BAB II EKSISTENSI TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT NIAS SELATAN DIATAS LAHAN RENCANA PEMBANGUNAN LAPANGAN TERBANG SILAMBO
A. Gambaran Umum Letak dan Lokasi Wilayah Kabupaten Nias Selatan 1. Tinjauan Mengenai Letak Geografis Daerah Nias Selatan Kepulauan Nias merupakan salah satu dari barisan pulau di barat Pulau Sumatera. Pulau-pulau itu terbentuk sebagai hasil tumbukan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng Hindia, dengan batas tumbukan lempeng (jalur subduksi) berada di pantai barat barisan pulau tersebut. Tumbukan antara dua lempeng itu juga membentuk patahan besar (megathrust) sepanjang pantai barat yang menjalur dari Enggano ke Mentawai, Nias, Simeulue, Andaman/Nikobar (India), Arakan Yoma (Myanmar), dan berlanjut ke jalur megathrust Himalaya. Jalur-jalur patahan ini menjadi tempat pelepasan energi dari dalam bumi dan selanjutnya menjadi jalur gempa. Pembentukan Pulau Nias terjadi 10.000 tahun silam. Sebelumnya, pulau ini berada di bawah permukaan laut pada kedalaman 50-200 meter. Bukti terangkatnya Pulau Nias terlihat dari adanya batu gamping terumbu, terutama di sepanjang pantai timur Nias serta di bagian utara Kecamatan Lahewa dan di Kecamatan Alasa. Pergerakan lempeng Hindia dengan kecepatan rata-rata 60 milimeter per tahun telah menggerakkan Pulau Nias secara mendatar dengan kecepatan 2-3 sentimeter per tahun serta pergerakan vertikal 8-10 sentimeter per tahun sampai saat ini. Tumbukan tersebut juga menyebabkan Pulau Nias bergerak ke arah Pulau Sumatera dengan kecepatan rata-rata 4 sentimeter per tahun.110 110
Emanuel Migo, dkk, Nias : Membangun Melalui Jalan yang Jarang Di lalui, Seri Buku 70melalui United Nations Development Programme BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF), (UNDP) (Nias : Technical Assistance to BRR Project, 2009), hal 2.
Universitas Sumatera Utara
Membujur di lepas pantai barat Sumatera, Pulau Nias menjadi salah satu jajaran pulau-pulau yang menghadap Samudra Hindia yang menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai Ono Niha (Orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli tropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak berbahasa Austronesia lelulur Nusantara yang datang paling awal dari suatu tempat di daratan Asia. Sejumlah bukti peradaban tertua Orang Nias dihubungkan dengan perkembangan tradisi megalitik (batu besar) yang hingga saat ini masih dapat terlihat keberadaanya. Seiring perkembangan agama di wilayah ini, tradisi pembuatan benda-benda megalit telah hilang. Tinggalan-tinggalan para leluhur itu seperti rumah adat, lompat batu telah menjadi ikon pariwisata yang luluh lantak tertimpa dua bencana: gelombang tsunami dan gempa bumi. Sejumlah pihak menginginkan pembangunan kembali menjadi peluang revitalisasi nilai-nilai budaya Nias yang kini terancam lenyap.111 Beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur suku Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela. Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua. Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang
111
Tantyo Bangun, Nias: Kebangkitan Budaya Negeri Bencana, (Nias : Sisipan National Geographic Indonesia, 2007), hal 3.
Universitas Sumatera Utara
berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko„otanő, Kecamatan Gunungsitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan. Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan, ular, kura-kura, kelelawar, hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda. Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo-gomo-omo, yang berarti perahu gomo rumah. Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah).112 Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. 112
P. Johannes Maria Hämmerle, AsalUsul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, (Nias : Yayasan Pusaka 2001), hal 160.
Universitas Sumatera Utara
Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Wikipedia, bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Indonesia Barat, Bugis, Aceh, Cham (di Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban (Etnik Dayak Iban di Kalimantan), Sunda, Jawa, Bali, Chamoru (bahasa asli penduduk Kepulauan Mariana Utara yang terletak diantara Hawaii dan Filipina dan Guam dan Palau). Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam. Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani. Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Tokoh adat di Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunungsitoli dan Teluk Dalam berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunungsitoli adalah keturunan orang Börönadu yang
Universitas Sumatera Utara
bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö.113 Kabupaten Nias Selatan (Teluk Dalam) „Bela‟ berarti kawan atau sebutan yang menunjukkan tali persahabatan atau perkawanan. Tujuan penyebutan itu adalah untuk menjalin keakraban dan menghindari permusuhan, sedangkan di wilayah Nias yang lain Bela berarti makhluk halus yang bertempat tinggal di atas pohon.114 Kabupaten Nias Selatan mempunyai Luas wilayah 1.825,2 Km2 berada di barat Pulau Sumatera jaraknya ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Ibukota Kabupaten Nias Selatan adalah Teluk Dalam yang berkedudukan di Pulau Nias, sedangkan letak Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Nias Selatan terletak diKecamatan Pulau-Pulau Batu. Dasar Hukum penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Nias Selatan adalah SK Bupati Nias Selatan Nomor : 523/371/K/2008 yang ditetapkan pada tanggal 5 Desember 2008.115 Kecamatan Pulau-Pulau Batu Terletak antara: 0º - 15º Lintang Utara dan 90º 580 - 97º 480 Bujur Timur. Luas Wilayah 121.05 Km2. Jarak Kecamatan ke Ibukota Kabupaten yaitu 48 mil atau kira-kira 77,25 Km dengan batas-batas wilayah sebagai berikut, Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Dalam, sebelah selatan
113
Nias Selatan, Leluhur Suku Nias melalui http://niasselatanku.com/2012/09/09/leluhursuku-nias/ diakses pada tanggal 10 Desember 2013, pukul 11.00 WIB. 114 Nuryanto, Pustaka Nias Dalam Media Warisan : Kumpulan Artikel dan Opini, Penerbit Yayasan Pustaka, Nias, 2010, hal 7. 115 Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Basis Data Kawasan Konserbasi, melalui http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/46diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 12.25 WIB.
Universitas Sumatera Utara
berbatasan dengan kecamatan Hibala, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan terletak di daerah khatulistiwa maka curah hujannya tinggi. Rata-rata curah hujan per tahun 248,60 mm dan banyaknya hari hujan dalam setahun 250 hari atau rata-rata 21 hari perbulan, akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah. Keadaan iklim dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara berkisar antara 22º - 31ºC dengan kelembaban sekitar 86 - 92 % dan kecepatan angin antara 5 -16 knot/jam. Curah hujan tinggi dan relatif turun hujan sepanjang tahun dan sering kali diikuti dengan badai besar. Musim badai laut biasanya berkisar antara bulan September sampai November, tetapi kadang terjadi badai pada bulan Agustus, jadi cuaca bisa berubah secara mendadak.116 Kawasan perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Nias Selatan yang termasuk di dalam Kecamatan Pulau-Pulau Batu berada di Desa Luaha Idano Pono, Desa Hayo dan Desa Sifitu Ewali seluas 56.000 Ha yang terletak pada 98,06º E - 98,37º E dan 0,09º N - 0,15º S. Kondisi perairan terbuka dan memiliki gelombang besar serta pantai yang umumnya berpasir putih. Sedangkan di bagian Timur Pulau Tello merupakan Selat antara Pulau Lawindra dan Pulau Balogia. Rataan terumbu bagian atas umumnya landai dan mendatar antara 50 - 150 m dari pantai.117 Dasar perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Nias selatan dipenuhi oleh karang mati yang telah ditumbuhi oleh alga, pecahan karang
116 117
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mati dan pasir. Pertumbuhan karang yang tumbuh pada daerah tubir jenisnya kurang bervariasi. Beberapa genus karang yang masih dapat dijumpai adalah Acropora spp, Montipora foliosa, dan Pocillopora verrucosa. Tutupan karang hidup pada perairan ini memiliki persentase sekitar 11,97%, yang dikategorikan 'tidak baik'.118 Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi sampling di Perairan Pulau Tello ditemukan jumlah ikan 492 ekor terdiri atas 75 jenis, 49 marga dan sebanyak 21 suku. Dari jumlah tersebut yang termasuk ke dalam ikan major sebanyak 311 ekor, ikan target sebanyak 164 ekor dan ikan indikator sebanyak 17 ekor. Ikan-ikan yang dominan ditemui dalam kategori marga pada perairan ini adalah Caesio, Chromis, Dascyllus, Pomacentrus, Acanthurus, Halichoeres, Chrysiptera, Thalassoma, Pterocaesio, dan Dischistodus. Ekosistem mangrove terdapat pada beberapa pulau di sekitar Pulau Tello, Pono, Tanah Masa dan Kecamatan Hibala dengan luas mencapai 842, 27 Ha, didominasi oleh Rhizopora sp.119 Pendekatan konservasi dalam menetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab. Nias Selatan adalah berdasarkan analisa kuantitatif mengenai kondisi geografis, kondisi ekologi perairan seperti mangrove, terumbu karang, estuaria dan ikan-ikan karang. Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan untuk mencapai sasaran pemanfaatan sumber daya ikan, ekosistem dan lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga dapat menjamin ketersediaan, kesinambungan dan peningkatan kualitas nilai serta keanekaragamannnya sehingga dapat meningkatkan
118 119
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan konservasi perairan.120 Pada
tahun-tahun
pertama
zaman
kemerdekaan
pembagian
wilayah
pemerintahan di daerah Nias tidak mengalami perubahan, demikian juga struktur pemerintahan, yang berubah hanya nama wilayah dan nama pimpinannya sebagai berikut: Nias Gunsu Sibu diganti Nama Pemerintahan Nias yang dipimpin oleh Kepala Luhak.Gun diganti dengan nama Urung yang dipimpin oleh seorang Asisten Kepala Urung (Demang) Fuku Gun diganti dengan nama Urung Kecil yang dipimpin oleh Kepala Urung Kecil (Asisten Demang). Sesuai dengan jumlah distrik dan onderdistrik pada zaman Belanda, pembagian nama tetap berlaku pada zaman Jepang, maka pada awal kemerdekaan terdapat sembilan kecamatan. Hanya saja diantara kecamatan itu terdapat tiga kecamatan yang mengalami perubahan nama dan lokasi Ibukota yaitu: Onderdistrik Hiliguigui
menjadi
Kecamatan
Tuhemberua
dengan
Ibukota
Tuhemberua,
Onderdistrik Lahagu menjadi Kecamatan Mandrehe dengan Ibukota Mandrehe dan Onderdistrik Balaekha menjadi Kecamatan Lahusa dengan Ibukota Lahusa. Pada tahun 1946 Daerah Nias berubah dari Pemerintahan Nias menjadi Kabupaten Nias dengan dipimpin oleh seorang Bupati. Pada tahun 1945 KND dihapuskan dan dibentuk suatu lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tahun 1953 dibentuk tiga kecamatan yaitu :
120
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. Kecamatan Gido yang wilayahnya sebagian diambil dari wilayah Kecamatan Gunungsitoli dan sebagian diambil dari kecamatan Idano Gawo, dengan Ibukota Lahemo. b. Kecamatan Gomo yang wilayahnya sebagian diambil dari wilayah Kecamatan Idano Gawo dan sebagian dari wilayah Kecamatan Lahusa, dengan Ibukota Gomo. c. Kecamatan Alasa yang wilayahnya sebagian diambil dari wilayah Kecamatan Lahewa, sebagian dari wilayah Kecamatan Tuhemberua dan sebagian dari wilayah Kecamatan Mandrehe dengan Ibukota Ombolata. Pada tahun 1956 dibentuk satu kecamatan baru yaitu kecamatan Sirombu yang wilayahnya sebagian dari wilayah Kecamatan Mandrehe dan sebagian dari wilayah Kecamatan Lolowau. Kemudian berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 1992 tanggal 13 Juli 1992 terbentuk dua Kecamatan baru yaitu Kecamatan Lolofitu Moi yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Gido dan Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Hiliduho yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Gunungsitoli. Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 3 Januari 1996 terbentuk dua kecamatan baru yaitu : a. Kecamatan Amandraya yang wilayahnya sebagian dari kecamatan Teluk Dalam, kecamatan Gomo, dan kecamatan Lahusa. b. Kecamatan Lolomatua yang wilayahnya sebagian dari kecamatan Lolowa‟u Terakhir dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan mempedomani Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Kecamatan maka melalui Perda
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Nias No.6 tahun 2000 tanggal 24 Nopember 2000 tentang Pembentukan 5 (lima) Kecamatan di Kabupaten Nias. Lima Kecamatan Pembantu yang masih tersisa selama ini akhirnya ditetapkan sebagai Kecamatan yang defenitif, masing-masing : 1. Kecamatan Hibala yang wilayahnya berasal dari Kecamatan Pulau-Pulau Batu. 2. Kecamatan Bawolato yang wilayahnya berasal dari Kecamatan Idanogawo. 3.
Kecamatan Namohalu Esiwa, wilayahnya sebagian dari Kecamatan Alasa dan Kecamatan Tuhemberua.
4.
Kecamatan Lotu yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Tuhemberua dan Kecamatan Lahewa.
5.
Kecamatan Afulu yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Lahewa dan Kecamatan Alasa. Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1956 Kabupaten
Nias ditetapkan sebagai daerah otonom yang disebut Daerah Swatantra Kabupaten Daerah Tingkat II Nias, yang dipimpin oleh Bupati Kepala Daerah. Disamping Bupati Kepala Daerah dibentuk Dewan Pemerintahan Daerah yang dipilih dari anggota DPRD. Pada tahun 1961 sampai dengan tahun 1969, Ketua DPRD langsung dirangkap oleh Bupati Kepala Daerah. Untuk membantu Bupati Kepala Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-sehari dibentuk Badan Pemerintahan Harian yang dikatakan sebagai ganti DPD yang telah dihapuskan. Akan tetapi kemudian sejak tahun 1969 sampai dengan saat berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Lembaga BPH sebagai Pembantu Kepala daerah dalam menjalankan Pemerintahan sehari-hari tidak pernah diadakan lagi.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan-perubahan pemerintahan di Kabupaten Nias, mengikuti perubahanperubahan tentang Pemerintahan di daerah yang berlaku secara nasional. Desa/Kelurahan sebagai tingkat pemerintahan yang paling bawah, di Kabupaten Nias terdapat sebanyak 657 buah. Desa/Kelurahan tersebut karena persekutuan masyarakat menurut hukum setempat, yang dahulunya masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa ada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi yang mencakup beberapa atau keseluruhan desa/kelurahan itu. Sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1967 terdapat satu tingkat pemerintahan lagi diantara Kecamatan dengan Desa/kelurahan yang disebut “ÖRI” yang meliputi beberapa desa. Memang ÖRI ini sejak dahulu telah ada yang dibentuk karena perserikatan beberapa desa yang menyangkut Pesta, sedang masalah-masalah pemerintahan desa langsung diatur oleh masing-masing desa. ÖRI sebagai salah satu tingkat pemerintahan di Daerah Tingkat II Nias dihapuskan pada tahun 1965 dengan surat Keputusan Gubernur pada tanggal 26 Juli 1965 Nomor : 222/V/GSU dengan tidak menyebutkan alasan-alasan yang jelas. Selanjutnya berdasarkan Keputusan DPRD Kabupaten Nias Nomor : 02/KPTS/2000 tanggal 1 Mei 2000 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Nias menjadi dua kabupaten, Keputusan DPRD Propinsi Sumatera Utara Nomor : 19/K/2002 tanggal 25 Agustus 2002, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2002 tanggal 25 Februari 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Barat, dan Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2002 tanggal 28 Juli 2003, maka Kabupaten Nias resmi dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Dengan demikian wilayah Kabupaten Nias yang tadinya
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari 22 kecamatan, menjadi 14 kecamatan karena 8 kecamatan telah masuk ke wilayah Kabupaten Nias Selatan. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah kabupaten Nias Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kecamatan Tugala Oyo dan Kecamatan Gunungsitoli Barat di Kabupaten Nias, Kabupaten Nias mengalami pemekaran menjadi 34 Kecamatan dengan bertambahnya 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Tugala Oyo dan Kecamatan Gunungsitoli Barat. Wilayah Kabupaten Nias Selatan yang berada di daratan Pulau Nias, sebagian besar dapat dijangkau dengan sarana perhubungan darat. Artinya, pasarana angkutan darat telah cukup memadai di daerah ini, baik antar kota kecamatan, antara ibukota kecamatan dengan kabupaten, dan antar ibukota kabupaten (Nisel dan Nias). Sedangkan perhubungan laut, terutama digunakan untuk wilayah Kecamatan Hibala dan Pulau-Pulau Batu dengan menggunakan sarana kapal penumpang dan kapal barang antar pulau (Kapal Perintis) menuju ibukota kecamatan, ibukota kabupaten (Teluk Dalam), Sibolga dan
Padang secara reguler. Demikian halnya sarana
transportasi udara, sudah ada di daerah ini, yakni Bandara Lasonde di Kecamatan Pulau-Pulau Batu.Pemanfaatan sarana perhubungan udara ini masih belum optimal, karena jadwal penerbangan hanya dua kali per minggu. Diharapkan bandara ini dapat dikembangkan, sehingga mampu berfungsi untuk pengangkutan barang (kargo) untuk produk perikanan secara cepat ke negara tetangga, sehingga Kabupaten Nias Selatan dapat dibangun berbasis sumber daya perikanan dan kelautan. Desa-desa yang letaknya di daerah terisolir, masalah transportasi sangat berperan penting dalam pengembangan desa-desa pesisir tersebut. Kesulitan sarana transportasi untuk pengangkutan faktor produksi dan hasil produksi masyarakat
Universitas Sumatera Utara
nelayan dari pulau terisolir seperti Pulau Tanah Bala di Kecamatan Hibala, Pulau Pini di Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur, Pulau Simuk di Kecamatan Pulau-Pulau Batu, menyebabkan kehidupan ekonomi mereka lambat berkembang, sehingga banyak nelayan berada dalam kemiskinan. Sebelum pemekaran pulau Nias menjadi beberapa kabupaten, daerah Kabupaten Nias Selatan dewasa ini adalah himpunan desa-desa yang ada di daerah kecamatan Teluk Dalam saat itu dan beberapa pulau yang terletak di bagian Selatan Pulau Nias. Menurut catatan yang diinformasikan oleh tim Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Nias Selatan yang turut serta dalam Pesta Kesenian Bali XXXIII pada tanggal 17 Juni 2011, leluhur orang Nias Selatan di daerah Teluk Dalam yang migrasi dari daerah Gomo saat itu ada empat orang dengan daerah pendudukan mereka masing-masing yang disebut öri, yakni: 1. Mölö, keturunannya mendiami öri Maenamölö saat ini; 2. Lalu, keturunannya mendiami öri Onolalu sekarang; 3. Zinö, keturunannya mendiami öri Mazinö dewasa ini; 4. Ene, keturunannya mendiami öri To‟ene hingga kini. Dari keterangan ini jelas menggambarkan bahwa tradisi-tradisi Nias Selatan dewasa ini bersumber dan identik dengan kebudayaan daerah Teluk Dalam yang berasal dari keempat nenek moyang tersebut di atas. Dalam brosur resmi yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nias Selatan menyebutkan beberapa tempat wisata yang sangat menarik di daerah Teluk Dalam selain keindahan alam berupa pantai atau tempat rekreasi lainnya yaitu wisata budaya dan peninggalan sejarah.
