BAB II DINAMIKA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM DALAM PERMASALAHAN KEMERDEKAAN PALESTINA Dalam bab ini adalah bab yang akan menjelaskan tentang gambaran umum subjek. Penulis akan membahas tentangdinamika OKI dalam permasalahan kemerdekaan Palestina, sebelum memulai pembahasan dinamika penulis akan menjelaskan sejarah Organisasi Konferensi Islam. Kemudian penjeleasan tentang system pengambilan keputusan OKI.
A. Sejarah Organisasi Konferensi Islam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) merupakan organisasi internasional yang menghimpun 57 Negara-negara Islam dan yang berpenduduk Islam di seluruh belahan dunia. Sejarah berdirinya OKI tidak bisa dilepaskan dari isu konflik IsraelPalestina, khususnya menyangkut permasalahan Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa. Ketika kaum radikal Yahudi membakar Masjid al-Aqsa pada 21 Agustus 1969, serta-merta kesadaran umat Islam bangkit. Lantas mereka mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama di Rabat Maroko. Saat itulah, pada tanggal 25 September 1969, secara resmi berdiri Organisasi Konferensi Islam yang kemudian hari berubah nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam.1 Sepanjang sejarahnya, isu Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa senantiasa menjadi agenda utama sidang OKI dalam berbagai tingkatan, baik pada tingkat KTT maupun sidang
“Tentang OKI,” http://www.oic-oci.org/oicv2/page/?p_id=52&p_-ref=26&lan=en
1
P a g e | 18
tingkat menteri. Isu sensitif mengenai Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa selalu tertuang dalam bentuk dokumen, rekomendasi dan bahkan tersurat dalam piagam pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tatkala Yasser Arafat menolak memberi konsesi atas Kota Suci Yerusalem pada KTT Camp David II tahun 2000, dia berdalih bahwa Kota Suci Yerusalem bukan semata urusan dirinya, tetapi menyangkut umat Islam secara keseluruhan.2 Pada piagam OKI ditegaskan bahwa markas besar sementara OKI berkedudukan di Jeddah Arab Saudi hingga pembebasan Kota Suci Yerusalem yang akan menjadi markas besar tetap OKI kelak. Sementara dalam berbagai KTT dan sejak awal berdirinya OKI, selalu ditegaskan bahwa Kota Suci Yerusalem adalah tanah pendudukan yang harus dikembalikan pada status semula sebelum Perang Arab-Israel Juni 1967. KTT OKI pertama di Rabat Maroko, pada bulan September 1969, menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat Negara-negara Islam menolak penyelesaian isu Palestina yang tidak menjamin kembalinya Kota Suci Yerusalem pada status semula sebelum bulan Juni 1967. KTT OKI kedua di Lahore, Pakistan, Februari 1974, menegaskan bahwa Yerusalem adalah simbol pertemuan Islam secara damai dengan agama samawi lainnya. Umat Islam telah mengurusi Kota Suci Yerusalem lebih dari 1.300 tahun, maka Israel harus mundur dari Kota Suci Yerusalem sebagai syarat terciptanya perdamaian yang abadi di Timur Tengah.
Abd Rahman, Musthafa. “Masjid al-Aqsa di Jerusalem dan Provokasi Ekstremis Yahudi,” http://www.kompas.co.id/kompascetak/0504/12/ln/1676474.htm. 12 April 2005. Dikutip Herman Jambak. “[R@ntau-Net] Masjid al-Aqsa di Jerusalem dan Provokasi Ekstremis Yahudi”, https://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg06844.html. 2
P a g e | 19
Ketika Israel mendeklarasikan Kota Suci Yerusalem sebagai Ibukota abadi, para menteri luar negeri OKI dalam pertemuannya di Fez Maroko, 20 September 1980, menyatakan komitmen negara-negara Islam dengan menggunakan potensi politik, ekonomi, minyak, dan militer menghadapi keputusan sepihak Israel itu serta berjanji memboikot secara ekonomi dan politik semua negara yang mendukung keputusan Israel tersebut.3 Akhirnya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) keempat tahun 1984 yang bertempat di Casablanca Maroko, para kepala negara anggota OKI mengeluarkan Resolusi tentang Kota Suci Yerussalem dan Masjid al-Aqsa. Resolusi tersebut paling tidak memuat tiga kesepakatan penting. Pertama, mengutuk agresi serta perusakan situs-situs keagamaan di dalam kompleks Al Aqsha. Kedua, menuntut pengembalian kedaulatan Palestina atas Al Aqsha. Ketiga, memerintahkan seluruh anggota OKI untuk berkomitmen dalam perlawanan terhadap klaim sepihak Israel atas Yerusalem sebagai Ibukota abadinya dengan segala tindakan yang diperlukan dalam bentuk boikot secara politik, ekonomi, dan budaya.
