan Alquran tentang riba. 199 Pelarangan riba (bunga) dalam Alquran berimplikasi pada kesangsian terhadap bentuk perbankan komersial konvensional seperti yang
berkembang di
Eropah. 200 Dalam syariah, riba mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok sebagai syarat untuk
197
M. Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 1. 198 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Op. Cit., hlm. 17. Lebih lanjut dikatakan, berakhirnya kolonialisme dan munculnya trend keberagamaan, yang diilhami oleh kesalehan relijius, telah merangsang kebangkitan kembali keuangan Islam, di samping kekayaan besar yang dihasilkan melalui lonjakan minyak yang mempercepat proses pertumbuhannya. 199 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern 1, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 260. 200 Ibid., hlm. 258
Universitas Sumatera Utara
memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Dalam konteks ini, riba mempunyai pengertian yang sama sebagai bunga, sesuai dengan kesepakatan para ahli hukum Islam (fuqaha). 201 Hikmah pelarangan riba (haram) adalah mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik modal dengan usaha, serta memikul risiko dan akibatnya dengan penuh rasa tanggung jawab. 202 Ajaran Islam senantiasa mementingkan penegakan nilai keadilan dan mencela eksploitasi dalam transaksi bisnis, melalui larangan umat Islam memakan harta secara batil atau dengan cara yang tidak dibenarkan. 203 Riba dalam sistem nilai Islam merupakan sumber penghasilan yang tidak dapat dibenarkan. 204 Pemahaman ini kembali mengakses umat Islam untuk kembali membangun lembaga keuangan dan perbankan bebas bunga (riba) di zaman modern ini. 205 Perbankan modern di dunia Islam berlangsung pada pertengahan abad kesembilan belas. Sejak pertengahan 1970-an, perbankan Islam berkembang pesat, dan terdapat sejumlah institusi keuangan Islam di sekitar 70 negara, yang tidak saja 201
M. Umer Chapra, Al-Quran Menuju Sistem Moneter Yang Adil, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 27. 202 Yusuf Al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta: Akbar, 2003), hlm. 52. 203 M. Umer Chapra, Al-Quran .... Op. Cit., hlm. 25. Alquran secara tegas melarang umat Islam untuk memakan harta secara batil. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 188). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu .......” (Q.S. An-Nisa [4]: 29). 204 Ibid., hlm. 26. 205 Secara harfiah riba berarti peningkatan, penambahan atau pertumbuhan dan secara populer diterjemahkan sebagai bunga, yang berhubungan dengan imbalan dari pinjaman atau bunga atas pinjaman (riba al-qarud atau riba al-nasiah). Tarek El-Diwany, The Problem With Interest (Sistem Bunga Dan Permasalahannya), (Jakarta: Akbar, 2003), hlm. 171. Mayoritas kitab fiqih menyebut dua macam riba, yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Secara umum dikatakan, riba nasiah adalah penundaan pembayaran salah satu harta yang diperjualbelikan atau ditukarkan hingga jatuh tempo. Sedang riba fadhl adalah penambahan atau kelebihan pada salah satu harta yang sejenis yang diperjualbelikan atau ditukarkan. Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqih Riba: Studi Komprehensif Tentang Riba Sejak Zaman Klasik Hingga Modern, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011), hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
berada di negara dunia Islam, tetapi juga di negara non Muslim, seperti Amerika, Inggris, Rusia, Kanada, dan Irlandia. 206
Sebelumnya, beberapa rintisan awal
pendirian bank Islam yang juga disinonimkan dengan bank bebas atau tanpa bunga sebagai bandingan dari bank konvensional yang berbasis bunga, telah dilakukan secara sporadis di beberapa negara. Di India, usaha simpan pinjam bersama (loan cooperative) yang dipengaruhi oleh ideologi agama dan etika dimulai sejak 1940. Di Pakistan, pada akhir 1950 oleh para tuan tanah pedesaan diciptakan jaringan kredit bebas bunga, dan di Malaysia berdiri Korporasi Tabungan Haji Muslim (Muslim Pilgrims Savings Corporation) pada 1963, dengan tujuan membantu masyarakat menabung untuk menunaikan ibadah haji. 207 Pada 1969, korporasi ini berkembang menjadi Pilgrims Management and Fund Board, yang sekarang dikenal dengan Tabung Haji, dan institusi ini sebenarnya merupakan lembaga keuangan non-bank. Keberhasilan Tabung haji mendorong pendirian Bank Islam Malaysia Berhard, bank komersial Islam yang beroperasi secara syariah penuh di Malaysia, pada 1983. 208 Eksprimen besar di dunia Arab, ketika pada 1963 di Mesir didirikan lembaga keuangan Mit Ghamr yang memadukan sistem pinjam meminjam yang saling menguntungkan (mutual loan) dari Jerman dengan prinsip perbankan koperasi pedesaan menurut kerangka permodalan Islam, untuk melayani masyarakat yang
206
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 17. Beberapa bank Eropah menawarkan produk keuangan Islam, termasuk Bank Kleinworth Benson dari London dan Perusahaan Perbankan Swiss. Instrumen keuangan Islam kian di terima di dunia internasional, bahkan di negara-negara nonIslam dan prinsip-prinsip dasarnya umumnya dipahami. John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 262. 207 Ibrahim Warde, Islamic Finance, Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 156. 208 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm. 16. Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
enggan menggunakan jasa bank konvensional karena alasan agama. Meskipun tidak tegas menyebut sebagai bank yang bergerak secara syariah, namun operasionalnya tidak mengaplikasikan bunga. Keuntungan didapatkan dari industri dan perdagangan yang dilakukan secara langsung dengan pembiayaan bisnis yang berbasis profit sharing. 209 Mit Ghamr kemudian digabung menjadi sebuah lembaga keuangan baru yang dikendalikan pemerintah, dengan pendirian Nasser Social Bank pada 1971, yang juga bertugas mengumpulkan zakat, yang diikuti dengan pendirian Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank Mesir (1977), Faisal Islamic Bank Sudan (1977), Kuwait Finance House (1977), Jordan Islamic Bank for Finance and Investment (1978), Bahrain Islamic Bank (1979), dan International Islamic Bank for Investment and Development di Mesir (1980). 210 Pendorong lahirnya bank-bank Islam sebagian adalah ledakan pendapatan minyak di Teluk Persia dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim yang lebih konservatif dengan mengorbankan gerakan nasionalis Arab yang lebih sekular. 211 Di kebanyakan negara Muslim, bank Islam yang bebas riba hidup berdampingan dan harus bersaing dengan bank konvensional yang berbasis bunga. Perkembangan signifikan terjadi setelah Bank Pembangunan Islam – BPI (Islamic Development Bank - IDB) berdiri pada 1975 di bawah dukungan Organisasi Konferensi Islam – OKI (Organization of the Islamic Conference - OIC). Berdirinya 209
Ibrahim Warde, Op. Cit., hlm. 157. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm.
15. 210
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 16. Ibrahim Warde, Op. Cit., hlm. 160. 211 John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 261. Selanjutnya Esposito menambahkan, bagaimanapun, muncul kekecewaan yang makin besar kepada sosialisme Arab, khususnya di kalangan generasi muda, dan munculnya perasaan bahwa seharusnya ada penekanan yang lebih besar pada nilai-nilai Islam di setiap bidang kehidupan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan.
Universitas Sumatera Utara
IDB sekaligus menjadi landasan dari sistem perbankan Islam yang bertujuan membantu pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial negara anggota dan masyarakat Muslim, baik individu maupun bersama-sama dengan cara yang sesuai syariah Islam. 212 Selain membantu pendanaan, institusi ini juga menyediakan pelayanan keuangan berbasis uang jasa (fee-based financial service), dan bantuan keuangan berbasis pembagian keuntungan bagi negara-negara anggota serta juga mempromosikan pelatihan dan pembinaan, pendirian institusi-institusi Islam melalui partisipasi langsung. 213 Dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan menjadi salah satu indikator untuk melihat perkembangan perbankan syariah. Tanpa dukungan dimaksud, perkembangan bank syariah akan berjalan lamban, karena itu perkembangan perbankan syariah tidak terlepas dari dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah. 214 Pengaturan dan regulasi memegang peranan penting bagi pengakuan dan perkembangan perbankan syariah, tidak saja dalam rangka menjamin perlindungan nasabah penyimpan dan peminjam, melainkan juga melindungi perekonomian dan menjaga tidak terjadinya pemusatan kekuasaan. 215 Lash seperti diungkapkan Hikmahanto Juwana mengemukakan lima tujuan pengaturan industri
212
Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung, Bank Syariah: Teori, Praktik, dan Peranannya, (Jakarta: Celestial Publishing, 2011), hlm., 250. 213 Ibrahim Warde, Op. Cit., hlm. 159. 214 Selain dukungan regulasi perbankan, yang diberikan parlemen dan pemerintah serta pemikiran ahli syariah (the banking regulators, parliament, government, and Sharia scholars), perkembangan keuangan Islam di Indonesia juga di dukung oleh jumlah penduduk muslim yang besar (the big population of Moslem), penampilan atau kinerja yang sehat dan kuat (the robust performance of Islamic banks), dan kinerja ekonomi Indonesia yang mendukung operasi bisnis bank Islam (the performance of the Indonesian economy backs up business operations of Islamic banks). Rifki Ismal, The Indonesian Islamic Banking: Theory and Practices, (Jakarta: Gramata Publishing, 2011), hlm. 3-4. 215 Zulkarnain Sitompul, Op. Cit., hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
perbankan, yaitu menjaga keamanan bank, memungkinkan terciptanya iklim kompetisi, pemberian kredit untuk tujuan-tujuan khusus, perlindungan terhadap nasabah, dan mencaiptakan suasana kondusif bagi pengambilan kebijakan moneter. 216 Kebijakan yang diberikan pemerintah turut memengaruhi perkembangan perbankan syariah. Ada beberapa pola kebijakan yang dipakai masing-masing pemerintah dalam mengapresiasi perbankan Islam. Pertama, mengubah seluruh sistem keuangan internal mereka ke dalam bentuk yang islami, seperti dilakukan Iran, Pakistan, dan Sudan. Kedua, menggunakan perbankan Islam sebagai kebijakan nasional, kendati juga mendukung jalur perbankan ganda, seperti terjadi di Bahrain, Brunei, Kuwait, Malaysia, Turki, dan Uni Emirat Arab. Ketiga, tidak mendukung ataupun menentang perbankan Islam dalam yurisdiksinya, seperti Mesir, Yaman, dan Singapura). Keempat, secara aktif mempersempit kehadiran perbankan Islam yang berdiri sendiri, seperti Saudi Arabia dan Oman). 217 Dari klasifikasi yang dikemukakan Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, dikatakan Indonesia mungkin berada dalam klasifikasi ketiga. Melihat keberadaan perbankan syariah yang ada saat ini, klasifikasi itu harus diklarifikasi dengan menempatkan pada klasifikasi kedua yang mengakui perbankan syariah di samping perbankan konvensional. Regulasi menjadi penting dalam memberi kedudukan yang kuat bagi perbankan syariah. Regulasi selain memberi kepastian hukum terhadap kelembagaan perbankan syariah, sekaligus untuk keamanan dan perlindungan masyarakat, terutama bagi nasabah deposan, dalam kegiatan perbankan syariah. Masyarakat tidak khawatir 216
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi Dan Ekonomi Internasional, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 5. 217 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Op. Cit., hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
akan kehilangan dananya di perbankan, karena ada jaminan regulasi. Kepercayaan masyarakat pemilik modal terhadap dana yang diberi dan disalurkan perbankan syariah ke dalam berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus diikuti pertanggungjawaban kepada pemilik modal. Bentuk pertanggungjawaban berkaitan dengan pengembalian dana bila diinginkan deposan setiap saat serta return sesuai dengan karakter pembiayaan yang diperjanjikan. Bank wajib menempuh cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Untuk memenuhi kewajiban itu, undang-undang perbankan memberi pedoman yang harus dipatuhi bank dalam rangka penyaluran pembiayaan. 218 Kebutuhan akan pengaturan (regulation) perbankan syariah menjadi keniscayaan, dan menurut Umer Chapra dan Tariqullah Khan, ukuran yang terdapat dalam Basel Committee yang menjadi acuan supervisi perbankan konvensional di seluruh dunia, juga penting diperhatikan bagi lembaga keuangan syariah. Beberapa hal berpengaruh yang senantiasa diperhatikan dalam regulasi perbankan syariah, yaitu: Pertama, pertimbangan sistem. Kegagalan sebuah bank bisa berdampak pada terganggunya kesehatan dan stabilitas keseluruhan sistem pembayaran dan ekonomi. Bila kepercayaan deposan pada sistem telah menurun, mereka akan menarik dananya yang dapat mengakibatkan tidak saja akan mengguncang sistem keuangan, tetapi juga dapat menurunkan kemampuan bank dalam menyalurkan pembiayaan. Kedua, terdapat kepentingan deposan giro dan juga deposan investasi yang perlu dilindungi. 218
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999, hlm. 175. Sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUP 1992 sebagaimana telah diubah dengan UUP 1998, perbankan syariah wajib memiliki keyakinan berdasar pada analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah mitra (debitur) untuk mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan diberikan karena besarnya tingkat leverage dalam bisnis perbankan, dan sebagian besar leverage tersebut berasal dari rekening giro. Semakin besar proporsi rekening giro, semakin besar pula tingkat leverage bank. Ketiga, bank syariah perlu memastikan operasionalnya telah sesuai dengan pronsip syariah. Keempat, bank syariah harus berupaya agar dapat diterima di pasar antarbank dalam sistem keuangan internasional. 219 Di Indonesia, komitmen pemerintah terhadap pengembangan bank syariah berawal sejak 1992, sedang sebelumnya relatif pemerintah belum memberikan komitmen, dan belum ada regulasi yang memberi dasar pendirian bank syariah. Dukungan berikut ada pada tahun 1998, sehingga tahun ini dapat dipakai sebagai pembatas dua priode kebijakan pemerintah terhadap bank syariah. 220 Praktik perbankan syariah di Indonesia di mulai ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai BUS pertama mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Persiapan pendirian BMI dirintis oleh kegiatan lokakarya Bank Tanpa Bunga di Cisarua Bogor, 18-20 Agustus 1990. Hasil lokakarya ditindaklanjuti melalui pembahasan mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, 22-25 Agustus 1990 yang merekomendasikan pembentukan bank bebas bunga. Rekomendasi didahului dengan pembentukan kelompok kerja untuk mempersiapkan penyiapan buku panduan untuk persiapan pendirian bank bebas bunga. 221 Widjanarto menulis,
219
M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan, Regulasi& Pengawasan Bank Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 28-29. 220 Veithzal Rivai, Andria PermataVeithzal dan Ferry N. Idroes, Bank and Financial Institution Management, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 740. 221 Matrik kegiatan untuk pendirian BMI di gambarkan oleh Zainulbahar Noor, ”Persiapan Dan Operasi Bank Muamalat Indonesia”, dalam M. Rusli Karim, Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogya: Tiara Wacana bekerjasama dengan P3EI FE UII, 1992), hlm. 158.
Universitas Sumatera Utara
ide pertama pendirian BMI berasal dari MUI yang didukung dan diprakarsai oleh beberapa pejabat penting pemerintah, pengusaha yang berpengalaman di bidang perbankan, bahkan Presiden Suharto, dan Wakil Presiden Sudharmono, bersedia menjadi pendukung utama BMI. 222 Gagasan pendirian Bank berbasis syariah bermunculan, diikuti dengan keluarnya Fatwa MUI pada akhir 2003 yang mengharamkan beragam jenis transaksi berbasis bunga, termasuk di lingkungan perbankan. Dalam Fatwa dinyatakan bahwa bunga termasuk kriteria riba, dan riba hukumnya haram. 223 Perbankan syariah memiliki peran strategis yang mampu memiliki keunggulan komparatif. Menghadapi gejolak moneter beberapa waktu lalu, perbankan syariah terbebas dari negative spread karena kinerja perbankan syariah yang tidak berbasis pada bunga uang, berada dan terkait pada sektor riil. 224 BMI sebagai bank umum yang menerapkan prinsip syariah dalam pola operasionalnya merupakan satu-satunya bank yang tidak mengalami negative spread sebagaimana terjadi pada bank-bank konvensional. 225 Perbankan syariah selama krisis ekonomi tidak membebani keuangan negara sebagaimana terjadi pada perbankan konvensional 222
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 48. 223 K.H. Ma’ruf Amin (et.al), Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2011), hlm. 808. 224 H.M. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 18. Selanjutnya dikatakan, terbebasnya perbankan syariah dari negative spread, karena kinerja perbankan syariah ditentukan oleh kinerja sektor riil, bukan sebaliknya. Konsep Islam menjaga keseimbangan antara sektor riil dengan sektor moneter, sehingga pertumbuhan pembiayaannya tidak akan terlepas dari pertumbuhan riil yang dibiayainya. Saat perekonomian mengalami kelesuan, maka yield yang diterima perbankan syariah menurun yang pada gilirannya return yang dibagihasilkan kepada nasabah penabung juga turun. Sebaliknya, pada saat perekonomian menaik (booming), maka return yang akan dibagihasilkan juga akan meningkat. Lihat juga Veithzal Rivai, Andria PermataVeithzal dan Ferry N. Idroes, Op. Cit., hlm. 739. 225 Muslimin, ”Reformasi Kebijakan Perbankan Islam Di Indonesia,” Miqot: Jurnal Ilmu-Ilmu Keisalaman, Vol. XXVIII, No. 1 Januari 2004, hlm. 150.
Universitas Sumatera Utara
yang memerlukan suntikan dana dari pemerintah. 226 Perbankan syariah mampu bertahan dari spekulasi keuangan. Perbankan syariah yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah memiliki akses penting dalam berbagai kegiatan perekonomian syariah. Prinsip syariah sebagai landasan aturan main menjadi kunci ketahanan (resilince) institusi keuangan Islam dalam menghadapi krisis. 227 Dengan keunggulan yang dimiliki, perekonomian dan keuangan termasuk perbankan Islam dewasa ini telah menjadi realitas hidup terhadap pertumbuhan perekonomian Perbankan Islam bukan hanya sekedar sebagai alternatif dari bank konvensional, melainkan solusi, baik dalam menghadapi berbagai persoalan perbankan dan perekonomian. 228 Tujuan pembentukan bank syariah adalah untuk memenuhi harapan membangun perekonomian umat dengan menghindari praktik riba, dan untuk mengamalkan
prinsip-prinsip
syariah
dalam perbankan
untuk
mewujudkan
kemaslahatan. 229 Perbankan syariah juga bertujuan profit yang tentu saja
226
Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 19 227 M. Luthfi Hamidi, Thr Crisis: Krisis Mana Lagi Yang Engkau Dustakan?, (Jakarta: Republika, 2012), Hlm.316. Zeti Akhtar Aziz seperti dinukilkan Luthfi Hamidi mengemukakan dua landasan pokok yang menjadi dasar ketahanan institusi keuangan Islam. Pertama, setiap transaksi keuangan diikuti dengan aktivitas ekonomi produktif yang kemudian menghasilkan pendapatan. Berarti, setiap transaksi yang terjadi, baik berupa pembiayaan maupun penyertaan modal senantiasa menyentuh kegiatan ekonomi di sektor riil. Kedua, karena berbasis profit-sharing, risiko yang terjadi ditanggung secara bersama (mutual risk sharing). 228 Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010). Pada cover buku ini dituliskan, sistem bank Islam bukan hanya solusi mengahadapi krisis, namun solusi dalam menghadapi berbagai persoalan perbankan dan ekonomi global.” Sebuah komparasi keunggulan ekonomi Islam dibandingkan ekonomi konvensional dapat dilihat dari tiga isu utama. Pertama, praktik transaksi keuangan dan posisi sistem bunga. Kedua, pemikiran mengenai keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi. Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics And Finance: Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi, (Jakarta: Gramedia, 2012), hlm. 257. 229 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
perolehannya
diselaraskan
dengan
moralitas
keislaman
yang
melandasi
operasionalnya. 230 Perkembangan kemajuan perekonomian syariah, telah semakin memperkuat keberadaan dan peran perbankan syariah dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kehadiran perbankan syariah dirasakan semakin penting di tengah kehidupan perekonomian syariah. Berbagai aktivitas dan transaksi bisnis yang terdapat di kalangan pebisnis, banyak memanfaatkan perbankan syariah sebagai sarana, baik sebagai tempat penyimpanan dana dan pembiayaan usaha, maupun untuk melancarkan mekanisme sistem pembayaran dalam semua sektor perekonomian yang dilakukan. Dapat dikatakan, bahwa lembaga perbankan, termasuk perbankan syariah menjadi jantung dari sistem kegiatan perekonomian di tengah kehidupan masyarakat. Sebelum 1992, yang di pandang sebagai pengenalan bank berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai tonggak eksistensi bank Islam di Indonesia, yakni diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP 1992), telah ada kebijaksanaan deregulasi di bidang perbankan. Pada 1983 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang bertujuan meningkatkan mobilitas dana dari masyarakat dengan memberi kebabasan pada bank dalam menentukan suku bunga, baik dari jalur pemupukan maupun penyaluran dana dari dan untuk masyarakat. 231 Deregulasi ini memberi kesempatan bagi bank untuk menerapkan bunga nol persen, artinya membuka kemungkinan bagi penerapan bank bebas bunga. Hanya saja, deregulasi belum berdampak langsung atas pelaksanaan sistem perbankan bebas
230 231
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. Cit., hlm. 23. Ibid., hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
bunga (interest-free bank system). Deregulasi di maksud tidak di dukung oleh peraturan perbankan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan (UUP 1967) yang tidak mengenal eksistensi bank Islam di dalam aturannya. Kondisi politis termasuk hambatan, karena keinginan pendirian perbankan Islam di bawa menjadi konotasi ideologis, yang berkaitan dengan konsep negara Islam, sehingga tidak dikehendaki pemerintah. 232 Selanjutnya pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang terkenal dengan sebutan Pakto 1988 yang berisi deregulasi industri perbankan di Indonesia. Melalui Pakto 1988, diberi kemudahan pembukaan kantor cabang melalui pemberitahuan kepada BI dan pendirian bank termasuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Pakto 1988 memberi sejumlah kemudahan dan keterbukaan luar biasa, bahkan memiliki peluang ke arah perdagangan bebas. 233 Berdirilah setelah memperoleh izin usaha BPRS Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatillah, pada 19 Agustus 1991, BPRS Amanah Rabaniah, pada 24 Oktober 1991, yang ketiganya beroperasi di Bandung. Kemudian berdiri BPRS Hareukat di Aceh, pada 10 Nopember 1991. 234 Puncak regulasi industri perbankan terjadi saat diberlakukan UUP 1992 yang menggantikan UUP 1967. Setelah berusia 25 tahun UUP 1967 di pandang sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. 232
Wirdyaningsih, et.al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 49. Di luar konotasi ideologis yang dikaitkan dengan pendirian negara Islam, sesungguhnya masyarakat Indonesia telah mengenal sistem bagi hasil, khususnya untuk transaksi yang berkaitan dengan tanah. B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 94. Prinsip bagi hasil ini tidak terimplikasi pada operasional bank, karena yang di kenal sampai saat ini adalah sistem perbankan warisan penjajahan yang mempergunakan sistem bunga. 233 Widjanarto, Op. Cit., hlm. 32. 234 Wirdyaningsih, et.al., Op. Cit., hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan perekonomian senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan yang semakin luas, harus diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya kepada masyarakat. 235 Eksistensi perbankan syariah mendapat tempat dalam UUP 1992 dengan mengintrodusir sebutan bank berdasarkan prinsip bagi hasil. UUP 1992 secara formal memberi legitimasi yuridis atas eksistensi perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional. Undang-undang ini menjadi landasan sebagai titik tolak perkembangan bank Islam di Indonesia. 236 Secara teknis, istilah bank syariah atau bank Islam tidak terlihat secara jelas dalam UUP 1992, melainkan undang-undang ini memakai istilah ”prinsip bagi hasil” untuk menunjukkan kegiatan bank syariah. 237 UUP 1992 belum mengakomodasi semua kegiatan atau produk bank syariah, kecuali hanya produk berdasarkan prinsip bagi hasil, yang sesungguhnya baru merupakan salah satu pola produk bank syariah. Selain bagi hasil, bank syariah 235
Konsideran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, bagian ‘Menimbang’, huruf c dan d. Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking…. Op. Cit., hlm. 105. Sebagaimana diketahui, undang-undang perbankan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun1967, belum memberi tempat bagi operasional perbankan syariah di Indonesia. Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992, maka ketentuan perbankan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 dan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perbankan lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Lihat Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (LNRI Tahun 1992 Nomor 31 dan TLNRI Nomor 3472). 237 Menurut Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat diberi kemungkinan untuk melakukan kegiatan usaha berupa penyediaan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) tersebut, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah ini, bersama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998, serta Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat menjadi peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, dikatakan bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Pada penjelasan pasal ini disebutkan, bahwa yang dimaksudkan dengan prinsip bagi hasil ini adalah prinsip muamalat berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank. 236
Universitas Sumatera Utara
juga menggunakan pola lain dalam produknya, yakni pola titipan, pinjaman, jual beli, sewa, dan pola lain yang dibenarkan secara syariah. Akibat pengaturan bank syariah disatukan bersama bank konvensional, kondisi ini membawa bank syariah harus tunduk pada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Akibatnya, manajemen bank syariah cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional yang ’disyariahkan’ dengan variasi produk yang terbatas. 238 Masyarakat yang bermotivasi keuntungan dari bank syariah, mereka menggunakan parameter konvensional, dan masih memandang bank syariah sebagai lembaga charity. 239 Perkembangan berikut, UUP 1992 diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP 1998). Berbeda dengan UUP 1992 yang memakai istilah “prinsip bagi hasil” untuk pengakuan atas perbankan syariah, UUP 1998 tentang Perubahan atas UUP 1992 telah mengubah term bagi hasil menjadi ”berdasarkan prinsip syariah.” 240 Dengan perubahan paradigma di muka, UUP 1998 telah mengintrodusir semua produk bank berdasarkan prinsip syariah, yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau
238
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 1999), hlm. 212. 239 Ibid., hlm. 210. 240 Dengan perubahan ini, bunyi Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang semula memakai istilah ”prinsip bagi hasil” diubah menjadi “berdasarkan prinsip syariah”. Peraturan pelaksana dari bank berdasarkan prinsip syariah, yang sebelumnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan untuk itu telah dikeluarkan Surat Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Syariah dan Nomor 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina). 241 Perubahan yang dibawa UUP 1998, telah memperkokoh dan mengakui secara lebih tegas keberadaan bank syariah yang melakukan kegiatan penyediaan pembiayaan dan usaha lain berdasarkan prinsip syariah. 242 UUP 1998 tidak mengadakan perubahan total terhadap UUP 1992, melainkan hanya terhadap beberapa pasal penting yang menyangkut dua aspek. Pertama, menyangkut penguatan kewenangan Bank Indonesia (BI) untuk memberi izin usaha, persyaratan dan tata cara pendirian bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Selama ini kewenangan itu berada di tangan Menteri Keuangan. Kedua, semakin di akomodasi sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional, dengan mengubah istilah ”prinsip bagi hasil” menjadi ”berdasarkan prinsip syariah” yang lebih berkonotasi sesuai dengan hukum Islam. 243 UUP 1998, telah membawa perubahan dari ketentuan sebelumnya, yakni membenarkan Bank Umum Konvensional membuka double window, yaitu conventional window dan Islamic window, namun tidak boleh mencampurkan kedua
241
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Undang-undang perbankan ini dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaan berupa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu Nomor 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, Nomor 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan Nomor 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasrkan Prinsip Syariah. 242 Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah memberi rumus atas makna prinsip syariah, sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 243 Muslimin, Op. Cit., hlm. 152.
Universitas Sumatera Utara
window itu dalam satu kantor cabang bank konvensional bersangkutan. 244 Sejak itu, Indonesia menganut dual banking system mengikuti langkah Malaysia yang telah lebih dulu menganut dual banking system melalui Islamic Banking Act yang mulai berlaku 1 April 1973. 245 Sementara bagi Bank Perkreditan Rakyat hanya boleh mempunyai single window saja. 246 Sebelumnya, berlaku prinsip ekslusivitas, yaitu bagi bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah semata-mata hanya untuk melakukan kegiatan berdasarkan syariah. 247 Tujuan yang hendak dicapai dari dual banking system dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah agar sistem perbankan syariah dan konvensional secara sinergis dapat mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas guna meningkatkan kemampuan perbankan memberikan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. 248
244
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam....Op. Cit., hlm. 126. Ketentuan yang memperkenankan membuka sistem double window hanya berlaku untuk Bank Umum Konvensional. Sebaliknya, Bank Umum yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak dibenarkan sama sekali untuk membuka double window, sekalipun dilakukan oleh Kantor Cabang khusus sebagaimana yang diperkenankan bagi Bank Umum Konvensional. Dengan demikian, terdapat perlakuan yang tidak sama antara Bank Umum Konvensional dengan Bank Umum Syariah terhadap penerapan double window tersebut. 245 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010), hlm. 87. 246 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998), Buku Kesatu¸PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.126. Dengan cara bagaimana pun bagi Bank Perkreditan Rakyat sama sekali tidak terbuka peluang untuk melakukan secara bersamaan kegiatan usaha perbankan konvensional dan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Artinya, bagi Bank Perkreditan Rakyat tidak dimungkinkan untuk melakukan kedua jenis kegiatan usaha perbankan itu secara bersama-sama, sekalipun dilakukan oleh Cabang secara khusus. 247 Ibid., hlm. 172. Menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak dibenarkan melakukan kegiatan rangkap sekaligus dengan kegiatan usaha konvensional yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula sebaliknya, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat Konvensional dilarang sekaligus melakukan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan ketentuan ini, berlaku prinsip ekslusivitas, yaitu bagi bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah, semata-mata hanya untuk melakukan kegiatan berdasarkan syariah saja. 248 Bank Indonesia, Sekilar Perbankan Syariah Di Indonesia, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ diakses 25 Agustus 2012.
Universitas Sumatera Utara
Menyikapi
perkembangan
masyarakat
yang
menyambut
keberadaan
perbankan syariah dan untuk lebih menumbuhkembangkan serta meningkatkan peranannya pada perekonomian nasional, UUP 1998 mengadakan perubahan atas UUP 1992 dengan memberi kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum Konvensional untuk memberi pelayanan syariah dengan pembukaan Islamic windows melalui pendirian UUS pada kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Sejak itu, dianut dual banking system yang menyandingkan sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. 249 Pelayanan syariah oleh Bank Umum Konvensional semakin dipermudah berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/3/PBI/2006 yang mengintrodusir konsep office channeling. Konsep office channeling merupakan aplikasi layanan syariah dengan memperkenankan bank konvensional yang telah memiliki UUS untuk membuka gerai atau counter syariah di kantor cabang atau di bawah kantor cabang bank konvensional, untuk dan atas nama kantor cabang syariah pada bank yang sama
249
Perubahan Pasal 6 huruf m oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi pintu masuk bagi Bank Umum Konvensional untuk memiliki Islamic windows melalui pembentukan Unit Usaha Syariah. Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai perkenan Bank Umum Konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah terdapat dalam PBI No. 4/1/PBI/2002 yang kemudian diubah oleh PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional. Ketentuan PBI ini kemudian diubah lagi melalui PBI No. 9/7/PBI/2007 dan selanjutnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya PBI No. 11/15/PBI/2009 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah. Pada 2009 terbit PBI No. 11/10/PBI /2009 tentang Unit Usaha Syariah.
Universitas Sumatera Utara
dalam kegiatan penghimpunan dana. 250 Kebijakan ini tentu akan memberi penghematan keuangan bank, sebab bank tidak lagi memerlukan infrastruktur baru, seperti gedung, alat kantor, karyawan, dan teknologi informasi. 251 Regulasi yang memperkuat eksistensi perbankan syariah terus bergulir. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI 1999), seperti diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (UUBI 2004) yang memberi kewenangan bagi BI untuk melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah yang pelaksanaannya ditetapkan dengan PBI. Bank Indonesia telah diamanahkan oleh UUBI 1999
dengan perubahannya, untuk mempersiapkan
peraturan guna mendukung operasional bank syariah. Untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek BI dalam fungsinya sebagai the lender of the last resort dapat memberikan bantuan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank syariah untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari. Atas bantuan pembiayaan dari BI, bank syariah wajib memberi jaminan sebagai agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah pembiayaan yang diterima. Berdasarkan ketentuan tersebut, BI bertindak selaku pengatur, pembina dan pengawas, tidak saja buat bank konvensional malainkan juga bagi bank syariah. 252 Penting disampaikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK), fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan 250
Isriani Hardini dan Muh. H. Giharto, Kamus Perbankan Syariah, (Bandung: Marja, 2007),
hlm. 93 251
Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 6. 252 Pasal 8, 10, dan 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, kemudian di ubah UndangiUndang Nomor 3 Tahun 2004 yang kemudian untuk kedua kali di ubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang selanjutnya ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, baik konvensional dan syariah, sejak tanggal 31 Desember 2013 beralih dari BI ke OJK. 253 Pada dasarnya UUOJK memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari institusi yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan terhadap jenis produk, cakupan dan batas kegiatan serta ketentuan menyangkut transaksi jasa keuangan, diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu undang-undang perbankan, pasar modal, usaha perasuransian, dana pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan. 254 Sejak UUOJK diundangkan hingga beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang, tanggal 31 Desember 2013, BI tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, dan atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang tersebut BI menyampaikan laporan kepada OJK. 255 Di masa mendatang kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, termasuk perbankan syariah berada pada OJK. 256 Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUOJK, tujuan pembentukan OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
253 254
Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 216-
217. 255
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. (Pasal 1 angka 1 UUOJK. 256
Universitas Sumatera Utara
secara berkelanjutan dan stabil; dan c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 257 Meskipun UUP 1992 sebagaimana kemudian diubah dengan UUP 1998 telah memberi pengaturan terhadap perbankan konvensional dan perbankan syariah, yang menganut dual banking system, namun masih dianggap belum memadai, karena masing-masing sistem perbankan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbankan syariah sebagai bagian dalam sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan konstribusi maksimal bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung dimaksud adalah perlu pengaturan yang memadai sesuai dengan karakteristiknya. Pembentukan undang-undang perbankan syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi pengembangan lembaga keuangan perbankan syariah. Karena itu, dipandang perlu mengatur masalah perbankan syariah dalam undang-undang tersendiri, dan untuk memenuhi keinginan itu, disahkan UUPS 2008. 258 Kelahiran UUPS 2008 semakin
257
Pengaturan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang OJK disebut secara rinci pada Pasal 5-9
UUOJK. 258
UUPS mengartikan ”Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008). Kelahiran UUPS 2008 didahului dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UUSBSN) yang disebut Sukuk Negara (LNRI Tahun 2008 No. 70, TLNRI No. 4852). UUSBSN menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk menerbitkan obligasi negara berbasis syariah atau sukuk. Perlu dicatat, penggunaan frasa perbankan syariah dalam UUPS 2008 adalah khas Indonesia, yang secara internasional dikenal dengan istilah perbankan Islam (Islamic Banking). Tidak dipakainya isitilah perbankan Islam adalah unruk menghindari kekhawatiran dan kecurigaan golongan tertentu dari ide menghidupkan negara Islam sebagai realisasi Piagam Jakarta. Ketakutan ini sesungguhnya sangat berlebihan, karena pendirian bank Islam tidak pernah terkait dengan keberadaan negara Islam, melainkan menjadi alternatif dari bank konvensional yang diakui berbagai negara, termasuk negara Barat yang non-muslim. M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam Di Bidang Ekonomi”, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. XXI. Perhatikan pula Sutan Remy Sjahdeini, “Perbankan Syariah Suatu Alternatif Kebutuhan Pembiayaan Masyarakat”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 20, Agustus-September, 2002), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
memberi kepastian hukum yang memperkuat dan memperjelas kelembagaan maupun operasional perbankan syariah, sehingga memiliki potensi yang kuat untuk mampu bersaing dengan bank konvensional. Dari konsiderans diketahui beberapa dasar pertimbangan mengenai perlunya keberadaan perbankan syariah diatur secara khusus dalam undang-undang sendiri yang terpisah dari undang-undang perbankan sebelumnya, yaitu: a) Pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam UUP 1992 sebagaimana kemudian diubah dengan UUP 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri; b). Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, sehingga pengaturan dan pengelolaan perlu diatur secara khusus; c) Kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat. 259 Kehadiran UUPS 2008 mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah secara spesifik, serta memperkuat kedudukan bank syariah dalam tata hukum perbankan Indonesia. UUPS 2008 tidak saja mengakui secara tegas eksistensi perbankan syariah, namun juga memerinci produk dan jasa serta pola operasional
259
Dalam Penjelasan Umum, alinea keempat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dijelaskan juga, bahwa perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut diantaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan undang-undang ini menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan perbankan berdasarkan prinsip syariah dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat. Penjelasan tersebut menunjukkan betapa keberadaan perbankan syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, perlu diatur dalam undang-undang tersendiri, karena kekhususan dan karakteristik operasionalnya yang berbeda dengan perbankan konvensional..