Universitas Sumatera Utara
Peta Kabupaten Nias Selatan Disebutkan beberapa di antaranya adalah lompat batu, tari perang, seni musik tradisional seperti tari moyo, faluaya, mogaele, manahö, famadaya harimao, famadaya saembu, famadaya jahili. Diterangkan bahwa atraksi-atraksi dan seni budaya tersebut dapat disaksikan di setiap tujuh desa tradisional di daerah Teluk Dalam seperti desa Bawömataluo, Orahili Fau, Hilisimaetanö, HilinawalöFau, Botohilitanö, Hiliamaetaniha, Mazinö, Hilisatarö melalui sanggar-sanggar budaya. Selain itu, peninggalan sejarah juga tersebar pada beberapa titik di daerah Teluk Dalam, seperti Situs Megalit, berupa batu megalit yang dibuat sebagai tanda peringatan dan simbol status sosial kehidupan masyarakat daerah Nias Selatan. Batubatu megalit ini tersebar di berbagai tempat, khususnya di lokasi desa-desa tertua di
Universitas Sumatera Utara
Teluk Dalam. Bahkan, sebagian besar lokasi tersebut telah ditinggalkan warga desa dan berpindah ke tempat lain. Berbagai peninggalan sejarah ini antara lain: a. Börönadu Börönadu merupakan suatu lokasi yang terdapat beberapa jenis batu megalit. Situs ini terletak di Desa Sifalagö, Kecamatan Gomo, 44 km dari Teluk Dalam. Börönadu ini secara umum sudah dikenal oleh wisatawan maupun budayawan, bahkan para arkeolog nasional dan internasional. Di tempat ini terdapat batu megalit berbentuk gowe atau arca. Di samping gowe terdapat sembilan buah osali nadu berupa tempat duduk yang terbuat dari batu pahat. Dalam bahasa Nias modern, istilah osali sering dimaksud sebagai gereja atau rumah ibadah umat Nasrani. Sedangkan nadu berasal dari kata “adu” yang berarti patung. Kata-kata ini dapat memberikan keterangan bahwa sebelum agama Kristen masuk ke Nias, nenek moyang orang Nias telah memiliki sistem kepercayaan dan tempat pemujaan. b. Tundrumbaho Batu megalit ini juga terletak di daerah kecamatan Gomo, merupakan batu megalit yang dipahat dengan berbagai bentuk dan motif seperti ni‟ogadi, saita gari, daro-daro, osa-osa dan behu. c. Hililaja dan Lölö Ana‟a Kepala bidang kebudayaan Kabupaten Nias Selatan, berbagai bentuk situs megalit di lokasi Hililaja dan Lölö Ana‟a masih utuh dan terpelihara. Bentuk pahatan batu menyerupai manusia, batu tegak tinggi dan batu berbentuk bulat untuk tempat duduk. Bentuk dan motif yang sama dapat dijumpai di desa Lölö Ana‟a, berjarak 3 km dari pusat kota kecamatan Lölömatua. Situs megalit di desa Hililaja dapat
Universitas Sumatera Utara
ditempuh dengan kendaraan umum yang berjarak 2,5 km dari pusat ibu kota Kecamatan Lölömatua. d. Tetegewo Situs Tetegewo terletak di Desa Hilisao‟ötö yang berjarak 12 km dari kecamatan Lahusa. Lokasi Tetegewo masih belum terjangkau oleh kendaraan dan “harus berjalan kaki sekitar 1,5 km untuk mencapai puncak lokasi.” Diterangkan bahwa, bentuk dan motif pahatan batu di lokasi ini antara lain: saita gari, ni‟ogadi, tempat penyimpanan tengkorak, penjara kuno, osa-osa dan behu. Suku Nias Selatan adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias Selatan secara umum disebut fondraköavoreyang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias Selatan kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias Selatan mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah Siulu"Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan ekor babi selama berhari-hari. Menurut masyarakat Nias Selatan, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena
Universitas Sumatera Utara
memperebutkan Takhta Sirao. Kesembilan putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias. Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.121 1. Letak Geografi dan Pembagian Daerah Administrasi a. Kabupaten Nias Selatan berada disebelah barat Pulau Sumatera jaraknya ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. b. Kabupaten Nias Selatan berada di sebelah Selatan Kabupaten Nias yang berjarak ± 120 km dari Gunungsitoli ke Telukdalam ( Ibukota Kabupaten Nias Selatan). c. Kabupaten Nias Selatan terdiri dari delapan belaskecamatan yang terdiri dari Amandraya, Aramõ, Fanayama, Gomo, Hibala, Hilimegai, Lahusa, Mazinõ, Lõlõmatua, Lõlõwa'u, Maniamõlõ, Mazõ, Pulau-pulau Batu, Pulau-pulau Batu Timur, Susua, Teluk Dalam, Toma dan Umbunasi.
2. Luas Wilayah: a. Kabupaten Nias Selatan mempunyai luas wilayah 1.825,2 km2. b. Terdiri dari 104 buah pulau. 3. Batas Wilayah a. Sebelah Utara dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat. b. Sebelah Selatan dengan Pulau-pulau Mentawai Propinsi Sumatera Barat.
121
Wikipedia, Suku Nias, melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 12.25 WIB.
Universitas Sumatera Utara
c. Sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-pulauMursala Kabupaten Tapanuli Tengah. d. Sebelah Barat dengan Samudera Hindia. 4. Keadaan Topografi Kondisi alamnya/topografi berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya di atas permukaan laut bervariasi antara 0-800 m, terdiri dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 20%, dari tanah bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit sampai pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas daratan. Kondisi topografi demikian menyulitkan pembuatan jalan-jalan lurus dan lebar. Oleh karena itu, kota-kota utama terletak di tepi pantai. 5. Iklim Kabupaten Nias Selatan terletak di daerah khatulistiwa maka curah hujannya pun tinggi. Rata-rata curah hujan perbulan 3401,9 mm dan banyaknya hari hujan dalam setahun 242 hari atau rata-rata 20 hari per bulan. Akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah. Musim kemarau dan silih berganti dalam setahun. Disamping struktur batuan dan susunan tanah yang labil mengakibatkan seringnya banjir bandang dan terdapat patahan jalan-jalan aspal dan longsor disana-sini, bahkan terjadi daerah aliran sungai berpindah-pindah. Keadaan iklim dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara berkisar antara 21,7°-31,3° dengan kelembaban sekitar 88 % dan kecepatan rata-rata angin 6 knot/jam. Curah hujan tinggi dan relatif turun hujan sepanjang tahun dan sering kali dibarengi dengan badai besar. Musim badai laut biasanya berkisar antara bulan September sampai
Universitas Sumatera Utara
November, tetapi kadang terjadi badai pada bulan Juni, jadi cuaca bisa berubah secara mendadak. Nias Selatan adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Nias (0012′ – 1032′ Lintang Utara (LU) dan 970 – 980 Bujur Timur (BT)) Provinsi Sumatera Utara. Sebelumnya, Nias Selatan adalah bagian dari Kabupaten Nias yang kemudian memperoleh status otonom pada pada tanggal 25 Februari 2003 dan diresmikan pada tanggal 28 Juli 2003 di Medan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI. Di pedalaman Nias sekitar lembah-lembah sungai Gomo dan Susua, pada zaman dulu terdapat desa-desa yang penduduknya paling padat. Apalagi sebagian besar dari sejarah dan kebudayaan Nias bersumber di situ, yakni di Kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo. Umpamanya pada pinggir jurang terjal, di situ terdapat sungai Susua yang mengalir ke Baho Zusua, sebelum bermuara ke laut. Di situ terdapat satu jalan setapak dari zaman dulu yang disebut lala nitelandrawa, artinya : jalan yang dibatui oleh orang dari seberang. Pada jalan setapak itu satu jalan yang dinamai si samba lahe, jalan yang lebarnya hanya selebar telapak kaki, dan di kiri kanan jalan terdapat jurang terjal. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat dua desa yang terkenal, lahusa idano tae dan tundrumbaho, karena desa itu memiliki jumlah megalit yang paling besar dan paling banyak.122 Memasuki desa-desa tradisional di Teluk dalam Kabupaten Nias Selatan, akan menemukan warisan tradisi Nias yang mencerminkan kearifan dan kecerdasan nenek moyang orang Nias Selatan (Niha Raya). Dari bawagoli (pintu gerbang desa) akan memasuki ewali mbanua (halaman desa) dengan lebar kira-kira 8-10 meter yang dilapisi batu-batu tersusun rapi. Kita berjalan diatas iri newali, jalan setapak dari batu yang memanjang lurus di tengah ewali mbanua, membagi dua halaman desa tersebut. Di kiri dan kanan, rumah-rumah adat berjejer rapi, berdiri anggun seolah menawarkan kedamaian pada penghuninya. Di halaman desa juga ada batu besar setinggi kira-kira dua meter. Inilah yang disebut hombo batu. Para pelompat batu (si fahombo batu) 122
P. Johannes Maria Hämmerle, Op.cit, hal 16.
Universitas Sumatera Utara
biasanya melompati batu ini dengan menghentakkan kaki di atas, zawo-zawo yaitu sebuah batu ekcil tempat kaki si fahombo batu melontarkan tubuh keatas. Inilah tradisi yang unik di Kabupaten Nias Selatan di Teluk Dalam. Konon di masa dulu kala, setelah amada molo pindah ke Teluk Dalam, mereka mendirikan desa di bukit-bukit dan gunung-gunung. Namun saat itu ada emali (musuh), seorang pendekar yang tak terkalahkan yang hendak membunuh mereka. Pada waktu itu, Amada Takhi masih menetap di Hili Ono Tachi di sekitar Hilimaniamolo (salah satu gunung di Hilisimaetano). Dari mana Hilimaniamolo, mungkin juga semua keturunan amada molo masih berkumpul di tempat tersebut bersama amada takhi, karena maniamolo mungkin berasal dari kata amania molo (bapaknya adalah molo). 2. Kependudukan Wilayah Kabupaten Nias Selatan Kabupaten Nias Selatan memiliki sejarah kemegahan masa lampau yang tidak ternilai harganya. Peninggalan-peninggalan kebudayaan purbakala yang ditinggalkan oleh nenek moyang suku Nias dan Nias Selatan. Namun banyak anggapan yang menyatakan bahwa nenek moyang suku Nias dahulunya adalah pelaut dan memasuki daerah pedalaman Gomo. Diyakini bahwa dari Kecamatan Gomo inilah penduduk Nias dan Nias Selatan berkembang secara tahap demi tahap ke seluruh pelosok tanah Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Nias dan Nias Selatan sangat kaya akan berbagai unsur budaya yang memiliki ciri khas tersendiri, seperti unsur bahasa, hukum adat. Nias Selatan merupakan Kabupaten dengan urutan ke-13 jumlah penduduknya di provinsi Sumatera Utara. Menurut hasil proyeksi penduduk 2012 penduduk Nias Selatan berjumlah 292.417 jiwa dengan 61.086 rumah tangga. Jumlah
Universitas Sumatera Utara
penduduk ini dengan persentase terhadap provinsi sebesar 2.23%. Jika dibandingkan dengan seluruh Kabupaten/kota di Kepulauan Nias, Kabupaten Nias Selatan merupakan jumlah penduduk terbesar. Pada sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Nias Selatan keadaan Mei 2011 adalah 289.708 jiwa. Kepadatan penduduk Nias Selatan tahun 2012 adalah 160 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk Nias Selatan selama kurun waktu tahun 2006-2011 adalah 0.87 persen per tahun. Beberapa kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Nias Selatan saat ini adalah: No
Kecamatan
1 Hibala 2 Pulau Pulau Batu Timur 3 Lahusa 4 Pulau Pulau Batu 5 Lolowa’u 6 Lolomatua 7 Amandraya 8 Fanayama 9 Gomo 10 Aramo 11 Teluk Dalam 12 Maniamolo 13 Toma 14 Mazo 15 Mazino 16 Umbunasi 17 Hilimegai 18 Susua Kabupaten Nias Selatan
Luas Jumlah Jumlah Jumlah Kepadatan Wilayah Desa Kelurahan Penduduk penduduk (Km²) (Jiwa) (per km2) 461,01 22 9.653 20,94 267,54 10 2.499 9,34 145,89 138,83 122,24 108,36 91,03 77,83 77,32 62,78 52,50 46,34 33,70 33,25 30,41 29,03 24,99 22,15 1825,20
35 46 41 26 21 16 23 15 17 14 11 14 11 9 11 14 356
1
1
2
35.238 16.436 30.366 25.353 17.213 19.970 25.237 7.823 544,84 13.533 8.086 15.241 8.346 7.911 5.845 15.063 292.417
241,54 118,39 248,41 233,97 189,09 256,58 326,40 124,61 544,84 292,04 239,94 458,38 274,45 272,51 233,89 680,05 160,21
*Sumber : BPS Kabupaten Nias Selatan Wilayah administrasi Kabupaten Nias Selatan terbagi menjadi 18 kecamatan. Luas wilayah administrasi Kabupaten Nias Selatan (darat dan laut) adalah 1.825,20
Universitas Sumatera Utara
km2. Masyarakat Nias telah ada sejak 5000 tahun yang lalu. Sebelum masuknya agama di Pulau Nias, masyarakat sudah memiliki aliran kepercayaan dengan adanya tradisi penghormatan terhadap leluhur Mangai Binu (tradisi memburu kepala), Famaoso dola (pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur). Namun aliran tersebut kini telah hilang dengan masuknya agama Islam dan Kristen. Setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan, penduduk merupakan faktor penentu dimana penduduk tidak saja berperan sebagai pelaku tetapi juga sebagai sasaran pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, pengelolaan penduduk perlu diarahkan pada pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas serta pengarahan mobilitas sehingga mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang menunjang kegiatan pembangunan. Komposisi penduduk yang disajikan menurut umur mempunyai banyak manfaat, antara lain dapat digunakan untuk melihat struktur penduduk suatu daerah. Adapun komposisi penduduk berdasarkan umur dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Struktur penduduk muda, yaitu bila proporsi penduduk yang berusia di bawah 15 tahun di suatu wilayah sebesar 40 persen atau lebih. 2. Struktur penduduk sedang,yaitu bila proporsi penduduk usia di bawah 15 tahun di suatu wilayah sebesar 30-40 persen dan penduduk usia 65 tahun ke atas mencapai 10 persen atau lebih. 3. Struktur penduduk tua, yaitu bila proporsi penduduk usia di bawah 15 tahun di suatu wilayah kurang dari 30 persen. Luas Hutan di Kabupaten Nias Selatan menurut Jenisnya 2012 (000 ha)
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Nias Selatan
Keterangan : * Data masih bergabung dengan Kec. PP. Batu dan Hibala. ** Data masih bergabung dengan Kec. Teluk Dalam. *** Data masih bergabung dengan Kec. Amandraya. **** Data masih bergabung dengan Kec. Gomo. ***** Data masih bergabung dengan Kec. Lolowau. Pulau Nias tergolong pulau kecil. Namun, organisasi adat sangat beragam. Tidak heran jika banyak sekali Öri (gabungan beberapa kampung) yang pada zaman dahulu memiliki tata aturan adat masing-masing. Sekarang, Öri sebanarnya sudah “runtuh”. Kepemimpinan adat sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Nias. Namun “roh” adat itu masih melekat dalam hidup masyarakat Nias Selatan. Seperti
Universitas Sumatera Utara
kita ketahui, ada beberapa Öri di Nias Selatan yaitu Öri Maenamolo, Öri Toeneasi, Öri Onolalu, Öri Majino, Öri Aramo, Öri Susua. Makna sejati böwö adalah ungkapan kasih (masi-masi), perbuatan baik (amuata sisökhi/famalua fa‟omasi), kemurahan hati, sikap saling menghormati (fasumangeta), sikap saling memuliakan (famolakhömi), pemberian penuh ikhlas hati-tanpa paksaan dan tanpa menuntut balasan (nibe‟e sifao fa‟ahele-hele dodo-tenga nifaso ba tenga siso sulö). Oleh karena itu, seseorang yang memberikan böwö dalam bentuk babi, emas, uang dan beras semata-mata karena digerakkan oleh makna sejati böwö tersebut. Sementara pihak penerima böwö, menerima böwö dengan penuh kemurahan hati sehingga tidak memaksa pihak-pihak pemberi böwö tersebut. Pulau Nias adalah sebuah Pulau yang terdapat di sebelah barat Pulau Sumatera dan di kelilingi oleh beberapa pulau yang lebih kecil, diantara 27 pulau yang mengelilinya tersebut hanya sekitar 11 pulau saja yang sudah berpenghuni termasuk Pulau Nias sebaga pulau terbesar dan memiliki populasi penduduk yang tinggi. Pulau ini memiliki keindahan alam yang menawan serta adat istiadat yang masih terjaga dengan baik yang bertahan sejak jaman batu kuno dahulu. Banyak cerita tentang Siraso, versinya pun bervariasi. Dari Ama Waögo Waruwu, Ama Zaro Baene, dan Ama Rozaman Mendröfa diketahui Siraso tiba di tiga tempat berbeda di pulau Nias. Fenomena ini menunjukkan bahwa Siraso cukup dikenal masyarakat, terutama masyarakat Nias tempo doeloe, di kawasan yang relatif luas di Tanö Niha. Dari kecamatan Lölöfitu Moi, Siraso datang dari seberang, terdampar di teluk Nalawö. Dalam perjalanan ke pedalaman dia beristirahat di hulu
Universitas Sumatera Utara
sungai Nalawö. Persis di tempat itu akhirnya didirikan desa Nalawö.123 Sedangkan di desa Hililaora-Hilidohöna, kecamatan Lahusa, Siraso mendarat di muara Susua, kemudian menelusuri sungai Susua ke hulu dan tiba muara sungai Gomo. Dari muara itu beliau menelusuri sungai Gomo, akhirnya tiba di Börönadu.124 Mengacu Alan Dundes, dalam mengkaji tradisi lisan mite, Victor Zebua menggunakan batasan unsur-unsur pokok mite Nias, khususnya mite asalusul, yaitu: cerita lisan berbentuk hoho atau prosa tentang asal-usul, dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh sekelompok orang Nias, telah diwariskan minimal dua generasi, pewarisan melalui praktek kebudayaan Nias misalnya: fondrakö, acara kelahiran, pesta perkawinan, acara kematian, pesta budaya, pertunjukan budaya, dan lainnya.125 Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu),
Silögu
dikenal
sebagai
Dewa
Panen
(Samaehowu
Famasi).
Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:
123
P. Johannes Maria Hämmerle, Op.cit, hal 169. Ibid, hal 59. 125 Zebua, V, Ho Jendela Nias Kuno – Sebuah Kajian Kritis Mitologis, (Nias : Pustaka Pelajar, 2006), hal 76. 124
Universitas Sumatera Utara
He le Siraso samo‟ölö, he le Siraso samowua; soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua; mabe‟zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.126 Luas Pulau Nias sekitar 5.000 km² dan terdiri dari empat kabupaten dan satu kota yakni Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Gunungsitoli adalah Ibukota Pulau Nias dan menjadi segala pusat kegiatan dan kebutuhan Pulau Nias. Nias memiliki sekitar 650 desa, desa-desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang juga memimpin dewan sesepuh. Desa-desa adat di Nias terkenal akan penataan arsitekur, lanskap maupun bangunannya yang unik mencerminkan desa setempat. Sistem di masyarakat Nias menganut sistem hierarki yang menempatkan kaum bangsawan sebagai kasta tertinggi, yakni kaum siulu balugu. Diantara 12 kasta yang ada di Pulau Nias siulu balugu lah yang tertinggi, untuk mencapai tingkatan kasta ini seorang penduduk harus menyelengarakan sebuah pesta besar yang diselenggarakan berhari-hari lamanya menyembelih ratusan ternak terutama babi dan mengundang ribuan orang untuk datang ke pesta. Kabupaten Nias Selatan terletak di Pulau Nias. Pulau Nias sendiri terletak di sebelah Barat Pulau Sumatera, berjarak ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan berada disebelah Selatan
126
Surya Hadidi, Sastra Nias, melalui http://surya-hadidi.blogspot.com/2009/07/sastranias.html, diakses pada tanggal 10Desember 2013, pukul 13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Nias, yang berjarak ± 120 km dari Kota Gunungsitoli ke arah Kota Teluk Dalam (Ibukota Kabupaten Nias Selatan).127 3. Perekonomian Wilayah Nias Selatan Kabupaten Nias Selatan terdiri atas 104 gugusan pulau besar dan kecil dengan letak yang memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 120 kilometer, lebar 40 kilometer. Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Tidak seluruh pulau berpenghuni. Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan. Sektor ekonomi kabupaten ini, terutama didukung oleh sektor pertanian dan pariwisata. Dari sektor pertanian, komoditas unggulan terutama dari perkebunan, yakni kelapa, karet, dan nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra perkebunan kelapa di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Sedangkan di Kecamatan Lahusa, Lolomatua, dan Lolowa‟u merupakan sentra tanaman karet serta nilam. Hasil pertanian lain yang menjadi unggulan adalah padi dan ikan dengan sentra produksi tanaman padi berada di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Sementara daerah tangkapan ikan di Nias Selatan terdapat di Kecamatan Pulau-pulau Batu dan Hibala. Pada umumnya komoditas pertanian daerah ini dijual dalam bentuk apa adanya, belum melalui proses pengolahan. Para pekerja menggarap komoditas andalan secara tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan perikanan dikirim ke Sibolga melalui jalur transportasi laut. Adapun padi dimanfaatkan untuk konsumsi 127
Helper Sahat P. Manalu, dkk, Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 : EtnikNias Desa Hilifadölö, Kecamatan Lölöwa‟u Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2012.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat setempat. Di bidang pariwisata, potensi wisata Kabupaten Nias Selatan terletak pada jalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan (RTRW Kabupaten Nias Selatan Tahun 2004-2014), yakni Kecamatan Lolowa‟uGomo-Pulau-pulau Batu dengan porosnya adalah Omo Hada, yang merupakan rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam. Daerah Nias Selatan terkenal dengan tradisi hombo batu-nya atau yang lebih dikenal dengan lompat batu. Selain itu, Sorake, salah satu pantai di daerah itu, akrab di telinga penggemar olahraga selancar. Turnamen selancar tingkat dunia beberapa kali diadakan di pantai itu. Objek-objek wisata alam sangat potensial di Kabupaten Nias Selatan. Kecamatan Pulau-pulau Batu terdapat lokasi menyelam, terumbu karang, serta ikan-ikan hias dan pantai berpasir putih. Adapun peninggalan zaman megalitik berupa batu-batu megalit di Kecamatan Lahusa dan Gomo. Andalan wisata lainnya adalah Pantai Lagundri yang berpasir putih serta Pantai Sorake (Kecamatan Teluk Dalam) yang ombaknya jadi sarana olahraga selancar. Meskipun sebagai salah satu tulang punggung perekonomian, kegiatan pariwisata di Kabupaten Nias Selatan belum optimal dikembangkan, baik dalam hal penyediaan infrastrukturnya maupun manajemennya. Di Teluk Dalam juga terdapat desa adat yaitu Desa Bawomataluo, yang dapat dikatakan sebagai cagar budaya karena merupakan sebuah potret sejarah dari perkembangan budaya Nias. Di desa ini terdapat deretan rumah tradisional terbuat dari kayu dengan arsitektur khas Nias Selatan yang masih dihuni oleh penduduk sebagaimana layaknya komplek perumahan. Di perkampungan itu juga bisa disaksikan tradisi hombo batu atau lompat batu yang terkenal itu.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu hal menarik yang tidak patut untuk di lewatkan dari Pulau Nias adalah Fahombo yakni lompat batu setinggi 2 meter yang menjadi ciri khas mayarakat Nias. Lompat batu ini sudah sangat terkenal di Indonesia dan mancanegara yang menjadi ikon penting yang layak untuk disaksikan saat berkunjung ke Pulau Nias. Konon lompat batu ini dilakukan sebagai latihan perang bagi anak muda suku Nias, sekarang pun masih lestari tradisinya sebagai ritual kedewasaan masyarakat setempat. Bawomataluo adalah salah satu tempat yang bisa disaksikan untuk melihat pertunjukan lompat batu, tidak hanya sekedar menyaksikan tetapi pengunjung juga bisa mencoba tantangan melompati batu. Desa Bawatomataluo dan Desa Hilisimaetanö pengunjung akan melihat pertunjukan tari perang tradisional, para penarinya akan mengenakan kostum tradisional yang khas dengan bulu burung berwarna cerah serta diikat di kepala mereka. Lepas desa Desa Bawatomataluo dan Desa Hilisimaetanö pengunjung juga bisa ngunjungi Desa Hilisimaetano yang berada di Nias Selatan di tempat ini terdapat sekitar 100 rumah tradisional dengan ukiran khas Nias yang indah. Selain Budaya, Pulau Nias juga terkenal dengan wisata Pantai yang indah dan kegiatan Selancar yang menentang karena memiliki ombak salah satu yang terbaik di dunia. Pulau Bawa, Pulau Aru serta Pantai Sorake dan Lagundri adalah tempat berselancar yang bagus. Dilihat dari topografinya, Nias Selatan adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman dan berprofesi sebagai petani. Mereka tinggal di kampung-kampung yang dipisahkan jarak yang cukup jauh antara satu kampung dan kampung lainnya. Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, mereka tetap mampu
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-akhir ini, setelah dikelola lebih serius, sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak di jalur Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa„u-GomoPulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam. Pulau yang sangat terkenal dengan budaya megalitiknya ini juga menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai leluhur orang Nias sekarang ini yang bisa dilihat jejak-jejaknya dalam cerita-cerita lisan atau hoho yang berkembang dalam masyarakat Nias. Para penghuni pulau ini menyebut diri mereka sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku tertua di Nusantara.128 Untuk menuju Pulau Nias maka bisa di tempuh dengan 2 (dua) cara perjalanan yakni Fery dan Pesawat, untuk pesawat bisa ditempuh dari kota Medan maupun Padang sementara Ferry bisa ditempuh dari kota Sibolga.129 Bahasa Nias Selatan, kota Teluk Dalam juga sering disebut sebagai Luahaziwara-wara yang artinya adalah tempat pertemuan seluruh penduduk Kecamatan Teluk Dalam setiap hari pekan dulunya. Nenek moyang penduduk Teluk Dalam dipercaya datang dari Gomo dibagian tengah pulau Nias. Sejak dahulu dikenal ada 4 (empat) Ori/negeri yang merupakan kesatuan kecil dari beberapa kampung atau banua. Ori ini dapat dibedakan dari kedekatan wilayah, asal usul keturunan, 128
Afthonul Afif, Leluhur Orang Nias dalam Cerita-cerita Lisan Nias, (Yogyakarta : Parikesit Institute, Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, 201). 129 Indo Holiday Tour Guide, Pulau Nias Pulau Yang Memegang Teguh Adat Istiadat Lama, melalui http://www.indoholidaytourguide.com/pulau-nias-pulau-yang-memegang-teguh-adat-istiadatlama-00508html, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
persamaan marga, kesamaan lafal atau logat bahasa dan pembentukan kampung baru dari kampung asal.130 Kabupaten Nias Selatan masih banyak terdapat desa-desa adat. Yang menonjol dari desa-desa adat ini adalah penataan arsitekturnya. Dulunya setiap desa di pimpin oleh seorang raja. Desa-desa ini terletak di daerah yang sulit dijangkau seperti di perbukitan terjal atau lembah-lembah yang ada di baliknya. Tujuannya adalah untuk membentengi diri dari serangan desa lain. Pada masa lalu perang antar desa kerap kali terjadi. Penyerbuan sebuah desa oleh desa yang lainnya kerap terjadi. Biasanya disertai dengan penculikan penduduk yang nantinya akan dijadikan budak. Maka struktur masyarakat Nias masa lalu terdiri dari kelas raja, cendikiawan dan bangsawan, rakyat biasa dan budak. Dan pola pemukiman pun terbentuk dari struktur masyarakat ini. Di mana rumah tinggal raja yang disebut, Omo Sebua, yang artinya rumah besar terletak di poros pola jalan yang berbentuk tegak lurus, tepat di tusuk satenya. Rumah raja, Omo Sebua, diapit oleh rumah-rumah adat yang lebih kecil lainnya yang disebut Omo Hada. Rumah-rumah adat atau Omo Hada ini kuat menahan gempa, pada gempa lalu banyak menyelamatkan nyawa manusia. Dari 850 lebih korban jiwa hanya satu korban yang tinggal dalam rumah adat, tepatnya di desa
130
Elhondro, Teluk Dalam Ibukota Kabupaten Nias, melalui http://elhondro.blogspot.com/2013/10/teluk-dalam-ibukota-kabupaten-nias.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2013, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Hilimondregeraya, Teluk Dalam. Sebagian besar yang tewas adalah yang tinggal di rumah berkontruksi modern.131 Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan realisasi pembangunan menjadi elemen yang tidak bisa diabaikan. Dalam tataran pembangunan permukiman, telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan yaitu dari paradigma ekonomi dan sosial ke paradigma pemanusiaan (manusiawi). Paradigma pemanusiaan ini diwujudkan dengan menerapkan strategi pemberdayaaan masyarakat dalam perencanaan dan realisasinya. Masyarakat didudukkan sebagai pelaku utama pembangunan serta diberdayakan
agar
mampu
menangani
permasalahan
dalam
pembangunan
lingkungannya. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan pembangunan, seharusnya tidak hanya berhenti pada upaya untuk menemukan solusi konseptual yang partisipatif dan „locally genuine‟. Solusi konseptual tersebut perlu dijabarkan secara profesional dan diformalkan dalam konsep penataan ruang kawasan/wilayah terkait. Jhumming merupakan praktek umum (menanam tanaman secara bergilir di atas bidang-bindang tanah yang berbeda). Orang angami dan chakesang petak-petak sawah yang bertingkat (berjenjang-jenjang). Pada masyarakat Naga ditemukan tuan tanah dan juga tidak ada petani yang tidak mempunyai tanah. Pada musim tanam, laki-laki dan perempuan muda bekerja sama pada lahan satu sama lain. Pada zaman dulu, setiap kampung memproduksikan apa yang mereka butuhkan. Sekarang mereka bergantung pada paar nasional atau pasar dunia untuk menemukan kebutuhannya.132
131
M. Nursabrina, Pulau Nias Sumatera Utara, melalui http://m-nursabrina.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 12.25 WIB. 132 P. Johannes Maria Hämmerle, Op.cit, hal 121.
Universitas Sumatera Utara
B. Eksistensi Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan 1. Arti Tanah dalam Hukum Adat Pada Masyarakat Nias Selatan Mungkin tidak ada seorangpun yanag dapat membantahnya tanah di Pulau Nias Selatan yang disebut dengan istilah Tano Niha atau tanah manusia, sangat subur ditumbuhi berbagai jenis tanaman, ironisnya justru tanah yang subur ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Nias Selatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil produksi pertanian maupun perkebunan. Kondisi kesuburan tanah di Nias Selatan yang cocok untuk berbagai jenis tanaman di setiap lokasi lahan pertanian di Nias Selatan sehingga sangatlah wajar apabila pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan khususnya dinas pertanian dan tanaman pangan, perkebunan bahkan kehutanan dapat melakukan pemetaan wilayah pertanian dan perkebunan di Kabupaten Nias Selatan. Ada beberapa alasan begitu pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan yakni: a. Tanah sebagai identitas Tanah dalam bahasa daerah Nias disebut Tanő. Kabupaten Nias Selatan adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias Selatan secara umum disebut Avore/fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan sejarah seperti artefak-artefak yang masih ditemukan di banyak wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang ini.
Universitas Sumatera Utara
Lambang Kabupaten Nias Selatan berbentuk Segi Lima Sama Sisi yang melambangkan bahwa Nias Selatan adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, didalamnya terdapat lukisan-lukisan yang mempunyai arti serta makna tersendiri : Kalabubu, Tulisan Nias Selatan, Susunan Batu (Hombo Batu) berjumlah 28 (dua puluh delapan), Tingkatan Batu (Hombo Batu) berjumlah 7 (tujuh), segitiga berantai di atas sikhöli ni‟owöli-wöli, kapas, orang yang sedang melompat batu, sikhöli ni‟owöli-wöli serta tulisan furai. Tanah Nias tanah yang kucinta, tanah kebanggaanku… dimanapun aku berada, tidak akan terlupakan… tanah kelahiranku, berbukit dan sangat luas…tanah yang berada di tengah lautan yang sangat luas.133 Lirik lagu di atas merupakan lagu daerah masyarakat Nias yang berjudul Tanö Niha yang selalu dinyanyikan pada acara-acara kebesaran misalnya acara peresmian, pesta Ya‟ahowu dan sebagainya. Lirik lagu tersebut juga mengisyaratkan secara nyata begitu dekatnya serta sangat berharganya nilai tanah dipandang sebagai identitas yang mempersatukan dan memberikan kekuasaan pada masyarakat Nias. Lirik lagu ini juga menandakan hubungan emosional dari masyarakat Nias untuk tetap menjaga dan mempertahankan kepemilikan tanahnya dari gangguan masyarakat luar yang belum sah secara adat menjadi penduduk di Nias. Lambang dan slogan Kabupaten Nias serta Lagu daerah masyarakat Nias telah mengungkapkan tanah sebagai identitas pada masyarakat Nias yang secara turun temurun telah diwariskan dan dipertahankan. b. Tanah sebagai kekuasaan 133
Dominiria Hulu, Arti Tanah pada Masyarakat Nias, http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/arti-tanah-pada-masyarakat-nias.html, tanggal 2 Januari 2014.
melalui diakses
Universitas Sumatera Utara
Tanah sebagai kekuasaan terungkap dari sistem kekerabatan masyarakat Nias yang digariskan menurut garis keturunan laki-laki atau berdasarkan marga, selain itu tanah sebagai kekuasaan mempererat hubungan kekeluargaan atau iwa(talifuso) pada masyarakat Nias Selatan. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dengan pendirian rumah adat dan pendirian kampung atau banua sebagai kekuasaan tanah marga Masyarakat Nias Selatan dahulunya dalam memperoleh kekuasaan atas sebidang tanah, haruslah mengadakan kegiatan pesta adat atau owasa yang bertujuan untuk meneguhkan kekuasaannya terhadap tanah tempat tinggalnya. Peneguhan tersebut akan dihadiri penetua/petinggi adat dan akan mensyahkan batas kekuasaan berupa luas tanah dari yang mendirikan rumah tersebut, biasanya yang melaksanakan kegiatan adat ini yakni orang-orang yang telah memiliki kekuasaan dan ingin memperluas daerah kekuasaanya. Setelah disahkan maka orang tersebut akan diberi julukan Siulu/Balugu. Kemudian Siulu/Balugo inilah yang akan mewariskan tanah miliknya yang sangat luas kepada anak-anaknya sebagai penerus daerah kekuasaannya. Adapun bentuk rumah adat pada masyarakat Nias terdiri dari dua yakni: 1) Bagian utara : bentuknya oval (lonjong) dan atapnya dari rumbia 2) Bagian selatan: bentuknya persegi panjang c. Tanah sebagai Laju Perekonomian Masyarakat Nias Tanah sebagai lahan perekonomian terlihat jelas dari beberapa kegunaan tanah yakni sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang produktif seperti menanam tanaman, kelapa, padi, pisang, cokelat, karet, durian dan tanaman-tanaman palawija. Selain itu tanah juga dijadikan sebagai tempat usaha, misalnya sebagai tempat
Universitas Sumatera Utara
industri skala besar maupun rumah tangga, sebagai pasar tempat terjadinya transaksi penjualan hasil-hasil usaha masyarakat dibidang pertanian dan sebagainya, selain itu digunakan sebagai tempat usaha peternakan babi, kambing, kerbau, ayam dan ternak unggas lainnya. Usaha pertokoan juga menjadi suatu cara pemanfaatan tanah tidak hanya bagi masyarakat Nias namun masyarakat lain seperti orang Tionghoa dengan usaha-usaha dibidang elektronik/bahan-bahan bangunan serta suku Minang dengan usaha rumah makan, toko pakaian dan sebagainya. Tanah juga bisa dijual sebagai modal usaha serta sebagai modal pendidikan untuk melanjutkan sekolah. Biasanya, tanah digadaikan atau dijual agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi. d. Tanah Digunakan sebagai Laju Pembangunan Perkembangan suatu daerah ditunjang dengan adanya pembangunan yang menggunakan banyak tanah, misalnya: 1) Pembangunan lokasi pariwisata atau tempat rekreasi. Pembangunan lokasi pariwisata menggunakan tanah masyarakat menjadi prioritas pemerintah Kabupaten Nias, mengingat Nias merupakan lokasi wisata yang memiliki banyak kekayaan alam maupun wisata sejarah, contohnya; wisata alam pantai Lagundri dan Sorake di Nias Selatan, wisata alam Pantai Ladeha, wisata sejarah megalit di Desa Bawomataluo di Kecamatan Gamo dan objek wisata lainnya. Pembangunan lokasi pariwisata tentunya membawa dampak ekonomis terhadap daerah maupun masyarakat yang berada di sekitar objek wisata. Kebutuhan tanah akan perkembangan lokasi pariwisata tentunya sebagian menggunakan tanah masyarakat, baik yang diberikan secara percuma oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat maupun yang diberikan berdasarkan perjanjian penggunaan. Misalnya, objek wisata megalit yang dalam penggunaanya harus dipelihara dan dirawat dengan baik. 2) Terjadinya gempa 28 Maret 2005 Gempa 28 Maret 2005 telah membawa pengaruh signifikan terhadap penggunaan tanah sebagai lokasi pembangunan yang tidak terelakkan. Tanah tersebut menjadi lahan komoditi yang diperjualbelikan kepada pihak luar untuk pembangunan dan hal ini telah membawa dampak adanya lahan kosong yang selama ini menjadi tanah yang tidak berfungsi menjadi lahan produktif, hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan pengembangan usaha pertanian dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat berupa program livelihood misalnya tempat peternakan, bibit cokelat, pembangunan jalan, pembangunan gedung perkantoran dan sekolah-sekolah serta program rekonstruksi pembangunan rumah pengungsi.134 Tanah pada masyarakat Nias Selatan terdiri dari tanah anak berdasarkan atas pembagian harta warisan, tanah ulayat yang merupakan tanah leluhur yang diwariskan kepada keturunan berdasarkan marga dan tanah milik pribadi yakni tanah yang dibeli dengan uang pribadi dan tidak disahkan secara hukum adat. Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam. Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang 134
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja.
Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang
menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun sejajar dan rapat dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain. Kemampuan seorang pemuda Nias yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dan sebagainya. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi 2 meter. Dahulu,
Universitas Sumatera Utara
melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut
dalam
penyerangan,
harus
memiliki
ketangkasan
melompat
untuk
menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya. Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi.135 Tanah bagi kehidupan manusia sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, diibaratkan bagaikan sebuah mobil dengan bensinnya. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan manusia, seperti bertempat tinggal, tempat usaha, bahkan tanah juga dijadikan investasi untuk jangka panjang. 135
Dhimas Igo, Sejarah Lompat Hombo Batu di Nias, melalui http://www.himasgo.com/2013/09/sejarah-lompat-hombo-batu-di-nias.html, diakses tanggal 2 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu tanah dapat juga diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwariskan atau diwakafkan, dengan kata lain dialihkan, kepada pihak lain. Dan yang sangat nyata dalam kehidupan manusia bahwa tanah mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi, artinya apabila manusia tidak mempunyai tanah sangatlah tidak dipandang oleh orang lain atau sesamanya, dan justru sebaliknya apabila manusia mempunyai tanah maka status sosialnya menjadi sangat tinggi, terlebih-lebih tanah yang dimilikinya sangat luas, maka orang tersebut sangat dipandang.136 Bagi para petani tanah mempunyai nilai yang sangat tinggi, karena tanah menghasilkan usaha di bidang pertanian. Biasanya manusia dalam menggunakan tanah yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, bahkan manusia akan hidup tenteram dan damai apabila manusia tersebut dapat menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia tersebut dalam bermasyarakat. Sejarah kehidupan manusia dapat diketahui bahwa proses timbulnya tanah terjadi secara evolusi yang ditandai dengan tingkat keeratan hubungan manusia dalam menggunakan tanah terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Semakin erat hubungan manusia dalam menggunakan tanah maka akan timbul hak-hak maupun kewajiban terhadap tanah. Pengakuan, penghormatan, hak ulayat ada juga yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengingkaran tersebut dilakukan dengan cara mengingkari eksistensi tanah ulayat yang dinyatakan sebagai “tanah Negara”. Karena dengan dinyatakannya tanah ulayat sebagai tanah Negara, menyebabkan hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat tersebut, karena hak-hak itu ada di atas tanah ulayat dan juga sebagai pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat adat.137 Tanah dapat dijualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwakafkan, dengan kata lain dapat dialihkan kepada pihak lain. Apabila manusia memiliki tanah yang sangat 136
Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing): Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Restu Agung, 2010), hal 11. 137 Ibid, hal 57.
