BAB II TINJAUAN
TEORITIK
A. PENDAHULUAN DI dalam Bab ini akan dibahas berbagai konsep yang berkaitan
atau bahkan mendasari struktur
cenderungan yang berkaitan
ke-
dengan para siswa seba-
gai remaja, seperti dimaksudkan dalam studi Konsep-konsep tersebut merupakan penjelasan
ini. dasar
(basic explanation), seperti yang dimaksud pada Gambar 1
. Penjelasan dasar itu dimaksudkan untuk mem-
berikan dasar-dasar teoritik secara langsung maupun lewat laporan hasil temuan studi terdahulu, mengenai berbagai hal yang berkaitan. Sekali gus seluruh in.formasi tersebut akan digunakan sebagai landasan untuk melakukan analisis kualitatif terhadap berbagai hasil studi ini, yang memerlukan penjelasan agar dapat dicapai pemahaman lebih baik atas hasil studi. Untuk keperluan itu secara berturutan
akan
dibahas hal-hal sebagai berikut : 1. Landasan Teori, yang akan membahas: a. b. c. d.
Pendekatan Studi Sosial Sosialisasi Sebagai Proses Sosial Sosialisasi Sabagai Proses Pendidikan Sosialisasi.Sebagal Role Learnlng
64
65
e. Karakteristik Remaja f. Relevansi Budaya
«
Akan diberikan pula penjelasan mengenai " berbagai konsep yang digunakan dalam studi ini, serta dikemukakan berbagai hasil studi terdahulu. B. PENDEKATAN TEORITIK 1. Pendekatan Studi Sosial Posisi kajian yang dilaksanakan ini
sangat
tergantung pada orientasi serta kerangka acuan dalam ilmu-ilmu sosial, yang mendasarkan pada
anggapan
bahwa kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang relatif dan tentatif, aenurut Sullivan (1933). Tak dapat dilupakan pula kenyataan, bahwa manusia kecuali sebagai obyek juga sebagai subyek
pe-
nelitian. Di sini sangat diperlukan peningkatan rasa tanggung jawab mengenai kesejahteraan manusia
itu
sendiri, sejalan dengan fikiran Max Weber bahwa "... the ultimate aim of the science of social men
was
the enhancement of one's responsibility" (John S. Nimpoeno, 1980, h. 1). Hasil kajian yang bersifat subyektif dan tentatif itu juga terjadi- kalau dilakukan dengan pendekatan spesialistis hanya dari satu disiplin. Dan untuk mendapatkan hasil kajisn yang lebih mempunyai arti (meaningful), akan digunakan
66
pendekatan interdisiplin. Itulah yang menjadi dasar yang diharapkan oleh pendidikan -Ilmu Pengetahuan Sosial dalam artian Studi Sosial (Achmad Sanusi, 1972, h,?f-5). Dengan cara pendekatan interdisiplin ini di maksudkan dalam waktu bersamaan digunakan konsep-konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang relevan» dalam upaya memberikan penjelasan sesuatu masalah kemasyarakatan yang sedang dihadapi, agar tercapai tujuan yang dikehendaki. Meskipun demikian sifat hasil kajian bersifat subyektif dan tentatif masih
yang
dimungkinkan
terjadi. Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa pendidikIlmu Pengetahuan dalam artian Studi Sosial yang dimaksud, mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu anak menjadi dewasa dalam artian mampu mengambil keputusan-keputusan penting yang berkaitan
dengan
pergaulannya dengan orang lain dalam masyarakat. Selain itu Studi Sosial diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk mengambil keputusan secara ra sional dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup, dan mengambil sesuatu tindakan secara cerdik. Dengan perkataan lain .program
Studi Sosial diharapkan da-
pat membuat anak menjadi aktor sosial yang. (intelligent social actor). Dan kemampuan
cerdik untuk
121
mengambil keputusan itu dapat dicapai, antara
lain
dengan jalan melatih anak menghadapi masalah-masalah sosial yang ada.di sekitar mereka (J.A. Banks j 1977» h. 10-12). Dari sana sebetulnya dapat terlihat
adanya
tiga tujuan pendidikan IPS dalam artian Studi Sosi aH, yaitu : pengembangan sikap, pertumbuhan pengetahuan dan saling pengertian, dan pengembangan ketrampilan serta kemampuan. Warga masyarakat dianggap memiliki
tanggung
jawab sosial yang baik serta disebut warga yang efektif, kalau menunjukkan sejumlah sikap positif dalam menghadapi masyarakat. Sikap-sikap tersebut didasarkan moral, etika serta nilai spiritual yang serasi dengan masyarakat demokratis, menurut
Jarolimeck
<1961). Selain itu harus pula terjadi proses penye suaian kepribadian anak, sebab perilaku sosial yang tidak serasi merupakan gejala ketidak mampuan
anak
dalam penyesuaian diri. Di pundak generasi tua beban bimbingan itu diletakkan (Noel D. Pryde, 1973, h. 10 - 11). Yang dapat kita tangkap dari harapan yang dibebankan pada Studi Sosial tadi, ialah tumbuhnya rasa tanggung jawab sosial dan penyesuaian dengan tata nilai lingkungan, sosial. Tujuan lain program Studi Sosial yang
perlu
121
dicapai , ialah pertumbuhan pengetahuan dan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai warga . masyara kat, Dengan cara lain dapat dikatakan, bahwa orang dewasa harus mampu memainkan peran. baik, untuk membantu anak memahami
sosial dengan warisan
sosial
budaya serta belajar menghadapi masalah-masalah yang bakal dihadapi kelak, menurut R,C. Preston.(1960). Yang penting nampaknya ialah supaya
warga masyara-
kat memahami warga masyarakat yang lain serta ling kungan di mana orang itu hidup. Dengan cara itu akan dapat dicapai saling pengertian di antara warga ma syarakat sendiri (Noel D, Pryde, 1973» h, 13). Kedua tujuan program Studi Sosial tidak mungkin tercapai, tanpa
tersebut
dicapai lebih
dulu
sejumlah ketrampilan yang diperlukan. Yang dimaksud ialah ketrampilan seperti pengumpulan,
penafsiran
serta penggunaan informasi di sekitar permasalahan yang dihadapi, yang dapat diperoleh dari media masa yang relevan. Selanjutnya diperlukan ketrampilan untuk mengenali serta mendefinisikan masalah,
serta
bagaimana mengumpulkan data yang relevan (Noel D, Pryde, 1973, h.13 - 15). Dari seorang aktor memang dituntut
banyak
sekali, apalagi kalau harus memainkan ."jseran-fperan sosial
yang sering sekali ganda, dan harus pula
69
menghadapi peran .-peran.
lain yang banyak sekali,
dan sering sekali dengan 'role expectation' yang tidak tertulis dan tidak jelas. Di sinilah nampak se kali perlunya proses sosialisasi, untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial, sehingga setiap warga mengetahui 'role ezpectetion* yang dituntut dari warga masyarakat tersebut.
H, Sosialisasi Sebagai Proses Sosial a. Individu Dalam Masyarakat Mempelajari kecenderungan pendapat remaja mengenai berbagai masalah sosial dalam rangka proses interaksi sosial, tidak lain dari pada
mempelajari
manusia dengan perilaku manusia dalam antar "hubungan manusia itu sendiri. Dan ini jelas menunjukkan bahwa kawasan pembahasannya berada di dalam kawasan psikologi sosial, yang secara gampang sering disebut se bagai "the science of interpersonal behavior events" (Krech et al, 1962, h. 5). Dengan demikian maka studi ini berangkat dari tinjauan psikologi sosial se bagai pijakan utama. Namun demikian untuk mendapat kan penjelasan lebih lengkap mengenai manusia lingkungan
dan
sosial budayanya, digunakan juga konsep
konsep sosiologi.
70
GAMBAR 2 Skema Tujuan PregraM Pendidikan IPS Dalan Artlan Studi Sosial
ICMASYARAKAT OfiANG' BOTASA I n t e r a k 0 "KEBUDAYAAN ASING
feerslkap positif thd, masyarakat •Menjadi warga Masyara kat yg. baik Penyesuaian diri dengan masyarakat •Penuh sa llng pengertian dengan sesama warga •Perdnli thd. lingkungan
PERTUMBUHAN PENGETAHUAN & SALING P E NGERTIAN
*Belajar Mengenai hak dan kewajiban sebagai warga Masyarakat 'Menahan! status dan fungsi sbg. varga Masyarakat •Melatih saling pengertian di «n tara sesama warga
TZ
PENGEMBANGAN KETRAMPILAN
&
KEMAMPUAN
•Latihan Mengidentifikasi Masalah •Latihan aanganali-: sis nas alah •Latihan mengambil keputusan
-t [intelllgent Social_Astor~H— T T T " ~ — p Social Adjustment I1 j j Social
Integration
71
Manusia dapat dikatakan sebagai mahluk Tuban yang mempunyai tiga aspek dalam suatu . keutuhan, yaitu aspek organik-jasmaniah,
aspek' psikik-ru -
haniah, dan aspek, sosial-kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi, se hingga perubahan pada satu aspek akan
berpengaruh
terhadap aspek yang lain. Oleh karenanya manusia disebut individu selagi tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku masyarakat di mana individu tersebut tinggal. Dan selama itu pula individu tersebut dibebani berbagai peranan. Dan peranan-peranan
itu
terutama berasal dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesamanya (John S. Nimpoeno, 1980, h. 1*0. Dengan memandang setiap individu sebagai suatu 'self1 yang berdiri sendiri, William James (1890) memandang bahwa pada diri setiap lndovidu terdapat tiga tipe 'self', yang terdiri dari social self. spiritual self, dan material self ( Lindzey and Aronson,Iy H,
Dengan perkataan lain dapat dlkata -
kan, bahwa manusia mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi badani, dimensi ruhani, dan dimensi sosial-kebersamaan. Dan ini berarti bahwa setiap manusia, disatu fihak merupakan individu yang unik, yang mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan orang lain. Namun di lain fihak, merupakan warga
atau
72
bagian dari lingkungan sosialnya, Ban oleh karenanya setiap individu harus berperilaku sesuai dengan pola pola perilaku kolektif, namun tidak lepas dari keunikan dirinya* Dalam perjumpaan antara keunikan
individual
dengan tekanan pola-pola sosial budaya, dapat terjadi berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama, seorang individu akan 'kehilangan individualitasnya', karena terbawa oleh tekanan pola-pola sosial budayanya. Dalam hal ini orang tersebut akan berperilaku
tidak
menyimpang dari perilaku yang pada umumnya diperbuat oleh kebanyakan orang dalam lingkungan
sosialnya.
Orang tersebut menunjukkan ketundukan yang ...tinggi terhadap tata nilai yang berlaku dalam masyarakat . Gejala ketundukan warga masyarakat tata nilai masyarakat, sehingga mereka
terhadap
berperilaku
serasi dengan harapan-harapan sosial sesuai
dengan
peranan yang disandang oleh masing-masing warga, disebut konformitas. Dalam hal ini tidak berarti warga masyarakat menunjukkan perilaku yang sama dan
sera-
gam dengan warga yang lain, melainkan warga masyarakat menunjukkan perilaku yang serasi dengan posisi , status dan peran mereka dalam masyarakat,
seperti
yang diharapkan oleh masyarakat. Kemungkinan ke dua yang terjadi dalam perjum-
73
paan antara keunikan individual dengan pola-pola sosial budaya, ialah 'menyimpang dari norma kolektif* (John S. Nimpoeno, 1980, h, 5). Keadaan yang demiki*» an itu terjadi manakala tingkah laku varga masyara*kat yang unik tidak serasi dengan tingkah laku kolektif, sehingga yang terjadi ialah nonkonformitas. Akan tetapi dalam kenyataan hidup,
setiap-
varga masyarakat akan cenderung menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan situasi aktual yang dihayati. . Dan keberhasilan untuk mencapai titik optimum antara dua pola tingkah laku tersebut di atas dalam situasi situasi yang senantiasa berubah, dianggap . sebagal tanda 'kematangan' atau 'kedewasaan' dalam pengertian sosial (John S. Nimpoeno, 1980, h. ^-5). Meskipun demikian individu dan dalam permasalahan ini, tidak pernah
masyarakat disejajarkan
hingga menjadai individu dan masyarakat, atau bahkan dipertentangkan menjadi individu atau masyarakat. Sebaliknya, lebih pantas kalau tetap disebutkan dengan cara individu dalam masyarakat (Krech et al., 1962, h. 529). Ini berarti bahwa kecenderungan apapun yang terjadi, 'menyimpang dari norma kolektif' ataupun 'kehilangan individualitasnya 1,'berperilaku konform' ataupun 'bebas', tampail sesuai
dengan
'kepribadiannya' atapun 'mendapat tekanan
dari
7k masyarakatnyamau tidak mau merupakan
pencerminan
baik dari keunikan maupun kebersamaan. Agak berbeda dengan kebersamaan dalam dupan hewani yang mengikuti kaidah-kaidah
kehi-
ekologis
dan bersifat naluriah, maka hidup kebersamaan manu sia didasarkan pada pertimbangan nalar dan
saling
ketergantungan. Menurut Durkheim, gejala kolektivis tas hewani itu disebut sebagai 'mekanistik1, sementara dalam dunia mafflusia dikenal sebagai 'organik*t yaitu atas dasar saling mengatur dan saling tuhkan.
membu-
berarti, bahwa pola perilaku yang terjadi
dalam kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang dipelajari, merupakan sesuatu yang tumbuh. Dan karena perilaku manusia itu berkaitan dengan posisi, status , peranan masing-masing warga dalam sesuatu masyarakat, maka orangpun menyebutnya sebagai suatu struktur. Disana masing-masing bagian atau warga masyarakat merupakan bagian yang terpisahkan dari keseluruhan, sebagai sebuah sistem. b. Interaksi Sosial Masyarakat pada dasarnya merupakan struktur sosial yang dinamis, dalam artian di dalamnya terjadi saling hubungan di antara sesamanya (personal
75 interrelatioBs). Dan para warganya dengan
demikian
merupakan orang-orang yang saling berhubungan (inteiv relating persons). Pengertian itu timbul kalau kita bertolak dari anggapan bahwa masyarakat
merupakan
suatu sistem. Yang dimaksud dengan sistem di sini ialah seperangkat unsur-unsur yang saling berhubungan, dalam artian masing-masing unsur saling bergantung
sesa -
manya. Secara singkat dikatakan, bahwa sistem meru pakan 'a set of interrelated elemnts'. Ini berarti bahwa, keseluruhan sistem tersebut selalu mempunyai makna lain dari pada sekedar kumpulan
unsur-unsur
belaka.... _ Dan sebagai sistem, maka masyarakat yang merupakan sekelompok manusia dapat digambarkan berdasarkan penuturan Loomis (1960), Parsons (1951) dan Merton (19^9)-» sebagai berikut : 1). Sistem Sosial terdiri dari bagian-bagian yang utuh, tetapi saling berkaitan secara bermakna. Jadi Sistem itu mempunyai struktur. 2), Setiap bagian dari Sistem Sosial mempunyai fungsinya tersendiri, tetapi tetap dalam rangka keseluruhan sistem. Yaitu tidak lain karena keseluruhan sistem Sosial itu juga mempunyai fungsi yang pasti.
76
3). Tergantung dari konsepsi yang dipakai, maka bagian-bagian sistem dapat berwujud pelaku, fungsi atau peranan, yangg dapat mengkonversikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Adanya masukan dan keluaran pada masing-masing bagian itu disebabkan oleh adanya masukan dan keluaran pada Sistem Sosial sebagai suatu keutuhan. Sebagai Sistem Sosial, sistem ini mempunyai tujuan, dan karena mempunyai tujuan, sistem tersebut juga paling sedikit terikat pada nilai-nilai tertentu (systems values) yang kemudian diendapkan menjadi tolok ukur tolok ukur (system parameters). 5). Sistem Sosial tidak kaku (al. karena memi likl sifat sebagai 'sistem terbuka1), se hingga senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya dari saat yang satu ke saat yang lain. Perubahan-perubahan sistem yang ditimbul kan mempunyai corak evolusioner. 6). Perubahan evolusioner akan membuat punah sistem yang lama, karena diganti oleh sistem yang lain. Sebagai contoh: revolusi industri adalah sebuah perubahan yang cepat dan mendalam, yang merangsang muncul nya sistem masyarakat baru di abad lampau. (John S, Nimpoeno, 1980, h. 17-18) Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa sebagai su*tu sistem, maka para warga masyarakat merupakan jalinan ynng padu, yang ditandai oleh
77
adanya hubungan antara warga. Dan dalam
kehidupan
yang asosiatif itu, nampaknya interaksi . merupakan kunci segalanya, menurut Kimball loung (19^2). Interaksi itu sendiri dapat didefinisikan sebagai hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dimana setiap orang terjalin erat dalam tindakan dan dengan maksud tertentu. Dan dalam hubungan timbal balik itu terlihat tiga bentuk hubungan, se bagai berikut : 1), interaksi orang seorang, dimana seorang bocah untuk pertama kalinya belajar menyesu aikan diri dengan harapan-harapan orang tua dan dimana seorang perjaka mencari pasangan 2). interaksi antara orang seorang dengan kelompok, atau sebaliknya, dimana seseorang in dividu mendapati dirinya bertentangan d« ngan norma kelompok, atau dimana sesuatu kelompok memaksakan kehendak agar anggotanya dapat konform dengan nilai kelompok. 3)» interaksi antara dua kelompok, dimana dua partai bekerja sama untuk mengalahkan partai ke tiga, misalnya, atau manakala dua negara sedang berperang. (Selo Soemardjan dkk., 1964» h. 18/f). Dapatlah difahami kalau dalam interaksi sosial semacam itu, yang terjadi ialah rangkaian kooperasi, konflik atau kompetisi, dan akhirnya akomodasi. Konflik dan kompetisi sebetulnya merupakan ujud
78
dari bentuk interaksi yang bernama oposisi. Dengan kooperasi (kerja sama) dimaksudkan sebagai bentuk interaksi yang bertolak dari kebutuhan bersama» yang dikaitkan dengan upaya untuk mendapatkan tujuan atau hasil yang sama. Dengan azas ini sebetulnya seluruh interaksi sosial terjadi. Kerja sama nenurut pandangan psikologi, dilatar ' belakangi oleh ketergantungan, kasih sayang, simpati maupun identifikasi. Berbeda dengan kooperasi, maka oposisi bertolak dari perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, tujuan dan sebagainya, di antara warga masyarakat, dan seringkali diidentikkan dengan 'perjuangan' (struggle). Kimball Young (1942) membedakan oposisi menjadi kompetisi dengan konflik. Kompetisi merupakan bentuk oposisi yang 1lebih1lunak1, yang lebih menekankan tujuan pada mendapatkan 'hadiah' dan bukan pesaing itu sendiri. Sebaliknya, konflik lebih menekankan pada perjuangan mengalahkan pesaing itu sendiri (Selo Soemardjan dkk., 196/+, h. 185-208). Sedangkan akomodasi dan asimilasi merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat, yang dimaksudkan sebagai 'jalan keluar" atau 'pilihan', sebagai akibat terjadinya oposisi dalam masyarakat. Dengan cara ini, maka interaksi sosial menjadi lebih penuh
79
toleransi dan lebih menghemat energi. Sebaliknya akomodasi juga merupakan kondisi berupa persetujuan secara institutional, dimana warga masyarakat dan masyarakat setuju untuk mengambil sikap tertentu terhadap sesuatu aturan. . Kimball Toung (19*f2) menyebut kondisi itu sebagai pencerminan dari keseimbangan (equilibrium) antara individu dengan kelompok maupun dengan tatanan yang telah disetujui bersama. Perlu dikemukakan bahwa bentuk-bentuk interaksi tersebut di atas merupakan rangkaian (kontinum) yang silih berganti, dan merupakan ujud dari proses penyesuaian hidup bermasyarakat (social and life adjustment), yang berlaku bagi setiap warga masyarakat. Ramgkaian proses itu sendiri berlangsung sejak dari lingkungan kehidupan keluarga, kelembagaan, komunitas, masyarakat,^hingga lingkungan bangsa.Selama itu pula warga masyarakat yang lebih mapan (generasi tua) menggunakan kesempatan tersebut untuk mengkomunikasikan harapan-harapan sosial kepada generasi muda. Proses tersebut dikenal sebagai sosialisasi atau enkulturasi. Dalam proses sosialisasi atau >enkulturasi itu, generasi tua menyapaikan norma-norma, mores , folkway dan nilai. Menurut Sumner(1906),
selama
80
itu proses sosial yang sesungguhnya terjadi, dimana umat manusia bukan didesak untuk tunduk pada sesuatu filosofi atau etika besar yang datang dari luar, melain didorong untuk dapat hidup sesuai dengan kondisi nyata yang hidup. Dari menit ke menit setiap warga masyarakat dibiasakan dan didorong untuk melakukan tindakan yang merupakan 'satu bahasa*. Dan kebiasaan hidup seperti dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari , dan orang dipaksakan untuk hidup serasi dengan orang lain. Dengan cara itu orang mencoba untuk hidup benar dan betul. Dengan agak lengkap Sumner (1906) mengatakan: The real (social) process in great bodies o f men ia aet one of deduction from any ... great principle of phylosophy or ethics. It is one of minute efforts to live well under existing conditions, which efforts are repeated undefinitely by great numbers, getting strength from habit and the fellowship of united action. The resultant folkways become coercive, Ali are forced to conform^,and the folkways dominate the social life. Then they seem true and right, and arise in mores as the norm of welfare ... (Lindzey and Aronson,!, 1954, h. 511). Dalam proses interaksi itu warga baru belajar dari masyarakat ketrampilan, facta serta nilai, yang amat berguna bagi kehidupannya kelak dalam masyara kat, sehingga disebut juga 'social learning1. Namun sebenarnya dalam proses 'social learning1
terjadi
dua kegiatan yang serempak, yaitu 1personal-social
81
learning' dan 'cultural conditioning' (Klmball Toung, 1958, h. 118-119). 'Cultural conditioning' merupakan proses yang terjadi dalam masyarakat dan dimulai dari lingkungan keluarga, berupa kelakuan-kelakuan yang harus dilakukan anak, agar dapat diterima dalam pola
budaya
sesuatu masyarakat. Sementara itu setiap warga masyarakat saling berhubungan dengan mengikuti
cara -
cara, hak dan kewajiban dan sebagalnya, yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang disebut sebagai
1
per-
sonal-social learning'. Dengan begitu dapat dikata kan bahwa seluruh proses disebut sebagai
'persona1-
social and cultural learning', yang prosesnya dapat divisualisasikan, seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini. Pada gambar terlihat adanya satu faktor lagi yang harus diperhitungkan dalam proses sosial tersebut, yaitu perbedaan (differentiation), yang dapat dianggap sebagai karakteristik yang dimiliki
oleh
setiap individu sebagai warga masyarakat. Karakter ^ istik individual itu .bermula dari perbedaan . status biologis, seperti perbedaan jenis kelamin, umur dan sebagainya, yang termasuk dalam dimensi badani. Ketika karakteristik personal itu berhadapan dengan kenyataan hidup dalam masyarakat, berubahlah
82
menjadi karakteristik atau perbedaan status
status
sosial, yang membawa akibat pula pada perbedaan peranan. Yang dimaksudkan ialah perbedaan berupa . lapisan-lapisan masyarakat atau staratifikasl
sosial
dan spesialisasi dalam tugas. Dalam masyarakat yang mengenal kelas,
stratifikasi sosial itu dapat beru-
pa jenis-jenis kasta, kelas pekerja, kelas majikan, kelas menengah dan sebagainya. Sedangkan spesialisasi dalam tugas dapat berupa jenis-jenis tenaga kerja ataupun jenis tugas pekerjaan. Yang berkaitan dengan studi ini ialah
faktor
diferensiasi, yang berujud perbedaan usia , perbedaan jenis kelamin dan perbedaan tempat mendapat pen didikan SMA, Itu semua merupakan faktor karakteris tik individual, yang diperhitungkan dalam
proses
interaksi sosial. c. Fungsi Sosialisasi Seperti dikemukakan di muka, masyarakat memiliki mekanisme berupa proses sosial, yang dimaksudkan agar masyarakat dapat melanjutkan hidupnya (survive. Ini berarti bahwa terhadap generasi baru perlu dilancarkan berbagai upaya oleh generasi tua,
baik
dengan cara-cara langsung maupun simbolik, agar bisa
83
SodaUytton wtth tntJuctioo of new m«mt»» into «oclety «ad cutture. but it ta eonttmioua.