Universitas Sumatera Utara
perbankan syariah yang memenuhi prinsip syariah. 260 Selain menjalankan fungsi sebagai intermediary, perbankan syariah juga melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lain dan menyalurkan kepada organisasi pengelola zakat. Perbankan syariah juga menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkan kepada pengelola wakaf (nazir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). 261 Dengan demikian perbankan syariah sekaligus melaksanakan fungsi pengelolaan dana berdasarkan trust, yang diberi kepercayaan oleh masyarakat dalam pengelolaannya berdasarkan prinsip syariah. UUPS 2008 memberi makna prinsip syariah sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 262 Dibandingkan dengan UUP 1998, pengertian prinsip syariah menurut UUP 2008 lebih menekankan pada penetapan syariah yang dilakukan melalui fatwa. Setiap produk harus di legitimasi lebih dulu kesesuaian syariahnya melalui fatwa untuk selanjutnya dijadikan sebagai kegiatan usaha perbankan syariah. Perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang mengeluarkan produk halal yang bebas dari unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
260
Pengaturan secara khusus ini juga untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah, prinsip kesehatan bank bagi Bank Syariah, dan yang tidak kalah pentingnya diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri. Selain itu juga untuk memberi kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan jasa dan produk Bank Syariah. Lihat Penjelasan Umum, alinea kesembilan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. 261 UUPS 2008 Pasal 4 ayat (2) dan (3). 262 Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa dalam penetapan hukum Islam di bidang perbankan di maksud adalah yang dikeluarkan DSN-MUI. DSN di bentuk oleh MUI dengan tugas dan wewenang untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha perbankan syariah dengan prinsip syariah. 263 Kesesuaian dengan syariah melalui fatwa DSN-MUI perlu dilakukan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap produk perbankan syariah yang bebas dari unsur riba dan tidak melanggar ketentuan hukum Islam yang membedakannya dengan perbankan konvensional. Secara kelembagaan DSN berada di bawah struktur MUI bukan pada struktur Bank Sentral (BI). Ma’ruf Amin menyatakan, DSN harus tetap berada di bawah struktur MUI, mengingat peran MUI sangat strategis dalam menjembatani kepentingan hubungan antara bank syariah dengan masyarakat muslim maupun dengan lembaga legislatif dan eksekutif. 264
263
Tugas pokok DSN paling tidak ada empat, yaitu: 1. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan khususnya. 2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan. 3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. 4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Sedang kewenangan DSN meliputi: 1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. 3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah. 4. Memberikan saran pengembangan lembaga keuangan syariah kepada Direksi dan/atau Komisaris mengenai operasional lembaga keuangan syariah yang bersangkutan. 5. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri. 6. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN. 7. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. K.H. Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Islam, (Jakarta: LeKAS, 2007), hlm. 237238. 264 K.H. Ma’ruf Amin, Ibid., hlm. 236. Secara spesifik ma’ruf Amin mengemukakan tiga alasan, mengapa DSN harus tetap berada di bawah struktur MUI, yaitu: 1. Bank syariah masih membutuhkan dukungan masyarakat muslim. 2. Bank syariah masih harus berjuang keras untuk berkompetisi dengan bank konvensional. 3. Bank syariah masih sangat membutuhkan dukungan politis, baik dari legislatif maupun eksekutif. Sebagai bandingan, di Malaysia dan Sudan, dewan semacam DSN yang disebut National Syariah Advisory Council on Islamic Banking and Takaful
Universitas Sumatera Utara
Perbankan syariah dituntut untuk meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah yang sesuai dengan fatwa DSN-MUI dalam berbagai produk kegiatan usaha yang ditawarkan kepada masyarakat. Untuk mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di lingkungan perbankan syariah, diatur kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada MUI yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus di bentuk pada masing-masing BUS dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam PBI, pada internal BI di bentuk komite perbankan syariah, dengan keanggotaan terdiri atas perwakilan dari BI, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi berimbang. 265 Apabila terjadi pelanggaran syariah compliance dalam praktik perbankan syariah, DSN tidak dapat secara langsung mengeksekusi penyimpangan dimaksud, melainkan melaporkannya kepada BI (OJK). Atas laporan itu, BI melakukan pemeriksaan dan akan mengambil tindakan bila terbukti bersalah sesuai peraturan yang berlaku. Di Malaysia, bila terjadi penyimpangan, National Syariah Advisory Council (NSAC) mempunyai kekuatan eksekusi terhadap bank Islam, karena kedudukannya berada di bawah Bank Sentral. 266 Tiap bank yang menawarkan keuangan secara Islam, mempunyai Dewan Syariah, yang pendapatnya dibutuhkan mengenai perjanjian keuangan dan instrumen moneter yang rumit. Peran dewan syariah adalah bila suatu masalah yang secara khusus tidak disebutkan dalam kitab suci Alquran atau dalam ajaran Nabi
(NSAC - Malaysia) dan Shariah Supervisory Board (SSB – Sudan) berada di bawah struktur Bank Sentral. 265 UUPS 2008, Penjelasan Umum, alinea keenam. 266 Wirdyaningsih, et.al., Bank .... Op. Cit., hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
Muhammad, maka penafsiran-penafsirannya dibuat oleh dewan syariah. 267 Untuk menyesuaikan dengan aturan-aturan Islam yang berkedudukan kuat dalam setiap perilaku investasi termasuk berbagai aktivitas perbankan syariah, menurut Lewis dan Algaoud harus senantiasa memperhatikan landasan lima segi relijius sebagai elemen pentingnya, yaitu: pertama, riba dilarang dalam semua transaksi; kedua, bisnis dan investasi dijalankan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang halal; ketiga, transaksi harus bebas dari unsur gharar (spekulasi atau ketidakpastian yang tidak masuk akal); keempat, zakat harus dibayar oleh bank untuk dimanfaatkan masyarakat; kelima, semua aktivitas harus sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dengan dewan syariah khusus bertindak sebagai penyelia dan memberikan nasihat kepada bank mengenai kepatutan suatu transaksi. 268 Dari keseluruhan elemen di atas, riba merupakan sentralnya, sebagaimana dikemukakan pada uraian di muka. Pembiayaan Islam sebagaimana hukum perniagaan Islam secara umum di dominasi oleh doktrin tentang riba.269 Permasalahan riba terutama dikaitkan dengan bunga (interest) melalui aktivitas lembaga keuangan perbankan, sudah lama menjadi topik yang seakan tidak menemukan kata akhir. Sebagian menolak keberadaan bunga secara mutlak, karena
267
Heri Sudarsono dan Hendi Yogi Prabowo, Istilah-Istilah Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 19. 268 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm. 55 dan 48. 269 Dalam salah satu ayat Alquran dikatakan: ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka keka di dalamnya” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275).
Universitas Sumatera Utara
dipandang sama dengan riba yang tak ada keraguan tentang keharamannya, dan sebagian ada yang membolehkan dan mempraktikkan tanpa toleransi. Selain kedua pandangan tersebut, tidak sedikit pula yang masih ragu akan keberadaan bunga bank, apakah halal, atau haram atau syubhat. MUI melalui fatwa Nomor 1 Tahun 2004, tanggal 24 Januari 2004 telah menetapkan hukum bunga adalah haram. 270 Uraian terdahulu memperlihatkan, peraturan yang mengatur perbankan nasional saat ini, disamping terdapat dalam UUP 1992 sebagaimana telah diubah dengan UUP 1998, yang mengatur perbankan umumnya, juga terdapat dalam UUPS 2008, yang memuat aturan khusus mengenai perbankan syariah. 271 Disebabkan berbeda karakter dengan bank konvensional, 272 perbankan syariah mendapat
270
Dalam konteks Indonesia, informasi lengkap mengenai kontroversi atas hukum bunga bank ini dapat dilihat dalam Muhammad Ghafur Wibowo, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Indonesia, (Yogyakarta: Biruni Press, 2008). Lihat juga Abdul Azhim Jalal Abu Zaid, Op. Cit., hlm 445 dst. 271 Berdasarkan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, segala ketentuan mengenai perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksananya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan Syariah. Selanjutnya, Pasal 67 dan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang memuat Ketentuan Peralihan memberi ketentuan berikut: a). Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang telah memiliki izin usaha sebelumnya dinyatakan telah memperoleh izin usaha pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, dan paling lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah wajib menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang tersebut. b). Terhadap Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah dengan nilai aset telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan Unit Usaha Syariah tersebut menjadi Bank Umum Syariah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. 272 Berkaitan dengan karakter perbankan syariah yang membedakannya dengan perbankan konvensional telah banyak dilakukan pengkajian. Muhammad Syafii Antonio mengemukakan lima karakter, yaitu akad dan aspek legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, bisnis dan usaha yang dibiayai, lingkungan kerja dan corporate culture. Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 29-34. Gemala Dewi mmenulis tujuh karakter perbankan syariah yang membedakan dengan perbankan konvensional, yakni akad dan aspek legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, bisnis dan usaha yang dibiayai, lingkungan dan budaya kerja, paradigma penghimpunan dana, kegiatan operasional dan pengelolaan risiko. Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 96-109. Sementara Ridwan Nurdin menyebut lima karakter perbankan syariah, yakni akad, objek yang
Universitas Sumatera Utara
pengaturan secara khusus yang memberi pengakuan sebagai bagian penting dari sistem perbankan nasional yang berperan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Konsekwensi dari perbedaan karakter berimplikasi pada tuntutan untuk pengaturan yang terpisah antara bank syariah dengan bank konvensional. Meskipun terpisah oleh peraturan yang berbeda, namun keduanya tetap berada dalam satu sistem perbankan nasional yang berfungsi sebagai agent of development. Kedua sub sistem perbankan nasional tersebut berada dalam peta API yang penyusunannya bertujuan: 273 Pertama, terciptanya struktur perbankan yang sehat, yang mampu mendorong pembangunan nasional secara berkesinambungan. Kedua, terbentuknya industri perbankan yang memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. Ketiga, terciptanya good corporate governance. Keempat, terbentuknya sistem pengaturan dan pengawasan perbankan yang efektif dan efisien. Kelima, terwujudnya infrastruktur yang lengkap dan dapat mendukung efisiensi operasional sistem perbankan. Keenam, terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan konsumen pengguna jasa perbankan. Konsep pengembangan perbankan syariah pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan tujuan penyusunan API dengan dilengkapi nilai-nilai syariah. Meskipun terdapat perbedaan, namun sistematika yang terdapat dalam UUPS 2008 tidak terlalu jauh berbeda dengan aturan yang terdapat dalam UUP 1992 sebagaimana diubah oleh UUP 1998. Perbedaan mencolok terletak pada kegiatan usaha perbankan dibiayai, hubungan kemitraan, struktur organisasi serta corporate culture. Ridwan Nurdin, Akad-Akad Fiqh pada Perbankan Syariah di Indonesia (Sejarah, Konsep dan Perkembangannya), (Banda Aceh: PeNA, 2010), hlm. 29-39. 273 Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Publikasi+Lain/Publikasi+Lainnya/blue+print.httm, diakses 26 Agustus 2012.
Universitas Sumatera Utara
yang disesuaikan dengan prinsip syariah, keberadaan DPS dalam struktur organisasi, pengaturan mengenai tata kelola, kewajiban pengelolaan risiko, serta mekanisme penyelesaian sengketa perbankan. Beberapa materi tersebut telah diatur secara jelas keberadaannya dalam UUPS 2008. 274 Pemberlakuan
UUPS 2008 meneguhkan
eksistensi perbankan syariah dalam lingkup sistem perbankan nasional. Legalitas perbankan Islam, baik secara kelembagaan maupun jenis dan kegiatan usaha telah semakin memperkuat aktivitas perbankan syariah. Keadaan ini lebih memberi kepastian bagi masyarakat dalam berhubungan dengan bank syariah. Masyarakat telah mendapat solusi dalam penyimpanan dana maupun dalam usaha pembiayaan yang diperlukan sesuai dengan syariah yang bebas dari sistem bunga. Meminjam penahapan perbankan syariah yang dikemukakan Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung, 275 keberadaan UUP 1992 dan sebelumnya sejak pendirian Bank Muamalat Indonesia merupakan tahap pengenalan (introduction) perbankan syariah kepada masyarakat. Perubahan yang dilakukan melalui UUP 1998 dan UUBI 1999, seperti diubah dengan UUBI 2004 yang mengamanatkan agar BI mengatur, membina dan mengawas bank syariah merupakan tahap pengakuan (recognition). Kelahiran UUPS 2008 yang mengatur secara khusus perbankan syariah 274
Secara sistematik, materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terdiri atas 13 (tiga belas) bab, 16 (enam belas) bagian yang dituangkan dalam 70 (tujuh puluh) pasal, dan dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Cakupan materi yang diatur di dalamnya adalah: 1) Ketentuan Umum (Pasal 1). 2) Asas, Tujuan, dan Fungsi (Pasal 2-4). 3) Perizinan, Bentuk Badan Hukum, Anggaran Dasar, dan Kepemilikan (Pasal 517). 4). Jenis dan Kegiatan Usaha, Kelayakan Penyaluran Dana, dan Larangan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Pasal 18-26). 5) Pemegang Saham Pengendali, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi, dan Tenaga Kerja Asing (Pasal 27-33). 6) Tata Kelola, Prinsip Kehatihatian, dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syariah (Pasal 34-40). 7) Rahasia Bank (Pasal 41-49). 8) Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 50-54). 9) Penyelesaian Sengketa (55). 10) Sanksi Administratif (Pasal 56-58). 11) Ketentuan Pidana (Pasal 59-66). 12) Ketentuan Peralihan (Pasal 67-68). 13) Ketentuan Penutup (Pasal 69-70). 14) Penjelasan Umum dan Pasal demi Pasal. 275 Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung, Op. Cit., hlm. 91
Universitas Sumatera Utara
sebagai konsekwensi karakter khususnya, merupakan tahap pemurnian (purification). Dipertegas, kegiatan usaha perbankan syariah tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Tahap pemurnian menjadi tahap yang dilakukan dan diawasi secara berkesinambungan dan tahap terpenting serta terberat. Selama masyarakat belum merasakan kenyamanan dan tidak merasakan perbedaan dalam berbagai aspek dengan praktik perbankan konvensional, maka upaya perbankan syariah menuju pemurnian yang menyeluruh (kaffah) belum selesai dan harus dilakukan secara terus menerus. 276 UUPS 2008 memuat beberapa materi penting yang perlu diperhatikan sebagai dasar keberadaannya. Pertama, perbankan syariah di Indonesia, berperan sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. 277 Kedua, memberi dan menjamin kepastian hukum bagi stakeholders sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional perbankan syariah. Kegiatan usaha yang dilakukan perbankan syariah tidak mengandung riba, maisir, gharar, haram, dan zalim, atau tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Tidak bertentangan dengan prinsip syariah dikaitkan dengan jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS. Ketiga, untuk menjamin kepatuhan syariah (syariah compliance), masing276
Ibid., hlm. 93. Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Perbankan konvensional juga berfungsi sebagai agent of development, yang terlihat dalam Pasal 4 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. 277
Universitas Sumatera Utara
masing bank syariah dan UUS berkewajiban membentuk DPS yang bertugas sebagai representasi MUI pada unit usaha syariah. Keempat, untuk menindaklanjuti implementasi fatwa MUI ke dalam PBI, di dalam internal BI di bentuk Komite Perbankan Syariah. Kelima, memuat aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa atas perselisihan perbankan syariah, baik melalui proses peradilan agama (litigasi) maupun mekanisme di luar peradilan (non litigasi) melalui pilihan forum (choice of forum). Keenam, memberi aturan infrastruktur dan aspek-aspek yang berkaitan dengan sistem pengelolaan perbankan syariah, yakni pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas, direksi, dan tenaga kerja asing. Berkaitan dengan sistem pengelolaan, diatur mengenai tata kelola, prinsip kehatihatian, dan pengelolaan risiko perbankan syariah, termasuk rahasia bank. Ketujuh, peraturan perbankan syariah dilengkapi dengan keberadaan sanksi administratif dan ketentuan pidana. Sistem perbankan syariah yang hendak diwujudkan melalui perundangundangan adalah perbankan syariah yang modern dan universal, terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. 278 Keterbukaan sistem perbankan syariah dapat dilihat dari nasabah yang berhubungan bukan saja dari warga muslim melainkan juga non-muslim. Selain itu, dalam kepemilikan bank syariah tidak terdapat keharusan didirikan atau dimiliki oleh warga yang beragama Islam. Dengan begitu, bank syariah dari segi kepemilikan dapat diberikan kepada warga nonmuslim. Prinsip syariah yang menjadi landasan perbankan syariah tidak berhubungan dengan kepemilikan, melainkan dikaitkan dengan produk dan pola operasional atau 278
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah …. Op. Cit., hlm. 89.
Universitas Sumatera Utara
aktivitas perbankan. Bank syariah bersifat terbuka bagi semua masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia tanpa membedakan agama. 279 Demikian juga di lihat dari tujuan yang menekankan pada pelaksanaan pembangunan nasional berdimensi keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, mengindikasikan keterbukaan sistem perbankan syariah. 280 Tujuan yang dirumuskan UUPS 2008 merupakan nilai syariah yang sangat fundamental dalam pencapaian maqasid alsyariah. Artinya, keberadaan perbankan syariah ditujukan untuk mendorong pencapaian kesejahteraan manusia guna mencapai maqasid al-syariah yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kesemua ini tidak lain memuat kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang mengoperasionalkan tatanan nilai hukum Islam bidang muamalah pada berbagai produk dan aktivitas perbankan. Regulasi perbankan syariah hingga kelahiran UUPS 2008 bersumber dari hukum Islam yang diformulasikan dalam bentuk undang-undang. Materi hukum Islam terutama bidang muamalah dirumuskan menjadi hukum nasional, sehingga menjadi norma hukum yang mengikat bagi semua pihak yang berhubungan dengan perbankan syariah. Perkataan syariah yang melekat pada frase perbankan ditempatkan sebagai tatanan nilai yang dioperasionalkan dalam aktivitas perbankan syariah oleh UUPS 2008. Dikatakan, UUPS 2008 merupakan hasil transformasi fikih muamalah 279
UUPS 2008 memberi aturan, Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. Pemerintah daerah. (Pasal 9 ayat 1 UUPS 2008). Aturan ini hanya mengkaitkan kepemilikan Bank Umum Syariah dengan warga negara tanpa mengkaitkannya dengan agama Islam. 280 UUPS 2008 menyebut, perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. (Pasal 3 UUPS 2008).
Universitas Sumatera Utara
ke dalam peraturan perundang-undangan yang terdeteksi antara lain dari prinsip tauhid, keadilan, dan amr ma’ruf nahi munkar. 281 Perbankan syariah sebagai bagian dari perbankan Islam global mesti memperhatikan perkembangan dan berinterrelasi dengan berbagai institusi perbankan dan keuangan Islam internasional. Aktivitas ini dimaksudkan untuk dapat mengikuti dinamika global keuangan syariah guna diaplikasikan dalam penyusunan kebijakan nasional di bidang perbankan syariah. Pada akhirnya perbankan syariah akan menjadi lembaga keuangan syariah domestik dengan taraf internasional, dengan tetap istiqomah terhadap prinsip syariah. Gambaran di muka sesuai dengan target yang hendak dicapai bagi pengembangan sistem perbankan syariah nasional, yaitu memiliki daya saing yang tinggi dengan tetap berpegang pada nilai-nilai syariah, memiliki peran signifikan dalam sistem perekonomian nasional serta perbaikan kesejahteraan rakyat serta memiliki kemampuan untuk bersaing secara global dengan pemenuhan standar operasional keuangan internasional. 282 Pengesahan UUPS 2008 menjadi payung hukum, diharapkan membawa pertumbuhan perbankan syariah semakin kokoh dan dinamis, karena telah membawa pemurnian terhadap kinerja dan produk serta jasa yang ditransaksikan. Dinamika yang dibawa UUPS 2008 masih memerlukan beragam peraturan pelaksanaan melalui bentuk PBI. 283 Segera tersusunnya PBI dan peraturan lain dari derivasi regulasi
281
Atang Abd. Hakim, Fiqih Perbankan Syariah: Transformasi Fiqih Muamalah Ke Dalam Perundang-undangan, (Bandung Refika Aditama, 2011), hlm. 146-155. 282 Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Publikasi+Lain/Publikasi+Lainnya/blue+print.httm, diakses 26 Agustus 2012. 283 Pelaksanaan beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 masih memerlukan PBI sebagai peraturan pelaksananya. Meskipun diatur dalam pasal-pasal yang
Universitas Sumatera Utara
UUPS 2008 sebagai peraturan pelaksanaan merupakan bagian lain untuk mendorong perkembangan atau akselerasi perbankan syariah secara cepat, sehat, dan tangguh. Mengingat keberadaan dan peran perbankan begitu penting bagi kelangsungan ekonomi dan bisnis, pengesahan UUPS 2008 diharapkan mampu mendorong perkembangan bisnis syariah di Indonesia. Tak kalah penting, kesadaran umat Islam untuk menerapkan sistem ekonomi syariah akan mampu meningkatkan akselerasi kuantitas dan kualitas operasional perbankan syariah.
B. Prinsip Transaksi dan Pengelolaan Perbankan Syariah Berbagai bentuk transaksi dalam kegiatan usaha dan pengelolaan perbankan syariah, dalam pelaksanaannya didasarkan pada beberapa prinsip pokok sebagai fundamen operasional dan produk yang senantiasa perlu diperhatikan. Berbagai pandangan dikemukakan para ahli mengenai prinsip transaksi yang mesti diperhatikan dalam usaha perbankan syariah, yakni: Pertama, larangan riba atas semua jenis transaksi. Kedua, aktivitas dilaksanakan atas dasar kesetaraan (equality). Ketiga, keadilan (fairness) dan keterbukaan (transparency). Keempat, pembentukan kemitraan yang saling menguntungkan. Kelima, keuntungan diperoleh dengan cara yang halal atau sah secara syariah. Keenam, mengeluarkan dan mengadministrasikan berbeda, namun beberapa persoalan yang akan diatur melalui PBI tersebut dapat dibuat dalam satu peraturan saja, dan lainnya diatur secara tersendiri. Dengan asumsi ini, maka PBI yang diperlukan, di antaranya: 1) Kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing (Pasal 9). 2) Perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (Pasal 10). 3) Izin perubahan Unit Usaha Syariah menjadi Bank Umum Syariah (Pasal 16). 4) Pembentukan komite perbankan syariah (Pasal 26). 5) Uji kememapuan dan kepatuhan terhadap calon pemegang saham pengendali Bank Syariah (Pasal 27). 6) Kepatuhan Bank Syariah (Pasal 29). 7) Uji kemampuan dan kepatuhan terhadap calon komisaris dan direski (Pasal 30). 8) Pengangkatan pejabat eksekutif (Pasal 31). 9) Pembentukan Dewan Pengawas Syariah (Pasal 32). 10) Tata kelola perbankan syariah (Pasal 34).
Universitas Sumatera Utara
zakat. Ketujuh, keridhoan para pihak dalam berkontrak. Kedelapan, pengurusan dana yang amanah, jujur, dan bertanggung jawab. Kesembilan, tolong menolong (taawun). Kesepuluh,
menghindari perbuatan menahan uang (iktinaz) dan membiarkannya
tidak produktif (idle). 284 Berbagai aktivitas transaksi produk serta jasa perbankan syariah dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah. Fundamental yang membedakan perbankan syariah dengan perbankan konvensional terletak pada prinsip syariah sebagai landasan utama yang menjiwai seluruh aktivitas, produk dan jasa perbankan syariah. Implementasi prinsip syariah berimplikasi luas terhadap kegiatan perbankan syariah, baik pada sisi penghimpunan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, maupun usaha jasa lain yang senantiasa dinyatakan sesuai dengan syariah. Nilai-nilai Islam dijadikan dasar aktivitas perbankan syariah untuk mewujudkan kehidupan perekonomian dalam menuju kesejahteraan masyarakat. Perbankan syariah meletakkan keimanan sebagai landasan kegiatan yang sekaligus menjadi built of control dari berbagai aktivitas perbankan. Dari sinilah visi-misi perbankan syariah dirancang dan dibangun dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan manusia. 285 Seluruh aktivitas transaksi dan pengelolaan perbankan syariah senantiasa harus bersesuaian dengan prinsip Islam, sehingga setiap yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam harus dibatalkan dan tidak dapat dioperasionalkan.
284
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. Cit., hlm. 23; Jafril Khalil, “Prinsip Syariah Dalam Perbankan”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, (Vol. 20, AgustusSeptember, 2002), hlm. 47-48; Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Azkia, 2009), hlm. 15; Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 86. 285 Fathurrahman Djamil, “Urgensi Undang-Undang Perbankan Syariah Di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 20, Agustus-September, 2002), hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
Penghapusan riba merupakan pembeda signifikan perbankan syariah dengan perbankan konvensional dengan menerapkan pola bagi hasil (profit and loss sharing) sebagai penggantinya yang sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan skema mudharabah dan syirkah (musyarakah) yang keduanya dipandang sebagai kontrak kepercayaan (uqud al-amanah). 286 Tabel 1: Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil 287 BUNGA a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh nasabah untung atau rugi. d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam
BAGI HASIL a. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. c. Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. e. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Pembeda lain terletak pada usaha yang dilakukan, perbankan syariah tidak semata berorientasi pada perolehan keuntungan, melainkan juga mementingkan
286 287
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 187. Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan masyarakat Islam keseluruhan, sehingga perbankan syariah dipandang menjadi bank universal atau serbaguna (multi-purpose) daripada bank komersial murni. 288 Perbankan syariah selain melakukan kegiatan komersial juga yang bersifat sosial dalam bentuk qardh al-hasan, menghimpun dan menyalurkan dana yang berasal dari zakat, sedekah dan infak masyarakat. Tabel 2: Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional 289 BANK SYARIAH 1. Hanya melakukan investasi yang halal 2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa. 3. Profit dan falah oriented, yaitu mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan 5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional 6. Memiliki Dewan Pengawas Syariah sebagai wujud sharia compliance
BANK KONVENSIONAL 1. Tidak mengkaitkan usaha atau investasi yang halal dan haram 2. Memakai perangkat bunga 3. Profit oriented
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur 5. Tidak terdapat dewan sejenis
6. Tidak terdapat dewan sejenis
Prioritas pelayanan transaksi perbankan syariah dari sisi penyaluran dana atau produk pembiayaan bervariatif, selain menekankan pada prinsip bagi hasil juga dikenal prinsip jual beli maupun sewa. Prinsip bagi hasil didasarkan pada keuntungan dan risiko yang ditanggung bersama oleh penyalur sebagai pemilik dana maupun pengusaha sebagai penerima dana. Penentuan bagi hasil ditentukan sesuai nisbah yang disepakati. Prinsip jual beli didasarkan pada margin keuntungan, dan prinsip
288 289
Merry K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm. 132. Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 34.
Universitas Sumatera Utara
sewa didasarkan pada pendapatan sewa yang disepakati bersama sejak semula. Disamping ketiga prinsip transaksi komersial tadi yang dimaksudkan untuk mendapat keuntungan (tijarah), perbankan syariah juga menyalurkan dana yang bersifat non komersial tanpa mencari keuntungan (tabarruk), semata untuk kebajikan dengan memakai prinsip pinjaman dengan pola qard al-hasan. Pada sisi penghimpunan dana, perbankan syariah menerapkan prinsip titipan atau simpanan dengan pemberian bonus kepada nasabah sesuai kehendak bank penerima simpanan. Transaksi atau hubungan hukum yang terjadi antara nasabah dengan bank syariah diikat dalam akad sesuai dengan prinsip transaksi yang dikehendaki dan disepakati. UUPS 2008 mengatur dengan menyebut prinsip-prinsip yang senantiasa harus mendapat perhatian pada pengelolaan perbankan syariah, yaitu prinsip syariah, demokrasi ekonomi, prinsip kehati-hatian. 290 Selain itu, UUPS 2008 telah menyerap dengan mewajibkan prinsip-prinsip modern perbankan untuk diterapkan pada pengelolaan perbankan syariah, terutama yang berkaitan dengan penegakan prinsip tata kelola yang baik (good governance), 291 penerapan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah, 292 prinsip kepercayaan, 293 prinsip keterbukaan, 294 dan rahasia bank. 295 Sebagaimana dikemukakan Zamir Iqbal dan 290
Berdasarkan Pasal 2 UUPS 2008, perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan pada tiga prinsip utama, yaitu: prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehatihatian. Melalui penerapan prinsip syariah, kegiatan perbankan syariah tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim. Dengan demokrasi ekonomi, kegiatan ekonomi syariah mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan. Prinsip kehati-hatian menjadi pedoman bagi perbankan syariah untuk mewujudkan perbankan yang sehar, kuat dan efisien sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 291 Pasal 34 UUPS 2008 292 Pasal 38 UUPS 2008. 293 Pasal 36 UUPS 2008 294 Pasal 39 UUPS 2008 295 Pasal 41 UUPS 2008
Universitas Sumatera Utara
Abbas Mirakhor, upaya menjelaskan prinsip-prinsip serta aturan ekonomi dan keuangan Islam dalam terminologi analitis modern baru berlangsung dua dekade belakangan ini (efforts to explain Islamic finacial and economic principles and rules in modern analytical terms are only two decades old). 296 Prinsip-prinsip transaksi dan pengelolaan perbankan syariah dimaksud menjadi ulasan berikut.
