Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
BAB II DASAR TEORI PERENCANAAN GEDUNG
2.1
Umum
Desain struktur merupakan salah satu bagian dalam perencanaan bangunan. Dalam pelaksaanaanya faktor sains dan seni yang mendasari. Pertama faktor sains / ilmu, Dalam design struktur memilki pedoman dan peraturan design dimana pedoman tersebut di pergunakan agar bangunan yang di rencanakan layak pakai untuk manusia. Yang ke dua unsur seni, Dalam disain bangunan kita harus memperhatikan keindahan bangunan untuk mengkolaborasikan bangunan yang baru dengan lingkungan sekitar.
Dalam perencanaan tugas akhir ini, penulis
mencoba desain gedung U terbalik dengan pemilihan material menggunakan material beton bertulang. Alasan penulis mengambil studi kasus ini adalah gedung ini mempunyai karakteristik unik yaitu terdapat penambahan masa diatas gedung. Pada kolom besar tengah gedung mempunyai pembebanan yang berbeda antara lantai 1-6 dan lantai 7-8. Dalam perencanaan gedung ini juga terdapat balok besar bentang 12 m dimana dengan adanya bentang ini maka perencana dituntut mampu mendesain dengan dimensi seefisien mungkin agar tidak mengurangi tinggi efektif lantai. Pada balok bentang panjang juga dianalisa hubungan perilaku elemen struktur dengan elemen struktur lainnya hal ini kita mampu analisa dari lendutan balok tersebut.
Bahan dari material tersebut meliputi pasir, semen,
kerikil, air, dan besi tulangan. Terkadang satu atau lebih bahan adiktif di HARGIYANTO
II 1
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
tambahkan dengan tujuan menghasilkan karakteristik beton tertentu. seperti kemudahan dalam pengerjaan dan waktu perkerasan. Karakteristik umum beton yaitu material yang memiliki kuat tekan yang tinggi dan kuat tarik yang rendah. Oleh karena itu dipergunakan baja tulangan yang memiliki karakteristik umum memiliki kuat tarik yang tinggi. Sehingga kedua material di padukan dan menjadi material beton bertulang.
Alasan di gunakan material beton bertulang di karenakan : 1. Material beton bertulang lebih tahan api dan air. 2. Dari segi bahan mudah di dapatkan. 3. Lebih efisien dan ekonomis. 4. Material ini dapat di buat berbagai macam bentuk. 5. Dari segi pekerja / buruh membutuhkan keahlian yang rendah di bandingkan dengan material lainnya seperti baja. Dari berbagai macam kelebihan, beton juga memiliki kekurangan di antaranya : 1. Beton memiliki kuat tarik yang rendah. 2. Beton memerlukan bekisting untuk membuat bentuk yang di inginkan. 3. Beton memerlukan penopang sementara selama proses kontruksi. 4. Sifat-sifat beton sangat berfariasi sehinnga membuat banyaknya proporsi campuran beton. 5. Stabilitas volume yang sangat rendah. 6. Rendahnya kekuatan beton per satuan berat sehinga mengakibatkan beton bertulang menjadi berat. Hal ini akan sangat berpengaruh pada HARGIYANTO
II 2
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
bentang panjang balok yang akan memiliki beban mati yang besar yang di akibatkan berat sendiri balok. Dalam desain struktur gedung dengan menggunakan material beton bertulang ada beberapa acuan yang harus di perhatikan, meliputi :
1. Material struktur Di tunjang dengan ketersediaan material yang mudah di dapatkan, maka material beton bertulang sering di gunakan dalam pembangunan struktur gedung. Teknologi beton berkembang pesat yang awalnya fc’ beton dari 25 Mpa hingga zaman sekarang sampai 60 Mpa. Tapi di pasaran biasa di gunakan fc’ 35 Mpa – 50 Mpa. Beton mutu tinggi di pergunakan untuk mendapatkan kekakuan struktur yang baik dan dimensi kolom yang pantas. Mutu besi beton juga berkembang mulai dari U-22 sampai dengan U-24 (fy = 220 Mpa – fy = 240 Mpa) dan mencapai dewasa ini yang laris di pasaran yaitu tipe BJTS-40 (fy = 400 Mpa)
Melanjutkan uraian di atas acuan dalam desain suatu bangunan struktur kita juga harus memperhatikan factor-faktor sebagai berikut : 1. Kemampuan Layan Struktur Kemampuan layan struktur adalah kemampuan suatu bangunan dalam menahan beban sesuai pergunaan gedung dan jikapun terjadi deformasi masih dalam batas
HARGIYANTO
II 3
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
toleransi yang di pergunakan. Perancangan dimensi elemen struktur sangat berpengaruh pada kemampuan layan struktur.
