BAB II DASAR TEORI
2.1. Sistem Gerak Quadcopter Quadcopter memiliki empat baling-baling penggerak yang diposisikan tegak lurus terhadap bidang datar seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Bentuk Dasar Quadcopter
Masing-masing rotor (baling-baling dan motor penggeraknya) menghasilkan daya angkat dan memiliki jarak yang sama terhadap pusat massa pesawat. Dengan daya angkat masing-masing rotor sebesar lebih dari seperempat berat keseluruhan, memungkinkan Quadcopter untuk terbang.
6
7 Untuk membantu menganalisa gerak dari Quadcopter, dibentuk 2 sistem koordinat kartesian 3 dimensi yaitu sistem koordinat lokal pesawat (body frame, Qb) dan sistem koordinat bumi (ground frame, Qg), seperti Gambar 2.2. Fp1
Zb
Fp4 ψ
Yb θ Xb
Fp3
Fp2
φ
R Fg zg
yg xg
Gambar 2.2. Ground Frame dan Body Frame
Ground frame merupakan kerangka tetap yang berada di bumi yang dijadikan acuan terhadap body frame yang terdapat pada pesawat. Orientasi atau arah hadap dari pesawat dapat direpresentasikan sebagai kerangka acuan pesawat (body frame) yang dirotasi oleh matrix rotasi R.
8
Fp1 Fp4
M4
Zb L
M1
ψ Yb
F p3
θ φ
Xb
Fp2
Fg M3
M2
Gambar 2.3. Gaya Dorong dan Yawing Moment
Analisis gaya yang bekerja pada setiap rotor dapat ditunjukan pada Gambar 2.3. Dengan berputarnya rotor menimbulkan efek aerodinamik yang menyebabkan gaya dorong keatas yang berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan angular rotor tersebut [13]:
Fp kf p 2
(2.1)
dimana kf adalah konstanta rotor yang diperoleh dari percobaan. Semakin cepat putaran rotor menyebabkan gaya dorong tersebut semakin besar. Setiap baling-baling memberikan gaya dorong keatas sebesar Fp yang tegak lurus terhadap kerangka pesawat (body frame) atau searah sumbu zb. Sementara gaya gravitasi bekerja pada pusat massa Quadcopter atau pada sumbu -zg. Jika ⃗ adalah vektor posisi dari quadcopter dan m adalah massa dari quadcopter dengan rotasi matrik R didapatkan:
(2.2)
9
2 m d r2 dt
0 0 R mg
0 0 Fp
Perbedaan gaya dorong ke atas pada masing-masing rotor menyebabkan gerak rotasi dengan pusat rotasi O (pusat massa Quadcopter). Jika jarak antara pusat masa O dengan pusat rotor adalah L maka:
Fres Fp 4 Fp 2 L Fres Fres Fp1 Fp 3 L Fres
(2.3)
(2.4)
dimana ⃗θ adalah torsi yang bekerja searah sudut θ (roll) dan ⃗φ adalah torsi yang bekerja searah sudut φ (pitch). Sesuai dengan hukum III Newton tentang aksi dan reaksi, pada setiap rotor timbul yawing moment yang berlawanan dengan arah putar propeller rotor tersebut [13], seperti pada Gambar 2.3. Yawing moment ini berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan angular rotor sesuai dengan persamaan 2.8.
M km p 2
(2.5)
Pada persamaan 2.8, km merupakan konstanta yawing moment yang diperoleh dari percobaan. Berdasarkan konfigurasi arah putar rotor pada Gambar 2.3, rotor 2 dan 4 berputar searah dengan sudut ψ positif, sedangkan rotor 1 dan 3 berputar berlawanan arah atau sudut ψ
10 negatif. Sehingga rotor 2 dan 4 memberikan yawing moment searah sudut ψ negatif, dan sebaliknya, rotor 1 dan 3 memberikan yawing moment searah sudut ψ positif. Sehingga bila dikehendaki sudut ψ diam, atau = 0, maka: (2.6)
M 2 M 4 M1 M 3 0
Gerak dari Quadcopter ditentukan oleh kombinasi dari setiap gaya keatas (searah sumbu zp)
yang ditimbulkan oleh masing-masing rotor. Sehingga dengan mengatur
kombinasi kecepatan putar masing-masing rotor, gerak dari quadcopter dapat diarahkan. Sebagai contoh, jika diasumsikan Fp1 – Fp3 = 0, atau Quadcopter tidak melakukan rotasi pada sudut φ dan sudut φ = 0, maka dengan memberikan kombinasi kecepatan angular yang berbeda pada rotor 3 dan rotor 1, akan menyebabkan sudut θ ≠ 0, seperti pada Gambar 2.4. zg zp
Fp2 cos(θ) Fp4
Fp2 cos(θ) + Fp4 cos(θ)
Fp4 sin(θ)
θ Fp2 sin(θ) + Fp4 sin(θ) O θ
xg
Fp2 Fp2 cos(θ) xp
Fg = mg Gambar 2.4. Resultan Gaya Akibat Sudut θ ≠ 0
Fp2 sin(θ)
11 Berdasarkan Gambar 2.4, pada pusat massa O timbul gaya resultan searah sumbu xg positif yang menyebabkan Quadcopter bergerak searah dengan gaya tersebut. Semakin besar sudut θ menyebabkan gaya searah sumbu xg semakin besar. Jika diharapkan Quadcopter bergerak datar searah sumbu xg, maka besarnya kombinasi gaya yang searah dengan sumbu zg harus sama dengan besarnya ⃗ g. Hal yang sama pula dapat berlaku pada sudut θ. Dengan mengatur kombinasi kedua sudut tersebut didapatkan resultan gaya yang dapat bergerak ke segala arah.