Universitas Sumatera Utara
luas maka status sosialnya pun semakin meningkat, dan kalau manusia memiliki sedikit luas tanahnya, maka nilai sosialnya pun menjadi sedikit, terlebih-lebih apabila manusia tidak mempunyai tanah, maka sangatlah tidak dipandang oleh orang lain.Oleh karena itu tanah mempunyai nilai yang sangat berharga bagi manusia, bahkan tidak sedikit manusia saling membunuh hanya karena tanah.138 Selain bersifat tidak dapat dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid), dalam hak ulayat pun dikenal adanya hak milik perseorangan. Hanya saja daya kerja hak milik itu dibatasi oleh keberadaan hak ulayat tersebut. Artinya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat hukum adat), hak milik tersebut haruslah mengalah. Ketentuan hukum adat yang menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan atau diasingkan secara tetap (selamanya). Kenyataan selama ini yang terjadi adalah jika misalnya kegiatan pertambangan telah selesai atau hak guna usaha untuk suatu perkebunan telah habis masanya, tanah-tanah itu kembali pada Negara, bukan pada masyarakat hukum adat setempat. Hal inilah yang kemudian memicu dan berkembang menjadi konflik/sengketa agrarian yang tiada berkesudahan. Kondisi di atas terjadi pula pada tanah-tanah yang semula menurut asas domein verklaring pemerintah Hindia Belanda termasuk kealam domein/milik Negara. Atas tanah-tanah itu Pemerintah Hindia Belanda memberikan hak erfpacht kepada perusahaanperusahaan perkebunan Belanda. Selanjutnya pada masa kemerdekaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisme perusahaan-perusahaan milik Belanda, perusahaan beserta seluruh kekayaan (baik berwujud benda tetap maupun tidak tetap) beralih menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. Ketentuan diatas menimbulkan konflik agrarian pula, karena pada saat itu umumnya tanah yang terkena pelaksanaan asas domein verklaring itu adalah tanah masyarakat hukum adat, karena memang atas tanahtanah tersebut tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan ketentuan hukum tanah barat. Padahal seharusnya berdasarkan ketentuan hak ulayat masyarakat hukum adat, tanah itu harus kembali pada pada masyarakat hukum adat.139 Kepemilikan tanah ulayat pada masyarakat di Kabupaten Nias dibedakan atas empat tahapan diantaranya yakni: berdasarkan keturunan/kerajaan Tetehöli Ana‟a,
138
Ibid. Ida Nurlinda, Prinsi-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, (Jakarta : Penerbit PT, Raja Grafindo Persada, 2009), hal 73. 139
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Fondrakö
Bonio oleh Sitölu
Tua, perolehan
kepemilikan
tanah
berdasarkan komunitas dan berdasarkan sistem kepemilikan tanah secara ideal. Silima Börödanömö yang merupakan pusat penyebaran penduduk yang memenuhi pelosok tanö niha sampai ke Kepulauan Hinako dan Kepulauan Batu. Kerajaan Tetehöli Ana‟a dan Silima Börödanömö merupakan anak Raja Balugu Sirao yang melaksanakan penyebaran tersebut. Keturunan dari masing-masing leluhur Silima Börödanömö memakai identitas. Mula-mula mereka memakai istilah ono atau anak atau iraono, misalnya Ono Delau, Ono Dohu, Iraono Las, Iraono Huna, dan sebagainya. Tetapi kemudian pada masa Pemerintahan Belanda sewaktu dikeluarkan Surat Pas atau kartu penduduk mulai dipergunakan istilah mado. Mado bukan hanya diambil dari leluhur pertama tetapi juga dari leluhur berikutnya yang lebih terkenal jayamenurut gelar karena pesta adat yang disebut owasa. Demikianlah hingga sekarang kita mengenal sampai ratusan nama mado atau marga pada masyarakat Nias. Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan seharihari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat adat yang bersangkutan.140 Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hak ulayat pada kenyataannya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, dan juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas dan kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah menjadi tugas dan kewenangan Negara RI, 140
Supriadi, Hukum Agraria, (Palu : Penerbit Sinar Grafika, 2006), hal 62.
Universitas Sumatera Utara
sebagai kuasa dan petugas bangsa. Dalam kenyataannya hak ulayat kecenderungannya berkurang, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagianbagian tanah ulayat yang dikuasainya. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melangsungkan keberadaannya141. Menurut pasal 1 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:142 a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu. b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut. c. Masih adanya tatananhukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Hak ulayat dikenal hak milik perseorangan, maka dalam hukum agraria nasional pun dikenal hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik perorangan
141
Ibid. Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta : Cetakan Pertama, Penerbit Kata Pena, 2013), hal 37. 142
Universitas Sumatera Utara
maupun bersama orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (yaitu bagian permukaan bumi yang disebut tanah). Pengakuan atas hak ulayat disertai dua syarat. Syarat pertama, mengenai eksistensinya yaitu apabila menurut kenyataannya masih ada. Di daerah di mana hak itu tidak ada lagi atau memang tidak pernah ada, tidak akan dihidupkan lagi bahkan tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Syarat kedua, mengenai pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.143 Eksistensi hak ulayat,UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental diatas, dapatlah dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni : a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat, b. Adanya tanah/wilayah dengan batas‐batas tertentu sebagai batas lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat; c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatanperbuatan hukum.144 Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya. Eksistensi/keberadaan hak
143
Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I : Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal 55. 144 Poepoet, Perbandingan Hukum Tanah Nasional, melalui http://bloogkumpoet.blogspot.com/2012/01/pendahuluan.html, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 13.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak. Menurut sejarahnya, tanah orang Nias itu berasal dari tanah Asia, disanalah mereka dilahirkan. Bapaknya ialah Baela, dahulu raja di tanah Asia yang memiliki enam orang anak lelaki sepanjang penuturan orangtua di Pulau Nias. Anak Baela itu, yang dapat diketahui nama di tanah Asia, hanya empat orang, ialah anak sulung Hinaya, anak tengah Hinalu, anak bungsu Hinayou, anak keempat Hinae. Nenek moyang dari asal (bibit) orang Nias itu tahu akan bahasa Melayu. Kadang-kadang ada juga sedikit yang sesuai dalam hoho (syair), tetapi tidak banyak. Dan sedikit-sedikit ada juga yang bahasa yang bercampur (sesuai) dalam bahasa melayu. Bahasanya yang tulen tiada kita ketahui dari pangkaloleh sebab berlainan dengan akhirnya. Semuanya turut ajakan mengusahakan tanah, masing-masing bekerja dengan rajinnya, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya tanaman ditanam yang telah dibawanya ditanam. Kelapa, Pisang, Tembakau, Sirih dan Padi semuanya ditanam semuanya.145 Tanah dalam bahasa daerah Nias Selatan disebut Tanö atau Danö hal ini semakin dipertegas
dengan adanya lambang Kabupaten Nias Selatan yang
bertuliskan Tanö Niha yang merupakan identitas yang tidak terlepas pada masyarakat Nias Selatan. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dari sistem kekerabatan masyarakat Nias Selatan yang digariskan menurut garis keturunan laki-laki atau berdasarkan marga, selain itu tanah sebagai kekuasaan mempererat hubungan kekeluargaan atau
145
P. Johannes M. Hammerle, Tuturan Tiga Sosok Nias, (Nias : Penerbit Yayasan Pusaka Nias, 2008), hal 79.
Universitas Sumatera Utara
talifusö pada masyarakat Nias. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dengan pendirian rumah adat dan pendirian kampung atau banua sebagai kekuasaan tanah marga. Masyarakat Nias Selatan dahulunya dalam memperoleh kekuasaan atas sebidang tanah, haruslah mengadakan kegiatan pesta adat atau owasa yang bertujuan untuk meneguhkan kekuasaannya terhadap tanah tempat tinggalnya. Peneguhan tersebut akan dihadiri penetua/petinggi adat dan akan mensahkan batas kekuasaan berupa luas tanah dari yang mendirikan rumah tersebut, biasanya yang melaksanakan kegiatan adat ini yakni orang-orang yang telah memiliki kekuasaan dan ingin memperluas daerah kekuasaanya. Setelah disahkan maka orang tersebut akan diberi julukan Balugu. Kemudian Balugu inilah yang akan mewariskan tanah miliknya yang sangat luas kepada anak-anaknya sebagai penerus daerah kekuasaanya. Tanah sebagai lahan perekonomian terlihat jelas dari beberapa kegunaan tanah yakni sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang produktif seperti menanam tanaman durian, kelapa, padi, pisang, cokelat, karet dan tanaman-tanaman palawija. Selain itu tanah juga dijadikan sebagai tempat usaha, misalnya sebagai tempat industri skala besar maupun rumahtangga, sebagai pasar tempat terjadinya transaksi penjualan hasil-hasil usaha masyarakat dibidang pertanian dan sebagainya, selain itu digunakan sebagai tempat usaha peternakan babi, kambing, kerbau, ayam dan ternak unggas lainnya. Usaha pertokoan juga menjadi suatu cara pemanfaatan tanah tidak hanya bagi masyarakat Nias namun masyarakat lain seperti orang Tionghoa dengan usaha-usaha di bidang elektronik/bahan-bahan bangunan serta suku Minang dengan usaha rumah makan, toko pakaian dan sebagainya. Tanah juga bisa dijual sebagai
Universitas Sumatera Utara
modal usaha serta sebagai modal pendidikan untuk melanjutkan sekolah. Biasanya, tanah digadaikan atau dijual agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.146 Adat istiadat Daerah Nias Selatan memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas ini terdapat pada bahasa, hukum adat, kesenian, arsitektur rumah, olahraga, derajat sosial, alat ukur dan pesta adat seperti pada masa panen, perkawinan, pengangkatan gelar, kelahiran anak dan lain-lain sebagainya. Karena lokasinya yang terpencil serta terletak pada posisi yang bukan daerah keramaian arus lalu lintas antar daerah, maka pengaruh luar belum banyak. Namun beberapa kegiatan adat yang dulunya merupakan bagian terpenting dalam meramaikan pelaksanaan acara pesta adat seperti tarian maena, tari perang, lompat batu, kini sudah banyak dikomersilkan. Selain itu masyarakat nias juga memiliki beberapa macam makanan khas seperti Gowi Nihandro/Gowi Nitutu (Ubi tumbuk), Harinake, Godo-godo, köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap), Niowuru, dan masih banyak lagi makanan khas lainnya.147 UUPA memberikan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat yaitu: pertama, syarat eksistensinya (keberadaannya) yakni tanah hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Artinya bahwa di daerah yang semula ada tanah hak ulayat, namun dalam perkembangan selanjutnya, hak milik perorangan menjadi kuat, sehingga menyebabkan hilangnya tanah hak ulayat, maka tanah hak ulayat tidak akan dihidupkan kembali. Demikian pula di daerah-daerah yang tidak pernah ada tanah hak ulayat, tidak akan dilahirkan tanah hak ulayat yang baru. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.148 146
Dominiria Hulu, Arti Tanah pada masyarakat Nias, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/arti-tanah-pada-masyarakat-nias.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2013, pukul 10.00 WIB. 147 Nuri, Macam Suku, melalui http://anakpesisirutara.blogspot.co.id/2012/03/macamsuku.html, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 14.00 WIB. 148 Rosmida, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hambatan Implementasinya, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal 27.
Universitas Sumatera Utara
Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi Fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi. Dengan kata lain, Fondrakö disusun berdasarkan situasi, kehendak dan kesepakatan masyarakat adat. Dengan demikian, Fondrakö merupakan konsensus yang mesti diterima begitu saja tanpa menyesuaikannya dengan situasi dan kehendak rakyat. Eksistensi Hak Ulayat masyarakat Adat di Kabupaten Nias Selatan bersama pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat serta instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam, yang ditunjuk untuk melakukan penelitian dan penentuan apakah masih ada hak ulayat dengan syarat : a. Terdapat sekelompok orang yang merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari, b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya seharihari, c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, danpenggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Hal lain yang menyebabkan pemerintah daerah kurang menanggapi tanah ulayat adalah karena masyarakat adat sendiri belum ada yang mengangkat permasalahan tanah ulayat ini. Sengketa tanah terjadi apabila ada benturan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang merasa mempunyai hak yang sama atas suatu bidang tanah yang sama. Dalam hal ini maka para pihak akan melakukan segala usaha untuk membuktikan bahwa dirinya yang paling berhak, sehingga tidak jarang dalam kondisi yang seperti itu maka akan banyak pihak yang dirugikan dan menimbulkan gangguan bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha Negara. Namun bukan rahasia lagi apabila relatif banyak sengketa pertanahan yang penyelesaiannya melalui pengadilan dirasakan kurang efektif disamping itu memakan waktu dan biaya. 2. Kedudukan Hak Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan Nias Selatan merupakan salah satu wilayah yang menggunakan hukum adat dalam kehidupan sosialnya. Hukum adat yang digunakan berasal dari aturan yang telah diamanahkan oleh para leluhur dan merupakan hasil kesepakatan pertama kalinya yang dimusyawarahkan di Arö Gosali di desa Börönadu Gomo yang disebut Fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Fondrakö merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang menjadi landasan hidup Ono Niha baik perorangan maupun masyarakat banyak. Pada dasarnya Fondrakö menekankan pada sikap agar berbuat baik dan melarang segala corak kejahatan serta memberi dorongan dan petunjuk untuk berbuat menurut jiwa
Universitas Sumatera Utara
dari Fondrakö tersebut. Walaupun ketetapan fondrakö itu tidak tertulis, namun sangat ditaati dan pelanggaran fondrakö diyakini berbahaya bagi pelanggarnya oleh karena diikrarkan oleh semua warga dengan sumapah sakral fondrakö yang dipimpin oleh ere. Orang yang taat diberkati dan orang yang melanggar dikutuki dan dikenakan hukuman
yang
setimpal
melalui
sidang
pengadilan banua yang
dipimpin
oleh Salawa atau Tuhenöri. Eksistensi Hak Ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya), maka perlu kiranya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan hak ulayat itu. Dalam literatur hukum adat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht, yang menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya tersebut. Oleh karena itu ada 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah tersebut mempunyai kedudukan sangat penting dalam hukum adat, yaitu: a. Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan jika terjadi perubahan akan menjadi lebih menguntungkan. Misalnya akibat banjir maupun letusan gunung, tanah dapat menjadi subur. b. Karena faktanya, bahwa tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan penghidupan bagi masyarakat hukum adat, tempat pemakaman leluhurnya, serta tempat tinggal roh leluhur masyarakat hukum adat tersebut. Hak ulayat merupakan seperangkatan wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
Universitas Sumatera Utara
lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.149 Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Pasal 1 yang berisi tentang pengertian atas hak Ulayat, tanah ulayat, dan batasan pengertian tentang masyarakat hukum adat (sebagaimana istilah yang terdapat dalam Pasal 3 UUPA). Hak Ulayat atau beberapa istilah yang sejenisnya yang merupakan hak masyarakat hukum adat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga syarat: a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui
149
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 2003), hal 61.
Universitas Sumatera Utara
dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari. c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut. Maria S.W. Sumardjono, menjelaskan pula tentang kriteria penentu masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, yaitu:150 a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek Hak Ulayat; b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek Hak Ulayat; c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakantindakan tertentu. Munculnya berbagai kritikan terhadap eksistensi tanah ulayat sebagai penghambat pembangunan sering bermunculan dan dilancarkan berbagai kalangan. Bila dicermati, pemikiran yang demikian tidak salah apabila dipahami secara dangkal. Akan tetapi, jika dipahami secara seksama dan mendalam, keberadaan tanah ulayat justru sebaliknya. Dipahami atau tidak, yang jelas dilaksanakannya sebuah pembangunan adalah dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta berkeadilan dalam segala bidang. Hak Ulayat artinya hak wilayah, hak persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat (nagari, marga, desa, suku, keturunan dan lainnya) atas lingkungan tanah (hutan) yang belum dibuka atau tidak dikerjakan. Masyarakat tersebut mempunyai 150
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Penerbit Kompas, 2005), hal 74.
Universitas Sumatera Utara
hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya ke luar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan sebagai suatu kesatuan bertanggungjawab terhadap perilaku menyeleweng atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam, masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota, masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya dengan cara membatasi peruntukan bagi tuntutan dari hak menikmatinya secara pribadi, untuk kepentingan masyarakat secara langsung. Tanah ulayat merupakan tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang secara pribadi akan tetapi ia merupakan tanah yang dikuasai secara bersama-sama oleh masyarakat adat, apakah ia berbentuk nagari, marga, desa, suku, keturunan dan lainnya. Pada hakikatnya tidak ada alasan bagi pihak lain yang berasal dari luar masyarakat adat yang menguasai tanah ulayat untuk dapat menikmati tanah ulayat yang haknya dimiliki masyarakat adat penguasa tanah ulayat. Ketika sebuah pembangunan dilaksanakan, pelaksanaan pembangunan tersebut terganjal bahkan sering terjungkal karena berhadapan dengan konsep tanah ulayat. Di satu sisi, sebagai negara berkembang, sudah pasti ia ingin menjadi negara maju dan sederajat dengan negara-negara lainnya serta tidak ingin disebut sebagai negara yang tertinggal. Keberadaan tanah ulayat justru mendukung pelaksanaan pembangunan jika pembangunan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta berkeadilan dalam segala bidang. Tanah
Universitas Sumatera Utara
ulayat merupakan aset potensial pendukung pembangunan. Masyarakat Adat dan Tanah Ulayat merupakan dua aset yang tinggal diberdayakan.151 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) Pasal 3 jo. Pasal 58 masih mengakui hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum diatur secara khusus. Dalam pengertian „masih ada‟ itu seyogianya tidak ada usaha untuk meniadakan hak tersebut. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 bahwa hukum agraria sekarang adalah hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah itu didasarkan pula pada sistematika hukum adat. Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Berdasarkan corak dari masyarakat hukum adat yaitu bersifat religio-magis dan kedudukan tanah adalah hal yang penting bagi masyarakat adat, maka jelas bahwa masyarakat hukum adat dapat dipastikan akan menjaga kelestarian tanah hak ulayatnya, termasuk obyek dari hak ulayat tersebut, yaitu tumbuh-tumbuhan dan segala yang ada di atas maupun yang terkandung di dalam tanah ulayat mereka termasuk hutan. 151
Nofiardi, Paradigma Keliru Tanah Ulayat Penghambatan Pembangunan, melalui http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg10922.html, diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 10.35 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Bunyi Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu : Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak: 1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan; 2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, dan 3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundangundangan dan konstitusi maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak ulayat telah diakui keberadannya, sehingga perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional (inkonstitusi) dan pelanggaran hak asasi manusia. Kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok Nusantara. Masyarakat adat yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Penguasa adat pun berwenang untuk menunjuk hutan-hutan tertentu sebagai hutan cadangan yang tidak boleh dibuka oleh siapapun. Ia berwenang pula menunjuk tanah-tanah tertentu untuk dipakai guna keperluan umum atau keperluan bersama, misalnya untuk kuburan, tempat penggembalaan, masjid, dan lain-lainnya. Masing-masing itu mempunyai hukumnya yang khusus.152 Urgensi adanya pencabutan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 152
Sudaryo Soimin, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 1994), hal 53.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh Negara. Pengertian dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas. Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai Sumber Daya Alam oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi. Ini semua sejalan dengan GBHN 1999-2004 dalam aspek pertanahan yang mengatakan secara tegas; …Dikembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunanan tanah secara adil, transparan dan produktif dan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah seimbang. Pengambilalihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal ini tertuang dalam UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perpres 65 tahun 2006 menyatakan Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
tentang Penataan Ruang pada pasal 1 angka 21 menyatakan bahwa Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam dan sumber daya buatan dalam pasal 20 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Sehingga dari ketentuan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hutan lindung merupakan bagian dari kawasan lindung yang merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional. Undang-undang Kehutanan mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh masyarakat hukum adat (hutan ulayat, hutan marga). Jadi, pemerintah tidak bisa serta merta mencabut hak ulayat demi dan atas nama kawasan hutan lindung apabila masyarakat adat tidak mau menerima tawaran pemerintah, hal ini dikarenakan hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Jadi pengadaan tanah untuk kawasan hutan lindung harus sesuai perjanjian dan kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat.153 Tanah ulayat di Kabupaten Nias Selatan merupakan esensi yang sangat penting untuk dipikirkan eksistensinya karena tanah ulayat adalah salah satu pilar yang mendukung pembentukan masyarakat hukum adat di Kabupaten Nias Selatan. Mengingat begitu pentingnya eksistensi tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat, bagaimanapun gencarnya intervensi, baik yang datang dari dalam (internal) maupun yang datang dari luar (eksternal), untuk menggusur eksistensi tanah ulayat, 153
Nurmawati Pakpahan, Pencabutan Hak Ulayat Terhadap Kawasan Hutan Lindung, melalui http://adacemua-cemua.blogspot.com/2012/03/pencabutan-hak-ulayat-terhadap-kawasan.html diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 12.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
namun masyarakat hukum adat di Kabupaten Nias Selatan tidak akan rela melepaskannya begitu saja. Eksistensi tanah ulayat dapat dipelajari dari berbagai aspek;asal-usul tanah ulayat, kelembagaan tanahulayat, fungsi tanah ulayat, dan intervensi terhadap eksistensi tanah ulayat. Asal-usul eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias Selatantelah terbentuk semenjak kedatangan nenek moyang Nias. Semua wilayah Kabupaten Nias Selatan mulai dari daerah pegunungan sampai ke daerah lembah sudah diulayati oleh raja-raja gunung dan raja-raja sungai. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: eksistensi dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali. Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".154 Pelaksanaan hak ulayat yang secara mutlak, yaitu seakan-akan anggotaanggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri, dianggap bertentangan dengan UUPA. Hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2. 154
Rosmidah, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
Dan sejatinya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan memiliki sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.155 Pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam Undang-Undang. Amandemen UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai alasan antara lain: Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Perkebunan. Kedua, kebijakan di masing-masing instansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang 155
Ali Afriandy, Hukum Agraria Indonesia, Tanah Ulayat Antara Kenyataan dan Harapan, melalui http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/10/hukum-agraria-indonesia-tanah-ulayat-antarakenyataan-dan-harapan-475837.html, diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 12.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
berbeda-beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten mengurusi keberadaandan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya. Terlepas dari itu, adanya problem tentang pengaturan penguasaan tanah. Ketentuan Pasal 2 ayat (4) menjadi dasar dari pengaturan penguasaan tanah oleh negara yang dikenal dengan sebutan hak pengelolaan. Selama ini pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hanya dilakukan terhadap penguasaan tanah oleh instansi pemerintah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak ketiga. Sementara itu pengaturan mengenai penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat (4) ini belum tersedia. Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain. Hak pengelolaan pemerintah ada kewenangan pemegang hak pengelolaan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga, guna pemanfaatan tanah-tanah yang menjadi bagian dari hak pengelolannya. Atas dasar perjanjian itu maka BPN dapat
Universitas Sumatera Utara
memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga dan pada saat berakhirnya jangka waktu hak atas tanah, maka penguasaan tanah kembali kepada pemegang hak pengelolaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika masyarakat hukum adat mendapatkan hak pengelolaan apakah mereka juga berhak mengadakan perjanjian yang demikian apa tidak, hak-hak apa sajakah yang boleh muncul, kemudian bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat hukum adat untuk mendapatkan kembali haknya setelah hak atas tanah dari pihak ketiga berakhir.156 Hal-hal inilah yang penting untuk diperhatikan jika ingin mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA bagi masyarakat hukum adat dengan model hak pengelolaan untuk melegalisasikan komunal hukum adat.