Prinsip Syariah (Shariah principle) Prinsip syariah dicantumkan secara jelas dan tegas sebagai prinsip utama dalam UUPS 2008. Prinsip syariah diberi makna sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dari rumusan ini belum terlihat karakteristik prinsip syariah tersebut, terkecuali hanya mengaitkan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu. Fatwa ini berkaitan dengan kegiatan usaha perbankan syariah yang dapat dioperasionalkan setelah dikaji dan di nilai secara syariah oleh DSN-MUI. Karakteristik prinsip syariah di maksud, baru terlihat pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 UUPS 2008, yang menyebut kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim. 297 Untuk mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di
296
Zamir Iqbal & Abbas Mirakhor, An Introduction To Islamic Finance: Theory and Practice, (Singapore: John Wiley & Sons, 2007), hlm. 1. 297 UUPS 2008 memberi penjelasan atas kelima unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah dimaksud. Riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah); Maisir yaitu
Universitas Sumatera Utara
lingkungan perbankan syariah, UUPS 2008 yang khusus mengatur tentang perbankan syariah,
telah
mengatur
kepatuhan
syariah
(syariah
compliance)
yang
kewenangannya berada pada MUI yang direpresentasikan melalui DPS yang harus di bentuk pada masing-masing bank syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam PBI, di dalam internal BI di bentuk komite perbankan syariah, dengan keanggotaan terdiri atas perwakilan dari BI, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang yang berjumlah paling banyak 11 orang. Pembentukan Komite ditujukan untuk membantu BI dalam mengimplementasikan fatwa MUI dan mengembangkan perbankan syariah. Dengan tujuan tersebut, sesuai PBI No. 10/32/PBI/2008 Komite diberi tugas untuk membantu BI dalam: a) menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah; b) memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam PBI; c) melakukan pengembangan industri perbankan syariah. 298 PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 9/19/PBI/2007 yang memuat penyempurnaan ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan usaha dan operasional perbankan syariah, menandaskan kewajiban pemenuhan prinsip syariah bagi perbankan syariah. Ditegaskan bahwa pemenuhan prinsip syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; Gharar yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah; Haram yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; Zalim yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. 298 PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah, Pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maisyir, riba, zalim, dan objek haram. 299
Demokrasi Ekonomi Selain prinsip syariah, UUPS 2008 juga menetapkan demokrasi ekonomi sebagai prinsip lain bagi perbankan syariah. Demokrasi ekonomi yang di maksud adalah kegiatan ekonomi syariah termasuk perbankan syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. 300 Kegiatan usaha perbankan syariah dikaitkan dengan pelaksanaan prinsip demokrasi ekonomi berdasarkan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD-NRI tahun 1945. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, prinsip demokrasi ekonomi dapat dikembalikan kepada gagasan dasar yang tercantum dalam konstitusi, yaitu Pasal 33 dan 34 UUD 1945 pasca reformasi yang memuat ketentuan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. 301 Dengan adanya pengaturan perekonomian nasional di dalam konstitusi Republik Indonesia, dapat dikatakan UUD 1945 tidak semata-mata merupakan dokumen politik, tetapi juga dokumen ekonomi, sehingga di sebut sebagai konstitusi
299
PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Pasal 2 ayat (3). 300 Penjelasan Pasal 2 UUPS 2008. 301 Pasal 33 dan 34 UUD 1945 berada dalam Bab XIV yang sebelum diamandemen berjudul asli Kesejahteraan Sosial dan setelah diamandemen diadakan penambahan sehingga berjudul Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial. Penambahan judul ini menurut Jimly Asshiddiqie dipandang kurang tepat, karena judul asli sesungguhnya telah menggambarkan isi bab secara keseluruhan. Disamping ada penambahan judul bab, Pasal 34 juga mendapat tambahan 2 ayat sehingga setelah diamandemen Pasal 34 terdiri atas 5 ayat, sedang Pasal 34 mendapat tambahan 3 ayat, sehingga saat ini terdiri atas 4 ayat. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah ..... Op. Cit., hlm. 76-79.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi. Sebagai konstitusi ekonomi. UUD 1945 harus dipahami dan dijadikan sebagai acuan serta rujukan tertinggi dalam mengembangkan setiap kebijakan pembangunan ekonomi nasional. 302 UUPS 2008 di pandang sebagai penjabaran konstitusi ekonomi dalam mengatur perbankan syariah, dan demokrasi ekonomi ditetapkan sebagai prinsip perbankan syariah. 303 Demokrasi ekonomi melahirkan asas kekeluargaan dan kebersamaan, 304 yang secara integratif harus mendapat perhatian dalam kegiatan perbankan yang sejalan dalam pelaksanaan prinsip syariah yang disetarakan dengan saling membantu dan tolong menolong. Demokrasi ekonomi yang tersimpul sebagai substansi Pasal 33 UUD-NRI tahun 1945, 305 telah memberi tempat bagi kegiatan perekonomian berbasis kerakyatan maupun perekonomian berbasis keagamaan. Ekonomi kerakyatan terkait erat dengan gagasan demokrasi ekonomi yang tidak lain adalah paham kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. 306 Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 29 UUD-NRI tahun 1945 yang memberi kebebasan bagi setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat sesuai dengan agamanya masing-masing, telah memperkuat eksistensi perekonomian berbasis keagamaan (Islam), yang dalam bahasa agama lazim dikenal dengan ekonomi Islam (islamic economic) atau ekonomi syariah. Keadilan dan pemerataan 302
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. xi. Pasal 33 ayat (5) UUD-NRI tahun 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perekonomian nasional diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini menjadi dasar konstitusional kelahiran UUPS 2008 sebagai bagian aktivitas perekonomian nasional di bidang perbankan. 304 Sri-Edi Swasono, Pembangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi, Dan Demokrasi Politik, (Padang: Universitas Bung Hatta, 1990), hlm. 32. 305 Setelah amandemen atau perubahan keempat, ketentuan Pasal 33 bertambah menjadi 5 ayat dan ayat (4) menetapkan, perekonomian nasional diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. 306 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..... Op. Cit., hlm. 354. 303
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi prinsip perekonomian dan keuangan syariah include perbankan syariah di nilai paling sesuai dengan semangat perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 dan 34 UUD-NRI tahun 1945. 307 Ekonomi dan keuangan syariah pada dasarnya sejiwa dan sebangun dengan arah yang hendak dituju UUD-NRI tahun 1945, yang tertera pada alinea keempat Pembukaan, yakni “....mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. 308
Prinsip Kehati-hatian (prudential principle) Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UUP 1998, bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kahati-hatian (prudential principle). Ketentuan ini dipertegas kembali pada UUPS 2008 yang menetapkan kegiatan perbankan syariah wajib melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian. Berbeda dengan UUP 1998, pengaturan UUPS 2008 diikuti dengan penjelasan, prinsip kehati-hatian merupakan pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerapan prinsip kehati-hatian pada perbankan syariah ditegaskan kembali pada Pasal 35 ayat (1) UUPS 2008, “bank syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.” Penerapan prinsip kehati-hatian perlu untuk menjamin terlaksananya pengambilan keputusan pengelolaan bank yang antara lain di dukung dengan penerapan sistem 307
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi Dan Keuangan Islam, (Jakarta: Kholam Publishing, 2008), hlm. 348. Amin Suma mengemukakan, prinsip atau asas utama ekonomi dan keuangan Islam yang paling mendasar terletak pada asas keadilan dan pemerataan. Kedua asas ini didasarkan diantaranya pada Q.S. al-Hadid (57): 25 untuk asas keadilan dan Q.S. alHasyr (59): 7 untuk asas pemerataan. 308 Ibid., hlm. 358.
Universitas Sumatera Utara
pengawasan intern. Prinsip kehati-hatian harus menjadi perhaian utama dalam manajemen pembiayaan. 309 Mengabaikan prinsip kehati-hatian akan berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan yang senantiasa harus dijaga agar tidak menimbulkan pembiayaan bermasalah. Bila timbul pembiayaan bermasalah akan mempengaruhi tidak saja pada pendapatan perbankan syariah, bahkan dapat membawa kerugian, karena dana bank yang telah disalurkan untuk aktivitas pembiayaan tidak terbayar kembali. Pelaksanaan prinsip kehati-hatian pada perbankan syariah juga berkaitan dengan penilaian terhadap jenis usaha yang hendak diberi dana pembiayaan. Harus dihindari jenis pembiayaan yang tidak sesuai dengan syariat Islam atau untuk tujuantujuan yang dilarang syariah. Dihindari juga pembiayaan yang diberikan tanpa informasi keuangan yang memadai, dan pembiayaan yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki bank serta pembiayaan kepada pengusaha yang bermasalah. 310 Demikian pula terhadap pembiayaan yang fiktif dan yang diperuntukkan bagi usaha perjudian, prostitusi, dan pembiayaan lain yang bertentangan dengan prinsip syariah harus dihindari oleh perbankan syariah. 311 Ketentuan normatif yang mewajibkan perbankan syariah menerapkan prinsip kehati-hatian berkaitan dengan rambu-rambu kesehatan perbankan yang bertujuan 309
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen.... Op. Cit., hlm. 244. Ibid., hlm. 246. 311 Muhammad Syafii Antonio mengemukakan beberapa hal pokok yang perlu diperhitungkan dalam analisis pembiayaan. Perbankan syariah tidak akan menyetujui suatu pembiayaan sebelum dipastikan: 1) Apakah objek pembiayaan halal atau haram. 2) Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat. 3) Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila. 4) Apakah proyek berkaitan dengan perjudian. 5) Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senajata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal. 6) Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Muhammad Syafii Antonio, Bank Syraiah...... Op. Cit., hlm. 33-34. 310
Universitas Sumatera Utara
agar bank sebagai financial intermediary institution senantiasa harus dalam keadaan sehat. 312 Secara eksplisit UUPS 2008 menentukan, bank syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap prinsip syariah dan prinsip manajemen Islami serta aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank syariah dan UUS. 313 Pengenaan agunan (colateral) sebagai salah satu unsur analisis kelayakan atas fasilitas pembiayaan yang diberikan perbankan syariah kepada nasabah pada dasarnya adalah untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian. 314 Prudential principle dapat dipahami melalui Pasal 8 ayat (1) UUP 1998 yang menyebut, dalam memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan, serta kesanggupan nasabah penerima dana untuk mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Sebelum menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas, perbankan syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya. Untuk memperoleh keyakinan itu, perbankan syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap 312
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam ...., Op. Cit., hlm. 171. Pasal 51 ayat (1) UUPS 2008. Perhatikan pula Pasal 29 ayat (2) UUP 1992 sebagaimana telah diubah dengan UUP 1998. 314 Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa ...., Op. Cit., hlm. 24. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas (Pasal 1 butir 26 UUPS 2008). Dengan demikian, agunan diperlukan sebagai jaminan atas fasilitas pembiayaan yang diberikan perbankan syariah kepada nasabah. Apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah. 313
Universitas Sumatera Utara
watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas (condition of economy). 315 Penilaian seksama atas kelima unsur kelayakan untuk menganalisis pembiayaan yang akan diberikan bank kepada nasabah merupakan perwujudan pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Menerapkan prinsip kehati-hatian secara tidak langsung berarti memelihara kepercayaan yang diberikan nasabah kepada bank. 316 Penegakan prinsip kehati-hatian dilakukan dalam rangka menjamin keamanan dana masyarakat yang pada gilirannya akan berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah. 317
Tata Kelola yang Baik (Good Governance) Hakikat tata kelola (governance) berkaitan dengan proses pengelolaan atau pengurusan organisasi atau institusi. Sebagai terminologi umum, governance dapat dipergunakan pada berbagai bentuk organisasi, baik bagi institusi publik maupun privat. Organisasi yang dikelola selaras dengan tujuan didirikannya organisasi itu sendiri. 318 Sesuai ketentuan Pasal 34 UUPS 2008, Bank Syariah dan UUS dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib menerapkan tata kelola yang baik dengan cakupan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran. Seterusnya. PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah 315
Pasal 23 UUPS 2008. Nindyo Pramono, Op. Cit., hlm. 245. 317 Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 69. 318 Wahyu Kurniawan, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2012), hlm. 19 316
Universitas Sumatera Utara
menetapkan bank wajib melaksanakan Good Corporate Governance (GCG) dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan organisasi. Kewajiban ini berimplikasi
pada
penerapan
prinsip-prinsip
keterbukaan
(transparency),
akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), profesional (professional), dan kewajaran (fairness) dalam seluruh aktivitas perbankan syariah. 319 UUPS 2008 memberi dukungan dengan memberi pengaturan yang tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip GCG. Kelima prinsip GCG yang dikemukakan dalam PBI tersebut harus diterapkan mengingat fungsi utama perbankan syariah sebagai intermediasi yang memobilisasi dana masyarakat dan menyalurkan kepada pengguna dalam bentuk pembiayaan atau investasi yang efektif dan efisien. 320 Penerapan GCG secara efektif sangat diperlukan dalam pengembangan sistem keuangan Islam, tujuannya adalah untuk memenuhi kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholders) secara adil. 321 Umer Chapra dan Habib Ahmed mengatakan, pemikiran dan kepercayaan yang kuat akan keadilan sistem ekonomi Islam,
patutlah
menjadi
landasan
untuk
mengangkat
ukuran-ukuran
yang
319
Pemaknaan atas kelima prinsip GCG dirujuk pada PBI No/ 8/4/ PBI/2006 sebagaimana diubah dengan PBI No. 8/14/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi bank umum. 1) Transparansi (transparancy) yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. 2) Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. 3) Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. 4) Profesional (professional) yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak objektif dan bebas dari pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. 5) Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku. 320 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009), hlm. 153. 321 Pada konsiderans bagian Menimbang huruf c PBI No. 11/33/PBI/2009 menyebut, bahwa pelaksanaan GCG merupakan salah satu upaya untuk melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum pada industri perbankan syariah.
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan berfungsinya sistem keuangan dalam menjaga kepentingan semua stakeholders. 322
GCG menjadi lebih penting bagi lembaga keuangan Islam
disebabkan ada tambahan risiko bagi deposan sebagai akibat adanya konsep berbagi risiko (risk sharing). 323 Pengelolaan bank syariah penting diformulasikan sejalan dengan prinsip-prinsip GCG agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong fungsi utama bank berjalan baik, sekeligus menjaga kepercayaan masyarakat yang menghimpun dana melalui perbankan. Penyaluran kredit atau pembiayaan pada perbankan syariah harus didasarkan pada prinsip-prinsip GCG, sehingga penyaluran dana melalui pembiayaan menjadi stabil dan terpercaya, sekaligus mampu mencegah timbul risiko yang berlebihan. 324 Dengan demikian, kerjasama
bank syariah,
regulator dan fuqaha, harus diimbangi dengan mengadopsi berbagai prinsip GCG sebagai kewajiban dalam berbagai pola operasional yang dilakukan perbankan syariah. Pandangan yang demikian, dapat membantu peningkatan peran dan akselerasi pertumbuhan lembaga keuangan Islam termasuk perbankan syariah. Penegakan GCG merupakan wujud tanggungjawab kepada masyarakat, bahwa bank syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati (prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder’s value) tanpa mengabaikan kepentingan
stakeholders lain. 325 Sistem tata kelola (governance)
322
M. Umar Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 13. Lewis dan Algaoud, menunjuk para stakeholders utama dalam perbankan Islam, yaitu pemegang saham, kreditur pemegang rekening lancar, pemegang rekening investasi mudharabah, komunitas Islam, karyawan, dan mitra dana musyarakah. Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Op. Cit. hlm. 216. 323 Ibid., hlm. 117. 324 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan ....., Op. Cit., hlm. 158. 325 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 173.
Universitas Sumatera Utara
perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional yang berbasis bunga. Perbankan syariah wajib menaati ketentuan hukum Islam dalam pemberian modal berdasarkan skema profit and loss sharing (PLS) atau melalui pembiayaan lain yang halal. Pelaksanaan GCG pada perbankan syariah meliputi kepatuhan pada ketentuan peraturan dan prinsip syariah (sharia complience), 326 sehingga komponen penting dalam corporate governance bank Islam menurut Lewis dan Algaoud adalah Dewan Penyelia Syariah (DPS) dan kontrol-kontrol internal lainnya. 327 DPS merupakan dewan yang bertugas memberi nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Tugas dan tanggung jawab DPS meliputi: Pertama, menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank. Kedua, mengawasi proses pengembangan produk baru bank. Ketiga, meminta fatwa kepada DSN untuk produk baru bank yang belum ada fatwanya. Keempat, melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syuariah terhadap mekanisme penghimpunan dan penyaluran
326
Irma Aulia R. Kasri dan Niki Lukviarman, “Governance And Corporate Disclosure: A Study In Bank Muamalat Indonesia And Bank Syariah Mandiri”, dalam Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution (Eds.), Current Issues Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 170. Dikatakan, dalam konteks bank syariah corporate governance harus meliputi: a) Sebuah kumpulan dari kesiapan organisasi di mana ada keselarasan tindakan manajemen dari bank syariah, sejauh yang dimungkinkan yang sejalan dengan keinginan stakeholders. b) Penyediaan insentif yang sesuai untuk organ-organ dari governance seperti Dewan Direktur, Dewan Syariah, dan Manajemen untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan keinginan stakeholders dan memfasilitasi monitoring yang efektif yang akan mendorong bank syariah untuk menggunakan sumber dayanya dengan lebih efektif. c) Kepatuhan dengan peraturan dan prinsip-prinsip syariah. 327 Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Op. Cit. hlm. 221. Dikemukakan Lewis dan Algaoud, DPS penting karena dua alasan. 1) masyarakat yang berurusan dengan bank Islam memerlukan jaminan atas operasi bank yang sesuai dengan hukum Islam. Sekiranya DPS melaporkan, manajemen bank telah melanggar syariah, tentu bank akan kehilangan kepercayaan dari investor dan nasabahnya. 2) penerapan prinsip syariah yang tegas akan meminimalisasi problem insentif. Kaum muslim meyakini adanya akhirat, yang jujur akan diberi ganjaran dan yang dusta akan di siksa.
Universitas Sumatera Utara
dana serta pelayanan jasa bank. Kelima, meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dan satuan kerja bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 328 Dengan demikian, penegakan prinsip-prinsip GCG pada perbankan syariah akan bisa menjaga keseimbangan kepentingan shareholders dan stakeholders dengan mengacu pada peraturan yang berlaku dan berjalan di bawah koridor syariah. Ketidaksesuaian tata kelola bank dengan prinsip syariah berpotensi menimbulkan berbagai risiko, terutama risiko reputasi bagi industri perbankan syariah. 329Untuk menciptakan kesehatan dan stabilitas sistem keuangan peningkatan corporate governance merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Para nasabah deposan tidak akan menyimpan dana di bank tanpa ada jaminan dana tersebut aman, mendapat return yang kompetitif, pelayanan yang prima dan kemudahan akses. Pada sisi lain, bank tidak akan menyalurkan dana kepada masyarakat tanpa ada jaminan pengembalian dengan tingkat return yang kompetitif pula. 330 Dalam konteks perbankan syariah, implementasi GCG selain di kawal oleh DSN, dan DPS juga di kawal oleh peradilan agama maupun badan arbitrase syariah. 331 Berkenaan dengan penegakan hukum tentu diarahkan kepada institusi yang memungkinkan diperoleh keadilan tanpa menimbulkan kekacauan melainkan dengan suasana yang stabil, waktu yang singkat dengan biaya relatif tidak mahal.
328
Pasal 35 PBI No..11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. perhatikan juga Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm. 234. 329 Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Op. Cit., hlm. 80 330 M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Op. Cit., hlm. 3 331 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Op. Cit., hlm. 180.
Universitas Sumatera Utara
Manajemen Risiko (risk management) Meski perbankan syariah berusaha memperoleh keuntungan, namun secara bersamaan harus juga memperhatikan kemungkinan terjadi risiko yang menyertai berbagai aktivitasnya. Risiko selalu ada dalam setiap sistem keuangan, tak terkecuali dalam sistem keuangan Islam. Risiko selalu diasosiasikan dengan fiduciary money, fluktuasi harga, kegagalan bayar atau pengembalian pembiayaan, kesalahan operasional, bencana alam atau karena human error. Selain itu, sistem keuangan Islam juga mengandung risiko yang timbul dari penerapan prinsip Profit and Lose Sharing (PLS) yang menjadi salah satu kekhasan sistem keuangan Islam. 332 Penyaluran dana yang diberikan perbankan syariah melalui pembiayaan dengan prinsip PLS mengandung risiko kegagalan dalam pengembalian. Risiko yang dihadapi perbankan syariah dalam pembiayaan berdasarkan akad mudharabah kepada nasabah adalah tinggi. Pada pembiayaan mudharabah, bank syariah hanya mengandalkan first way out sebagai sumber pengembalian dana yang diinvestasikan, artinya sumber pelunasan pembiayaan hanya diperoleh dari pendapatan bisnis nasabah yang dibiayai secara mudharabah. Bank syariah memikul risiko kehilangan dana yang telah diberikan kepada nasabah untuk diusahakan, sedang nasabah memikul risiko tidak memperoleh keuntungan dari pengelolaan usaha yang dijalankan. Dengan kata lain, bank syariah harus memikul risiko finansial, sedang nasabah memikul risiko non-finansial. 333
332 333
M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate...... Op. Cit., hlm. 9. Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam .... Op. Cit., hlm. 172.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya risiko melekat (inherent) pada seluruh aktivitas bank yang terkait dengan uang. Aktivitas bank mulai dari penghimpunan dana hingga penyaluran dana sangat rentan dengan risiko kehilangan uang. Karena itu, bank harus dapat mendeteksi dan mengelola risiko yang mungkin timbul dalam melakukan kegiatan usahanya, agar tidak menimbulkan kerugian. Risiko yang dikelola secara tepat dapat memberi manfaat berupa terjaga kesehatan dan keamanan bank, dan agar manfaat tersebut dapat terwujud, para pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko dan pengelolaannya. 334 Untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan, perbankan syariah harus mengendalikan risiko yang mungkin trimbul dari kegiatan usahanya, sehingga keamanan dana masyarakat terkendali dengan baik. Pengelolaan risiko dengan menerapkan manajemen risiko menjadi kewajiban bagi bank syariah dan UUS. 335 Manajemen risiko merupakan prosedur dan metodologi yang digunakan perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Kegiatan perbankan syariah dengan berbagai pola operasionalnya mengandung kemungkinan menghadapi risiko, karena berhadapan dengan ketidak pastian, sehingga perolehan kembalian (return) tidak pasti dan tidak tetap. 336 Berbagai macam risiko senantiasa menghantui dan menjadi tantangan yang harus dihadapi perbankan syariah. Tidak ada jalan lain bagi perbankan syariah selain melakukan strategi penerapan manajemen risiko yang andal dalam mengendalikan 334
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 22 335 Pasal 38 ayat (1) UUPS 2008, “Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.” 336 Faisal Afif, dkk., Strategi dan Operasional Bank, (Bandung: Eresco, 1996), hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
risiko. Beragam pola operasional perbankan syariah memungkinkan timbulnya berbagai jenis risiko yang dihadapi. Pada dasarnya jenis risiko yang dihadapi perbankan dapat dikembalikan atas dua risiko besar, yaitu risiko finansial dan risiko non-finansial. Risiko finansial terkait dengan kerugian langsung berupa hilangnya sejumlah uang akibat risiko yang terjadi, sementara risiko non-finansial terkait dengan kerugian yang tidak dapat dikalkulasikan secara jelas jumlah uang yang hilang. Meskipun dampak finansial dari risiko non-finansial tidak langsung dapat dirasakan, namun pada gilirannya berpotensi untuk menimbulkan kerugian finansial. 337 Zainul Arifin menyebut pembagian lain dari jenis risiko dengan mengemukakan dua kelompok besar. Pertama, risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang diakibatkan karena adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum. Kedua, risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk), yaitu risiko yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja. 338 Kerugian akibat risiko (risk loss) pada suatu bank, tidak saja berdampak pada stakeholders bank, melainkan dapat berdampak luas terhadap perekonomian secara umum. Karena itu, berbagai regulasi diharapkan menjadi payung pelindung bagi industri perbankan. Perlindungan tidak hanya diberikan kepada bank terkait, yaitu pemegang saham, karyawan dan nasabah, melainkan juga kepada perekonomian secara keseluruhan. 339
337
Ferry N. Idroes, Op. Cit., hlm. 23. Mengacu pada isi komite Basel II, jenis-jenis risiko yang harus dikelola industri perbankan adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko konsentrasi kredit, risiko suku bunga pada buku bank, risiko bisnis, risiko stratejik, serta risiko reputasional. Lima risiko yang disebut pertama termasuk ke dalam risiko finansial, dan tiga risiko yang disebut terakhir termasuk ke dalam risiko non-finansial. 338 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen...... Op. Cit., hlm. 262. 339 Ferry N. Idroes, Op. Cit., hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menerapkan manajemen risiko, BI menerbitkan suatu pedoman standar yang wajib dipatuhi setiap bank umum yang dituangkan dalam PBI No. 5/8/PBI/2003. PBI ini diperinci lebih lanjut melalui Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 5/21/DPNP. Melalui peraturan dimaksud, bank wajib membentuk Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko. Berbagai jenis risiko perbankan dikemukakan untuk diwaspadai bank. 340 Risiko kredit/pembiayaan (crediet risk) merupakan jenis risiko yang dapat terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) dalam memenuhi kewajibannya. Dalam kasus pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) risiko pembiayaan muncul karena tidak terbayarnya kembali bagian bank akibat buruknya kinerja mitra bisnis yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. 341 Risiko reputasi (reputation risk) dapat terjadi karena publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Di lingkungan perbankan syariah risiko ini dapat timbul ketika masyarakat menganggap tidak ada perbedaan sistem bunga dan sistem bagi hasil. 342 Berkaitan dengan bank yang bergerak bebas bunga (interest free) perbankan syariah 340
Dikemukakan sepuluh jenis risiko yang wajib diperhatikan bank, yaitu: 1. Risiko Kredit. 2. Risiko Pasar. 3. Risiko Suku Bunga. 4. Risiko Nilai Tukar. 5. Risiko Likuiditas. 6. Risiko Operasional. 7. Risiko Hukum. 8. Risiko Reputasi. 9. Risiko Strategik. Dan 10. Risiko Kepatuhan. 341 Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 51. 342 Muhammad Syafii Antonio mengemukakan perbedaan antara sistem bunga dengan bagi hasil sebagai berikut: 1. Penentuan bunga dibuat pada waktu perjanjian dengan asumsi harus selalu untung, sedang bagi hasil besarnya nisbah dibuat saat akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi. 2. Besarnya persentase bunga didasarka n pada jumlah uang yang dipinjamkan, sedang nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh. 3. Pembayaran bunga bersifat tetap (fixed) tanpa mempertimbangkan untung atau rugi proyek yang dijalankan pihak nasabah, sedang bagi hasil bersifat fluktuatif bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. 4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun diperoleh keuntungan berlipat, sedang pada sistem bagi hasil, jumlah pembagian laba dapat meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. 5. Eksistensi bunga diragukan dalam agama Islam, sedang bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya. Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 61.
Universitas Sumatera Utara
harus memperhatikan risiko kepatuhan (compliance risk). Risiko kepatuhan melekat pada risiko bank yang berkaitan dengan ketentuan dan peraturan teknis yang berlaku. Perbankan syariah menawarkan jasa keuangan dengan penuh kepatuhan terhadap larangan riba dalam Islam. 343 Berbagai model pembiayaan syariah murabahah, salam, istishna, mudharabah dan musyarakah tidak bisa terlepas dari kemungkinan terjadinya risiko, sehingga Tariqullah Khan dan Habib Ahmed mengemukakan masa depan industri keuangan syariah sangat bergantung pada kemampuan lembaga tersebut dalam mengelola risiko yang muncul dari operasionalnya. 344
Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principle) Penerapan manajemen risiko dalam aktivitas perbankan syariah berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah yang disebut know your customer principle. Dalam statement of principle dari Basel Committee on Banking Regulation and Supervisory Practices diketahui agar bank mengenali nasabahnya, mendeteksi transaksi-transaksi yang mencurigakan dan bekerjasama dengan otoritas penegak hukum. Bank juga di dorong untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan kegiatan bisnis berdasar pada standar etika yang tinggi. 345 Perbankan perlu menerapkan dan mematuhi prinsip mengenal nasabah adalah karena mempunyai relevansi dengan keselamatan dan kesehatan bank. Penerapan prinsip mengenal nasabah menjadi salah satu upaya untuk mencegah industri
343
Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Op. Cit., hlm. 49. Ibid., hlm. 2. 345 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm. 226. 344
Universitas Sumatera Utara
perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan di bidang keuangan, 346 sehingga dapat melindungi reputasi dan integritas sistem perbankan dari berbagai kemungkinan kejahatan keuangan (financial crime) yang membawa kerugian bagi bank. 347 Penerapan prinsip mengenal nasabah dalam aktivitas perbankan syariah dapat mengurangi berbagai kemungkinan timbulnya risiko yang membawa kepada tetap terjaganya keselamatan dan kesehatan bank. Dengan prinsip mengenal nasabah, perbankan syariah selain akan mengetahui profil nasabah, juga akan dapat memantau dan mendeteksi berbagai transaksi perbankan secara dini yang diduga mencurigakan, serta untuk meminimalisir risiko berupa reputational risk, operational risk, legal risk dan concentration risk, 348 sehingga dapat mencegah terjadinya kerugian yang memengaruhi keselamatan dan kesehatan bank. Penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) bagi perbankan syariah penting sekurang-kurangnya pada kegiatan penerimaan dan identifikasi nasabah serta kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. 349 Meskipun secara lebih luas dapat dihubungkan dengan pendekatan kehatihatian, namun prinsip mengenal nasabah ini terkait erat dengan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang (money laundering). 350 Regulasi yang terkait dengan prinsip mengenal nasabah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan
Dan
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Pencucian
Uang
346
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan ....., Op. Cit., hlm. 221. Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk ....., Op. Cit., hlm. 229 348 Ibid., hlm. 228. Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa..... Op. Cit., hlm. 29 349 Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUPS 2008 alinea kedua. 350 Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa....Op. Cit., hlm. 28. 347
Universitas Sumatera Utara
(UUPPTPPU 2010), 351 yang disebut dengan prinsip mengenali pengguna jasa. Undang-undang menyebut prinsip mengenali pengguna jasa yang wajib diterapkan setiap pelapor, 352 sekurang-kurangnya memuat identifikasi pengguna jasa, verifikasi pengguna jasa, dan pemantauan transaksi pengguna jasa. Kewajiban menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa dilakukan pada saat, a) melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa; b) terdapat transaksi keuangan yang nilainya paling sedikit atau setara dengan seratus juta rupiah; c) terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau d) pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa. 353 Terkait dengan perbankan sebagai penyedia jasa keuangan, termasuk perbankan syariah, bank wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi: a) Transaksi keuangan mencurigakan; 354 b) Transaksi keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit lima ratus juta rupiah; dan/atau c) Transaksi keuangan transfer dana
351
Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang mulai berlaku pada 22 Oktober 2010, maka undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang, yaitu UU No. 15 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Akan tetapi berbagai peraturan pelaksana yang telah terbit pada masa UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010. Perhatikan ketentuan Pasal 98 dan Pasal 99 UUPPTPPU 2010. 352 Pasal 1 butir 11 menyebut, “Pihak Pelapor adalah setiap orang yang menurut undang-undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.” 353 Pasal 18 ayat (3) dan (5) UUPPTPPU 2010 354 “Transaksi keuangan mencurigakan adalah: a) Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; b) Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; c) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.” Pasal 1 butir 5 UUPPTPPU.
Universitas Sumatera Utara
dari dan ke luar negeri. 355 Ditetapkannya prinsip mengenal nasabah atau mengenali pengguna jasa dalam transaksi keuangan akan menghindarkan perbankan syariah dari sarana dan sasaran pelaku tindak pidana pencucian uang yang berasal dari kejahatan.
Prinsip Perlindungan Nasabah Pengaturan perbankan bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap produk-produk industri perbankan. 356
Regulasi
perbankan lainnya ditujukan untuk menjaga keamanan (safety) bank dan pengaturan pemberian kredit/pembiayaan dilakukan agar dapat dipastikan, bahwa bank dapat secara tepat dan cepat menyalurkan kredit/pembiayaan kepada pihak atau pelaku usaha yang benar-benar membutuhkan. 357 Perlindungan nasabah diperlukan agar mereka dapat mempercayakan dana surplus yang dimiliki untuk diusahakan secara produktif oleh bank kepada pengusaha yang memerlukan pengembangan usaha, namun mempunyai kekurangan pendanaan. Perlindungan nasabah berhubungan dengan penyimpanan dana pada bank, bahwa dana simpanan akan dapat dibayar kembali oleh bank bila telah jatuh tempo atau pada saat penagihan dilakukan nasabah atau kapan saja bila diperlukan. Perlindungan nasabah diantaranya dilakukan dengan cara adanya mekanisme pengaduan nasabah, meningkatkan transparansi produk dan edukasi terhadap nasabah. 358
Selain melalui sistem pengawasan, perlindungan
nasabah secara praktis diwujudnyatakan melalui keinginan pembentukan Lembaga
355
Pasal 23 ayat (1) UUPPTPPU Ferry N. Idroes, Op. Cit., hlm. 27. 357 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan ..... Op. Cit., hlm. 153. 358 Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUPS 2008, alinea ketiga. 356
Universitas Sumatera Utara
Penjaminan Simpanan (LPS), 359 yang pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (UULPS). Pembentukan LPS pada prinsipnya sejalan dengan tujuan mendasar hukum perbankan, yaitu menciptakan perbankan yang aman dan sehat, serta melindungi nasabah. 360 LPS berbentuk badan hukum yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta bertanggungjawab
langsung
kepada Presiden. 361 LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank gagal. 362 Simpanan nasabah yang dijamin LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Bentuk simpanan yang dijamin LPS meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dengan nilai jaminan paling banyak Rp. 100.000.000.- (seratus juta rupiah) untuk setiap nasabah pada satu bank. 363 Penjaminan simpanan nasabah penyimpan meliputi pula bentuk simpanan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 364 Berarti, simpanan nasabah penyimpan pada bank syariah juga tercakup dalam program LPS, sehingga simpanan dalam bentuk giro wadiah, tabungan wadiah dan mudharabah serta deposito mudharabah masuk dalam skim penjaminan yang diberikan LPS. Dengan adanya UULPS yang memberikan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan memberikan kepastian 359
UUP 1998, pada Pasal 37B menyebut setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank bersangkutan melalui pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan yang berbentuk badan hukum Indonesia 360 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana ...... Op. Cit., hlm. 323 361 Pasal 2 UULPS. Perhatikan juga Zulkarnain Sitompil, Ibid., hlm. 284 dan 339. 362 Pasal 1 butir 7 UULPS mengartikan bak gagal sebagai bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. 363 Pasal 10 dan 11 UULPS 364 Penjelasan Pasal 4 huruf a dan Penjelasan Pasal 10 UULPS
Universitas Sumatera Utara
dan keamanan dana nasabah, sehingga mereka tidak ragu melakukan penyimpanan uangnya, sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan perbankan syariah.
Prinsip Kepercayaan (fiduciary principle) Dalam melaksanakan fungsi perbankan sebagai perantara atau intermediasi antara investor yang menyimpan dana dengan pengusaha yang menerima investasi, faktor kepercayaan memegang peranan penting dalam pengelolaan industri perbankan. Secara normatif, prinsip kepercayaan (fiduciary principle) sebagai pondasi industri perbankan syariah, 365 dapat ditelusuri pada Pasal 29 ayat (3) UUP 1998 maupun Pasal 36 UUPS 2008 yang mewajibkan bank dalam memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan atas dasar kepercayaan, karena itu bank perlu menjaga kesehatan dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya. 366 Berdasarkan ketentuan dan penjelasan di maksud, bisa dikatakan hubungan nasabah penyimpan dana dengan bank tidak semata hubungan penyimpanan, melainkan dilandasi oleh asas kepercayaan, yaitu bank akan berkemauan dan berkemampuan untuk membayar kembali simpanan nasabah tersebut pada saat ditagih. 367
365
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana ..... Op. Cit., hlm. 23. Penjelasan Pasal 29 alinea kelima UUP 1998. 367 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 185. 366
Universitas Sumatera Utara
Prinsip perlindungan nasabah pada gilirannya akan memperkuat keberadaan prinsip kepercayaan, sehingga nasabah tidak ragu dalam menginvestasikan surplus dana yang dimilikinya kepada investor yang memerlukan melalui mekanisme pembiayaan perbankan syariah. Sebagaimana diketahui, bank dalam menjalankan usahanya sebagian besar tergantung pada dana yang disimpan masyarakat, sehingga hubungan kepercayaan (fiduciary relation) antara bank dengan nasabah menjadi penting. Kepercayaan menjadi sendi yang paling penting bagi stabilitas perbankan. Apabila kepercayaan hilang, maka rush merupakan keniscayaan, 368 yang jika terjadi akan dapat menggoyahkan sistem perekonomian dan keuangan negara. Prinsip kepercayaan atau amanah harus dipegang teguh pada pengelolaan industri perbankan tidak saja pada aspek penyimpanan dana melainkan juga dalam penyaluran dana melalui pola pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah. Bank syariah hanya bersedia menyalurkan dana dengan mekanisme pembiayaan kepada nasabah atas dasar kepercayaan, bahwa nasabah yang menerima pembiayaan mampu dan mau membayar kembali pembiayaan tersebut. 369 Lebih luas lagi, prinsip atau hubungan kepercayaan tidak hanya bermanfaat bagi kedua belah pihak, perbankan dan nasabah, tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. 370 Masyarakat akan bertindak atau memberi apresiasi terhadap aktivitas perbankan untuk mendorong pencapaian
kemaslahatan
perekonomian
dalam
mewujudkan
pemerataan
kesejahteraan. Dalam konteks inilah harus dipahami tujuan perbankan syariah sebagai 368
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana ...... Op. Cit., hlm. 30. Dalam konteks perbankan konvensional, hubungan bank dengan nasabah debitur yang diikat dengan perjanjian kredit juga didasarkan pada hubungan kepercayaan. Perkataan kredit yang berasal dari creditorum (Latin), credere (Romawi) berarti kepercayaan (trust). Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak .... Op. Cit., hlm. 186; Nindyo Pramono, Bunga Rampai ..... Op. Cit., hlm. 243. 370 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana .... Op. Cit., hlm. 39. 369
Universitas Sumatera Utara
agent of development yang menjadi karakter perbankan Indonesia.