2.2. Motor BLDC (Brushless Direct Current) Quadcopter membutuhkan penggerak berupa baling-baling yang diputar oleh motor. Spesifikasi yang harus dipenuhi oleh sistem gerak ini adalah torsi, efisiensi dan getaran yang ditimbulkan oleh berputarnya motor dan baling-baling. Motor dengan getaran yang terlalu besar dapat mengganggu sensor-sensor yang digunakan pada AHRS. Efisiensi motor berkaitan dengan durabilitas terbang dari pesawat, mengingat sumber daya (battery) yang digunakan terbatas. Brushless Direct Current Motor atau biasa disebut BLDC adalah motor DC yang proses komutasinya tidak menggunakan sikat seperti motor DC pada umumnya. Dibandingkan dengan motor DC dengan sikat, BLDC memiliki beberapa kelebihan yaitu: efisiensi tinggi, kecepatan dan torsi yang tinggi, respon dinamis yang tinggi, masa operasi yang panjang dan operasi tanpa noise [15]. Sehingga dengan kelebihan-kelebihan tersebut, BLDC banyak digunakan pada aplikasi aeromodelling dan termasuk pada quadcopter. Motor BLDC adalah tipe motor sinkron. Artinya, medan magnet yang dihasilkan oleh stator dan medan magnet yang dihasilkan oleh rotor mempunyai frekuensi yang sama. Rotor
12 (bagian motor yang berputar) pada BLDC terdiri dari magnet permanen, sedangkan stator terdiri dari kumparan. Berbeda dengan motor DC dengan sikat, di mana rotor berupa lilitan dan stator berupa magnet tetap. Pada umumnya, motor BLDC yang banyak tersedia adalah tipe 3 fasa. Gambar 2.5 menunjukan gambar mekanik dan koneksi elektrik dari motor BLDC 3 fasa. Pengkabelan kumparan stator tergabung menjadi 4 koneksi: A, B, C dan common1. Setiap fasa terdiri dari dua buah kumparan identik yang terpisah.
Gambar 2.5. Struktur Mekanis dan Elektik Motor BLDC 3 fasa[18]
Untuk berputar penuh, motor BLDC memiliki 6 langkah komutasi. Setiap langkah komutasi melibatkan 2 kutub yang dieksitasi. Permasalahan yang timbul dalam menjalankan langkah-langkah komutasi ini adalah pendeteksian posisi rotor, karena posisi rotor menentukan langkah komutasi yang harus dilakukan. Ada dua jenis metode yang digunakan, yaitu dengan beberapa hall effect sensor
dan metode tanpa sensor (sensorless) yang
memanfaatkan BEMF (Back Electromotive Force).
1
Umumnya koneksi common merupakan koneksi didalam motor dan tidak dikeluarkan atau dihubungkan dengan kabel keluar.
13 Pendeteksian posisi rotor dengan hall effect sensor memanfaatkan kepekaan sensor ini dalam mendeteksi medan magnet permanen pada rotor. Beberapa hall effect sensor diletakan sedemikian rupa hingga setiap posisi rotor dapat didteksi. Metode sensorless memanfaatkan arus listrik yang dihasilkan kumparan yang tidak tereksitasi yang diukur dari common dan kutub yang tidak tereksitasi, karena pada prinsipnya kutub yang tidak tereksitasi merupakan kumparan yang dapat menghasilkan arus listrik jika ada medan magnet menyinggungnya. BLDC yang digunakan pada aeromodelling adalah BLDC sensorless 3 fasa. Untuk menggerakannya digunakan ESC (Electronics Speed Controller). ESC merupakan pengendali kecepatan BLDC dengan input berupa modulasi lebar pulsa (PWM). Dengan antarmuka PWM, kecepatan motor dapat diatur dengan mudah oleh pengendali seperti mikrokontroler. BLDC pada aeromodelling biasanya memiliki satuan kV, 1000 kV = 1000 RPM per Volt.
2.3. Baling-Baling (Propeller) Baling-baling adalah alat yang mengubah gerak putar menjadi daya dorong. Daya dorong inilah yang dimanfaatkan pesawat terbang dan kapal laut sebagai penghasil daya dorong utama. Pembahasan baling-baling pada tugas akhir ini dibatasi hanya pada parameter baling-baling yang digunakan dalam RC (Radio Control) aeromodelling. Ada beberapa parameter penting yang dimiliki baling-baling pada RC aeromodelling. Parameter-parameter ini bisa dijadikan pedoman untuk memilih baling-baling sesuai dengan kebutuhan[11]:
14 1. Diameter dan pitch Semua baling-baling RC yang tersedia memiliki 2 buah ukuran, yaitu diameter dan pitch. Diameter dihitung berdasarkan diameter lingkaran yang dibentuk saat balingbaling berputar. Jika baling-baling dianalogikan sebagai sebuah sekrup, pitch merupakan jarak yang ditempuh oleh baling-baling jika diputar 1 putaran penuh. Semakin panjang diameter dan pitch baling-baling semakin banyak pula udara yang disapu dan semakin besar pula daya dorong yang dihasilkan. Tapi diameter dan pitch dari baling-baling ini harus disesuaikan dengan motor dan sumber daya yang digunakan. Biasanya produsen motor sudah memeberikan spesifikasi baling-baling untuk motor-nya. Satuan dari diameter dan pitch dari baling-baling RC adalah inch. Baling-baling dengan ukuran 10x4.5 memiliki diameter 10 inch dan pitch 4.5 inch. 2. Jumlah bilah Umumnya, jumlah bilah pada baling-baling RC aeromodelling adalah 2 bilah. Tetapi ada beberapa yang menggunakan 3 bilah dan 4 bilah. Semakin banyak bilah pada baling-baling menyebabkan semakin banyak udara yang disapu sehingga menghasilkan daya dorong yang lebih besar. Semakin banyak bilah juga menuntut motor dengan torsi yang lebih besar. Biasanya penambahan jumlah bilah bertujuan untuk memperkecil diameter baling-baling, tentunya untuk menghasilkan performa yang sama (dengan motor yang sama) pitch-nya harus dikurangi.
15
Gambar 2.6. Baling-baling dengan Bermacam Jumlah Bilah
3. Arah putar Dengan arah gaya dorong yang sama, baling-baling RC aeromodelling memiliki dua jenis arah putaran: searah jarum jam (CW, clockwise) dan berkebalikan arah jarum jam (CCW, counter clockwise). Arah putar ini menentukan yawing moment yang dihasilkan dari baling-baling. Pada Quadcopter, dibutuhkan sepasang baling-baling CW dan CCW agar yawing moment saling menghilangkan.
b a
Gambar 2.7. Baling-baling CW(a) dan CCW(b)
16
2.4. Attitude Heading Reference System (AHRS) Informasi orientasi pesawat sangat penting untuk diketahui oleh sistem pengendali utama pesawat. Informasi ini akan menjadi sumber masukan bagi pengendali utama untuk mengendalikan kecepatan motor demi mempertahankan sudut orientasi yang telah ditentukan. Untuk mengetahui orientasi pesawat dalam ruang, Quadcopter membutuhkan sebuah piranti elektronik yang disebut Attitude Heading Reference System (AHRS). AHRS merupakan integrasi dari beberapa sensor dan menggunakan perhitungan tertentu untuk memadukan data dari sensor-sensor tersebut. Pada bagian selanjutnya akan dibahas teori dasar yang digunakan untuk membangun AHRS. Pembahasan dimulai dengan sensor-sensor yang digunakan, teori rotasi matrik dan algoritma yang dipakai untuk mendapatkan informasi orientasi yang akurat.