2. Efisiensi Dalam desain bangunan struktur prinsip utama adalah efisiensi. Dimana efisiensi dalam hal ini memiliki pengertian merancang bangunan yang aman, nyaman, dan kuat dengan biaya yang ekonomis. Tanpa mengesampingkan acuan-acuan desain struktur bangunan. 3. Beban-Beban Yang Bekerja Pada Struktur Beban pada struktur tidak dapat di abaikan dalam perancangan struktur. Seorang desainer struktur harus mengetahui masing-masing karakteristik beban tersebut. Dalam merancang struktur pada dasarnya mengacu pada keadan batas atau ultimit . Jenis-jenis beban pada strutur meliputi: 3.1.
Beban Mati
Beban mati merupakan berat bangunan itu sendiri ysng bersifat tetap, termasuk unsur-unsur tambahan, mesin-mesin, dan peralatan tetap yang tak terpisahkan dari bagian gedung tersebut. 3.2.
Beban Hidup
Beban hidup merupakan beban bangunan yang tidak tetap dalam gedung. Beban hidup dapat berupa beban manusia, beban alat atau mesin-mesin yang dapat berpindah- pindah, serta jika pada bagian atap terdapat beban yang di akibatkan air hujan baik yang akibat genangan ataupun kuat jatuh (energy kinetic air hujan) HARGIYANTO
II 4
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Tabel 1. Koefisien Reduksi Beban Hidup Kumulatif ( SNI 03-2874-2002 ) Lantai
Koefisien
Lantai 1
1
Lantai 2
1
Lantai 3
0,9
Lantai 4
0,8
Lantai 5
0,7
Lantai 6
0,6
Lantai 7
0,5
Lantai 8, dst
0,4
3.3 Beban Gempa 3.3.1
Umum
Peristiwa gempa sering terjadi dewasa ini baik terjadi dalam negeri ataupun luar negeri. Pengertian dari beban gempa itu sendiri adalah gaya-gaya yang terjadi di dalam struktur yang di akibatkan gerakan tanah akibat gempa tersebut. Gempa yang terjadi pada suatu struktur akan mengakibatkan struktur tersebut akan mengalami pergerakan secara vertical maupun lateral. Pergerakan tersebut akan menimbulkan percepatan sehinnga struktur yang memiliki massa akan menimbulkan gaya dengan rumus
F= m x a. Namun biasanya suatu struktur
sudah memiliki factor keamanan yang cukup dalam menahan gaya-gaya vertical di bandingkan gaya lateral. Gaya gempa vertical biasanya di perhitungkan untuk unsure-unsur struktur gedung yang memiliki kepekaan tinggi terhadap beban HARGIYANTO
II 5
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
gravitasi misalnya balcon, canopy dan balok cantilever yang memiliki bentang panjang. Sedangkan gaya lateral bekerja pada setiap pusat massa lantai. Beban gempa di tentukan 3 hal, yaitu besarnya probabilitas beban yang di lampui dalam waktu kurun tertentu, oleh tingkat daktilitas struktur yang mengalaminya, dan oleh kelebihan kekuatan yang terdapat dalam struktur itu sendiri. Berdasarkan SNI-03-1726-2002 sub bab
4.1.1,
peraturan
ini
menentukan
pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau. Peluang di lampauinya beban nominal tersebut dalam waktu kurun waktu umur gedung 50 tahun adalah 10% dan gempa yang menyebabkan adalah gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun. Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca elastik yang besar secara berulang kali dan bolak balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam ambang keruntuhan. Faktor daktilitas struktur gedung (µ) adalah rasio antara simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana pada saat mencapai kondisi ambang keruntuhan (δmax) dan simpangan struktur pada saat terjadinya sendi plastis yang pertama (δy), seperti terlihat dalam rumus :
I ≤µ =
(δmax) ≤ µm (δy )
Untuk struktur beton bertulang yang berada di wilayah rawan gempa harus didesain khusus sebagai struktur strong column weak beam (gambar 2.1). Yang HARGIYANTO
II 6
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
bertujuan agar kolom yang didesain harus lebih kuat dari balok, agar jika saat terjadi gempa yang cukup kuat, walaupun balok mengalami kerusakan yang cukup parah, kolom masih tetap berdiri dan mampu menahan beban-beban yang bekerja.
Gambar 2.1 Strong column weak beam
Berdasarkan SNI 03-1726-2002, pasal 6.1.1 dan 6.1.2 Struktur bangunan beraturan dapat di rencanakan terhadap pembebanan. Gempa nominal dalam arah masing-masing sumbu utama denah struktur tersebut, berupa beban Gempa Nominal statik ekivalen sbb:
V=
C1.I W1 R
Dimana V : gaya geser horizontal total akibat gempa R : faktor reduksi gempa C 1 : faktor respon gempa I : faktor keutamaan W t : jumlah dari beban-beban sebagai berikut : HARGIYANTO
II 7
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
1. Beban mati total struktur bangunan gedung. 2. Bila di gunakan dinding partisi pada perencanaan lantai maka harus di perhitungkan tambahan beban sebesar 0.5 kPa. 3. Pada gudang dan tempat penyimpanan barang maka sekurang kurangnya 25% dari beban hidup rencana harus di perhitungkan. 4. Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam gedung harus di perhitungkan. 5. Beban hidup yang bekerja pada lantai Menurut peraturan SNI-03-1726-2002 sub bab 4.7.1 Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa, dimana wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan rasio kegempaannya paling rendah, dan wilayah gempa 6 dengan rasio kegempaannya paling tinggi.