Dana yang
dipercayakan masyarakat untuk dikelola bank syariah harus dipergunakan untuk melayani kepentingan umum, tidak semata kepentingan individu. Dengan demikian, transaksi perbankan syariah tidak boleh hanya berorientasi laba melainkan harus mementingkan kebutuhan masyarakat Islam secara keseluruhan. 371
Prinsip Keterbukaan (disclosure principle) Chapra dan Khan mengemukakan, transparansi pada bank ditunjukan dengan penyediaan informasi yang benar tentang pentingnya variabel keuangan, lembaga lain, dan faktor administratif yang memengaruhi kredibilitas bank. Informasi di maksud tidak hanya penting untuk menjaga kepentingan pemilik dana dan pihak lain, tetapi juga stabilitas sistem. 372 Dikatakan selanjutnya, konsep berbagi risiko (risksharing) dari pembiayaan syariah harus ditingkatkan, karena pemegang saham dan deposan investasi harus dapat mengawasi operasional bank sehingga dapat meningkatkan kedisiplinan bank. Prinsip keterbukaan merupakan satu elemen dari konsep GCG yang harus diterapkan dalam pengelolaan bank syariah. Prinsip keterbukaan (transparancy) dan kepercayaan dalam praktik perbankan syariah terjalin erat. Prinsip keterbukaan menopang praktik prinsip kepercayaan atau amanah, sehingga penerapan prinsip keterbukaan semakin memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan syariah. Bagaimanapun kepercayaan harus di dukung keterbukaan,
371 372
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Ci t., hlm. 132. M. Umer Chapra & Tariqullah Khan, Regulasi .... Op. Cit., hlm. 76.
Universitas Sumatera Utara
sehingga transaksi yang terjadi pada perbankan syariah terhindar dari unsur penyalahgunaan dan penipuan. Fungsi prinsip keterbukaan untuk mencegah terjadinya penipuan adalah pandangan yang paling tua. 373 Wujud prinsip keterbukaan diimplementasikan perbankan syariah melalui pemberian informasi yang cukup kepada nasabah dengan tujuan mengantisipasi timbulnya pernyataan yang menyesatkan (misleading) bagi investor. 374 UUPS 2008 mewajibkan bank syariah dan UUS untuk menginformasikan kepada nasabah mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah. Kewajiban pemberian informasi kepada nasabah oleh perbankan syariah ini dimaksudkan untuk menjamin transparansi produk dan jasa bank. 375
Keterbukaan di maksud berguna bagi nasabah untuk menerima atau
menolak transaksi yang dilakukan melalui bank syariah atau UUS. Dari sisi pembiayaan, keterbukaan nasabah atas usaha yang dibiayai oleh bank dituntut untuk menginformasikan dan melaporkan realisasi laba yang diperoleh, sehingga nisbah bagi hasil yang telah disepakati dapat terealisasi secara baik. Keterbukaan akan dapat mengeliminir problem moral hazard, karena nasabah secara jujur menginformasikan laba usaha yang dibiayai bank. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan keterbukaan menjadi dasar keberhasilan pembiayaan yang islami.
373
Bismar Nasution, Keterbukaan .... Op. Cit., hlm. 9. Bismar Nasution mengemukakan tiga fungsi keterbukaan, yakni, pertama, memelihara kepercayaan publik terhadap pasar. Kedua, menciptakan mekanisme pasar yang efisien, dan ketiga, untuk mencegah terjadinya penipuan. 374 Ibid., hlm. 27. 375 Pasal 39 UUPS 2008 dan Penjelasannya.
Universitas Sumatera Utara
C. Fungsi Intermediasi dan Pola Hubungan Hukum Dalam Kegiatan Perbankan Syariah Pengertian mengenai bank dapat dilihat secara normatif sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 376 Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perbankan di Indonesia, ditemukan pengertian bank, yaitu: ”badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.” 377 Secara leksikal yang mengacu pada Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, ”bank pada umumnya: suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga.” 378 Sementara dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan, “A bank is an institution, usually incorporated, whose business it is to receive money on deposit, cash checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer, known as bank notes.” 379 Dalam pola operasional, bank terbagi atas bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
376
Macey and Miller seperti dikutip Nindyo Pramono, mengemukakan tiga cara untuk menemukan pengertian bank, yaitu, selain mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga dengan cara mengacu pada services yang diberikan bank kepada konsumen, serta mengacu pada fungsi ekonomis dalam pelayanan bank kepada masyarakat. Nindyo Pramono, Op. Cit., hlm. 209. 377 Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. 378 N.E. Algra dan H.R.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, (Bandung: Binacipta, 1983), hlm. 40. 379 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1991), hlm. 98. Lihat pula Sri Rejeki Hartono, dkk., Kamus Hukum Ekonomi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedang bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). 380 Bank syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, dan dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal yang menerima dana dari zakat, infak, sedekah dan hibah dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Perbankan syariah juga bisa menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkan kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif). 381 Selain itu, perbankan syariah juga merupakan lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran dengan memberikan jasa layanan perbankan dalam lalu lintas pembayaran berupa jasa keuangan, non keuangan dan jasa keagenan yang sesuai dengan prinsip syariah, seperti save deposit box dan bank garansi. Perbankan syariah memiliki fungsi sekaligus menjadi karakteristik yang membedakan dari perbankan konvensional. Bank syariah berfungsi sebagai manajer investasi, investor, jasa perbankan, dan sebagai badan sosial. Sebagai manajer investasi, bank syariah berkedudukan sebagai pengelola dana (mudharib) dari nasabah deposan atau penabung selaku pemilik dana (shahibul mal). Fungsi manajer investasi dapat dilihat dari sisi penghimpunan dana dari nasabah dengan prinsip
380 381
Pasal 1 butir 4 dan butir 7 UUPS 2008. Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) UUPS 2008.
Universitas Sumatera Utara
penitipan (wadiah yad adh-dhamanah), prinsip bagi hasil (mudharabah) atau prinsip sewa (ijarah). Sebagai investor, bank syariah bertindak sebagai shahibul mal yang menyalurkan dananya bagi kegiatan investasi yang dikelola nasabah (mudharib). Perbankan syariah melakukan kegiatan investasi atas dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. Fungsi sebagai investor bisa dilihat dari sisi penyaluran dana yang dilakukan perbankan syariah, baik yang dilakukan melalui prinsip jual beli (murabahah, salam, istishna), prinsip bagi hasil (mudharabah, musyarakah) maupun prinsip sewa (ijarah, ijarah muntahiyah bittamlik). Sebagai penyedia jasa perbankan pada lalu lintas pembayaran, perbankan syariah melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah, berupa jasa keuangan, non keuangan, dan keagenan. Pelayanan jasa keuangan dilakukan dengan prinsip pemberian kuasa (wakalah), garansi (kafalah), pengalihan utang (hawalah), jaminan utang (rahn), pinjaman (qardh), dan valuta asing (sharf). Pelayanan jasa non keuangan dilakukan dalam bentuk titipan dengan amanah (wadiah yad al-amanah) atau safe deposit box. Pelayanan jasa keagenan dilakukan dalam bentuk investasi khusus (mudharabah muqayyadah). Akhirnya, sebagai badan sosial, bank syariah berfungsi sebagai pengelola dana sosial untuk menghimpun, mengadministrasikan, dan mendistribusikan zakat, infak, sedekah serta dana-dana soaial lainnya, seperti pinjaman kebajikan (qardh al-hasan). Tabel 3: Fungsi Perbankan Syariah Manajer Investasi Prinsip titipan: wadiah yad adh-
Investor Prinsip bagi hasil:
Jasa Perbankan Badan Sosial Jasa keuangan: Prinsip kebajikan: wakalah, kafalah, penghimpunan dan
Universitas Sumatera Utara
dhamanah (giro, tabungan)
mudharabah, musyarakah
hawalah, rahn, sharf
Prinsip bagi hasil: mudharabah (tabungan, deposito, obligasi)
Prinsip jual beli: murabahah, salam, istishna
Prinsip sewa: ijarah (obligasi)
Prinsip sewa: ijarah, ijarah muntahiya bit tamlik Penyaluran Dana
Jasa nonkeuangan: wadiah yad alamanah (prinsip titipan) Jasa keagenan: mudharabah muqayyadah
Penghimpunan Dana
Jasa Pelayanan
penyaluran zakat, infak, sedekah, wakaf uang Penyaluran qardh alhasan
Sosial
Pengertian secara normatif dan leksikal bank seperti terlihat pada uraian di muka menunjukkan, bank merupakan institusi keuangan yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana atau uang dari dan kepada pihak ketiga. Usaha menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat menjadi fungsi utama perbankan Indonesia, termasuk bagi perbankan syariah. 382 Sebagai lembaga perantara keuangan, bank syariah seperti juga bank konvensional, berfungsi menghimpun dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dan menyalurkannya kepada pihak yang memerlukan dana (lack of funds). 383 Perbankan sebagai lembaga keuangan memegang peran penting dalam pengalihan dari unit kelebihan dana ke unit defisit dana. Perbankan berkedudukan sebagai intermediasi (intermediary) atau perantara dalam menghimpun dari pihak surplus dana dan menyalurkan kepada pihak defisit dana. Dalam menghimpun dana, bank syariah mempunyai sumber sebelum disalurkan 382
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998; Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. 383 Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2010) hlm. 15. Veithzal Rivai, Andria Permata Veithzal dan Ferry N. Indroes, Bank and..... Op. Cit., hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
kepada masyarakat yang diperoleh sesuai dengan kaedah perbankan berprinsip syariah atau benar secara Islam. Penghimpunan dana bersumber dari pihak pendiri bank sendiri dalam bentuk modal, dan dari pihak ketiga dalam bentuk titipan (wadiah),
investasi
(mudharabah),
dan
investasi
khusus
(mudharabah
muqayyadhah). 384 Sementara dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, bank syariah mempunyai mekanisme yang berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah tidak mengenal kredit dengan segala macam derivatifnya, karena sangat berhubungan erat dengan bunga (riba). Penyaluran dana oleh bank syariah berbentuk jual beli, bagi hasil, pembiayaan, pinjaman, dan investasi khusus (mudharabah muqayyadhah). 385 Fungsi perbankan syariah yang disinggung di muka, diperluas dan dirinci dalam bentuk kegiatan usaha bank. Kegiatan usaha bank dalam perbankan syariah diatur sesuai dengan jenis perbankan syariah, yaitu BUS, Unit Usaha Syariah (UUS), dan BPRS. 386 Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah terbagi atas tiga bagian besar, yaitu penyaluran dana (financing), penghimpunan dana (funding), dan produk jasa (service). 387 Sesuai dengan jenis produk yang ditawarkan,
384
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. Cit., hlm. 57. Ibid., hlm. 65. 386 Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 387 Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 87. Secara makro, sesungguhnya bank umum, memiliki fungsi pokok berikut: a) Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam kegiatan ekonomi; b) Menciptakan uang melalui penyaluran kredit dan investasi. c) Menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. d) Menyediakan jasa-jasa pengelolaan dana dan trust atau perwalian amanat kepada individu dan perusahaan-perusahaan. e) Menyediakan fasilitas untuk perdagangan internasional. f) Memberikan pelayanan penyimpanan untuk barang-barang berharga. g) Menawarkan jasa-jasa keuangan lain, misalnya kartu kredit, cek perjalanan, ATM, transfer dana, dan sebagainya. Dahlan Siamat, Manajemen Bank Umum, (Jakarta: Intermedia, 1993), hlm. 16. 385
Universitas Sumatera Utara
nasabah sebagai pihak yang menggunakan jasa perbankan syariah, 388 dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, nasabah penyimpan yang menempatkan dananya dalam bentuk simpanan berdasarkan akad. Kedua, nasabah investor yang menempatkan dananya dalam bentuk investasi berdasarkan akad. Ketiga, nasabah penerima fasilitas yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamaan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah. 389 Transaksi produk perbankan syariah terlaksana melalui kesepakatan yang dituangkan ke dalam akad, yaitu sebagai perbuatan hukum antara bank syariah dengan nasabah yang melahirkan hubungan hukum dengan muatan hak dan kewajiban yang menjadi ikatan para pihak. Esensi akad atau perjanjian bank syariah dengan nasabah, adalah bank berhak untuk menggunakan uang nasabah sesuai tujuannya, dan bertanggungjawab mengembalikan atau melunasi jumlah uang atau harga yang seimbang sesuai waktu yang ditentukan dalam akad. Tanpa ragu untuk menyatakan, hubungan bank dengan nasabah didasarkan pada hukum kepercayaan. Bank diberi kepercayaan untuk mengelola dan menyalurkan dana yang berasal dari nasabah penyimpan kepada masyarakat. Pada sisi lain, ketika menyalurkan dalam bentuk pembiayaan, bank memberi kepercayaan kepada nasabah pengguna (user of fund) untuk memanfaatkan dana sesuai tujuannya berdasarkan akad yang disepakati. 388
Ibid., hlm 77. Lihat juga Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008. Setelah melakukan analisis, Ellinger mengemukakan tiga term ’customer’. The first is that the relationship of banker and customer comes into existence when the bank agrees to open an account in the customer’s name. Secondly, by entering into the relationship of banker and customer, the bank agrees to act as the customer’s agent in banking transactions and, in this context, to exercise the degree of care and skill to be expected of an agent, or banker, of this type. Thirdly, once the bank has accepted a person as a customer, it acquires certain defences vis-à-vis third parties in situations where the bank’s operations on behalf of the customer expose it to common law actions. E.P. Ellinger, Modern Banking Law, (Oxford: Clarendon Press, 1987), hlm. 80. 389 Pasal 1 butir 17, 18, dan 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan nasabah dengan perbankan syariah untuk mengimplementasikan prinsip syariah pada jasa perbankan dilakukan melalui akad sebagai berikut: a) dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain Akad Wadiah dan Mudharabah; b) dalam kegiatan penyaluran dana berupa Pembiayaan dengan mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bit tamlik dan Qardh; dan c) Kafalah, Hawalah dan Sharf. 390 Sistem perbankan syariah dalam mengemban pelaksanaan produk tidak selamanya bersifat mencari keuntungan, tetapi ada yang bersifat sosial dengan skema qardh al-hasan. Kegiatan usaha perbankan syariah yang mencari keuntungan merupakan akad tijarah yang mencakup pembiayaan dan pendanaan serta jasa perbankan berdasarkan pola bagi hasil maupun non bagi hasil. Dengan akad ini, bank berhak memperoleh kompensasi dari pelaksanaan transaksi. Kegiatan usaha yang tidak mencari keuntungan masuk dalam akad tabarruk yang mencakup pendanaan dan kegiatan sosial, seperti hibah, waqaf, maupun shadaqah. Pada akad tabarruk, bank tidak bisa meminta kompensasi dari nasabah terhadap pelaksanaan transaksi. Akad tijarah yang mencari keuntungan di identifikasi lebih lanjut ke dalam akad tijarah berbasis kepastian (natural certainty contracts) dan berbasis ketidakpastian (natural uncertainty contracts). Tujuan identifikasi ini adalah untuk memperoleh
390
PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008, Pasal 3.
Universitas Sumatera Utara
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing). 391 Akad tijarah yang mengandung natural certainty contracts merupakan kontrak bisnis yang memberikan kepastian pendapatan (return), seperti pada akad jual beli berprinsip murabahah, salam, ishtisna, dan akad sewa menyewa berprinsip ijarah dan ijarah muntahia bit tamlik yang bersifat non bagi hasil. Sementara yang termasuk akad tijarah yang mengandung natural uncertainty contracts merupakan kontrak bisnis yang tidak memberikan kepastian return yang terdapat pada kontrak dengan skim bagi hasil seperti akad mudharabah dan musyarakah. Produk-produk kegiatan usaha perbankan syariah senantiasa memperhatikan keabsahannya dengan menerapkan prinsip syariah, tidak semata dilihat dari nama produknya saja. 392 Hal ini terkait dengan hubungan antara bank dan nasabah yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, satu prinsip syariah dapat diterapkan pada beberapa produk yang berbeda. 393 Hubungan hukum yang terjadi di lingkungan perbankan syariah dirancang menurut kesepakatan antara bank dengan nasabah yang dituangkan dalam akad sesuai dengan jasa atau bidang usaha perbankan yang dijadikan dasar akad. Ascarya mengemukakan pembagian berbagai jenis akad yang diterapkan perbankan syariah ke dalam enam pola, yaitu: Pertama, 391
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah (Panduan Teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan pada Bank Syariah), (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 42. 392 Ketentuan Pasal 26 UUPS 2008 menetapkan, kegiatan usaha dan/atau produk dan jasa perbankan syariah wajib tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh MUI dan dituangkan dalam PBI. Dalam PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah ditegaskan kembali, bahwa dalam melaksanakan jasa perbankan melalui kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank, perbankan syariah wajib memenuhi prinsip syariah. Pemenuhan prinsip syariah tersebut dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun), kemaslahatan (mashlahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim, dan objek haram (Pasal 2). 393 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. .37.
Universitas Sumatera Utara
pola titipan, seperti wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Kedua, pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan. Ketiga, pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah. Keempat, pola jual beli, seperti murabahah, salam dan istishna. Kelima, pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina. Keenam, pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf dan rahn. 394
Tabel 4: Jenis dan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Penghimpunan Giro berdasarkan akad mudharabah dan wadiah. 395
Pembiayaan Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, 396 dan musyarakah. 397
Tabungan berdasarkan akad mudharabah dan wadiah. 403
Prinsip jual beli berdasarkan akad murabahah, 404 salam, 405 istishna, 406 istishna paralel. 407 Prinsip sewa berdasarkan akad ijarah, 410 dan
Deposito berdasarkan akad mudharabah. 409
Jasa Jasa Keuangan: akad wakalah, 398 kafalah, 399 hawalah, 400 sharf, 401 rahn. 402 Jasa nonkeuangan: akad wadiah yad alamanah.
Sosial Pinjaman kebajikan berdasarkan akad qard al-hasan. Penyaluran dana zakat, infak, maupun sedekah, dan wakaf uang. 408
Jasa keagenan: akad mudharabah muqayyadah
394
Ibid., hlm. 41. Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro. 396 Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) 397 Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah 398 Fatwa DSN-MUI No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah 399 Fatwa DSN-MUI No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah 400 Fatwa DSN-MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah 401 Fatwa DSN-MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) 402 Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn 403 Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan. 404 Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah 405 Fatwa DSN-MUI No, 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam 406 Fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna 407 Fatwa DSN-MUI No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna Paralel 408 Pasal 4 UUPS 2008 409 Fatwa DSN-MUI No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito 410 Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah 395
Universitas Sumatera Utara
ijarah muntahiyah bit tamlik, 411 Penghimpunan dana Prinsip pinjam sosial yang berasal meminjam dari zakat, infak, berdasarkan akad maupun sedekah, qardh. 413 dan wakaf uang. 412
Dari fungsi perbankan, bank syariah seperti bank konvensional, merupakan lembaga intermediasi. Perbedaan terletak pada prinsip syariah yang menjadi fundamen operasional perbankan syariah yang tidak dimiliki bank konvensional. 414 Perbankan syariah melakukan kegiatan usaha tidak berdasarkan perhitungan bunga, tetapi berdasarkan prinsip bagi hasil atau pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing). Perbankan syariah sebagai sistem perbankan yang bebas bunga (interest free) dapat melakukan berbagai transaksi keuangan, bukan saja yang dapat dilakukan bank konvensional, tetapi juga yang dapat dilakukan oleh perusahaan multifinance company. 415
Penyaluran dana atau fasilitas yang dapat diberikan
perbankan syariah dalam bentuk pembiayaan tidak saja seperti produk yang pada perbankan konvensional disebut kredit, melainkan lebih bervariasi atau beragam. Penyaluran dana dilakukan melalui mekanisme pembiayaan, yaitu penyediaan dana atau tagihan berupa: a) transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
411
Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik Pasal 4 UUPS 2008 413 Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh 414 Muhammad Syafii Antonio mengemukakan, bank syariah dan bank konvensional memeiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, seperti KTP, NPWP, proposal, dan laporan keuangan. Disisi lain terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya yang menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Dari Teori....., Op. Cit., hlm .29. 415 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah......, Op. Cit., hlm. 32. 412
Universitas Sumatera Utara
musyarakah; b) transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c) transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d) transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil. 416 Sedang usaha menghimpun dana dari masyarakat dilakukan melalui simpanan, dalam bentuk giro dan tabungan berdasarkan akad wadiah. atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 417 Tabel 5: Intermediasi Perbankan Syariah Penghimpunan Dana 1. Simpanan berupa giro dan tabungan berdasarkan akad wadiah 2. Investasi berupa deposito dan tabungan berdasarkan akad mudharabah
B A N K
1.
2. S Y A R I A H
3. 4.
5.
Penyaluran Dana Transaksi bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah Transaksi jual beli dengan akad murabahah, salam dan ishtisna Transaksi pinjam meminjam dengan akad qardh Transaksi sewa dengan akad ijarah atau dalam bentuk akad ijarah muntahiya bittamlik Transaksi sewa jasa dengan akad ijarah untuk transaksi multijasa.
416
Pasal 1 butir 25 UPS 2008, Pasal 1 butir 8 PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. 417 Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menjalankan fungsi intermediasi, perbankan syariah menjembatani melalui hubungan hukum dengan nasabah. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah (Customer) adalah bersifat kontraktual. 418 ”The relationship between banks and their customers is contractual, primarily that of debtor (the bank) and creditor (the customer) with the roles reversed where the customer is indebted to the bank.” 419 Transaksi perbankan merupakan hubungan hukum antara bank dan nasabah di bidang bisnis yang keduanya saling membutuhkan. 420 Pada sistem perbankan konvensional, hubungan kontraktual antara bank dan nasabah memposisikan kedudukan kreditur dan debitur. Dalam hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana memposisikan bank sebagai debitur dan nasabah sebagai kreditur, sebaliknya dalam perjanjian kredit sebagai bentuk hubungan bank dengan nasabah peminjam, memposisikan bank menjadi kreditur dan nasabah menjadi debitur. Hubungan kontraktual bank dan nasabah sesungguhnya berada dalam lingkup hukum perjanjian yang dibuat berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Pembuatan perjanjian yang semata-mata berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak, masing-masing pihak berusaha menciptakan dominasi atas pihak lainnya, sehingga yang saling berhadapan adalah antara dua lawan janji dan bukan antara dua mitra janji. 421 Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya, baik sebagai investor maupun pelaksana dari investasi, dan penerima fasilitas pada pelayanan jasa 418
E.P. Ellinger, Modern Banking Law, (Oxford: Clarendon Press, 1987), hlm. 81. H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 59. 419 David Palfreman, Banking: The Legal Environment, (London: Pitman Publishing, 1993), hlm. 116. 420 Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah........., Op. Cit., hlm. 113 421 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak ....., Op. Cit., hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
perbankan merupakan hubungan kemitraan, tidak bersifat debitur-kreditur seperti hubungan pada bank konvensional, sehingga para pihak dalam perjanjian berkedudukan sebagai mitra janji atau mitra usaha. 422 Kemitraan adalah hubungan yang terjadi antara orang-orang yang melakukan bisnis pada umumnya untuk memperoleh keuntungan. 423 Term kemitraan disamakan dengan partnership, yaitu “... A voluntary contract between two or more competent persons to place their money, effects, labor, and skill, or some or all of them, in lawful commerce or business, with the understanding that there shall be a proportional sharing of the profits and losses between them...” 424 Kemitraan merupakan kontrak yang dibuat secara sukarela antara dua atau beberapa pihak yang kompeten menempatkan uang, efeks, tenaga kerja, dan keahlian, baik keseluruhan atau beberapa diantaranya, yang sah menurut hukum bisnis. Dalam kemitraan, para pihak saling memahami secara proporsional akan pembagian keuntungan dan kerugian di antara mereka. Menurut hukum perdagangan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis lainnya didirikan terutama dengan satu tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama. 425 Syirkah dan mudharabah merupakan model kerjasama dalam aktivitas perbankan syariah. 426 Syirkah secara hukum berarti bergabungnya dua orang atau lebih dalam satu kepentingan. Syirkah merupakan kerjasama usaha antara penyedia modal dan pengelola dengan keuntungan dibagi secara proporsional berdasarkan 422
Bandingkan dengan Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Op. Cit., hlm. 24. Perhatikan juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah....., Op. Cit., hlm. 34. 423 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 4, hlm. 354. 424 Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 773 425 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm. 60. 426 Afzalur Rahman, Op. Cit., hlm. 365.
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan. 427 Sementara mudharabah bermakna kerjasama usaha, dimana shahibul mal menyediakan seluruh modal kepada pihak lain untuk dikelola dan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. 428 Basis utama dari kerjasama syirkah dan mudharabah adalah keadilan dari dua belah pihak, sehingga setiap yang bertentangan dengan keadilan, misalnya hanya satu pihak saja yang menanggung kerugian, akan merusak prinsip kerjasama antara pihak dalam kegiatan usaha yang dibangun. 429 Muhammad Abdul Mannan menekankan, sistem perbankan Islam didasarkan atas prinsip mitra usaha. Seluruh sistem perbankan yang mencakup pemegang saham, depositor, investor, dan peminjam akan berperan serta atas dasar mitra usaha melalui penerapan pola mudharabah. 430 Dikatakan lebih lanjut, dengan penerapan pola mudharabah, Islam menghendaki kompromi antara tenaga kerja dan pemilik modal dengan memberikan tekad moral dan mengenakan kewajiban moral bagi setiap mitra sebagai bagian dari keyakinannya. 431 Melihat fungsi utama bank syariah sebagai penghimpun dan penyalur dana, bila dikaitkan dengan bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah menampakkan dua sisi hubungan hukum, yaitu di bidang penghimpunan dana dalam bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana (deposan) dan di bidang pembiayaan terdapat hubungan hukum antara bank dengan pengguna dana
427
Muhammad Abdul Karim Mustofa, Kamus Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Asnalitera, 2012),
hlm. 153. 428
Ibid., hlm. 106. Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah ......, Op. Cit., hlm. 95. Hirsanuddin, Op. Cit., hlm. 4. 430 Muhammad Abdul Mannan, Teori Dan Praktik Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 167. 431 Ibid., hlm. 182. 429
Universitas Sumatera Utara
(pengusaha). 432 Pada skema hubungan dengan deposan, kedudukan bank merupakan operator atau manajer usaha yang berhak untuk menginvestasikan depositonya, sedang deposan sebagai pemilik modal. Dalam skema hubungan dengan nasabah pengguna dana (pengusaha), bank dipandang sebagai pemilik modal, sedang pengusaha sebagai operatornya. Dalam hubungan ini berlaku syarat yang mengatur hak dan kewajiban pemilik modal dan operator. Setiap keuntungan yang diperoleh, harus dibagi dengan bank sebagai pemilik modal dengan nisbah yang disetujui di muka. 433 Hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah penyimpan dana merupakan pelaksanaan fungsi perbankan sebagai penghimpun dana yang diwujudkan dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, maupun deposito. Hubungan hukum ini dinyatakan dalam bentuk peraturan bank bersangkutan yang berisikan syarat dan ketentuan umum yang harus disetujui nasabah penyimpan dana, sesuai dengan bentuk simpanan yang diinginkan nasabah. Sedang hubungan hukum antara bank syariah dengan nasabah penerima atau pengguna dana merupakan pelaksanaan fungsi sebagai penyalur dana dalam bentuk fasilitas pembiayaan dalam perbankan syariah.yang umumnya berbentuk perjanjian baku. 434 Dalam hukum Islam,
432
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan terdapat dua hubungan hukum antara bank dan nasabah yakni: 1) hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana, dan 2) hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur. Kedua bentuk hubungan hukum ini masih dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari sebuah mata uang logam. Membicarakan satu sisi tidaklah lengkap tanpa membicarakan sisi lain untuk dapat memahami dengan baik mata uang logam bersangkutan. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak .... Op. Cit., hlm. 143. 433 Muhammad Abdul Mannan, Op. Cit., hlm. 170-171. 434 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak ...., Op. Cit., hlm. 145.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian baku (standard contract) sifatnya tetap hanya merupakan usulan atau penyajian dan bukan bersifat final yang harus dipatuhi pihak lainnya. 435 Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana merupakan konstruksi hukum perjanjian pinjam meminjam, khususnya perjanjian peminjaman uang dengan bunga. 436 Dengan konstruksi hukum pinjam
meminjam,
dana
yang
diserahkan
oleh
nasabah
menjadi
beralih
kepemilikannya kepada bank, sehingga bank bebas menyalurkan dengan fasilitas pembiayaan atau kredit kepada masyarakat yang memerlukan. Bank juga bertanggungjawab sepenuhnya atas segala risiko yang terjadi atas dana yang dipinjamkan nasabah, dan bank berkewajiban mengembalikan sejumlah yang sama ketika nasabah meminta pengembalian atas simpanan tadi, bersama imbalan bunga yang diperjanjikan. 437 Pendapat lain dikemukakan Tan Kamelo yang melihat hubungan bank dan nasabah penyimpan merupakan perjanjian simpanan yang dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama (innominaat contracten). Di antara 435
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian, Op. Cit., hlm. 19. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak ... Op. Cit., hlm. 169. Dengan istilah bunga menunjukkan pandangan Sutan Remy Sjahdeini dikemukakan dari perspektif yang berlaku pada bank konvensional. 437 Konstruksi hukum pinjam meminjam ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1755 jo. Pasal 1765 KUH. Perdata. Pasal 1755 KUH. Perdata, “Berdasarkan persetujuan pinjam-mengganti ini, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimananpun, maka kemusnahan itu itu adalah atas tanggungannya.” Pasal 1765 KUH. Perdata, “Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemekaian.” Buku Ketiga KUH. Perdata, Bab ketigabelas, yang menjadi dasar perjanjian pinjam meminjam, dalam teks Belanda bertajuk “verbruiklening” Subekti dan Tjitrosudibio menerjemahkan istilah ini menjadi “Pinjam Mengganti” Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1974), hlm. 399. Pada sumber lain, Subekti mengemukakan istilah “Pinjam-Meminjam” Dikatakan, salah satu kriteria yang membedakan pinjam pakai dengan pinjam meminjam adalah apakah barang yang dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang dipinjamkan itu habis karena pemakaian, itu adalah pinjam meminjam. Subekti, Aneka .... Op. Cit., hlm. 125. Sementara Wirjono Prodjodikoro, menyebut dengan istilah “Peminjaman Uang dan Sebagainya.” Peminjaman uang lazimnya merupakan persetujuan yang bersifat riil dan tidak konsensus semata. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang PersetujuanPersetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981), hlm. 137. 436
Universitas Sumatera Utara
ciri perjanjian simpanan dari hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan adalah uang yang diserahkan nasabah penyimpan menjadi milik bank, dan bank mempunyai kewenangan penuh untuk menyalurkan penggunaannya. Perjanjian simpanan antara bank dengan nasabah penyimpan bersifat riil, yaitu perjanjiian lahir setelah penyimpan menyerahkan uang untuk disimpan kepada bank, tidak cukup berdasarkan kesepakatan belaka. Bank penerima simpanan bertanggungjawab atas pengembalian bila diminta kembali oleh nasabah penyimpan. 438 Pada sisi hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam penyaluran dana, bank berkedudukan sebagai kreditur dan nasabah penerima dana sebagai debitur. Hubungan hukum bank dengan nasabah debitur dikenal sebagai perjanjian kredit bank. Perjanjian kredit bank tidak terdapat aturan secara khusus dalam KUH. Perdata, sehingga harus digali dari sumber lain di luar KUH. Perdata, terutama dalam undang-undang perbankan. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan merupakan hasil kesepakatan bank sebagai pemberi dengan nasabah debitur sebagai penerima pinjaman terkait dengan hubungan hukum keduanya. Perjanjian kredit bersifat konsensual (pacta de cotrahendo) obligatoir yang dikuasai undang-undang perbankan dan bagian umum KUH. Perdata. Penyerahan uang dari 438
Tan Kamelo mengemukakan enam karakter yang melekat pada perjanjian simpanan dari hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, yaitu: 1. Perjanjian simpanan bersifat riil. 2. Uang yang diserahkan menjadi milik bank dan penggunaannya menjadi wewenang penuh dari bank. 3. Bank berkedudukan sebagai debitur dan nasabah penyimpan sebagai kreditur. 4. Bank bukan sebagai peminjam uang dari nasabah penyimpan. 5. Nasabah penyimpan bukan sebagai penitip uang pada bank. 6. Bank akan mengembalikan simpanan nasabah dengan kontraprestasi berupa pemberian bunga. Tan Kamelo, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum USU, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Kampus USU, 2 September 2006, (Medan : USU 2006), hlm.23.