f
s
! 'i
•i sy 8P 5" >
P o' B)
\% m
r S§ * 3-Ht* 5C I si to
«aonirn» 7itej«jjtp jo «dnoij OMM)iq ooiitsjitipi^av
8if
tampil dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai dalam masyarakat, Edward Zigler maupun Irvln L. Child dalam tulisannya berjudul 'Sosializatlon' menekankan bahwa sosialisasi merupakan masalah praktis yang sudah kuno» dan sudah meresap dalam kehidupan umat menusia, yaitu bagaimana mengasuh anak-anak agar mereka menjadi warga masyarakat yang benar dalam masyarakatnya sendiri. Lengkapnya Zigler mengatakan sebagai berikut: Sosializatlon refers to a practical problem which ls old and pervasive ln human life the problem of how to rear children so that they wlll become adequate adult members of the society to which they belong. (Lindzey and Aronson, III, 1975, h, k50) Di sini yang ditekankan ialah pentingnya peranan pengasuhan anak, agar anak dapat menyesuaikan dengan tata nilai yang berlaku dalam . masyarakat. Jadi konformitas merupakan tujuan akhir dari proses sosialisasi. Baik C. Kluckhohn maupun H.A. Murray beranggapan bahwa proses sosialisasi itu sudah berjalan semenjak masa pengemongan (nursery), dan manakala si anak mulai bertindak sesuai dengan perilaku yang diharapkan orang tua, ini berarti sosialisasi telah membuahkan hasil (Skinner, ed., 1959, h. 291). Pendapat semacam itu mewakili aliran sosie talisme„ yang amat menekankan pada
pentingnya
85
faktor lingkungan sosial budaya, karena mereka mendasarkan pandangan pada anggapan bahwa proses sosialisasi tidak lain adalah proses transmisi kebudayaan (cultural transmission). Ternyata definisi Child tersebut menimbulkan kritik dari golongan develop mentaiisme, yang diwakili oleh pandangan-pandangan Maslow (1954), Yahuda (1955), Allport (1955) maupun Rogers (1951)* Mereka yang terakhir ini sangat menekankan perlunya aktualisasi diri (self-actualizat ion), karena berkeyakinan bahwa sosialisasi pada dasarnya merupakan proses untuk aktualisasi
diri
(Lindzey and Aronson, III, 1975* h. 472). Dengan demikian, sosialisasi dianggap berhasil kalau terjadi aktualisasi diri pada anak. Pada saat seorang anggota baru masyarakat masih tetap
telah itu dapat
mempertahankan sifat otonominya dalam badai tekanan pengaruh transaksional (transactional relationship), di mana seseorang individu masih mampu tampil dengan seluruh potensionalitasnya dalam rangka wadah lingkungan sosial budayanya. Disinilah perlunya kita konvergensi ,
menganut
aliran
yang nampaknya dapat memberikan pen-
jelasan mantap terhadap berbagai kecenderungan dalam proses sosial.Aliran ini antara lain diwakili oleh pemikir-pemikir Robert Brown (1965) dan Kohlberg
SG
(1966)| yang beranggapan bahwa proses
sosialisasi
tak dapat dipandang sebagai proses yang sederhana , tidak sekedar pengendalian atas dorongan alami (the control of impuls), atau perolehan nilai-nilai yang serasi dengan kaidah-kaidah (the acquisition of values conforming to norms) maupun internalisasi superego yang timbul dari orang tua (the internalizat^ ion ot parental superego). Sebaliknya kita tidak boleh memandang rendah peranan si anak sebagai
warga
baru masyarakat, karena mereka memiliki berbagai karakteristik intelektual dan persepsi, yang
-mampu
berinteraksi dengan berbagai faktor eksternal (Lindzey and Aronson, III, 1975f h. 465-^74). Aliran atau cara berfikir inilah yang akan melandasi studi ini. Oleh karenanya marilah kita terima batasan yang menganggap sosialisasi sebagai su~ atu istilah yang luas, yang mencakup proses seseorang individu mengembangkan
keseluruhan pola-pola
spesifik perilaku maupun pengalaman yang serasi
de-
ngan masyarakatnya, lewat transaksi dengan warga masyarakatnya. Menurut Zigler, dikatakan bahwa " ... socialization is a broad term for the whble process by which an individual develops, through transaction with other people, his specific patterns of socially relevant behavior and experience (Lindzey and Aronson
87 III, 1975, h . W ) . Untuk itu baiklah kita ikuti pendapat Wrong (1961) yang pada akhirnya berkesimpulan, bahwa pada dasarnya sosialisasi mempunyai dua wajah. Di fihak, sosialisasi merupakan peristiwa
satu
penyampaian
budaya atau prwarisan nilai-nilai luhur (transmission of the culture), tetapi di lain fihak, sosialsasi juga merupakan proses untuk menjadi
orang
(process of becoming human) (Idndzey and Aronson , III, 1975, h. /f?0). Dengan perkataan lain dapat dikatakan, bahwa sosialisasi sekaligus merupakan suatu proses untuk 'imposing conformity' dan 'facilitating self
actu-
alization'. Di satu fihak, sosialisasi bersifat negatif, di lain bersifat juga positif. Maksudnya adalah bahwa kepribadian anak telah dibentuk oleh lingkungan (ekologi), sekali gus juga diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan sementara itu " perlu difahami, bahwa sosialisasi berarti menekan dorongan-dorongan naluriah atau mengendalikannya,
juga
berarti menciptakan sesuatu yang baru, seperti "saling pengertian di antara sesama warga. Sejalan dengan adanya pengertian 1personalsocial and cultural learning*, dapat dibedakan pula pengertian-pengertian sosialisasi dan enkulturasi.
88
GAMBAR" ^ Konsep Sosialisasi Menurutt Pandangan Konvergensi
PANDANGAN KAUM SOSIETALIS •falter •Bandura
PANDANGAN KAUM DEVELOPMENTALIS •Maslov •Yahud» •Allfiort SOSIALISASI:
SOSIALISASI: •Tranoaiseion of the culture
•Procesa of beconlng human •Faeilitating sel f actualizatlon
*Isposing confomity
PANDANGAN KONVERGENSI Robert Wrong SOSIALISASI h
Traussission of the culture 'Imposlng confomity sekaligus «Process of beconing human •Faeilitating self-actualization
89
Sosialisasi dianggap berbeda dengan enkulturasi oleh Bandura dan Walter (1963)» karena sosialisasi meru pakan proses bagaimana anak harus tampil sejak dalam keluarga, agar kelak dapat tampil sesuai dengan ha rapan masyarakat, sebagaimana telah disosialisasikan. Sebaliknya dalam enkulturasi seorang dewasa
harus
menunjukkan bahwa seseorang tahu norma-norma
yang
berlaku dalam masyarakat budayanya (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 547).Selanjutnya bahkan Sarbin (1954) menekankan, bahwa sosialisasi hanya dengan penguasaan atas peran,
berkaitan
dan posisi yang diba-
wa sejak lahir (ascribed role and position), semen tara enkulturasi berkaitan dengan penguasaan peran
atas
dan posisi yang diperoleh (achieved role and
position).Ini tentu saja berkaitan dengan
bagaimana
seorang anak laki-laki misalnya, atau anak raja, seharusnya bertingkah laku dalam masyarakat,
karena
anak laki-laki ataupun anak raja merupakan
posisi
yang dibawa sejak lahir. Sementara itu kedudukan sebagai tukang semir sepatu atau sebagai dekan sesuatu fakultas, berkaitan dengan enkulturasi, sebab kedu dukan tersebut diperoleh dalam masyarakat (achieved). Rasanya lebih tepat kalau kita tidak memberikan pembedaan atas kedua proses sosial itu, sebab .i
» .
pengertian itu-tak d^pat dipisahkan. Seluruh nilai,
90
norma, keyakinan dan sebagainya yang diakui oleh masyarakat, . tidak lain merupakan sebagian ujud kebudayaan. Dan sebaliknya sesuatu kebudayaan tak
dapat
dilepaskan dari masyarakat pendukung kebudayaaniltu. Itulah sebabnya menurut Sutan Takdir, proses sosialisasi tidak hanya melibatkan nilai maupun norma hi dup sesuatu masyarakat, melainkan juga seluruh kom pleks hasil budaya manusia yang dihimpun oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya sosialisasi dianggap juga enkulturasi (Sutan Takdir Alisjahbana, 1974» h. 132). Anggapan yang demikian itu bukan Sutan Takdir yang pertama kali menyatakan, karena yang pertama kali beranggapan demikian adalah M.J, Herskovits (1948). Menurut dia, istilah enkul turasi lebih dapat mencakup pengertian yang . \ selama ini disebut sosialisasi (Selo Soemardjan, 1964, h. 192). Yang lebih berkaitan dengan studi ini di se kitar pengertian sosialisasi, ialah mengenai fungsi yang terkandung dalam pengertian tersebut. Yang dimaksud, ialah fungsi penyesuaian sosial (social adjustment) dan integrasi sosial (social integration), yang akan dijelaskan berikut ini%
91
d. Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis, yang hendak menangkap semua karakteristik
masing-^
masing warga masyarakat. Kita harus membedakan konsep integrasi sosial ini dari konsep ' kesatuan nasional* atau 'integrasi politik', yang merupakan konsep ilmu politik, untuk mengatasi akibat negatif dari masyarakat, baik dalam artian ideologi, budaya, etnis, ka wasan dan sebagainya (Ignas Kleden, 1985). Sementara itu kita juga mengenal konsep 'ke pribadian nasional', yang tak lain merupakan konsep politik juga, yang menggunakan tema-tema kebudayaan. Lebih-lebih konsep itu digunakan untuk menjawab per benturan arus kebudayaan asing, yang secara politik diartikan sebagai selalu berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu dilancarkan dalam rangka proses 'character and nation building'. Sebaliknya dengan integrasi sosial dimaksud kan sebagai proses yang datang dari dalam (immanent) pada setiap masyarakat, agar tetap survive, agar tidak terjadi centang perentang dalam tatanan masyarakat, atau agar tidak terjadi desintegrasi. Namun harus difahami, bahwa konsep integrasi sosial tidak mengandung arti suatu peleburan budaya, melainkan yang
92 penting adalah adanya keseimbangan (ekuilibrium). Ini berarti masih dibenarkan adanya keaneka ragaman, meski dalam suatu harmoni (serasi, selaras dan seimbang} Ini mengandung arti, dimungkinkan adanya atau munculnya pembaharuan-pembaharuan. Jadi, misalnya, dalam masyarakat yang terintegrasi masih dimungkinkan muncul manusia-manusia semacam 5udha Gautama, Sokrates, Mu hamad dan sebagainya, dan tidak dianggap sebagai pemberontak-pemberontak, melainkan sebagai pembawa kon- sep pembaharuan, yang berguna bagi kelangsungan.hidup (survive). Mekanisme yang disebut integrasi sosial tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekat*an. Pertama, konsep integrasi sosial tersebut
dapat
dijelaskan dengan psikologi Gestalt, seperti dikemu kakan oleh Wertheimer, KtJhler dan Koffka, Mereka memberi batasan psikologi Gestalt, sebagai sebuah kese luruhan yang karakternya tidak ditentukan oleh sifat komponen-komponennya, melainkan oleh karakter hakikat keseluruhan itu. Bagian-bagian dari keseluruhan
itu
tidak mempunyai arti, tanpa kaitan dalam keseluruhan, dan ditandai pula dengan berlangsungnya saling ber gantung. Bukan saja
antara komponen dengan keselu-
ruhan terjadi interaksi, melainkan-juga di
antara
komponen itu sendiri. Akibatnya kita tidak
dapat
93
memahami sesuatu bagian, yang dilepaskan dari keseluruhan. itulah hakikat integrasi (Sutan Takdir sjahbana, 1974»
Ali -
16-17).
Mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaskan dengan pengertian masyarakat sebagai sistem. Seperti dikemukakan pada pembahasan interaksi sosial di depan, masyarakat merupakan jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub sistem sosial, mempunyai posisi serta status tertentu dalam keseluruhan, sehingga masing-masing juga mempunyai peranan dan
penampilan
yang telah dipolakan, sesuai dengan harapan-harapan sosial. Dan karena setiap^masyarakat mempunyai tujuan, warga masyarakat juga terikat oleh tujuan yang sama pula, dan terikat pula pada nilai yang
sama.
Meskipun demikian masyarakat juga merupakan
sistem
yang terbuka, maka selalu terbuka bagi proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Terakhir kali, mekanisme yang integratif itu dapat dijelaskan dengan konsep sosiologi. Para ahli sosiologi beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan sebagai manusia (human), melainkan harus melewati lebih dahulu proses interaksi dengan orang lain maupun lingkungan. Proses itulah yang disebut sosialisasi James A. Banks, 1977, h. 2M)-250)* Lebih jelas dikatakan bahwa "People are not born human, but
are
94 made human by interacting with the persons in
their
environment" (Sociologist). Lewat sosialisasi
itu
terjadilah mekanisme menuju interdipendensi (saling . ketergantungan) di antara sesama warga masyarakat « Karena mereka merasa saling membutuhkan, perlu
merekapun
saling membantu dan bekerja sama, sampai
me-
rekapun merasa puas. Mekanisme yang terjadi itu
da-
pat digambarkan secara skematik seperti Gambar 5 berikut ini (James A. Banks, 1977, h. 250). GAMBAR 5. Konsep Sosiologi Mengenai Sosialisasi NILAI SOSIALISASI
NORMA
PERANAN
SANKSI I
LEMBAGA
2! g W U ** K K d M a CO
KOMUNITAS )ijtm MASYARAKAT
Skema tersebut di atas dapat dijelaskan dengan cara.berikut. Lewat sosialisasi, warga baru masyarakat memperoleh nilai serta norma, yang diyakini dipergunakan bagi kehidupan dalam masyarakat, v
dan
agar
mereka dapat memainkan peranan masing-masing sesuai
95 dengan harapan-harapan sosial. Selama masa sosialisasi itu berlangsung, .na-r* syarakat memberlakukan sistem ganjaran ataupun siksa yang dikenal dengan nama sanksi, dan diberikan kepada varga masyarakat, Pemberian sanksi tersebut terjadi pada segala lapisan.maupun sub masyarakat.
Meka-
nisme itu dikenal sebagai kontrol sosial, yang dimaksud untuk mendisiplinkan masyarakat, agar dapat hidup sesuai dengan kelakuan kolektif. Dengan kata lain, diharapkan dengan begitu setiap individu, dapat hidup dengan bertanggung javab sebagai varga masyarakat. Dengan cara-cara tersebut di atas, warga syarakat dapat memainkan peran
^ma-
sosial meeeka sesuai
dengan harapan-harapan sosial. Peran
yang harus dimainkan itu berbeda-beda
sesuai dengan status-dan posisi dalam
kelembagaan
tertentu, seperti lembaga ekonomi, politik, pendidikan, kepemudaan dan sebagainya, yang terdapat
dalam
sesuatu komunitas. Sebetulnya interaksi yang
dirasa-
kan nyata ada, justru terletak pada tingkat : lembaga ini. Sedangkan pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi seperti komunitas maupun masyarakat, interaksi
itu
lebih bersifat abstrak. Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati sesuatu kawasan tertentu,
dan
96 antara para warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan, sehingga membentuk suatu keteraturan. Keter. atruran itu terjadi, karena seluruh unit dalam sistem itu tunduk pada norma dan nilai tertentu. Apa yang dapat ditangkap dari seluruh mekanisme . yang bernama sosialisasi itu, ialah kesimpulan bahwa seluruh sistem sosial itu terjalin dalam suatu keterikatan yang bernama saling ketergantungan
atau
interdependensi. Dan hal itu merupakan bukti adanya "proses penyesuaian diri yang terus-menerus dari warga masyarakat, sehingga integrasi sosial diharapkan akan terjadi .