Namun 30 tahun lebih semenjak dikeluarkannya Resolusi tersebut, fakta di lapangan menunjukkan bahwa agresi, provokasi dan perusakan terhadap situs-situs keagamaan di dalam kompleks al-Aqsa masih saja terus dilakukan pemerintah zionis Israel. Kedaulatan Palestina atas al-Aqsa belum pernah dapat diwujudkan. Boikot Negara-negara OKI terhadap Israel secara politik, ekonomi dan budaya
OKI. “Islamic Summit,” http://www.oic-oci.org/oicv2/page/?-p_id=67&p_ref=36&lan=en
3
P a g e | 20
hanya tertuang diatas kertas. Mesir tetap membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa banyak di antara Negara Anggota OKI yang tetap berhubungan secara ekonomi dengan rezim zionis Israel meski berlangsung sembunyi-sembunyi. Aksi agresif dan provokatif terkini rezim zionis Israel terjadi pada tanggal 13 September 2015 yang lalu. Polisi zionis Israel memasuki kompleks al-Aqsa dan melarang kaum muslimin berdoa di dalam kompleks masjid. Bentrokan pun terjadi antara para pemuda muslim dan polisi karena mereka menghalangi masuknya polisi tersebut. Lantas, kaum muslimin hanya diizinkan berdo’a di depan pintu gerbang yang mengarah ke kompleks Masjid al-Aqsha. Menteri Keamanan Publik Israel, Gilad Erdan, mengatakan bahwa para polisi tersebut ditugaskan melindungi orangorang Yahudi yang hendak memasuki kompleks al-Aqsa untuk keperluan acara Rosh Hashanah yang berlangsung pada Ahad petang hingga Selasa petang.4 Tindakan pemerintah zionis Israel tersebut paling
tidak telah
mempertontonkan supremasi mereka atas pengelolaan kompleks al-Aqsa yang selama ini menjadi objek persengketaan masyarakat Internasional. Tujuh tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 6 Februari 2007, Pemerintah zionis Israel bahkan secara terang-terangan merusak situs bersejarah di kompleks al-Aqsha. Buldoser-buldoser zionis Israel telah menghancurkan jembatan kayu yang menuju ke arah Pintu Maghariba Masjid al-Aqsa dan merusak dua ruangan di bawah tanah.
BBC. “Jerusalem's al-Aqsa Mosque Sees Israeli-Palestinian Clashes,” http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-34237219. 4
P a g e | 21
Selain itu, zionis Israel juga melakukan ekskavasi (penggalian terowongan) yang berada tepat di bawah Masjid al-Aqsa.5 Dengan demikian, sudah sangat terlihat bahwa Resolusi OKI yang telah ditandatangani semenjak tahun 1984 sama sekali tidak membuat zionis Israel menghentikan tindakan provokatif dan agresi mereka terhadap kompleks al-Aqsha. Walaupun secara terang-terangan rezim zionis Israel terus menerus melakukan tindakan agresinya terhadap situs-situs keagamaan di al-Aqsha, para anggota OKI yang telah menandatangani kesepakatan dalam Resolusi tentang Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa juga tidak melakukan tindakan sebagaimana yang telah disepakati.
B. Struktur Keanggotaan Organisasi Konferensi Islam Berdasarkan Pasal VIII Piagam OKI, maka negara-negara yang secara otomatis menjadi anggota adalah yang memenuhi tiga persyaratan berikut: 1. Semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Islam pertama di Rabat. 2. Semua negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri Negara-negara Islam di Jeddah, Arab Saudi (23-25 Maret 1970) dan di Karachi Pakistan (26-28 Desember 1970). 3. Semua negara yang ikut menandatangani dan mengesahkan Piagam OKI.