Gambar 2.2 Peta wilayah gempa Indonesia Menurut peraturan SNI-03-1726-2002 untuk menentukan beban gempa diperlukan data-data antara lain :
HARGIYANTO
II 8
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
1.
Faktor keutamaan (I) I = I1 • I2 dimana : I
= faktor keutamaan
I 1 = faktor keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa selama umur gedung. I 2 = faktor keutamaan untuk menyelesaikan periode ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung.
Faktor Kategori Gedung
Keutamaan I1
I2
I
Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan, dan perkantoran
1.0
1.0
1.0
Momen dan bangunan monumental
1.0
1.6
1.6
1.4
1.0
1.4
asam, bahan beracun
1.6
1.0
1.6
Cerobong, tangki diatas menara
1.5
1.0
1.5
Gendung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televise Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi,
Tabel II. Menunjukan faktor keutamaan I untuk berbagai gedung sebagai berikut :
HARGIYANTO
II 9
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.
Faktor reduksi gempa (R) 1,6 ≤ R = μ • f 1 ≤ R m dimana : R = 1.6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur berperilaku elastik. μ = faktor daktilitas struktur ≤ µmax
1,0 ≤ µ =≤ δm / δy ≤ µm f 1 = faktor kuat lebih beban beton dan bahan 1,6 R m = faktor reduksi gempa maks
Taraf Kinerja Struktur Gedung
µ
R
Elastik Penuh
1.0
1.6
Daktail Parsial
1.5
2.4
2.0
3.2
2.5
4.0
3.0
4.8
3.5
5.6
4.0
6.4
4.5
7.2
5.0
8.0
5.3
8.5
Daktail Penuh
Tabel III. Menunjukkan parameter daktilitas gedung Nilai R dan µ ditetapkan
HARGIYANTO
II 10
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
3.
Faktor respon gempa (C 1 )
Nilai repon gempa didapat dari spektrum respon gempa rencana untuk waktu getar alami fundamental (T) dari struktur gedung. Nilai tersebut bergantung pada : 1. Waktu getar alami struktur (T), dinyatakan dalam detik T = 0,06 H3/4 dimana : H = tinggi struktur bangunan (m) 2. Nilai respons gempa juga tergantung dari jenis tanah. Berdasarkan SNI-
03-1726-2002, jenis tanah dibagi menjadi
tiga bagian yaitu tanah keras,
sedang dan lunak.
Tabel IV. Menunjukkan Jenis-jenis tanah
Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai respons gempa bergantung pada waktu getar alami struktur dan kurvanya ditampilkan dalam spektrum respons gempa. HARGIYANTO
II 11
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Gambar 2.3 Respons Spektrum Gempa Rencana (SNI 03-1726-2002) HARGIYANTO
II 12
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Tabel V. Koefisien ζ yang membatasi wktu getar alami fundamental struktur gedung:
Wilayah Gempa
ζ
1
0,20
2
0,19
3
0,18
4
0,17
5
0,16
6
0,15
3.3.2 Kekakuan Struktur Karena akibat pengaruh gempa, di perkirakan akan terjadi retak pada unsur-unsur struktur, maka momen inersia utuh penampang di kalikan suatu persentasi efektifitas penampang sebagai berikut : 1. Balok dan Kolom beton bertulang terbuka : 75% 2. Dinding geser beton bertulang kantilever : 65 % 3. Komponen dinding yang mengalami tarikan aksial : 50 % 4. Komponen dinding yang mengalami tekanan aksial : 80 % 5. Komponen balok perangkai dengan tulangan diagonal : 40 % 6. Komponen balok perangkai dengan tulangan memanjang : 20 %
HARGIYANTO
II 13
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.2
Pelat Didalam kontruksi beton bertulang, pelat beton bertulang merupakan
sebuah bidang datar yang lebar, biasanya mempunyai arah horizontal, dan pelat tersebut di cor menjadi satu kesatuan dengan balok. Pelat dapat dianalisis sebagai grid-grid menerus. Pelat adalah elemen struktur beton bertulang yang secara langsung menahan beban-beban vertikal. Jika kita meninjau pelat dan memperhatikan bagaimana berbagai jenis pelat memberikan momen dan gaya geser internal yang mengimbangi momen dan geser eksternal kita dapat mendapatkan lebih banyak manfaat dari pelat tersebut. Pelat dapat ditumpu diseluruh tepinya, atau hanya pada titik-titik tertentu atau campuran antara tumpuan menerus dan titik. Pelat sebagai penahan beban lateral, juga dapat menjadi bagian dari pengaku lateral struktur. Gaya dalam yang dominan dalam pelat adalah momen lentur, sehingga perancangan tulangannya relatif sederhana. Dalam perencanaan, pelat dapat dipermodelkan searah maupun dua arah.