Konformitas
Dari pembicaraan mengenai proses-proses sosial di depan, sudah disebut-sebut mengenai
kecen-
derungan ketundukan warga masyarakat terhadap polapola kelakuan kolektif atau kesesuaian kelakuan dengan harapan-harapan sosial. Dengan kata yang lebih padu dapat dinyatakan, bahwa itulah yang disebut sebagai konformitas. Kecenderungan itu timbul karena adanya tekanan dari kelompok terhadap warga sesuatu kelompok, dan warga kelompok itu cenderung • untuk_ 'takut salah' atau^ 'being out of step' dengan
97
kelompok. Jadi, manakala seseorang individu dituntut untuk menyatakan pendapat mengenai sesuatu isyu, sedang dia merasa berkepentingan terfradap masalah atau isyu tersebut, maka yang timbul ialah situasi konflik. Dan dalam menghadapi situasi konflik semacam itu, hanya ada dua pilihan : atau dia harus menyatakan pendapat atau pertimbangannya secara menyimpang dari pola-pola kolektif, atau dia harus menyatakannya serasi dengan pertimbangan umum. Kalau kemungkinan yang
pertama
yang terjadi, orang tersebut disebut mandiri
dari
kungkungan konsensus umum. Sebaliknya, kalau dia memilih kemungkinan yang kedua, orang tersebut disebut konform dengan harapan-harapan sasial (Krech et al., 1962, h. 206). Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa konformitas merupakan gejala kepasrahan diri warga ma syarakat terhadap tekanan sesuatu kelompok, yang terlihat pada pertimbangan (judgment) atau (action). Konformitas itu terlihat dari ;;
tindakan-' perbedaan
dalam pertimbangan mengenai sesuatu isyu dari diri orang tersebut dengan yang datang dari kelompok. Makin besar perbedaan dalam pertimbangan atau penilaian yang ada, makin sulit konformitas itu terjadi. Itu berarti, bahwastingkat kemandirian (otonomi)
98 orang tersebut makin besar. Dan keadaan yang demikian itu dapat menjurus pada terjadinya nonkonformitas dalam masyarakat, dengan acuan nilai tertentu. Kecenderungan-ti*bulnya,konformitas itu telah dimulai sejak dalam lingkungan kehidupan keluarga. Menurut Margaret Mead misalnya, anak-anak sebagai generasi baru, tumbuh tanpa adanya sesuatu model, hingga segala pengalaman orang tua maupun kakak-kakak mereka, dianggap sebagai model dan pedoman. Seolah-olah tanpa adanya alternatif lain, anak-anak tunduk pasrah (konform) dalam tata nilai yang berlaku dalam keluarga (Rilda Taba, 1962, h. 55). Dalam masyarakat urban, akibat terjadinya
mo-
bilitas sosial, terjadilah perubahan peranan keluarga dalam proses sosialisasi maupun pendidikan.
Sejala
yang nampak, ialah merosotnya peranan keluarga , dan untuk sebagian digantikan oleh lembaga sekolah maupun kelembagaan.lain di luar keluarga. Sementara itu ti dak dapat dipungkiri.bahwa lembaga sekolah merupakan hasil kelas sosial yang dominan. Dan tidak pula boleh dilupakan, bahwa sekolah merupakan hasil dari generasi tua, sehingga pada tahapan inipun untuk kesekian kalinya, anak-anak harus konform dengan lembaga-lembaga itu. Dan ketika anak-anak kemudian harus berinter-
99
aksi dengan masyarakat yang lebih luas, mereka berhadapan pala dengan tata nilai maupun norma yang lebih mapan. Sekali lagi mereka harus menunjukkan konformitasnya, lebih-lebih kalau mereka harus memasuki masyarakat yang bersifat paternalistik, seperti masyarakat Indonesia. Gejala semacam itu dapat dijelaskan dengan memakai hasil berbagal studi mengenai konformitas. Mi salnya,bagaimana peranan keluarga terhadap : kecenderungan afiliasi politik,telah dilakukan oleh Lazarsfeld, Bereson dan Gandet di Ohlo< (19Mt)« Hasilnya ternyata menunjukkan konformitas yang tinggi (Krech et al., 1962. h. 195). Studi Asch (1955) menemukan banyak hal di sekitar kecenderungan konformitas, antara lain menemukan bahva pnakgadis cenderung lebih konform dari
pada
anak-laki-laki. Makin tinggi kecerdasan anak, makin cenderung tidak konform. Makin rendah self-esteem dimiliki seseorang, makin cenderung untuk konform dengan lingkungan. Selanjutnya diketahui pula sejumlah kemungkinan alasan yang melatar belakangi terjadinya konformitas itu, ialah : agar dapat menyenangkan mayoritas orang dan menghindari antagonisme dengan orang banyak. Itu yang pertama. Tang kedua, sebab kelakuan itu dapat
100
dicari pada masak akal atau tidaknya kelakuan itu, misalnya berkendaraan di sisi kanan pada jalanan di Amerika Serikat untuk menghindari kecelakaan
lalu
lintas. Sebab ketiga yang memungkinkan orang cenderung konform dengan kelakuan umum, ialah ketundukan pada kerangka acuan tertentu. Misalnya, sejumlah wisatawan akan mengikuti kelakuan ahli
antropologi
yang menundukkan kepala pada pribumi yang mengenakan pakaian tertentu (Mark R, Rosenzweig, 1973, h. 66), Dengan berbagai kecenderungan tersebut dapatlah kemudian dlkemukakan sebuah batasan yang relevan mengenai konformitas tersebut, yang berbunyi : "Conformity is a change in a person1 s opinions or behav:ior as a result of real or imagined pressure
from
another person or a group", menurut Rosenzweig. Sementara itu dari kaca mata psikologi dapat dibedakan dua jenis konformitas, yaitu yang
satu
konformitas 'pura-pura', dan yang lain konformitas 'sesungguhnya'. Dalam bahasa aslinya disebut 'expedient» conforming dan 'true* conforming. Disebut konformitas 'pura-pura', kalau konformitas itu hanya lahiriah saja, sedangkan batinnya tetap tidak sejalan dengan kelompok. Sedang konformitas 'sesungguhnya' digunakan untuk konformitas yang baik lahir maupun batin (Krech et al., 1962, h. 506),
lOi
Masih menggunakan kaca mata psikologi, dapat kita ikuti studi Kelman (1961) mengenai latar belakang yang mendasari kecenderungan terjadinya konformitas. Menurut Kelman ada tiga jenis
konformitas
berdasarkan latar belakang yang mendasarinya, yaitu compliance, Identification dan intemalizatlon. •Compliance' merupakan istilah lain untuk kata 'expedient'. Tang dimaksudkan ialah penampilan seseorang, baik berupa kelakuan maupun
pernyataan
yang hanya dilandasi oleh kehendak memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Orang tersebut kemudian menunjukkan ketundukan dan kepatuhan terhadap kemauan umum. Namun manakala harapan akan ganjaran tidak lagi ada, dan ancaman hukuman itupun tidak ada, maka orang itu kembali menunjukkan ketidak
patuhannya.
Dengan perkataan lain penampilan ini merupakan kepatuhan yang 'pura-pura', yang berbeda antara yang lar-. hir dan yang batin. Sedangkan 'identification' merupakan penampilan seseorang yang menurut Kelman " ... refers to a level o f social influence based upon the individual's desire to be like the influencer". Di sini penampilan tersebut sama sekali tidak dilatar
bela-
kangi kehendak mendapatkan ganjaran dan menghindari hukuman, melainkan semata-mata karena ingin menjadi
102
seperti model yang dikehendakinya. Sekali lagi, ini merupakan gejala ketundukan pada kerangka acuan yang relevan.(a frame of reference). Jenis konformitas, terjadi'sebagai identifikasi, yang merupakan tingkatan pengaruh yang paling permanen yang datang dari masyarakat. Akibatnya, nilai dan sikap tertanam dan mempribadi dalam diri setiap individu, karena dianggap benar oleh individu tersebut. Penampilan semacam itu mempermudah terjadinya integrasi dalam tata nilai mapan ( Mark R. Rosenzweig, 1973»
68-69).
Terlepas dari pandangan yang menitik beratkan pada faktor internal kejiwaan tadi, seperti dikemukakan pada awal uraian-mengenai proses interaksi sosial, konformitas merupakan gejala sosial yang ter jadi sebagal akibat hubungan antar manusia (interpersonal). Dikatakan di muka, bahwa dalam interaksi tersebut, warga baru akan melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan (social adjustment), sesuai dengan harapan-harapan sosial yang telah dikomunikasikan . Itu berarti, bahwa kelompok memaksakan kehendak agar warga baru mau hidup serasi (konform) dengan tata nilai yang berlaku. Dan kalau proses penyesuaian itu tidak membuahkan konformitas, masyarakat atau kelompok akan memberikan sanksi, untuk menghindari
ter-
103
jadinya masalah-masalah sosial, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan sosial yang menyimpang dari
tata
nilai yang berlaku. Menurut Robert K. Merton (1949)» ada lima jenis kemungkinan sifat peaampilanrwarga
masyarakat
dalam kaitannya dengan integrasi sosial,
yaitu ;
1). konformitas, 2), Inovasi, 3)* ritualisme, 4)* retritlsme, dan 5)» rebeli. Pada konformitas. anggota masyarakat tata nilai dan budaya masyarakat sebagal tata nilai dan budaya sendiri, lengkap
de&gan
seluruh kelembagaannya. Pada inovasi, masyarakat menerima tata nilai dan budaya, namun menolak kelembagaan yang ada. Sedangkan dengan ritualisme, dlmak sudkan suatu gejala dimana anggota masyarakat hanya menerima tata-cara kelembagaan yang ada, namun sebenarnya menolak hakekat nilai serta budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dan manakala varga masyara kat menolak kedua-duanya, baik tata nilai,
budaya,
maupun kelembagaannya, disebut retritlsme.
Dalam
praktek, retritlsme bisa muncul dalam bentuk kemunafikan aaupun apatisme, yaitu manakala warga masyarakat berpura-pura menerima tata nilai dan budaya, ataupun barangkali sama sekali masa bodoh akan ada atau tidaknya tata nilai tersebut. Akhirnya,
warga
masyarakat mungkin menunjukkan penampilan yang tak
lOlf serasi dengan tata nilai serta budaya yang
berlaku
dalam masyarakat, dengan sikap maupun kelakuan yang melavan tata nilai dan budaya tersebut, dan L tidak sekedar melarikan diri dari kenyataan hidup.(retritisme). Kemungkian yang terakhir ini dikenali dengan sebutan rebeli (pemberontakan) (S,Te Alisjahbana, 1974, h. 145). Mungkin terlamapu jauh Alisjahbana mengartikan pengertian kepasrahan diri terhadap tata mapan itu sebagai kepasrahan Budha Gautama
nilai
kepada.
Dewai. Mungkin benar pendapat tersebut, kalau
hal
yang dimaksud adalah kepasrahan Sang Budha Gaut«uur kepada kepentingan umum, meski harus mengorbankan kepentingan diri pribadi. Gejala tersebut harus di lihat sebagai keikut sertaan warga masyarakat mempunyai tanggung jawab bagi
yang
kepentingan umum, ya-
itu integrasi sosial.
f. Paradigma Masyarakat
Sampailah kita sekarang pada ketetapan untuk melihat masyarakat sebagai apa, setelah
mengikuti
uraian mengenai berbagai gejala berkaitan dengan masyarakat. Kepastian dalam memandang masyarakat
ini
akan memberikan kemudahan bagi kita dalam memberikan
105 penilaian terhadap berbagai gejala yang bakal muncul dalam studi yang dilakukan ini. Disamping itu
juga
persepsi mengenai masyarakat tersebut, akan memberikan kemufakatan atau kesatu bahasaan dalam menggunakan konsep-konsep sosial dalam menganalisis berbagal kecenderungan yang muncul dalam studi. Di perlunya kita menyetujui suatu paradigma
sinilah mengenai
masyarakat dalam kaitan dengan studi ini. Mula-mula^ masyarakat harus dipandang sebagai sistem, yang antara warganya diikat oleh suatu saling hubungan yang tak terpisahkan, dalam suatu
keseim-
bangan* Masyarakat bukan sekedar sebagai "a set
of
interrelated elemen ts11 atau Ha set o f interdependent variables", melainkan suatu "homeostatic interrelated system". Ini berarti, bahwa mula-mula masyarakat adalah sekelompok manusia, yang diabstraksikan dari kenyataan-kenyataan
fenomenologik, dan yang terdiri
dari * a set of interdependent (social) variables'. Sebagai suatu sistem maka masyarakat terdiri
dari
sub-sub sistem, yang memiliki status, posisi, kepentingan serta peranan tertentu, namun baru mempunyai makna dalam ikatan keseluruhan yang padu. Interaksi yang terdapat dalam sistem tersebut, bukan
hanya
berlangsung di antara individu dengan individu, namun juga di antara individu dengan kelompok dan di
106 antara kelompok dengan kelompok. Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa
masing-
masing sub sistem atau komponen dalam masyarakat aeraskan kebutuhan untuk tetap dalam kesatuan, karena masing-masing sub sistem hanya mempunyai arti kalau dalam Ikatan kebersamaan. Hal tersebut terjadi karena sebagai sistem, masyarakat mempunyai tujuan yang dirasakan bersama, sehingga untuk mencapai
tujuan
bersama tersebut terbentuklah pola hubungan
saling
membutuhkan (social pattern of mutual helpfulness). Dengan cara itu masing-masing merasakan kepuasan bersama (mutual satisfactory), namun mereka masih tetap merasa saling bergantung satu sama lain (interdependensi ) • Selama interaksi berlangsung, oleh karena masing-masing warga masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka yang terjadi adalah rangkaian konflik, kompetisi, kerja sama dan akomodasi, dan disusul kembali dengan konflik, kompetisi, kerja sama dan akomodasi. Sehingga terjadilah apa yang dikenal sebagai rangkaian adaptasi sosial, karena akomodasi sendiri merupakan "... the adjustment of hostile individuals or groups". Itulah sebabnya masyarakat sebagai suatu totalitas merupakan
suatu
•stable inner equilib^ium,, suatu keseimbangan yang
107 datang dari dalam yang telah mantap. Yang ke dua, masyarakat harus dipandang sebagal cara-cara untuk terjadinya konformitas, dan sementara Itu merupakan sistem nilai, atau dengan kata lain dapat dikatakan, bahva masyarakat merupakan suatu "modes of conformity, and normative system of values". Sejak awal sudah diuraikan mengenai proses sosialisasi yang dimulai sejak dari lingkungan keluarga, ketika anak-anak harus melakukan adaptasi
dan
penerimaan terhadap tata nilai serta norma yang ber laku dalam keluarga. Itu berarti, bahwa anak-anak sebagai warga baru kelompok atau masyarakat
diharapkan
dapat konform dengan tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem nilai yang normatif, maka masyarakat juga mengenal adanya sanksi, seperti dikemukakan di depan. Cara tersebut berguna
agar supaya
setiap warga masyarakat bisa bertingkah laku dan tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial yang
telah
dikomunikasikan selama masa sosialisasi. Yang dimaksud dengan nilai, ialah bagian dari kebudayaan
yang
berupa keyakinan yang mengikat warga masyarakat
me-
ngenai baik dan buruk, benar dan tidak benar. Nilai tersebut dimanifestasikan dalam bentuk norma, kebiasaan, sanksi dan sebagalnya dalam kehidupan (James A.
108 Banks, 1977, h. 240-250). Paradigma ke tiga, ialah bahwa masyarakat me rupakan pola-pola bagi integrasi sosial maupun sosi alisasi, yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah "patterns of associatioa and socialization", Kecende*rungan proses sosial yang bersifat asosiatif atau integratif dapat kita lihat pada
Gambar
2
mengenai
Basic Social Processes. Sedangkan kecenderungan aasyarakat sebagai pola sosialisasi terlihat pula pada Gambar 3 mengenai Konsep Sosiologi Mengenai Sosialisasi. Pada Basic Sosial Processes terlihat,
bahwa ,
proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat meru pakan rangkaian kompetisi, konflik, kerja sama sampai akomodasi, yang tidak lain merupakan rangkaian proses yang bersifat asosiatif, yaitu proses menuju integrasi sosial. Seperti diuraikan di depan, akomodasi merupakan upaya sementara untuk mengatasi
perbedaan
ataupun kondisi ketidak serasian yang terjadi dalam masyarakat selama proses interaksi sosial yang terjadi. Dengan kata lain juga dikatakan sebagai
" the
adjustment of hostile individuals or groups". Dan siapapun tahu bahwa penyesuaian sosial merupakan proses asosiatif. Pada Gambar 3 terlihat betapa proses sosiali-
109
sasl Berupakan mekanisme sosial yang telah dipolakan di dalam masyarakat. Seperti kita ketahui , dalam pola tersebut anak-anak mula-mula diperkenalkan dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selain itu masyarakat juga menyediakan sistem sanksi yang dikenakan bagi warga masyarakat yang dianggap tidak mengikuti nilai dan norma yang berlaku. Proses semacam itu dimaksudkan agar warga masyarakat, termasuk generasi muda sebagai warga baru, dapat
memainkan
peran sosialnya sesuai dengan harapan-harapan sosial yang selalu dikomunikasikan dalam setiap interaksi sosial yang ada.
3. Sosialisasi Sebagal Proses Pendidikan Sosialisasi tak dapat dipisahkan dari proses pendidikan, karena pendidikan merupakan bentuk interaksi sosial yang menyandang fungsi sosialisasi. Oleh karenanya dipandang perlu untuk memberikan uraian tersendiri mengenai fungsi-fungsi pendidikan dalam kaitan dengan studi ini, lebih-lebih karena studi ini berada dalam lingkup pendidikan. Ada tiga fungsi pendidikan yang dikenal, oleh
1X0
amat manusia bagi kepentingan umat manusia itu sendiri, seperti yang diyakini oleh ketiga aliran pendidikan yang ada. Berturut-turut ketiganya akan diuraikan di bawah ini, a. Pendidikan Sebagai Proses Pewarisan Budaya Para pendukung teori yang menyatakan
bahwa
pendidikan berfungsi sebagai proses pewarisan budaya, menyatakan bahwa sesuatu kebudayaan
memiliki
akar pada kehidupan masa lampau. Oleh karenanya kelangsungan sesuatu kebudayaan hanya dapat
terjadi
kalau pendidikan mengambil peranan sebagai penyampai seluruh nilai maupun keyakinan yang telah mapan, kepada generasi baru. Dalam masyarakat Barat
sekali»
pun, yang dinilai sudah meninggalkan alam tradisionalisme, masih berkembang anggapan semacam itu (Hilda Taba, 1962, h. 19).'The Harvard Keport on General Education* merupakan salah satu bukti betapa perlunya perlindungan terhadap tradisi dan menjaganya dari akar masa lampau. Para pendukung aliran rasionalis humanis dan klasik humanis dalam pendidikan, seperti Hutchins (1936), Adler serta Mayer (1958), beranggapan bahwa fungsi pendidikan harus dilihat dalam kaitannya
111
dengan konsep tentang hakekat manusia, yang berciri pada rasionalisme. Menurut mereka, dunia ini hanya dapat difahami oleh rasio manusia, sehingga
dengan
demikiaii pendidikan harus berfungsi menanamkan kecerdasan, menurut Hutchins. Dengan sendirinya dapat difahami kalau gram-program pendidikan harus pula berinti
pro-
pada
•liberal arts' dan 'humanities', menurut Brubacher (1950). Dengan perkataan lain, pendidikan harus berfungsi sebagai 'liberalizing education1, dan diperuntukkan bagi siapa saja,.tanpa kecuali. Dan selanjutnya setiap orang harus menerima konsep, bahwa kebenaran harus diwariskan kepada generasi berikutnya karena kebenaran bersifat universal.
b. Pendidikan Sebagai Perangkat Transformasi Kebudayaan Ada pandangan lain yang sungguh bertentangan dengan pandangan yang terdahulu, dalam memahami peranan pendidikan bagi umat menusia, Pandangan yang ke dua ini beranggapan bahwa . pendidikan sesungguhnya memiliki fungsi yang lebih kreatif dalam menentukan dan pembentukan kebudayaan. Berdasarkan pengalaman yang ada di Amerika
112
Serikat, Horace Mann berkesimpulan, bahwa pendidikan harus dipandang sebagal sarana untuk menghadapi berv bagai masalah yang dihadapi sesuatu masyarakat.
