BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 2.1. Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Penyelesaian konflik Aceh telah menjadi diskursus yang paling fenomenal dalam sejarah Aceh. Di awal sejarah bangsa ini konflik dalam konteks kenegaraan Islam telah lama muncul dan menjadi diskursus politik antara Aceh dan Jakarta. Negara Islam Aceh telah menjadi diskursus sebagai identitas politik rakyat Aceh. Kedatangan pihak Jawa yang di motori Soekarno dengan janji manisnya telah membuai rakyat Aceh dan bergabung menjadi sebuah negara Indonesia, walaupun pada akhirnya Indonesia berkhianat pada Aceh. Tahun 1945-1945, Aceh masih dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Cumbok untuk mengakhiri kekuasaan feodalisme bangsawan Aceh. Perang ini juga menjadi motor pergerakan pemberontakan Aceh terhadap Indonesia. Akar permasalahannya bukan saja ketika perang melawan penjajah Belanda terdahulu. Tetapi lebih disebabkan karena tuntutan rakyat Aceh agar diberi status khusus sebagai wilayah yang berlaku syari’at Islam juga tak diakomodir oleh pemerintah di Jakarta. Hal ini
memunculkan
gerakan-gerakan
perlawanan
seperti
Darul
DI/TII
(Islam/Tentara Islam Indonesia), NBA/NII (Negara Bagian Aceh/Negara Islam Indonesia, RIA (Republik Islam Aceh) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Meskipun disatu sisi ada perbedaan dimana gerakan DI/TII menginginkan kembali dibentuknya negara Islam. Sedangkan gerakan Hasan Di Tiro mencoba merubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Konflik pun dimulai, di satu sisi pemerintah mengekalkan
Universitas Sumatera Utara
Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi disisi lain gerakan Hasan Di Tiro menginginkan kemerdekaan. 59 Akar gejolak politik ini telah ada ketika pasca kemerdekaan Indonesia. Di mana akar permasalahan pada waktu itu adalah karena kesalahan kebijakan pusat tentang perubahan status keresidenan Aceh dari Sumatera Utara pada tahun 1950. untuk menjaga stabilitas politik, keamanan dan persatuan bangsa, maka diutuslah Perdana Menteri Hardi untuk membicarakan penyelesaian konflik (gejolak politik) atau lebih dikenal dengan MISSI HARDI tahun 1959. Hasil missi tersebut ditanggapi pemerintah dengan memberikan Aceh status “Daerah Istimewa Aceh” serta otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Tetapi stabilitas politik dan keamanan tidak masih terus bergejolak. Ancaman gerakan konflik dari Aceh begitu besar sehingga memunculkan respon dari pemerintah. Selanjutnya Orde Baru berkuasa mengkonstruksi narasi pembangunan yang berpondasikan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. PUSA di Integrasikan ke dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan eksploitasi sumberdaya alam Aceh dimulai sehingga membuat perbedaan sosial ekonomi rakyat serta memangkas otoritas pemerintahan lokal. Fenomena ini melahirkan perlawanan rakyat dan mempertegas perjuangan GAM yang lebih radikal. Puncaknya pada tahun 1989 secara illegal pemerintah memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, di mana sebelumnya dikenal dengan Operasi Jaring Merah. Aceh dipaksa masuk dalam pusara konflik. Ribuan serdadu dikirim ke Aceh untuk menumpas 120 anggota GAM pada waktu itu. 60 59 60
Hasanuddin Yusup Adan, op. cit., hal. 16. Neta.S.Pane, op. cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1992 pemerintah Orde Baru berusaha mengendalikan situasi keamanan dengan menambah aparat militer kembali, tetapi apa yang terjadi adalah pelanggaran HAM besar-besaran di Aceh. Kemudian rezim Orde Baru berakhir, 1998 status Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) dicabut. Konflik GAM dan TNI memanas, penyelesaian perdamaian terus dilakukan. Kekejaman militer berlanjut sehingga hal ini memaksa mahasiswa Aceh merumuskan ulang posisi Aceh di dalam Indonesia. Melalui Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) Tahun 1999, masyarakat Aceh mengirimkan pesan khusus terhadap Jakarta: Aceh sudah muak terus menerus menjadi bagian dari Indonesia; Aceh ingin merdeka. Sejak itulah lembaga perjuangan masyarakat sipil Aceh, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dilahirkan sebagai lembaga yang memperjuangkan referendum penentuan nasib sendiri untuk rakyat Aceh di bawah pengawasan internasional. Tak tanggung-tanggung, mereka mengusung dua opsi radikal untuk Aceh: Bergabung dengan Indonesia atau pisah (Merdeka). Hal ini memaksa pemerintah untuk mencari alternatif penyelesaian konflik tersebut. Pada bulan Mei tahun 2000 diberlakukan Jeda Kemanusiaan untuk dapat membantu rakyat Aceh meskipun tidak efektif. Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh". Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center (HDC), sebuah LSM internasional.