2.4.1. Akselerometer Akselerometer adalah sensor yang digunakan untuk mengukur percepatan atau perubahan kecepatan terhadap waktu. Sensor ini dipasang bersama benda yang akan diukur akselerasinya, seperti mengukur perubahan kecepatan roket yang meluncur atau digunakan untuk analisis getaran (vibration analysis) pada mesin, serta digunakan untuk mendeteksi gerak dan kemiringan pada smart phone. Pada aplikasinya dalam AHRS, akselerometer digunakan sebagai sensor pendeteksi arah percepatan gravitasi yang nantinya akan diolah menjadi sudut kemiringan pesawat terhadap bidang horisontal permukaan bumi
17 2.4.1.1. Konsep Akselerometer: Sistem Massa-Pegas Akselerometer dapat dianalogikan sebagai sebuah sistem massa-pegas (mass spring system) yang bekerja berdasarkan Hukum Newton dan Hukum Hooke. Prinsip kerja dari sensor ini akan dijelaskan sebagai berikut.
Gambar 2.8. Sistem Massa-Pegas sebagai Akselerometer
Hukum Newton II menyatakan jika massa m dan mengalami percepatan sebesar a, maka ada gaya yang bekerja pada massa tersebut sesuai dengan persamaan 2.7:
F ma
(2.7)
Hukum Hooke menyatakan jika pegas dengan konstanta pegas k direnggangkan sehingga berubah panjangnya sebesar Δx, maka ada gaya F yang bekerja pada pegas tersebut dinyatakan dalam persamaan 2.8:
F k x
(2.8)
Pada Gambar 2.8, diilustrasikan sebuah sistem dengan massa m1 yang bebas bergerak secara horisontal pada sebuah bidang berdinding m2. Massa m1 dihubungkan ke dinding bidang m2 oleh sebuah pegas. Awalnya bidang m2 diam (Gambar 2.8a) dan pegas dalam kondisi tidak merenggang. Pada Gambar 2.8b, ada percepatan horisontal a yang
18 bekerja pada sistem ini yang menyebabkan pegas merenggang sebesar Δx. Renggangnya pegas ini dikarenakan adanya gaya yang bekerja pada m1 akibat percepatan a. Dengan menggabungkan Hukum Newton dan Hukum Hooke didapatkan:
ma k x
(2.9)
Dimana, k=konstanta pegas (N/m) Δx=perenggangan pegas (m) a=akselerasi sistem (m/s2) Sehingga percepatan yang dialami oleh sistem sebesar:
a
k x m
(2.10)
Dengan persamaan 2.10, jika konstanta pegas dan massa diketahui, alat ukur percepatan dapat dibuat hanya dengan mengukur perubahan panjang dari pegas.
2.4.1.2. Sensor Akselerometer Elektronik dengan Teknologi MEMS Sensor akselerometer elektronik adalah sensor akselerometer yang hasil pengukuran akselerasinya dinyatakan dalam tegangan atau data digital. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa akselerometer dapat dibangun dengan massa yang dikaitkan dengan pegas, akselerometer elektronik memiliki prinsip yang sama dalam mengukur percepatan. Hanya saja tidak mungkin untuk membuat sensor dengan ukuran yang relatif besar seperti Gambar 2.8. Hingga pada akhir abad 20 dikembangkan teknologi MEMS (Micro-Electro-Mechanical Systems), yang mampu menerapkan prinsip akselerometer massa-pegas ke dalam sebuah chip.
19 Akselerometer dengan teknologi MEMS memanfaatkan perubahan kapasitansi dua buah plat terhadap perubahan jarak antar plat tersebut karena pengaruh akselerasi dari luar. Prinsip kerja dari akselerometer kapasitif ini dijelaskan sebagai berikut. Pada Gambar 2.9, terdapat plat yang tetap (Y) dan plat yang dapat bergerak secara elastis (X). Saat sistem mendapatkan akselerasi (Gambar 2.9b), jarak antara kedua plat ini akan berubah dan menyebabkan kapasitansi kedua plat juga berubah. Selanjutnya dengan rangkaian elektronik perubahan kapasitansi ini diubah menjadi tegangan yang proporsional dengan akselerasi eksternal yang dirasakan oleh sistem. Gambar 2.10 menunjukan foto mekanika pengindraan percepatan dari sebuah chip akselerometer dengan teknologi MEMS. Akselerasi
Pegas
Pegas
X
Y
b) Posisi normal tanpa percepatan
X
Y
a) Jarak X-Y merenggang karena akselerasi
Gambar 2.9. Struktur Akselerometer Elektronik
20
Gambar 2.10. Foto Mikroskopik Mekanik Akselerometer dengan Teknologi MEMS
2.4.1.3. Percepatan Statis dan Dinamis pada Akselerometer Ada dua jenis percepatan yang dapat dideteksi oleh akselerometer, yaitu percepatan statis dan percepatan dinamis. Percepatan dinamis adalah percepatan yang dialami oleh benda bergerak, sedangkan percepatan statis adalah percepatan yang dialami oleh benda diam. Setiap benda dalam medan gravitasi bumi mendapatkan gaya tarik ke pusat bumi atau disebut gaya berat. Sebagai contoh, meskipun batu pada permukaan tanah kelihatan diam, tetapi ada percepatan statis yang bekerja pada batu tersebut karena pengaruh gaya tarik bumi. Dalam mengukur percepatan dengan akselerometer, perlu ditilik apakah percepatan statis atau dinamis yang bekerja pada sensor ini, karena hasil pengukuran akselerometer merupakan gabungan antara kedua percepatan ini. Misalnya benda yang mula-mula diam dan
21 bergerak mendatar terhadap permukaan bumi. Benda tersebut mendapatkan dua percepatan, yaitu percepatan gerak (dinamis) dan percepatan gravitasi yang arahnya ke bawah (statis).