Universitas Sumatera Utara
bank kepada nasabah debitur adalah bersifat riil, artinya ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit baru berlaku bagi kedua pihak pada saat penyerahan uang dilakukan. 439 Sutan Remy Sjahdeini lebih menegaskan, perjanjian kredit bank bukanlah merupakan perjanjian peminjaman uang. Perjanjian kredit bank memiliki karakteristik yang berbeda dari perjanjian pinjam meminjam uang pada tiga ciri berikut. Pertama, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian konsensual, sedang perjanjian pinjam meminjam bersifat riil. Kedua, kredit yang diberikan bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk tujuan yang tidak tertentu oleh nasabah debitur. Kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit. Sementara, pada perjanjian pinjam meminjam, peminjam uang atau debitur dapat leluasa menggunakan dana pinjaman. Ketiga, kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan melalui penerbitan bilyet giro. Sedang pada perjanjian pinjam meminjam, seluruh pinjaman diserahkan krditur kepada debitur dengan tidak disyaratkan cara debitur menggunakan pinjaman uang itu. 440 Di pihak lain, Tan Kamelo mengemukakan, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian timbal balik. Apabila satu pihak dari bank dan nasabah debitur tidak memenuhi isi perjanjian bisa berakibat pihak lainnya menuntut untuk memenuhi prestasinya. Perjanjian kredit bank yang telah disepakati menimbulkan akibat hukum yang mengikat dan harus dijalankan dengan itikad baik. 441 Penyerahan uang dalam perjanjian kredit merupakan perjanjian sepihak. Jika pihak bank tidak merealisasikan 439
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 28. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak ...... Op. Cit., hlm. 178-179. 441 Perhatikan ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata. 440
Universitas Sumatera Utara
pinjaman, nasabah debitur tidak dapat menuntut bank dengan alasan ingkar janji. Begitu pula sebaliknya, bila nasabah debitur tidak mau mengambil pinjaman uang setelah diberitahukan, bank tidak dapat menuntut nasabah debitur. 442 Gambaran hubungan hukum yang dikemukakan di atas, berada dalam konsentrasi perbankan konvensional, dapat dibandingkan dengan hubungan hukum antara bank dengan nasabah yang berlangsung pada perbankan syariah. Hubungan hukum yang tercipta antara bank syariah dan nasabah dalam konteks penghimpunan dana dilakukan melalui penitipan atau simpanan yang dalam tradisi fikih Islam dikenal dengan prinsip wadiah, yaitu titipan murni dari nasabah yang harus dijaga oleh bank dan dikembalikan kapan saja nasabah menghendaki. 443 Hubungan hukum yang terjadi dengan prinsip wadiah pada dasarnya adalah hubungan hukum penitipan murni yang bersifat amanah antara nasabah selaku pemberi amanah dan bank selaku penerima amanah. Bank selaku penerima simpanan atau titipan adalah yad al-amanah (tangan amanah), tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau aset yang dititipkan dan harus menjaganya sesuai kelaziman, namun dapat membebankan biaya penitipan. Penerima simpanan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan aset titipan, terkecuali terjadi akibat kesalahan dan kelalaian dalam menjaga aset titipan. 444 Dalam perekonomian modern, penerima titipan tidak saja sebagai penjaga, melainkan dapat menggunakan atau memanfaatkan aset titipan pada kegiatan perekonomian, sehingga tidak lagi berkedudukan sebagai yad al-amanah, tetapi 442
Tan Kamelo, Op. Cit., hlm. 18. Muhammad Syafii Antornio, Bank Syariah........ Op. Cit., hlm. 85 444 Ibid., hlm. 86. 443
Universitas Sumatera Utara
sebagai yad adh-dhamanah (tangan penanggung). Dengan kedudukan demikian, bank selaku penerima titipan dengan izin pemberi titipan dapat mempergunakan aset titipan dalam kegiatan perekonomian. Penerima titipan harus menjamin akan pengembalian aset yang dititipkan serta bertanggung jawab atas kehilangan maupun kerusakan yang terjadi atas aset tersebut. Bank sebagai penerima titipan yang sekaligus memanfaatkannya, tidak dilarang memberi insentif atau bonus, dengan ketentuan tidak disyaratkan sebelumnya melainkan berdasarkan kebijksanaan manajemen bank. 445 UUPS 2008 membedakan simpanan dengan penitipan, namun tidak menjelaskan apakah bank secara otomatis dipandang sebagai pemilik dari simpanan yang diberikan oleh nasabah, sehingga bank dapat menyalurkan dana dengan memanfaatkan simpanan tersebut kepada nasabah pengguna dana. 446 Sementara, pada penitipan, posisi perbankan syariah jelas disebut tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta yang dititip, 447 sehingga perbankan tidak dapat menyalurkannya kepada nasabah pengguna yang memerlukan. Dalam UUP 1998 yang mengubah UUP 1992 lebih ditegaskan, harta yang dititip wajib dibukukan dan di catat secara tersendiri, dan bila bank mengalami kepailitan, harta yang dititipkan tidak masuk harta failit serta wajib dikembalikan kepada penitip bersangkutan. 448 Ketentuan ini meski tidak dijumpai di dalam UUPS 2008, namun berlaku juga bagi usaha penitipan menurut 445
Ibid., hlm. 87. Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 8. 446 Pasal 1 butir 20 UUPS 2008 menyebut simpanan sebagai dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada perbankan syariah berdasarkan akad wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu . 447 Perhatikan ketentuan Pasal 1 butir 27 UUPS 2008. 448 Pasal 9 UUP 1998 sebagai pengubah UUP 1992.
Universitas Sumatera Utara
UUPS 2008, karena hak kepemilikan atas harta yang dititip tetap kepunyaan penitip, bukan milik bank syariah. Simpanan dalam konstruksi perbankan syariah berdasarkan fatwa DSN-MUI bisa dilakukan berdasarkan prinsip mudharabah dan wadiah. Baik giro, tabungan, maupun deposito sebagai simpanan dana yang didasarkan pada prinsip mudharabah dapat disalurkan oleh bank ke dalam berbagai kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, dan mengembangkannya, termasuk melakukan mudharabah dengan pihak lain. 449 Konstuksi hukum yang dipakai dalam hubungan bank syariah dengan nasabah deposan dalam konteks ini adalah simpanan dengan prinsip mudharabah. Dengan konstruksi ini, dana yang disimpan nasabah dapat disalurkan bank kepada nasabah pengguna dana dalam skema pembiayaan mudharabah atau pembiayaan lainnya. Nasabah penyimpan sebagai pemilik dana (shahibul mal) memberi kepercayaan dan kebebasan kepada bank selaku pengelola dana (mudharib) dalam pengelolaan investasinya dengan nisbah pembagian keuntungan dari usaha dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dengan menggunakan akad mudharabah terjalin kerjasama antara nasabah sebagai pemilik dana (shahibul mal) dan bank selaku pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha. Fatwa DSN-MUI tentang giro, tabungan maupun deposito sebagaimana disinggung terdahulu membenarkan praktik mudharabah bertingkat pada sistem 449
Perhatikan fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, fatwa DSN No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, dan fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito
Universitas Sumatera Utara
perbankan syariah. Perbankan syariah dalam melaksanakan fungsi intermediasi berada pada posisi mudharib sekaligus sebagai shahibul mal. Dalam posisi mudharib, bank bertindak sebagai operator yang mengelola dana penyimpan dan pada posisi shahibul mal, bank menjadi pemilik yang memberikan dana kepada pengguna (pengusaha) yang berperan sebagai operator atau pengelola pada usaha yang dibiayai. Berdasarkan prinsip mudharabah, bank syariah berfungsi sebagai mitra, baik dengan penyimpan dana maupun dengan pengusaha pengguna dana. 450 Dalam kapasitasnya sebagai pengelola dana (mudharib) bank syariah melakukannya berdasar skema mudharabah muthlaqah atau muqayyadah. Berdasar skema mudharabah muthlaqah, bank syariah dapat dengan bebas mengelola dan menggunakan dana nasabah tanpa pembatasan, baik spesifikasi jenis usaha, waktu maupun daerah bisnis yang dibiayai. Sebaliknya, pada sisi mudharabah muqayyadah, bank syariah dibatasi kekuasaannya dalam mengelola dana untuk jenis usaha, waktu, dan jenis usaha tertentu berdasarkan persetujuan nasabah penyimpan. 451 Hubungan bank dan nasabah penyimpan dalam bentuk giro dan tabungan yang didasarkan pada prinsip wadiah, adalah bersifat titipan dan simpanan serta bisa diambil kapan saja (on call). Konstruksi ini menempatkan bank syariah selaku penerima titipan yang harus menjaga dan mengembalikan titipan atau simpanan setiap saat bila nasabah menghendaki. Bank syariah bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut dan tidak disyaratkan pemberian imbalan, kecuali pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
450 451
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah ......, Op. Cit., hlm. 90. Ridwan Nurdin, Op. Cit., hlm. 57. Muhammad Syafii Antonio, Op. Cit., hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat (lending) dalam bentuk pembiayaan,
di implementasikan perbankan syariah ke dalam pola bagi hasil
(syarikah atau syirkah), jual beli (tijarah), sewa menyewa (ijarah), peminjaman (qardh). Akad mudharabah dan musyarakah tergolong pembiayaan berdasarkan pola bagi hasil. Akad murabahah, salam dan istishna termasuk pembiayaan dengan pola jual beli (tijarah). Akad ijarah muntahiya bit tamlik merupakan pembiayaan berpola sewa menyewa (ijarah). Sedang akad qardh atau qardh al-hasan tergolong pembiayaan berpola pinjam meminjam. Pembiayaan berpola bagi hasil, jual beli dan sewa menyewa pada dasarnya merupakan kegiatan usaha perbankan syariah bersifat komersial untuk memperoleh keuntungan, dan imbalan. Sedang pinjam meminjam dengan
akad
qardh
bersifat
non-komersial,
karena
peminjam
diwajibkan
mengembalikan pinjaman tanpa dibebankan jasa atau imbalan tertentu. 452 Dalam perkembangan dunia perbankan, pinjaman sosial ini dikenakan biaya administrasi yang berkaitan biaya operasional, seperti biaya materai, notaris, peninjauan feasibility proyek dan biaya pegawai bank. 453 Terlihat bahwa pembiayaan yang dikenal dalam produk usaha perbankan syariah lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penyaluran dana melalui kredit yang dikenal dalam bank konvensional. Kegiatan usaha perbankan syariah lainnya adalah memberi jasa perbankan kepada masyarakat, seperti transfer uang, bank garansi, save deposit box, dan jasa perbankan lainnya. Hubungan antara perbankan syariah dan nasabah pada kegiatan jasa meliputi wakalah, kafalah dan hawalah.
452 453
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah ......Op. Cit., hlm. 131. Muhammad, Sistem dan Prosedur .... Op. Cit., hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan hukum yang terjadi antara perbankan syariah dan nasabah adalah hubungan kontraktual, sehingga hubungan hukum yang timbul adalah transaksi berdasarkan perjanjian. 454 Hubungan hukum perbankan syariah dan nasabah yang memanfaatkan jasa perbankan dalam praktiknya dituangkan dalam bentuk akad atau perjanjian tertulis. Akad yang dibuat memuat aturan mengenai syarat dan ketentuan yang berkaitan dengan substansi kegiatan usaha yang akan difasilitasi bank syariah. Dalam hukum Islam, agar akad sah dan mengikat harus memenuhi rukun dan syarat akad. Rukun akad merupakan unsur esensial yang mutlak ada, sedang syarat merupakan unsur yang harus ada untuk melengkapi rukun. Menurut ahli hukum Islam, rukun yang membentuk akad terdiri atas empat, yaitu shighat akad yang merupakan pernyataan kehendak para pihak, pihak-pihak yang membuat akad, objek akad, dan tujuan akad. 455 Masing-masing rukun memerlukan syarat agar dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa syarat dimaksud, rukun tidak dapat membentuk akad. Rukun shighat akad harus memenuhi syarat persesuaian ijab-kabul dan kesatuan majelis akad. Rukun pihak-pihak yang membuat akad harus memenuhi syarat tamyiz dan berbilang pihak. Rukun objek akad harus memenuhi tiga syarat, yaitu objek dapat diserahkan, objek tertentu atau dapat ditentukan, dan objek dapat ditransaksikan. Rukun tujuan akad harus memenuhi syarat tidak bertentangan dengan syarak. 456
454
Berdasar ketentuan Pasal 1233 KUH. Perdata, tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan atau perjanjian dan karena undang-undang. 455 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 96. Fathurrahman Djamil, Op. Cit., hlm. 28. Perhatikan pula Pasal 22 KHES. 456 Syamsul Anwar, ibid., hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
Bila dihadapkan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH. Perdata yang memuat syarat sahnya perjanjian, secara garis besar akan terlihat adanya kesamaan dengan rukun dan syarat akad dalam hukum Islam. Syarat kecakapan dalam KUH. Perdata sama dengan tamyiz dari rukun kedua akad. Syarat kesepakatan sama dengan ijabkabul dalam rukun pertama akad. Syarat suatu hal tertentu dalam KUH. Perdata sama dengan objek akad dalam hukum Islam. Syarat sebab yang halal sama dengan rukun keempat akad yaitu tidak bertentangan dengan syarak. 457 Selain tidak melanggar syariat Islam, syarat dan ketentuan yang terdapat dalam akad tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. 458 Suatu akad tidak hanya mengikat untuk hal yang dinyatakan secara tegas didalam akad, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat akad diharuskan oleh kapatutan, kebiasaan, dan nash syariah. 459 Disamping itu, hubungan hukum yang timbul dari perjanjian harus terkait dengan asas-asas akad atau perjanjian syariah. Asas ini berpengaruh pada status akad, karena bila tidak terpenuhi akan mengakibatkan tidak sahnya akad yang dibuat. Fathurrahman Djamil mengemukakan tujuh asas, yaitu kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), keadilan (al-adalah), konsensualisme (al-ridhaiyah), 457
Ibid., hlm. 106. Pasal 26 KHES. Pasal 1337 KUH. Perdata menentukan, suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 459 Pasal 45 KHES. Ketentuan yang diatur Pasal 45 KHES mirip dengan ketentuan Pasal 1339 KUH. Perdata, bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk segala sesuatu yang dinyatakan didalamnya, tetapi juga terikat dengan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Ketentuan ini menghendaki agar para pihak didalam melaksanakan perjanjian tidak semata memperhatikan materi perjanjian, melainkan harus juga memperhatikan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Berdasarkan aturan Pasal 1339 KUH. Perdata disimpulkan, bahwa elemen-elemen perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Mariam Darus Badrulzaman, KUH. Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 116. 458
Universitas Sumatera Utara
kejujuran (ash-shidq), kemanfaatan (al-manfaat), dan tertulis (al-kitabah). 460 Demikian juga Syamsul Anwar mengemukakan delapan asas perjanjian dalam hukum Islam, yaitu asas ibahah (al-ibahah), kebebasan berakad (hurriyah), konsensualisme (ar-radhiyah), janji mengikat, keseimbangan (at-tawazun), kemaslahatan (almashlahah), amanah, dan asas keadilan. 461 Hubungan hukum bank syariah dan nasabah sebagai hubungan kontraktual, senantiasa memperhatikan prinsip dasar yang disebut UUPS 2008 dalam setiap kegiatan usahanya. Hubungan hukum perbankan syariah dan nasabah bukan semata hubungan kontraktual biasa, melainkan yang didasarkan pada penerapan prinsip syariah, mengandung nilai-nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan serta penerapan prinsip kehati-hatian. Selain itu, hubungan hukum perbankan syariah dan nasabah juga didasarkan pada prinsip kepercayaan (fiduciary principle), dan
460
Fathurrahman Djamil , Op. Cit., hlm. 14-26. Syamsul Anwar, Op. Cit., hlm. 83-92. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2008, dan diperuntukkan sebagai pedoman bagi hakim pengadilan di lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, mengemukakan beberapa asas akad, yaitu: a. Ikhitayari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. b. Amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji. c. Ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. d. Luzum/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. e. Saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak. f. Taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. g. Transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. h. Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. i. Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. j. Itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. k. Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. Pasal 21 KHES. 461
Universitas Sumatera Utara
kerahasiaan (confidencial principle), serta mengenal nasabah (know your customer principle). 462 Ketentuan UUPS 2008 mewajibkan perbankan syariah dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya. 463 Ketentuan normatif ini memberi penekanan agar pembiayaan dan kegiatan usaha lain yang disalurkan perbankan syariah harus berhati-hati jangan sampai membawa kerugian, tidak saja bagi perbankan syariah sendiri, melainkan juga bagi nasabah penyimpan dana. Hubungan hukum yang terjadi di lingkungan perbankan syariah dalam melaksanakan fungs intermediasi terjadi antara perbankan syariah dan nasabah, baik sebagai nasabah penyimpan maupun pengguna dana. Tidak terjadi hubungan hukum antara sesama nasabah, yaitu antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah pengguna dana, sehingga nasabah penyimpan tidak dapat meminta pertanggunjawaban nasabah pengguna sekiranya terjadi salah kelola dari dana yang disalurkan bank syariah. Hubungan yang timbul antarnasabah tadi adalah hubungan moral yang pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. 464 Sudah menjadi keharusan bagi pengelolaan perbankan syariah harus didasarkan pada terjaganya moral dari para pelaku pasar. Tanpa komitmen moral, bisa terjadi pelaku pasar melakukan berbagai cara untuk melanggar hukum tanpa terdeteksi atau bahkan
462
Nindyo Pramono, Op. Cit., hlm. 243. Pasal 36 UUPS 2008. 464 Tan Kamelo, Op. Cit., hlm. 7. 463
Universitas Sumatera Utara
tanpa mendapat tuntutan hukum. Hukum dengan demikian diperlukan sebagai pengawas dan kontrol dalam pelaksanaan berbagai aktivitas perbankan syariah. 465 Prinsip syariah sebagai asas utama perbankan syariah bersifat mengikat bagi semua pelaku yang melakukan transaksi perbankan syariah, sangat menekankan begitu pentingnya moral atau akhlak dalam bahasa agama, yang berisi nilai etika dalam berinteraksi sesama makhluk agar hubungan menjadi saling menguntungkan, sinergis dan harmonis. 466 Syariah sangat menekankan kebersamaan yang didasarkan pada ukhuwah islamiyah dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah tegak berdasarkan prinsip saling mengenal (taaruf), tolong menolong (taawun) maupun saling menjamin (takaful), 467 sehingga terwujud saling menjaga amanah dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kegiatan usaha yang dibiayai perbankan syariah. Dana yang disalurkan perbankan melalui kegiatan pembiayaan, harus disadari berasal dari nasabah penyimpan yang menginginkan dananya produktif untuk dapat dimanfaatkan nasabah pengguna secara halal lagi baik (halalan thayyiban) dan tidak merugikan. Dapat dikatakan, nasabah pengguna menjalankan amanah yang diberikan nasabah penyimpan melalui fungsi perbankan syariah untuk memanfaatkan dananya pada kegiatan yang saling memberi keuntungan yang dilandasi paradigma ketauhidan. Dengan paradigma ini, aktivitas perbankan syariah senantiasa terkait dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran dunia-akhirat. Implikasinya, perbankan syariah tidak semata mengejar keuntungan (profit oriented) 465
M. Umar Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance, ......., Op. Cit., hlm. 117. Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta: LPFE Usakti, 2009), hlm. 91 467 Ibid., hlm. 92. 466
Universitas Sumatera Utara
seperti bank konvensional melainkan juga falah oriented, yaitu mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat. 468
D.
Pola Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Pada Perbankan Syariah Hubungan hukum antara perbankan syariah dengan nasabah dari sisi
pembiayaan merupakan penyaluran dana yang diberikan bank syariah atau UUS kepada nasabah yang mewajibkan pihak penerima pembiayaan atau yang diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana pembiayaan tersebut setelah jangka waktu tertentu berikut bagi hasil atau imbalan ataupun tanpa imbalan. 469 Sebelum menyalurkan dana pembiayaan, bank syariah dan UUS harus memiliki keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi semua kewajiban pada waktunya. Keyakinan dapat diperoleh melalui kewajiban bank syariah dan UUS dengan melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. 470 Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang disalurkan perbankan syariah mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, dan dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah atau UUS. 471 Meski perbankan syariah tidak pernah menginginkan terjadinya permasalahan dari penyaluran pembiayaan yang diberikan kepada nasabah, namun tidak mustahil pembiayaan tetap bermasalah (Non Performing Financing - NPF) dengan mengalami
468
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah .....Op. Cit., hlm. 34. Pasal 1 butir 25 UUPS 2008; Pasal 1 butir 12 UUP 1992 jo. UUP 1998. 470 Pasal 23 ayat (1), (2) beserta Penjelasan UUPS 2008 471 Penjelasan Pasal 37 UUPS 2008; Penjelasan Pasal 8 UUP 1992 jo. UUP 1998. 469
Universitas Sumatera Utara
kegagalan atau kemacetan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu dilakukan upaya penanganan bagi penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan. NPF dapat terjadi bila nasabah tidak membayar angsuran dana pembiayaan atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang diharapkan bagi perbankan syariah, sehingga perolehan bagi hasil yang telah disepakati tidak dapat dibayar oleh nasabah. 472 Penyebab yang bisa menimbulkan pembiayaan menjadi bermasalah dapat terjadi karena kesalahan prosedur pada pemrosesan permohonan pembiayaan hingga disetujui oleh bank atau karena kesengajaan pihak yang harus memenuhi kewajiban atau karena keadaan yang tidak terhindarkan terjadinya suatu peristiwa. 473 Penyelamatan pembiayaan merupakan upaya yang dilakukan perbankan syariah untuk membantu nasabah yang masih memiliki prospek usaha, namun mengalami kesulitan memenuhi kewajiban pokok, untuk dapat melakukan kegiatan usahanya kembali sehingga bisa menyelesaikan kewajibannya kepada perbankan. 474 Fokus penyelamatan pembiayaan ada pada upaya tercapainya pembayaran kembali pembiayaan yang menjadi kewajiban nasabah penerima pembiayaan kepada perbankan syariah. Sementara, fokus penyelesaian pembiayaan terletak pada tindakan menarik kembali pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah oleh perbankan syariah melalui upaya yanag dapat dilakukan secara paksa melalui proses penegakan
472
Hendy Herijanto, Selamatkan Perbankan, (Jakarta: Expose, 2013), hlm. 6. Hendy Herijanto mengatakan, pengertian Non Performing Loan (NPL) bagi bank konvensional adalah setara dengan Non PerformingFinancing (NPF) bagi bank syariah. Dikatakan NPF bagi bank syariah, karena bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi melakukan pembiayaan terhadap suatu transaksi dalam bentuk jual beli atau berbentuk partisipasi dalam usaha. 473 Bandingkan dengan Hendy Herijanto, ibid., hlm. 125. 474 A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 448. Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 82
Universitas Sumatera Utara
hukum. Upaya paksa dilakukan atas pembiayaan yang tidak memiliki prospek untuk mendapatkan pelunasan kembali atas pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah, dengan tujuan mencegah risiko bank yang semakin besar. 475 Pemahaman terhadap pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing) pada perbankan syariah dapat ditelusuri pada PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008. Kualitas pembiayaan dinilai berdasarkan, a) prospek usaha; b) kinerja (performance) nasabah; dan c) kemampuan membayar. 476 Melalui penilaian atas aspek-aspek tersebut, kualitas pembiayaan ditetapkan kedalam 5 (lima) golongan, yakni lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet. 477 Kualitas pembiayaan lancar dan dalam perhatian khusus termasuk kategori normal, sedang kualitas pembiayaan pada golongan kurang lancar, diragukan, dan macet termasuk ke dalam pengertian NPF atau pembiayaan bermasalah. 478
475
Bandingkan Veithzal Rivai, et.al., Commercial Bank Management: Manajemen Perbankan Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 241. 476 Masing-masing aspek yang dinilai diatur lebih lanjut komponen-komponennya. 1) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen-komponen: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. Dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. 2) Penilaian terhadap kinerja nasabah meliputi komponen-komponen: a. perolehan laba; b. struktur permodalam; c. arus kas; dan d. Sensitivitas terhadap risiko pasar. 3) Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi komponen-komponen: a. ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; c. kelengkapan dokumentasi pembiayaan; d. kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. 477 Pasal 9 PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008. Dalam praktik perbankan, kualitas pembiayaan untuk kualitas lancar disebut golongan I, kualitas dalam perhatian khusus disebut golongan II, kualitas kurang lancar disebut golongan III, kualitas diragukan disebut golongan IV, dan untuk kualitas macet disebut golongan V. 478 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan....Op. Cit., hlm. 66. Merujuk pada Hendy Herijanto NPL/NPF adalah istilah yang dipakai dilingkungan perbankan yang menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan lebih lanjut sehubungan dengan terbitnya PBI No. 8/21/PBI/2006 yang kemudian diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008, dikeluarkan SEBI No. 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 10/36/DPbS tanggal 22 Oktober 2008. Dalam SEBI diadakan pembedaan penggolongan kualitas pembiayaan berdasarkan pengelompokan produk pembiayaan, yaitu: a) Penggolongan Kualitas Mudharabah dan Musyarakah. b) Penggolongan Kualitas Murabahah, Istishna, Qardh dan Transaksi Multijasa. c) Penggolongan Kualitas Ijarah atau Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik. d) Penggolongan Kualitas Salam. Pada masing-masing golongan kualitas pembiayaan ditetapkan kriteria-kriteria penilaian dari aspek-aspek prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar. 479 Perbankan syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaan untuk menghindari risiko kerugian. Untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah penerima pembiayaan yang masih memiliki prospek atau kemampuan membayar, perbankan syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan. Restrukturisasi pembiayaan diatur dalam PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011. Ketentuan pelaksanaan dari PBI yang mengatur mengenai
kredit/pembiayaan telah bermasalah karena terjadi tunggakan bunga/bagi hasil (kewajiban lain) dan/atau angsuran pokok lebih dari 90 hari. Di Indonesia, NPL/NPF berarti seluruh kredit/pembiayaan yang tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu kurang lancar, diragukan, dan macet. Hendy Herijanto, Op. Cit., hlm. xxx. 479 Lampiran I SEBI No. 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 10/36/DPbS tanggal 22 Oktober 2008.
Universitas Sumatera Utara
restrukturisasi pembiayaan diatur dalam SEBI No. 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 perihal Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011, dan SEBI No. 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 perihal Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Menurut ketentuan BI, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi pembiayaan. Kebijakan restrukturisasi wajib disetujui komisaris, dan komisaris sekaligus berkewajiban untuk melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan kebijakan restrukturisasi. Prosedur pelaksanaan wajib disetujui paling kurang oleh direksi. Kebijakan dan prosedur pelaksanaan restrukturisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko bank. 480 Perbankan syariah hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria: a) Nasabah telah atau diperkirakan mengalami penurunan atau kesulitan kemampuan dalam pembayaran dan/atau pemenuhan kewajibannya, dan b) Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. 481 Jadi, tujuan restrukturisasi adalah upaya membantu nasabah penerima fasilitas pembiayaan agar dapat memenuhi kewajibannya, sehingga bank dapat terhindar dari kerugian akibat nasabah tidak memenuhi kewajibannya.
480
Inti bisnis perbankan adalah menyerap risiko, dengan fungsi menjembatani fungsi penawaran dari tabungan dan fungsi permintaan terhadap dana untuk investasi. Penyerapan risiko dimungkinkan karena adanya asumsi, bahwa bank sebagai lembaga intermediasi keuangan memiliki skala portofolio pimjaman dengan diversifikasi risiko yang cukup, dan hal ini merupakan permintaan pasar. Hendy Herijanto, Op. Cit., hlm. 43. 481 Pasal 46 PBI No. 8/21/PBI/2006 yang kemudian diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan, berdasarkan PBI No. 10/34/DPbS sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/18/DPbS, paling kurang mencakup: Pertama, penetapan satuan kerja khusus untuk menangani restrukturisasi pembiayaan; Kedua, penetapan limit wewenang memutus pembiayaan yang direstrukturisasi; Ketiga, kriteria pembiayaan yang dapat direstrukturisasi; Keempat, sistem dan standard operating procedure restrukturisasi pembiayaan; Kelima, sistem informasi manajemen pembiayaan yang direstrukturisasi; Keenam, penetapan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan terhadap pembiayaan yang tergolong non-lancar (kurang lancar, diragukan, dan macet); Ketujuh, BUS atau UUS melakukan penyempurnaan terhadap kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan bila dinilai oleh BI kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penanganan restrukturisasi pembiayaan dilakukan dengan membantuk satuan kerja khusus yang pembentukannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing BUS atau UUS. Pejabat atau pegawai yang melakukan restrukturisasi harus berbeda dengan pejabat atau pegawai yang terlibat dalam pemberian pembiayaan. Keputusan restrukturisasi pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari pejabat yang memutuskan pemberian pembiayaan. Apabila keputusan pemberian pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar perusahaan, maka keputusan
Universitas Sumatera Utara
restrukturisasi pembiayaan dilakukan pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pejabat pemberi pembiayaan. 482 Restrukturisasi terhadap pembiayaan bermasalah selain memperhatikan prinsip kehati-hatian harus mengindahkan prinsip syariah. Penerapan prinsip syariah dalam restrkturisasi pembiayaan berupa pengenaan ganti rugi (takwidh) kepada nasabah. Ganti rugi ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan, bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss). Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS atau UUS dengan nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan, termasuk penetapan ganti rugi harus dituangkan dalam addendum akad pembiayaan. Jika restrukturisasi pembiayaan dilakukan dalam bentuk konversi akad, maka harus dibuat akad pembiayaan baru. 483
Pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan dilakukan melalui
analisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. Analisis yang dilakukan konsultan keuangan independen dan BUS atau UUS terhadap pembiayaan yang direstrukturisasi serta setiap tahapan pelaksanaan restrukturisasi didokumentasikan secara lengkap dan jelas. Restrukturisasi pembiayaan diartikan sebagai upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning) dan penataan kembali (restructuring). 484 Penjadwalan kembali (rescheduling)
482
SEBI No. 10/34/DPbS, Angka III SEBI No. 10/34/DPbS, Angka V. 484 PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, sebagaimana diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011, Pasal 1 angka 7. 483
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan mengadakan perubahan jadwal, pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Persyaratan kembali (reconditioning) merupakan perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi: Pertama, perubahan jadwal pembiayaan; Kedua, perubahan jumlah angsuran; Ketiga, perubahan
jangka
waktu;
Keempat,
perubahan
nisbah
dalam
pembiayaan
mudharabah atau musyarakah; Kelima, perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah, dan/atau keenam, pemberian potongan. Penataan
kembali
(restructuring)
merupakan
perubahan
persyaratan
pembiayaan yang antara lain meliputi: Pertama, penambahan dana fasilitas pembiayaan bank; Kedua, konversi akad pembiayaan; Ketiga, konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah, dan/atau keempat, konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. Pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bermasalah dapat dilakukan secara kombinasi atau campuran dari aspek yang ada. Pemberian keringanan jumlah angsuran misalnya dapat dikombinasikan dengan disertai pemberian kelonggaran jadwal pembayaran. Kombinasi tentu tidak diperlukan terhadap restrukturisasi yang dilakukan dengan cara konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, karena dengan cara itu kewajiban nasabah penerima fasilitas kepada perbankan syariah menjadi lunas, dan bank syariah menjadi
Universitas Sumatera Utara
pemegang saham dari perusahaan nasabah. 485 Selain itu, perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo, serta bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar, tidak termasuk restrukturisasi pembiayaan. 486 Restrukturisasi
pembiayaan
dapat
dilakukan
terhadap
seluruh
jenis
pembiayaan dengan cara rescheduling, reconditioning maupun restructuring. Berbagai jenis pembiayaan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membawa konsekwensi bagi pelaksanaan cara restrukturisasi pembiayaan. Dengan berbagai jenis pembiayaan perbankan syariah, maka restrukturisasi dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dari masing-masing pembiayaan. Tabel 6: Tata Cara Restrukturisasi Pembiayaan Jenis Pembiayaan Piutang Murabahah dan Istishna
Cara Restrukturisasi Rescheduling Reconditioning Restructuring Memperpanjang Menetapkan Melakukan jangka waktu jatuh kembali syaratkonversi tempo pembiayaan syarat pembiayaan piutang tanpa mengubah sisa antara lain murabahah kewjiban nasabah perubahan jadwal atau piutang yang harus pembayaran, istishna sebesar dibayarkan kepada jumlah angsuran, sisa kewajiban BUS atau UUS jangka waktu nasabah dan/atau pemberian menjadi ijarah potongan muntahiyyah sepanjang tidak bittamlik atau menambah sisa mudharabah kewajiban nasabah atau musyarakah. 488 yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. 487 Melakukan
485
A. Wangsawidjaja, Op. Cit., hlm. 449 Penjelasan Pasal 5 ayat (3) PBI No. 10/18/PBI/2008 jo. PBI No. 13/9/PBI/2011. 487 Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi piutang murabahah atau istishna merupakan jumlah pokok dan margin yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi 486
Universitas Sumatera Utara
konversi menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah. 489 Melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara. 490 Melakukan konversi murabahah menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah 488
Konversi piutang murabahah dan istishna dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dengan memperhitungkan nilai wajar objek murabahah atau istishna. Jika terdapat perbedaan antara jumlah kewajiban nasabah dengan nilai wajar objek murabahah atau istishna , maka diakui sebagai berikut: a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban nasabah, maka sisa kewajiban nasabah tersebut tetap menjadi hak BUS atau UUS yang penyelesaiannya disepakati antara BUS atau UUS dengan nasabah; b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban nasabah, maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka ijarah muntahiyya bittamlik atau menambah porsi modal nasabah untuk musyarakah atau mengurangi modal mudharabah dari BUS atau UUS. 2) Objek murabahah atau istishna sebelumnya menjadi dasar untuk pembuatan akad pembiayaan baru. 3) BUS atau UUS melakukan akad pembiayaan baru dengan mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah. Pembuatan akad pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan BI mengenai pelaksanaan prinsip syariah. 4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad pembiayaan sebelumnya dalam akad pembiayaan baru. 489 Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau istishna. 2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah dengan nasabah atas Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai. 3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah. 490 Penyertaan Modal Sementara dilakukan sebagai berikut: 1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
Universitas Sumatera Utara
atau musyarakah. 491
Piutang Salam
Piutang Qardh
Memperpanjang jangka waktu jatuh tempo penyerahan barang salam tanpa mengubah spesifikasi dan kekurangan jumlah barang yang harus diserahkan nasabah kepada BUS atau UUS
Menetapkan kembali syaratsyarat pembiayaan antara lain spesifikasi barang, jumlah, jangka waktu, jadwal penyerahan, pemberian potongan piutang dan/atau lainnya tanpa menambah nilai barang yang harus diserahkan nasabah kepada BUS atau UUS Memperpanjang Menetapkan jangka waktu jatuh kembali syarattempo pembiayaan syarat pembiayaan tanpa mengubah sisa antara lain kewajiban nasabah perubahan jadwal yang harus pembayaran, dibayarkan kepada jumlah angsuran, BUS atau UUS jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada
Penambahan dana oleh BUS atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik
491
Restrukturisasi akad murabahah dengan cara konversi menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau musyarkah didasarkan pada Fatwa DSN-MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah. LKS boleh melakukan konversi atas murabahah dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak bisa melunasi pembiayaan murabahah sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, namun nasabah masih prospektif. Pelaksanaan konversi dilakukan dengan menghentikan akad murabahah dengan cara: 1) objek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar; 2) nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan; 3) apabila hasil penjualan melebihi sisa utang, maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah; apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang, maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah. Akad baru sebagai hasil konversi akad murabahah dapat berupa ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau musyarakah.