Universitas Sumatera Utara
Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog. Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata. Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI. Kekerasan kembali terjadi dan selanjutnya pembicaraam politik kembali terjadi dengan dicapainya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), 9 Desember 2002 di Jenewa untuk penghentian permusuhan di Aceh yang ditindaklanjuti pembentukan Komite Keamanan Bersama (KKB) Joint Security Committee (JSC) selaku pemantau kesepakatan. CoHA juga tak dapat bertahan lama, karena sulitnya membangun kepercayaan di antara para pihak bertikai. GAM tetap pada pendiriannya menuntut kemerdekaan untuk Aceh, sementara RI memaksakan otonomi sebagai solusi penyelesaian Aceh. CoHA pun gagal dipertahankan. 61 Tepatnya tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang maklumat perang dalam bentuk pemberlakuan Darurat Militer di Aceh dan diperpanjang dengan Darurat
61
Persetujuan RI-GAM di Tokyo, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
Sipil. 62 Kekuatan militer dikerahkan secara besar-besaran ke Aceh. Inilah pengerahan Militer secara besar-besaran setelah invasi ke Timor-Timur pada Tahun 1975. Tak ada orang yang bisa meramalkan kapan perang itu akan berakhir. Kenyataannya kontak senjata belum juga berakhir menjadikan kemudian pihak GAM meminta kembali penjadwalan perundingan Dewan Bersama (Joint Council) di Geneva. Tetapi pemerintah lebih memilih memfokuskan diri pada rencana empat operasi penanganan Aceh, yaitu operasi kemanusiaan, penegakan hukum, pemantapan pemerintahan, dan operasi pemulihan keamanan ketimbang perundingan dengan GAM lewat Pertemuan Dewan Bersama yang difasilitasi Henry Dunant Center (HDC). Dalam perjalanannya HDC ternyata gagal dalam pengawasannya. Pada tahun 2004 dilaksanakan Pemilu di Aceh dalam bayangan darurat militer sebagai pengamanan pelaksana juga memberikan rasa aman bagi rakyat untuk melakukan hak pilihnya pada saat persta demokrasi tersebut berlangsung. Kondisi Aceh semakin diperparah ketika di penghujunga tahun 2004, Aceh di guncang gempa dan gelombang tsunami yang menghancurkan bagian pesisir dan sebagian kota Banda Aceh. Ribuan jiwa meningal dan kehilangan harta dan tempat tinggalnya. Perdamaian menjadi harapan besar bagi rakyat Aceh. Setalah gempa dan tsunami meluluhlantakan Aceh, awal tahun 2005 pemerintah Indonesia intensif berunding dengan wakil GAM. Kali ini Crisis Management Inisiative (CMI) pimpinan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari sebagai fasilitator. Pejabat Indonesia yang aktif dalam perundingan ini antara lain Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin serta Menteri Komunikasi dan
62
Thamrin Ananda, Darurat Militer Aceh dan Pemilu 2004, Serambi Indonesia, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Informatika Sofyan Djalil dan dipihak GAM adalah Malik Mahmud. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan damai yang tertuang dalam Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, tepatnya tanggal 15 Agustus 2005 sebagai langkah awal mewujudkan perdamaian di Aceh secara permanent dan bermartabat. 2.2. Implementasi MoU Helsinki Gempa dan Tsunami yang melanda Aceh di penghujung Desember 2004 seakan memaksa penyelesaian konflik Aceh. Nota Kesepahaman Helsinki ditandatangani hampir satu tahun pasca bencana masif tersebut. Pada bagian awal kesepahaman ini dicantumkan secara jelas bahwa MoU ini adalah bagian dari upaya pemulihan Aceh. Beberapa point penting dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara RI dengan GAM adalah: Pertama, Aceh memiliki kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan. Kewenangan ini memperlihatkan Aceh yang otonom. Bahkan dalam hal kebijakan-kebijakan terkait dengan masalah Aceh, pemerintah pusat akan selalu mengkonsultasikannya dengan legislatif atau pemerintah Aceh. Aceh juga diperbolehkan menggunakan simbol, bendera dan himne