HARGIYANTO
II 14
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Tabel VI. Tebal minimum pelat tanpa balok interior berdasarkan SNI 1992 Tanpa Penebalan
Dengan Penebalan Panel
Tegangan
Panel luar
Dalam
leleh fy
Panel luar
Panel Dalam
Tanpa Balok
Dengan Balok
Pinngir
Pinggir
Mpa
Tanpa Balok Pinngir
Dengan Balok Pinggir
300
ln/33
ln/36
ln/36
ln/36
ln/40
ln/40
400
ln/30
ln/33
ln/33
ln/33
ln/36
ln/36
500
ln/28
ln/31
ln/31
ln/31
ln/34
ln/34
HARGIYANTO
II 15
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Syarat-syarat untuk menentukan tebal minimum pelat (SK SNI T-15-1991-03) : fy Ln 0,8 + 1500 h≥ (36 + 9 β )
Rumus 1
Rumus 2 Ln 0,8 + fy 1500 h≤ 36
Rumus 3
fy Ln 0,8 + 1500 h≥ 36 + 5β α m − 0,12 1 + 1 β
dimana : Ln
:
panjang bentang bersih pelat setelah dikurangi tebal balok (cm)
fy
:
tegangan leleh baja untuk pelat
h
:
tebal pelat
αm
:
koefisien jepit pelat
n
:
jumlah tepi pelat
β
:
Ln memanjang (cm) Ln melintang (cm)
Pada SK SNI T – 15 – 1991 – 03 pasal 3.6.6 mengijinkan untuk menentukan distribusi gaya dengan menggunakan koefisiensi momen yang dapat dilakukan dengan mudah. Untuk menentukan momen lentur maksimumnya dapat mempergunakan tabel 14 SK SNI HARGIYANTO
II 16
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
T – 15 – 1991 – 03. Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tabel pelat kemudian beban-beban dapat dihitung. Untuk pelat sederhana berlaku rumus.
Wu = 1,2 Wd + 1,6 Wl
Menurut SK SNI T – 15 – 1991 – 03 tebel 3.2.5 (b), batas lendutan maksimum adalah bentang. Lendutan yang terjadi akibat beban merata (Timoshenko dkk, 1998) adalah :
δ = D=
α ⋅ Wu ⋅ b 4 D Ec ⋅ H 3 12 1 − µ 2
(
)
dimana :
δ
= lendutan yang terjadi
α
= koefisien lendutan
Wu = beton ultimate (kg/cm2) μ
= nilai poison rasio
D
= momen akibat lentur untuk pelat (kg.cm)
Ec
= modulus elastisitas beton
h
= tebal pelat
b
= lebar pelat
HARGIYANTO
II 17
480
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.3
Balok
Balok merupakan element horizontal yang biasanya pada proses pembuatannya menyatu dengan pelat lantai, balok ini sekaligus berfungsi memikul pelat tersebut.Balok ini mempunyai karakteristik sebagai elemen lentur yang mempunyai pengertian elemen struktur yang paling dominan dalam memikul gaya-gaya yang terdiri gaya lentur dan gaya geser.Sehingga dalam mendesain dimensi balok harus mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan atau deformasi apapun yang dapat mengakibatkan perlemahan kekuatan pada beban kerja. Perencanaan balok beton bertulang bertujuan untuk menghitung tulangan dan membuat detail-detail konstruksi untuk menahan momen-momen lentur ultimit, gaya-gaya lintang, dan momen-momen puntir lengan cukup kuat. Kekuatan suatu balok lebih banyak dipengaruhi oleh tinggi daripada lebarnya. Lebarnya dapat sepertiga sampai setengah dari tinggi balok tersebut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan perlu menjadi pertimbangan dalam mendesain balok beton bertulang, yaitu : 1. Lokasi tulangan 2. Tinggi minimum balok 3. Selimut beton (concrete cover) dan jarak tulangan
HARGIYANTO
II 18
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.3.1
Lokasi Tulangan Tulangan dipasang dibagian struktur yang membutuhkan, yaitu pada lokasi
dimana beton tidak sanggup melakukan perlawanan akibat beban, yakni di daerah tarik (karena beton lemah dalam menerima tarik). Sehingga kita harus mengetahui dimana bagian balok tersebut yang mengalami tarik maupun yang mengalami tekan. Gambar di bawah ini menunjukkan gambar penulangan balok diantara dua tumpuan
Gambar 2.4 Balok diatas dua tumpuan
sedangkan pada balok kantilever dibutuhkan tulangan pada bagian atas, karena serat yang tertarik adalah pada bagian atas.
HARGIYANTO
II 19
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Gambar 2.5 Balok Kantilever
Sedangkan pada balok dua ujung menerus biasanya lokasi tarik paling besar berada pada tumpuan, sehingga pada lokasi ini menggunakan diameter tulangan yang lebih besar daripada di lokasi lapangan. Gambar di bawah ini menunjukkan penulangan pada balok dua ujung menerus.
Gambar 2.6 Balok menerus HARGIYANTO
II 20
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.3.2 Tinggi Balok Berdasarkan peraturan SNI Beton pada pasal 9.5 dalam menentukan tinggi minimum (H min ) balok yang lebih menekankan perbandingan terhadap panjang bentang : 1.