De-
ngan perkataan lain, pendidikan harus dipandang sebagai sarna bagi rekonstruksi sosial yang dikehendaki masyarakat itu. Lalu muncullah John Dewey (1929) » yang beranggapan bahwa dalam proses tersebut terjadilah terus-menerus proses penyusunan kekuatan pada masing-masing individu, dengan membulatkan kesadaran , pembentukan kebiasaan hidup, mewujudkan gagasan yang dimiliki, memupuk perasaan dan emosi, dan seterusnya (Hllda Taba, 1962, h. 23). Nyatalah di sini, bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial, baik dengan perombakan bertahap lewat pembentukan pengertian pada generasi muda, maupun dengan rekonstruksi yang terencana. Di sini terlihat adanya tiga hal penting, yaitu bahwa : 1). disamping kemampuan intelektual, maka pen didikan harus mampu membangkitkan tanggung jawab untuk melatih diri dalam tata nilai maupun loyalitas budaya 2) pendidikan harus mengambil peranan proses perubahan sosial dan mengikuti gerak perubahan 3). pendidikan itu bersangkut paut dengan moral atau pertimbangan nilai (Hilda Taba, 1962, h. 25).
113 c. Pendidikan Untuk Pengembangan Orang seorang
John Deweylah yang antara lain menegaskan pula betapa pendidikan berfungsi pula sebagai
sarana
untuk mengembangkan kreativitas orang-seorang (individual). Ini berarti bahwa pendidikan dianggap memberi kesempatan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi pun memberikan peluang bagi upaya menyatakan (self-realization), baik dalam bidang
mau-
diri
intelektual
maupun emosi. Secara lebih ekstrim, pendidikan dengan demikian diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk seluruh anak untuk tumbuh menjadi anak yang
unik.
Nyata sekali aliran yang ke tiga ini sangat
sesuai
bagi sistem sosial yang liberal;dan individualistik, karena generasi muda diberikan kebebasan untuk
me-
ngambangkan kemandirian orang-seorang. Dalam kenyataan, ketiga fungsi pendidikan itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena ketiganya seperti berjalan secara simultan
da-
lam konsep pendidikan yang dimaksudkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1983 di Indonesia, yang merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Republik Indonesia. Di sana tercantum
114
rumusan tujuan pendidikan yang mencakup ketiga fungsi tersebut, yaitu tidak saja sebagai sarana bagi proses pelestarian budaya, melainkan juga sebagai sarana pengembangan potensial orang-seorang , yang bermanfaat bagi pembangunan diri sendiri dan bangsanya. Dengan singkat dapat dinyatakan, babva Tujuan Pendidikan Indonesia berdasarkan TAP MPR 1983
itu
mencakup enam sasaran, yaitu : 1). meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Tang Maha Esa, 2). meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan, 3). mempertinggi budi pekerti, if). memperkuat kepribadian, 5). mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dan 6). menumbuhkan manusia-manusia pembangunan, yang dapat membangun dirinya dan bangsanya. d. Hubungan Pendidikan Dengan Sosialisasi Dengan memandang pada konsep-konsep pendidikan yang dikemukakan di muka, konsep pendidikan yang digunakan sebagai landasan pendidikan di Indonesia, maupun konsep-konsep mengenai sosialisasi yang dikemukakan di depan, dapatlah diambil kesimpulan mengenai hubungan antara pendidikan dengan sosialisasi .
115 Memandang sesuatu gejala secara sefihak
nampaknya
tidak bakal memberikan kepuasan secara memuaskan dalam memberikan makna terhadap gejala tersebut. Demikian pula dalam mencari tahu mengenai konsep pendi dikan maupun sosialisasi. Sementara itu pengalaman mengajarkan
kepada
kita betapa pendekatan konvergensi terhadap berbagai pendapat mengenai kecenderungan atau gejala
sosial,
memberikan kejelasan secara lebih baik mengenai konsep-konsep tersebut. Dan sikap semacam itu dianggap paling cocok untuk melandasi cara kerja studi ini. Dalam kenyataan pengertian mengenal pendidikan maupun sosialisasi tidak dapat dijelaskan secara simplistik dengan hanya memberikan penafsiran yang hitam putih atau dlkhotomis saja. Kalau kita perhatikan akan kita lihat, bahwa rumusan mengenai pendidikan seperti dimaksud dalam GBHN tersebut menunjukan sifat yang konvergen pula. Di sana terdapat fungsi penguasaan atas se jumlah fakta (mastery of certain facts). Hal tersebut sesuai dengan pandangan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi melestarikan dan mewariskan ke-? budayaan atau 'preserver and transmitter of
the
cultural heritage'. Dalam GBHN 1983 terdapat misalnya, :
1X6 "... pendidikan berdasarkan Pancasila . "... meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan ..." ",,. meningkatkan kecerdasan •.•" "... memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air ..." (GBHN IV, 1983) Di sana juga terdapat tujuan untuk mentransformasikan kebudayaan guna pembangunan masyarakat atau 'instrument for transforming culture', seperti yang tertera pada GBHN IV berikut ini : "... menumbuhkan manusia-manusia pembangunan.." .. memperkuat kepribadian ..." "... dapat membangun dirinya ..." "... bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan ..." (GBHN IV, 1983) Juga di sana terdapat ungkapan-ungkapan me ngenai fungsi pengembangan kemampuan orang-seorang guna menyatakan diri atau 'instrument for individual development', seperti yang tertera pada contoh berikut ini pada GBHN IV : "... meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan.." "... memperkuat kepribadian ..." "... dapat membangun dirinya ..." GBHN IV,1983) Ternyata sebagian fungsi pendidikan yang termaktub tersebut adalah menjalankan fungsi sosialisasi, yaitu mempersiapkan warga masyarakat (terutama yang baru datang) untuk dapat melaksanakan peranperan sosial mereka sesuai dengan harapan-harapan
117
sosial yang ada. Harus kita ketahui, bahwa dari proses pendidikan, baik secara formal maupun tidak formal, manusia memperoleh berbagai manfaat, yaitu : penguasaan atas sejumlah fakta dan pengetahuan (mastery of certain facts), kaidah-kaidah kelompok (mores of the group), dan cara-cara penyesuaian sosial
(social
technique of adjustment), menurut Olsen (1945) dalam •School and Community» (Skinner, 1974»
308)«
Tang dimaksud dengan penguasaan sejumlah fakta di sini, tentu saja meliputi seluruh warisan bu daya umat manusia, yang mencakup ilmu pengetahuan , teknologi, maupun tata nilai. Ini merupakan bagian yang bersifat kognitif dari kekayaan budaya manusia, maupun berupa ketrampilan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup* Selanjutnya, anak-anak juga mendapatkan dari pendidikan sejumlah pengalaman dan keyakinan menge nal mana-mana yang dianggap baik, dan mana-mana yang dianggap tidak baik, mana-mana yang boleh dilakukan, dan mana-mana yang tidak boleh dilakukan. Seluruh pengalaman itu diperoleh dari kebiasaan maupun peraturan yang dibuat oleh masyarakat. Dengan demikian anak anak diharapkan menjadi sadar akan segala perilaku yang dilakukan, serta dapat memainkan peran sosial
118
mereka dangau baik, dan Menghindari tindakan tercela karena mengetahui berbagai sanksi yang dikenakan bagi, para pelanggar aturan sosial. Dari pendidikan anak-anak tidak hanya «endapat pengetahuan maupun kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, melainkan juga eara-eara bagaimana menyesuaikan dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya. Cara-cara penyesuaian diri itu tidak hanya menyang, kut pergaulan antara individu dengan individu, melainkan juga dalam pergaulan dengan kelompok, di dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih rumit» Yang dimaksud di sini tentu saja segala segala pengalaman warga masyarakat terdahulu yang mampu dan sukses dalam pergaulan masyarakat* Dari uraian di depan jelas sudah bahwa fungsi sosialisasi merupakan bagian dari fungsi pendidikan. Ini berarti bahwa dengan melaksanakan proses pendi dlkan di sekolah, misalnya, fungsi sosialisasi telah berlangsung. Sosialisasi Sebagai Role Learning Menurut Shakespeare : "Ali the world's a stage, and all the aen and women merely players Ini berarti, bahwa seseorang hanya mempunyai arti
119
dalam kaitannya dengan drama masyarakat, yang ikut dimainkannya dengan jalan mengambil bagian
sebagai
pemain. Dengan kata lain, dia ikut memainkan peran dalam drama kehidupan itu. Untuk dapat memainkan peran sebagai aktor yang baik, tentu saja setiap pamain harus membawakan perannya sesuai dengan paaisi yang diduduki dalam drama tersebut. Dan agar penampilannya dapat tepat dan sesuai dengan skenario yang dikehendaki oleh drama itu sendiri, pemain tersebut harus pula melakukan latihan serta upaya penyesuaian dengan tata aturan permainan serta skenario yang dikehendaki olah drama itu. Seluruh peribaratan dalam dunia drama
terse-
but dimaksudkan untuk mempermudah memberikan penje lasan mengenai teori peran (role theory), dalam upaya memberi dasar teoritik studi ini. Cara semacampun biasa dilakukan oleh Theodore 2. Sarbin (1952) dalam mengemukakan Role Theory-nya. Di dalam Studi Sosial, anafc-anak dilatih un tuk menghadapi masalah-masalah sosial, sebelum menghadapinya kelak dan melakukan tindakan yang
tepat
dan jitu berbagai masalah sosial tersebut, dan kemudian melakukan sesuatu keputusan setelah melakukan berbagai pertimbangan. Kualitas dan kemampuan semacam itu, dikenal sebagai 'intelllgent social actor*
120
dalam Studi Sosial, Dengari begitu kemampuan yang diharapkan dari latihan-latihan program Studi
Sosial
ialah agar anak dapat tampil secara cerdas
atau
• can act ifttellegently1 (James A, Banks, 1977, h.
10-12), Secara tidak resmi (informal), program latihan bagi anak sebagai warga baru sesuatu kelompok manusia, telah dimulai sejak dalam keluarga,
dengan
nama sosialisasi atau 'social leaming1, tergantung dari sudut mana kegiatan itu ditinjau. Dengan proses sosialisasi tersebut, seperti berkali-kali dinyata kan di depan, warga baru belajar untuk dapat tampil sesuai dengan harapan-harapan sosial, sesuai dengan kedudukan mereka dalam masyarakat. Pada bagian
ini
akan dikemukakan konsep-konsep sosiologi maupun psikologi sosial mengenai status, posisi, maupun peran, untuk memberikan landasan teoritik bagi studi ini,
a. Peranan Pola-pola Masyarakat Sudah dikemukakan di depan, betapa kehidupan masyarakat tergantung pada ada tidaknya pola tingkah laku sosial, yang terbentuk dari hubungan timbal balik antar personal ataupun antar kelompok. Posisi posisi yang terjadi karena hubungan timbal balik itu
121 disebut sebagal status. Dapat dlfahami kalau dikatakan, bahva dengan begitu setiap individu dapat mem punyai lebih dari satu status, karena setiap individu dapat berperan serta dalam berbagai pola kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Status-status yang dimiliki oleh ~ seseorang dalam keseluruhan masyarakat tergantung pada posisi posisi yang ditempatinya. Dengan begitu misalnya , Mr. Jones memiliki sejumlah status dalam kaitannya dengan suatu komunitas tertentu, di mana dia menjadi varganya. Dia dapat dipandang sebagal seorang jaksa, namun sekali gus dia juga seorang dari keluarga
Ma-
son, seorang penganut aliran Methodist, suami nyonya Jones dan sebagainya. Demikianlah misalnya penuturan Ralph Linton (1938) dalam bukunya 'The Study of Man» maupun
Lewis A. Coser and Bernard Rosenberg
dalam
•Sosiological Theory, A Book of Readings1 (Selo Soemardjan, 1964, h. 261-263). Kehidupan sosial tersebut terus berjalan
se-
panjang masa, meskipun para varga masyarakat
yang
menduduki status-status tersebut telah pindah
dari
lingkungan komunitas tersebut atau meninggal dunia. Hal tersebut dapat terjadi karena yang meninggal dunia atau pindah ialah orangnya, sedangkan ataupun peranan yang tersandang di dalamnya
status tidak
121 bilang, namun tetap membentuk struktur dalam masyarakat menurut A.R. Radcliffe-Brown dalam 'Structure and Functlon in Primitlve Society' (S.T. Alisjahbana 1974. h. 70). Dengan sederhana dapat dinyatakan, bahwa status mengandung pengertian adanya hak dan kewajiban. Dan manakala seseorang menggunakan hak dan kewajibannya dalam menyatakan sesuatu pendapat atau sikap dalam kaitan dengan statusnya dalam masyarakat, maka berarti dia sedang memainkan perannya. Di sini nampak sekali hubungan antara status dengan peran, sebab tak ada peran tanpa adanya status, demikian pula tak ada status kalau tak dinyatakan dengan peran. Dalam kenyataan, status dan peran tak dapat dilepaskan dari pola-pola masyarakat maupun
per*-*
orangan yang bersangkutan. Misalnya, meskipun status maupun peran tersebut bermula dari pola-pola masyarakat yang ada, namun pada tingkat tertentu tergantung pada perorangan itu sendiri. Ketika
seseorang
individu memainkan perannya atas dasar status
yang
didudukinya dalam masyarakat, sebenarnya orang tersebut telah mengambil pilihan sikap ataupun tingkah laku tertentu sesuai dengan pertimbangannya. Meskipun demikian tak dapat diungkiri peranan pola-pola masyarakat, yang memberi batasan terhadap
status
123
maupun peran tersebut. Kembali di sini nampak perlunya penyesuaian terhadap pola-pola masyarakat pada setiap penampilan seseorang dalam memainkan
peran ,
sesuai dengan status yang sesuai. Jadi jelas, manakala tidak ada faktor dari luar yang menyela, maka makin sempurna seseorang warga dalam melakukan penyesuaian dengan status dan peran mereka dalam masyarakat, makin lancar kehidupan masyarakat berjalan. Namun proses penyesuaian itu tidak mudah terjadi, karena setiap individu memiliki berbagai kebiasaan yang telah tertanam sejak masa kanak-kanak, karakteristik individual, baik yang diperoleh karena kelahiran maupun yang diperoleh karena usaha. Faktor yang menguntungkan ialah sifat ma nusia yang bisa diubah (mutable), yang memungkinkan seseorang yang normal dapat dilatih untuk dapat
se-
cara tepat menampilkan peran apapun yang diserahkan kepadanya,(Selo Soemardjan, 1964, h. 261-267). Pengertian-pengertian tersebut di atas memung' kinkan kita dapat memahami berbagai
kecenderungan
pendapat para remaja dalam menghadapi berbagai masalah sosial, seperti yang dikehendaki oleh studi ini. Namun kita akan mendapat wawasan yang lebih luas kalau kita mengikuti konsep-konsep psikologi berikut ini, mengenai masalah yang sama»
sosial
I2if b. Role Enactment Istilah 'role1 atau peran dipinjam dari dunia drama atau teater, yang berarti ikut ambil
bagian
atau posisi tertentu dalam sesuatu lakon. Dan orang yang ikut memainkan peran tertentu atau 'playing
a
role1 dalam lakon tersebut disebut pemain atau aktor, menurut Sarbin (1954)» Dalam kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat setiap warga masyarakat tidak lain merupakan pemain dalam drama masyarakat, karena masing-masing harus memainkan perannya sesuai dengan statusnya. Layaknya sebuah drama, maka setiap pemain akan tampil dengan mengikuti skenario tertentu. Theodore R. Sarbin menyajikan teorinya mengenai peran tersebut, yang dianggap dapat menjembatani antara individu
dengan
kelompok, dan dikenal sebagai 'Role Theory*. Masalah utama yang dihadapi oleh setiap warga masyarakat, menurut teori peran tersebut, ialah bagaimana seharusnya setiap warga masyarakat memainkan perannya. Pertanyaan tersebut mencakup tiga macam pertanyaan, yaitu masalah-masalah 'appropriateness1, 1propriety' dan 'convincing-1
(Lindzey
and Aronson, I, 1968, h. 1*90-491). Dengan 'appropriateness*, dimaksudkan apakah
1*5 kelakuan yang diperbuat oleh seseorang sesuai dengan posisi atau status.yang didudukinya ? Dengan perkataan lain, apakah penampilannya tepat? Dengan 'propriety1, dimaksudkan apakah penampilan yang dilakukan itu patut, dilihat dari penilaian orang lain? Artinya, apakah penampilan itu menurut penilaian baik atau buruk? Sedangkan 1convencing* mengandung makna, apakah penampilan itu meyakinkan atau tidak? Pertanyaan tersebut bertolak dari keraguan akan keabsahan posisi yang diduduki seseorang individu. Ketiga pertanyaan disekitar penampilan (role enactment) tersebut di atas, sebenarnya timbul karena adanya kesenjangan di antara struktur sosial dengan perilaku sebagai seseorang dalam memainkan peran sosialinya. Kesenjangan itu terjadi kalau setiap warga masyarakat mengetahui dengan pasti
harapan -
harapan sosial mengenai apa-apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta bagaimana
seharusnya
melakukannya. Dengan mengetahui harapan-harapan sosial tersebut, setiap warga masyarakat akan mengetahui peran apa yang paling sesuai dengan psosisinya dalam masyarakat, bagaimana sepatutnya harus tampil, serta bagaimana cara tampil agar dapat meyakinkan. Harapan-harapan sosial tersebut dalam kaitan dengan
126
teori peran, disebut 'role expectations'« Selanjutnya perlu kita ketahui, bahwa 'role erpectatioro' merupakan kumpulan kognisi, yang terdiri dari keyakinan-keyakinan tentang hak dan kewajiban, serta kemungkinan-kemungkinan yang subyektif
,
mengenai bagaimana seharusnya dilakukan , berkenaan dengan status atau peran yang disandangnya (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 498). Dalam hal status ataupun posisi yang sifatnya formal, seperti jabatan maupun jenis pekerjaan ter tentu, tidak terlalu sukar untuk mengetahui harapanharapan sosial yang mengenai peran (role eacpectat— ione% sebab hampir setiap orang dapat membaca uraian tugas (job description) yang dimaksud. Namun dalam hal-hal yang bersifat informal, kesulitan itu mulai . nampak. Misalnya, dalam hubungan persahabatan.Dalam hal ini amat terbatas warga masyarakat yang mengetahui uraian mengenai tugas dan kewajiban sesuatu pe ran, karena biasanya tidak tertulis, sehingga hanya di kalangan tertentu saja harapan-harapan sosial itu berlaku. Misalnya, terhadap jabatan 'guru' dituntut •role expectations' yang sudah pasti, namun sementara itu orang tersebut juga 'badut1, sehingga 'role expectations* terhadapnya menjadi bersifat . khusus pula.