sendiri. Kedua, khusus dalam bidang ekonomi, Aceh juga memiliki otonomi dalam sejumlah kebijakan, serta memperoleh penguasaan atas sumber daya alamnya sebesar 70 persen. Ketiga, pemerintah RI akan mematuhi kovenan internasional PBB mengenai hak sipil dan politik dan mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Keempat, pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh pemerintah Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, jika kita lihat dari sudut padang kesepakatan politik, ada tiga hal harus segera di realisasikan (implementasikan) pasca MoU tersebut salah satunya adalah penyusunan pembuatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) , yang mana undang-undang tersebut mengatur masalah Aceh secara khusus. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) bahwa Aceh akan memiliki undang-undang tersendiri yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Dalam poin 1.2 tentang Partisipasi Politik disebutkan bahwa : 1.2 Partisipasi Politik Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan memfasilitasi pembentukan partai-partai yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi masyarakat Aceh untuk partaipartai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondis politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut. 63
Dasar pendirian partai lokal tersebut merujuk kepada poin 1.2.1 MoU Helsinki yang berbunyi: sesegera mungkin tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan nota kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Bab XI pasal 75 ayat 1 dan 2 UU PA berbunyi: penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang 63
Nota Kesepaham antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, loc.cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) persen. Ayat tiga dalam bab dan pasal yang sama menegaskan lagi tentang pendirian partai politik lokal harus dengan akta notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta struktur kepengurusannya. 64 Kemudian Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal di Aceh, disebutkan bahwa Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. 65 Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 yang mengatur tentang partai lokal di Aceh, memberikan dampak kemajuan dalam demokrasi di tingkat daerah bagi mereka
yang
ingin
mengartikulasikan
kepentingan
politiknya
secara
konstitusional, damai dan demokratis di Aceh. Keberadaan kedua undang-undang tersebut akan menjadi legal standing sangat penting bagi pembentukan partai politik lokal. Secara
teoritis,
partai
politik
berperan
sebagai
sarana
untuk
mengoperasionalkan fungsi-fungsi politik, seperti sosialiasi politik, rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan politik masyarakat. Fungsi-fungsi ini 64 65
Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, Bandung, Fokusmedia, Hal. 59. Peraturan Pemerintah Tentang Partai Politik Lokal Aceh Nomor 20 Tahun 2007, loc.cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
terkait dengan kedudukan partai politik sebagai salah satu penghuni sistem politik. Sistem politik sendiri menurut pendekatan Fungsional Estonian terdiri dari dua sub sistem yaitu, infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Dalam pengertian sederhana, infrastruktur politik merupakan suasana kehidupan politik di tingkat masyarakat yang mencerminkan dinamika organisasi sosial politik di luar pemerintahan. Sementara suprastruktur politik merupakan suasana kehidupan politik di dalam pemerintahan dan berkaitan dengan peran dan fungsi lembagalembaga pemerintahan. 