1 L 16
2.
1 L untuk balok menerus bentang ujung 18.5
3.
1 L 21
untuk balok menerus bentang tengah
4.
1 L 8
untuk balok kantilever
untuk balok sederhana (satu tumpuan)
Tetapi, secara umum dan mencakup semua jenis balok dalam menentukan tinggi balok dapat di rencanakan dengan ketentuan :
H=
1 1 L sampai dengan L dengan L = bentang pelat terpanjang. 10 12
Jika H min telah diketahui, dapat diperkirakan tinggi balok yang akan didesain.
B=
1 sampai dengan H 2
HARGIYANTO
2 dengan H = tinggi balok H 3
II 21
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.3.3
Selimut Beton dan Jarak Tulangan Selimut beton adalah bagian terkecil yang melindungi tulangan. Fungsi dari
selimut beton itu sendiri untuk memberikan daya lekat tulangan ke beton, melindungi tulangan dari korosi, serta melindungi tulangan dari panas tinggi jika terjadi kebakaran (panas tinggi dapat menyebabkan menurun/hilangnya kekuatan baja tulangan secara tibatiba)
Gambar 2.7 Selimut Beton Tebal minimum selimut beton adalah 40 mm ( SNI Beton pasal 9.7) Sedangkan jarak antar tulangan adalah ≤ 25 mm atau ≥ d b dan ≥25 mm
Gambar 2.8 Jarak Antar Tulangan Dalam SNI 03-2847-2002 disebutkan bahwa tebal selimut beton minimum yang harus disediakan untuk tulangan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : HARGIYANTO
II 22
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Tebal selimut No.
Kondisi Beton
minimum (mm)
Beton dicor langsung diatas tanah dan selalu berhubungan langsung dengan 1
tanah
75
2
Beton yang berhubungan dengan tanah atau berhubungan dengan cuaca > Batang D-19 hingga D-56…………………………………………………………..
50
> Batang D-16 jaringan kawat polos P16 atau kawat ulir D-16 dan yang lebih kecil……………………………………………………...………………………………...
40
Beton yang tidak berhubungan langsung dengan cuaca ateu beton tidak 3
lansung berhubungan dengan tanah : > Pelat,dinding, pelat berusuk : Batang D-44 dan D-56………………………………………………………………..
40
Batang D-36 dan yang lebih kecil……………………..……………………………..
20
> Balok, kolom : Tulang utama, pengikat, sengkang, lilitan spiral……………………………………
40
> Komponen struktur cangkang, pelat lipat : Batang D-19 dan yang lebih besar…………………………………………………..
20
Batang D-16 jaring kawat polos P-16 atau ulir D-16 dan yang lebih kecil………
15
Tebal selimut beton Untuk memeriksa kekakuan balok terhadap lendutan, lendutan maksimum yang terjadi pada tengah bentang bila balok dianggap sendi dan rol pada ujung-ujungnya (Timoshenko dkk, 1998) adalah :
HARGIYANTO
II 23
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
5 ⋅ Wu ⋅ L4 δ = 384 ⋅ EI dimana : L
= panjang bentang balok
E
= modulus elastisitas balok
I
= momen inersia balok
Dalam merencanakan penulangan balok harus dapat memenuhi persyaratan dibawah ini : 1.
B > 0.3 H
2.
b min > 25 cm
3.
ρ min ≤ ρ ≤ ρ maks
Menentukan tulangan tekan
As =δ < 1 As '
Koefisien balok dengan pelat, α m merupakan nilai rata-rata α untuk semua balok. Untuk mencari lebar efektif balok dengan menggunakan rumus sebagai berikut : beff = bw + 1 L1 + 1 L2 2 2
beff = bw + 8hf + 8hf beff =
L 8
HARGIYANTO
II 24
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.3.4
Desain Tulangan Lentur dan Geser 1. Desain Balok Terhadap Lentur Jika balok dibebani secara bertahap mulai dari beban yang ringan sampai qu
sebagai beban batas, penampang balok mengalami keadaan lentur. Proses peningkatan beban berakibat terjadinya korosi tegangan dan regangan yang berbeda pada tahapan pembebanan.
Gambar 2.9 Hubungan Tegangan dan Regangan Pada Beton Desain tulangan lentur ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan besar tulangan yang optimal dalam menahan gaya lentur. Sifat tulangan terlebih dahulu mencapai titik leleh sebelum kehancuran beton inilah yang dikehendaki dalam desain dan disebut perencanaan tulangan lemah penampang. Sebaliknya perencanaan tulang kuat didefinisikan bila terlebih dahulu beton mencapai tegangan batas sebelum terjadinya kelelehan baja tulangan. Desain dengan tulangan yang kuat sedapat mungkin dihindari dalam perencanaan, karena akan terjadi keruntuhan secara mendadak yang sifatnya destruktif dan berakibat fatal bagi pengguna.