a. massa-pegas dalam keadaan normal
b. pegas merenggang karena ada percepatan dinamis (a )
a
c. pegas mengerut karena ada percepatan statis (gravitasi)
g
Gambar 2.11. Percepatan Statis dan Dinamis pada Akselerometer Massa-Pegas
Pada Gambar 2.11 diperlihatkan akselerometer massa pegas untuk menjelaskan fenomena ini. Jika akselerometer massa pegas ini digerakkan searah tanda panah pada akselerometer (Gambar 2.11a) maka pegas akan merenggang karena ada pengaruh gaya yang menimbulkan percepatan. Dengan asumsi bahwa ada gaya gravitasi yang bekerja menuju pusat bumi, jika akselerometer kita arahkan ke tanah (arah panah pada sensor menunjuk
22 pusat bumi, Gambar 2.11b ) pegas tidak akan merenggang tetapi mengerut. Respon pegas terhadap percepatan statis (gaya berat) berlawanan dengan respon pegas terhadap percepatan dinamis meskipun kedua percepatan memiliki arah yang sama.
2.4.1.4. Sumbu Pengukuran Akselerometer Dalam mengukur percepatan, akselerometer memiliki sumbu pengukuran (axis). Percepatan yang
searah dengan sumbu ini memiliki nilai maksimum, tetapi jika arah
percepatan ini membentuk sudut maka besarnya percepatan yang terukur merupakan proyeksi percepatan yang bekerja terhadap sumbu pengukuran.
a percepatan dari luar membentuk
Sumbu pengukuran
sudut α
α
a cos
percepatan yang dirasakan oleh akselerometer
akselerometer
Gambar 2.12. Pengukuran Percepatan yang Membentuk Sudut Terhadap Sumbu Pengukuran.
Gambar 2.12 menunjukan proyeksi percepatan dinamis pada akselerometer yang hanya memiliki satu sumbu pengukuran. Akselerometer yang banyak tersedia biasanya memiliki lebih dari satu sumbu pengukuran yang saling tegak lurus. Sumbu pengukuran ini sama dengan sumbu pada sistem koordinat kartesian.
23
Gambar 2.13. Akselerometer dengan 3 sumbu pengukuran.
Jumlah dari sumbu pengukuran akselerometer menentukan kapabilitas dari sensor ini. Untuk mendeteksi besar dan arah percepatan pada satu bidang dibutuhkan dua sumbu pengukuran, dan jika dalam ruang dibutuhkan tiga sumbu pengukuran. Pada pengaplikasiannya dalam AHRS, digunakan akselerometer 3 sumbu pengukuran untuk mendeteksi arah percepatan gravitasi dalam ruang. Karena percepatan gravitasi merupakan percepatan statis, maka sumbu pengukuran harus disesuaikan, mengingat arah percepatan statis berkebalikan dengan percepatan dinamis jika diukur oleh akselerometer. Sehingga akselerometer pada Gambar 2.13 memiliki sumbu pengukuran dinamis dan statis seperti pada Gambar 2.14. z
y
x
sumbu pengukuran statis
x y sumbu pengukuran dinamis
z
Gambar 2.14. Sumbu pengukuran percepatan dinamis dan statis
24 2.4.1.5. Parameter Akselerometer Ada beberapa parameter penting yang dimiliki akselerometer yang tersedia di pasar. Parameter ini penting untuk diperhatikan dalam memilih tipe akselerometer untuk diaplikasikan dalam sebuah sistem. 1.
Jumlah sumbu pengukuran (axis) Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa jumlah sumbu pengukuran ini
menentukan kapabilitas akselerometer dalam mengukur besar dan arah percepatan. Sebagai contoh akselerometer ADXL202 produksi Analog Device[] memiliki dua sumbu pengukuran, sedangkan LIS3LV02DL produksi ST Microelectronics memiliki tiga sumbu pengukuran. 2.
Nilai skala penuh (full scale) Nilai skala penuh merupakan percepatan maksimum yang dapat diukur oleh
akselerometer. Nilai skala penuh biasanya mempunyai jangkauan positif dan negatif . Parameter ini penting untuk menentukan efektif tidaknya akselerometer yang akan dipilih terhadap aplikasi dimana akselerometer digunakan. Sebagai contoh, untuk mengukur akselerasi roket dengan percepatan maksimum 60g (588 m/s2, 1g=9.8 m/s2) akan sangat tidak efektif jika menggunakan ADXL202 yang memiliki skala penuh ±10g. 3.
Antarmuka Dalam pengaplikasiannya akselerometer dihubungkan ke unit pemroses seperti
mikrokontroler atau mikroprosesor. Ada dua jenis sistem antarmuka akselerometer untuk berhubungan dengan unit pengolah, yaitu analog dan digital. Pada antarmuka analog, hasil pengukuran percepatan direpresentasikan dalam tegangan keluaran sedangkan pada antarmuka digital percepatan hasil pengukuran direpresentasikan dengan data digital. Akselerometer dengan antarmuka digital menggunakan protokol komunikasi yang banyak
25 dipakai dalam sistem benam seperti I2C (Inter-Integrated Circuit), SPI (Serial Peripheral Interface) dan PWM (Pulse Width Modulation). Di dalam akselerometer dengan keluaran data digital sudah terdapat ADC (Analog Digital Converter) internal sehingga tidak diperlukan lagi ADC tambahan. 4.
Frekuensi cuplik Besarnya frekuensi cuplik akselerometer merupakan kemampuan akselerometer
untuk memperbarui data percepatan dalam periode waktu tertentu. Parameter ini penting untuk diperhitungkan pada aplikasi akselerometer untuk mengukur jarak atau navigasi.
2.4.2. Giroskop Elektronik Sensor giroskop adalah sensor yang dapat mengukur kecepatan angular dari sebuah objek di mana sensor ini terpasang. Sensor ini sering digunakan pada sistem navigasi pesawat untuk menentukan arah hadap. Pembahasan giroskop pada tugas akhir ini hanya dibatasi pada giroskop elektronik (prinsip kerjanya dan parameter-parameternya), agar pembahasan tidak melebar.