Universitas Sumatera Utara
Mudharabah dan Musyarakah
Ijarah dan jarah Muntahiyya Bittamlik
BUS atau UUS. 492 Memperpanjang Menetapkan jangka waktu jatuh kembali syarattempo pembiayaan syarat pembiayaan tanpa mengubah sisa antara lain nisbah kewajiban nasabah bagi hasil, jumlah yang harus angsuran, jangka dibayarkan kepada waktu, jadwal BUS atau UUS pembayaran, pemberian potongan pokok dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. 493
Memperpanjang jangka waktu jatuh tempo pembayaran,
Menetapkan kembali syaratsyarat pembiayaan
Penambahan dana oleh BUS atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik Melakukan konversi menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah. 494 Melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara. 495 Melakukan konversi akad ijarah atau
492
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan qardh merupakan jumlah pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi. 493 Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah merupakan jumlah pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi. 494 Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah. 2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah dengan nasabah untuk Surat Berhagra Syariah Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai. 3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah. 495 Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1)Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar sisa kewajiban nasabah
Universitas Sumatera Utara
dan BUS atau UUS dapat menetapkan kembali besarnya ujrah yang harus dibayar nasabah. 496
antara lain jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan ujrah dan/atau lainnya , dan BUS atau UUS dapat menetapkan kembali ujrah yang harus dibayar nasabah. 497
akad ijarah muntahyyah bittamlik menjadi mudharabah atau musyarakah. 498 Melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara. 499
496
Perpanjangan waktu dalam restrukturisasi ijarah dan ijarah muntahiyya bittamlik melalui rescheduling dilakukan dengan memperhatikan kondisi berikut: 1) Aktiva ijarah dimiliki oleh BUS atau UUS. Jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan umur ekonomis aktiva ijarah. 2) Aktivaijarah bukan milik BUS atau UUS. Jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan berakhirnya hak penggunaan aktiva ijarah. 497 Restrukturisasi ijarah dan ijarah muntahiyya bittamlik melalui reconditioning dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: 1) Aktiva ijarah dimiliki oleh BUS atau UUS. Jika BUS atau UUS memberikan perpanjangan jangka waktu, maka jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan umur ekonomis aktiva ijarah. 2) Aktiva ijarah bukan milik BUS atau UUS. Jika BUS atau UUS memberikan perpanjangan jangka waktu, maka jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan berakhirnya hak penggunaan aktiva ijarah. 498 Konversi pembiayaan terhadap aktiva ijarah yang dimiliki BUS atau UUS dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyya bittamlik dengan memperhitungkan nilai wajar aktiva ijarah. Bila terdapat perbedaan antara nilai wajar aktiva ijarah dengan nilai buku aktiva ijarah ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka diakui sebagai berikut: a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut; b) apabila nilai wajar lebih besar daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui keuntungan yang ditangguhkan sebesar selisih tersebut dan diamortisasi selama masa akad mudharabah atau musyarakah. 2) BUS atau UUS membuat akad pembiayaan baru dengan mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar nasabah (cash flow). Pembuatan akad baru harus sesuai dengan prinsip syariah yang diatuur dalam ketentuan BI. 3) BUS atau UUS mencatat pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah sebesar nilai wajar aktiva ijarah. 4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad pembiayaan sebelumnya dalam akad pembiayaan baru. 499 Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakkukan pada nasabah yang merupakan badan usaha yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyya bittamlik dengan memperhitungkan nilai wajar aktiva ijarah. Bila terdapat perbedaan antara nilai wajar aktiva ijarah dengan nilai buku aktiva ijarah ditambah tunggakan angsuran jarah, maka diakui sebagai berikut: a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut. b) apabila nilai wajar lebih besar daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah , maka BUS atau UUS mengakui keuntungan yang ditangguhkan sebesar selisih tersebut dan diamortisasi selama masa Penyertaan Modal Sementara. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha
Universitas Sumatera Utara
Ijarah Multijasa
Memperpanjang jangka waktu jatuh tempo pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
Menetapkan kembali syaratsyarat pembiayaan antara lain jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan piutang dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS
Dari tata cara restrukturisasi pembiayaan yang diatur dalam ketentuan BI sebagai upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah berdasarkan prinsip syariah dapat terjadi dalam beberapa bentuk meliputi: Pertama, memperpanjang jangka waktu pembiayaan; Kedua, penambahan dana pembiayaan; Ketiga, konversi akad pembiayaan; Keempat, perubahan nisbah bagi hasil atau imbalan pembiayaan; Kelima, pemberian potongan
pembiayaan; Keenam, penambahan dana fasilitas
pembiayaan; Ketujuh, perubahan jumlah angsuran. Restrukturisasi merupakan cara penanggulangan piutang yang sejalan dengan prinsip syariah dalam penyelamatan atau penyelesaian kewajiban dari pembiayaan bermasalah. 500 Ajaran Islam yang bersumber pada Alquran dan Hadis mengakui kemungkinan terjadinya restrukturisasi utang atau pembiayaan. Dalam Q.S. AlBaqarah (2): 280, ditegaskan, “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka
yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar nilai wajar aktiva ijarah. 500 Faturrahman Djamil, Penyelesaian ....Op. Cit., hlm. 86.
Universitas Sumatera Utara
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Melalui ayat ini, penanganan piutang atau pembiayaan bermasalah dapat diselesaikan melalui penangguhan pembayaran kewajiban (rescheduling) dan menyedekahkan sebagian (reconditioning) atau seluruh utang (cut off atau writte off). Penangguhan kewajiban dilakukan melalui cara penjadwalan kembali (rescheduling) terhadap kewajiban dengan harapan nasabah memiliki kemampuan membayar kembali semua kewajibannya
kepada
perbankan.
Sekira
nasabah
tidak
mampu
melunasi
kewajibannya, perbankan dapat menyedekahkan sebagian piutangnya, yang disamakan dengan pemberian potongan atas pokok pembiayaan atau nisbah bagi hasil. Dalam restrukturisasi pembiayaan perbankan syariah, konsep pemberian potongan ini dilakukan melalui penetapan kembali syarat-syarat pembiayaan (reconditioning). Apabila upaya penangguhan dan penyedekahan sebagian kewajiban telah dilakukan, namun pelaksanaan pembiayaan tetap bermasalah karena kewajiban tetap tidak dapat dipenuhi, maka perbankan dapat menyedekahkan seluruh kewajiban yang tidak dapat dipenuhi nasabah. Dalam praktik perbankan, penyedekahan seluruh sisa utang atau kewajiban nasabah bermasalah dilakukan dengan cara memberikan hapus buku atau hapus tagih (writte off/cut off). Kebijakan hapus buku dan hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap pembiayaan yang digolongkan atau memiliki kualitas macet. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagi pembiayaan. 501
501
Perhatikan Pasal 47 dan 48 PBI No. 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.
Universitas Sumatera Utara
Rasulullah telah memberi tuntunan penyelesaian atas utang piutang atau pembiayaan bermasalah melalui hadis yang mendukung cara restrukturisasi. Rasulullah menyuruh pihak berpiutang untuk senantiasa berlaku sopan terhadap pihak berutang dan untuk menghapus sebagian pinjamannya. Pada satu riwayat disebutkan, Abdullah bin Abi Hadrat tidak mampu melunasi pinjaman yang jatuh tempo kepada Ka’ab bin Malik yang terus mendesak agar piutangnya dibayar. Nabi Muhammad meminta sahabatnya Ka’ab bin Malik untuk menghapuskan sebagian piutangnya yang harus dibayarkan oleh sahabat lain Abdullah bin Abi Hadrat, dan Ka’ab menyetujuinya. Atas persetujuan itu, Abdullah diminta membayar sisa utangnya dengan pembayaran sebisanya yang dapat dilakukan. 502 Ketentuan normatif yang terdapat dalam Alquran dan Hadis di atas telah diterapkan dalam PBI No. 10/18/PBI2008 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 13/9/PBI/2011
yang
mengatur
restrukturisasi
pembiayaan,
dan
PBI
No.
13/13/PBI/2011 yang berkaitan dengan hapus buku dan/atau hapus tagih pada BUS dan UUS. Seperti telah disebut terdahulu, hapus buku atau hapus tagih dapat dilakukan hanya terhadap pembiayaan berkualitas macet, terutama yang telah terpenuhi syarat pembayaran atau telah jatuh tempo. Apabila restrukturisasi tidak dapat dilakukan atau tidak berhasil yang menyebabkan pembiayaan macet, bank perlu mengambil tindakan penyelesaian dengan menempuh jalur hukum yang bersifat represif/kuratif. 503 Sengketa pembiayaan macet antara nasabah dengan perbankan
502
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance: A-Z Keuangan Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 256. 503 Faturrahman Djamil, Penyelesaian .... Op. Cit., hlm. 94. A. Wangsawidjaja, Op. Cit., hlm 465.
Universitas Sumatera Utara
syariah dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang diakui hukum, baik melalui mekanisme litigasi maupun non litigasi.
E. Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Berbagai produk perbankan syariah yang diikat hubungan hukum antara bank syariah dengan nasabah rentan kemungkinan menimbulkan sengketa. Sengketa dapat terjadi antara bank syariah dengan nasabah dalam berbagai transaksi yang dilakukan. Untuk itu, hukum yang memiliki fungsi sebagai sarana menyelesaikan sengketa (dispute settlement), sangat diperlukan perannya. Dengan fungsi demikian, hukum menyediakan berbagai mekanisme penyelesaian sengketa, baik bersifat litigasi maupun non-litigasi. Telah menjadi sunnatullah bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang saling memerlukan antara satu dengan lainnya dalam memenuhi jaminan mempertahankan kelangsungan hidup. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberi andil dari dan kepada orang lain, saling bermuamalah atau berinteraksi untuk memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan dalam kehidupannya. 504 Aristoteles menyebut manusia adalah zoon politikon, atau sering disebut makhluk bermasyarakat, yang oleh Hans Kelsen dijelaskan dengan makna “man is a social and political being”, yakni manusia itu selalu hidup dalam pergaulan hidup manusia, dan dalam keadaan demikian ia selalu berorganisasi. 505
504
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992),
hlm. 13. 505
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Indonesia, 1982), hlm. 32.
(Jakarta: Ghalia
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia saling berhubungan satu dengan lainnya dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya terwujud dengan adanya interaksi dalam masyarakat. Interaksi sosial ini merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan dasar proses sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. 506 Untuk melindungi berbagai kepentingan dalam hubungan sosial yang dinamis, di dalam masyarakat terdapat aturan berupa kaidah hukum. Harus diingat, hukum bukanlah satu-satunya yang mengatur pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Di samping hukum masih terdapat kaidah sosial lainnya berupa kaidah keagamaan, kesusilaan, dan adat kebiasaan. 507 Akan tetapi, dibandingkan dengan kaidah sosial lainnya, hukum memiliki kekuasaan yang bersifat memaksa, artinya pemaksaan guna menjamin ketentuan hukum itu sendiri berdasarkan aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara, maupun alat pelaksanaannya. 508 Hukum menitikberatkan pengaturan manusia sebagai makhluk sosial dan aspek lahiriahnya. Dari segi tujuannya, norma hukum diadakan dalam rangka mempertahankan bentuk kehidupan bermasyarakat sebagai modus survival. 509 Tujuan ini akan tercapai bila ada kekuasaan di luar individu dan mengatasi kekuasaan individu yang menetapkan preskripsi-preskripsi mengenai bagaimana manusia
506
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 67. 507 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 5. 508 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis,, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 4. 509 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 86.
Universitas Sumatera Utara
bertingkah laku seharusnya terhadap sesamanya agar agregasi yang bersifat asosiatifkooperatif tetap terpelihara. 510 Karena itu, hukum menjadi sarana utama dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat yang hendak diwujudkan oleh hukum adalah kehidupan yang berkeadilan sehingga menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam pergaulan hidup manusia. Hukum menjadi perhatian dan sarana utama untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dari gangguan yang arbiter oleh perorangan, golongan atau oleh pemerintah sendiri. 511 Untuk melaksanakan tugasnya hukum merasionalisasi kebebasan masingmasing individu, yaitu hukum mendamaikan berbagai kemauan bebas yang saling berbenturan, sehingga terwujud harmoni di dalam kehidupan bermasyarakat. Kant merasionalisasikan hukum sebagai sistem asas yang universal, yang akan diterapkan kepada tindakan manusia, yang dengannya setiap manusia boleh hidup bersama selamanya dengan kemauan bebas dari tiap manusia lainnya. Hegel merasionalisasi hukum sebagai sistem asas yang di dalamya dan olehnya gagasan tentang kebebasan dijelmakan dalam pengalaman manusia. Bentham merasionalisasi hukum sebagai himpunan kaedah yang ditetapkan dan dipaksanakan oleh kekuasaan negara, yang dengannya terjamin kebahagiaan maksimum untuk tiap orang yang dipahamkan sebagai kebebasan untuk mengemukakan diri dalam membela hak-haknya. Sementara Spencer merasionalisasi hukum sebagai himpunan kaedah yang dengannya orang
510
Ibid., hlm. 88. Harold J. Berman, “Latar Belakang Sejarah Hukum Amerika Serikat”, dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, (Jakarta: Tatanusa, 1996), hlm. 3. 511
Universitas Sumatera Utara
berdaya upaya memajukan kebebasan tiap orang yang dibatasi hanya oleh kebebasan yang serupa dari semua orang lainnya. 512 Meskipun secara nyata hukum tidak pernah dapat didefinisikan, namun para ahli hukum tidak pernah menyerah terhadap tantangan dalam mendefinisikannya. Pendefinisian hukum adalah sesuatu yang rasional dan perlu untuk menjaga konsep bahwa hukum adalah besar dan tidak pernah berakhir. 513 Sesuatu yang pasti adalah, kehidupan manusia dalam bermasyarakat memerlukan hukum dalam menjaga ketertiban dan mewujudkan keadilan. Suatu pengertian dapat diperoleh dalam The Oxford English Dictionary, yang menyebut hukum adalah kumpulan peraturan (the body of rules), baik peraturan tersebut bersumber dari undang-undang resmi maupun adat yang oleh suatu negara atau masyarakat dipandang sebagai mengikat bagi anggota atau warganya. Pemaknaan hukum ternyata juga dipengaruhi oleh gagasan yang berkembang sesuai dengan masanya. Menurut Roscoe Pound, gagasan untuk apa hukum itu diadakan terkandung atau tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang apa hukum itu sesungguhnya. Roscoe Pound mengemukakan tidak kurang dari dua belas konsepsi mengenai hukum yang masing-masing konsepsi dapat dibeda-bedakan. 514 Pertama, hukum dipandang sebagai kaedah atau seperangkat kadeah yang diturunkan Tuhan untuk mengatur tingkah laku manusia. Kedua, hukum sebagai tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata diterima oleh para dewa yang menuntun manusia pada jalan yang 512
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhratara, 1982), hlm. 42. Thurman Arnold dalam Lord Lloyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, (London: Stevens & Sons, 1972), hlm. 39. Kant beberapa abad lalu mengatakan: “Noch suchen die juristen eine definition zu ihreng begriffe von recht”, yang menunjukkan betapa definisi hukum itu masih tetap dicari. Lihat L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1962), hlm. 13. 514 Roscoe Pound, Op. Cit., hlm. 28 – 31. 513
Universitas Sumatera Utara
aman. Ketiga, hukum sebagai kebijaksanaan yang dicatat para arif bijaksana pada masa lalu dalam menempuh jalan selamat, atau jalan kelakuan atau pedoman tingkah laku manusia yang disetujui Tuhan. Keempat, hukum dipahamkan sebagai sebagai sistem asas-asas yang ditemukan secara filsafat, yang manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan prinsip atau asas-asas tersebut. Kelima, hukum dipandang sebagai himpunan penegasan dan pernyataan dari peraturan kesusilaan atau moral yang abadi dan tidak berubah-ubah. Keenam, hukum sebagai himpunan persetujuan yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politis. Ketujuh, hukum dipandang sebagai pencerminan dari akal ilahi yang menguasai alam semesta ini. Kedelapan, hukum dipahamkan sebagai himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di dalam masyarakat yang disusun menurut sistem kenegaraan. Kesembilan, hukum dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ditemukan oleh atau berdasarkan pengalaman manusia yang menunjukkan kemauan tiap individu akan mencapai kebebasan sempurna yang sejalan dengan kebebasan serupa yang diberikan kepada individu lain. Kesepuluh, hukum dianggap sebagai sistem asas-asas yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan perinciannya melalui tulisan ahli hukum dan putusan pengadilan. Kesebelas, hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaedah yang dipaksanakan kepada manusia di dalam masyarakat oleh kelompok yang berkuasa untuk mempertahankan kepentingan kelompok itu sendiri, baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Keduabelas, ada gagasan yang memandang hukum sebagai perintah dari prinsip-prinsip ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Prinsip-prinsip itu ditemukan berdasar pengamatan yang dinyatakan dengan petunjuk atau perintah yang disempurnakan
Universitas Sumatera Utara
melalui pengalaman manusia tentang apa yang akan terpakai atau dilakukan dan apa yang tidak dilakukan dalam pelaksanaan peradilan. Keduabelas gagasan itu merupakan persepsi yang berkembang dari masa ke masa terhadap hukum. Gagasan-gagasan itu memuat penjelasan yang rasional terhadap pemaknaan hukum yang berlaku pada suatu masa dan tempat dalam hidup bermasyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung, perkembangan gagasan terhadap arti hukum itu tentu berkaitan juga dengan keadilan, karena membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia, dan membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar senantiasa merupakan pembicaraan tentang keadilan pula. 515 Menarik ketika dikatakan salah satu pemaknaan hukum merupakan seperangkat aturan yang diturunkan Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia, berarti merupakan pengakuan atas keberadaan hukum yang didasarkan atas wahyu. Dalam konteks ini pula hukum Islam mendapat pengakuan atas keberadaannya sebagai kaedah yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Keterkaitan manusia, masyarakat, dan hukum telah ditunjukkan dalam ungkapan ubi societas ibi ius. Bahwa hukum terdapat dalam kehidupan manusia dalam konteks bermasyarakat. MacIver mengemukakan, bahwa tanpa hukum tidak akan ada ketertiban, dan tanpa ketertiban manusia akan kehilangan pedoman, karena tidak tahu kemana mereka akan pergi dan tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Suatu sistem hubungan yang teratur merupakan syarat utama bagi kehidupan manusia pada semua tingkatan. Bahkan golongan yang tidak tahu hukum, bajak laut, 515
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, .... Op. Cit., hlm. 159.
Universitas Sumatera Utara
kumpulan pencuri, gerombolan penyamun mempunyai kode hukumnya sendiri, yang tanpa itu mereka tidak bisa eksis. 516 Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika dalam suatu negara atau kehidupan masyarakat tidak ada hukum yang menjadi pengatur tertib tingkah laku manusia warganya. Akan terjadi kehidupan chaos yang menjurus kepada kehidupan yang saling menghancurkan, manusia menjadi serigala bagi lainnya (homo homini lupus) dan terjadi perang semua lawan semua (bellum omnium contra omnes). Tentu keadaan seperti ini tidak diinginkan dalam suatu kehidupan, karena akan dapat menghancurkan dan menghilangkan eksistensi manusia itu sendiri. Diperlukan adanya hukum yang mengatur kehidupan manusia agar tertib. Hukum sebagai norma penertib tingkah laku manusia dalam masyarakat merupakan alat untuk mencapai hakikat tujuan eksistensi manusia, yaitu kebahagiaan yang sempurna, sesuai dengan integritas kepribadiannya sebagai individu dan makhluk sosial. 517 Hukum juga dijadikan sebagai sarana mendamaikan perselisihanperselisihan yang terjadi dalam masyarakat, seperti dikemukakan Paton: “legal systems seem to have developed for the settlement of disputes and to secure an ordered existence for the community. 518 Hubungan antarmanusia yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat terkadang rentan akan terjadinya konflik dan setiap konflik harus diselesaikan untuk
516
R.M. MacIver, The Web of Government, (New York: The Macmillan Company, 1958), hlm.
61. 517
A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 2526. hokum sebagai produk budaya timbul dan berkembang bukan sekedar memenuhi aspek fisik, melainkan juga untuk memenuhi aspek eksistensial manusia dalam hidup bermasyarakat. Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 60. 518 G.W. Paton, A Text-Book Of Jurisprudence, (Oxford: ELBS, 1971), hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
memulihkan kembali hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat. Dalam pemulihan konflik inilah hukum menjalankan fungsinya. Salah satu fungsi hukum yang pokok adalah menyediakan mekanisme dan tempat yang bisa dituju oleh orang untuk menyelesaikan konflik atau sengketa mereka dan merampungkannya. Disini hukum berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement), atau sebagai sarana penegak keadilan. 519 Penyelesaian sengketa atau konflik harus didasarkan pada keberadaan hukum yang berkeadilan (just law), sehingga mampu mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bersama. Dalam kedudukannya sebagai mekanisme pengintegrasi berbagai nilai yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat, hukum akan menjadi legitimasi atas berbagai aspek kehidupan masyarakat untuk dapat hidup secara tertib dan adil. Dengan kata lain, hukum harus dapat memberikan kehidupan yang membahagiakan masyarakat. 520 Secara sosiologis, kehidupan hukum berada dan merupakan bagian dari kehidupan kemasyarakatan yang lebih besar. Hukum menjadi titik pusat yang berfungsi sebagai pengintegrasi dari berbagai bidang kehidupan masyarakat. Dengan mengacu pada Bredemeier, oleh Satjipto Rahardjo digambarkan pola atau mekanisme
519
Fungsi hukum sebagai sarana penegak keadilan dikemukakan oleh Sunaryati Hartono. Dikemukakan, seiring dengan semakin sering timbulnya ketegangan dalam hubungan antarmanusia, karena perubahan-perubahan dalam masyarakat, maka tidak jarang berakibat pada timbulnya ketidakadilan. Menjadi tugas hukum untuk mempersiapkan norma baru dalam menyelaraskan dengan hubungan antarmanusia yang baru akibat terjadinya perubahan. Dalam menentukan norma baru itu, hukum senantiasa harus mengusahakan cara atau penyelesaian masalah yang seadil-adilnya, terutama bagi pihak yang lemah. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982), hlm. 23. 520 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 90.
Universitas Sumatera Utara
pengintegrasian oleh hukum atas berbagai bidang kehidupan masyarakat dalam bentuk bagan sebagai berikut: 521 Bagan 1: Pengintegrasian Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat Asupan Proses Adaptif (Ekonomi) Proses pencapaian tujuan (politik)
Proses mempertahankan pola (budaya)
Keluaran Organisasi yang efisien HUKUM (mengintegrasikan, mengkoordinasikan)
Legitimasi
Keadilan
Posisi hukum sebagai pusat pengintegrasian, didalamnya termasuk sub mekanisme penyelesaian sengketa sebagai perlengkapannya, baik secara litigasi maupun non litigasi. Dalam melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, hukum mendapat asupan dari bidang ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolahnya menjadi keluaran yang dikembalikan kepada masyarakat. Pada saat bahan yang harus diolah itu masuk, yaitu dalam bentuk asupan yang wujudnya berupa sengketa atau konflik, maka hukum dengan otoritas dan perlengkapannya, menyelesaikan sengketa itu, sehingga muncul struktur baru yang kemudian dikembalikan ke dalam masyarakat. Hukum sebagai pengintegrasi dalam konteks ini ditempatkan dalam fungsinya sebagai sarana penyelesaian sengketa (settlement dispute) yang timbul dalam masyarakat. Pelaksanaan penyelesaian
521
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, .... Op. Cit., hlm. 143. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, ..... Op. Cit., hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
sengketa dimaksud dapat dilakukan melalui pola litigasi dalam proses peradilan atau melalui pola non litigasi di luar peradilan, termasuk melalui forum arbitrase syariah. Hukum diciptakan tidak saja untuk menjadi pengarah tingkah laku dalam kehidupan bisnis, tetapi juga sekaligus menjadi sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Penanganan sengketa menjadi bagian penting dalam kehidupan hukum, meskipun tidak mengabaikan arti penting hukum dalam pembuatan keputusan pada siatuasi yang bebas sengketa. 522 Hukum menyediakan mesin dan tempat yang bisa dituju setiap anggota masyarakat untuk menyelesaikan dan merampungkan sengketa yang terjadi di kalangan mereka. 523 Hukum diciptakan untuk menyelesaikan sengketa atau konflik yang terjadi antarwarga masyarakat, sehingga memelihara ketertiban dan keamanan menjadi fungsi pertama dari hukum. 524 Terciptanya suasana tertib menjadi syarat fundamental bagi kehidupan masyarakat yang teratur. 525 Hukum berusaha memberikan perlindungan bagi setiap anggota masyarakat agar hak dan kepentingannya dalam hubungan sesama warga masyarakat tidak terzalimi. Perlindungan hukum ini merupakan upaya untuk mewujudkan kehidupan yang damai sejahtera, sehingga setiap konflik dapat diselesaikan dengan tetap menjaga harmoni
522
Keebet von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 5. 523 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum.... Op. Cit., hlm. 20. Friedman manambahkan, fungsi hukum sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement) tidak begitu bersifat global, karena fungsi ini juga dimiliki oleh tokoh agama, orang tua, guru, para majikan dan lainnya. 524 Sunaryati Hartono, Op. Cit., hlm. 10. 525 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 3. Lebih lanjut dikatakan, untuk mencapai ketertiban diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah keadilan, yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Universitas Sumatera Utara
dan tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Mencegah terjadinya disintegrasi sosial ini merupakan fungsi dan tujuan hukum yang essensial. 526 Terciptanya kesejahteraan dalam kehidupan individu maupun masyarakat keseluruhan merupakan tujuan dan sekaligus ciri khas hukum Islam. 527 Aturan hukum Islam bertujuan pula untuk mendidik pribadi agar berkepribadian mulia, menegakkan keadilan, dan memelihara kebaikan hidup yang hakiki. 528 Merujuk pada Q.S. AlBaqarah (2): 30, 529 dan Q.S. Ali Imran (3): 104, 530 Abdoerraoef menyebut bahwa menurut Alquran tujuan hukum adalah agar manusia jangan berbuat kejahatan atau kerusakan melainkan berbuat kebaikan. 531 Secara spesifik tujuan hukum adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik individu maupun sosial, rohani dan jasmani, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat kelak. 532 Hukum dengan demikian memiliki otoritas yang sangat sentral dalam menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan hukum , sehingga kemaslahatan dan kesejahteraan dapat diwujudkan, tidak saja bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga bagi masyarakat. Pelaku bisnis berkepentingan
526
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm 84 dan 147. Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 57; Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 65. 528 Ibid., hlm. 45 529 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkaudan mensucikan Engkau’. Tuhan berfirman: ’Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” 530 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” 531 Abdoerraoef, Al-Quran Dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 42. 532 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 53; Suparman Usman, Op. Cit., hlm. 66. 527
Universitas Sumatera Utara
bagi adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang di wujudkan oleh hukum untuk mengakhiri sengketa yang terjadi di antara mereka. Mekanisme penyelesaian sengketa yang di pilih pelaku bisnis adalah mekanisme yang lebih efisien dan yang menjaga keharmonisan atau silaturrahmi, sehingga hubungan usaha dan aktivitas bisnis yang produktif tetap dapat berjalan dengan layak. Menjadi relevan mengkaitkannya dengan gagasan mengenai tujuan hukum yang dikemukakan Roscoe Pound, yakni hukum diadakan untuk menjaga ketenteraman kehidupan masyarakat, dan untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimanapun juga. Hukum bertugas memenuhi kehendak masyarakat dengan mengenyampingkan keinginan dan kebutuhan perseorangan dalam mencapai keinginan bersama, yakni menginginkan keamanan yang dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. 533 Penyelesaian sengketa yang diberi pengaturan hukum tidak di monopoli oleh lembaga formal yang di bentuk negara melalui proses peradilan. Terdapat juga sarana atau lembaga penyelesaian sengketa yang terdapat dalam masyarakat yang tidak bersifat formal. Dalam bidang privat, hukum memberikian peran netralnya dengan memberi kesempatan bebas bagi para pihak yang bersengketa untuk memilih institusi penyelesaian sengketa yang dikehendaki untuk mengakhiri konflik mereka. Menurut Gary Goodpaster, idealnya dapat diciptakan sistem yang mempertimbangkan kepentingan pribadi maupun umum dalam penyelesaian sengketa, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa tertentu dengan metode penyelesaian sengketa
533
Roscoe Pound, Op. Cit., hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
yang paling tepat baginya. 534 Sementara Daniel S. Lev mengatakan, satuan masyarakat yang memiliki hubungan personal lebih menonjolkan keakraban tatap muka, cenderung menekankan penyelesaian sengketa secara kekeluargaan (konsiliasi) dan kompromi. Sebaliknya hubungan yang telah kompleks yang tidak akrab menjadikan keputusan pihak ketiga dengan status resmi adalah lebih tepat. 535 Selanjutnya Lev mengemukakan, sesudah merdeka terdapat kecenderungan pelaku bisnis untuk menghindar dari peradilan dalam menyelesaikan perselisihan dengan memanfaatkan penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase. Kelaziman untuk menghindar
dari
proses
peradilan
adalah
dengan
pertimbangan
efisiensi,
kemanfaatan, dan kepercayaan. 536 Pertimbangan-pertimbangan itu ternyata menjadi faktor yang menyebabkan pelaku bisnis untuk menghindar dari proses litigasi dengan memilih alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi. Terkadang dalam proses penyelesaian sengketa, terutama di pedesaan, dilibatkan tokoh adat, tokoh agama atau tokoh berpengaruh lainnya dalam masyarakat. Tokoh berpengaruh ini mampu menyuarakan norma untuk memulihkan kembali pelanggaran yang telah dilakukan dengan mewajibkan kepada pelanggar atau yang memberi kerugian, agar keadaan diluruskan kembali. 537 Untuk memulihkan keadaan, tokoh informal belum tentu menggunakan hukum negara sebagai dasar
534
Gary Goodpaster, ”Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa”, dalam Agnes M. Toar et.al, Arbitrase Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm. 3. 535 Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik Di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.156. 536 Ibid., hlm. 164. 537 T.O. Ihromi (Peny.), Antropologi Dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 16
Universitas Sumatera Utara
untuk memberi hukuman, melainkan hukum yang bersumber dari kebiasaan atau adat yang ada di masyarakatnya, atau berdasarkan pada hukum agama yang di anut. Terkait dengan regulasi berbagai aktivitas perekonomian, aspek penyelesaian sengketa (dispute settlement) merupakan aspek yang harus mendapat perhatian. Perlu disampaikan studi Burg’s, yang mengemukakan terdapat lima kualitas hukum yang harus dipenuhi dalam menjaga agar pembangunan tetap kondusif, yaitu: stability, predictability, fairness, education and the special development abilities of the lawyers. 538 Kualitas the special development abilities of the lawyers, berhubungan dengan kemampuan khusus profesi hukum untuk pencapaian tujuan pembangunan ekonomi. Para profesional hukum dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan berdebat dan menyelesaikan masalah hukum. Kemampuan penyelesaian masalah hukum itu tidak semata dilakukan secara hukum di pengadilan, melainkan juga mampu menganalisis semua situasi yang bersifat non hukum yang terdapat dalam komunitas masyarakat. Bila diperluas, kualitas ini berkaitan juga dengan kemampuan dalam menyelesaikan sengketa melalui berbagai forum baik secara litigasi maupun non litigasi. Karena itu, kemampuan profesional hukum (lawyers) di bidang
538
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development, ” Journal of International and Policy, (vol. 9, 1980), hlm. 232. Kelima kualitas hukum ini akan mendukung tujuan pembangunan ekonomi. Dua kualitas pertama, yaitu stabilitas (stability) dan kemampuan meramalkan (predictability) menjadi prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi. Hukum dimaksudkan untuk menjaga stabilitas agar tetap kondusif, sehingga kehidupan perekonomian berjalan tertib. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah potensi hukum untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing. Hubungan ekonomi dapat diprediksi, sehingga dapat dibayangkan akibat dari langkah yang ditempuh, khusus perlu bagi negeri yang masyarakatnya baru memulai memasuki hubunganhubungan ekonomi yang melampaui lingkungan sosial tradisional mereka. Penting juga aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang sama dan standar perilaku pemerintah untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Untuk memenuhi kualitas pendidikan (education), hukum harus memperhatikan keadaan yang beraneka warna di dalam kenyataan dan merumuskannya secara tepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat pelaku ekonomi yang beraneka warna itu. Lihat Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi .... Op. Cit., hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah perlu mendapat perhatian sebagai upaya menegakkan keadilan untuk mewujudkan perdamaian yang sesuai dengan kemaslahatannya. Keadaan ini penting, karena untuk dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase berbasis syariah harus memahami prinsip-prinsip syariah yang menjadi dasar cara kerjanya. Untuk itu dibutuhkan lawyers yang mampu memberi pemecahan masalah hukum secara argumentatif dengan menggunakan prinsip syariah untuk menyelesaikan sengketa yang ditangani. Nyhart juga mengemukakan tujuh konsep dasar dalam ilmu hukum (basic jurisprudential
concepts)
yang
memengaruhi
pengembangan
kehidupan
pembangunan ekonomi, predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance, difinition and clarity of status, and accommodation. 539 Dalam konsep kemampuan prosedural (procedural capability) tidak saja memuat pengertian prosedural beracara dalam merealisasikan hukum material di pengadilan, melainkan juga semua prosedur penyelesaian sengketa yang disetujui para pihak yang bersengketa, seperti arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. Setiap aturan substantif harus memuat perangkat proses penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup yang diaturnya. Kerentanan timbulnya konflik atau sengketa juga terdapat dalam aktivitas atau hubungan di bidang perekonomian dan bisnis. Aktivitas bisnis berkaitan dengan kegiatan pekerjaan dan perusahaan. 540 Dalam perkataan lain bisnis adalah usaha
539
J.D. Nyhart, “The Role of Law in Economic Development” dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi 2, (Medan: USU, 2003), hlm. 365-367. 540 Perkataan “bisnis” diambil dari istilah Inggris business yang berarti occupation; concern. Lihat Geddes and Grosset, English Dictionary & Thesaurus, (New Lanark Scotland: David Dale House, 2000), hlm. 32. Kata Business diartikan sebagai 1. perusahaan; 2. urusan; 3. usaha. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hlm. 90. The Hamlyn Pocket Dictionary of Business Terms mengemukakan makna business: 1. A person,
Universitas Sumatera Utara
dagang atau usaha komersial di dunia perdagangan atau bidang usaha. 541 Bisnis merupakan aktivitas perdagangan berupa pengadaan barang atau jasa, baik yang dilakukan secara perorangan, kerjasama maupun oleh korporasi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tujuan mendapatkan keuntungan. 542 Bisnis meliputi unsur yang begitu luas, sehingga meliputi pekerjaan, kesibukan, profesi, dan aktivitas komersial lainnya. Black’s Law Dictionary memberi pengertian bisnis (business), sebagai,“Employment, occupation, profession, or commercial activity engaged in for gain or livelihood. Activity or enterprise for gain, benefit, advantaged or livelihood. Enterprise in which person engaged shows willingness to invest time and capital on future outcome.” 543 Kegiatan bisnis dalam masyarakat dapat meliputi berbagai bidang usaha, berupa perbankan, asuransi, konsultan, konstruksi, pariwisata, kecantikan, makelar, perhotelan, pertanian, pergudangan, industri, dan lain sebagainya. Berbagai kegiatan bisnis memiliki peranan penting bagi kemajuan perekonomian dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila diurai, gambaran kegiatan bisnis dapat partnership, or corporation engaged in the supply of goods and/or services with a view to making a profit; 2. The level or volume of trade, in general termes. C.F. Horner - L.M. Liebster, The Hamlyn Pocket Distionary of Business Terms, (London: The Hamlyn Publishing,1980), hlm., 50. Pengertian lain yang tidak jauh berbeda, mengatakan,”A business is an individual or a group of people whose goal is to make a profit by selling products or services. A business can be as small as the lacal radiator repair shop or as large as the Exxon Corporation”. William H. Cunningham, Ramon J. Aldeg, Christopher M. Swift, Introduction to Business, (Cincinmati, Ohio: South-Western Publishing Co., 1984), hlm. 3. 541 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 138. 542 Bisnis bisa dibagi menjadi bisnis kecil maupun bisnis besar. Secara garis besar, kegiatan bisnis dapat dikelompokkan atas bidang-bidang usaha berikut: 1. Bidang Industri, misalnya pabrik radio, tv, motor, mobil, dan tekstil. 2. Bidang perdagangan, misalnya agen, makelar, toko besar, dan toko kecil. 3. Bidang jasa, misalnya konsultan, penilai, akuntan, biro perjalanan, dan perhotelan. 4. Bidang agraris, misalnya pertanian, peternakan, dan perkebunan. 5. Bidang ekstraktif, misalnya pertambangan, dan penggalian. Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 2. 543 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, hlm. 136.