Magdalena. 2007. “Jumat Besok, Umat Islam Seluruh Dunia DimintaBersatu Selamatkan Masjid Al-Aqsa,” Eramuslim: Media IslamRujukan, http://www.eramuslim.com/berita/duniaislam/jumatbesok-umat-islam-seluruh-dunia-diminta-bersatu-selamatkanmasjid-AlAqsa.htm#.VgXRlFb0qNc. 5
P a g e | 22
Sementara Negara-negara Islam yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan diatas, tetap dapat menjadi anggota OKI dengan mengajukan permohonan untuk bergabung dan permohonan itu harus disetujui minimal dua pertiga Negara anggota OKI lainnya pada saat berlangsungnya Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri pertama setelah permohonan diajukan. Selain syarat untuk menjadi anggota, OKI juga memiliki prinsip-prinsip keanggotaan sebgai berikut : 1. Adanya persamaan kedudukan, hak dan kewajiban diantara negara-negara anggota. 2. Menghormati hak menentukan sendiri dan tidak campur tangan dalam masalah-masalah domestik yang terjadi di negara-negara anggota. 3. Menghormati kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah setiap negara anggota. 4. Menyelesaikan setiap konflik yang muncul dengan menggunakan cara-cara damai seperti negosiasi, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi. 5. Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah, persatuaan nasionl atau kemerdekaan politik negara anggotaa.6
Dimana negara-negara yang tergabung dalam OKI sampai saat ini berjumlah 57 negara yaitu : Afganistan, Aljazair, Chad, Mesir, Guinea, Indonesia, Iran, Yordania, Kwait, Lebanon, Libya, Malaysia, Mali, Mauritania, Maroko, Niger, Pakistan, Palestina, Arab Saudi, Yaman, Senegal, Sudan, Somalia, Tunisia, Turki, Bahrain, Oman, Qatar, Suriah, Uni Emirat Arab, Sierra Leone, Bangladesh,
6
http://wawansejarah.com/organisasi-konferensi-islam-oki/.
P a g e | 23
Gabon, Gambia, Guenia-Bissau, Uganda, Burkina Faso, Kamerun, Komoro, Irak, Maladewa, Djibouti, Benin, Brunei, Nigeria, Albania, Azerbaijan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan, Mozambik, Kazakhstan, Uzbekistan, Suriname, Togo, Guyana, dan Pantai Gading.
C. Dinamika Permasalahan Organisasi Konferensi Islam dalam Membantu Kemerdekaan Palestina C.1. Rezim Organisasi Konferensi Islam dalam Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa Terdapat 6 (enam) skala ordinal tingkat kolaborasi suatu rezim. Pertama, skala 0, yakni para anggota rezim bergabung dalam suatu kesepakatan namun tidak bergabung dalam pelaksanaan kesepakatan itu (joint deliberation but no joint action). Kedua, skala 1, yakni para anggota rezim melakukan koordinasi tindakan berdasar kesepahaman yang tak tertulis (coordination of action on the basis of tacit understanding). Ketiga, skala 2, yakni para anggota rezim melakukan koordinasi tindakan berdasar aturan atau standar yang disusun tersurat namun pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing negara anggota rezim dan tidak ada penilaian ukuran efektivitas berjalannya rezim secara terpusat (coordination of action on the basis of explicitly formulated rules or standart but with implementation fully in the hands of national government, no centralized appraisal of effectiveness of measures is undertaken). Keempat, skala 3, yakni sama dengan skala 2, namun terdapat penilaian ukuran efektivitas berjalannya rezim secara terpusat (same as level 2 but including centralized appraisal). Kelima, skala 4, yakni para anggota rezim
P a g e | 24
melakukan koordinasi tindakan dengan implementasi diserahkan kepada masingmasing negara anggota rezim namun juga memiliki penilaian ukuran efektivitas berjalannya rezim secara terpusat (coordinated planning combined with national implementation only, includescentralized appraisal of effectiveness). Keenam skala 5, yakni para anggota rezim melakukan koordinasi rencana tindakan dan implementasinya secara terintegrasi, diikuti dengan adanya penilaian ukuran efektivitas berjalannya rezim secara terpusat (coordination through fully integrated planning and implementation, with centralized appraisal of effectiveness).7 Sebelum menentukan tingkat kolaborasi Resolusi ini sesuai skala ordinal di atas, terlebih dahulu dilakukan analisis melalui kekuatan aturan, ketaatan anggota rezim terhadap aturan dan efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain, harus diperiksa terlebih dahulu output, outcome dan impact dari Resolusi Kota Suci Yerusalem untuk menentukan efektifitas rezim tersebut.8 Output adalah keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain.9 Dalam studi kasus yang dibahas penulis di sini, keluaran yang muncul telah jelas, yakni adanya kesepakatan para kepala negara anggota OKI yang tertuang dalam Resolusi Kota Yerusalem dan masalah al Aqsha. Outcome biasanya berhubungan dengan perubahan perilaku para anggota rezim.