2.4.2.1. Prinsip Kerja Giroskop Garpu Tala Ada banyak metode untuk mendeteksi kecepatan sudut, antara lain vibrating ring gyroscope, tuning fork gyroscope, macro laser ring gyroscope
dan piezoelectric plate
gyroscope. Metode yang paling banyak digunakan dan diproduksi sampai sekarang adalah giroskop garpu tala Draper2 (Draper tuning fork).
2
Charles Stark Draper Laboratory adalah organisasi riset non profit yang fokus terhadap perancangan dan pengembangan teknologi mutakhir untuk solusi masalah keamanan nasional, eksplorasi ruang angkasa, kesehatan dan energi. Berlokasi di Cambridge, Massachusetts. Dibangun oleh Charles Stark Draper (1902-1987) pada tahun 1930.
26 Giroskop garpu tala dibuat dengan memanfaatkan resonansi dari dua buah resonantor yang bergetar yang disebabkan oleh efek Coriolis3. Efek Coriolis adalah defleksi yang timbul pada kerangka acuan rotasi yang besarnya berbanding lurus dengan kecepatan rotasi. Fenomena ini dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 2.15. Meriam pada Piring Besar yang Berputar.
Misal ada sebuah meriam pada pusat sebuah piring besar yang dapat berputar seperti pada Gambar 2.15. Saat piring besar tersebut tidak berputar dan peluru ditembakan dari pusat piring, pada umumnya peluru tersebut bergerak lurus dari pusat piring. Tetapi ketika piring besar tersebut berputar dan meriam menembakan sebuah peluru, maka peluru tersebut tidak memiliki lintasan lurus (seperti saat piring besar tidak berputar) tetapi berbelok. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh rotasi piring terhadap gerak dari peluru. Semakin cepat piring berputar, semakin besar pula pembelokan peluru yang terjadi. Fenomena inilah yang disebut dengan efek Coriolis.
3
Coriolis efect, pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Perancis bernama Gaspard-Gustave Coriolis (1792-1843).
27 rotasi yang diukur z
vibrasi
v
co r y
respon efek Coriolis
x
Gambar 2.16. Efek Coriolis pada Giroskop Garpu Tala.
Pada Gambar 2.16, jika ada benda bergerak dengan kecepatan
v searah sumbu y, dan
mendapat pengaruh rotasi dengan kecepatan sudut
pada sumbu z maka akan timbul
akselerasi Coriolis cor yang searah dengan sumbu x:
cor 2v
(2.11)
MEMS Gyroscope dibangun berdasarkan prinsip Coriolis pada sebuah garpu tala yang bergetar seperti pada Gambar 2.16. Jika garpu tala pada Gambar 2.16 digetarkan pada sumbu y dan garpu tala tersebut diputar pada sumbu z, maka dengan prinsip Coriolis akan timbul getaran juga pada arah sumbu x. Semakin cepat garpu tala ini diputar, maka akan semakin besar getaran yang dirasakan pada sumbu x. Selanjutnya dengan rangkaian elektronik getaran pada sumbu x ini dikonversikan ke dalam besaran elektrik sehingga kecepatan putar dapat dengan mudah diukur dan diolah.
28 Dengan teknologi MEMS, sangat dimungkinkan untuk membuat giroskop dalam ukuran sangat kecil, meskipun di dalamnya terdapat sistem mekanik yang rumit. Gambar[] menunjukan foto mekanik giroskop garpu tala Draper dengan teknologi MEMS.
Gambar 2.17. Prototipe Pertama MEMS Gyroscope Garpu Tala Draper Laboratory
Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi MEMS, membuat MEMS gyroscope menjadi semakin kecil, kompak dan murah. Banyak produsen komponen elektronik yang mengembangkan MEMS gyro ini, diantaranya adalah ST Microelectronics, Analog Device dan InvenSense.
2.4.2.2. Sumbu Pengukuran Giroskop Sama halnya dengan akselerometer, giroskop memiliki sumbu pengukuran. Rotasi dideteksi berdasarkan sumbu pengukuran yang menjadi poros rotasi. Ada banyak giroskop yang tersedia di pasar dan beberapa diantaranya memiliki lebih dari satu sumbu pengukuran yang artinya ada lebih dari satu giroskop dalam sebuah chip. Sumbu-sumbu rotasi pengukuran tersebut saling tegak lurus sehingga posisi masing-masing giroskop didalamnya juga saling tegak lurus.
29 Pada penggunaannya dalam AHRS pada Tugas Akhir ini digunakan giroskop dengan tiga sumbu pengukuran seperti pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18. Sumbu Pengukuran Digital Gyroscope ITG3205[4]
2.4.2.3. Parameter Sensor Giroskop Sensor gyroscope memiliki beberapa parameter yang menentukan karakteristik dan kualitas dari sensor ini: 1. Resolusi Resolusi dari gyroscope merupakan kecepatan putar minimum yang dapat dideteksi oleh sensor. Pada gyroscope dengan keluaran data digital, resolusi dinyatakan dalam satuan bit terkecil per kecepatan putar atau LSB/(°/s). Giroskop dengan resolusi tinggi dapat mendeteksi perubahan orientasi yang kecil. 2. Full-scale Range Full-scale Range merupakan jangkauan maksimum besarnya kecepatan putar yang dapat dideteksi oleh sensor. Sebagai contoh, sensor gyroscope ITG3205[..] memiliki fullscale range sebesar ±2000°/s. Artinya, sensor ini dapat mendeteksi kecepatan putar maksimum 2000° dalam satu detik atau 34.8894 rad/s.
30 3. ZRO (Zero Rate Output) Zero Rate Output pada sensor gyroscope merupakan besarnya keluaran sensor saat diam (tidak berotasi). Dalam implementasinya untuk mengukur arah hadap, yaitu dengan mengintegralkan kecepatan sudut (keluaran gyroscope), keluaran giroskop harus di-offset dengan ZRO-nya terlebih dahulu agar nilai ZRO ini tidak ikut diintegralkan dari waktu ke waktu. 4. Short- or Long-term Drift Pada saat diam, meskipun sudah di-offset dengan ZRO, data keluaran sensor gyroscope tidak akan tetap 0°/s, tapi berubah-ubah. Perubahan ini kecil dan dengan frekwensi yang lambat, akan tetapi sangat terasa nantinya jika diintegralkan dalam jangka waktu yang lama. Short- or Long-term Drift merupakan nilai peak-to-peak dari keluaran giroskop saat tidak ada rotasi. 5. Jumlah sumbu pengukuran Ada banyak gyroscope yang diproduksi yang memiliki lebih dari satu sumbu pengukuran. Misalnya LPY503AL produksi ST Microelectronics[20] memiliki 2 sumbu pengukuran dan ITG3205 produksi Invensense[19] memiliki 3 sumbu pengukuran. Jumlah sumbu pengukuran menentukan kapabilitas dari giroskop dalam mendeteksi rotasi. Misalnya, giroskop dengan hanya dua sumbu pengukuran tidak cukup untuk menentukan arah hadap dalam ruang. Untuk mengukur rotasi atau arah hadap dalam ruang dibutuhkan 3 sumbu pengukuran.