HARGIYANTO
II 25
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Jenis-jenis keruntuhan lentur Dengan data-data penampang yang didapat, mutu beton, dan tulangan yang digunakan, terdapat 3 kemungkinan keruntuhan yang akan terjadi •
Keruntuhan tarik (under reinforced) Pada keruntuhan ini tulangan mencapai tegangan lelehnya terlebih dahulu, setelah itu beton baru mencapai regangan batasnya, kemudian struktur runtuh.
•
Keruntuhan tekan (over reinforced) Keruntuhan tekan diakibatkan karena penggunaan tulangan yang terlalu banyak, sehingga beton akan hancur terlebih dahulu. Keruntuhan ini harus dihindari dalam perencanaan karena keruntuhan ini bersifat tiba-tiba.
•
Keruntuhan seimbang (ballance)
HARGIYANTO
II 26
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Pada keruntuhan ini, tulangan baja dan beton secara bersama-sama mencapai regangan batasnya. Jenis keruntuhan ini juga harus dihindari dalam perencanaan karena bersifat tiba-tiba.
2. Desain Balok Terhadap Geser dan Torsi Kekuatan tarik beton jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan tekannya, maka dari itu desain terhadap geser merupakan hal yang sangat penting dalam struktur beton. Perilaku balok pada keadaan runtuh karena geser sangat berbeda dengan keruntuhan lentur. Balok yang terkena keruntuhan geser akan langsung runtuh tanpa adanya peringatan terlebih dahulu, selain itu retak diagonalnya lebih besar dibandingkan dengan retak lenturnya. Oleh sebab itu desain balok tehadap gaya geser harus diperhitungkan secara teliti. Gaya geser dirancang berdasarkan momen ekstrim dan gaya lintang pada balok yang mengalami pembebanan yang paling ekstrim. Balok selain menerima gaya geser juga menerima beban torsi yang didalam sistem struktur dapat digolongkan atas dua tipe yaitu torsi statis tertentu dan torsi statis tak tentu. Statis tertentu jika jumlah dari torsi yang harus dipikul bisa memenuhi
HARGIYANTO
II 27
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
persyaratan statika dan bebas dari kekakuan unsur. Sedangkan torsi tak tentu terjadi dalam keadaan dimana tidak akan ada torsi kalau ketidaktentuan statika dihilangkan.
2.3.5
Perencanaan Balok Terhadap Geser Perencanaan penampang akibat geser harus didasarkan pada : Vu ≤ Ø V n Dimana V u adalah gaya geser terfaktor pada penampang yang ditinjau dan V n
adalah kuat geser nominal yang dihitung dari : Vn
= Vc + Vs
V c = kuat geser nominal yang disumbangkan beton V s = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser
Hal yang harus dipenuhi dalam menetukan kuat geser : 1.
Untuk kuat geser V n harus memperhitungkan pengaruh setiap bukaan pada komponen struktur.
2.
Untuk kuat geser V u dimana berlaku pengaruh regangan aksial tarik yang disebabkan oleh rangkak dan susut pada komponen struktur yang terkekang, maka harus diperhitungkan pengaruh tarik tersebut pada pengurangan kuat geser.
HARGIYANTO
II 28
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.3.6
Perencanaan Balok Terhadap Torsi Kuat momen torsi dalam merencanakan penampang terhadap torsi harus
didasarkan kepada : Tu ≤ Ø Tn Dimana Tu merupakan torsi terfaktor pada penampang yang ditinjau, sedangkan Tn adalah kuat momen torsi nominal yang harus dihitung dengan : Tn = Tc + Ts Ts = kuat momen torsi nominal yang disumbangkan oleh beton.
Dalam menentukan penulangan pada balok dapat dibedakan menjadi dua bagian diantaranya : 1. Tulangan dipasang simetris pada dua sisi penampang kolom. 2. Tulangan dipasang sama rata pada sisi-sisi penampang kolom.
2.4
Kolom Kolom merupakan suatu elemen struktur tekan yang sangat memegang peranan
penting dalam suatu struktur. Kolom tersebut termasuk elemen vertikal pada struktur yang menerima beban terpusat dari balok di atasnya. Keruntuhan kolom merupakan kondisi kritis yang dapat menyebabkan runtuhnya lantai yang bersangkutan dan juga dapat terjadi keruntuhan total seluruh struktur. Menurut SNI 03-1726-2002 pada pasal 10.8 mengatakan bahwa kolom harus direncanakan untuk memikul beban aksial terfaktor yang bekerja pada semua lantai atau atap dan momen maksimum yang berasal dari beban terfaktor pada satu bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Kombinasi HARGIYANTO
II 29
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
pembebanan yang menghasilkan rasio maksimum dari momen terhadap beban aksial juga harus diperhitungkan.
Syarat-syarat dalam mendesain kolom antara lain : 1.
Kolom harus direncanakan untuk memikul beban aksial terfaktor yang bekerja pada semua lantai atau atap dan momen maksimum yang berasal dari beban terfaktor pada satu bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Kombinasi pembebanan yang mengahasilkan rasio maksimum dari momen terhadap beban aksial juga harus diperhitungkan.