127
Proses sosialisasi dalam kaitan dengan teori ini, ialah suatu proses sosial di sana anak belajar dari kehidupan masyarakat untuk dapat Menghayati tata nilai masyarakat, sehingga dapat memainkan peran sosial mereka dengan tepat, pantas, serta meyakinkan sesuai dengan *role ezpectations'. Jadi sosialisasi tidak lain adalah suatu 'role learning', yang merupakan hakekat dari 'social and cultural leaming/, Peran atau 'role1 diartikan sebagal ' ••• an organized set of behawlors that belongs to an ldentifleble posltion, and this behavlors are actiyated vhen the posltion is oecupled* (Llndzey and Aronson, I, 1968, hal, 545). Jelas di sini bahwa peran itu merupakan perilaku» dan perilaku itu berkaitan dengan posisi dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskan, bahwa peran itu harus diperoleh melalui proses belajar dalam kaitannya dengan pola kognisi yang teratur dakeseluruhan peran warga masyarakat lainnya sebagai suatu keutuhan. Oleh karenanya peran baru dapat dimengerti dan berfungsi kalau sudah terlibat dengan Interaksi sosial. Di sini pula selanjutnya dapat dimengerti mengapa peran disangkut pautkan dengan hak dan kewajiban dalam kaitan dengan posisi seseorang sebagal warga masyarakat. Sebelum munculnya teori peran, sosialisasi
128
hanya dikaitkan dengan proses pengasuhan Basa kanak kanak, yang tertuju pada gejala idendifikasi, agresi serta dependensi anak,.Untuk itu pembahasan banyak bertumpu pada teori-teori Preud Mengenai psikoanalisis yang berkaitan dengan urusan perkembangan kepribadian, sehingga orang lebih banyak berbicara dengan •enggunakan studi motirasi. Selain itu orang banyak menggunakan teori tingkah laku (beharioral theory), yang mendasarkan pada prinsip S-B (Stimull and Respons)* Teori tentang 'leaming1 yang mendasarkan pada pendekatan tingkah laku itu dipelopori oleh Waston, yang mengartikan unit S-B Itu sebagai
sUatu
refleks. Hull mengartikannya dalam artlan kebiasaan (habit), dan Skinner mengartikan sebagal suatu dominasi lingkungan atas respons* Pendekatan-pendakat psikologis semacam itu ternyata bersifat sempit, sebab hanya menganggap gejala atau kecenderungan kepribadian manusia itu semata-mata sebagai aktivitas psikis (internal), dan sesandang manusia sebagai mesin yang dapat ^.dikontrol dengan rangsangan tertentu* Sampai akhirnya Bandura dan Walter (1963) mengemukakan pandangannya mengenai peranan lingkungan sosial dalam proses 'leamlng* ( L.A.Perviu, 1975» *u 363 - 390). Menurut Bandura dan Walter, dalam sosialisasi
129
anak-anak secara bertahap belajar dari orang dewasa bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi L dan kondisi tertentu* Dengan perkataan lain, mereka bela» Jar bagalmanaUiarus.berperandalam kondisi dansituasi tertentu. Dengan jelas nereka mengatakan bahwa : •The learnlng is shaped in large part by reinforce •ent from parents and by imitatlon ef the beharior of others*. Sementara itu yang terjadi di kalangan orang orang .dewasa, ialah- mereka bertanya dan akhirnya mengetahui* bagaimana seharusnya
mereka bertingkah laku.
Pencarian Itu dilakukan sebelan orang-orang tersebut menduduki sesuatu posisi» Dikatakan oleh Merton, mi salnya, bahwa * An individual can acqulre role ezpect< ations by learnlng that. long before he is ready
to
occupy the social poaition, through the process of anticipatory socialsation' (Lindzey and Aronson, I, 1968, h, 547). Nampaknya dari sudut teori belajar Ini dapat dipetik sebuah |>emgertlan, bahwa sosialisasi dipisahkan dengan enkulturasi, meski dua-duanya berkaitan de ngan peran juga. Sosialisasi diartikan sebagai suatu proses untnk penguasaan atas peran (role) dan posisi yang diturunkan (aseribed position), seperti jenis ke lamin, usia dan sebegalnya, sedang enkulturasi dlarti kan sebagai proses penguasaan atas peran (role) dan
130
posisi seseorang yang diperoleh sebagai hasil bela jar (achlered position). Kecuali itu, terkandung juga pengertian, bahwa proses sosialisasi berlangsung di dalam lingkungan keluarga, sedangkan enkulturasi berlangsung manakala anak sudah hidup di dalam pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas*
c. Konformitas Dalam Berperan Tujuan proses sosialisasi, baik dalam tingkat hubungan dalam keluarga maupun dalam lingkungan ma syarakat yang lebih luas, adalah terjadi keserasian di antara penampilan seseorang dalam memainkan peran sosial (role enactment) dengan harapan-harapan sosi al mengenai bagaimana seharusnya seseorang tampil memainkan peran sosial (role erpectations). Kondisi semacam itu dikenal sebagai konformitas. Kegagalan dalam memenuhi kondisi semacam akan menimbulkan adan a celaan, bahkan tindakan pengucilan yang datang dari kelompok terhadap orang atau varga masyarakat yang bersangkutan. Dengan begitu, misalnya, seorang ayah akan tampil sesuai dengan kedudukannya sebagai ayah. Kalau keserasian itu tidak terjadi, maka ayah tersebut akan mendapat celaan mengenai ketepatan, kelayakan dan tingkat meyakinkan dalam memainkan
peranan
131
8tbagai ayah. Contoh lain lagi, berupa kekalahan PSSI , pada hampir seluruh pertandingan internasional, akan dianggap sebagai tidak adanya konformitas di antara 'role enactment' dengan 'role ezpectations' yang berkenaan dengan PSSI tersebut. Lalu masyarakat pecinta persepak bolaan di Indonesia menjadi teramat kecewa» ^sehingga tercetuslah berbagai bentuk keluhan maupun celaan terhadap PSSI tersebut, Keealah fahaman sering terjadi di dalam masyarakat, karena masyarakat sering salah memperkirakan keadaan, terutama yang berkaitan dengan keadaan varga masyarakat yang lainnya. Salah satu akibatnya, ialah varga masyarakat adkalanya menuntut terlampau banyak dalam penampilan varga masyarakat, sehingga akan sering terjadi jarak yang terlampau besar* Untuk
itu
dirasakan perlunya kejelasan dalim 'role ezpectations' agar terjadi perilaku yang jelas pula. Paling tidak ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan maaalah tersebut di atas, yaitu 1)« kejelasan informasi, 2). kesamaan pengertian, dan 3)* kesamaan tafsir, (Lindzey and Aronson, I, 1968, h. 5©3). Menurut Bateson (1956), salah satu hambatan bagi terjadinya konformitas dalam penampilan varga
132
Masyarakat, ialah tidak jelasnya informasi
mengenai
harapan-harapan sosial berkenaan dengan ' peran-peran warga masyarakat tersebut dalam masyarakat, Kemungkinan yang terjadi sebagai akibatnya, ialah
terjadinya
hambatan bagi terjadinya komunikasi* Ini sama dengan kesalah fahaman, yang dapat menjauhkan dari terjadi nya saling pengertian. Bagi el pelaku sendiri, keadaan tersebut menimbulkan keragu-raguan dalam melaksanakan peran selanjutnya. Kemungkinan lain yang dapat terjadi, ialah bahwa pada sub kelompok yang satu informasi itu diterima secara jelas, sementara pada sub kelompok yang laia informasi tidak diterima secara jelas» Ini berarti , bahwa di antara warga masyarakat tidak terdapat kon* sensus atau kesamaan pengertian terhadap informasi yang seharusnya sama. Bilamana 'role dissensus' tersebut terjadi di antara dua generasi atau dua kelompok warga masyarakat, ataupun warga masyarakat yang telah mapan dengan yang baru datang, maka salah faham dapat saja terjadi. Dan konformitas menjadi sesuatu yang tipis sekali kemungkinan terjadinya. Studi Comer, Greene, dan Valter (1953), menemukan, bahwa makin kecil unit interaksi, makin besar kemungkinan konsensus dapat terjadi. Misalnya, pada pasangan suami istri lebih besar kemungkinan terjadi
133
konsensus, dibanding dalam unit Interaksi antara ayah dongan anak. Demikian pula kemungkinan terjadi konsensus lebih banyak terjadi pada unit Interaksi ibu dan anak, bila dibanding dengan yang terjadi dalam unit interaksi antara ayah dan anak. Selanjutnya, peranan persepsi atau penafsiran terhadap informasi yang datang, yang berisi harapanharapan sosial mengenal peran-sosial yang seharusnya, juga besar dalam dalam memahami sesuatu peran* Teru tama yang dimaksud oleh Slater (1960), ialah perbedaan tafsir yang terjadi di antara sesama varga dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga misalnya,
sama
sama remaja akan mempunyai kecenderungan penampilan yang berbeda, karena pemahaman mengenal hak dan kewajiban berkenaan dengan status dan posisi mereka dalam masyarakat berbeda* Sebaliknya, konformitas dapat terjadi karena motivasi yang berbeda-beda pula, dan bahkan barangkali tidak ada hubungannya dengan sesuatu peranan yang dimainkan, namun terjadi karena adanya sensitivitas seseorang dengan kemungkinan reaksi yang timbul dari orang lain. Jadi dalam hal ini, konformitas terjadi sebagai akibat adanya pengamatan dari fihak lain, menurut hasil studi Stouffer dan Toby pada 1951 (Lind* zey and Aronson, I ,1968, h. 502-503)
134
Kemungkinan yang lain, konformitas juga dapat terjadi karena orang merasa berkewajiban untuk dapat menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, atau karena me resa terikat dengan posisi serta statusnya dalam masyarakat. Dalam hal ini konformitas terjadi karena ada kesejajaran antara tugas dengan pelaksanaannya. Dalam sektor informal, yaitu pada unit interaksi sosial di luar lembaga persekolahan,
hambatan
untuk terjadinya konformitas itu lebih besar, karena tingkat kejelasan pada informasi mengenai 'role enactment' dengan 'role expectatlons' sangat rendah. Oleh karenanya diperlukan kehati-hatian dalam memberikan analisis ataupun penjelasan terhadap gejala yang timbul di sekitar konformitas kaum remaja.^ 5. Pendapat Mengenal Masalah Sosial Pada bagian ini akan dikemukakan pembicaraan di aekitar pendapat, remaja- .dan masalah sosial «, yang merupakan pengejawantahan dari keterlibatan remaja sebagai bagian dari warga masyarakat.
a. Pendapat Sebagai Ekspresi Kebersamaan Hasil proses sosialisasi akan terlihat pada
135
sikap warga masyarakat, apakah menunjukkan konformitas atau bahkan non konformitas, terhadap tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sikap itu tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya kedewasaan warga masyarakat. Ketiga komponen sikap, yang terdiri dari kognisi, afeksi dan kecende rungan berbuatan dalam menghadapi sesuatu obyek damasyarakat, ikut pula tumbuh dan menjadi sikap yang kokoh. Menurut Krech, "As the individual
develeps,
his cognition, feeling, and action tendencies with respect to the varioue objects in his world become organized into enduring system called attitudes*1 (Krech, et al., 1962, h. 137). Sejak itu tindakannya menjadi stereotype, dapat diduga sebelumnya, serta konsisten, yang memungkinkan kehidupan sosial dapat berjalan dengan baik. Di dalam sosioligi maupun psikologi sosial , sikap digunakan lebih-lebih dalam kaitan dengan interaksi sosial» Sudah sejak--lama. para ahli ilmu tingkah laku manusia memperbincangkan konsep sikap itu. Dan mereka sudah sampai pada titik di mana sikap harus diartikan sebagai suatu neuro-psikik dari kesiapan bagi aktivitas mental serta fisik, seperti dikatakan oleh Allport (1967). Semula hanya para ahli psikologi saja yang
136
merasa berkepentingan untuk memperbincangkan masalah sikap itu, sampai kemudian Thomas dan Znaniecki menggunakan konsep tersebut dalam studinya mengenai kaum tani Polandia (1918). Menurut mereka studi mengenai sikap itu paling cocok kalau digunakan dalam psikologi sosial, sehingga oleh mereka dimunculkan definisi berikut ini, yaitu sikap sebagai suatu proses mental seseorang yang menentukan respon tiap orang, baik potensial maupun yang dinyatakan, dalam pergaulan hidup bersama. Menurut Fishbein, "Attitude are individual mental process with determine both
the
actual and potential responses of each person in the social world" (Fishbein, 1967. h. 6), Pendapat erat hubungannya dengan sikap. Menurut Hovland dan kawan-kawan (1953), perbedaan antara pendapat dengan sikap ialah, bahwa pendapat dapat dinyatakan secara lisan, sedangkan sikap kadang-kadang diantarai oleh proses-proses non verbal atau
bahkan
'tak disadari1. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pendapat merupakan jawaban atau respon, sedangkan sikap adalah pre desposisi atau kesiapan respon itu sendiri. Jadi, pendapat merupakan respon verbal atau dinyatakan secara tertulis, yang selalu disadari , sedangkan sikap adalah pre desposisi respon,
baik
137
verbal atau non verbal, yang disadari atau tidak disadari. Sedangkan Thurstone (1927) menyatakan arti konsep pendapat sebagai pernyataan verbal dari sikap. Pan karena pendapat mewujudkan keadaan kesiapan mental (pre desposisi), maka pendapat dapat diukur untuk melihat sikap. Sikap sebenarnya hanya berkaitan dengan keadaan mental orang-seorang (individual), sehingga manakala dipertanyakan mengenai kecenderungan sikap sejumlah individu, maka yang dapat dilakukan sebetulnya suatu sensus pendapat (Sencus of Opinions), Jadi, gambaran yang kemudian muncul adalah suatu pendapat umum atau 'public opinions1. Caranya memperoleh gambaran pendapat sesuatu kelompok mengenai sesuatu isyu, ialah dengan menghitung sejumlah kartu suara yang berisi pendapat individual (ballots) dan kemudian mentabulasinya. Dengan cara itu dapat diperoleh distribusi pendapat umum, dan tidak mengenai kadar atau intensitas pendapat orang mengenai sesuatu isyu sosial. Sebaliknya, yang diperoleh adalah 4 gambaran relatif berupa prosentase atau proporsi sesuatu kecenderungan arah pendapat tersebut. Cara semacam itu pernah dikembangkan
dalam
studi-studi mengenai sensus pendapat sejumlah mahasiswa, yang dilakukan oleh Katz dan Allport (1931)«
138
Dalam studi atas sejumlah 42^8 orang mahasiswa Uni versitas Syracuse di Amerika Serikat, para mahasiswa tersebut tidak menuliskan pendapat (opini) mereka mengenai sesuatu isyu, melainkan memberikan pilihan atas sejumlah pernyataan, yang dianggap paling cocok atau paling mereka setujui (Fishbein, 1969, h. 5-10). Dilihat dari teori peran (role theory), pendapat merupakan ekspresi dari warga masyarakat sebagai partisipasi dalam menghadapi berbagai isyu dalam masyarakat. Dan ekspresi tersebut tidak lain adalah penampilan secara verbal atau tertulis yang ditunjukkan oleh warga masyarakat dalam posisi dan
status
tertentu dalam masyarakat. Dengan melihat jawaban atau pendapat yang menunjukkan persetujuan atau tidak persetujuan - dari seseorang atas sejumlah isyu sosial, yang dikemukakan kepadanya, akan diketahui kecenderungan respon orang tersebut mengenai sesuatu masalah yang sedang disyukan.Isyu-isyu sosial yang dikemukakan tersebut bisa disusun berdasarkan hasil penilaian sekelompok anggota madyarakat yang lain, sehingga dari pendapat yang diberikan oleh anggota masyarakat yang lain lagi, dapat diketahui kecenderungan konformitas atau keserasian di antara sesama anggota masyarakat tersebut.
139
Dengan menyerahkan sejumlah pernyataan „ yang berisi hasil penilaian sekelompok warga ..masyarakat tersebut, berdasarkan nilai yang mereka hayati,
se-
benarnya diharapkan orang lain akan memberikan pendapat sesuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Apalagi kalau pernyataan-pernyataan tersebut diberikan kepada sekelompok warga baru atau sekelompok re-*-maja yang merupakan anggota generasi baru, maka diharapkan pula muncul pendapat yang menunjukkan keserasian atau ketidak serasian dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dan karena pendapat-pendapat tersebut menurut Thurstone (192?)
di
muka, merupakan perwujudan dari pre disposisi
yang
ada, dapatlah kemudian diketahui kecenderungan sikap yang ada pada sekelompok warga masyarakat yang memberikan pendapat tersebut. Sementara itu berbagai penelitian menunjukkan bukti bagaimana peranan sikap dalam kerangka interaksi sosial. Paling tidak ada vdua hal dapat diketahui dari kecenderungan sikap tersebut. Pertama-tama, sikap mempunyai makna sebagai penyesuaian sosial, yaitu sejauh mana keserasian dengan sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat
pada
umumnya dalam masyarakat. Misalnya, sikap yang di tunjukkan oleh sekelompok warga masyarakat,
yang
menunjukkan anti Yahudi, mungkin bukan karena mereka memang anti Tahudi, melainkan timbul karena
menurut
anggapan mereka masyarakat tidak menyenangi
orang
Yahudi. Gejala ini disebut sebagai
'Utilitarian
(adaptive) functions', seperti dikemukakan oleh hasil studi Sraith, Bruner dan tfhite (1956). Sikap juga mempunyai peranan untuk menyatakan perasaan atau realisasi diri seseorang, yaitu untuk menunjukkan kepada orang lain identitas dirinya, dengan jalan mengambil sikap, atau memberikan pendapat tertentu mengenai sesuatu isyu. Dengan cara tersebut seseorang
membuat dirinya bermakna dalam masyarakat.
Inilah yang disebut sikap sebagai *Exprssive
(self-
realizing) functions'. Dengan cara inipun seseorang dapat melakukan internalisasi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, atau memodifikasi kelakuan mereka (Lindzey and Aronson, III, h. 158-160). Dengan mengetahui pendapat orang mengenai sesuatu isyu, dengan demikian dapat diketahui kecenderungan-kecenderungan (disposisi) kelakuan yang akan ditunjukkan, sebagai suatu 'role enactment' berkaitan dengan posisi atau status orang tersebut dalam masyarakat.
l*fl
b. Remaja Dan Konformitas Sebagai bagian dari umat manusia, remaja juga mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi fisik., dimensi psikik, dan dimensi sosial-kebersamaan. Pernyataan ini sesuai dengan anggapan yang dikemukakan pada awal BAB ini. Oleh karenanya, dari kaca mata pengertian itu pula uraian berikut ini dilihat, meski penekanan lebih diberikan pada dimensi-dimensi ke dua dan ke tiga, sesuai dengan maksud studi ini. Dari dimensi fisik yang kita ketahui ' ialah, bahwa remaja menduduki umur di antara 12 tahun sam18t> tahun, yang biasanya menduduki bangku sekolah menengah. Pada umur-umur tersebut remaja ditandai oleh #
pertumbuhan cir-ciri fisik yang spesifik sesuai de ngan jenis kelamin mereka. Demikian pula berat badan maupun tinggi badan cenderung mengikuti pola pertumbuhan tertentu berkenaan dengan jenis kelamin nere- . ka. Termasuk pula ke dalamya, pertumbuhan badan mengikuti proporsi tertentu yang khas. Pertumbuhan organ-organ bagi kemampuan kembang biak jenisnya, tumbuh mengiktui pola-pola pertumbuhan tertentu, menurut Tanner (1962). Yang lebih khas dalam pertumbuhan fisik pada periode remaja ini ialah pertumbuhan sejumlah hormon (R. E. Grinder, 1973, h. if8-72).
142
Yang lebih relevan dengan studi ini ialah ciri ciri psikis dari remaja itu» yang merupakan kualitas yang perlu diketahui berkenan dengan perlunya pencarian landasan teoritik mengenal hakekat remaja.