31
2.4.3. Orientasi Kinematik Pada bagian ini akan membahas perhitungan kinematis dari orientasi pesawat terhadap bumi yang direpresentasikan dengan rotasi matrik.
2.4.3.1. Sistem Koordinat Orientasi kinematik selalu berkaitan dengan perhitungan orientasi relatif dari sistem koordinat lokal pesawat (body frame) ke sistem koordinat bumi (ground frame)[12]. Setiap sensor pada pesawat baik akselerometer maupun giroskop bekerja pada sistem koordinat lokal pesawat, sedangkan orientasi dari pesawat yang berkaitan erat dengan gaya gravitasi bumi ditilik dari sistem koordinat bumi.
Gambar 2.19. Body Frame dan Ground Frame
Pada pembahasan ini, titik asal kedua sistem koordinat dipertemukan pada titik yang sama untuk memudahkan analisis rotasi. Sistem koordinat bumi menggunakan notasi OXYZ dan sistem koordinat lokal pesawat dinotasikan sebagai Oxyz. Vektor satuan untuk sistem koordinat bumi (OXYZ) adalah I, J dan K. Sedangkan vektor satuan untuk sistem koordinat lokal pesawat adalah i, j dan k. Dua sistem koordinat ini divisualisasikan pada Gambar 2.19.
32 Pada sistem koordinat bumi, vektor satuan I, J dan K ditulis sebagai:
1 0 0 I 0 , J 1 , K 0 0 0 1
(2.12)
Pada sistem koordinat lokal, vektor satuan i, j dan k ditulis sebagai:
1 0 0 i 0 , j 1 , k 0 0 0 1
(2.13)
2.4.3.2. Representasi Orientasi dengan Rotasi Matrik Pada bagian ini akan dibahas bagaimana merepresentasikan vektor pada sistem koordinat lokal ke sistem koordinat bumi dan sebaliknya.
G Vektor i jika dilihat dari sistem koordinat bumi dinotasikan sebagai i :
ixG i G iyG G iz Selanjutnya,
(2.14)
ix G pada sistem koordinat bumi merupakan proyeksi vektor i ke sumbu X pada
sistem koordinat bumi:
ix
G
ix Di mana
cos( X , i)
G
i cos( X , i )
(2.15)
i cos( I , i)
(2.16)
merupakan nilai kosinus sudut yang dibentuk vektor
I dan i .
33
Karena panjang vektor satuan I dan i bernilai 1, maka: ix G cos( I , i )
(2.17)
atau bisa ditulis:
ix
G
I i cos( I , i)
ix G I i Dengan cara yang sama pada
iy G
dan
Sehingga vektor
(2.19)
iz G diperoleh:
i y G J i
iz
(2.18)
G
(2.20)
K i
i G dapat ditulis:
I i i G J i K i Dengan cara yang sama pada
(2.21)
j G dan k G didapatkan:
I j I k j G J j , k G J k K k K j G G G G Selanjutnya dibentuk matrik R dari vektor i , j dan k :
R G i G j G k G
(2.22)
(2.23)
34
I i I j I k R G J i J j J k K i K j K k cos( I , i) cos( I , j ) cos( I , k ) G R cos( J , i ) cos( J , j ) cos( J , k ) cos( K , i ) cos( K , j ) cos( K , k ) Dengan cara yang sama, vektor satuan pada sistem koordinat bumi
(2.24)
(2.25)
G G G (I ,J ,K )
jika
ditilik dari sistem koordinat lokal dapat diperoleh dengan mengganti notasi I, J, K menjadi i, j, k:
I i J i K i I B I j , J B J j , K B K j k k I J K k
R B menjadi: JB KB J i K i J j K j J k K k
(2.26)
Sehingga, jika dibentuk dalam sebuah matrik
R IB B
I i RB I j I k
cos( I , i) cos( J , i) cos( I , i) B R cos( I , j cos( J , j ) cos( J , j ) , k cos( J , k ) cos( K , k ) cos( I
(2.27)
(2.28)
(2.29)
35
Matrik
R B dan RG
merupakan Direction Cosine Matrix (DCM) karena berisi
kosinus dari semua kemungkinan kombinasi vektor satuan pada sistem koordinat bumi dan sistem koordinat lokal. DCM disebut juga matrik rotasi karena mendefinisikan rotasi dari kerangka acuan satu ke kerangka acuan lainnya. Dengan DCM, vektor pada sistem koordinat lokal dapat didefinisikan pada sistem
koordinat bumi dan sebaliknya. Ditinjau vektor r pada sistem koordinat lokal:
rx B r B ry B B rz
(2.30)
r akan dihitung pada sistem koordinat bumi dengan memanfaatkan DCM. Pada sistem koordinat bumi vektor r dinotasikan: Vektor
rxG r G ry G G rz
(2.31)
G r Ditinjau salah satu komponen vektor x sebagai proyeksi vektor r terhadap sumbu X (koordinat bumi):
G rx r cos( I G , r G ) G
(2.32)
Karena rotasi tidak mengubah panjang vektor dan sudut antara dua vektor, maka:
rG r B
(2.33)
(2.34)
36
IG I B 1 cos( I G , r G ) cos( I B , r B )
(2.35)
Sehingga persamaan 2.32 dapat ditulis:
B B rx I r cos( I B , r B ) G
rx
G
I B r B
(2.36)
(2.37)
Berdasarkan persamaan 2.21:
I i rx G I j ry G G I k rz
(2.38)
B B B ( I i )rx ( I j ) ry ( I k ) rz
(2.39)
rx G
rx
G
Dengan cara yang sama didapatkan:
ry G ( J i) rx B ( J j ) ry B ( J k )rz B rz G ( K i ) rx B ( K j ) ry B ( K k ) rz B
Sehingga jika dituliskan dengan matrik:
(2.40)
(2.41)
37
I i I j I k rx B r G J i J j J k ry B B K i K j K k rz G G B r R r
(2.42)
(2.43)