2.
Pada konstruksi rangka atau struktur menerus, pengaruh dari adanya beban yang tak seimbang pada lantai atau atap terhadap kolom luar ataupun dalam harus diperhitungkan. Demikian pula pengaruh dari beban eksentrisitas karena sebab lainnyajuga harus diperhitungkan.
3.
Dalam menghitung momen akibat bebabn gravitasi yang bekerja pada kolom, ujung-ujung terjauh kolom dapat dianggap terjepit, selama ujung-ujung tersebut menyatu (monolit) dengan komponen struktur lainnya.
4.
Momen-momen yang bekerja pada setiap level lantai atau atap harus didistribusikan pada kolom diatas atau dibawah lantai tersebut berdasarkan kekakuan relatif kolom dengan juga memperhatikan kondisi kekangan pada ujung kolom. Fungsi kolom adalah sebagai penerus beban seluruh bangunan ke pondasi. Beban
bangunan dimulai dari atap dan akan diteruskan ke kolom. Keruntuhan kolom merupakan hal yang perlu dihindari dalam perencanaan struktur bangunan. Perencanaan kolom harus HARGIYANTO
II 30
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
memperhatikan keadaan batas tegangan (kekuatan) dan kekakuan untuk menghindari deformasi berlebihan dan tekuk. Daktail tulangan yang benar dan penutup beton yang cukup adalah hal yang penting. Perbandingan antara tinggi dan lebar kolom tidak boleh dari 0,4 Syarat untuk menetukan dimensi kolom (Kusuma dan Andriono, 1996) yaitu :
Nu ≤ 0,2 fc' Agross Agross ≥
Nu 0,2 fc'
dimana : N u = W u = beban ultimate yang dipikul kolom (kg) A gross
= luas kolom yang dibutuhkan (cm2)
Fc’
= mutu beton (Mpa)
Untuk batang-batang eksentrisitas yang sangat besar atau yang sangat kecil, pedoman mengatur ketentuan-ketentuan keamanan tambahan, yang akan dikemukakan dibawah ini.
Gambar 2.9 Diagram interaksi untuk tekan dengan lentur P n dan M n HARGIYANTO
II 31
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Compression failure = keruntuhan tekan Tension failure
= keruntuhan tarik
Balanced failure
= keruntuhan seimbang
Pada SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.14.4 menetapkan batasan untuk gaya yang bekerja pada beban yang mengalami beban lentur dan aksial. Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa komponen struktur rangka yang mengalami beban aksial dan lentur harus : 1. Untuk penampang yang berdimensi pendek yang telah diukur pada satu garis lurus melalui titik berat penampang tidak boleh kurang dari 300 mm. 2. Perbandingan rasio dimensi penampang terpendek terhadap dimensi yang tegak lurus terhadapnya tidak boleh kurang dari 0,4. 3. Untuk rasio tinggi kolom terhadap dimensi penampang kolom yang terpendek tidak boleh lebih besar dari 25. Nila pada kolom tersebut mengalami momen yang dapat berbalik tanda, rasionya tidak boleh lebih besar dari 16. Sedangkan pada kolom kantilever rasionya tidak boleh lebih dari 10.
2.5
Baja Tulangan Beton merupakan komponen utama pada struktur. Dimana beton ini memiliki
karakteristik cenderung kuat menahan gaya tekan. Untuk menghasilkan struktur yang kuat oleh karena itu di tambah dengan baja tulangan. Di karenakan baja tulangan ini memiliki karakteristik kuat dalam menahan gaya tarik.. Agar penggunaan tulangan dapat berjalan dengan efektif, harus diusahakan agar tulangan dan beton dapat mengalami deformasi bersama-sama, yang bertujuan untuk agar ikat-ikatan yang cukup kuat diantara
HARGIYANTO
II 32
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
kedua material tersebut untuk memastikan tidak terjadinya gerakan relatif (slip) dari tulangan dengan beton yang terdapat disekelilingnya. Dalam perencanaan, sering digunakan tulangan yang bersifat balance reinforced atau tulangan yang berimbang, artinya tulangan leleh pada saat bersamaan dengan hancurnya beton. Perbedaan Over Reinforced dan Under Reinforced adalah : Over Reinforced
Under Reinforced
Tulangan banyak
Tulangan sedikit
Momen nominal (Mn) besar
Momen nominal (Mn) kecil
Garis netral besar
Garis netral kecil
Tulangan belum leleh saat beton hancur
Tulangan sudah hancur saat beton hancur
Keruntuhan tekan
Keruntuhan tarik Keruntuhan bersifat perlahan
Keruntuhan bersifat tiba-tiba
(didahului retak-retak)
Brittle failure
Dactile failure
Dari dua kondisi tersebut, dalam perancangan beton bertulang tidak disarankan dalam kondisi over reinforced, perancangan didesain harus dalam kondisi keruntuhan under reinforced. Banyaknya tulangan ditunjukan oleh luas penampang tulangan (As)
ρ=
HARGIYANTO
As b×d
II 33
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
dimana : ρ
=
angka tulangan (tanpa dimensi)
As
=
luas tulangan
ρb
=
angka tulangan dalam keadaan seimbang (balance)
ρ > ρb
=
over reinforced
ρ > ρb
=
under reinforced
dalam perancangan : ρ < 0,75 ρ b
ρb =
0,85 ⋅ fc '⋅β ⋅ 1 ( fy + 6000)
Kapasitas momen akan meningkat dengan semakin banyaknya tulangan, tetapi tulangan yang semakin banyak juga akan menyebabkan penampang semakin besar yang akan menyebabkan over reinforced. Dalam perancangan, penampang dengan kapasitas besar akan tetapi tetap mengalami under reinforced. Cara terbaik untuk mengatasinya dengan menggunakan tulangan rangkap, tulangan atas (tekan) dan tulangan bawah (tarik).