2.2.1. Pembentukan Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Kehadiran partai politik lokal dalam proses politik membuat sistem politik di Aceh unik, dalam arti berbeda dengan daerah-daerah lain. Keunikan sistem politik ini bisa terwujud karena adanya pembagian kekuasaan antara Pemerintah Jakarta dengan Aceh yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Keunikan sistem politik ini memberi dua keuntungan kepada Aceh dan Indonesia. Pertama, Partai politik lokal Partai politik akan menjadi alat untuk mendekatkan jarak ideologis antara pemerintah dan GAM. partai lokal yang bertanding dalam sistem politik Indonesia harus tunduk di bawah aturan main seperti undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada, apapun ideologi politiknya. Secara tidak langsung terjadi reintegrasi sistemik, di mana partai lokal akan terikat dengan realitas bahwa mereka tidak bisa melepaskan diri dari kerangka sistem politik yang sedang berlaku, yaitu sistem politik Indonesia. Di negara-negara yang penuh dengan konflik politik separatisme yang mengusung ideologi nasionalisme, partai politik lokal merupakan jalan keluar dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
memperkuat otonomi politik daerah dan mengikat daerah tersebut dalam sistem politik nasional. Keuntungan kedua, lokalitas partai lokal berfungsi untuk mendekatkan jarak kepentingan antara para pemilih dengan partai politik yang mewakili masyarakat dalam pemerintahan. Selama ini partai politik nasional seperti hidup dalam kedekatan imajiner dengan para konstituens di akar rumput. Elit partai baik di level nasional maupun level lokal hanya menjadi juru bicara bagi dirinya sendiri dan tidak membawa kepentingan rakyat secara aspiratif. Publik lebih mengenal partai politik nasional dan tokoh-tokohnya karena konflik internal atau skandal, bukan karena program partai yang mencerdaskan, menyejahterakan dan mencerahkan. Dalam pendirian partai politik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pertama, Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh. Sementara tujuan umum partai politik lokal sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pasal 78 yang berbunyi: “ mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh”. Meskipun demikian, MoU Helsinki mencantumkan klausul tentang kebebasan menentukan tujuan Partai lokal, maka ini sungguh merupakan satu
Universitas Sumatera Utara
kemajuan politik di Aceh. Dalam realitasnya, MoU Helsinki sama sekali tidak mengatur soal kebebasan menentukan tujuan Partai lokal di Aceh. Tujuan Partai lokal mesti mengacu kepada jiwa UUD-1945 dan ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007. 2.2.2. Dasar Hukum Pendirian Partai Politik Lokal Tercapainya Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau MoU Helsinki merupakan jalan ke sekian kalinya bagi penyelesaikan konflik di Aceh. hal ini juga telah memberi kehidupan dalam proses demokratisasi sosial, ekonomi dan politik di Aceh. Ruang demokrasi telah terbuka lebar yang kembali merajut perdamaian bagi rakyat Aceh. Implementasi MoU Helsinki melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan salah satunya adalah pendirian partai politik lokal yang berbasis di Aceh. Partai politik lokal merupakan bagian dari penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh. Sehingga indikator ini menjadi dasar hukum pendirian partai politik lokal adalah MoU Helsinki yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh. Sehingga saat ini telah banyak berdiri partai politik lokal sebagai refresentatif masyarakat dalam mengartikulasikan kepentingan politik mereka di tingkat parlemen. Dalam konteks politik, peneliti melihat bahwa ini akan terjadi perang baru antara partai politik nasional dan partai politik lokal atau antara elit politik nasional yang konservatif melawan elit politik yang anti nasionalis dan lebih
Universitas Sumatera Utara