Ed.Edward L. Miles. et. al. “One Question, Two Answers”. EnvironmentalRegime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Underdal. Arild. Cambridge: MIT Press. 2001. Hal . 7 8 Ibid 9 Halina, Ilien..Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. SlidePresentasi Perkuliahan Rezim Internasional S2 HubunganInternasional FISIP UGM. Yogyakarta.2007 7
P a g e | 25
Dalam hal ini, institusi akan dikatakan efektif kalau menghasilkan perubahan tingkah laku.10 Outcome dari Resolusi OKI dikatakan sangat tidak efektif karena tidak mampu mengubah tingkah laku anggota rezim. Perlindungan terhadap al-Aqsa yang dilakukan dengan melakukan boikot politik, ekonomi dan budaya terhadap rezim zionis Israel ternyata nyaris tidakdilakukan oleh seluruh anggota OKI yang menandatangani resolusi tersebut. Hanya beberapa anggota rezim yang bersikap patuh (comply) terhadap resolusi, sementara sebagian besar bersikap tidak patuh (defect). Impact yaitu berhubungan dengan terciptanya situasi tertentu yang didesain atau diinginkan oleh rezim.11 Resolusi OKI tentang Kota Yerusalem dan Masjid alAqsa mendambakan kembalinya kedaulatan Palestina atas kepemilikan al-Aqsa, namun hingga detik ini klaim kedaulatan Israel atas al-Aqsa masih terus berlanjut. Bahkan pemerintah Israel dengan berani melakukan intervensi atas pengelolaan Masjid al-Aqsa seperti dalam pelarangan pelaksanaan sholat jum’at di Masjid alAqsa bagi para pemuda dan remaja. Resolusi ini mengamanahkan pemboikotan terhadap Israel, namun sebagian besar anggota OKI tidak melakukan pemboikotan tersebut. Resolusi OKI ini juga mengutuk perusakan Israel terhadap situs-situs keagamaan (the Holy al-Aqsa Mosque, the Holy Ibrahim Mosque, the Holy Sepulchre and other holy places and archaeological sites in the City of al-Quds al-
10 11
Ibid Ibid. Hal. 4
P a g e | 26
Sharif), namun sama sekali tidak merubah keadaan. Bahkan Israel dengan pongah membuldozer dan melakukan pembongkaran terhadap sepuluh bangunan bersejarah yang merupakan warisan budaya Islam sejak tahun 1967 di lembah al Magharabah, al-Quds Lama.12 Berdasarkan pengukuran terhadap output, outcome dan impact di atas, penulis menyimpulkan bahwa tingkat kolaborasi rezim OKI dalam Resolusi OKI tentang Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa bernilai 0 (nol) dalam skala ordinal. Ini berarti rezim tersebut mempunyai efektivitas yang rendah dan kolektif optimum yang rendah pula. Artinya, anggota rezim OKI dalam Resolusi yang dibuat memang menandatangani kesepakatan. Mereka setuju dengan isi perjanjian, namun sayang mereka tidak melakukan suatu tindakan (aksi) untuk melaksanakan kesepakatan yang ada (joint deliberation but no joint action). Hal tersebut tercermin dalam pernyataan Asisten Sekretaris Jenderal OKI Atta Maname Bakhit yang tidak tegas dalam menentukan kebijakan terhadap ekskavasi Israel di bawah kompleks Masjid al-Aqsa. Bakhit justru menyerahkan kewenangan kepada para anggota OKI sendiri untukmengambil keputusan yang dinilai pantas dan bijak jika Israel tidak mengindahkan seruan OKI. 13 Hal ini menunjukkan tidak adanya koordinasi rencana tindakan dan pelaksanaan dalam Resolusi Kota Yerusalem (no integrated planning and implementation) tidak terpenuhi sebagai syarat tingginya tingkat kolaborasi suatu rezim.