Universitas Sumatera Utara
dilihat dalam berbagai elemen berikut: 544 1. bisnis merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan, karena dikatakan sebagai suatu pekerjaan, mata pencaharian, bahkan profesi; 2. bisnis merupakan aktivitas dalam perdagangan; 3. bisnis dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan; 4. bisnis dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan. 5. bisnis bermaksud untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat sebagai konsumen. 545 Untuk menjamin keberadaan dan melindungi berbagai hubungan manusia dalam transaksi bisnis sebagai aktivitas perekonomian, kaidah atau norma hukum dibutuhkan dalam mengatur kegiatan tersebut. 546 Hukum diciptakan untuk mengatur manusia agar tetap berada dalam keharmonisan dan ketenteraman hidup. Adanya hukum yang memberi kepastian dan keadilan akan membuat pelaku bisnis tidak khawatir dalam melaksanakan usahanya. Hukum akan mampu membawa suasana dan kehidupan bisnis yang sehat bila dituruti dan ditegakkan secara konsisten sesuai dengan aturannya. Tegasnya, hukum benar-benar menjadi realitas hidup dalam kehidupan bisnis. Aturan-aturan hukum dibutuhkan dalam dunia bisnis, karena: a) Pihak-pihak yang terlibat dalam persetujuan bisnis membutuhkan sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar janji serta itikad baik saja; b) Adanya kebutuhan untuk
544
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.26. 545 Bandingkan dengan Nur Ahmad Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2002), hlm. 61. 546 Selain kaidah hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat juga diatur oleh kaidah sosial lainnya berupa kaidah agama, kesusilaan dan adat kebiasaan. Dibandingkan kaidah sosial lainnya, kaidah hukum yang ditetapkan negara mempunyai kekuatan pemaksa melalui alat perlengkapan negara. Perhatikan Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum .... Op. Cit., hlm. 19; Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep.... Op. Cit., hlm. 4; Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm. 146.
Universitas Sumatera Utara
menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak memenuhi janjinya. 547 Kehidupan atau aktivitas perekonomian dan bisnis, 548 tetap mempertahankan fungsionalisasi hukum sebagai tatanan yang memberi pengarahan dan kontrol atas berbagai aktivitas kehidupan bisnis. Hukum diperlukan dalam memproteksi berbagai kemungkinan yang dapat membahayakan kehidupan bisnis dalam masyarakat. Hukum harus menjadi supremasi bagi kehidupan sub-sub sosial lainnya dalam melaksanakan fungsinya mengawal segala perubahan yang terjadi di bidang perekonomian. Hukum dengan demikian
paling bertanggungjawab dalam
mengendalikan potensi sengketa yang bisa terjadi, dalam konteks studi ini antara perbankan syariah dengan nasabahnya Hukum harus menyediakan berbagai sarana penyelesaian sengketa yang dapat digunakan pelaku ekonomi, baik melalui proses pengadilan ataupun forum lain seperti arbitrase. Di era perdagangan global dewasa ini, mekanisme penyelesaian segketa juga tidak luput dari pengaturan perdagangan internasional. Globalisasi ekonomi berdampak besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum yang terjadi melalui usaha-usaha standarisasi hukum
547
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Op.Cit., hlm. 27. Istilah ekonomi yang dalam bahasa Inggris disebut economy berarti : 1. The legal, political and social framework within which economic activity is conducted. 2. The process of satisfying maximum wants through the optimum use of personal and business resources and effort. C.F. Horner L.M. Liebster, Op. Cit., hlm. 101. Praktiknya, berbagai aktivitas ekonomi dalam masyarakat selalu di identifikasi dengan kegiatan bisnis, sehingga tidak jarang keduanya disandarkan bersamaan dalam satu kalimat. Cakupan kegiatan ekonomi sangat luas, apalagi dengan melihat batasan bisnis sebagai bagian dari aktivitas perekonomian, yang juga memiliki ruang lingkup yang luas. Melihat ruang lingkup masing-masing, keduanya terkadang saling berhimpitan satu terhadap lainnya. 548
Universitas Sumatera Utara
melalui perjanjian-perjanjian internasional. 549 Dalam era globalisasi, segala hal yang beratribut nasional, tidak hanya bermuatan ideologi, konstitusi, kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa saja, tetapi harus menampung kecenderungan yang terkandung dalam instrumen-instrumen internasional, seperti konvensi, deklarasi, resolusi dan guides-lines internasional. 550 Dalam kaitan ini, hukum harus berperan sebagai mekanisme pengintegrasi yang mampu mengakomodasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional. Perjanjian multilateral yang terpenting dan terluas dalam mengatur perdagangan internasional adalah Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization. Perjanjian yang disebut dengan WTO Agreement ini terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat kelembagaan dan yang bersifat prosedural, termasuk pearaturan-peraturan dalam penentuan keputusan dan penyelesaian sengketa. WTO memiliki sistem untuk menyelesaikan sengketa diantara anggotanya, yang terdapat dalam kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa (WTO Dispute Settlement Understanding - DSU). Sistem penyelesaian sengketa ini lebih cenderung dilakukan melalui konsultasi, dan hanya bila gagal, suatu sengketa di bawa ke panel penyelesaian sengketa WTO (DSU). Akses ke sistem penyelesaian sengketa WTO hanya terbatas untuk negara anggota saja. Negara lain non-anggota, organisasi internasional, perusahaan, organisasi masyarakat dan individu tidak dapat membawa
549
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, 4 Januari 1997, hlm. 15. 550 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, ”Pengantar” dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, eds., Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), hlm. vi.
Universitas Sumatera Utara
sengketa ke sistem penyelesaian sengketa WTO. Namun dalam praktiknya, banyak sengketa yang dibawa oleh negara anggota adalah atas dorongan dari industri atau perusahaan yang dirugikan. 551
F. Tipologi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Istilah sengketa (dispute) selalu dipertukarkan dengan konflik (conflict), karena mengandung kesamaan makna yang menunjukkan adanya perselisihan atau pertengkaran, sehingga keduanya selalu dipertukarkan penggunaannya. Dipergunakan istilah sengketa sebab lebih bernuansa yuridis ketimbang konflik yang dikonotasikan pada peristiwa sosial-politik. 552 Meskipun sengketa tidak diharapkan terjadi oleh para pihak dalam hubungan hukum yang mereka perbuat, namun timbulnya sengketa tetap saja termungkinkan. Apalagi sengketa pada dasarnya merupakan pencerminan dari watak dan kemauan manusia di antara manusia yang tidak bisa seragam. 553. Tujuan utama para pihak yang terikat dalam hubungan hukum yang terjadi di lingkungan perbankan syariah bukanlah untuk menimbulkan sengketa, melainkan merealisasikan isi kesepakatan secara normal. Hakekat penyelesaian sengketa atas pembiayaan 551
Peter van den Bossche, et. Al., Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 100. 552 Syahrizal Abbas, Op. Cit., hlm. 124. Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 3 553 Adi Sulistiyono, Mengembangkan ...., Op. Cit., hlm. 3. Novri Susan menyebut, manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan, baik sukarela maupun terpaksa. Pertentangan bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara pihak-pihak yang saling berseberangan. Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 4. Wirawan juga menuliskan, konflik merupakan salah satu esensi kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik beragam. Manusia memiliki berbagai perbedaan yang bisa didasarkan atas strata sosial dan ekonomi, kepercayaan, budaya, dan tujuan hidup. Dalam sejarah umat manusia, perbedaan itulah yang selalu menimbulkan konflik. Selama dalam kehidupan terdapat perbedaan, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi. Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
bermasalah juga merupakan keinginan agar terpenuhi kewajiban yang telah disepakati secara hukum. Meskipun secara normatif UUPS 2008 telah memberi aturan yang bermaksud untuk menghindari berbagai kemungkinan terjadinya risiko, namun tetap saja ada risiko bahwa dalam penggunaan jasa perbankan syariah tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kemungkinan yang sama terjadi akibat moral hazard yang merugikan bagi perbankan syariah maupun nasabah shahibul mal. Perkembangan pesat perbankan syariah dengan berbagai produk yang diimplementasikan ke dalam akad tersebut tidak tertutup kemungkinan memunculkan sengketa antara nasabah dengan pihak bank. Potensi sengketa bisa terjadi karena perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam memahami maupun implementasi akad, yang membawa kepada wanprestasi satu pihak terhadap pihak lain. Sengketa terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi atau mengingkari kewajiban yang ditetapkan dalam akad atau lalai melaksanakan prestasi, sehingga membawa kerugian bagi pihak lain. Pelanggaran perjanjian (breach of contract) yang secara teknis hukum dinamakan wanprestasi, termanifestasi dalam beberapa bentuk, yaitu: a) the debtor has not done anything to carry out his duty; b) the debtor has done his duty but not equivalent to what was promised in the contract; c) the debtor has fulfilled his task, but too late; d) the debtor has done something that is in contravention of the contract. 554 Kemungkinan terjadi sengketa dalam aktivitas perbankan syariah sukar untuk dihindari. Secara umum, penyebab terjadi sengketa perbankan syariah karena
554
R. Subekti, The Law of Contracts in Indonesia: Remedies of Breach, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989), hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
kesulitan keuangan yang dialami nasabah. Sengketa dalam kegiatan perbankan syariah dapat terjadi antara nasabah dengan bank syariah, karena pelanggaran hak dan kewajiban yang disepakati atau tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Masing-masing kegiatan usaha perbankan syariah mempunyai karakter yang membedakan bentuk sengketa. Dalam pembiayaan mudharabah, sengketa dapat terjadi dalam bentuk pemenuhan bagi hasil yang tidak dibayar nasabah, atau penggunaan dana pembiayaan yang tidak sesuai dengan jenis usaha yang diperjanjikan, atau penyembunyian keuntungan oleh nasabah. Pada pembiayaan musyarakah, sengketa bisa terjadi karena mitra usaha ingkar dalam memenuhi kontribusi dana yang disepakati, atau membesarnya biaya yang dikeluarkan tanpa informasi yang jelas, atau nasabah melakukan kelalaian yang disengaja. Untuk pembiayaan murabahah, bentuk sengketa dapat berupa uang pembelian yang tidak dibayar sesuai waktu yang disepakati, musnah atau hilang barang yang menjadi objek murabahah atau terjadi perubahan harga, atau penolakan nasabah atas barang yang dikirim. Penyelesaian sengketa dalam aktivitas perbankan syariah, terutama dalam ketegori pembiayaan macet, bank dapat mengambil tindakan secara hukum dengan melakukan tindakan yang bersifat litigasi atau non-litigasi sesuai hak yang dimiliki bank. Tindakan dilakukan guna mengambil pelunasan atas pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi sebagai kewajiban oleh nasabah. Sengketa yang mungkin terjadi dalam kegiatan perbankan syariah memerlukan pengetahuan dan keahlian di bidang perbankan syariah. karena itu, keahlian arbiter di bidang perbankan syariah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan sengketa yang di putus.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sejarah Islam, ada tiga mekanisme penyelesaian sengketa di bidang ekonomi (muamalah), yaitu melalui mekanisme perdamaian (al-sulh), arbitrase (tahkim), dan kekuasaan kehakiman atau pengadilan (al-qadha). 555 Al-sulh merupakan
mekanisme
penyelesaian
melalui
perjanjian
untuk
mengakhiri
persengketaan antara pihak yang bersengketa secara damai. Perdamaian dalam konteks fikih berlaku bila dilakukan dengan adanya ijab, qabul, dan shigat, tanpa rukun tersebut tidak diketahui adanya perdamaian antara mereka yang bersengketa. Perjanjian perdamaian yang telah disepakati mewajibkan para pihak untuk melaksanakannya. Perjanjian perdamaian harus dipatuhi, dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan jika ada persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa. Pembatalan dapat dilakukan
karena melanggar prinsip-
prinsip syariah, yaitu mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Perjanjian demikian terlarang dalam Islam, dan harus dibatalkan. Tahkim sering dipadankan dengan arbitrase, merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengangkatan pihak ketiga sebagai wasit (hakam) guna menyelesaikan sengketa dengan tujuan mendamaikan persengketaan yang terjadi antara para pihak yang mengangkatnya. Hakam sebagai juru damai yang diangkat para pihak, menyelesaikan sengketa dengan menetapkan hukum syara’ terhadap sengketa yang wajib dilaksanakan, sesuai dengan putusan yang diberikan. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme kekuasaan kehakiman, dalam tradisi peradilan Islam dilakukan tiga lembaga, yaitu al-qadha, al-hisbah, dan al555
Faturrahman Djamil, Penyelesaian .... Op. Cit., hlm. 106-119. Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 222-227. Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 427-434
Universitas Sumatera Utara
madzalim. Al-qadha merupakan badan peradilan biasa yang memiliki wewenang menyelesaikan sengketa keperdataan, termasuk didalamnya hukum keluarga, dan masalah tindak pidana (jinayat). Al-hisbah merupakan lembaga resmi negara yang berfungsi menyelesaikan sengketa ringan yang tidak termasuk wewenang al-qadha, seperti penimbunan, pemalsuan, dan pengurangan takaran. Sementara al-madzalim merupakan lembaga yang berfungsi membela hak-hak rakyat yang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau keluarganya. Termasuk kewenangan al-madzalim adalah menyelesaikan kasus pelanggaran hukum yang dilakukan aparat atau pejabat pemerintah, seperti sogok menyogok dan korupsi. 556 Dalam konteks hukum positif di Indonesia dewasa ini, sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah, dapat diselesaikan secara litigasi atau nonlitigasi. Pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa dalam hukum perbankan syariah menjadi penting untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement), atau sebagai sarana penegak keadilan, 557 yang memuat kaedah penyelesaian masalah secara adil, maka sengketa yang terjadi dalam aktivitas perbankan syariah harus dapat diselesaikan secara adil. Pengaturan dimaksud memberi kesempatan bagi para pihak memilih mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui litigasi atau
556
Apabila dipadankan ketiga kekuasaan kehakiman yang dikenal dalam tradisi atau sejarah Islam dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka al-qadha sepadan dengan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, al-hisbah sepadan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan polisi, sedang al-madzalim sepadan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Faturrahman Djamil, Penyelesaian .... Op. Cit., hlm. 137. 557 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi .... Op. Cit., hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
non-litigasi. Mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih, biasanya dicantumkan dalam kesepakatan yang dirumuskan para pihak di dalam akad. Bagan 2: Tipologi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut UUPS 2008 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
Peradilan Agama Jika terjadi sengketa di lingkungan perbankan syariah, UUPS 2008 memberi aturan forum penyelesaian sengketa bagi para pihak sesuai mekanisme yang dikehendaki. Pasal 55 ayat (1) UUPS 2008 menyatakan, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (UUPA 2006) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA 1989) yang memberi kewenangan bagi peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah, termasuk bidang perbankan syariah. Aturan ini menempatkan peradilan agama sebagai the first resort, yang memiliki kewenangan mutlak dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Universitas Sumatera Utara
Sengketa perbankan syariah yang diselesaikan melalui peradilan agama, tentu harus mengikuti tata beracara dan prosedur yang berlaku bagi perkara perdata di lingkungan pengadilan umum, kecuali ditentukan lain karena diatur secara khusus dalam undangundang peradilan agama. Mengingat sistem peradilan di Indonesia yang bersifat bertingkat, prinsipnya setiap putusan peradilan agama terbuka untuk diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Putusannya dapat dilaksanakan atau dieksekusi ketika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 menyebutkan, jika para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain dari peradilan agama, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, penjelasan pasal tersebut menyantumkan, penyelesaian sengketa yang dilakukan sesuai dengan isi akad adalah melalui upaya musyawarah, mediasi perbankan, BASYARNAS atau lembaga arbitrase lain, dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 558 Ketentuan ini menunjukkan, apabila para pihak tidak ingin
menyelesakian
sengketa
melalui
peradilan
agama,
mereka
dapat
menyelesaikannya melalui forum lain, sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Ketentuan ini mengakomodir dan sesuai dengan UUAAPS 1999 yang mengatur pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Jika terjadi pilihan,
558
Penjelasan Pasal 55 ayat (1) dan (2) UUPS 2008 yang menyebut beberapa cara penyelesaian sengketa yang dilakukan sesuai dengan akad telah diadakan judicial review dan dibatalkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, tanggal 29 Agustus 2013. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) sudah dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
mekanisme penyelesaian sengketa yang tercantum dalam akad merupakan the first resort dan kedudukan pengadilan sebagai the last resort. Aturan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 mempertegas, pengadilan dalam lingkungan peradilan agama bukan satu-satunya forum penyelesaian sengketa perbankan syariah, tetapi memungkinkan penyelesaian melalui cara atau forum lain, diantaranya melalui forum arbitrase. Pencantuman secara tegas BASYARNAS di dalam penjelasan itu menjadi legalisasi atau penguatan dasar atas pendirian BASYARNAS yang telah berdiri sebelum lahirnya UUPS 2008. 559 Penegasan yang diberikan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 atas pembolehan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui forum selain peradilan agama, sesungguhnya tidak menghilangkan hak para pihak melalui akad dalam menentukan pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa mereka. Akad menjadi dasar utama atas penunjukan forum selain pengadilan agama untuk penyelesaian sengketa perbankan syariah. Bila diinginkan dan disepakati untuk menyelesaikan sengketa melalui forum selain peradilan agama, para pihak harus menyantumkannya dalam akad. Tanpa itu, peradilan
agamalah
sebagai
the
first
resort
yang
memiliki
kewenangan
menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Musyawarah Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat juga dilakukan melalui jalur musyawarah. UUPS 2008 menyebut musyawarah merupakan penyelesaian sengketa yang disepakati di dalam akad oleh para pihak. Dengan musyawarah para pihak 559
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah…. Op. Cit., hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan persengketaan secara bersama dalam mencapai keputusan yang dikehendaki secara mufakat. Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atau penyelesaian masalah. 560 Dalam bahasa sehari-hari kata musyawarah sama dengan bermufakat, dan berunding. Dalam konteks alternatif penyelesaian sengketa dewasa ini, musyawarah sepadan dengan negosiasi, yang berasal dari bahasa Inggris negotiation, dengan arti perundingan. Negosiasi dilakukan oleh negosiator, yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan sendiri sampai kepada penggunaan negosiator khusus atau memakai lawyer sebagai negosiator. 561 Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui musyawarah dilakukan oleh para pihak, bank dan nasabah, atau kuasanya secara langsung tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak saling bertatap muka dalam makna mengadakan pertemuan langsung dan melakukan perundingan dalam usaha menyelesaikan masalah mereka, untuk mencapai kesepakatan sebagai penyelesaian dari masalah bersama. Sebagai wujud berhasilnya musyawarah, kesepakatan bersama tadi dituangkan secara tertulis, sekaligus sebagai bukti hukum atas tercapainya kesepakatan sebagai hasil negosiasi. Sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak (party autonomy), sebagaimana dikenal dalam hukum perjanjian Islam dengan sebutan kebebasan berakad (Mabda’ Hurriyyah at Ta’aqud), 562 keputusan atau kesepakatan bersama sebagai hasil musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tadi, mengikat para pihak yang mesti dilaksanakan dengan penuh itikad baik. Dalam 560
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hlm. 677. Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 42. 562 Syamsul Anwar, Op. Cit., hlm. 84. 561
Universitas Sumatera Utara
kaedah ushul fikih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. 563 Fatwa-fatwa DSN-MUI juga telah mengatur penyesaian sengketa ekonomi syariah dengan menyebut, jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, penyelesaiannya dilakukan melalui BASYARNAS setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Musyawarah dalam menyelesaikan sengketa didahulukan dari forum penyelesaian sengketa lainnya, bila musyawarah mengalami kegagalan, barulah para pihak dapat menyeleaikannya melalui badan arbitrase nasional. Walaupun tidak disebut dengan kata musyawarah, namun UUAPS1999 mengakui prinsip musyawarah sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa melalui istilah “pertemuan langsung”. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang menentukan, bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui pertemuan langsung oleh para pihak diberi waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. 564 Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. 565
563
Ibid., hlm. 89. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 565 Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebut tempat pendaftaran di Pengadilan Negeri, tetapi oleh penulis diganti Pengadilan Agama, dengan mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008. Memang Surat Edaran Mahkamah Agung ditujukan untuk pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Karena dalam Surat Edaran telah ditetapkan bahwa pendaftaran putusan Badan Arbitrase Syariah dilakukan di Pengadilan Agama, penulis memandang ketentuan ini juga berlaku pada untuk pendaftaran yang disebut dalam Pasal 6 ayat (7) ini. 564
Universitas Sumatera Utara
Mediasi Perbankan Selain musyawarah, penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan petunjuk akad pada praktiknya dilakukan juga melalui mediasi perbankan. Bank Indonesia selaku pembina dan pengawas perbankan syariah, 566 telah mengeluarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008. Sejak keluarnya PBI yang mengatur mediasi perbankan ini, mediasi secara resmi telah digunakan dalam penanganan sengketa di dunia perbankan,
tentunya
termasuk
lingkungan
perbankan
penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan
syariah.
Mekanisme
merupakan kelanjutan dari
prosedur penanganan pengaduan nasabah berdasarkan PBI No. 7/7/PBI/ 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana diubah dengan PBI
No.
10/10/PBI/2008. Mediasi perbankan dilakukan bila terjadi sengketa antara nasabah dengan bank, sebab tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah. 567 Sebelum aturan mediasi perbankan terbit, telah ada PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, yang kemudian teknisnya mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/24/DPNP. PBI dimaksud merupakan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank. Menurut peraturan ini, nasabah berhak melakukan pengaduan bila melihat adanya potensi kerugian finansial pada nasabah
566 567
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 2 PBI No. 8/5/PBI/2006
Universitas Sumatera Utara
yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank dalam transaksi keuangan. Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank. Untuk menyelesaikan pengaduan, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis yang meliputi: a) Penerimaan pengaduan;. b) Penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan c) Pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. Nasabah yang telah menempuh upaya pengaduan nasabah, tapi merasa tidak puas kepadanya diberi hak untuk menempuh proses mediasi perbankan melalui Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan yang diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang kemudian diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008. Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan mediasi perbankan diatur dalam SEBI No. 8/14/DPNP. Landasan penerbitan PBI No. 8/5/PBI/2006, sebagaimana terlihat pada konsideransnya adalah: a) Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank tidak selalu dapat memuaskan nasabah, sehingga berpotensi menimbulkan sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank; b) Penyelesaian sengketa yang berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan risiko reputasi bagi bank; c) Penyelesaian sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank dapat dilakukan secara sederhana, murah, dan cepat melalui cara mediasi. Dengan latar belakang itu, PBI No. 8/5/PBI/2006, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengaturan tentang penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana diatur dalam PBI No. 7/7/PBI/2005.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan oleh PBI No. 10/1/PBI/2008 terhadap PBI No. 8/5/PBI/2006 adalah mengenai pembentukan lembaga mediasi perbankan independen yang seharusnya dibentuk oleh asosiasi perbankan, yang diberi waktu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2007. Akan tetapi, karena adanya kendala seperti aspek pendanaan dan sumber daya manusia, pembentukan lembaga mediasi perbankan independen yang akan mewadahi penyelenggaraan mediasi perbankan tersebut belum dapat direalisasikan. Keluarnya PBI
No.10/1/PBI/2008, telah menghapus batas
waktu pembentukan lembaga mediasi perbankan independen, sehingga fungsi mediasi perbankan tetap dilaksanakan oleh BI, sampai terbentuknya lembaga mediasi perbankan independen dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Mediasi perbankan hanya dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank, jadi tidak termasuk sengketa antarbank. Mediasi perbankan merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. 568 Fungsi mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh BI terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Dengan prinsip membantu, BI memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.
568
Pasal 1 butir 5 PBI No. 8/5/PBI/2006.
Universitas Sumatera Utara
Black’s Law Dictionary menunjukkan esensi mediasi dengan mengatakan mediasi (mediation) sebagai: ”Private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediators, helps disputing parties to reach an agreement. The mediators has no power to impose a decision on the parties”. 569 Mediasi diartikan sebagai proses pemecahan sengketa secara privat dan informal dengan melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai mediator, yang membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan antara mereka. Dalam hal ini, mediator tidak memiliki kekuasaan untuk mengadakan atau menjatuhkan putusan terhadap para pihak. Terdapat pandangan yang mengatakan, mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak; namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. 570 Berikutnya, Donnel Barnes Metzger mengemukakan: “A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems to be failing is mediation. The parties to the dispute choose a third party to assist them in settling it. This mediator often tries first to communicate the positions of the parties to each other. Frequently, the areas of serious disagreement are narrower than the parties think. The mediator then usually proposes a basis or several bases for settlement. A mediator merely facilitates negotiation; no award or opinion on the merits of the dispute is given”. 571 569
Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm 678. Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap ..... Op. Cit., hlm. 11. 571 Donnel Barnes Metzger, Law For Business, (Illinois: Irwin, Homewood, 1983), hlm. 21. 570
Universitas Sumatera Utara
Dari dua pengertian yang disebut terakhir, dapat dilihat, mediasi dekat hubungannya dengan proses negosiasi yang dilakukan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Lebih tegas seperti dikatakan oleh Christoper W. Moore, mediasi adalah bentuk intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan pihak ketiga yang dapat diterima pihak yang bersengketa, yang memiliki kewenangan terbatas atau sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa yang diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam pandangan ini, mediasi merupakan intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak ketiga yang imparsial dan netral. Karena itu, mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses negosiasi. 572 Menurut PBI No. 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. 573 Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada mediasi perbankan adalah sengketa antara nasabah dengan bank yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank. Tuntutan finansial dimaksud adalah potensi kerugian finansial nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian bank sebagaimana dimaksud pada PBI tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dalam mata uang
572
Gatot Soemartono, Arbitrase Dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 121. 573 Pasal 1 butir 5 PBI No. 8/5/PBI/2006
Universitas Sumatera Utara
Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp. 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah). Proses mediasi perbankan dilaksanakan setelah nasabah atau perwakilan nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) yang memuat kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi yang ditetapkan oleh BI. 574 Terbitnya UUOJK tentu menuntut perubahan terhadap berbagai produk BI yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan, termasuk pengaturan mengenai mediasi perbankan. Kewenangan OJK di bidang pengaturan diperlukan untuk mengimplementasikan berbagai ketentuan yang diatur dalam UUOJK maupun yang diatur dalam ketentuan sektoral jasa keuangan lainnya yang ditetapkan dalam bentuk peraturan OJK maupun Peraturan Dewan Komisioner. 575 Di bidang pengawasan OJK memiliki beberapa kewenangan, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. 576 Mediasi perbankan yang diatur dengan PBI yang menetapkan fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh BI, sampai terbentuknya lembaga mediasi perbankan independen, kiranya termasuk yang harus diatur dengan peraturan OJK. 574
Pengajuan penyelesaian sengketa perbankan kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan/atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut. Pengajuan penyelesaian sengketa wajib memenuhi persyaratan: 1) diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai; 2) pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh nasabah kepada bank; 3) sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi lainnya; 4) sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan; 5) sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan 6) pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah. 575 Hermansyah, Op. Cit., hlm. 228. 576 Pasal 9 UUOJK
Universitas Sumatera Utara
Peraturan OJK perlu memuat standar penyelesaian sengketa perbankan syariah yang berorientasi pada perwujudan perdamaian. Penyelesaian demikian diupayakan melalui metode hibridisasi mediasi dengan arbitrase, yaitu proses penyelesaian sengketa melalui penggabungan mekanisme mediasi dan arbitrase (mekanisme Med-Arb). Penyelesaian sengketa secara hibrid ini akan lebih dapat diterima para pihak, karena menghasilkan perdamaian melalui musyawarah yang mengandung kepastian hukum dengan putusan yang bersifat final dan mengikat. 577
BASYARANAS atau Arbitrase Lain Selain melalui musyawarah, mediasi perbankan, penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui BASYARNAS atau lembaga arbitrase lain. Lembaga arbitrase lain di luar BASYARNAS dimungkinkan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah tentu sepanjang menggunakan prinsip hukum Islam sebagai dasar keputusan. Kewenangan arbitrase syariah dengan menyampingkan peradilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah muncul bila para pihak menyepakati yang dituangkan dalam akad. Penyelesaian melalui arbitrase syariah merupakan perwujudan dari pilihan forum (choice of forum) sesuai kesepakatan para pihak. Bila para pihak tidak memuat pengecualian sebagai choice of law di dalam akad, penyelesaian sengketa menjadi kewenangan mutlak peradilan agama, sebagaimana diatur dalam UUPA 2006. Peradilan Umum
577
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase .... Op. Cit., hlm. 45. N. Krisnawenda, Op. Cit., hlm. 407.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan penyelesaian sengketa yang diatur Pasal 55 UUPS 2008 dapat menimbulkan perdebatan akademik, terutama menyangkut pencantuman pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau yang dikenal pengadilan negeri disebut menjadi salah satu pilihan atau alternatif dari peradilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dari sudut hukum perjanjian, alternatif itu merupakan pilihan forum (choice of forum) yang bisa dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Berdasar kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang mereka inginkan. Kebebasan berkontrak yang diberikan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, juga dibatasi dengan peraturan khusus yang tercantum dalam peraturan-peraturan pemaksa. 578 Abdul Ghofur Anshori melihat latar belakang Pasal 55 UUPS 2008 adalah dalam rangka mempertegas asas kebebasan berkontrak dalam penyelesaian sengketa muamalah. Para pihak bebas dan berwenang menentukan cara dan forum penyelesaian sengketa yang mereka sepakati dalam akad, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan demikian, pengaturan dalam UUPS 2008 sejalan dengan kebebasan berkontrak. 579 Pada kesempatan lain, Abdul Ghofur Anshori berpendapat, penjelasan UUPS 2008 di maksud telah mereduksi kewenangan mutlak peradilan agama, karena secara sistematis sengketa di bidang perbankan syariah dapat diselesaikan peradilan umum. Hal ini membuka pintu yang berpotensi untuk menimbulkan benturan atau konflik
578
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.66. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2010), hlm. 13 579 Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa ...., Op. Cit., hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara
kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan umum. Karena itu, akan lebih baik penjelasan itu di hapus. 580 Dari sudut hukum peradilan di Indonesia, peradilan umum dan peradilan agama bersama peradilan militer dan peradilan tata usaha negara berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki yurisdiksi masing-masing. Peradilan agama melingkupi yurisdiksi bagi orang Islam untuk kompetensi sengketa tertentu yang bernuansa syariah atau sesuai dengan ketentuan hukum Islam, sementara peradilan umum memiliki kompetensi bersifat umum dengan yurisdikasi yang tidak berdasarkan pada agama tertentu. Peradilan agama dikatakan sebagai peradilan khusus yang mempunyai yurisdiksi tertentu, dan dengan kedudukan ini, peradilan umum tidak boleh melanggar yurisdiksi khusus yang dimiliki peradilan agama. Pengaturan yurisdiksi bagi masing-masing peradilan yang di atur dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah untuk memperjelas dan menghindari tumpang tindih kewenangan antarperadilan. Dari sudut ini kurang tepat menempatkan peradilan umum sebagai alternatif dari peradilan agama, yang samasama bergerak dalam penyelesaian sengketa secara yudisial yang bersifat litigasi, apalagi peradilan umum diposisikan dan disejajarkan bersama forum non-yudisial yang bersifat non litigasi. Memposisikan peradilan umum yang merupakan lembaga litigasi sebagai non litigasi dalam struktur UUPS 2008 merupakan penempatan norma yang salah. Pada 580
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan …., Op. Cit., hlm. 110. lebih lanjut disebutkan jalan lain mengatasi agar jangan terjadi konflik kewenangan peradilan tersebut dengan menggunakan asas lex specialis drogat legi generali, yakni undang-undang yang mengatur lembaga peradilan adalah khusus sepanjang mengatur penyelesaian sengketa di peradilan. Sementara undang-undang perbankan bersifat umum dalam hal mengatur mengenai penyelesaian sengketa.
Universitas Sumatera Utara
posisi demikian,
Abdul Gani Abdullah menilai, pada ayat (1) dan (2) dalam
penjelasannya telah terjadi contradictio in terminis. Akibatnya didahulukan berlakunya aturan yang datang terlebih dulu, dengan mengenyampingkan prinsip lex posteriori derogat legi priori. 581 Selain itu, kemungkinan choice of forum yang memungkinkan peradilan umum menjadi alternatif dari peradilan agama terdapat dalam penjelasan pasal. Penjelasan peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai tafsir resmi (otentik) pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma dalam batang tubuh yang hendak dijelaskan. Penjelasan hanya memuat uraian lebih lanjut dari norma yang diatur pada batang tubuh, dapat berupa penjelasan terhadap kata, frasa, kalimat, padanan kata atau istilah asing. Penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, dan tidak boleh menyebabkan timbulnya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Penjelasan juga tidak boleh menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. 582 Penyebutan peradilan umum sebagai alternatif dari peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah dipandang memberikan perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan hal itu merupakan larangan yang tidak boleh terjadi. Baik peradilan umum dan peradilan agama bersama peradilan militer serta tata usaha negara merupakan peradilan negara 581
Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa .... Op. Cit., hlm. 101. Contradictio in terminis, berasal dari bahasa Latin yang bermakna pertentangan dalam kata, yang menunjukkan terjadinya perumusan yang mengandung pertentangan didalamnya. S. Adiwinata, Istilah Hukum LatinIndonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), hlm. 28. Semetara prinsip lex posteriori derogat legi priori bermakna undang-undang lebih baru didahulukan berlakunya daripada yang lebih tua. Ibid., hlm. 63. 582 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Lampiran II, Sub E Penjelasan. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: RajaGerafindo Persada, 2010), hlm. 135.