C. Upaya-upaya untuk Menjaga Eksistensi Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan 1. Pendaftaran Tanah Milik Kabupaten Nias Selatan Untuk menjaga eksistensi tanah milik Kabupaten Nias Selatan tersebut para pengurus sudah mulai mengambil beberapa tindakan yaitu dengan mendata tanahtanah yang merupakan milik pura dan kemudian mendaftarkannya. Tanah milik Kabupaten Nias Selatan yang telah didata tersebut juga disebutkan dalam peraturan di setiap desa pakraman yang tujuannya agar jelas yang mana merupakan tanah milik Kabupaten Nias Selatan, karena sebelumnya terdapat tanah-tanah ulayat (tanah adat) Kabupaten Nias Selatan yang tidak ada buktinya secara tertulis, hanya pengakuan dari masyarakat saja. 156
Erman Rajagukguk, Pemahaman Rakyat Tentang Hak Atas Tanah, (Jakarta : Penerbit Prisma, 1979), hal 40.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan juga ikut mendukung eksistensi dari tanah-tanah milik masyarakat tersebut. Tindakan nyata dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan yaitu dengan mengadakan pendaftaran tanah milik masyarakat yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah, program ini dilakukan setiap tahun.157 Keberadaan Tanah Ulayat kerap kali dianggap sebagai penghambat bagi pembangunan di Kabupaten Nias Selatan. Dalam artian, apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam kegiatan pembangunan tersebut, pelaksanaan pembangunan yang dianggap sebagai wujud dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sering ditolak masyarakat kaum yang enggan tanah moyangnya dikuasai dan diolah pihak luar (dalam hal ini umpamanya investor), lebih memilih tetap hidup dengan cara yang tradisional dan memegang teguh adatnya. Tetapi, bukankah cara seperti ini merupakan perwujudan dari upaya masyarakat Nias Selatan menjaga lingkungan alamnya dengan cara konservasi melalui aturan adat di tanah ulayat itu. Karena Tanah Ulayat bukan milik perorangan.158 Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinan dalam bidang personal dan peralatan. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya di kota-kota untuk lambat laun meningkatkan pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.159
157
Kuasa Dakhi, Wawancara, Si‟ulu mbanua (bangsawan) ketua adat Desa dan Kepala Desa Hilimaenamolo (Nisel, 16 Desember 2013). 158 Fauduni Wau, Wawancara, Sekdes Botohilitano dan Hilimaenamolo (Nisel, 17 Desember 2013). 159 Badriyah Harun, Solusi Sengketa Tanah dan Bangunan, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Pustaka Yustisia, 2013), hal 33.
Universitas Sumatera Utara
Pendaftara tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan (Kantor Pertanahan). Dalam menjalankan tugasnya, Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hakhak atas tanah, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 9 Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar UUPA, pemerintah wajib menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia dan mengharuskan kepada pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan. Pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang meliputi: pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.160 Pendaftaran tanah terdapat manfaat bagi dua pihak, yaitu pemerintah dan pemegang hak. Bagi pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah bermanfaat memberikan rasa aman, memudahkan melakukan peralihan hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan utang dan lain-lain. Sementara, bagi pemerintah pendaftaran tanah bermanfaat untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai 160
Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, Cetakan Pertama, (Bandung : Penerbit, Kata Pena, 2013), hal 65.
Universitas Sumatera Utara
bidang-bidang tanah. Selain itu juga, pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Pelaksanan pendaftaran tanah meliputi:161 a. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui dua cara yaitu pertama-tama secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan atau sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah dan yang kedua secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau masal. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.
161
Jayadi Setiadibudi, Panduan Lengkap Mengurus Tanah Rumah serta Segala Perizinannya, Cetakan Pertama, ( Yogyakarta : Penerbit Buku Pintar, 2013), hal 72.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara invidual atau missal. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:162 a. b. c. d. e.
Pengumpulan dan pengolahan data fisik Pembuktian hak dan pembukuannya Penerbitan sertifikat Penyajian data fisik dan data yuridis Penyimpanan daftar umum dan dokumen
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:163 a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lain-lain Pengaturan dalam pendaftaran tanah mengenai prosedur pelepasan hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Pasal 131 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 ditentukan bahwa pelepasan hak atas tanah oleh pemegangnya dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:164 a. b.
c.
d.
Akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan melepaskan hak tersebut, Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan disaksikan oleh camat letak tanah yang bersangkutan, Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak tersebut, yang dibuat di depan dan disaksikan oleh kepala kantor pertanahan, Apabila pemegang hak melepaskan haknya dalam rangka pembaharuan atau perubahan hak, maka permohonan dari pemegang hak untuk memperoleh pembaharuan atau perubahan hak tersebut berlaku sebagai surat keterangan melepaskan hak yang dapat dijadikan dasar pendaftaran terhapusnya hak, 162
Ibid, hal 74. Ibid. 164 Wirahadi Prasetyono, Cara Mudah Mengurus Surat Tanah dan Rumah, ( Yogyakarta : Cetakan Pertama, Penerbit FlashBooks, 2013), hal 45. 163
Universitas Sumatera Utara
e.
Apabila pemegang hak milik mewakafkan tanahnya, maka akta ikrar wakaf berlaku sebagai surat keterangan melepaskan haknya. Pendaftaran tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa
Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan ada yang dilakukan secara sporadik (dengan biaya sendiri) dan ada juga yang melalui program pemerintah pemerintah dimana seluruh biaya ditanggung pemerintah. Untuk mendaftarkan tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan awalnya pihak pengurus pura atau pihak yang diberi kuasa untuk mendaftarkan mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan. Tanah-tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan yang akan didaftarkan ada yang tidak memiliki bukti kepemilikan dan ada juga yang memiliki bukti tertulis atas nama desa sendiri atas nama penggarap tanah tersebut. Tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan merupakan tanah yang berasal dari hak-hak lama (tanah ulayat), maka dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut, mengenai hal ini diatur dalam Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 76 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3, oleh karena itu maka permohonan pendaftaran tanah pura harus juga disertai dengan dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, dokumen-dokumen tersebut. Hukum tanah nasional memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
Universitas Sumatera Utara
keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional. Kemudian bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional dilindungi oleh hukum terhadap gangguan-gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya. Asas ini sangat penting difahami karena di dalamnya mengandung prinsip hak atas tanah.165 Proses pendaftaran tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo di Kabupaten Nias Selatan ada beberapa masalah yang timbul. Permasalahan tersebut antara lain : a. Adanya tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan yang akan didaftarkan tetapi telah dikuasai oleh pihak lain, bahkan ada yang sudah bersertifikat atas nama perorangan; b. Tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan yang digarap oleh orang lain selama bertahun-tahun dan atas tanah tersebut atau SPPT dengan atas nama penggarap, sehingga pada saat mendaftarkan harus ada pernyataan dari orang yang namanya tertulis atau SPPT tersebut bahwa tanah tersebut memang milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan;
165
L. Sujadi dan Supardjo, Hukum Tanah Nasional Edisi Pertama, (Depok : Badan Penerbit FHUI, 2011), hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
c. Adanya tanah milik Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo yang tidak memiliki bukti hak tertulis sehingga susah dalam menentukan batas-batasnya. d. Masalah biaya pendaftaran. Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut diatas pihak Kantor Pertanahan hanya bisa menyarankan untuk melakukan musyawarah antara pihak Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan dengan pihak yang merasa memiliki tanah, jika musyawarah tidak berhasil maka akan diteruskan melalui pengadilan. Pendaftaran tanah milik adat untuk pertama kali yang terjadi di Kabupaten Nias Selatan adalah tanah milik adat yang telah didaftarkan manjadi hak milik, dan pendaftran hak milik adat ini terdiri dari dua cara yaitu: a. Pengakuan Hak. b. Penegasan Hak Pelaksanaan pendaftaran tanah hak milik adat di Kabupaten Nias Selatan sering juga ditemui beberapa kendala atau hambatan di antaranya adalah : a. Sering timbulnya sanggahan atau keberatan dari pihak-pihak lain terhadap proses pendaftaran tanah yang dilaksanakan karena mereka menganggap lebih berhak terhadap tanah yang dimohon, hal tersebut disebabkan karena tanah hak milik adat di Kabupaten Nias Selatan ini umumnya berasal dari pusako tinggi (harta milik bersama), b. Pada umumnya pemohon sulit dalam melengkapi persyaratan permohonan pendaftaran tanah, hal ini disebabkan karena untuk surat pernyataan penguasaan
Universitas Sumatera Utara
fisik bidang tanah (sporadik), harus memasukkan banyak unsur adat didalamnya baik sebagai saksi, pembenar maupun mengetahui, c. Rendahnya pemahaman dari masyarakat tentang hukum dibidang pertanahan, d. Sulitnya membatasi silsilah ranji keturunan pada kaum tersebut, e. Dalam melaksanakan pengukuran sering tidak mengikut sertakan pihak yang terkait . f. Kurangnya tenaga teknis pengukuran dan tenaga administrasi pada Kantor Pertanahan, sehingga dapat juga menghambat proses pendaftaran tanah. Adapun upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali di Kabupaten Nias Selatan, maka pihak Kantor Pertanahan lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau pemohon, karena pemahaman masyarakat di bidang hukum pertanahan sangat minim. 2. Pensertifikatan Tanah Adat di Kabupaten Nias Selatan Apakah negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan “mengambil” tanah yang sudah dikuasai oleh pemegang hak ? Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, menulis bahwa negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan yang terjadi.166
166
H. Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan, (Yogyakarta : Media Abadi, 2005), hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
Tanah mempunyai kedudukan yang amat penting bagi manusia, masyarakat dan negara, dan tanah selalu ada dalam kehidupan dan penghidupan manusia.167 Untuk mewujudkan ketertiban hukum, negara perlu mengatur hubungan hukum antara manusia dengan tanah atau manusia dengan manusia yang berkaitan dengan tanah. Hukum yang mengatur hubungan itu adalah hukum tanah yang sifat hukumnya tidak independen lepas dari pengaruh hukum manapun tetapi sangat dipengaruhi dengan hukum keperdataan, hukum ekonomi bahkan hukum administrasi, termasuk di dalamnya hukum pidana administrasi. Hukum tanah selain mengandung hukum perdata tetapi juga mengandung hukum publik, selain unsur-unsur hukum lainnya. Begitu pentingnya peran tanah bagi individu, rakyat dan negaramaka tanah perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan kepastian hukum.168 BPN Nisel menegaskan baiknya jika masyarakat ingin mengetahui data-data ukuran tanah milik Pemda Nisel dan milik masyarakat pasti ketua DPRD Nisel mengetahui jelas, konon lagi kepada pemerintah Daerah Nisel, pasalnya bahwa BPN hanya bertugas untuk mengukur tanah serta mengeluarkan sertifikat tanah dan mengenai luas masing-masing tidak bisa diketahui umum. Ironisnya ketika diminta penjelasan areal tanah batas wilayah yang dihibahkan. BPN Nisel telah menerbitkan sertifikat seluas 24 Hektar milik Pemda Nisel, namun sesungguhnya luas yang diserahkan penghibah sebelumnya kepada Pemda hanya 18 hektar, akan tetapi dimana letak tanah yang 6 hektar termasuk pertapakan gedung Sekolah Caraka Nisel. 167
Gunanegara, Rakyat dan Negara dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta : PT. Tata Nusa, 2008), hal. 12. 168 Ibid., hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat sekitar sangat resah perilaku kepala BPN Nisel yang tidak terbuka ketika dikonfirmasikan terkait masing-masing status tanah yang berada di daerah teluk dalam sehingga masyarakat setempat tegas menyatakan bahwa kinerja Kepala BPN Nisel sangat memprihatinkan. Kepala badan Pertanahan Nasional (BPN) Nisel wajib memberitahukan kepada masyarakat yang membutuhkan data ukuran masing-masing, baik milik Pemda, pun milik masyarakat setempat dan berapa luas hibah Pemkab Nisel. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Nisel hari ini secara resmi mengumumkan kebijakan kepemilikan bersama sertifikat tanah yang mengacu pada kepemilikan bidang tanah yang akan dibeli dan dibagikan kepada masyarakat oleh Badan Rehabilitas dan Rekontruksi (BRR). Meskipun kepemilikan bersama atas tanah tidak dilarang dalam hukum perundangan maupun hukum adat di Indonesia, hal ini belum umum dipergunakan dan selanjutnya belum ada mekanisme administratif untuk
melaksanakannya.
Pernyataan
kebijakan
BRR
bertujuan
untuk
memperkenalkan kepemilikan bersama sebagai suatu fasilitas penting untuk mengatasi permasalahan kepemilikan tanah pasca bencana, dan BRR akan bekerjasama dengan BPN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Nisel untuk memastikan penerima manfaat lahan tanah berhak memiliki tanah secara bersama.
Banyaknya Sertifikat Tanah yang Dikeluarkan Menurut Jenis Hak Atas Tanah di Kabupaten Nias Selatan 2011 – 2013 Jenis Hak Types of Rights
2011 Rutin Routine
2012
2013
Proyek Rutin Proyek Rutin Proyek Project Routine Project Routine Project
Universitas Sumatera Utara
1 2 1 Hak Milik 38 Posession Rights 0 2 Hak Guna Bangunan 0 Building Purpose Rights 0 3 Hak Pakai 0 Use Rights 0 4 Hak Pengelolaan 0 Operating Rights 0 5 Hak Guna Usaha 0 Bussiness Purpose 0 Rights 38 Nias Selatan Sumber : BPS Kabupaten Nias Selatan
3 679 0 0 0 0 0 0 0 0
4 34 0 1 0 0 0 0 0 0
5 762 0 0 0 0 0 0 0 0
6 27 0 0 0 1 0 0 0 0
7 622 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
679
35
762
28
622
Saat ini pemanfaatan dan penggunaan tanah di Kabupaten Nias Selatan tidak sesuai dengan kondisi fisik tanah, maka sehingga sering menimbulkan kerusakan pada tanah dan sengketa kepemilikannya, disamping itu banyak masyarakat yang sudah mengolah dan menguasai tanah tetapi belum mempunyai atau memiliki status kepemilikan dari hak atas tanahnya, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik atau sengketa pertanahan. Masyarakat pada umumnya kurang memahami fungsi dan kegunaansertifikat, hal ini dilatarbelakangi masyarakat kurang mendapat informasi yang akurat tentang pendaftaran tanah. Karena kurangnya informasi yangakurat dan mudah dipahami masyarakat tentang pendaftaran tanah, akan mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya.
Universitas Sumatera Utara
Anggapan masyarakat bahwa sertifikat hak atas tanah hanya dipandang dari nilai ekonomis saja, seperti:169 a. Anggapan bahwa sertifikat hanya diperlukan untuk menaikkan harga bidang tanah sebagai kompensasi dari biaya pengurusan sertifikat ke kantor pertanahan, sementara masyarakat beranggapan bahwa harga ekonomis suatu bidang tanah dinilai berdasarkan luas dan kualitas tanah tersebut. b. Anggapan sertifikat hanya diperlukan apabila ada keperluan untuk mengajukan pinjaman di bank sebagai jaminan pemberian kredit yang akan dijadikan sebagai objek hak tanggungan. Sertifikat sangat penting fungsinya bagi masyarakat yang merupakan alat bukti yang kuat atas pemilikan tanah. Masih banyak tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat antara lain Hak Milik Adat yang terdaftar di Kantor Kepala Desa yang dikenal sebagai leter c/d dan belum atau tidak terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kodya. Surat yang dimiliki oleh pemilik tanah berupa Ketitir atau Petuk. Surat-surat tersebut bukan merupakan bukti hak yang kuat. Tanah-tanah yang masih berstatus hak milik adat yang belum memiliki sertifikat tanah, maka jaminan kepastian hukum atas tanahnya belum kuat terutama mengenai tanah bekas milik adat. Hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan bukan bertujuan untuk kepastian hukum melainkan untuk dasar penarikan pajak sehingga tentunya pengukurannya kurang teliti dibandingkan dengan pengukuran untuk pembuatan sertifikat tanah. Kepemilikan hak atas tanah yang selama ini belum mempunyai bukti sertifikat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Nias Selatan, melainkan hanya berdasar pada
169
Ananta Rizal Wibisono, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sporadik Menjadi Sertikat Hak Milik Berdasarkansurat Segel, (Studi di Desa Sumberkradenan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang), Artikel Ilmiah, Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya Fakultas Hukum, Malang, 2012, hal 13.
Universitas Sumatera Utara
bukti kepemilikan hak yang teradministrasi di Kabupaten Nias Selatan seperti Letter c sebagai alat bukti tertulis wajib dilakukan pendaftarannya hak atas tanah untuk pertama kali ke Kantor Pertanahan terkait, agar segera memperoleh sertifikat bukti kepemilikan hak atas tanah dengan proses sebagaui berikut : a. Kepala Desa dan dikuatkan oleh Camat mengenai tanah tersebut, b. Petuk pajak atau Surat Pajak Bumi dan Bangunan atau salinannya yang disahkan oleh Kepala Desa, c. Surat Kematian dari desa, d. Surat Keterangan Warisan yang dibuat oleh Kepala Desa yang dikuatkan oleh Camat dengan dua orang saksi, e. Untuk lebih dari satu orang ahli waris, maka ditambah dengan akta pemisahan dan pembagian harta warisan yang dibuat di hadapan PPAT dan ditandatangani oleh semua ahli waris. Upaya Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nias Selatan dalam sertifikasi bekas tanah milik adat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Diketahui bahwa dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang harus diperhatikan bukan hanya pada pelaksanaan pendaftaran tanah, tetapi juga pemeliharaan data pendaftaran tanah, yang dilakukan apabila terjadi perubahan, baik pada data fisik maupun data yuridis dari obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar. Dan ini menjadi tugas Kantor Pertanahan Kabupaten Nias Selatan dalam kegiatan sertifikasi tanah bekas milik adat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa upaya-upaya dalam menanggulangi masyarakat di Kabupaten Nias Selatan yang enggan mendaftarkan tanah hak milik adatnya di Kantor Pertanahan adalah dengan koordinasi antara PPAT dengan Camat dan Kepala Desa. Karena Camat dan Kepala Desa sebagai pemimpin masyarakat yang tentu mempunyai kedekatan dengan masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendaftaran/pensertifikatan tanah dibuat dengan akta PPAT yang berwenang dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan agar tercipta kepastian hukum bagi masyarakat. Peran Camat sebagai kepala wilayah banyak membantu dengan mengadakan program sosialisasi di wilayah Kecamatannya, sedangkan PPAT hanya melakukan bimbingan, nasehat dan bantuan kepada masyarakat yang menghadap kepadanya untuk kepentingan pembuatan akta tanahnya serta mendaftarkan akta tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengatasi adanya hambatan dan kesulitan tersebut di atas, maka jalan yang dianggap paling baik adalah menyadarkan masyarakat akan arti serta fungsi dari sertifikat tanah yaitu melalui program pemerintah daerah (Pemda) dan bekerja sama dengan Kantor Pertanahan setempat untuk menyelenggarakan penyuluhan hukum ke desa-desa, serta mengadakan program prioritas pensertifikatan massal dengan meminimalkan biaya pensertifikatan, dimana diambilkan dari subsidi dari kas Pemda dan Kantor Pertanahan setempat dengan perbandingan sepertiga dari biaya keseluruhan ditanggung oleh subsidi pemerintah. Untuk program pensertifikatan massal pernah diselenggarakan dua kali di Kabupaten Nias Selatan dan itupun
Universitas Sumatera Utara
terbatas untuk 100 pendaftar sertifikat pertama dan menghilangkan asumsi masyarakat yang menganggap bahwa dengan petuk pajak hak seseorang atas tanahnya sudah merupakan bukti kuat di desa dan menghilangkan anggapan masyarakat bahwa seolah-olah pemerintah yang membutuhkan sertifikat tanah tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka upaya yang diterapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Nias Selatan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dalam menjamin kepastian hukum di Kabupaten Nias Selatan antara lain : a. Menambah peralatan teknis di Kantor Pertanahan Kabupaten Nias Selatan dalam rangka menambah kapasitas pemberian sertifikat serta meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat sehingga penyelenggaraan pendaftaran tanah dapat berjalan sebagaimana diharapkan. b. Memberikan
ceramah/penyuluhan
kepada
Camat,
yang
selanjutnya
menginstruksikan kepada camat untuk memberikan ceramah kepada Kepala Desa yang membawahi wilayah Kabupaten Nias Selatan agar disampaikan kepada masyarakat setempat guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendaftaran tanah. c. Secara rutin diadakan penyuluhan tentang prosedur, syarat pendaftaran dan lainlain yang berkaitan dengan pendaftaran tanah terutama bagi masyarakat yang kurang informasi tentang pendaftaran tanah. d. Pihak kantor setempat menginstruksikan kepada Kepala Desa agar setiap ada pertemuan sesudah selesai disinggung masalah arti penting dan tujuan pendaftaran tanah.