In-
formasi itu dapat kita lihat dari dimensi psikis dan dimensi sosial-kebersamaan dari remaja. Istilah remaja digunakan untuk menggantikan istilah adolesen, yang berasal dari . bahasa Latin •adolscere1 yang berarti tumbuh. Artinya, tumbuh ke arah kematangan atau 'to grow to maturity'. Dari segi psikologi Piaget menyatakan, bahwa "Psychologically, adolescence is the age when the individual becomes integrated into the society of adults, the age when the child no longer feels that he is below the level of his elders but equal, least right
at
Jadi pada saat-saat itu remaja su-
dah mulai merasa mempunyai hak sama dengan orang dewasa dalam pergaulan, padahal sementara itu sebetulnya mereka belum dapat meninggalkan dunia kanak-kanak mereka secara tuntas. Akibatnya, mereka menjadi serba tanggung. Dalam keadaan semacam itu, mereka sering mengalami kebimbangan ketika harus mengha'dapi kehidupan dalam masyarakat (E.B. Burlock, 1981, h. 222). Di hadapan para remaja itu terpampang budaya
80
orang dewasa, sekail gus nereka masih tenggelam dalam budaya kaum belia yang amat merangsang. Sebagai akibatnya, antara lain mereka cenderung untuk mengingkari, dan bahkan sering melakukan protes terhadap nilai serta budaya orang dewasa. Dalam pada itu mereka tidak memiliki kesiapan yang baik untuk memasuki masyarakat orang dewasa dengan standar nilai dewasa. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai masa remaja, perlu dikemukakan sejumlah karakteristik remaja sebagai berikut : 1). Masa remaja adalah sik maupun psikis, resnya, kematangan pola tingkah laku, nya.
masa perubahan, baik fiseperti badani dan inteseks, emosi, pembentukan nilai, sikap dan sebagai-
2). Masa remaja adalah masa peralihan. Mereka meninggalkan masa lampau, namun dalam menghadapi masa baru dihantui kebimbangan, baik dalam memahami status maupun melaksanakan peranannya. 3). Masa remaja adalah masa kebimbangan. Jiwa mereka seolah-olah terbagi ketika menghadapi perubahan. Mereka ingin kebebasan, namun enggan untuk memikul tanggung jawab. Mereka juga meragukan kemampuan dalam bertanggung jawab. 4). Remaja adalah masa penuh masalah. Hal ini terutama disebabkan karena mereka sering tak
144
mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi. 5). Masa remaja adalah masa untuk mencari identitas diri. Pada saat-saat itu remaja mulai meninggalkan identitas kelompok, dan mencari identitas diri serta penampilannya dalam masyarakat. 6). Masa remaja adalah masa takut menghadapi kenyataan. Misalnya mereka merasa takut akan kemampuan orang tua dalam menghadapi remaja, sehingga selalu merasa canggung. 7). Masa remaja adalah masa yang penuh khayal (unrealism). Artinya, pada masa itu para remaja memandang diri mereka maupun diri orang lain, seperti yang mereka harapkan. Akibatnya mereka sering merasa kecewa. 8). Masa remaja adalah masa memasuki ambang dewasa. Mereka mulai mencoba-coba pengalaman baru, yang diperkirakan sebagai identitas kehidupan dewasa, misalnya mereka mencoba merokok dan sebagainya. Dengan perilaku tersebut, mereka yakin dapat membuat bayangan menjadi sesuai dengan yang mereka inginkan. (E.B. Hurlock, 1981, h. 221-225) Secara sosiologis terlihat berbagai kecenderungan menarik dari kehidupan remaja, yang dilihat dari dimensi sosial-kebersamaannya. Sesuai
dengan
usia mereka, para remaja menunjukkan kecenderungan membentuk suatu 1small society', yang dikenal juga
H5 sebagai 'youth culture', yang nampaknya mempunyai tujuan maupun tata nilai yang terpisah dari tujuan dan tat nilai yang dimiliki oleh masyarakat orang dewasa. Bagi mereka masyarakat kecil itu lebih kat, dan di antara mereka terjalin hubungan Bagi mereka segala
memiakrab.
tetek bengek peraturan atau ke -
biasaan orang dewasa tidak memikat hati, kalau tang dari orang dewasa, sehingga kemudian
da-
mereka
cenderung untuk mengundurkan diri dari tatanan orang dewasa dan berdiri sendiri dalam dunia yang memiliki standar nilai sendiri. Mereka mempunyai gaya bahasa sendiri, model pakaian sendiri, pujaan bintang film maupun bintang penyanyi sendiri, jenis musik sendiri dan bahkan mempunyai pola sendiri dalam
memerankan
berbagai ritus dalam kelompok. Itulah yang dinamakan kebudayaan kaum belia (youth culture) (Grinder, 1973, h. 217). Orang dewasa seharusnya bisa memahami mengapa semua itu dapat terjadi pada anak-anak remaja, karena pada saat-saat itu sebenarnya mereka sedang ingin menyatakan kepada dunia luar, bahwa mereka merupakan kawula yang berbeda. Sementara itu mereka juga merasa bahwa di antara kawan sebaya mereka adalah
satu,
yang tidak mau disamakan dengan dunia orang dewasa . Dalam pengertian ini maka sosialisasi mempunyai arti
146
sebagai proses dan cara penyesuaian dalam hidup bermasyarakat (life-adjustment), di mana para
remaja
harus menelaah aspek-aspek masyarakat yang mana atau s.tandar nilai yang mana yang sebaiknya diterima dan mana yang sebaiknya ditolak. Kita bisa memahami masalah tersebut kalau kita menyadari bahwa pada saat itu para remaja sedang mencari dan
saat
menemukan
bentuk identitas diri, sehingga Erick H. Erikson (1965) beranggapan bahwa sosialisasi itu identik dengan 'identity formation1 (Grinder, 1973» b. 2-4). Sehubngan dengan adanya 'youth culture' itu, maka menurut Porter (1965)*telah tumbuh semacam moralitas baru (new morality) di kalangan remaja itu. Dengan moralitas baru itu, misalnya, mereka tidak memandang buku kotor itu kotor, atau sumpah itu suci. Sebaliknya, di mata mereka pornografi
adalah
seni, kebebasan seks adalah cinta kasih, nihilisme adalah keberanian, dan tidak beragama itu adalah kebebasan berfikir. Sungguh mereka tidak habis fikir,
menurut
Martineau (1966), kalau mereka memergoki para orang dewasa melanggar aturan lalu lintas, mengecoh pemerintah dalam urusan pajak dan sebagainya, sementara para orang dewasa itu selalu saja menekankan perlunya pendidikan politik, menekankan perlunya kesadar-
147 an hukum serta meningkatkan moralitas bangsa, serta mengobarkan semangat patriotisme. Kesemuanya itu menambah berkobarnya konflik nilai dalam diri para remaja, kalau mereka menyaksikan gejala
kemunafikan
generasi tua. Dan hal itu menjadi sebab terhambatnya tujuan sosialisasi (Grindar, 1973, h, 5-6). Namun sebagai remaja mereka masih bimbang dalam menentukan pilihan ketika menghadapi dua tekanan atau rangsangan tersebut. Menghadapi keadaan semacam itu, menurut Talcott Parsons, timbullah keadaan 'mendua' pada para remaja. Secara skematis pendapat Parsons tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : GAMBAR 6. Duality of Orientation among the Youth Rising levels of expectation for children
An almost compulsive independence, a touchiness with. respect to any adult expectations and demands
Duality o f ' orientation among the youth Increased outonomy resulting from permissive child rearing practices and progressive educational methods
An equally compulsive to conformity and loyalty to the peer group, with very literal observation o f group norms and intolerance o f deviane
148 Rangsangan yang datang dari luar, berupa
te-
kanan dari generasi tua mengenai apa-apa yang seha rusnya diyakini dan bagaimana seharusnya berperilaku. Sedang rangsangan yang datang dari dalam, berupa.meningkatnya otonomi pada dirinya, sebagai akibat
so-
sialisasi. Kondisi yang demikian itu membuat dua
a-
rah orientasi yang ditunjukkan oleh sikap para remaja, di satu fihak, arah orientasinya mengikuti ha rapan orang-orang dewasa, di lain fihak, arah orientasinya menunjukkan konformitas dan kesetiaan
pada
teman sebaya. Kecenderungan yang dihadapi oleh para remaja itu merupakan konsekuensi dari adanya dimensi sosial kebersamaan remaja sebagai manusia. Terlihat di sini ekspresi atau penampilan mereka sebagai warga
baru
masyarakat. Kebimbangan para remaja itu terletak pada adanya jalan simpang di hadapannnya, yang masing masing menuju pada 'menyimpang dari norma kolektif' dan 'kehilangan individualitas1. Nampaknya kecenderungan remaja dalam mengha dapi keadaan yang membimbangkan itu bervariasi, bila kita memperhatikan hasil studi-studi yang diseleng garakan di Amerika Serikat. Misalnya, ketika hendak mengetahui kecenderungan remaja yang berumur
antara
umur 7 - 1 2 tahun, Thomson (19*t9) dan Mitchell (1943)
149
menemukan, bahwa dalam menghadapi nilai para remaja cenderung menunjukkan konformitas tinggi. Sementara itu 'honesty' menduduki ranking tertinggi, baru kemudian disusul 'kindness' dan 'charity' (Arthur T. Jerslld, 1963, h. 387-390). Sementara itu studi Taba (1953) menemukan kecenderungan sebagai berikut di kalangan remaja : 1). Remaja cenderung menerima stereotype lazim berlaku dalam masyarakat
yang
2). Remaja cenderung enggan untuk menghadapi konflik nilai yang berlaku dalam masyarakat 3). Remaja cenderung untuk konform dan pada aturan sekolah
tunduk
4). Terdapat kecenderungan untuk terjadi kesenjangan antara tata nilai yang diakui dite rima dengan yang sessungguhnya dilakukan. Selanjutnya Peck dan Havinghurst (1960) ber hasil menyusun tipe-tipe remaja berdasar kecenderungan mereka berhadapan dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat, menjadi lima tipe. 1). Tipe 'amoral', yang ditandai dengan sifat mereka yang cenderung infantil, impulsif , tak bertanggung jawab dan sebagainya 2), Tipe 'expedient'. Mereka merasa cerdik untuk memilih bagian-bagian nilai mana yang kiranya menguntungkan diri mereka, ataupun
150
cocok dengan kepentingan mereka, Kecende rungan tersebut menunjukkan gejala 'selfcentered' dalam memandang lingkungan, 3). Tipe 'conforming', yang ditandai dengan kecenderungan untuk melakukan perbuatan atau perilaku yang seperti dilakukan oleh orang lain. Mereka juga cenderung untuk berkata seperti yang seharusnya dikatakan. 4). Tipe 'rational conscientious', yang cende rung cermat penuh penalaran. Mereka sudah . menemukan standar moral yang internal, meski dijalankan secara kaku. Baik buruk sesuatu perbuatan hanya diukur dari peraturan, tanpa memperhatikan faktor atauefek yang mungkin timbul dari perbuatan itu. 5). Tipe 1rational-altruistic*, yaitu mereka yang lebih mementingkan orang lain. Mereka sudah cukup matang dan stabil kepribadiannya , dan menterapkan aturan secara realis-' tik dan rational. Dan yang lebih menarik dari temuan yang
diperoleh
studi tersebut ialah, bahwa mayoritas dari . remaja cenderung untuk konform dengan tata nilai yang ada, sedang yang minoritas dari mereka cenderung bertipe 'rational-altruistic'
BAB
sesuai
151
dengan referensi-referensi pribadi sesuai dengan relevansl sosialnya; bahwa individu akan mengekspresikan pendapat dan tingkah lakunya sebagai penampilan peran sosialnya (role enactment) sesuai dengan harapan-harapan sosial yang relevan dengan posisi dan statusnta dalam masyarakat (role ezpectations) ; atau bahwa setiap Marga baru dalam masyaraVatakan melaksanakan rangkaian proses penyesuaian diri (social and life adjustment) sesuai dengan pola kolektif yang terdapat dalam masyarakat.
..
c. Teori Dlsonans Cara lain untuk memberi penjelasan terhadap gejala atau kondisi yang menggambarkan remaja yang berada di antara dua tekanan, seolah-olah berada dalam simpang jalan, ialah dengan teori dlsonans atau *dissonance theory* dari Festinger (1957). Ban karena pada dasarnya teori dlsonans itu bertumpu pada teori kognitif, ada baiknya dijelaskan lebih dahulu mengenai kognisi. Istilah kognisi sendiri tak mengandung adanya sesuatu kepastian, namun yang pasti ialah, bahwa istilah itu dikaitkan dengan pengertian
'belief ,
^pinion1, 'knowledge*, 1conviction', dan sejenisnya.
152
Nyata di sini,bahwa kognisi bersifat selektif dan subyektif, karena bergantung pada subyek itu sendiri dalam memahami sesuatu obyek, pengalaman inasa lampau maupun keadaan lingkungan.(Krech et al., 1962, h. 17 - 18). Di antara kognisi-kognisi yang dimiliki oleh seseorang terdapat pertautan satu dengan lainnya secara relevan ataupun tidak relevan. Manakala terda pat pertautan yang relevan di antara kognisi terse but, maka terjadilah hubungan saling berkaitan (internet). Kadangkala kaitan antar kognisi itu bersi fat saling menunjang, sama tindakan, yang satu merupakan bagian yang lain, membentuk kesatuan-kesatuan, ataupun sebaliknya saling bertentangan, memodifikasi yang lainnya, dan bahkan saling berlawanan. Dengan pendek dapat dikatakan, bahwa kaitan keduanya dapat t
bersifat konsonan, dapat pula bersifat disonan . Sesuatu hubungan disebut konsonan, manakala terdapat konsistensi di antara kedua kognisi tersebut,
dan
sebaliknya, disebut disonan manakala tak
terdapat
konsistensi di antara keduanya. Sehingga
dapatlah
dlkemukakan bahwa : "Two elements are in dissonant relation iff considering these two alone, the obveree of one elemen would follow from the other". Ini berarti, bahwa dua hal disebut dalam keadaan disonan manakala *bukan elemen yang dimaksud* yang ternyata
153
mengikuti Elemen yang lain*. Secara matematis keadaan disonan tersebut dapat digambarkan sebagal berikut : bahwa X dan T dalam keadaan disonan. seandainya bukan-X yang mengikuti Y (Lindzey and A rona o n , III, 1968, h. 360). Dalam kaitan dengan studi ini, maka dapat di kemukakan, bahwa apa yang dapat disaksikan oleh generasi muda mengenai tingkah laku sebagian generasi tua, baik langsung maupun tidak langsung, ialah se euatu yang dlBonan. Di satu fihak^ mereka menerima sesuatu tata nilai luhur masyarakat, yang diajarkan dan dimotivasikan lewat berbagai interaksi sosial . Diharapkan oleh generasi muda, generasi tuapun tampil dalam masyarakat sesuai dengan tata nilai yang diajarkan» Namun dalam kenyataan, di mata generasi muda generasi tua justru melakukan tindakan yang tidak serasi dengan tata nilai yang diajarkan tersebut Artinya, telah terjadi sesuatu kejanggalan, karena •bukan X1 yang keluar mengikuti elemen Y. Dalam pada itu, seperti telah dikemukakan pada bagian Pendahuluan, generasi tua telah pula melihat sesuatu kejanggalan (disonansi), karena generasi muda telah tampil * tidak sesuai dengan harapan sosial* seperti yang sejak semula diharapkan oleh gene rasi tua menurut keyakinan mereka. Menurut pandangan
154
orang dewasa (generasi tua), generasi muda telah mengalami 'erosi nilai', dan dianggap memprihatinkan , oleh karenanya diperlukan sejumlah tindakan
yang
mendisiplinkan kembali , agar tidak terdapat lagi kondisi disonan. Sedangkan tindakan atau alternatif respon yang diambil oleh generasi muda mungkin tidak sepositif yang dilakukan oleh fihak orang dewasa , karena posisi mereka yang memang berbeda dalam ma-" syarakat. Di satu fihak, orang dewasa merasa, menduduki posisi pemegang kendali, karena kedudukan mereka yang mapan dalam masyarakat. Di lain fihak, orang muda merasa belum terikat dengan tata nilai masyarakat secara penuh. Oleh karenanya reapon-respon kaum muda cenderunga bersifat protes, urakan, menganggap sepi tata nilai, ataupun berusaha menghindarkan diri dari situasi yang diperkirakan dapat . menimbulkan kondisi disonan. Dan sebagai akibatnya, bentuk res pon tersebut menimbulkan kesan masa bodoh (apatisme) terhadap masalah sosial • misalnya. Untungnya, respon yang terakhir ini akan tampak dalam ujud konformitas dengan tata nilai masyarakat. Berbagai proposisi berkenaan dengan teori disonans tersebut di bawah ini, menunjukkan sejumlah alternatif respon yang mungkin diambil ketika meng hadapi kondisi disonan oleh warga masyarakat.
155
Disonansi kognitif merupakan keadaan berbahaya . Manakala seseorang menyaksikan adanya disonansi, orang tersebut berusaha untuk mengurangi atau melenyapkannya dengan jalan menghindarkan diri dari kejadian yang diperkirakan dapat meningkatkan kondisi itu. Setiap orang akan melakukan tindakan untuk menghindarkan diri dari kejadian yang me nimbulkan kondisi disonan. Kadar disonansi terletak pada kadar penting nya kognisi tersebut kalau dilibatkan. Kondisi disonan hanya dapat dikurangi atau dilenyapkan, dengan jalan (a) menambahkan kognisi baru, atau (b) merubah kognisi yang ada. Tambahan kognisi baru dapat mengurangi kondisi disonan, asalkan (a) dapat mengurangi proporsi elemen yang disonan, atau (b) dapat merubah kadar pentingnya elesen terse bui bagi elemen yang lain. ' Perubahan kognisi yang ada baru dapat me rubah kondisi disonan, asal (a) berisi se suatu yang dapat mengurangi Kontradiksi yg. ada pada masing-masing elemen, atau (b) dapat mengurangi kadar pentingnya' kognisi tadi bagi elemen yang lain. Manakala tak ada penambahan kognisi baru, dan kognisi yang ada berubah sendiri, maka orangpun berusaha mencari informasi lain. (Lindzey and Aronson, 111,1968, h.360-361)»
156
Dengan mendasarkan pada proposisi-proposisi dari teori disonans tersebut, dapatlah kita simak adanya persamaan maupun perbedaan dalam memilih alternatif ketika menghadapi kondisi disonan, pada generasi tua maupun generasi muda. Mereka
sama-sama
berusaha menghilangkan kondisi disonan. Namun orang dewasa berusaha menghilangkannya dengan:(6a) mengurangi proporsi elemen yang disonan, dan (7a) mengu rangi kontradiksi yang ada pada masing-masing elemen, dengan program-program pendidikan, Sebaliknya generasi muda memilih (2) menghindarkan diri dari situasi yang bakal menimbulkan kondisi disonan, dan (6b) dan (7b) merubah kadar pentingnya elemen tersebut bagi elemen yang lain. Jadi misalnya, seseorang remaja akan lebih baik 'tidak naik sepeda motor tanpa SIM1, karena akan meningkatkan kondisi disonan, yang berupa 'tindakan denda damai' atau 'peristiwa sogok1 di jalan raya. Atau barangkali, justru sang remaja akan tetap saja 'naik sepeda motor tanpa SIM' ataupun 'membeli SIM* dan eebagainya, karena
1
tanpa
SIM waktu mengenda-
rai sepeda motor* ataupun 'membeli SIM' bukan meru pakan atau dianggap bukan merupakan 'elemen penting* bagi elemen lain, yang berupa 'tertib lalu lintas1 . Ini berarti, bahwa bagi mereka hal-hal negatif tadi
157
bukan merupakan masalah, atau bukan merupakan sesuatu yang disonan. Tidakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum remaja tersebut tidak lain adalah
ekspresi-ekspresi
responsif terhadap lingkungan, sejalan dengan tingkat kematangan mereka dalam pengejawantahan tanggung jawab sosial mereka. Namun ekspresi responsif tersebut dapat pula berupa respon-respon disposleional , berupa pernyataan dalam ujud pandangan atau pendapat mengenai berbagal masalah sosial di lingkungan mereka. d. Masalah Sosial Uraian di muka memberikan pengertian kepada kita, bahwa sosialisasi akan bertujuan agar respon maupun tingkah laku remaja, sebagai bagian warga baru masyarakat (generasi baru), yang merupakan eks presi atau respon terhadap lingkungan hidupnya, dapat sesuai dengan harapan-harapan sosial, yang telah dikomunikasikan selama interaksi sosial berlangsung. Dan manakala kemudian terjadi suatu keadaan di mana warga masyarakat menunjukkan sikap atau tingkahi laku yang tidak serasi dengan tata nilai masyarakat, timbullah masalah. Dalam situasi sosial semacam
sosiologi keadaan atau
itu dikenali
mengandung
158
adanya tiga gejala, sebagai berikut : 1), Pelanggaran terhadap norma yang berlaku 2). Pelanggaran itu terjadi cukup sering, yang mengguncangkan sejumlah besar warga masya rakat 3). Sebagai akibatnya timbullah upaya-upaya untuk menanggulanginya (E. Rubington and M.S. Weinberg, 1971, h. 7) Dengan perkataan lain dapat dikatakan ,
bahwa
si-
tuasi semacam itu tidak cocok dengan nilai-nilai sejumlah besar warga masyarakat yang meyakinkan, hingga mereka setuju untuk adanya tindakan untuk merubah situasi tersebut. Yang mendapat penekannan di ialah adanya situasi yang tidak dikehendaki
sini adanya
dalam masyarakt, dan oleh karenanya masyarakat berusaha meniadakan situasi seperti itu. Para ahli sosiologi ada yang menyebut situasi yang demikian itu sebagai suatu patologi sosial (social pathology), yaitu suatu keadaan yang tidak sehat, yang ditimbulkan olrh hubungan sosial yang tidak beres (maladjustment). Hal tersebut terjadi karena adanya kekurangan dalam proses penyesuaian warga masyarakat dalam struktur masyarakat, dan kurangnya jalan untuk berbuat sesuatu, atau kurangnya pranata sosial yang berfungsi untuk mengembangkan kepribadian
para
warganya (E. Rubington and M.S. Weinberg, 1971, h. 17). Kemukian muncullah gejala-gejala yang tidak
159 dikehendaki oleh sebagian warga masyarakat,
seperti
kenakalan remaja, kemiskinan, kejahatan seks, pelanggaran aturan lalu lintas, kebrandalan, alkoholisme , penyalah gunaan obat bius, korupsi, hidup bersama di luar nikah, pengguguran kandungan, perceraian, pelacuran, dan sebagainya. Biasanya gejala-gejala semacam itu timbul dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan
(soc-
ial change), karena adanya proses migrasi, urbanisasi, industrialisasi, modernisasi, dan
sebagainya .