Magdalena. 2007. “Jumat Besok, Umat Islam Seluruh Dunia DimintaBersatu Selamatkan Masjid Al-Aqsa,” Eramuslim: Media IslamRujukan, http://www.eramuslim.com/berita/duniaislam/jumatbesok-umat-islam-seluruh-dunia-diminta-bersatu-selamatkanmasjid-AlAqsa.htm#.VgXRlFb0qNc. 13 Ibid. 12
P a g e | 27
C.2. Ketidakefektian Rezim Organisasi Konferensi Islam dalam Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa Efektif tidaknya suatu rezim ditentukan oleh seberapa gawat persoalan yang dihadapi. Semakin rumit dan gawat suatu persoalan yang dihadapi oleh rezim, maka keefektifan rezim akan semakin kecil pula. Dengan kata lain, jika masalah yang dihadapi suatu rezim semakin bersifat malignancy (gawat), maka kemungkinan terciptanya kerjasama yang efektif akan semakin kecil.14 Ketidakefektifan rezim OKI dalam Resolusi Kota Yerusalem dapat dijelaskan dari problem malignancy (kegawatan permasalahan) yang dihadapi rezim ini. Pertama, Resolusi ini mengamanahkan anggota OKI untuk lebih serius dalam usaha merebut kedaulatan al-Aqsa dari tangan zionis Israel. Permasalahan tersebut sangat kompleks dan rumit mengingat secara struktur politik internasional, kekuasaan Israel atas tanah suci Yerusalem didukung sepenuhnya oleh Negaranegara Barat (terutama AS dan Inggris) yang sudah pasti tidak mudah disingkirkan begitu saja. Selain itu, OKI juga harus berhadapan dengan masyarakat internasional yang menghendaki pengelolaan wilayah al-Aqsa diserahkan kepada masyarakat internasional, bukan pada otoritas Palestina atau Arab saja. Bahkan, permasalahan klaim kedaulatan ini juga semakin bertambah rumit dengan persengketaan ilmiah dalam ranah intelektual antara pada ahli arkeologi Arab dan Israel yang saling mengklaim keabsahan kepemilikan tanah suci berdasar bukti sejarah dan ilmiah yang ada. Padahal, jika problem malignancy yang dihadapi sebuah rezim semakin
Karim, Mulyawan. 17 Oktober 2003. “KTT Ke-10 OKI di Putrajaya,Malaysia: Tantangan Memulihkan Citra Umat”. Kompas.http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2950&coid=1&caid=24. 14
P a g e | 28
bersifat politis dan berdimensi intelektual, maka rezim akan semakin tidak efektif.15 Kedua, permasalahan yang dibahas dalam Resolusi Kota Yerusalem bersifat incongruity, artinya tidak semua anggota OKI merasakan permasalahan tersebut benar-benar sebagai permasalahan mereka. OKI adalah sebuah organisasi yang besar dimana negara-negara anggotanya secara geografis terpencar di seluruh bagian dunia. Gejolak dan ketegangan yang terjadi di Masjid al-Aqsa tidak dapat dirasakan secara langsung oleh Negara-negara muslim yang jauh dari Masjid alAqsa seperti Indonesia dan Pakistan. Negara-negara yang berlokasi jauh dari alAqsa tidak akan merasakan imbas apapun atas permasalahan al-Aqsa dalam teritori mereka. Ketiga, setiap resolusi yang dihasilkan oleh OKI, termasuk Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa, dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari kondisi internal anggota-anggota OKI yang memiliki orientasi politik yang sangat beragam dan saling berkompetisi. Dalam OKI tergabung Negara-negara Islam Revolusioner seperti Negara Iran hingga Negara Ultrakonservatif seperti Negara Arab Saudi. Kompetisi antar negara anggota yang menyulut perpecahan dan sengketa juga kerap terjadi,misalnya seperti antara Irak dan Iran serta antara Irak dan Kuwait.16 Perbedaan-perbedaan orientasi politik dan adanya kompetisi internal inilah yang menjadi sumber penyebab lahirnya resolusiresolusi yang lemah atau resolusi-resolusi yang dikeluarkan sebatas hanya untuk dilanggar.