progresif bagi perubahan Aceh. diskursus Aceh baru akan menjadi tameng bagi elit politik muda Aceh untuk mengancam rezim sentralisme politik saat ini. Bagi mereka partai nasional telah gagal dan tamat riwayatnya, saatnya bagi kaum muda bangkit melalui partai politik lokal dan mendorong terciptanya desentralisasi yang luas untuk Aceh dan daerah lain di seluruh Indonesia. 2.3. Profil Responden 2.3.1. Aguswandi Ketua Umum Partai Rakyat Aceh Aguswandi dilahirkan di Sibreh tahun 1977 dari keluarga petani. Ia seorang tokoh dalam gerakan mahasiswa 1998. saat itu dia terlibat aktif dalam aksi-aksi demonstrasi menjatuhkan rezim Soeharto, berbagai protes pencabutan operasi militer di Aceh. Ia merupakan mantan aktivis SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat) dan Forum Rakyat yang merupakan gerakan mahasiswa yang menentang rezim militerisme di Aceh. Aktif juga terlibat dalam pembelaan kasus HAM. Tahun 2001 ia tinggal di London dan terlibat aktif dalam berbagai kampanye Aceh di dunia internasional. Aguswandi memperjuangan isu perdamaian dan solidaritas internasional untuk Aceh. Ia pernah memberikan testimoni di kongres Amerika dan sidang parlemen Eropa, melakukan intervensi di sidang komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertemu denganPerdana Menteri Inggris untuk membicarakan masalah Aceh, dan diundang berbicara di universitas di dunia. Ia mendapatkan penghargaan perdamaian dari Center for Peace and Conflict Resolution in London tahun 2002. Aguswandi merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dan menyelesaikan kuliah S2 di bidang politik internasional di London tahun 2003. Pasca tsunami, ia kembali ke
Universitas Sumatera Utara
Aceh dan terlibat dalam berbagai pekerjaan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, serta di Forum Perdamaian Bersama Aceh. Dalam kongres pertama Partai Rakyat Aceh, Aguswandi terpilih sebagai Ketua Umum PRA. 66 2.3.2. Thamrin Ananda, Sekretaris Jendral Partai Rakyat Aceh Thamrin Ananda dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1978 disebuah desa kecil Pidie Aceh. dan menyelesaikan pendidikan dasar didesa tersebut sampai dengan SMP, selanjutnya memasuki SMUN 3 Banda Aceh di Banda Aceh dan sempat mengenyam pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Teknik UNSYAH dan beberapa universitas lainnya. Ia sekarang menjabat sebagai Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Aceh (DPP PRA). PRA merupakan partai lokal pertama di Aceh dan Indonesia saat ini. PRA didirikan pada tanggal 16 Maret 2006, di Banda Aceh. Ia juga merupakan
salah satu deklaratornya, selain
Mulyadi, Malahayati, SH, Ma`arif. sebelumnya beliau aktif di Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), selanjudnya aktif di Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) dengan jabatan terakhir sebagai ketua umum, baru setelah terjadi perdamaian di Aceh. FPDRA berestorasi menjadi partai politik. selain itu saya ia aktif menulis artikel dibeberapa media baik lokal maupun nasinal, khususnya tentang politik dan ekonomi. 67 2.3.3. Tarmizi Biro Ekonomi Partai Rakyat Aceh Ia merupakan salah satu tokoh yang memprakarsai lahirnya ide pembentukan
partai politik lokal sejak aktif dalam organisasi pergerakan
66
Wawancara dengan Aguswandi, Ketua Umum Partai Rakyat Aceh di Kantor Badan Reintegrasi Damai Aceh, Banda Aceh, tanggal 17 Januari 2008. 67 Wawancara dengan Thamrin Ananda, Sekretaris Jendral Partai Rakyat Aceh di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Aceh, Banda Aceh, tanggal 19 Januari 2008.
Universitas Sumatera Utara
mahasiswa di Forum Rakyat. Tinggal di Banda Aceh dan menyelesaikan studi di salah satu perguruan tinggi. Ia juga mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) dan Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA). Ketika SMUR pecah dan ia mendirikan Forum Rakyat yang focus terhadap masalah Aceh. Dalam perjalanan karir organisasinya, ia juga mantan presidum Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Seiring dengan perjalanan waktu, ia dan beberapa temannya mendirikan Aceh People Forum (AFP) yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani kesejahteraan masyarakat dalam peningkatan perekonomian rakyat Aceh.
68
Di PRA ia menjabat sebagai
Biro Ekonomi.
68
Wawancara dengan Tarmizi, Biro Ekonomi Partai Rakyat Aceh, di Kantor Aceh People Forum, Banda Aceh, tanggal 22 Januari 2008.
Universitas Sumatera Utara