Pada persamaan 2.43 dapat dicermati bahwa vektor r pada sistem koordinat lokal ( r B ) dirotasikan oleh RG menjadi vektor r G pada sistem koordinat bumi. Vektor r yang bekerja pada sistem koordinat lokal pesawat bisa berupa kecepatan translasi, kecepatan sudut, gaya, percepatan dan vektor-vektor lainnya. Untuk mempermudah penulisan dan membedakan setiap komponen pada
RB
RG
dan
, digunakan notasi sebagai berikut:
rXx R G rYx r Zx
rXy rYy rZy
rXx R B ( R G )T rXy r Xz
rXy rYz rZz rYx rYy rYz
(2.44)
rZx rZy rZz
(2.45)
38 2.4.3.3. Rotasi Matrik dan Sudut Euler Sudut Euler adalah 3 sudut yang membentuk rotasi sebuah objek dalam ruang ( ). 3
Sehingga dibutuhkan 3 parameter untuk merepresentasikan orientasi sebuah objek pada sistem 3 dimensi Sudut-sudut itu antara lain:
rotasi dengan sumbu rotasi sumbu x, disebut dengan roll (φ)
rotasi dengan sumbu rotasi sumbu y, disebut dengan pitch (θ)
rotasi dengan sumbu rotasi sumbu z, disebut dengan yaw (ψ) Dalam kaitannya dengan rotasi matrik, ketiga sudut Euler ini dapat membentuk rotasi
matrik dengan persamaan 2.46: cos cos R cos sin sin
sin cos cos cos sin sin sin sin sin cos
cos sin cos sin sin cos sin sin sin cos cos cos
(2.46)
Hal yang perlu diperhatikan pada pembentukan rotasi matrik dengan 3 sudut Euler (atau sebaliknya) adalah urutan rotasi, karena urutan rotasi yang berbeda membentuk orientasi yang berbeda, meskipun besarnya sudut-sudut pembentuk sama besarnya. Pada persamaan 2.46, urutan yang dipakai adalah z-y-x atau yaw-pitch-roll.
2.4.4. Algoritma DCM-IMU (Direction Cosine Matrix Inertial Measurement Unit) Peran utama dari AHRS adalah mengolah data-data sensor untuk menghasilkan tiga sudut Euler (roll, pitch dan yaw) yang tepat dan akurat. Sudut-sudut ini merupakan representasi orientasi pesawat di udara terhadap kerangka acuan bumi. Selanjutnya, data tiga sudut ini dimanfaatkan oleh pengendali gerak motor sebagai masukan umpan balik dari sistem kendali loop tertutup.
39 Sebenarnya, sensor akselerometer dapat digunakan untuk mengukur sudut roll dan pitch, dengan menghitung arah percepatan gravitasi. Namun, ada tiga alasan yang menyebabkan sensor ini tidak bisa langsung digunakan sebagai sumber informasi tunggal untuk orientasi pesawat: 1. Pengaruh percepatan dinamis Percepatan yang bekerja pada pesawat bukan hanya percepatan gravitasi, tetapi juga percepatan dinamis. Pesawat tidak akan hanya melayang dan diam (hovering), tetapi juga bergerak dan timbul percepatan dinamis yang dirasakan oleh akselerometernya. Sehingga percepatan dinamis akan mengganggu pengukuran percepatan statis (gravitasi bumi), yang mengakibatkan pengukuran arah percepatan gravitasi menjadi tidak akurat. Akan tetapi, pesawat tidak akan selalu mengalami percepatan atau perlambatan. Ada kondisi di mana pesawat bergerak dengan kecepatan konstan. Pada kondisi ini, arah percepatan gravitasi dapat diukur, karena tidak ada percepatan dinamis yang bekerja pada akselerometer. 2. Pengaruh vibrasi Akselerometer peka terhadap getaran yang ditimbulkan oleh sistem mekanik pesawat seperti motor dan baling-baling. Hal ini mengakibatkan pengukuran arah percepatan statis gravitasi menjadi terganggu akibat percepatan dinamis dari getaran. Meskipun demikian, vibrasi pada akselerometer dapat diatasi dengan beberapa metode filter digital seperti LPF (Low Pass Filter), MA (Moving Average) dan tapis Kalman.
40 3. Keterbatasan pengukuran sudut yaw Akselerometer hanya mendeteksi arah percepatan gravitasi untuk mendapatkan sudut roll dan pitch. Pada saat akselerometer dalam kondisi mendatar, tidak ada proyeksi percepatan gravitasi untuk mendapatkan sudut yaw.
Berbeda dengan akselerometer, giroskop hampir tidak terpengaruh oleh getaran dan percepatan dinamis translasi. Keluaran dari giroskop merupakan kecepatan sudut, integral terhadap waktu dari keluaran giroskop ini adalah sudut. Namun karena giroskop memiliki short-or-long term drift, semakin lama hasil integral tidak akan menghasilkan sudut yang tepat. Algoritma DCM-IMU[16] menggabungkan kedua sensor ini untuk mendapatkan informasi orientasi pesawat yang akurat. Algoritma ini bekerja menggunakan rotasi matrik yang selanjutnya diubah menjadi sudut-sudut Euler. Rotasi matrik dibentuk dari kecepatan angular giroskop. Selanjutnya, dengan arah vektor gravitasi bumi oleh akselerometer, drift dari rotasi matrik hasil pembentukan giroskop dideteksi dan menghasilkan drift error. Drift error ini diumpankan balik dengan kontrol PI (Proposional Integral) sebagai koreksi error yang terjadi. Gambar 2.20 menunjukan blok diagram dari proses algoritma DCM-IMU.