Ed.Edward L. Miles. et. al. “One Question, Two Answers”. EnvironmentalRegime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Underdal. Arild. Cambridge: MIT Press. 2001. Hal. 13-28 16 Karim, Mulyawan. 17 Oktober 2003. “KTT Ke-10 OKI di Putrajaya,Malaysia: Tantangan Memulihkan Citra Umat”. Kompas.http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2950&coid=1&caid=24. 15
P a g e | 29
C.3. Bergantungnya Organisasi Konferensi Islam pada Barat
Selain sudah terbukti gagal menyelesaikan problem di Dunia Islam, termasuk isu Palestina, al-Quds, dan al-Aqsha, OKI juga hanya membebek pada solusi dan keinginan Barat. Pasalnya, anggota-anggota OKI tak bisa lepas dari dominasi politik dan militer Negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. OKI termasuk dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) ke-5 tetap tidak mandiri serta terus tunduk pada keinginan dan kepentingan Barat, khususnya AS. Kehadiran kuartet negosiasi Palestina-Israel (Amerika, Rusia, PBB, dan Uni Eropa) dan wakil lima Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB di KTT LB ke-5 OKI di Jakarta adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin Dunia Islam tidak mandiri dalam memutuskan nasib umat. Ketidakmandirian OKI juga tampak jelas dalam solusi yang diserukan dan didukung para anggota OKI dalam KTT LB ke-5 OKI untuk mengatasi krisis Palestina dan al-Aqsha, yaitu solusi dua negara. Ini adalah solusi yang dirancang oleh Amerika Serikat dan Barat.17
KTT LB ke-5 OKI di Jakarta hanya mengulangi KTT-KTT sebelumnya yang bersifat seremonial untuk menyenangkan umat Islam seolah-olah para pemimpin mereka sungguh-sungguh peduli pada persoalan Palestina dan berbagai persoalan lain. Kenyataannya, OKI hanyalah ‘talking doll’ yang tidak bisa lepas dari skenario negara-negara Barat.
17
Member States, Organisation of Islamic Cooperation, dalam www.oic-oci.org
P a g e | 30
OKI lebih banyak mendorong terciptanya apa yang dikatakan sebagai ‘dialog perdamaian’ antara Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik PalestinaIsrael adalah penjajahan atas tanah Palestina yang dilakukan oleh Negara Zionis Israel, bukan masalah perdamaian. Keberadaan Israel di atas tanah Palestina adalah ilegal dan haram baik dalam logika politik apalagi pandangan hukum Islam. Dalam berbagai perundingan itu negara-negara Arab sebagai anggota OKI pun lebih memilih mengakui PLO yang sekuler dan disukai Barat ketimbang kelompok perjuangan HAMAS yang lebih berbasis Islam. Di antara alasannya karena OKI menilai HAMAS sulit ‘dikendalikan’ secara politik dan lebih memilih jalan jihad atau militer dalam menghadapi Israel. Sedangkan PLO adalah ‘good boy’ bagi OKI dan lebih kooperatif dengan Israel. Beberapa kali HAMAS dan OKI berseberangan sikap politik.18 Pada tahun 2015 misalnya HAMAS dan sejumlah mufti Palestina dan ulama Timur Tengah lain mengecam keputusan Sekjen OKI Iyad bin Amin Madani yang akan mengunjungi kompleks Masjid al-Aqsa pada tanggal 5 Januari. Kunjungan tersebut dipandang HAMAS sebagai bentuk lain dari pengakuan terhadap eksistensi Israel di Palestina, khususnya di kawasan Masjid al-Aqsha.