Dalam situasi perubahan itu, biasanya timbul kelambanan dalam kelangsungan budaya, yang
suatu dikenal
sebagai •social lag* atau 'cultural lag1. Pada
saat
itu laju perubahan dalam teknologi tidak
diimbangi
dengan laju perubahan sikap mental untuk
menunjang
kemajuan teknologi tersebut. Hal itu disebabkan
ku-
rangnya kesiapan mental pembangunan dalam mengiringi kepesatan aspek pembangunan fisik. Biasanya keadaan semacam itu diiringi dengan timbulnya jonflik antar budaya, konflik antar generasi, konflik antar -pan dangan hidup, konflik antara kota dan desa, ketika para petani harus pindah dari desa ke kota untuk mencari kerja dan sebagainya. Wiiliam I. Thomas dan Florian
Znaniecki me-
nyebut situasi semacam itu sebagai suatu kekacauan
160 sosial (social disorganization), yang hakekatnya merupakan kemerosotan pengaruh aturan atau norma hidup di mata masyarakat. Dalam peralihan dari
masyarakat
tradisional ke masyarakat progresif, terlihat gejala memudarnya atau melemahnya unsur lama, sementara
un-
sur baru belum lagi diterima sepenuhnya. Ini merupakan bukti kegagalan masyarakat dalam mengontrol warganya. Keadaan itu pula yang menurut Cooley,
adalah
akibat perpindahan status masyarakat yang primer dan guyub (primary group) ke masyarakat yang
sekunder
(secondrry group). Dalam hal ini, norma-norma dari
'primary group1
lama
tidak lagi cocok dengan kondi-
si baru, yaitu 'secondar group1. Itulah
sebabnya
Wiiliam F, Ogburn menyebutnya sebagai suatu 'cultural lag1, di mana manusia lebih cepat menerima teknologi dibanding dengan gagasan modernisasi itu sendiri. Dengan cara lain dikatakan, bahwa pembaharuan dalam bidang materiil lebih cepat diterima dari pada yang bersifat immateriil (E. Rubington and M.S. Weinberg, 1971, h. Zf8). Perlu kiranya diketahui, bahwa keadaan seperti tersebut di atas sangat bersifat relatif, dalam
arti
bahwa ada atau tidaknya masalah sosial itu tergantung
161 pada bagaimana reaksi masyarakat, atau
tergantung
pada 'tahu atau tidaknya' masyarakat terhadap situasi tersebut» Demikian pula 'adanya' sesuatu masalah sosial tergantung pada fihak pengamat» Biasanya
pe-
ranan pengamatan itu dipegang oleh fihak yang memberi penilaian atas tingkah laku sosial, seperti orang tua, penguasa , guru, pemimpin non formal dalam raa syarakat dan sebagainya, yang seringkali kita keta hui hasil penilaian itu dari media-media masa. Proses perubahan sosial, yang diikuti oleh pergeseran nilai atau atau erosi nilai, membawa membawa kemungkinan bagi berubahnya cara memandang se suatu gejala sosial, sehingga berubah pula kualifi kasi sesuatu masalah sosial. Oleh karena itu, diperlukan kembali penjaringan terhadap penilaian
atau
pandangan masyarakat mengenai sejumlah isyu
sosial
yang terdapat di dalam masyarakat, pada suatu kurun waktu yang memadai. Caranya, misalnya dengan memba gikan sejumlah angket berisi seperangkat isyu sosial kepada sejumlah warga masyarakat yang dianggap mewakili masyarakat, untuk dimintakan penilaian dan pertimbangan mereka, apakah isyu-isyu sosial
tersebut
dianggap masalah sosial atau bukan. Adalah wajar kalau masyarakat
selanjutnya
mengharapkan agar warga baru masyarakat memberikan
162 pendapat yang tidak berbeda dengan penilaian
genera-
si tua tersebut. Kesamaan penilaian di antara sesama varga masyarakat terbadap sejumlah masalah sosial itu menunjukkan kecenderungan konformitas di antara warga masyarakat tersebut. Dengan demikian adalah wajar pula kalau generasi tua menaruh harap atas
terjadinya
konformitas pendapat terhadap berbagai masalah
yang
sama tersebut.
6. Relevansi Sosial Budaya Di depan telah dikemukakan, bahwa dari pan~dangan sosiologis, proses sosialisasi
telah memper-
kenalkan norma, nilai serta sanksi-sanksi
sosial ke-
tika para warga baru sesuatu masyarakat ketika mereka melakukan adaptasi sesuatu masyarakat. Sejak saat itu setiap individu menyerahkan diri pada keterikatan-keterikatan lingkungan sosial budaya. Hal terse but terjadi, lebih-lebih dalam hubungannya
dengan
adanya dimensi sosial-kebersamaan. Dengan adanya dimensi 'sosial-kebersamaan ini manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup secara berkelompok, yang dida sarkan oleh kecenderungan yang naluriah maupun nalariah. Dalam kehidupan yang penuh kebersamaan tersebut terjadilah pembagian peran dalam kerangka kehidupan
163
kolektif, yang menimbulkan beban hidup menjadi makin ringan. Demikian juga disadari bahwa dalam kehidupan kolektif semacam itu, di samping kepentingan-.*», kepentingan pribadi, maka kepentingan kolektif harus pula diperhitungkan. Itulah sebabnya setiap individu menjadi terikat oleh saling membutuhkan, saling memenuhi dan saling mendapat menfaat. Dengan kata-kata lain , di antara warga tersebut terjalin hubungan yang bersifat saling tergantung. Durkheim menyebut solidaritas yang mendasari hubungan itu sebagal bersifat 'organik1 . Dalam kerangka pengertian itu dapatlah dlme ngerti, mengapa individu hanya mempunyai arti kalau dalam kehidupan bersama. DI sana perkembangan individu mendapat tekanan dari pola-pola nilai kolektif dari lingkungan sosialnya, yang ternyata merupakan unit unit yang khas. Setiap unit mempunyai karakteristik dan kadar tekanan tersendiri, karena sifat hubungan yang terdapat di dalamnya. a. Kedudukan Individu Dalam Lingkungan Hubungan yang terjadi karena
Ikatan biologis
dalam lingkungan keluarga, membuat hubungan tersebut menjadi bersifat biologis, psikologis dan sosiologis.
Kadar keterikatan individu dalam relevansi sosialnya sangat tinggi, karena didasari sifat hubungan . yang genealogis, sehingga" keterikatannya bersifat mutlak.. Hubungan-hubungan khusus yang disebut hubungan keke?rabatan itu, pada daerah-daerah tertentu bahkan membentuk hubungan komunitas, seperti yang terjadi dalam masyarakat Tapanuli, Minahasa dan sebagainya. Semuaitu dapat dijelaskan dengan konsep-konsep Antropologi. Sementara itu individu juga merupakan " bagian dari kelembagaan tertentu, yang merupakan sub sistem masyarakat yang terbentuk atas dasar legititas " dan legalitas. Ini berarti, bahwa lembaga tersebut kecuali merupakan kenyataan subyektif untuk sebagian warga masyarakat, juga merupakan hasil ketentuan hukum tertentu. Dalam sub sistem yang bernama lembaga ini kedudukan maupun hak dan kewajiban yang mendasari seluruh penampilan peran yang ada, sudah dibakukan, atas dasar moral, adat serta hukum yang berlaku. Ini berarti individu mengalami keterikatan dengan
lembaga
berdasarkan pola hubungan yang baku pula. Di dalam sosiologi, komunitas diartikan sebagai satuan kebersamaan hidup sejumlah orang, yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu : a) teritorialitas yang terbatas, b) keorganisasian tata kehidupan bersama, dan c) berlakunya nilai-nilai dan orientasi
165
nilai yang kolektif. Demikian menurut Poplin (1960) dalam 'Communities'. (John S. Nimpoeno, 1960,h. 6-11). Komunitas merupakan sub sistem yang mencakup individu-individu, keluarga-keluarga, lembaga«lembaga yang terjalin dalam hubungan yang interdependen. Jelaslah bahwa struktur komunitas menjadi lebih rumit. Sebagai sebuah sub sistem, komunitas diwarnai oleh orientasi nilai-nilai yang diakui oleh warga nya, yaitu pola kebudayaan yang berlaku dalam komunitas tersebut. Dengan demikian, seluruh aktifitas, kecenderungan tingkah laku serta penampilan warga masyarakat terikat oleh pola kebudayaan serta orientasi nilai yang berlaku. Namun kedudukan serta peran yang dimainkan dalam sesuatu komunitas oleh sesuatu individu tidak bersifat langsung, sebaliknya
telah
diwadahi oleh sub sistem yang lebih kecil, yaitu keluarga maupun lembaga tempat individu tersebut menjadi warganya secara langsung.ini berarti, bahwa pengaruh atau
tekanan
sosial budaya yang datang dari
komunitas, berjalan melewati sub sistem-sub sistem tersebut. Proses internalisasi nilai yang
berlaku
dalam komunitas tersebut berlangsung lewat proses sosialisasi yang sudah berlangsung sejak dalam keluarga, dan diteruskan di dalam lembaga persekolahan, misalnya.
166 Agak berbeda dengan pengertian komunitas maupun keluarga, maka ^masyarakat merupakan
lingkungan
sosial yang abstrak, di mana aspek kawasan tidak begutu ditekankan, sementara penekanan diberikan kepada aspek-aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif, sebab menunjuk pada kadar integrasi masyarakat. Kecuali itu lingkungan sosial ini • bersifat makro, karena masyarakat pada hakekatnya terdiri dari sekumpulan komunitas yang memiliki karakteristik yang mungkin tidak sama satu dengan lainnya. Sedang masing-masing komunitas itupun mencakup
sejumlah •
lembaga dan keluarga, dan pada gilirannya juga terdiri dari sekumpulan individu» Bangsa yang dimaksud dalam uraian ini merupakan kenyataan sosial yang diperkuat oleh legitimitas maupun legalitas, seperti halnya lembaga, hanya memiliki cakupan yang lebih besar (makro). Dan seperti halnya masyarakat, bangsa di sini mencakup sejumlah komunitas, lembaga dan individu, yang masing-masing memiliki karakteristik yang mungkin berbeda-beda. Hubungan antara individu dengan bangsa terwadahi dalam berbagai status, posisi maupun peran, yang tersalurkan lewat kesatuan-kesatuan sosial yang lebih nyata, seperti keluarga maupun lembaga. Artinya wawasan kolektif maupun norma-norma
kolektif
167 disalurkan pula lewat kelembagaan ataupun keluarga, yang mempunyai sifat hubungan yang lebih konkrit. Milville J, Herskovits (1955) mengemukakan tentang adanya lebih dari seratus batasan
mengenai
kebudayaan, yang masing-masing seperti saling.
me -
lengkapi. Ini menunjukkan, bahwa kebudayaan raengan dung pengertian yang sangat luas, sehingga nampaknya dapat diterima batasan yang agak umum tentang kebu dayaan, yaitu segala hasil cipta, rasa dan karsa masyarakat. Namun mengapa seringkali dua kata itu dinyatakan dalam satu nafas sebagai sosial budaya? Dan kedua kata itupun sama-sama menjadi bahan kajian dua ilmu yang berbeda, antropologi budaya dan sosiologi, meski masing-masing mempunyai kekhasan dalam analisis. Sementara itu psikologi sosialpun menaruh minat terhadap pengkajian kebudayaan, dalam kerangka aktivitas serta peri laku manusia dalam hubungannya de ngan lingkungan hidupnya. Agak sulit melakukan pemisahan pengertian diantara kedua istilah tersebut, yaitu masyarakat kabudayaan. Seperti kita ketahui, kebudayaan
dan
tidak
mungkin lahir di luar kehidupan masyarakat, sementara masyarakat beserta bagian-bagiannya tidak
lain
adalah hasil kebudayaan itu sendiri. Namun yang lebih menarik untuk dibicarakan, ialah kenyataan bahwa
168
keduanya berhubungan dengan aktivitas dan kelakuan manusia, baik individual maupun secara kolektif, secara dua arah. Bubungan di antara kebudayaan dengan indivi dual .tidaklah hanya tunggal arus, karena dalam waktu yang bersamaan terjadi hubungan dua arus di antara keduanya. Di satu fihak, kebudayaan memberi pengaruh secara mendalam kepada perilaku manusia,
sehingga
melahirkan kemantapan (stabilitas) sesuatu masyarakat dan kelangsungan hidup kebudayaan. Di lain
fihak ,
manusia orang seorang maupun secara kelompok, juga memberi pengaruh terhadap kebudayaan tersebutsehingga terjadilah perubahan sosial sepanjang.masa (Krech et al., 1962, h. 3ifl). Selanjutnya kalau kita terima batasan kebudayaan sebagai 'designs for living' atas setiap indi vidu, yang tercermin pada seluru pernyataan (eks - , presi) warga masyarakat yang mengacu pada kebudayaan masyarakat itu. Keterikatan semacam itulah yang di artikan sebagai keterikatan pada relevansi . sosial budaya dari seseorang warga masyarakat, yang tercermin pada seluruh ekspresinya. Secara akademis dan teoritik, kedua pengertian tersebut , kemasyarakatan dan kebudayaan, dapat dibedakan secara lebih nyata, karena masing-masing
169
pengertian tersebut dapat dihubungkan dengan aspek aspek yang berbeda. Dengan mengikuti pandangan Bierstedt (1970) misalnya dalam bukunya 'The Social Order' , pengertian kebudayaan mencakup tiga komponen, sebagai berikut : 1). keyakinan-keyakinan (beliefs) 2), nilai-nilai dan norma-norma (values and norms) 3). bentukan materi (formed matter) Kebudayaan manusia itu bermula dari kekayaan batin yang berujud keyakinan-keyakinan yang dapat mendasari seluruh aktivitas duniawi, dan
secara
umum dapat dikenali sebagai 'ideologi'. Keyakinan keyakinan tersebut selanjutnya mengendap dalam rumusan-rumusan mengenai baik dan buruk, benar dan salah dan sebagainya, dan selanjutnya muncul pula dalam permukaan dalam ujud kaidah-kaidah hidup mengenai apa-apa yang seyogyanya dilakukan dan mana yang seyogyanya tidak diperbuat oleh warga masyarakat. Dan ketika mereka harus menghadapi kenyataan hidup, manusia mulai menciptakan bentukan-bentukan materi sesuai dengan kaidah-kaidah yang mereka
ya-
kini, guna melakukan jawaban atas tantangan hidup yang mereka hadapi. Seluruh ekspresi materiil ini
170 dikenali sebagai memberi corak terhadap bidang ilmu dan teknologi. Selanjutnya kemasyarakatan mengandung pengertian yang dihubungkan dengan komponen-komponen yang berbeda lagi, menurut Poplin (1960) dalam
bukunya
•Communities1, yang terdiri dari : 1), adanya territorium terbatas 2). adanya suatu keorganisasian kehidupan bersama (social order) 3). adanya nilai-nilai kolektif (collective values), yang tercermin dalam kondisi solidaritas sosial (J. S. Nimpoeno, 1980, h.29) Yang
menonjol dari pengertian kemasyarakatan ialah
adanya struktur dengan peranan yang teratur sesuai dengan posisi dan status tertentu dari setiap individu warga masyarakat tersebut, yang mengarah pada kecenderungan ketundukan pada nilai-nilai kolektif. Pengaruh nilai-nilai kolektif tersebut nampaknya hanya terjadi terhadap warga masyarakat, yang pada hakekatnya merupakan sub sistem dari sesuatu sosial tertentu. 'Mekanisme' terjadi, sekali oleh
sistem lagi
karena masyarakat merupakan suatu sistem yang
terjalin dalam suatu solidaritas 'organik*. Sebaliknya, Melville J. Herskovits memandang kebudayaan sebagai suatu yang 'superorganik', karena
171
kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap bidup terus, meskipun orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti dise babkan kematian dan kelahiran (Selo Soemardjan, 196k, b. 114-115). Sifat yang 'superorganik1 itu me mungkinkan orang-orang baru yang berada di luar pemilik sesuatu kebuadayaan tersebut, merasakan pengaruh pola kebudayaan tersebut dalam sikap, cara berfikir maupun perilaku orang tersebut, seperti dirasakan atau dialami masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Gejala semacam itu merupakan contoh dari kebenaran pengertian 'cultural determinism',
yang
dikemukakan oleh Herskovits maupun Malinowski. Para ahli sosiologi barangkali lebih suka menggunakan is< tilah 'social determinism' untuk gejala yang sama. Kedua pengertian tersebut mengandung arti, bahwa un sur-unsur kebudayaan atau kemasyarakatan
mendorong
para anggota masyarakat atau komunitas tertentu untuk menyesuaikan diri dalam sikap, pendapat,
cara
berfikir ataupun kelakuan pada lingkungan kemasyara katan tertentu tersebut. Dengan pengertian-pengertian 'cultural deter minism* maupun 'social determinism1 ini kita
dapat
mewadahi pendapat Spranger tentang adanya enam nilai dasar yang melandasi sikap dan perilaku yang
172
diambil oleh manusia. Keenam nilai dasar
tersebut,
ialah nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai estetis, nilai agama dan nilai teoritis (Sutan Takdir Alisjahbana , 1974, h. 29). Selanjutnya dapat kita ikuti versi Sutan Takdir Alisjahbana
mengenai
latar belakang nilai dasar tersebut, yang menyebut nya sebagai dasar proses kultural. Menurutnya, kita dapat membedakan adanya tiga dasar proses kebudayaan, sebagai berikut : 1). power-solidarity process, yang menggambarkan aspek pengorganisasian, 2). religioaesthetic procees, yang menggambarkan aspek ekspresif, dan 3). theoritical-econoraic process, yang menggambarkan aspek progresif dari kebudayaan. Atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengatakan, bahwa aktivitas manusia tidak hanya dila tar belakangi oleh dorongan atau instink, melainkan ada sesuatu pola tertentu yang mendasarinya, serta memberikan arah tujuan aktivitas tersebut yang lebih tinggi. Gejala itu disebut sebagai 'superorganik' , yang meliputi bahasa, kebiasaan, tata cara, teknologi, kemampuan memnuat jalan, bangunan, melaksanakan cocok tanam, beternak maupun mengelola organisasi sosial dan sebagainya. I£u berarti bahwa aktivitas semacam pembuatan rumah, bercocok tanam, melakukan hubungan kelamin, makan ataupun minum, misalnya, tidak
173
8enata-aata merupakan kegiatan ragawi, melainkan Juga berkaitan dengan suatu nilai pengorbanan
maupun
kesucian, keindahan maupun ekonomi, solidaritas maupun kekuasaan» Dengan konsep-konsep kemasyarakatan maupun kebudayaan seperti yang baru saja disampaikan di atas, terutama mengenai hubungan-hubungan antara individu dengan lingkungan-lingkungan sosial budaya,
dapatlah
selanjutnya kita memahami lebih baik berbagai keeen derungan sikap, perilaku maupun ekspresi }ainnya dari warga masyarakat» b. Nilai-nilai Jawa
Mula-mula 'Jawa1 harus difahaml sebagai konsep kemasyarakatan, baru kemudian sebagai konsep kebudayaan, meskipun nantinya kita sering menggunakan pengertian yang menjumbuhkan di antara kedua pengertian tersebut. Dan faktor yang mentaatkan kedua pengertian tersebut, yaitu Jawa sebagai kesatuan masyarakat dan sebagai kesatuan budaya, ialah nilai. Sebagaimana kita ketahui, baik konsep kebudayaan-menurut . Bierstedt (1970) tentang.kebudayaan, maupun konsep kemasyarakatan menurut Poplin
(1960) ,
111
kedua-duanya mengandung komponen nilai-nilai kolektif yang mengikat masyarakat pendukungnya. Oleh karenanya dalam kesempatan ini ingin dikemukakan komponen nilai-nilai, yang dalam kaitan ini ingin dlkemukakan nilai-nilai hidup orang Jawa, Adapun relevansi uraian mengenal nilai-nilai orang-orang Jawa dalam studi ini ialah, untuk memberikan gambaran mengenai lingkungan sosial budaya bagi kepentingan pemberian penjelasan atau untuk dapat memahami lebih baik kecenderungan yang terjadi responden, sebagaimana dimaksud dalam studi
pada
ini.