41 roll(φ) giroskop
ω
update rotasi matrik
+
-
R
normalisasi
R
R→Euler
pitch(θ) yaw(ψ)
kontrol PI
drift error
vektor gravitasi
detektor drift
akselerometer
arah utara magnet bumi magnetometer
Gambar 2.20. Blok Diagram Algoritma DCM-IMU
2.4.4.1. Pembentukan Rotasi Matrik dari Kecepatan Sudut Giroskop Rotasi matrik dapat dibentuk dengan perubahan sudut sesuai dengan persamaan 2.47:
0 RG (t dt ) RG (t ) RG (t ) d z d y 1 RG (t dt ) RG (t ) d z d y
d z 0 d x
d z 1 d x
d y d x 0
d y d x 1
(2.47)
(2.48)
karena,
d dt maka,
(2.49)
42
1 z dt y dt 1 x dt RG (t dt ) RG (t ) z dt y dt x dt 1
(2.50)
dimana, RG= matrik rotasi
x =kecepatan sudut pada sumbu x
y =kecepatan sudut pada sumbu y z =kecepatan sudut pada sumbu z Dengan persamaan 2.50, rotasi matrik dapat dibentuk dengan data kecepatan sudut pada giroskop. Namun, karena adanya kemungkinan numerical error pada pembacaan sensor giroskop, menyebabkan rotasi yang dibentuk tidak memenuhi orthogonalitas matrik rotasi. Sehingga perlu dilakukan koreksi orthogonalitas dan normalisasi. Matrik rotasi memiliki vektor-vektor baris yang saling tegak lurus. Seharusnya, perkalian dot antar vektor baris pada matrik rotasi bernilai 0, karena adanya numerical error pada pembacaan giroskop menyebabkan vektor-vektor baris (juga berlaku pada kolom) dari matrik rotasi tidak saling tegak lurus dan perkalian dot antar vektor baris ini ≠ 0.
rXx rYx rZx X rXy , Y rYy , Z rZy r r r Xz Yz Zz
(2.51)
43
rXx rYx error X Y rXy rYy r r Xz Yz
(2.52)
Selanjutnya untuk mengatasi kondisi ini, setengah dari error dibagikan kepada kedua vektor baris:
rXx error r X X Y orthogonal Xy 2 r Xz orthogonal
(2.53)
(2.54)
rYx error r Y Y X orthogonal Yy 2 r Yz orthogonal
Untuk memperoleh Zorthogonal, digunakan cross product dari kedua vektor baris yang sudah orthogonal:
Z orthogonal X orthogonal Y orthogonal
(2.55)
Langkah selanjutnya adalah menjaga magnitude dari masing-masing vektor agar bernilai 1. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membagi setiap vektor baris dengan magnitude-nya. Cara ini kurang efektif jika diimplementasikan dalam mikrokontroler dengan keterbatasan memori dan kecepatan, karena melibatkan operasi akar dalam mencari
44 magnitude. Cara alternatif yang dapat dipakai adalah dengan menggunakan ekspansi Taylor untuk memastikan magnitude dari setiap vektor baris agar bernilai 1.
X norm
1 3 X orthogonal X orthogonal X orthogonal 2
(2.56)
Ynorm
1 3 Yorthogonal Yorthogonal Yorthogonal 2
(2.57)
Z norm
1 3 Zorthogonal Zorthogonal Zorthogonal 2
(2.58)
2.4.4.2. Koreksi Drift Pada proses sebelumnya telah didapatkan matrik rotasi bentukan giroskop yang orthogonal. Namun, matrik rotasi ini belum akurat untuk merepresentasikan orientasi pesawat terhadap kerangka acuan bumi, karena orientasi pesawat pada saat sistem mulai bekerja belum diketahui. Masalah kedua adalah drift dan error kuantisasi dari pembacaan giroskop menyebabkan rotasi matrik merambat berubah tidak sesuai dengan kenyataan fisik. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan akselerometer sebagai referensi arah percepatan gravitasi. Jika diasumsikan tidak ada percepatan dinamis yang bekerja pada pesawat, dari data akselerometer didapatkan vektor gravitasi yang terukur pada sistem koordinat lokal pesawat:
AB x AB AB y B A z
(2.59)
45
Berdasarkan rotasi matrik yang telah terbentuk, vektor gravitasi pada sistem koordinat bumi jika dilihat dari sistem koordinat lokal adalah:
0 G B R B 0 1 rYx rYy rYz
rXx G B rXy r Xz
rZx 0 rZy 0 rZz 1
rZx G B rZy r Zz
Seharusnya vektor
B A dan G B akan
(2.60)
(2.61)
(2.62)
sama jika rotasi matrik yang dibentuk adalah tepat.
Tetapi karena adanya error yang telah disinggung sebelumnya, error pitch roll diperoleh dengan cross product dari kedua vektor:
errorroll _ pitch
AB G B
(2.63)
Kesalahan pada sudut roll dan pitch dapat dideteksi dengan menggunakan persamaan 2.63. Selanjutnya untuk mendeteksi error yaw digunakan arah hadap dari kompas digital.
46
Jika vektor
M B merupakan
vektor arah utara magnet bumi pada sistem koordinat lokal
pesawat:
M Bx M B M By B M z
(2.64)
G Dan vektor U merupakan vektor arah utara pada sistem koordinat bumi: 1 U G 0 0
(2.65)
Maka dengan cara yang sama error yaw diperoleh:
erroryaw
M B U B
(2.66)
Selanjutnya error keseluruhan didapatkan:
errorroll _ pitch _ yaw errorroll _ pitch erroryaw
(2.67)
Untuk mengkompensasi kesalahan rotasi matrik yang terbentuk, error yang dideteksi melalui perhitungan sebelumnya diumpankan ke proses pembentukan matrik rotasi dengan kontrol PI (propotional-integral). Penggunaan kontrol loop tertutup ini bertujuan untuk mendapatkan koreksi yang cepat dan tepat terhadap rotasi matrik yang dibentuk.
47 2.4.4.3. Perhitungan 3 Sudut Euler dari Matrik Rotasi Sudut-sudut Euler merupakan representasi orientasi yang tepat dan mudah diiplementasikan sebagai input kendali gerak pesawat. Sebagai contoh, untuk menjaga keseimbangan pesawat saat dalam kondisi hovering (melayang diam), sistem kendali gerak harus menjaga sudut pitch dan roll agar tetap 0° (datar terhadap permukaan bumi). Setelah matrik rotasi sudah terbentuk dan terkoreksi, selanjutnya dengan persamaan 4, dari matrik rotasi ini didapatkan sudut-sudut Euler:
rZy rZz
arctan
arcsin rZx rYx rZx
arctan
(2.68)
(2.69)
(2.70)