Universitas Sumatera Utara
e. Kantor pertanahan telah memberikan kebijaksanaan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya akan kewajiban mendaftarkan tanah miliknya, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah. f. Meningkatkan sumber daya manusia untuk para aparat/petugas di Kantor Pertanahan.
3. Perlindungan Hak Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan Tanah merupakan permukaan bumi. Naum, hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya tetapi khusus mengatur tentang salah satu aspek yuridisnya yaitu Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). HPAT berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihakinya.170 Tanah adat di Kabupaten Nias Selatan telah ada sejak dikenal adanya masyarakat hukum adat namun telah mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Perkembangan tersebut terjadi baik karena faktor internal maupun eksternal yang mengakibatkan kondisi serta fungsi tanah adat menjadi berubah, tidak seperti apa yang ada sebelumnya. Faktor internal berkaitan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri seperti pertambahan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertambahan lahan (tanah) baik untuk tempat tinggal maupun untuk mencari nafkah, adanya perkembangan kepentingan di 170
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Insiden Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi 2007, (Jakarta : Djambatan, 2007), hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
kalangan masyarakat dengan perubahan pola hidup agraris ke arah pola hidup yang bertumpu pada usaha dan jasa yang juga secara langsung maupun tidak langsung memberi pengaruh kepada keberadaan tanah adat tersebut. Faktor eksternal yang berpengaruh kepada keberadaan tanah adat adalah adanya peraturan perundangundangan yang menentukan status dari tanah yang ada di wilayah negara termasuk tanah-tanah adat yang ada di Kabupaten Nias Selatan yang harus menyesuaikan dengan ketentuan yang ada. Selain itu perkembangan kepariwisataan secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh kepada keberadaan tanah adat di Kabupaten Nias Selatan, terutama menyangkut penilaian tentang arti penting dari tanahserta fungsinya dalam mendukung kehidupan masyarakatnya. Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah maka hak-hak privat yang terkristalisasi dalam berbagai hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 UUPA harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.171 Pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu atau masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah “proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang 171
Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria.
Universitas Sumatera Utara
jujur dan adil”. Namun demikian dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut sering terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara negara lebih mengedepankan kekuasaannya dengan menggunakan tameng hak menguasai negara dan kepentingan umum. Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada defenisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, defenisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum, yaitu dengan berkurangnya jenis kepentingan umum dari 21 (dua puluh satu) menjadi 7 (tujuh) jenis serta penegasan pembatasan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.172 Hal penting lainnya yang patut digaris-bawahi, dalam Perpres tersebut tidak lagi dimungkinkan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
172
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan umum melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Artinya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak mengambil alih hak tanahnya secara paksa melainkan melalui mekanisme pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dilakukan melalui musyawarah dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Masyarakat pada dasarnya tidak keberatan jika tanah miliknya harus diambil alih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya untuk kesejahteraan bersama, namun praktek-praktek pengambilalihan tanah selama ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk keuntungan senidiri dengan berkedok kepentingan umum, telah menciptakan keraguan pada masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum. Kedepan perlu dipikirkan bahwa pengadaan tanah jangan hanya dilihat dari hasilnya, tetapi juga prosesnya. Seyogianya untuk setiap kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan Pemerintah/Pemerintah Daerah atau pihak swasta, sepanjang hal itu berdampak terhadap penurunan kesejahteraan sosial ekonomi pemegang hak atas tanah, tata caranya harus diatur dalam undangundang. Mengingat Perpres ini bermasalah, baik dari segi substansi maupun adahnya serta berpeluang tidak berlaku secara sosiologis, maka perlu ditunda pemberlakuannya. Untuk mencegah kekosongan hukum, Keppres 55/1993 diberlakukan kembali untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknnya undang-undang tentang pengadaan tanah. Benar bahwa setelah berlakunya UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penerbitan Keppres tidak lagi dimungkinkan (Pasal 7). Namun Keppres 55/1993 yang semestinya tetap berlaku bila tidak diganti dengan Perpres yang bermasalah ini, dapat diberlakukan kembali dengan membaca Keputusan Presiden sebagai Peraturan Presiden sesuai Pasal 56 UU 10/2004. Hal lain yang perlu mendapat perhatian yaitu mengenai “ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur undang-undang”, pemerintah sebagai pihak yang mengambil kebijakan dengan berlandaskan kepentingan umum, kadangkala mengabaikan hak-hak rakyat pemegang hak atas tanah tersebut. Penghormatan terhadap hak-hak atas tanah tentunya juga kepada pemegang haknya. Oleh karena itu mengenai pelepasan dan pembebasan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat juga harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar dan penentuan ganti kerugian yang layak.173
173
Marhcel R. Maramis, Kajian Atas Perlindungan Hukum Hak Ulayat Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Vol.XXI/No.4/April-Juni /2013 Edisi Khusus Program Studi (manado : Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, 2013), hal 102.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan hukum bagi rakyat ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya. Perlindungan hukum bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang secara tegas negara mengakui dan memberikan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisonalnya. Prinsip penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya tersebut mengandung konsekuensi apabila pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut adalah pertama bahwa konsep “pencabutan” tidak berlaku bagi pengadaan tanah untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak ulayat karena berdasarkan Perpres 65/2006, hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Kedua dengan tidak berlakunya konsep “pencabutan” berarti pemerintah tidak dapat serta merta menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat. Ketiga hak ulayat hanya bisa dilepaskan hanya jika masyarakat adat menghendaki, dan itupun melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua pihak, tanpa ada kesepakatan maka pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya. Apabila diperhatikan ketentuan dari peraturan menteri tersebut di atas tampak bahwa hak ulayat untuk masyarakat hukum adat di Kabupaten Nias Selatan memenuhi kriteria seperti ditentukan baik dalam Pasal 1 maupun Pasal 2. Dengan kata lain tanah-tanah adat yang ada di Kabupaten Nias Selatan adalah hak ulayat yang berada dalam kekuasaan masyarakat hukum adat, baik yang ada dalam di tangan masyarakat hukum adatnya maupun yang ada di tangan perorangan. Kenyataannya ada kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
dari masyarakat hukum adat atas tanah di wilayahnya sebagaimana ditentukan dalam peraturan menteri tersebut, harus diakui sebagai hak ulayat yang dilindungi oleh negara, sehingga permasalahan yang ada berkenaan dengan sengketa hak ulayat haruslah diselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku. Dengan perkataan lain, keputusan Menteri diatas dapat dilihat sebagai sarana untuk melestarikan keberadaan tanah adat. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa pelestarian tanah adat dapat dilakukan melalui produk hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada tanah adat tersebut. Upaya perlindungan hukum terhadap tanah adat, khususnya di Kabupaten Nias Selatan adalah dengan memberikan hak kepada masyarakat hukum adat sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Apabila kedudukan Kabupaten Nias Selatan dapat diterima sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah tampaknya kedudukan dari tanah adat lebih terjamin, baik dalam penguasaan maupun pengalihannya, namun kemungkinan pula akan muncul masalah lain berkenaan dengan kedudukan orang perorangan (warga) yang menempati tanah karang desa atau mendapat tanah ayahan desa yang tentunya juga harus dicarikan alas haknya yang tepat. Walaupun belum ditetapkan sebagai subyek yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, kedudukan tanah adat sebagai hak ulayat sudah cukup kuat untuk melindungi tanah adat, hanya saja diperlukan pemahaman yang mendalam tentang hakekat hak ulayat dengan pengawasan yang ketat. Dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dapat ditemui dalam putusan MK No.35/PUU-X/2012, yang bunyinya sebagai berikut: “…
Universitas Sumatera Utara
dalam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal penting dan fundamental tersebut masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai “penyandang hak” yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumbersumber kehidupan”. Persoalan prinsip Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dapat dilihat dari dalil pemohon dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Putusan MK No.35/PUU-X/2012, sebagai berikut: Para pemohon menyatakan suatu masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi sosial dan budaya mereka. Menurut Mahkamah Konstitusi, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semula merupakan wilayah jajahan Belanda, kemudian menjadi wilayah Negara yang merdeka dan berdaulat, yang diikat dalam kesepakatankesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam sepekatan tertulis, UUD 1945. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari Sabang Hingga Marauke. Pendapat para Pemohon tersebut di atas dapat berimplikasi pada upaya pemisahan diri masyarakat hukum adat untuk mendirikan Negara baru yang lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (saparatisme). Keberadaan masyarakat hukum adat demikian tidak sesuai dengan prinsip nasionalisme tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jikapun ada
Universitas Sumatera Utara
kebebasan, hal tersebut telah diatur pembatasannya dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah serta Undang-Undang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam Putusan MK No.35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menilai Kenagerian Kuntu dan Kesepuhan Cisitu sebagai masyarakat hukum adat. Padahal, pada kedua masyarakat hukum adat itu tidak ada peraturan daerah khusus yang menentukan mereka sebagai masyarakat hukum adat (sebagaimana yang dikehendaki berdasarkan Pasal 67 UU Kehutanan, misalnya). Penilaian mahkamah konstitusi bahwa kedua komunitas tersebut memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat hukum adat adalah yang pertama kalinya dalam sejarah pengakuan oleh pengadilan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU 27/2007). Dalam perkara, yang menjadi sorotan adalah mengenai hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). Kesemua pasal yang mengatur tentang HP3 ini telah dibatalkan oleh MK karena meskipun HP3 diberikan kepada masyarakat adat namun, akan tetapi HP3 dapat dialihkan atau diserahkan dalam bentuk pembayaran ganti rugi sehingga akan mereduksi bahkan menghilangkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang bersifat turun temurun, padahal hak-hak tersebut mempunyai karakteristik tertentu, yaitu tidak dapat dihilangkan selama masyarakat itu masih ada. Oleh karena itu untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat agar tidak tereduksi dan hilang maka MK mengganti HP3 ini dengan mekanisme
Universitas Sumatera Utara
perizinan. Lagipula, menurut Mahkamah konsep demikian, akan membatasi hak-hak tradisional masyarakat dalam batasan waktu tertentu menurut ketentuan pemberian HP-3, yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang. Konsep ini bertentangan dengan konsep hak ulayat dan hak-hak tradisional rakyat yang tidak bisa dibatasi karena dapat dinikmati secara turun temurun. Demikian juga mengenai konsep ganti kerugian terhadap masyarakat yang memiliki hak-hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan menghilangkan hak-hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun-temurun (just saving principle), karena dengan pemberian ganti kerugian maka hak tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti kerugian pada saat itu. Hal itu juga bertentangan dengan prinsip hak-hak tradisional yang berlaku secara turun temurun, yang menurut Mahkamah bertentangan dengan jiwa Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di samping itu, dengan konsep HP-3 dapat menghilangkan kesempatan bagi masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang menggantungkan kehidupannya pada wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945. Dalam Putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010 bertanggal 16 Juni 2011, Mahkamah juga telah memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, yang antara lain mempertimbangkan bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Dengan adanya anak kalimat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka sebesar-besar kemakmuran rakyat-lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan
Universitas Sumatera Utara
pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain (vide Putusan Mahkamah Nomor 3/PUUVIII/ 2010 bertanggal 16 Juni 2011. Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak ulayat. Dalam wilayah hak ulayat terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan yang dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Keberadaan hak perseorangan tidak bersifat mutlak, sewaktu-waktu haknya dapat menipis dan menebal. Jika semakin menipis dan lenyap akhirnya kembali menjadi kepunyaan bersama. Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat bersifat lentur. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah [vide Pasal 5 ayat (4) UU Kehutanan]. Wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Dengan cara demikian, tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak
Universitas Sumatera Utara
masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan hutan. Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat.174 D. Bentuk dan Terjadinya Sengketa Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau suatu kekuatan gaib,pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Bagi sesuatu masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya. Sistem hukum tanah di Negara Republik Indonesia, penyediaan tanah untuk pembangunan dapat dilakukan dengan cara :175 1. Permohonan hak Ini dilakukan pada tanah yang masih berstatus dikuasai langsung oleh negara. Sesungguhnya cara ini relatif tidak ada masalah jika dibandingkan dengan cara perolehan tanah yang sudah dihaki atau dikuasai oleh seseorang atau badan hukum. Namun, cara permohonan hak bisa dikatakan tidak akan pernah lagi dilaksanakan, karena boleh dikatakan hampir semua tanah, apalagi di wilayah perkotaan sudah ada yang memiliki dan/atau menguasainya. 2. Tukar menukar
174
Menbedah Posisi Masyarakat Hukum Adat Riau:Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Status Hutan Adat. 175 Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, Konsolidasi Tanah Perkotaan : Suatu Tinjauan Hukum, Cetakan Pertama, ( Yogyakarta : Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 1996), hal 23.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana diketahui sebelumnya tanah perkotaan semakin langka.Jadi penyediaan tanah untuk suatu pembangunan lewat tukar-menukar, semakin kecil kemungkinannya. 3. Pencabutan dan pembebasan hak. Pencabutan hak adalah suatu tindakan memutuskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah, yang dilakukan oleh penguasa (dalam hal ini Presiden) secara sepihak, yaitu: tanpa karena suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah. Nias Selatan sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Nias. Status otonom diperoleh pada 25 Februari 2003 dan diresmikan pada 28 Juli 2003. Kabupaten ini terdiri dari 104 gugusan pulau besar dan kecil. Letak pulau- pulau itu memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 120 kilometer, lebar 40 kilometer. Seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Tidak seluruh pulau berpenghuni. Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan (Nisel) gencar membuka berbagai akses transportasi ke wilayah itu. Kabupaten Nias Selatan menargetkan menyelesaikan pembangunan Bandara Bandara Silambo di Desa Botohilitanö, Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan pada tahun depan. Dengan selesainya pembangunan bandara itu dan dioperasikan, diharapkan akan mampu menggerakkan perekonomian daerah itu. Dengan demikian, wilayah itu akan bisa diakses langsung tanpa harus melalui Kota Gunungsitoli seperti selama ini terjadi. Sebelumnya, bulan lalu, Kabupaten Nias Selatanjuga berhasil mengaktifkan kembali rute pelayaran kapal ferry dengan rute Sibolga-Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan. Selama ini, warga Nias Selatan yang hendak ke Sibolga, Medan atau kota lainnya di Indonesia, harus melalui pelabuhan
Universitas Sumatera Utara
Gunungsitoli bila menggunakan kapal laut. Dan bila menggunakan pesawat terbang, maka harus melalui Bandara Binaka, Kota Gunungsitoli yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kabupaten Nias Selatan. Demikian sebaliknya bagi warga atau pengunjung yang hendak di Kabupaten Nias Selatan.176 Menyangkut keberadaan perkampungan di Kabupaten Nias Selatan, dapat dirasakan adanya keterkaitan antara lingkungan alam dengan ciri pemukiman. Pengertian disini diartikan sebagai pemukiman dalam arti semi makro dan makro. Bila semi makro mengaitkan hubungan antara tempat hunian satu dengan lainnya, maka
pengertian
makro
mencakup
hubungan
antara
kelompok-kelompok
pemukiman. Sesuatu yang keterkaitan antara sistem peletakan bangunan antara hunian sehingga tatanan tersebut menjamin hubungan yang tetap lancar dan konsisten antar satu hunian dan lainnya atau antar hunian masyarakat dengan pimpinannya.Keadaan lingkungan dan ekologi di masing-masing situs yang memisahkan kelompok masyarakat satu dan lainnya karena ada jurang, bukit terjal, gunung, sungai, dan lain-lain membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mengenal satu dan lainnya bahkan kadang menimbulkan gesekangesekan menyangkut berbagai kepentingan dalam berburu, berladang, beternak dan lain-lain. Gesekan-gesekan antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya diakibatkan adanya batas-batas yang sulit ditembus. Pertikaian antara kelompok/suku dan hal ini langsung atau tidak langsung menyebabkan adanya pemikiran dan aksi untuk menyesuaikan bentuk-bentuk pemukiman yang dapat memberi jaminan keselamatan terhadap warganya.177 Tidak mengherankan bila kelak dilakukan pemilihan lahan yang memberi kemudahan bagi pencapaian keselamatan dalam mempertahankan diri atas serangan musuh. Pilihan atas tempat yang layak untuk itu adalah diatas bukitbukit yang tinggi, yang dikelilingi jurang yang curam atau sungai dalam yang sulit dilalui. Posisi tempat-tempat pemukiman di daerah yang tinggi dan sulit 176
Nias Online, Pembangunan Bandara Nias Selatan Ditargetkan Selesai Tahun Depan, melalui http://niasonline.net/2011/11/14/pembangunan-bandara-nias-selatan-ditargetkan-selesai-tahundepan/.html, diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 12.20 WIB. 177 Lucas Partianda Koestoro dan Ketut Wiradnyana, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, (Medan : Cetakan Pertama,Balas Arkeologi, 2007), hal 51.
Universitas Sumatera Utara
dijangkau merupakan alternatif utama untuk menghadapi musuh dan lingkungan alam yang ada itulah yang dipilih oleh masyarakat pendukung megalitik sesuai dengan kebutuhan.178 Bentuk dan terjadinya sehubungan dengan pendaftaran tanah dapat dilihat Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang masih hidup dalam lingkaran kebudayaan dan adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Tanah merupakan wadah untuk mencari dan mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Pentingnya arti tanah dalam kehidupan masyarakat Nias menyebabkan sering terjadinya kesalahpahaman yang ujung-ujungnya terjadi persengketaan. Kepemilikan tanah pada masyarakat adat Nias yang didasarkan atas kepemilikan bersama berdasarkan marga dan kekuasaan hingga sekarang masih berlaku, namun karena hukum adat kepemilikan tanah berdasarkan hak ulayat yang tertuang dalam Fondrakö avore masih bersifat lisan tidak tertulis menyebabkan kekuatan hukum adat itu sendiri semakin jauh dari harapan apalagi dengan keadaan generasi sekarang yang sudah tidak mengerti dengan adat Fondrakö avore dan lebih mengunakan jalur hukum kepemilikan tanah menurut UUPA. Akhir-akhir ini tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Nias, bahkan tanah dekat pantai pun bernilai sangat ekonomis. Pentingnya arti tanah tersebut kemudian menimbulkan masalah pertanahan yang akhir-akhir ini menjadi masalah yang semakin banyak kita jumpai dimana-mana termasuk wilayah adat Nias Selatan. Sebenarnya masalah tanah telah terjadi jauh sebelum adanya kemajuan di wilayah Kabupaten Nias
178
Selatan, misalnya
saja persengketaan antar desa dalam
Ibid, hal 52.