Keseriusan OKI untuk menyelesaian konflik Palestina-Israel, dan keberpihakan mereka pada rakyat Palestina dan pembebasan al-Aqsha – yang menjadi alasan pendirian lembaga itu – makin dipertanyakan, karena beberapa negara anggota OKI malah menjalin persahabatan dengan Israel. Yordania, Turki dan Mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin kerjasama dengan
18
http://hizbut-tahrir.or.id/2016/03/07/oki-akan-terus-menjadi-talking-doll-tanpa-ada-aksi-nyataselesaikan-persoalan-palestina/
P a g e | 31
Israel. Presiden Mesir Abdul Fatah as-Sisi pada September tahun lalu menyerukan negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk memerangi ancaman terorisme. Sementara itu meski Arab Saudi hingga hari ini belum secara resmi melakukan kontak dengan Israel, akan tetapi mereka adalah sekutu terdekat Amerika Serikat di Timur Tengah yang merupakan induk semang dan pelindung Israel. Dalam operasi militer terhadap Syiah Houthi di Yaman, mereka disupport oleh Amerika Serikat. Begitu pula dalam rencana penyelesaian konflik Suriah dan upaya gencatan senjata di sana, Arab Saudi berada satu kubu dengan Amerika Serikat, dengan menyingkirkan faksi mujahidin Sunni yang memperjuangkan Islam seperti Jabhan Nusrah dan mengesampingkan terus menguatnya aspirasi umat Islam di Suria bagi penerapan syariah dan tegaknya Khilafah Rasyidah.
D. Sistem Pengambilan Keputusan Organisasi Konferensi Islam Didalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) terdapat tiga badan utama pengambilan keputusan: pertama, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), kedua Konferensi Para Menteri Luar Negeri, ketiga yaitu Sekretariat Jendral. Namun, pada KTT di Taif, Arab Saudi (Januari 1981) diputuskan untuk mendirikan Mahakamah Hukum Islam Internasional sebagai organ keempat OKI. Mahkamah ini dirancang sebagai organ hukum utama dalam organisasi dan untuk menyelesaikan sengketa diantara anggota.19
19
Abdullah-al Ahsan. OIC. The Organization The Islamic Conference (An Introduction to an Islamic Political Institution). The International Institute of Islamic Thought. Herdon. Virginia. USA. 1988. Hal.133
P a g e | 32
Fungsi pengambilan tertinggi ada pada KTT, di bawahnya adalah Konferensi Para Menlu, tingkat ketiga adalah Sekretariat Jendral yang berkedudukan di Jeddah. Jabatan Sekjen dipilih oleh Konferensi Tingkat Menlu untuk jabatan empat tahun dan maksimal dua periode kepemimpinan.
KTT yang merupakan lembaga tertinggi dalam struktural organisasi bertugas menentukan strategi khusus yang terkait masalah politik maupun keberlangsungan organisasi. KTT dilakukan setiap tiga tahun sekali. Konferensi Menlu yang bertugas merumuskan kebijakan tahunan OKI yang berkaitan dengan perkembangan terkini setiap anggota, sekaligus melakukan evaluasi umum terhadap pelaksanaan program pada tahun sebelumnya. Sekretariat Jendral merupakan lembaga yang menduduki tingkat ketiga tertinggi dalam struktural organisasi berperan sebagai lembaga pelaksana, selain itu lembaga ini juga membantu realisasi program kerja khusus maupun afiliasi. Lembaga terakhir yaitu Mahkamah Hukum Islam Internasional yang beranggotakan tujuh perwakilan dari negara anggota yang dipilih pada Konferensi Menlu OKI bertugas meluruskan kekeliruan presepsi anggota OKI secara umum maupun khusus, serta mengeluarkan fatwa terkait permasalahan hukum setelah persetujuan dari KTT dan Konferensi Menlu.
P a g e | 33