Perlu diketahui bahwa uraian ini masih berkaitan dengan pembicaraan mengenai Unit Penelitian,
karena
kedua-duanya memberikan gambaran mengenai
konteks
sosial budaya dari responden. Dengan pemberian gambaran mengenai konteks sosial budaya tadi, dapatlah kemudian
kita memahami mengapa dipilih subyek pene-
litian pada Unit Penelitian seperti yang
dimaksud
dalam studi ini. Sebagaimana diketahui subyek penelitian ini ialah para remaja yang masih menjadi siswa pada SMA Kolese Loyola, SMA Muhamadiyah, dan SMA Taman Siswa di Semarang, Mengapa di Semarang? Jus tru di sini letak persoalannya, yang akan terjawab dengan uraian pada sub Bab ini. Sebagai konsep kemasyarakatan, Aaka Jawa
175
serupakan suatu sistem sosial yang abstrak dan
ma-
kro, Sifat makro itu disebabkan karena kesatuan sosial terdiri dari sejumlah komunitas, sejumlah lembaga dan sejumlah keluarga. Kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat mikro itulah yang pada hakekatnya merupakan kesatuan sosial yang konkrit. Agpek teritorium pada masyarakat Jawa
agak
sulit ditangkap, sebab agak berbaur dengan batasan administratif pemerintahan. Sebaliknya yang
lebih
menonjol justru kesatuan-kesatuan komunitas kejawaan, seperti adanya 'wong pesisiran', 'wong gunung*t 'wong nagari', atau kesatuan kelembagaan , seperti 'wong cilik', 'priyayi', atau kalau meminjam istilah Clifford Geertz (196^) 'santri1, 'abangan' atau 'priyayi'. Yang menonjol di sini adalah aspek-aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif pada pengertian kemasyarakatan Jawa yang dimaksud. Ban Semarang merupakan sebuah komunitas kejawaan yang dikenali sebagai 'wong pasisiran', meskipun dalam kenyataan tak hanya terdiri dari_ kumpulan individu keturunan orang Jawa. Meskipun demikian, sebagai komunitas 'wong pasisiran' itu merupakan sub sistem dari masyarakat Jawa, yang merupakan kesatuan sosial yang terikat oleh keteraturan yang dijiwai oleh nilai-nilai hidup kolektif Jawa.
176
Nilai-nilai hidup Jawa inilah yang nampaknya memegang peranan dalam kecenderungan integratif pada warga masyarakat, sesuai deftgah pengertian kebudayaan sebagai suatu tsuperorganik'• Jadi dengan pengertian itu, patut diduga bahwa nilai-nilai kehi dupan Jawa memberikan pengaruh terhadap warga masyarakat non Jawa sekalipun, asal berada sebagai sub . sistem masyarakat Jawa atau di lingkungan masyarakat yang mengakui nilai-nilai Jawa. Ini berarti, dalam artian kebudayaan, nilai-nilai hidup Jawa tidak dibatasi oleh kawasan teritorium, karena sifatnya yang 'superorganik' tadi, paling tidak untuk nilai-nilai tertentu. Lantas, mana ' gerangan nilai-nilai hidup Jawa itu?
1), Sosialisasi Dalam Masyarakat Jawa Penanaman nilai-nilai hidup telah dimulai sejak dalam lingkungan keluarga Jawa, dengan mengikuti pola tradisional. Menurut Hildred GBerzt (1961), orang-orang dewasa di sekitar anfck, ataupun kakak kakak mereka selalu memberikan apa-apa yang diminta anak-anak, apalagi kalau mereka mulai menangis. Kebiasaan semacam itu mulai berubah, apabila anak-anak
177
mulai menjadi besar. Menurut pola tradisional itu anak-anak biasanya dibiarkan menuruti kehendak sendiri, selama dia tidak berbuat hal-hal yang
tidak
bertentangan dengan tata nilai umum, sehingga diperkirakan dapat mengganggu keselarasan kehidupan
ma-
syarakat, Baru ketika timbul dugaan akan terjadinya gangguan keselarasan kehidupan itu, orang tua akan turut campur ( Koentjaraningrat, 1984» h, 115- 240) Barangkali inilah yang dikenal kemudian sebagai tut vuri handayani. Di kalangan kehidupan priyayi bisa kita catat cara-cara untuk mendisiplinkan anak , yang
antara
lain dengan jalan : 1, Dengan mengalihkan perhatian anak-anak dari hal-hal yang tidak diperbolehkan 2, Dengan menakut-nakuti anak dengan menyatakan bahwa ada setan atau makhluk lainnya yang menakutkan 3, Dengan menjanjikan gula-gula atau hadiah 4, Dengan mengancam anak dengan hukuman 5« Dengan membuat anak malu (Koentjaraningrat, 1984» h, 243-244).
178
2). Serba Selara» Dengan cara-cara yang mengikuti pola tradisional pada proses sosialisasi yang dilaksanakan dalam keluarga-keluarga Jawa, seperti tersebut di . atas, nampaknya yang hendak dicapai ialah tertanam dan berkembangnya nilai hidup yang menghendaki serba keselarasan dalam hidup. Nilai hidup semacam itu
di-
tandai oleh sikap 'nrimo1, yang berarti bersedia menerima keadaan bagaimanapun tidak enaknya , sebagai suatu nasib, yaitu sebagai suatu kenyataan. Dengan begitu diharapkan anak-anak akan tumbuh menjadi warga masyarakat yang tabah dalam menghadapi cobaan hidup, dan kemudian dapat menerima kenyataan hidup betapapun pahitnya, dengan pasrah. Ajaran ^rimo* itu ditanamkan dengan
lebih
dahulu menanamkan pengertian, bahwa hidup ini pada dasarnya merupakan rangkaian kesengsaraan, dan oleh karenanya harus dapat dijalani dengan penuh ketabahan hati dan pasrah pada nasib. Ini semua merupakan manifestasi dari nilai keselarasan dengan
nasib ,
yang merupakan pencerminan hidup metafisik
orang
Jawa. Aspek kehidupan lain dari manusia Jawa ialah tercermin pada hubungannya dengan lingkungan alam .
179
Dalam hubungannya dengan lingkungan alampun
orang
Java dituntut untuk mengembangkan keselarasan hidup» dalam arti agar tidak suka mengganggu lingkungan fisik. Dengan berbagai cara orang tua menanamkan nilai kepada anak-anak untuk tidak suka mengusik keselm bangan alam. Ini semua merupakan manifestasi dari sikap hidup yang menghendaki keselarasan dengan alam. Sisi lain dari kehidupan orang Jawa, menurut keyakinan mereka adalah, hubungan antar manusia dalam interaksi sosial, sebagai konsekuensi dari adanya dimensi sosial-kebersamaan. Di sinipun kesela rasan hidup tetap menjadi tujuan, yang dalam hal ini dimanlfestasikan dalam cara hidup yang berorientasi pada kolateral atau hidup penuh guyub. Sikap tersebut diambil karena mereka mempunyai keyakinan, bahwa hidup manusia itu tidak sendiriant oleh
karenanya
sudah wajar kalau di antara mereka timbul rasa untuk selalu mengharapkan bantuan, dan dengan demikian harus tumbuh tenggang rasa dan rtepo sliro' dalam kehidupan guyub mereka. Sementara itu setiap manusia Jawa merasa bergantung pada bantuan, pandangan serta restu dari orang-orang penting, berpangkat
lebih,
tinggi, lebih senior ataupun lebih tua. Dalam suasana komunitas kecil, di mana setiap warganya saling mengenal secara pribadi, setiap
180
warganya akan merasa berkewajiban untuk bertingkah laku konform dengan sesamanya, yang sebetulnya merupakan gangguan terhadap kehidupan pribadi masing masing (Koentjaraningrat, 1984, h, 440),
3). Menghindari Konflik Ciri lain dari nilai hidup orang Jawa ialah adanya prinsip untuk menghindari konflik, yang merupakan manifestasi pula dari prinsip keselarasan dalam hidap bermasyarakatan, karena kerukunan
hidup
dapat terancam setiap saat oleh setiap bentuk konflik yang terbuka. Oleh karenanya tuntutan untuk hidup secara rukun penuh harmoni itu, yang pertama ialah menghindari adanya konflik terbuka, sehingga kalau seandainya terjadi ketegangan, orang
berusaha
untuk tidak memperlihatkannya secara terbuka. Sekurang-kurangnya, pada semua bentuk interaksi sosial nampak dari luar kelihatan seolah-olah tenang dan rukun. Selanjutnya F. von Magnis Suseno (1985) menilai, bahwa bagi masyarakat Jawa masalahnya bukan lagi menciptakan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandalkan sudah ada. Selanjutnya pengamatan F. von Magnis Suseno
181
terhadap masyarakat Java berhasil mengenali cara-cara orang Java mengusahakan pencegahan konflik, yang menurutnya terdiri dari tiga tingkatan : melalui tekanan sosial, melalui kondisionlsasi psikis, dan melalui nilai-nilai etis. Tekanan sosial yang dimaksud di atss berisi seperangkat harapan-harapan sosial mengenai apa-apa yang selayaknya tidak diperbuat dan apa-apa yang selayaknya diperbuat oleh varga masyarakat, terutama varga baru masyarakat. Atas anggapan bahva hal yang paling mengganggu keselarasan hidup ialah faktor perasaan (emosi), maka yang paling diharapkan .oleh masyarakat ialah kemampuan varga masyarakat untuk me ngendalikan diri, agar tidak terjadi konflik* Norma itu terangkum dalam tuntutan untuk selalu 'mawas diri' dana menguasai emosi* Penguasaan emosi itu antara lain terlihat pada kemampuan untuk tidak memperlihatkan perasaan sebenarnya, atau kemampuan untuk menyatakan perasaan dengan cara lain. Sepintas lalu cara seperti ini tidak ada bedanya dengan 'kepuara-puraan dalam hidup1* Namun 1tatakrama', 'unggsh-ungguh', maupun 'boso kromo* tidak lain merupakan manifestasi dari hasrat untuk menyatakan dengan cara lain sebagai pencerminan kemampuan untuk menahan diri, agar supaya tidak-
182
terjadi konflik terbuka. Dengan begitu maka suasana ketenteraman sosial tetap dapat selalu
dip6rtahan*?
kan. Cara ke dua yang dilalui oleh masyarakat Jawa untuk mempertahankan keselarasan hidup, ialah dengan kondlsionalisasi psikis dalam bentuk internalisasi nilai-nilai. Cara ini dilalui di dalam
ling-
kungan keluarga seperti yang dimaksud dalam proses sosialisasi dalam keluarga Jawa, seperti dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984)« Dengan menggunakan cara-cara ancaman dan ganjaran, anak-anak diajak untuk menghayati nilai-nilai hidup, hingga tahu mana-mana yang salah dan mana-mana yang benar* Tang ingin ditanamkan lewat proses ini ialah * budaya malu', yaitu perasaan 'sungkan* atau 'ngerti Isin' yang positif karena melakukan hal-hal yang tidak berkenan dengan harapan-harapan sosial. Dengan cara ini ingin ditanamkan pula nilai, bahwa
menen-
tang pendapat umum secara langsung atau menunjukkan permusuhan itu sangat bertentangan dengan perasaan halus. Dan akhirnya cara yang biasa dilalui untuk mencegak konflik ialah dengan menunjukkan
sikap -
sikap etis. Sikap paling mendasar yang ingin dita namkan dalam sosialisasi Jawa, ialah
tidak
183
mementingkan diri sendiri, yang dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan sebutan 'sepi Ing pamrih, rame ing gave'« Sikap 'sepi ing pamrih1 adalah sikap yang etis menurut ukuran nilai hidup Java, sebab merupa kan manifestasi dari gambaran watak luhur orang Java yang diukur dari kemampuan untuk membebaskan diri dari 1pamrih'.Pamrih sendiri berarti mengharapkan sesuatu untuk kepentingan sendiri (individual),
dengan
tidak menghiraukan kepentingan orang lain. Mereka yang mampu membebaskan diri dari pamrih akan mengembangkan sikap 'nrimo', sebab 'nrimo' berarti mau menerima kenyataan hidup tanpa suatu protes atau pemberontakan. Di sini *nrimo* perlu mendapat penjelasan agar tidak mudah ditafsirkan menjadi suatu gambaran putus asa atau apatis. Sebaliknya, menurut von Magnis Suseno, 'nrimo* harus ditafsirkan sebagai sikap positif, karena merupakan mekanisme agar bisa tetap survive, ketika harus menerima kenyataan yang buruk, namun tidak membiarkan diri hancur karena mengalami frustrasi* Sifat positif dari pengertian 'nrimo*
tadi
terletak pada ungkapan berikutnya, yang selalu dikaitkan dengan 'sepi ing pamrih', yaitu 'rame ing ga ve'. Ungkapan terakhir ini mengandung arti, bahwa harus ada kesediaan pada setiap pribadi untuk dengan
121
rela hati melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung Jawab yang dibebankan di atas pundaknya, sesuai dengan harapan-harapan sosial yang ada. Dengan cara-cara itu maka
orang Jawa akan
berusaha untuk menjaga keselarasan hidup
sosial ,
hidup spiritual, maupun hidup dalam lingkungan fisik karena telah berusaha sejah mungkin untuk menghln darkan diri dari konflik terbuka dengan siapapun*
C. MODEL INTERAKSI UNTUK KEPENTINGAN STUDI
Dengan memperhatikan berbagai konsep menge nal proses-proses sosial, peranan-peranan pendidik an, proses sosialisasi, teori pengenal peran, teori disonans, masalah sosial, relevansi sosial budaya , dan sebagainya, dapatlah kemudian dlkemukakan sebuah model interaksi sosial, yang disusun untuk kepentingan studi ini* Model interaksi tersebut memberi gambaran mengenai berbagai faktor yang terlibat, dan dapat kita saksikan pada Gambar
pada halanan
,
yang dapat diuraikan dengan cara sebagal berikut, 1» Dalam setiap masyarakat akan terjadi interaksi sosial, yang diawali oleh hubungan antar
185
personal, antara individu dengan kelompok , dan antara kelompok dengan kelompok, yang memungkinkan terjadinya kelakuan sosial atau •social behavior'. Itu semua menandakan adanya suatu kehidupan sosial. 2. Salah satu fungsi yang disandang oleh proses interaksi sosial tersebut, ialah sosialisasi atau enkulturasi, yang dimaksudkan
sebagai
proses untuk penyesuaian diri dalam kehidupan berkelompok. Proses sosialisasi tersebut juga dikenal sebagai 'social-personal and cultural learning', atau 1social-adjustment'. 3. Dilihat dari prosesnya, penyesuaian
sosial
itu merupakan hasil perbenturan antara relevansi sosial budaya, yang ditandai
dengan
adanya tekanan nilai-nilai kolektif, dengan re ferensi-re ferensl individual. Yang dimaksud dengan relevansi sosial budaya ialah pola-pola kecenderungan sosial maupun nilai-nilai kolektif, yang diakui dan mengikat seluruh masyarakat tersebut. Sedang referensi-referensi individual, merupakan rangsangan-rangsangan yang baik datang dari luar maupun dari dalam diri seseorang, yang secara terpola mempengaruhi tingkah laku orang.
186
Salah eatu referensi individual datang dari karakteristik individual, sehagai akibat dari adanya perbedaan (diferensiasi) individual. Berkenaan dengan hasil sosialisasi yang diharapkan, maka relevansi sosial budaya . tadi dijabarkan ke dalam 'role expectations' yang, merupakan harapan-harapan sosial mengenai kualitas penampilan warga masyarakat yang mengalami sosialisasi tersebut. Sementara
itu referensi-referensi individual
akan menempatkan setiap warga masyarakat pada lokasi atau posisi tertentu dalam masyarakat, yang dianggap sebagai 'role location*
bagi
setiap warga masyarakat. 5. Hasil sosialisasi akan mengakibatkan setiap warga baru masyarakat mempunyai 1self-evaluation' maupun 'self-consciousness1, yang merupakan ciri kematangan seseorang. Dan kematangan seseorang tersebut harus selalu mengacu pada 'role expectations' maupun ' 'role location'. Sebaliknya kematangan
seseorang
juga dapat meningkatkan kejelasan dalam memahami 'role expectations' maupun 'role location' warga masyarakat itu sendiri.
•tv OO w
GAMBAR
7
Model Interaksi Sosial Untuk Studi
RELEVANSI SOSIAL BUDAYA Nilai-nilai Kolektif Fakta,gejala sosial
Konform
7777777
Penilaian Orang Dewasa
Tang diturunkan Tang diperoleh
'
(K///// SPOSIS
Nonkonform
\
\ROLE ENACTMENT ) V. /
J.88
6, Faktor-faktor 'kematangan', 'role expectat ions', dan 'role location' ikut membentuk kecenderungan warga masyarakat dalam memainkan peran sosial masing-masing, yang dikenal sebagai 'role enactment'. 'Role enactment' itu sendiri tidak lain adalah ekspresi atau respon seseorang yang berkaitan dengan obyek atau peran-peran lain, dan
obyek
merupakan
pertanda dari partisipasi atau keikut sertaan seseorang dalam kehidupan masyarakat, 7, Satu faktor penting yang mendahului penampilan seseorang dalam memainkan peran sosialnya, dikenali sebagai kecenderungan-kecenderungan (disposisi-dispososi) yang dimiliki setiap warga masyarakat, baru atau yang sudah lama. 8, Dengan menghadapkan sejumlah isyu sosial yang berisi gejala-gejala ketidak serasian perilaku warga masyarakat dengan tata nilai dalam masyarakat, kepada sejumlah warga masyarakat akan dapat diketahui kecenderungan
pendapat
mereka mengenai isyu sosial tersebut. Isyu sosial tersebut dikenal sebagai masalah sosial, yang disusun berdasarkan hasil penilaian sejumlah warga masyarakat orang dewasa, 9, Dengan cara i.tu dapat diketahui
disposisi
189
konformitas atau nonkonformitas sejumlah warga masyarakat dengan tata nilai masyarakat , maupun dengan generasi tua.