Universitas Sumatera Utara
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, 583 yang memiliki kedudukan sederajat dan masing-masing memiliki kewenangan sendiri sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang. Peradilan umum berwenang memutus dan menyelesaikan perkara perdata secara umum, 584 sementara peradilan agama telah diberi tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah. 585 Secara jelas terlihat, sengketa ekonomi syariah dengan perbankan syariah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak peradilan agama berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan diberi kedudukan peradilan umum sebagai alternatif dari peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, bukankan berarti memberikan perubahan terselubung terhadap UU No. 3 Tahun 2006 yang telah memberi kewenangan bidang perbankan syariah secara mutlak bagi peradilan agama. Dengan demikian, ketentuan Pasal 52 ayat (2) UUKK 2009 yang menyebut pengadilan umum dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, tidak mencakup kewenangan yang telah diberikan secara mutlak kepada peradilan agama. 586 Mengingat sengketa perbankan syariah penuh dengan dimensi syariah, dalam arti dilakukan menurut hukum Islam dan menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah, seharusnya setiap penyelesaian sengketa 583
Pasal 18 UUKK 2009. Pasal 2 jo. Pasal 50 UUKK 2009 585 Pasal 49 UUPA 2006 586 Penjelasan sekaligus kritik terhadap pemberian kewenangan perbankan syariah kepada peradilan umum secara alternatif, tidak dapat dibandingkan dengan arbitrase syariah, karena kedudukannya berbeda. Peradilan umum sama dngan peradilan agama merupakan peradilan negara, sedang arbitrase merupakan peradilan swasta yang ditunjuk para pihak berdasarkan kesepakatan dalam akad atau perjanjian. Peradilan umum tidak berkedudukan sebagai alternatif dari peradilan agama yang masing-masing telah diatur kewenangannya dalam undang-undang, sedang arbitrase memang berkedudukan sebagai pilihan atau alternatif dari penyelesaian secara litigasi melalui peradilan. 584
Universitas Sumatera Utara
perbankan syariah menjadi kewenangan peradilan agama secara mutlak. Demi memberi kepastian terhadap pelaksanaan hukum Islam di bidang ekonomi syariah yang telah diakui tersebut, dan memperkuat kedudukan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang sederajat dengan peradilan umum dan peradilan lainnya, seharusnya tidak dibuka lagi hak opsi atau hak untuk memilih forum litigasi lainnya dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah diantara peradilan resmi. 587 Kewenangan mutlak peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah agak terusik, bahkan teranulir ketika kewenangan tersebut dapat dialihkan kepada peradilan umum oleh para pihak melalui akad yang mereka sepakati. UUPS 2008 membuka kemungkinan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum. Hanya saja peradilan umum baru mempunyai kewenangan kalau para pihak telah memperjanjikan dalam akad, dengan menunjuk peradilan umum sebagai forum penyelesaian sengketa di antara mereka. Apabila para pihak tidak ada menentukan lain di dalam akad, kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah yang terjadi antara para pihak tetap merupakan kewenangan peradilan agama. Dengan diberinya peradilan umum 587
Pemberian hak opsi tersebut kepada peradilan umum, mungkin melihat karakteristik perbankan syariah yang tidak saja terjadi di antara yang beragama Islam, tetapi dapat juga terjadi hubungannya dengan orang non muslim. Kalau ada orang muslim yang melakukan kegiatan bisnisnya berhubungan dengan perbankan syariah, dipandang secara hukum, perbuatan yang bersangkutan telah menundukkan diri secara sukarela dan karenanya harus tunduk kepada ketentuan yang berlaku di lingkungan perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Keberadaan hak opsi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, mengingatkan kembali kepada ketentuan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 dalam pembagian warisan. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diatur, bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan yang memuat hak opsi ini kemudian dihapus setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
kewenangan meski dalam kedudukan sebagai alternatif dari peradilan agama, berarti terdapat dua badan peradilan yang berfungsi menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara litigasi. Tentu keadaan ini tidak tepat, karena UUPA 2006 telah memberi kewenangan di bidang ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah sebagai kewenangan mutlak peradilan agama, yang berarti peradilan umum tidak berwenang untuk itu. Persoalan hak opsi yang diberikan pada peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, hendaknya dikaji ulang dengan menjadikannya sebagai kewenangan mutlak peradilan agama. Pandangan ini lebih memberi kepastian hukum serta menghindar dari tumpang tindih atau konflik kewenangan antara dua pelaksana kekuasaan kehakiman terhadap sengketa perbankan syariah. Ternyata Mahkamah Konstitusi pada putusan No. 93/PUU-X/2012 telah melakukan judicial review terhadap UUPS 2008 dengan menetapkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) telah dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, penyebutan peradilan umum dalam penjelasan tersebut telah dianulir, sehingga tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Peradilan agama sejak itu menjadi institusi yang memiliki kewenangan mutlak secara litigasi dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pembatalan hanya dilakukan terhadap penjelasan dan tidak atas norma utama, sehingga bunyi norma utama tetap berlaku mengikat. Sebagaimana akan terlihat pada uraian berikutnya, meski Mahkamah Konstitusi telah menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun sesuai bunyi norma utama, perbankan syariah dan nasabah tetap dibolehkan melakukan
Universitas Sumatera Utara
choice of forum dalam penyelesaian sengketa yang terjadi. Sebagai mekanisme penyelesaian sengketa di luar badan peradilan yang diakui keberadaannya melalui payung hukum UUAPS 1999 dan UUKK 2009 arbitrase syariah tetap dapat digunakan sebagai choice of
forum dari peradilan agama dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah yang dicantumkan secara tegas dalam akad.
G. Implikasi Undang-Undang Perbankan Syariah Bagi Eksistensi Hukum Islam di Bidang Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Undang-undang (UU) sebagai bentuk pembadanan hukum menjadi landasan juridis yang kuat bagi eksistensi perbankan syariah. Di Indonesia, UU menjadi payung dan sumber hukum yang memiliki kedudukan tinggi dan bersifat mengikat bagi masyarakat sesuai cakupan materi aturannya. Arus utama (mainstream) pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi dengan pemikiran atau faham positivisme. Paradigma positivisme membawa konsekwensi pada makna hukum yang di bentuk oleh lembaga formal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 588 Karakteristik hukum bagi pemikiran positivisme adalah bentuk hukum tertulis yang dirumuskan secara sistematis atas perintah pemegang kekuasaan. Hukum hanya diakui sebagai hukum tatkala hukum secara jelas merupakan perintah eksplisit. Seperti dikatakan Austin, (positive) law is the command
588
Dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia, hierarki peraturan perundangundangan yang juga menggambarkan instansi yang berwenang menerbitkannya diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Universitas Sumatera Utara
of the sovereign.” Hukum positif adalah perintah dari kekuasaan berdaulat dalam suatu negara. 589 Hukum yang diperintahkan oleh pemegang kekuasaan berdaulat ini pula yang diakui menjadi hukum negara yang disebut juga hukum nasional. Jimly Asshiddiqie
mengemukakan, hukum negara merupakan hukum yang ditetapkan
dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Sebagai produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsifungsi kekuasaan negara, hukum mengikat subjek hukum dengan hak dan kewajiban hukum berupa larangan, atau keharusan, atau kebolehan. 590 Istilah positivisme memiliki berbagai arti, yang hingga sekarang masih diakui, sebagaimana dikemukakan Dias yang merujuk pada pentabulasian Hart, yaitu: 1) Hukum adalah perintah. 2) Analisis terhadap konsep-konsep hukum menjadi usaha yang perlu dilakukan (worth pursuing), yang berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan dari evaluasi kritis. 3) Keputusan-keputusan di deduksi secara logis dari peraturan yang telah ada lebih dulu (predetermined rules), tanpa minta bantuan kepada tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. 4) penghukuman moral tidak dapat ditegakkan atau dipertahankan pada argumen yang rasional (rational argument), pembuktian (evidence) atau pengujian (proof). 5) Hukum sebagaimana diaktualkan, petitum harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya (the law that ought to be). 591
589
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam dan HuMA, 2002), hlm. 152. 590 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang .... Op. Cit., hlm. 7. 591 R.W.M. Dias, Jurisprudence, (London: Butterworths, 1985), hlm. 331.
Universitas Sumatera Utara
Pemaknaan positivism yang dikemukakan sekaligus menunjukkan karakter positivisme hukum, yaitu: 1) hukum merupakan perintah dari penguasa; 2) hukum dipisahkan secara tegas atau tidak mempunyai hubungan dengan moral; 3) hukum yang seharusnya (das sollen) dibedakan dari hukum yang berlaku secara kenyataan (das sein); 4) hukum yang telah dibentuk dipandang efektif dan karena itu harus dipatuhi setiap orang. 592 Aliran positivisme hukum telah mempengaruhi pembentukan hukum modern di Barat, 593 terutama dari keluarga civil law. Terdapat tiga karakteristik dari tradisi civil law, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang utama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. 594 Pemikiran positivisme telah melahirkan berbagai kritikan, diantaranya yang dikemukakan Gierke: “positivism as it ultimately leads to the elimination of the idea of justice. Positivism signifies the general view that
592
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 113. Pengertian hukum menurut aliran positivisme mengandung 3 (tiga) unsur esensial, yaitu perintah dari penguasa (command of souvereignity), kewajiban untuk mentaati (duty) dan sanksi bagi yang tidak mentaati. Hukum yang memiliki ketiga unsur esensial itu adalah hukum positif yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume 1, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 56. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm. 41. Footnote 30). 593 Satjipto Rahardjo mengemukakan 3 (tiga) ciri hukum yang modern, yaitu mempunyai bentuk tertulis, berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan politik masyarakatnya. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum .... Op. Cit, hlm. 214. Secara lebih rinci Marc Galanter mengemukakan 11 (sebelas) ciri hukum modern, yakni: 1) diterapkan dengan cara yang tidak berbeda-beda; 2) bersifat transaksional; 3) bersifat universalitas; 4) bersifat hirarkhis; 5) bersifat birokratis; 6) bersifat rasional; 7) dijalankan kalangan profesional ahli hukum; 8) bersifat teknis dan kompleks; 9) dapat diubah; 10) bersifat politis; dan 11) adanya fungsifungsi pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan judikatif) yang berbeda secara jelas. Marc Galanter, “Modernisasi Sistem Hukum”, dalam Myron Weiner (Ed.), Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1980), hlm. 102-104 594 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum .... Op. Cit, hlm. 286.
Universitas Sumatera Utara
science has to do with observable phenomena only. Science should refrain from making valuation.” 595 Hukum positif dalam pandangan positivisme berbeda dengan norma-norma lain yang didasarkan pada agama, adat maupun moral ataupun kesadaran masyarakat. Meski norma-norma tersebut diaplikasi dan dilaksanakan dalam kehidupan, namun tidak dianggap sebagai hukum yang sesungguhnya, sebab tidak ditetapkan oleh instansi yang berwenang oleh negara, sehingga mekanisme pelaksanaannya termasuk dalam penjatuhan sanksi tidak jelas. 596 Dengan pemikiran positivisme hukum, maka semua aturan hukum yang berasal dari adat dan agama tidak dinamakan sebagai hukum positif, sebelum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai perintah pemegang kewenangan. Dalam pengertian hukum positif di Indonesia, hukum agama dapat menjadi hukum positif melalui peraturan perundang-undangan dan melalui pengadilan dalam proses penerapan atau penegakan
595
Hari Chand, Op. Cit., hlm. 66. Anton F. Susanto mengemukakan 4 (empat) problem ontologis dan epistemologis dari pemikiran positivisme hukum sebagai berikut. 1) Positivisme hukum telah mengakibatkan keterbatasan dan kekaburan ruang lingkup hukum sebagai ilmu yang utuh. Hukum hanya dibatasi pada wilayah yang benar-benar murni (pure) yaitu wilayah sollen dan juga dibatasi kepada wilayah empirik-kuantitatif. Dengan kata lain, positivisme hanya melihat hukum sebagai teks positif dan fakta kuantitatif, sedang realitas simboliknya telah dihilangkan. 2) Positivisme hukum telah merusak pemahaman hukum baik sebagai sains maupun sebagai gejala praktis. Wilayah hukum dipandang sebagai wilayah empirisme dan rasionalisme yang kemudian telah menumbuhkan ilmu hukum positif dengan kredonya aturan dan logika (rules and logic). Ilmu hukum hanya memandang hukum sebagai bangunan atau tatanan logis-rasional, sehingga fokusnya hanya pada membuat rumusan, definisi yang spesifik, memilah dan menggolongkan, mensistematisir, diterapkan belaka pada undang-undang. 3) Positivisme hukum telah menyulitkan hukum dalam mengembangkan desain analisis yang utuh. Ilmu hukum sebagai sebagai ilmu yang syarat nilai dan makna simbolik menjadi ilmu yang kering, karena penggunaan pendekatan subjek berada di luar dari objek yang diteliti. Positivisme melihat alam sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai dan tanpa cita rasa etis dan estetis. 4) Positivisme hukum telah mempersempit substansi kajian ilmu hukum yang melihat hukum semata-mata hanya sebagai teks (dogma) yang terpisah dari realitas sosialnya. Anthon F. Susanto, “Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum-Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH., (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 14-16. 596 Achmad Ali, Menguak....Op. Cit., hlm. 57. Theo Huijbers, Filsafat.....Op. Cit., hlm 42.
Universitas Sumatera Utara
hukum. Menarik yang pendapat yang dikemukakan Bagir Manan, hukum postif di Indonesia bisa dikelompokkan ke dalam hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis. 597 Meskipun hegemoni positivisme hukum masih terasa menjadi pemikiran dominan dalam ilmu hukum Indonesia saat ini, 598 namun dalam kenyataan tidak sepenuhnya dapat diterapkan, karena pluralisme hukum yang terjadi masingmasing hukum adat dan hukum agama (Islam) diakui sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pengakuan hukum agama sebagai hukum positif dilakukan dengan cara: 599 Pertama, mengakui bahwa untuk hubungan atau peristiwa hukum tertentu berlaku hukum agama. Misalnya, yang disebut pada Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan sahnya perkawinan didasarkan pada agama yang dipeluk. Kedua, mentransformasikan asas dan ketentuan hukum agama tertentu kedalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam Penjelasan UU No, 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan nasab. Begitu pula Pasal 39 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang di angkat dan orang tua kandung. Ketiga, membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif, seperti UUPS 2008. 4) Memasukkan hukum agama melalui putusan hakim, terutama melalui peradilan agama yang khusus bagi beragama Islam.
597
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 13. Bagir Manan memberi pengertian hukum positif sebagai “kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.” Ibid., hlm. 1. 598 Anthon F. Susanto, Menggugat....Op. Cit., hlm. 10. 599 Bagir Manan, Op. Cit., hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
Formalisme hukum perbankan syariah melalui UUPS 2008 mengindikasikan kuatnya keinginan untuk mentransformasikan nilai-nilai Islam di bidang perbankan menjadi hukum positif guna diaplikasikan dalam kehidupan perekonomian Indonesia. Mengingat faham positivisme hukum menjadi arus utama pembentukan hukum di Indonesia, nilai-nilai hukum Islam bila hendak diberlakukan sebagai hukum positif, harus melalui formulasi yang dilakukan pemegang kekuasaan negara yang berwenang. Padahal menurut satu pendapat, tanpa harus ada formulasi hukum setingkat UU atau peraturan perundang-undangan lainnya, keberadaan Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum Islam yang paling otoritatif, sangat mencukupi sebagai dasar hukum. Bahkan fatwa yang merupakan wujud formalisasi fikih jika dapat menjadi sumber hukum, keberadaan bisnis syariah di Indonesia telah memiliki infrastruktur hukum yang kuat. 600 Pada sisi lain seperti dikemukakan pada uraian terdahulu, hukum Islam sebagai norma yang dianut masyarakat sebagian memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya, sebagian lainnya tidak memerlukan, dan sebagian
lagi
tergantung
pada
situasi
antara
membutuhkan
dan
tidak
membutuhkan. 601 Tanpa aturan pelaksana dari sistem hukum nasional, norma-norma hukum Islam tidak akan mendapat penerimaan yang layak dan efektif dalam masyarakat. 602 Bidang perekonomian dan perbankan termasuk yang memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya. Pengaturan perbankan syariah dalam UUPS 2008 merupakan perwujudan dari kekuasaan negara untuk memberlakukan nilai-nilai 600
Muhammad Nizarul Alim, Muhasabah Keuangan Syariah, (Solo: Aqwam, 2011), hlm. 48. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), hlm. 56. 602 Ibid., hlm. 59. 601
Universitas Sumatera Utara
hukum Islam agar dapat dilaksanakan masyarakat dalam bermuamalah yang berhubungan dengan perbankan. Kehadiran UUPS 2008 berimplikasi pada pengakuan nilai Islam di bidang perbankan menjadi hukum positif yang menempatkan perbankan syariah menjadi bagian solutif dalam sistem perbankan nasional. Dari aspek penyelesaian sengketa UUPS 2008 memberi pengakuan dengan menempatkan arbitrase syariah menjadi pilihan resolusi perselisihan antara bank syariah dengan nasabah. Jika terjadi sengketa dalam transaksi perbankan syariah, para pihak yang berselisih atau berkonflik dapat meminta penyelesaian kepada badan arbitrase syariah. Arbitrase berbasis syariah menjadi bagian dari sistem perbankan syariah yang bertujuan menyelesaikan sengketa secara damai yang berkeadilan dengan mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat. Arbitrase dalam Islam yang disebut tahkim berfungsi sebagai forum resolusi konflik dengan mengangkat hakam (arbiter) oleh pihak yang bersengketa, guna menyelesaikan sengketa mereka secara damai. 603 Dari pengaturan UUPS 2008 bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui badan peradilan yang bersifat litigasi dan melalui mekanisme arbitrase serta alternatif penyelesaian sengketa lainnya yang bersifat non litigasi. Arbitrase (tahkim) dalam hukum Islam telah diaktulisasikan keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di dalam UUPS 2008. Untuk melancarkan kerja arbitrase perlu digali nilai-nilai Islam yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan operasionalnya. Lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa semakin penting kedudukannya untuk pintu masuk akses keadilan bagi penyelesaian sengketa di 603
Faturrahman Djamil, Penyelesaian.... Op. Cit., hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara
bidang perbankan khususnya dan ekonomi syariah umumnya. Sengketa berbasis syariah tidak semata dapat diselesaikan melalui badan peradilan, melainkan juga melalui mekanisme di luar peradilan dalam forum arbitrase. Lembaga arbitrase lazim dipandang sebagai peradilan para pengusaha (merchant’s court), karena selalu digunakan dan lebih diminati oleh pebisnis atau pelaku usaha dalam kontrak dagang mereka daripada litigasi, terutama untuk kontrak-kontrak perdagangan internasional. Karena itu, Alexander Goldstajn menyebut arbitrase sebagai salah satu prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional. 604 Di Indonesia lembaga arbitrase yang khusus berbasis syariah dikenal BASYARNAS. Dikenal juga badan arbitrase lain, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Keberadaan institusi arbitrase ini dipayungi UUAAPS 1999. Frase syariah menjadi ciri pembeda antara arbitrase menurut hukum Islam dengan arbitrase lain yang non syariah. Frase syariah ini jelas tercantum pada aturan UUPS 2008 namun tidak terlihat pada UUAAPS, karena UU yang disebut terakhir mengatur arbitrase secara umum untuk menjadi peraturan payung (umbrella act) bagi keberadaan arbitrase di Indonesia. Meskipun dipercaya proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki kelebihan dibandingkan peradilan, namun masih diperlukan upaya membangun kepercayaan dan minat masyarakat, terutama pelaku bisnis syariah agar bersedia menggunakan arbitrase syariah dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. 605
604 605
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 16. Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
Membangun kepercayaan berkaitan dengan pembinaan kesadaran masyarakat untuk membangkitkan kemauan mamakai arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa yang terjadi dalam sengketa perekonomian syariah. Kesadaran hukum merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kesadaran hukum tidak dapat dilihat secara langsung di dalam kehidupan masyarakat, melainkan hanya dapat disimpulkan ada tidaknya dari pengalaman-pengalaman hidup sosial melalui metode pemikiran dan penafsiran tertentu yang dilakukan para sarjana hukum. 606 Kesadaran hukum masyarakat merupakan jembatan yang menghubungkan antara
peraturan-peraturan
hukum
dengan
tingkah
laku
hukum
anggota
masyarakat. 607 Kesadaran hukum mendorong seseorang atau kelompok masyarakat untuk berbuat sesuai dengan tuntunan hukum sebagai keidah pengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan sesamanya. Dalam konteks ini kesadaran hukum lebih condong ditempatkan dalam pengertian yang tidak berbeda atau terkait erat dengan kultur hukum (legal culture), dalam makna abstraksi mengenai perasaan hukum dari
606
C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Pembaharuan Hukum, (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 5. Sunaryati Hartono membedakan perasaan hukum dengan kesadaran hukum. Perasaan hukum merupakan penilaian masyarakat yang timbul secara spontan atas suatu persoalan atau peristiwa, sedang kesadaran hukum merupakan ciptaan sarjana hukum dengan memikirkan dan merumuskan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam pengertianpengertian hukum. Sebagai ilustrasi dikemukakan, ungkapan lebih baik mengalah daripada bertengkar merupakan perasaan hukum masyarakat yang dapat dirumuskan sebagai kesadaran hukum, bahwa orang Indonesia lebih suka berdamai daripada menuntut secara umum dan terbuka atas haknya. Untuk menunjukkan keterkaitan perasaan hukum dengan kesadaran hukum yang dirumuskan sarjana hukum,, Sunaryati Hartono membandingkan seorang penyair yang mengambil bahan mentah atau tema syairsyairnya dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang dirangkai dalam bentuk kata dengan cara dan menurut keahliannya, sehingga tercipta sesuatu yang indah dan khas. Demikian pula sarjana hukum akan mengolah perasaan yang hidup dalam masyarakat tentang baik dan buruk, adil dan tidak adil, terpuji dan tercela menjadi kesadaran hukum masyarakat. 607 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hlm. 113.
Universitas Sumatera Utara
subjek hukum yang dapat berupa individu, masyarakat, bahkan badan hukum tertentu. Budaya hukum dengan demikian adalah kesadaran hukum dari subjek hukum secara keseluruhan. 608 Seperti dikemukakan Lawrence M. Friedman budaya atau kultur hukum mengacu pada pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem hukum, 609 atau sebagai kategori nilai, dan sikap yang memengaruhi bekerjanya hukum. Budaya hukum yang menggerakkan atau bahkan menghentikan gerak sistem hukum. 610 Daniel S. Lev memberi makna budaya hukum sebagai nilai-nilai yang terkait dengan hukum dan proses hukum. 611 Dalam pengertian ini, budaya hukum mencakup dua komponen pokok yang saling terkait, yaitu nilai-nilai hukum keacaraan dan nilainilai hukum substantif. Nilai hukum keacaraan (procedural legal values) berhubungan dengan sarana-sarana penataan sosial dan pengelolaan perselisihan (conflict management). Nilai-nilai ini merupakan landasan budaya sistem hukum dan membantu menentukan ruang sistem yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau lembaga lain dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai hukum substantif 608
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancsila dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 155. Esmi Warassih, ibid., hlm. 92. 609 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum .... Op. Cit., hlm. 255. 610 Lawrence Friedman, Ibid., hlm. 17. 611 Daniel S. Lev, Op. Cit., hlm. 119. Kajian Daniel S. Lev berkisar pada analisis berbagai pola perubahan sistem hukum Indonesia sejak revolusi untuk mencari penjelasan atas terjadinya perbedaan di wilayah jajahan dengan negara merdeka mengenai lembaga-lembaga yang dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai penyelesaian sengketa masyarakat, terutama yang dilakukan melalui peradilan. Dilakukan juga, pengkajian keterkaitan lembaga peradilan secara umum dengan proses politik, ekonomi, dan dengan nilai-nilai budaya. Dalam kajian itu, Lev bertumpu pada dua konsep, yaitu sistem hukum dan budaya hukum. Kandungan sistem hukum adalah berkaitan dengan prosedur. Sistem hukum terdiri atas berbagai proses formal yang melahirkan lembaga-lembaga formal bersama dengan proses-proses informal disekelilingnya. Dalam negara modern, lembaga sentral sistem hukum adalah borokrasi, termasuk didalamnya pengadilan. Sumber kekuasaan sistem hukum yang utama adalah sistem politik yang keabsahannya masuk ke dalam aturan substantif yang diterapkan sistem hukum. Organisasi, tradisi dan gaya sistem politik sangat menentukan penggunaan proses hukum untuk menyelenggarakan pengelolaan sosial dan untuk mencapai tujuan bersama.
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari anggapan dasar tentang distribusi maupun penggunaan sumberdaya dalam masyarakat apakah benar atau salah dari sisi sosial. Budaya hukum substantif bersifat dinamis, disebabkan anggapan-anggapan dasar itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan karena masyarakat itu sendiri berubah-ubah. 612 Hasil kajian Lev memperlihatkan terdapat jarak pemisah antara struktur formal dan prosedur kelembagaan. Proses formal cenderung dihindarkan dalam rangka menyelesaikan perselisihan dan beralih melalui proses yang bersifat kekeluargaan yang lebih akomodatif. Secara relatif, kompromi merupakan cara utama penyelesaian perselisihan dalam kehidupan masyarakat. 613 Budaya hukum berkaitan dengan sikap dan nilai-nilai untuk menjadi pedoman perilaku berhukum dalam kehidupan sehari-hari yang dianut, baik secara individu maupun kelompok. Budaya hukum yang dianut akan mempengaruhi pilihan atau tuntutan ketika berhadapan dengan institusi hukum. Pilihan didasarkan pada pengaruh faktor orientasi, pandangan, perasaan, sikap, dan perilaku seseorang dalam masyarakat terhadap hukum. Faktor-faktor tadi dipengaruhi oleh dorongan kepentingan, ide, harapan dan pendapat orang terhadap hukum. Jika pengadilan dijadikan pilihan untuk penyelesaian perselisihan adalah disebabkan yang bersangkutan mempunyai persepsi positif tentang pengadilan dan dipengaruhi oleh
612
Ibid., hlm. 120. Ibid., hlm. 156. Dikatakan relatif karenadi beberapa masyarakat kompromi lebih menonjol, dari masyarakat lainnya yang lebih tergantung pada penyelesaian sengketa formal. Dalam kehidupan masyarakat yang didalamnya hubungan tatap muka lebih menonjol cenderung menekankan pada penyelesaian perselisihan secara kekeluargaan dan kompromi. Sebaliknya dalam masyarakat yang didalamnya terdapat hubungan yang tidak akrab cenderung menggunakan institusi formal atau menjadikan keputusan pihak ketiga dengan status resmi menjadi lebih tepat. 613
Universitas Sumatera Utara
faktor-faktor pendorong tersebut. 614 Begitu pula, bila pilihan diberikan kepada arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, berarti para pihak memberikan penilaian positif terhadapnya. Penilaian positif ini dipengaruhi oleh faktor-faktor penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui musyawarah mufakat, menjaga persaudaraan atau silaturrahim, non-konfrontatif untuk menjaga harmoni sebagai kelebihan arbitrase bila dibandingkan dengan peradilan. Budaya hukum sebaliknya bisa memengaruhi tingkat penggunaan pengadilan, yakni sikap untuk menentukan apakah akan dipandang berguna atau sia-sia untuk menyelesaikan persoalannya bila pergi ke pengadilan. 615 Apabila masyarakat tidak tergerak untuk pergi ke pengadilan, keadaan ini merupakan isyarat masyarakat lebih mempercayakan penyelesaian sengketanya kepada institusi di luar badan peradilan yang resmi. 616 Budaya yang mengutamakan harmoni, cenderung menyelesaikan konflik secara kompromi. Hukum Cina lebih menekankan mediasi dan bukan tuntutan. Keadaan ini merupakan cerminan budaya Cina untuk mencari harmoni sosial melalui kompromi. 617 Hukum Cina juga sangat menyokong arbitrase, yang
614
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 34. 615 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum .... Op. Cit., hlm. 18. 616 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum .... Op. Cit., hlm. 153. Disebut lebih lanjut, pengadilan sebetulnya hanyalah salah satu dari sekian kemungkinan dalam perjalanan eksprimentasi suatu bangsa mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Di luar badan resmi pengadilan masih terdapat institusi lain yang bisa menjalankan fungsi penyelesaian sengketa tentu dalam kadar keresmian yang berbeda. 617 George T. Haley, Usha CV Haley dan Chin Tiong Tan, The Chinese Tao of Business, (Jakarta: Hikmah, 2008), hlm. 96. Lebih lanjut dikatakan, bangsa Cina cenderung memandang perselisihan akibat konflik langsung, seperti kasus pengadilan, sebagai kegagalan sebuah sistem, bukan sebagai upaya mencari keadilan atau penyelesaian sepadan.
Universitas Sumatera Utara
memiliki keuntungan prosedural yang cukup besar bila dibandingkan dengan litigasi, dengan mempertimbangkan keadilan sebagai batasan penyelesaian. 618 Dalam konteks ini, arbitrase syariah mendapat tempat dan relevansinya dalam menyelesaikan sengketa berbasis syariah, terutama dalam kehidupan muamalah di bidang bisnis maupun perbankan. Pilihan terhadap arbitrase syariah menunjukkan keyakinan dan persepsi positif masyarakat dalam memastikan pencapaian keadilan pada penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase. Orientasi penyelesaian sengketa secara syariah melalui arbitrase mencerminkan tegaknya budaya hukum Islam yang menginginkan tetap terjaganya kehidupan harmoni dalam kehidupan bersama. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih mengedepankan perdamaian sehingga kehidupan harmoni antara para pihak yang bersengketa maupun masyarakat keseluruhan tetap terpelihara dengan baik. Hubungan silaturrahim yang baik berimplikasi pada hubungan bisnis atau kontraktual para pihak tetap dapat berjalan tanpa pertentangan dan dendam. Dengan demikian, pemahaman terhadap agama Islam bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan budaya hukum, sehingga dapat memperkuat keberadaan arbitrase sebagai institusi penyelesaian sengketa di luar pengadilan dari perspektif hukum Islam. Diakui bahwa dalam suatu negara tidak hanya mengacu pada satu budaya hukum tertentu. Budaya hukum terdiri dari sub-kultur hukum yang tergantung pada berbagai faktor, yaitu kepentingan ekonomi, posisi, latar belakang pendidikan, agama, dan lain-lain. Bekerjanya sistem hukum bisa saja dipengaruhi oleh sub-kultur hukum, sehingga
618
Ibid., hlm. 99.
Universitas Sumatera Utara
selalu terdapat pendapat dan sikap-sikap yang berbeda mengenai hukum, 619 maupun pola penyelesaian sengketa di dalam kehidupan kelompok. Dari berbagai uraian di muka, kedudukan arbitrase syariah semakin diakui sebagai satu pilihan forum penyelesaian sengketa di luar badan peradilan. Pengaturan UUPS 2008 berimplikasi memperkuat arbitrase syariah dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi dilingkungan perbankan syariah. Pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai Islam yang melekat pada arbitrase syariah akan dapat mempengaruhi pilihan seseorang dalam menentukan mekanisme penyelesaian sengketa. Pola penyelesaian sengketa pada perbankan syariah biasanya telah diatur dan dicantumkan dalam akad dalam bentuk kontrak standar, dan selalu terdapat klausul mengenai pilihan forum penyelesaian sengketa. Pilihan forum pada hakikatnya merupakan implikasi dari prinsip kebebasan yang bernuansa etis berdasarkan kesepakatan para pihak yang diikat dalam akad. Kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tidak terlepas dari cerminan budaya hukum mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan, dikehendaki dan dibenarkan masyarakat. Selanjutnya, penilaian dan persepsi pihak yang bersengketa tentang adil atau tidak adil, menguntungkan atau tidak dari proses penyelesaian sengketa melalui pilihan forum merupakan pencerminan budaya hukum masyarakat. 620 Sejatinya budaya Islam yang mengedepankan dan mengutamakan prinsip persaudaraan dan perdamaian menjadi bagian dari kesadaran hukum setiap muslim, sehingga mudah menerima arbitrase syariah dalam menyelesaikan sengketa mereka. 619
Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hlm. 196. 620 Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 21.
Universitas Sumatera Utara
Selain melalui penguatan budaya hukum yang didasarkan atas nilai-nilai berbasis keislaman, perangkat operasional berupa kelangkapan sarana dan prasarana maupun infrastruktur lain bagi kelangsungan persidangan harus dilengkapi dan ditingkatkan. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. 621
Ruang lingkup sarana dan fasilitas
dimaksud mencakup sarana fisik, sumber daya insani termasuk arbiter dan staf administrasi yang berkeahlian, organisasi yang baik, dukungan teknologi informsi dan komunikasi yang proporsional, serta dukungan finansial yang cukup. Tanpa terpenuhinya sarana dan fasilitas itu akan memengaruhi kinerja penegakan hukum melalui badan arbitrase syariah. Secara normatif keberadaan arbitrase syariah diakui sebagai pilihan penyelesaian sengketa perbankan yang ditunjuk berdasar kesepakatan para pihak. Pengakuan dan penguatan yang diberikan UUPS 2008 terhadap arbitrase syariah masih memerlukan verifikasi dalam tataran praktis yang dilakukan perbankan syariah. Dijumpai beberapa mekanisme penyelesaian sengketa yang dirumuskan dalam akad pada praktik perbankan syariah, yaitu: Pertama, penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan negeri. Kedua, penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan agama, dan ketiga, penyelesaian sengketa dilakukan melalui
621
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 27. Menurut analisis Soerjono Soekanto, esensi dan sekaligus efektivitas penegakan hukum terletak pada beberapa faktor yang memengaruhinya, yaitu: 1) faktor hukumnya sendiri,; 2) faktor penegak hukum; 3) faktor sarana atau fasilitas; 4) faktor masyarakat; dan 5) faktor kebudayaan. Kelima faktor yang memengaruhi penegakan hukum itu saling berkaitan dengan eratnya dan memiliki arti yang netral,msehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BASYARNAS. Secara normatif penunjukan ketiga cara penyelesaian sengketa yang dilakukan di lingkungan perbankan syariah, dibenarkan berdasarkan UUPS 2008. Sebelum kewenangan peradilan agama ditambah dengan bidang ekonomi syariah melalui UU No. 3 Tahun 2006, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan melalui BASYARNAS. Pilihan ini sesuai dengan penyelesaian sengketa yang diatur berdasarkan fatwa DSN-MUI. Namun setelah kewenangan peradilan agama meliputi bidang ekonomi syariah, pilihan penyelesaian sengketa diserahkan kepada peradilan agama atau BASYARNAS. Perubahan terjadi kembali dengan terbitnya UUPS 2008, sehingga dalam praktik, penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui alternatif peradilan agama, peradilan umum atau BASYARNAS. Pada satu sisi UUPS 2008 membawa implikasi positif bagi arbitrase syariah dengan memperkuat kedudukan sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Meski pada sisi lain penyelesaian sengketa secara litigasi juga diperkenankan, termasuk melalui peradilan umum. Seyogianya peradilan umum tidak dijadikan sebagai pilihan karena keberadaan dan kedudukannya berbeda dengan arbitrase syariah. Kebaradaan peradilan umum didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan dan arbitrase syariah didasarkan pada akad atau perjanjian pihak bersengketa yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Kedudukan peradilan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditentukan negara, sedang arbitrase syariah merupakan peradilan swasta yang dilakukan arbiter sebagai penengah yang dipilih para pihak karena keahliannya. UU No. 3 Tahun 2006 telah menetapkan sengketa ekonomi syariah termasuk bidang perbankan syariah merupakan kewenangan mutlak peradilan agama, sehingga bila pihak perbankan syariah dan
Universitas Sumatera Utara
nasabah tidak menentukan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dalam akad, maka peradilan agama yang memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka.
Universitas Sumatera Utara