Universitas Sumatera Utara
memperebutkan tanah kekuasaan yang hingga sekarang masih bisa kita jumpai di daerah pelosok-pelosok Kabupaten Nias Selatan, dan lain sebagainya. Awal terjadinya masalah pertanahan di Kabupaten Nias Selatan biasanya terjadi karena beberapa faktor diantaranya: 1. Penguasaan Lahan Produktif yang Bukan Hak Milik Penguasaan akan lahan produktif ini terjadi ketika tanah yang dahulunya tidak memiliki nilai namun setelah dikerjakan dan diolah serta menghasilkan menjadikan tanah itu semakin bernilai. Namun, berharganya tanah tersebut kemudian menimbulkan adanya konflik kepentingan dan pemanfaatan situasi oleh pihak-pihak yang ingin memperoleh tanah yang bukan miliknya. Hal ini semakin bermasalah ketika tanah tersebut hanya diukur berdasarkan tanaman atau tanpa sertifikat dan kepemilikannya hanya diketahui oleh beberapa saksi yang menandatangani surat tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa. Permasalahan makin rumit ketika yang menjadi saksi telah meninggal dan hal inilah yang kemudian menjadikan pihak lain memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia yakin akan menang pada saat adanya penyelesaian sengketa. 2. Status tanah yang tidak pasti dan tidak mempunyai kekuatan badan hukum menjadi permasalahan yang sering kita dengar akhir-akhir ini. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Nias bukti surat akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal diatas materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat perekonomian masyarakat Nias, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena kepemilikan tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah ulayat dalam hal ini seperti perladangan baru yang dibuka,
Universitas Sumatera Utara
otomatis kepemilikannya masih didasarkan atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama membuka lahan disekitar tempat tersebut. 3. Masalah penjualan tanah yang tidak jelas ukurannya, masyarakat Nias Selatan dahulunya dalam pembagian harta warisan bahkan dalam penjualan tanah hanya didasarkan sejauh orangtua melemparkan bibit tanaman, misalnya jika ia melemparkan bibit tanaman sejauh 100 meter maka sejauh itulah tanah yang akan diperoleh masing-masing anaknya atau jika tanaman itu tumbuh maka tanaman tersebutlah yang akan menjadi batas tanaman anak-anaknya satu sama lain. Kondisi inilah yang akhirnya menjadikan kepemilikan tanah makin rumit, terlebih lagi jika orangtua yang mewariskan tanah tersebut meninggal dunia, akhirnya meninggalkan sengketa berkepanjangan dalam kehidupan anak-cucunya kelak. Jika dulu sistem tersebut sah-sah saja berlaku karena tanah di Nias Selatan cukup luas, tapi kondisi sekarang tidaklah menunjang diberlakukannya cara demikian malah lambat laun sistem tersebut akan punah disebabkan cucu-cucunya yang memperoleh warisan berupa tanah tidak akan mendapat warisan. 4. Masyarakat Nias Selatan yang merantau, permasalahan sengketa tanah juga terjadi karena situasi keluarga. Desakan ekonomi dan kurangnya ketrampilan dalam mengolah lahan pertanian menjadikan anak-anak dari orangtua yang akan mewariskan tanah orangtuanya pergi merantau. Keputusan merantau dan tanpa mengetahui batas tanah dari orangtuanya menjadi masalah di kemudian hari, masalah juga semakin rumit ketika orangtua si anak tersebut meninggal dunia. Permasalahan lainnya ketika orangtuanya semasa hidupnya telah menjual beberapa bagian tanahnya kepada orang lain karena tidak sanggup mengolah
Universitas Sumatera Utara
maupun karena desakan ekonomi, hubungannya kelak dengan terjadinya sengketa ketika pihak yang membeli tanah tersebut memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan. 5. Akibat adanya pembangunan sangatlah penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat Nias Selatan. Terlebih di era modernisasi yang semakin canggih, pembangunan itu sendiri mengambil peranan penting. Kegiatan pembangunan di Nias Selatan semakin marak ketika terjadinya gempa 28 Maret 2005, gempa yang telah meluluhlantahkan bangunan dan sistem perekonomian masyarakat Nias menjadi salah satu motivasi berharganya dan sangat dibutuhkannya tanah. Masalah kemudian timbul ketika terjadinya proses penguasaan tanah didasarkan kepercayaan, janji dan ketidaktahuan hukum oleh si pemilik lahan. 6. Perolehan harta warisan dari pihak laki-laki (suami dari si pemilik tanah) pernikahan secara adat Nias Selatan sekaligus menjadi pengesahan bagi kepemilikan tanah berdasarkan warisan dari pihak laki-laki terhadap istrinya. Permasalahan sengketa tanah terjadi ketika suaminya meninggal dunia sementara si istri pergi merantau ke desa lain. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang merasa bisa mempermainkan situasi tersebut, dengan cara mengambil secara diam-diam hasil-hasil dari lahan tersebut bahkan mengeser batas tanah agar kelak tanah tersebut menjadi miliknya. Tanah-tanah yang telah melaluiproses pelepasan hak atas tanah tersebut saat ini telah menjadi Ibukota Kabupaten Nias Selatan, dimana diatas tanah-tanah tersebut telah berdiri berbagai macam hak atas tanah dengan sertifikat tanah sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kepastian hukum. Pada saat proses pembangunan Bandar
Universitas Sumatera Utara
Udara Kabupaten Nias Selatan yang dimulaipada tahun 2012, dimana pada saat itu pembukaan lahan Bandara dilakukan, dengan mempekerjakan warga masyarakat Adat, pihak pemerintah tidak membayar upah para pekerja tersebut (orangtua mereka), sehingga pihak Bandara Udara perlu membayar kepada mereka sebagai bentuk kompensasi atas upah yang belum dibayarkan pada waktu itu. Proses pembangunan Bandara Udara, mengakibatkan warga penggarap yaitu termasuk di dalamnya penebang, penggusur, pemukimyang berada di lokasi pembangunan Bandar Udara Kabupaten Nias Selatan harus keluar dari lokasi tersebut sehingga perlu adanya alternatif atas hilangnya mata pencaharian sehari-hari termasuk ganti kerugian atas tanaman-tanaman baik umur pendek maupun umur panjang yang termasuk di dalam lokasi Bandar Udara Kabupaten Nias Selatan. Hal ini yang menjadi dasar tuntutan warga masyarakat Adat, sehingga pihak Bandara Udara sebagai pihak yang saat ini menguasai dan berada di lokasi tersebut perlu memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang seharusnya diterima oleh mereka. Tuntutan masyarakat adat ternyata tidak hanya terhadap Bandar Udara Kabupaten Nias Selatan saja, akan tetapi juga terhadap aset dari Dinas Pertanian Kabupaten Nias Selatan salah satunya adalah hutan dan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan tanah hak ulayat di Kabupaten Nias Selatan telah mengalami perkembangan yang mengkhawatirkan, sebab pihak masyarakat adat dalam kenyataannya hanya menuntut aset-aset tertentu saja yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Selatan perlu bertindak tegas dengan tidak mentolerir segala bentuk tuntutan masyarakat adat dikemudian hari, artinya
Universitas Sumatera Utara
setiap bentuk tuntutan serta klaim dari pihak manapun termasuk pihak masyarakat adat setempat khususnya terhadap tanah-tanah negara, harus diselesaikan dalam koridor hukum yang berlaku. Bentuk dan terjadinya sengketa tanah adat Kabupaten Nias Selatan selama ini adalah ketidakjelasan status kepemilikan dan penguasaan tanah. Hal ini terjadi karena batas kawasan hutan belum disepakati dimana banyak desa masuk wilayah hutan selain itu bukti kepemilikan tanah lokal/adat belum terfasilitasi hukum. Struktur kepemilikan tanah/SDA lainnya juga masih timpang dimana sedikit orang menguasai tanah/SDA yang sangat luas sedang banyak orang penguasaan tanahnya hanya sedikit. Dalam bidang ini juga terjadi kelemahan tata kelola dimana terjadi praktek KKN dalam pemberian ijin lahan dan pembebasan lahan, peraturan yang tidak tepat/tidak lengkap/tumpang tindih, pengawasan yang lemah, ketiadaan peta yang terintegrasi dan tidak efektifnya mekanisme penyelesaian sengketa.179 Sengketa atas tanah adat yang sering terjadi saat ini disebabkan adanya perubahan sosial dalam kehidupan suku bangsa dengan pengaruh asing yang masuk
melalui jalur-jalur perdaganga, agama dan pemerintahan. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah, antara lain :180 6. Terjadinya perubahan pola pemikiran atau penguasan atas tanah adat, 7. Tanah yang semula bernilai sosial atau bersifat magic.
179
Amu Risi Fau, wawancara Si‟ulu mbanua (bangsawan) ketua adat Desa Botohilitamo, Nisel, 17 Desember 2013. 180 Hendru Kapantow, Penyelesaian Sengketa Tanah, melalui http://hendru-kapantow. blogspot.co.id/2012/06/penyelesaian-sengketa-tanah.html, diakses pada tanggal 1 November 2015, pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
8. Adanya perbedaan persepsi mengenai status tanah adat antara pemerintah dan masyarakat adat. 9. Hubungan kekerabatan pada suku-suku bangsa yang mulai renggang. Faktor terjadinya sengketa di bidang pertanahan yang marak menjadi perhatian dewasa ini adalah :181 1. Pendudukan tanah perkebunan atau non perkebunan atau tanah kehutanan dan atau tanah aset Negara/pemerintah, yang dianggap tanah terlantar, 2. Tuntutan pengembalian tanah atas dasar ganti rugi yang belum selesai, mengenai tanah-tanah perkebunan, non perkebunan, tanah bekas tanah partikelir, bekas tanah hak barat, tanah kelebihan maksimum dan pengakuan hak ulayat, 3. Tumpang tindih status tanah atas dasar klaim bekas eigendom, tanah milik adat dengan bukti girik, dan atau Verponding Indonesia, tanah obyek land reform dan lain-lain. Permasalahan sengketa biasanya disampaikan terlebih dahulu kepada kepala desa yang juga merupakan bagian dari lembaga adat Nias Selatan (memiliki kedudukan yang hampir sama dengan Siteoli. Peranan kepala desa dalam hal ini yakni:182 a. Menerima informasi dari yang bersengketa, informasi yang diterima berupa kronologis dari kejadian yang ada,
181
Nova Nuriati Pratama, Pengertian Sengketa, melalui http://nevacipid.blogspot.co.id/2011/03/pengertian-sengketa.html, diakses pada tanggal 1 November 2015, pukul 11.00 WIB. 182 Dominiri Hulu, Peranan Lembaga Adat alam Penyelesaian Sengketa Tanah, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/peranan-lembaga-adat-nias-dalam-penyelesaiansegketa-tanah.html, diakses pada tanggal 2 November 2015, pukul 12.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
b. Kemudian menindaklanjuti dengan memanggil kedua pihak yang bersengketa, mediator beserta seluruh pengurus desa, tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat, c. Membuat surat keputusan penyelesaian sengketa dengan ditandatangani kedua belah pihak dan saksi. Saksi dalam hal ini yakni yang berbatasan dengan tanah yang dipersengketakan, tokoh agama, tokoh adat dan diketahui oleh kepala desa. Peranan Lembaga Adat Nias Selatan (tokoh adat/agama) yakni : 1. Menerima informasi yang bersengketa dari Kepala Desa. Informasi yang diperoleh dari kepala desa yakni awal terjadinya permasalahan dan hal-hal yang berkaitan dengan laporan dari masing-masing yang bersengketa, 2. Mempertimbangkan permasalahan tersebut apakah layak dimusyawarahkan secara adat atau secara kekeluargaan, 3. Membuat keputusan terhadap proses musyawarah adat yang terjadi dimana penyelesaian sengketa tanah tersebut tanpa memihak salah satu yang bersengketa tapi berdasarkan kronologis sengketa yang terjadi. Peranan Lembaga Adat Nias Selatan (tokoh adat/agama) dan Kepala Desa pada kehidupan masyarakat Nias Selatan telah banyak membantu terhadap adanya keadilan dalam penyelesaian sengketa tanah yang terjadi baik permasalahan desa maupun permasalahan individual/masyarakat desa. Kedua lembaga ini yang berperan sebagai mediator bertindak sebagai fasilitator sehingga pertukaran informasi dapat dilaksanakan serta dituntut untuk bersikap bijaksana, dapat dipercaya, dan cekatan. Artinya, sebagai mediator harus bersifat netral atau tidak memihak satu dengan yang lain sehingga proses penyelesaian sengketa tanah dapat dilaksanakan secara lancar
Universitas Sumatera Utara
dan tanpa menyimpan dendam terhadap yang menjadi mediator, jika permasalahan tersebut selesai. Ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.183 Melirik lebih jauh ternyata pengakuan atas tanah ulayat dalam UUPA tidak serta-merta tanpa syarat. Hal ini dapat dilihat dalam pasal bahwasanya pelaksanaan hukum adat dengan syarat : 1. Sepanjang menurut kenyataan masih ada, 2. Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, 3. Tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi. Hal ini tentu membuat kondisi tanah ulayat itu masih belum jelas. Karena ketika ditemui bentrokan antara kepentingan pemerintah disatu sisi, sebagai perwakilan negara dan masyarakat adat disisi lain maka secara otomatis hak masyarakat adat atas tanah ulayat akan terkalahkan. Tentu masih jelas dimata kita ketika banyaknya kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, dimana pemerintah menggunakan kekuasaannya menggusur masyarakat adat. Adapun alasan dari kalahnya masyarakat adalah adanya asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan atau golongan. Urip Santoso menjelaskan dalam bukunya terkait hal ini bahwasanya: Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem hukum agraria nasional akan tetapi dalam pelaksanaannya berdasaskan azaz ini, maka kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat hukum adat menolak dibukanya hutan secara besarbesaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar, misalnya 183
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, cet 10, (Jakarta : Kencana Predana Media group, 2010), hal 11.
Universitas Sumatera Utara
pembukaan areal pertanian baru, transmigrasi, dan sebagainya. Pengalaman menunjukkan seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.184 Terjadinya di masyarakat hukum adat harus rela menyerahkan tanah adatnya digunakan. Tidak hanya itu, dalam hal ini keberadaan adat pun dipertanyakan. Karena sebagaimana yang dijelaskan tadi bahwasanya keberadaan tanah ulayat sebagai penyokong dan memberikan manfaat, baik itu manfaat ekonomi maupun spritual.185 Begitu juga ketika dilihat syarat yang disampaikan dalam pasal 3 UUPA tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat adat itu harus ada. Di kondisi zaman yang tidak terlalu jelas membedakan apakah ini masyarakat adat didaerah tersebut ataukah masyarakat asing/urban pun tidak jelas. Tentu hal ini akan mempermudah pemerintah untuk mengalahkan keberadaan masyarakat adat ketika terjadi konflik kepentingan tersebut. Sengketa tanah yang timbul karena penggarapan tanah oleh rakyat umumnya terjadi atas tanah-tanah bekas hak barat/eigendom yang berupa lahan kosong. Kadangkala, penggarap-penggarap tersebut bekerja sama dengan pejabat-pejabat setempat untuk memberikan keterangan tentang keberadaan penggarap di atas tanah tersebut. Surat keterangan diterbitkan oleh Lurah dan Camat yang dilanjutkan untuk mengurus pembayaran PBB atas tanah itu.Berbekal surat keterangan dari Lurah dan Camat, pembayaran PBB serta KTP penduduk di tanah itu, langsung diajukan SKPT dan sertifikat di BPN. Teknik-teknik penguasaan tanah negara dengan cara-cara tersebut banyak dilakukan para calo tanah, sehingga jika suatu saat pemerintah memberikan hak tanah itu kepada investor, maka para penggarap dengan dimodali oleh para calo mulai mengajukan tuntutan-tuntutan kepada investor seolah-olah tanah tersebut sudah menjadi miliknya dengan data-data yang diurus tersebut di atas. Watak sengketa pertanahan tersebut tidak saja menimbulkan satu pola sengketa yang masuk dalam ruang lingkup perdata yang terjadi antara rakyat tidak bertanah melawan rakyat yang bertanah (kaya).186
184
Ibid, hal 153. Zain, Tanah Ulayat dalam Hukum Adat, melalui http://zain-informasi.blogspot.com/tanahulayat-dalam-hukum-adat.html, diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 13.00 WIB. 186 Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hal 29-35. 185
Universitas Sumatera Utara
Tidak sedikit kasus sengketa tanah yang merupakan upaya sistematis pemerintah, aparat keamanan dan badan usaha bermodal besar membendung perjuangan rakyat yang mencoba mendapatkan haknya atas tanah dan kekayaan alam lain dengan represif. Padahal perjuangan rakyat bukanlah tindakan kriminal yang melanggar hukum, melainkan usaha langsung yang sah untuk dilakukan ketika tidak mendapatkan perhatian penguasa dalam mencukupi kebutuhan pokok bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya yakni tanah. Hingga saat ini, sengketa agraria belum ditangani secara sistematis dan menyeluruh. Sengketa di lapangan telah mendorong rakyat mengambil langkah sendiri dalam mengambil haknya atas tanah. Motivasi rakyat ini didorong rasa ketidakpercayaan mereka kepada kebijakan, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian sengketa selama ini. Perlakuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia merupakan salah satu prinsip yang wajib diterapkan oleh (aparatur) negara dalam penanganan sengketa agraria.187 Sejauh ini, kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam masih tidak berubah dari kebijakan masa lalu. Berdasarkan kajian atas kebijakan yang ada, ditemukan sejumlah karakter, peraturan perundangan tersebut
berorientasi
pengerukan (use-oriented), lebih berpihak kepada pemodal besar, bercorak sentralistik yang ditandai dengan pemberian kewenangan yang besar kepada negara, tidak memberikan pengaturan yang proporsional terhadap pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dan bercorak sektoral dengan tidak melihat sumber daya alam sebagai sistem ekologi yang terintegrasi. Hak-hak rakyat dapat dicabut untuk kepentingan investasi pemodal besar ataupun pengelola pertanian. Ketiadaan bukti legal penguasaan dan pemilikan tanah rakyat menjadi sasaran empuk untuk melancarkan pencaplokan tanah rakyat untuk operasi perkebunan besar. Rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun dan bahkan turun-menurun menguasai tanah, seketika kemudian dianggap penduduk haram di atas tanahnya sendiri. Konsep hak menguasai negara atas tanah dan kekayaan alam lainnya ternyata masih disalahkaprahkan untuk kepentingan investasi modal besar.188 Hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya telah diperhadapkan dengan kebijakan yang condong mengutamakan penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis. Orientasi politik agraria semacam ini sudah banyak digugat. Pengutamakan penyediaan tanah bagi rakyat (petani) kecil yang 187 188
Ibid, hal 36. Ibid, hal 37.
Universitas Sumatera Utara
membutuhkannya dan pengembalian tanah-tanah yang sempat dirampas pada masa lampau telah menjadi semangat zaman.189 Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan seyogianya diciptanya untuk memberikan rasa keadilan, perlindungan dan kepastian hukum. Nyatanya banyak ketentuan, bahwa perundang-undangan, yang tumpang tindih sehingga menimbulkan kerancuan. Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten akan menimbulkan sengketa kewenangan. Selain itu, inkonsistensi pengaturan juga akan berdampak pada terbukanya peluang bagi oknum-oknum pertanahan untuk mengeruk keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.190 Perbuatan peraturan yang baik tanpa disertai dengan penegakan hukum secara konsekuen dapat menyebabkan pendudukan tanah, penyerobotan, pemalsuan, atau penipuan surat bukti hak atas tanah. Seyogianya sengketa pertanahan harus dapat dideteksi dan diselesaikan sedini mungkin. Realitasnya lain, seperti halnya sengketa di pertanahan dapat diselesaikan dengan tiga cara, yaitu :191 1. Penyelesaian secara musyawarah, 2. Penyelesaian melalui peradilan. Di sini masalah diajukan ke pengadilan umum secara perdata atau pidana jika sengketanya terkait dengan pemakaian tanah secara ilegal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 51 Prp 1960 tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya atau melalui Peradilan Tata Usaha Negara, 3. Penyelesaian melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ini merupakan upaya Penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Penyelesaian sengketa tanah secara arbitrase bersifat informal, tertutup, murah, dan lebih efisiensi sehingga diharapkan lebih memenuhi keinginan para pihak bersengketa. Sementara itu, alternatif penyelesaian sengketa adalah upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsolidasi atau penilaian ahli. Status tanah ulayat menyatu dengan tanah negara dan karenanya untuk memperoleh status tanah ulayat harus dimohonkan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan kepada negara. Bagi daerah-daerah yang eksistensi tanah ulayatnya, ak 189
Ibid, hal 37. Ibid, hal 60. 191 Ibid, hal 61. 190
Universitas Sumatera Utara
ulayatnya maupun masyarakat hukum adatnya masih ada, sebaiknya perlu tetap dipupuk dan diperlihara agar tetap lestari. Sedangkan bagi daerah yang tanah ulayatnya sudah tidak jelas dan kabur, perlu dibuat peraturannya agar dapat dengan jelas dapat dibedakan mana yang termasuk tanah ulayat dan mana yang tidak. Sebagian besar sumber kehidupannya mereka berasal dari pertanahan khususnya pertanian, perkebunan, hasil hutan maupun kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tanah ulayat dan hak ulayat seyogyanya mencakup keseluruhan sumber daya alam itu. 1. Sengketa Kepemilikan Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan Sengketa tentang kepemilikan tanah dapat timbul diantara beberapa pihak, baik antar perorangan, perorangan dengan badan hukum, atau perorangan/badan hukum dengan badan hukum milik pemerintah. Sengketa umumnya muncul sebab masing-masing pihak merasa berhak atas tanah yang menjadi objek sengketa. Adapun bentuk sengketanya antara lain:192 a. Sengket para ahli waris karena salah satu ahli waris menguasai tanah waris seluruhnya sehingga ada ahli waris lain yang dirugikan, b. Sengketa yang disebabkan penjualan tanah oleh ahli waris kepada pihak lain. Di sini ada ahli waris yang ditinggalkan (tidak diikutsertakan), sementara tanah tersebut telah berpindah tangan beberapa kali, c. Sengketa yang disebabkan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan jaminan sertifikat tanah. Dalam hal ini, selain surat perjanjian pinjam meminjam juga dibuat akta pengikat jual beli dan kuasa menjual atas tanah tersebut bila utang telah jatuh tempo. Masalahnya adalah utang kemudian jatuh tempo dan belum lunas. Lantas dengan akta kuasa menjual tadi si kreditur menjual tanah ke orang lain. Si pemilik tanah kemudian keberatan sebab ia tahu harga jual tanah jauh lebih tinggi dari pinjaman yang ia terima dulu, d. Sengketa yang dikarenakan kecerobohan dan kekhilafan yang dilakukan notaris waktu pembuatan akta tanah. Misalnya seorang anak menjual tanah milik orangtuanya kepada seseorang. Waktu pembuatan jual beli tanah itu penjual 192
Ibid, hal 62-63.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan data-data KTP palsu atas nama orangtuanya. Masalah kemudian muncul sebab orangtua yang memiliki tanah tidak merasa menjual lahan, e. Sengketa karena penjualan tanah secara mengangsur yang dalam akta jual belinya sudah dinyatakan lunas sehingga pembeli dapat menempatinya. Pembayaran ternyata tidak dapat dilunasi sehingga pemilik minta tanah dikembalikan. Pembeli berpendapat urusan mereka sebatas utang-piutang saja sehingga pemilik tanah tidak dapat melakukan pembatalan jual tanah tersebut, f. Sengketa yang terjadi karena pemilik tanah menjual tanah miliknya beberapa kali kepada beberapa pembeli, g. Sengketa karena tanah yang tidak ditempati pemiliknya diserobot pihak lain. Sengketa pertanahan yang muncul setiap tahunnya menunjukkan bahwa penanganan tentang kebijakan pertanahan di Indonesia belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan antara lain:193 a. Administrasi pertanahan di masa lalu yang kurang tertib. Administrasi pertanahan mempunyai peranan yang sangat penting bagi upaya mewujudkan jaminan kepastian hukum. Penguasaan dan kepemilikan tanah di masa lalu terutama terhadap tanah-tanah milik adat seringkali tidak didukung oleh bukti-bukti administrasi yang tertib dan lengkap dimana penguasa dan pemilikan tanah yang data fisiknya berbeda dengan data administrasi dan data yuridisnya, b. Peraturan perundang-undang yang saling tumpang tindih. Pertanahan merupakan sub sistem dari sumber daya agraris dan sumber daya alam yang memiliki hubungan yang sangat erat, baik dalam kaitan hubungannya dengan manusia/masyarakat dan negara. Kurang terpadunya peraturan perundang-undang di bidang sumber daya agraria dan sumber daya alam dengan peraturan di bidang pertanahan, bahkan dalam beberapa hal terlihat saling bertentangan, sering menimbulkan sengketa penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. c. Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten. Akibat tidak sinkronnya pengaturan tersebut, timbul sengketa kewenangan maupun sengketa kepentingan, sehingga seringkali hukum pertanahan kurang dapat diterapkan secara konsisten. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Ditengah era reformasi terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Dari ketiga hal tersebut, supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih mengedepankan kekuatan, baik melalui kekuatan massa maupun pengerahan 193
Ibid, hal 177-178.
Universitas Sumatera Utara
massa, dibandingkan menggunakan dasar peraturan yang lebih menekankan pada aspek legalitas yuridis, d. Penegakan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara konsekuen. Penegakan hukum merupakan bagian penting pula dari upaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum khususnya untuk menghindari semakin merajalelanya pendudukan tanah, pemalsuan surat-surat bukti penguasaan tanah, penyerobotan tanah perkebunan dan sebagainya. Terdapat berbagai sengketa pertanahan yang disebabkan oleh kurang konsistensi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, dalam praktek seringkali istilah kepentingan umum dijadikan alasan pembenar untuk mengambil atau dapat diartikan melakukan perampasan tanah-tanah rakyat guna berbagai kepentingan umum atau kepentingan pengusaha besar tertentu. Hal ini mengakibatkan terjadinya sengketa tanah yang berkepanjangan.194Terjadinya sengketa pertanahan antara penduduk dengan pemerintah dapat berbentuk sebagai berikut :195 a. Sengketa yang menyangkut tanah yaitu berbentuk pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati dengan Hak Guna Usaha baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir, b. Sengketa yang berkaitan dengan kawasan hutannya pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) atas kawasan hutan di mana terdapat tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat (tanah ulayat) serta yang berkaitan dengan kawasan pertambangan dan kawasan yang diklaim hutan tetapi nyatanya sudah merupakan non hutan, c. Sengketa yang berkaitan dengan kawasan pertambangan dan kawasan yang diklaim sebagai hutan tetapi senyatanya sudah merupakan non buatan, d. Sengketa yang berkaitan dengan tumpang tindih atau sengketa batas, tanah bekas hak milik adat (girik) dan tanah bekas hak eigendom, e. Sengketa yang berkaitan dengan tukar menukar tanah bengkok desa/tanah kas desa, sebagai akibat perubahan status tanah bengkok desa/tanah kas desa menjadi aset Pemda, f. Sengketa yang berkaitan dengan tanah bekas partikelir yang saat ini dikuasai oleh berbagai instansi pemerintah,
194 195
Ibid, hal 178. Ibid, hal 182.
Universitas Sumatera Utara
g. Sengketa yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang tidak dapat diterima dan dijalankan. Kewenangan dari hak ulayat menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan kepemilikan, sebagaimana halnya konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA sebagaimana dasar hukum pertanahan nasional tidak memberi penjelasan yang lebih rinci tentang kriteria eksistensi hak ulayat. Kekosongan hukum inilah yang membuka peluang bagi timbulnya berbagai persepsi yang berbeda di kalangan masyarakat. Maria S.W. Sumardjono memberikan 3 (tiga) kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat yaitu :196 a. Adanya subjek hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri/karakteristik tertentu, b. Adanya objek hak ulayat, yaitu tanah/wilayah yang merupakan labensraum masyarakat hukum adat setempat serta, c. Adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam rangka mengelola tanah wilayahnya serta menentukan hubungan yang berkenaan dengan persediaan, peruntukkan, pemanfaatan dan pelestarian tanah tersebut. Singkatnya hak ulayat dikatakan masih ada (exis) jika ketiga syarat di atas terpenuhi secara kumulatif. Ketidakberhasilan memenuhi ketiga syarat tersebut menyatakan bahwa hak ulayat di daerah setempat tidak ada. Tidaklah mudah untuk menentukan ada atau tidak adanya hak ulayat di suatu daerah, apalagi jika harus berhadapan dengan peristiwa hukum yang konkrit. Untuk menyatakan bahwa di suatu tempat terhadap hak ulayat, sebelumnya perlu penelusuran yang mendalam terhadap masyarakat hukum adat setempat. 196
Maria S.W. Sumarjono, Op.cit, hal 65.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya, permasalahan utama yang berkenaan dengan eksistensi hak ulayat yang dilematis adalah kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan untuk segera menerapkan aturan-aturan yang bersifat formal dengan pendekatan legalistik semata, karena dengan pendekatan ini, dapat menimbulkan pengingkaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, perlu adanya kesadaran. Berhadapan dengan hak ulayat berarti keharusan untuk membuka diri untuk memahami kesadaran hukum suatu masyarakat yang terealisasi dalam tindakan nyata sehari-hari, berdasarkan sudut pandang dan pola pikir masyarakat yang bersangkutan. Untuk memahami secara utuh keberadaan hak ulayat di suatu daerah, diperlukan pemahaman yang utuh tentang struktur kemasyarakatannya, termasuk pola-pola kekuasaan yang berlaku di dalam masyarakat hukum adat setempat. Pola kekuasaan yang dimaksud dalam konteks pembicaraan ini adalah yang berkaitan dengan penentuan siapa yang berwenang menentukan, apa yang perlu ditentukan dan dalam forum apa keputusan tentang pelaksanaan kewenangan tersebut dijalankan. Hal ini dimaksud sebagai langkah antisipasi untuk tidak berurusan dengan pihak-pihak yang tidak berkompeten dalam menentukan eksistensi hak ulayat di suatu daerah tertentu. Permasalahan lain adalah kesulitan untuk menentukan batas-batas wilayah suatu masyarakat hukum adat karena batas-batas tersebut umumnya berupa batasbatas alam. Kesulitan ini dapat diatasi jika para penguasa dan/atau ketua adat yang bersangkutan masih ada dan dapat dijadikan saksi. Penilaian yang keliru bahwa hak ulayat bersifat ekslusif perlu segera diluruskan. Hak ulayat sesungguhnya berfungsi sosial, sama seperti hak-hak atas
Universitas Sumatera Utara
tanah yang lain. Oleh karena itu, hak ulayat harus dapat diberikan kepada pihak lain jika hal tersebut diperlukan bagi kepentingan umum atau kepentingan lain yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Masyarakat Nias Selatan sangat menjunjung nilai tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan merupakan titipan sementara dari Tuhan untuk diolah dan dimanfaatkan secara baik demi keberlangsungan hidup. Namun, sewaktu-waktu tanah bisa menjadi masalah yang besar ketika tidak dipergunakan secara adil. Tanah bagi masyarakat Nias mengambil peranan penting dalam proses aktualisasi diri sebagai sebuah simbol pulau yang subur yang terdapat pada identitas masyarakat Nias Selatan, selain itu tanah menjadi pertanda kekuasaan seseorang serta laju perekonomian masyarakat Nias Selatan. Alternatif yang biasanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias Selatan yakni membiarkan saja, negosiasi dan mediasi. Proses membiarkan saja yang dilakukan dalam hal ini karena rasa kasih terhadap pihak yang bersengketa, negosiasi yang dilakukan berdasarkan dari kesepakatan awal yakni jalan damai tanpa melibatkan banyak hal yang dapat merugikan. Proses negosiasi adalah proses yang bukan saja mencari kebenaran atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. Sedangkan mediasi dapat diterapkan dan dipergunakan sebagai cara penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan.197 2. Susunan Lembaga Adat Nias Selatan
197
Dominiria Hulu, Tanah Sengketa dan Pluralisme Hukum, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/tanah-sengketa-tanah-dan-pluralisme-hukum/, diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 12.54 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan asli suku Nias Selatan adalah bentuk pemerintahan adat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu: a. Banua yang dipimpin oleh Salawa (istilah Nias bagian Utara) atau Si‟ulu (istilah Nias bagian Selatan). b. Õri yaitu merupakan perluasan dari banua yang dipimpin oleh Tuhenõri atau Si‟ulu. Dalam setiap kesatuan masyarakat hukum, baik tingkat banua maupun tingkat Õri terdapat satu badan Pemerintahan adat (eksekutif) dengan susunan sebagai berikut : a. Sanuhe merupakan pemimpin didalam lingkungan adat dan berkewajiban mengadakan pesta yang disebut Fanaru‟öBanua atau mendirikan kampung. Istilah adatnya yakni solobö hili-hili danöatau sanekhe hili-hili danö maksudnya yakni yang menyusun lembaga baru di desa sedangkan Nias bagian selatan Sanuhe disebut sebagai Si‟ulu. Proses perolehan gelar Sanuhe jika seseorang sudah menduduki Bosi kesembilan atau bosi kesepuluh dan telah beberapa kali melaksanakan pesta adat. Adapun tugas Sanuhe yakni sebagai: 1) Sebagai fulitö li atau tempat bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu; 2) Sebagai sangila huku atau yang mengerti akan hukum serta dapat memutuskan hukuman warga sesuai kesalahan yang diperbuat; 3) Sebagai orangtua yang tahu tentang FondraköAvore; 4) Sebagai orangtua yang dapat membela warganya dari tekanan luar desanya dari segala hal.
Universitas Sumatera Utara
b. Tambalina merupakan orang kedua setelah Sanuhe. Tugasnya yakni membantu Sanuhe dalam melaksanakan tugasnya. Istilah tambalina sering disebut solohe ba ngai danö, artinya yang menggariskan dan menjalankan segala peraturan dan nilai adat yang disesuaikan dalam hukum fondrakö. Adapun tugas tambalina yakni: 1) Mewakili sanuhe apabila berhalangan 2. Membantu sanuhe dalam menegakkan hukum fondrakö 3. Membantu sanuhe dalam memutuskan hukuman 4. Membantu sanuhe dalam mengadakan hubungan dengan desa lain c. Fahandrona, Fahandrona dalam istilah Nias disebut sangehaogö lala ba hele artinya yang membuat atau membersihkan jalan ke permandian/sumur/pancuran. Adapun tugasnya yakni: 1) Membantu tambalina dalam memberikan petunjuk kepada seluruh warga untuk dapat mematuhi semua garis hukum adat sesuai dengan fondrakö. 2) Membantu tambalina untuk memberikan dorongan kepada selutruh warga desa adat dalam mencari nafkah. 3) Membantu tambalina dalam menggerakan masyarakat membangun desa dan bergotong-royong. 4) Menerima dan melayani segala keluhan warga utuk disampaikan kepada sanuhe agar mendapat keringanan atau pertimbangan. d. Si Daöfa dalam istilah Nias disebut sanuturu lala ba nidanö artinya yang menunjuk jalan ke permandian/pancuran/sumur atau yang menunjuk jalan untuk mendapat kebaikan. Adapun tugasnya yakni: 1) Membantu pemimpin lainnya dalam melaksanakan kebersihan desa.
Universitas Sumatera Utara
2)
Membantu warga untuk mengatur pengukuran dan letak perumahan warga desa, serta mengatur bentuk rumah.
3) Membantu melaksanakan penguburan warga desa yang telah meninggal, letak dan tempatnya, serta melaksanakan apa yang perlu untuk penguburan dan segala pengorbanan lainnya. 4) Membantu fahandrona dalam menunjukan tempat bertani dan berternak warga desa. 5) Membantu menegakkan hukum adat dan hukuman bagi seluruh warga yang melanggar peraturan dalam desa. Keempat pilar ini secara simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam rumah adat Nias. Dewan pimpinan dalam bahasa Nias di kenal dengan istilah Site‟oli. Baik ditingkat banua maupun ditingkat Öri semua Site‟oli (Dewan Pimpinan) disebut Salawa. Yang berkedudukan dan berfungsi di banua disebut Salawa Mbanua dan yang berkedudukan di tingkat Öri disebut Salawa Nöri. Masyarakat umum dewasa ini mengenal istilah Sanuhe (yang kini disebut Ketua) untuk tingkat banua yang lazim disebut Salawa dan ditingkat Öri disebut Tuhenöri. Pemerintahan adat suku Nias juga mengenal adanya lembaga legislatif yang di sebut Fondrakõ, yaitu suatu badan musyawarah dari tokoh– tokoh adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai bidang kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat (dapat berupa kelompok marga) dalam suatu wilayah tertentu dengan sangsi-sangsinya yang yuridis dan sakral yang sangat keras. Tugas empat orang ini juga mengunjungi seluruh warga setiap hari, melihat apakah warga sudah turun berladang, apakah sudah berternak apakah sudah bangun
Universitas Sumatera Utara
dari tidurnya atau diantara mereka sakit, dan sebagainya. Keempat orang ini disebut Si‟ao ba mbawa duwu tuwu artinya yang berteriak diatas tingkap untuk mendorong warga untuk bekerja dan lain-lain. e. Si Dalima dalam istilah Nias yakni soaya tugawa fondrani artinya pandai emas. Adapun tugasnya yakni:selain menempa perhiasan warga desa dan perhiasan keempat pemimpin dan istri keempat pemimpin di atas juga membantu dengan cara lainnya untuk mendukung segala pembangunan dalam desa, membantu tambalina dalam menegakkan adat, membantu fahandrona dalam membersihkan jalan serta turut membersihkan jalan serta turut bergotong royong, mambantu sidaöfa dalam mendorong warga untuk bertani, menjaga kesehatan, serta mengukur dan mengatur letak perumahan warga. f. Si Daönö adalah orang keenam yang bekerja untuk membantu warga desa mengenai; membantu warga untuk menunjukkan segala kebutuhan hidup warga desa dalam bertani yang baik dan berternak dan membantu warga untuk penentuan waktu turun berladang, ia disebut samataro wangahalö ba danö atau sanuturu tanö anga‟iwa. g. Si Dafitu yang ketujuh, tugasnya yakni:membantu sinuhe sampai sidaönö untuk menemukan tempat perburuan binatang hutan yang disebut sanuturu naha mbolokha, orang ini biasanya disebut Fu, membantu para warga untuk melaksanakan gotong-royong, membantu warga untuk mencari dan menunjukan letak perladangan yang baik dan tanaman apa yang perlu ditanam di daerah itu, mendorong warga untuk kebersihan lingkungan dan kesehatan dan membantu
Universitas Sumatera Utara
warga untuk mendorong mendirikan rumahnya dan menunjukan dimana kayu yang bagus agar dapat dipergunakan. h. Si dawalu juga disebut hogu artinya pangkal atau puncak/ujung. Tugasya yakni membantu Sinuhe sampai ke si dafitu untuk mencari dimana tempat menunggu ikan di sungai, istilahnya di sebut fafuasa atau berburu ikan, udang dan belut di sungai, istilah lainnya disebut manakhe. i. Si Dasiwa mempunyai tugas sebagai penempa peralatan dari besi yang dibuat menjadi alat-alat pertanian, seperti cangkul, parang, kapak serta peralatan senjata misalnya tombak, keris, menempa baju besi dan perisai yang disebut dange dan tetenaulu. Biasanya orang ini disebut si ambu atau pandai besi. j. Si Dafulu disebut samatötö artinya yang bisa menerobos atau sebagai mata-mata dari pada sanuhe, tambalina, fahandrona dan sidaöfa. Adapun tugasnya yakni: sebagai mata-mata dan penerobos segala sesuatu yang terjadi, untuk mencari kebenaran dan menangkap pelaku yang lari atau pembangkang. Si dafulu juga bertugas sebagai samaeri fatuwusö artinya yang mendidik dan melatih pemudapemuda untuk segala kepandaian berperang, bela diri, berjiwa berani, gagah dan tangguh sebagai pembela warga desa serta sebagai pasukan perang dan membantu mendorong pemuda unuk berjiwa gotongroyong membangun desa dan membela kebenaran. k. Si Felezara, orang yang berada di tingkat ini mempunyai tugas yang sangat penting membantu sanuhe, tambalina sampai ke sidaöfa. Si felezara sering juga disebut bohalima atau balözanuwö yang selalu memakai alat perang sehingga disebut soaya dange. Adapun tugasnya yakni: membantu si dafulu dalam
Universitas Sumatera Utara
ketertiban desa dan keamanan, membantu si dafulu dalam menyusun bala pasukan atau prajurit desa, membantu menjadi mata-mata dan membantu memilih para fatuwusö yang baik dan berani. l. Si Felendrua, orang-orang yang berada pada tingkat ini adalah seluruh warga masyarakat yang disebut istilahnya ono wobarahao. Seluruh warga harus tunduk kepada pimpinan dan mematuhi segala hukum yang berlaku sesuai yang telah digariskan dalam hukum adat fondrakö yang melanggar akan dihukum. Tugas mereka secara merata adalah mencari nafkah dan berperang bila ada yang menyerang, dibawah pimpinan bohalima dan para fatuwusuö yang gagah dan berani. Susunan kepengurusan adat tersebut sangat membantu warga terhadap adanya penyelesaian sengketa tanah yang terjadi pada masyarakat Nias, karena semuanya mempunyai peran dan tugas mengupayakan adanya perdamaian secara kekeluargaan atau adat dan berusaha untuk tidak melibatkan pihak pengadilan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi.198 Prosedur penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat Nias yang dimulai dengan adanya sengketa kemudian adanya penyelesaian secara kekeluargaan dan musyawarah adat, sedangkan prosedur penyelesaian secara pengadilan sangat jarang terjadi. Hal ini disebabkan masyarakat masih menggunakan hukum lokal dan mempertimbangkan eratnya kekerabatan dan rasa tidak ingin mendapat sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat lain, maka pilihan hukum lokal serta keputusan musyawarah adat sangat diutamakan. 198
Dominiria Hulu, Lembaga Adat Nias, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/lembaga-adat-nias.html, diakses pada tanggal 2 November 2013, pukul 13.15 WIB.
Universitas Sumatera Utara