2.6
Dasar-dasar Perencanaan Gedung Bertingkat Banyak Metode yang digunakan dalam menganalisa perencanaan bangunan pada Tugas
Akhir ini yaitu, Analisis beban statik ekuivalen dan Analisis dinamis. Umumnya untuk bangunan sederhana, simetris dan beraturan, metode statik ekuivalen cukup efektif digunakan.
HARGIYANTO
II 34
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.6.1 Perbedaan Antara Beban Statik dan Beban Dinamik 1.
Analisis Beban Statik Ekuivalen Analisis beban statik ekuivalen adalah suatu cara analisa statik struktur, dimana pengaruh gempa pada struktur dianggap sebagai beban-beban statik horizontal untuk menirukan pengaruh gempa yang sesungguhnya akibat pergerakan tanah. Analisis beban gempa statik ekuivalen pada struktur gedung beraturan yaitu suatu cara analisis statik 3 dimensi linier dengan meninjau beban-beban gempa statik ekuivalen, sehubungan dengan sifat struktur gedung beraturan yang praktis berperilaku sebagai struktur 2 dimensi, sehingga respon dinamiknya praktis hanya ditentukan oleh respon ragamnya yang pertama dan dapat ditampilkan sebagai akibat dari beban gempa statik ekuivalen. Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa dalam arah-arah yang ditentukan. Gaya lateral direncanakan dan dilaksanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan. Besarnya beban lateral menurut peraturan SNI-03-1726-2002 dapat dinyatakan sebagai berikut :
V =
dimana :
C1 ⋅ 1 Wt R
V
=
Gaya geser horizontal total akibat gempa
R
=
Faktor reduksi gempa
C1
=
Faktor respon gempa
1
=
Faktor keutamaan
Wt
=
Berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai
HARGIYANTO
II 35
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai-1 menurut persamaan :
Fi =
∑W i =l
dimana :
2.
Wi ⋅ Z i n
Wi
=
Berat lantai tingkat-1
Zi
=
Ketinggian lantai
i
⋅V
⋅ Zi
Analisis Beban Gempa Dinamik Analisa dinamik adalah untuk menetukan pembagian gaya geser tingkat akibat gerakan tanah oleh gempa dan dapat dilakukan dengan cara analisa ragam spectrum respon atau dengan cara analisa respon riwayat waktu. Salah satu aspek penting dalam analisa dinamik adalah periode dan pola getar alami, yang menghasilkan frekuensi dan periode. Analisa dinamik harus dilakukan untuk struktur gedung-gedung berikut : 1.
Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 m
2.
Gedung-gedung yang memiliki lebih dari 10 lantai
3.
Gedung-gedung yang strukturnya tidak beraturan
4.
Gedung-gedung yang bentuk, ukuran, dan peraturannya tidak umum
5.
Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata
HARGIYANTO
II 36
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
Analisa dinamik yang ditentukan didasarkan atas prilaku struktur yang bersifat elastik penuh dengan meninjau gerakan gempa dalam satu arah. Salah satu aspek penting dalam analisa dinamik adalah periode dan pola getar alami. Dalam hal ini dapat dilakukan analisis modal untuk mode getaran dengan menggunakan eigenvector. Struktur dengan jumlah bentang dan kolom tersebar dapat diidealisasikan hubungan massa dan periode, sehingga dapat dianggap:
2.7
1.
Massa terpusat pada bidang lantai
2.
Balok pada lantai, kaku tak hingga dibandingkan kolom
3.
Deformasi struktur tak dipengaruhi gaya aksial yang terjadi pada struktur
Faktor Beban Ultimit Ketentuan desain gempa SNI 2847 memakai dasar desain kekuatan terbatas dan
bukan desain tingkat layan (elastis) Menurut SNI beton 2002 pasal 11.2 secara umum ada 6 macam kombinasi beban yang harus dipertimbangkan, 1.
1.4 D
2.
1.2 D + 1.6 L
3.
1.2 D + 1.0 L ± 1.0 (Ex ± 0.3 Ey)
4.
1.2 D + 1.0 L ± 1.0 (0.3 Ex ± Ey)
5.
0.9 D ± 1.0 (Ex ± 0.3 Ey)
6.
0.9 D ± 1.0 (0.3 Ex ± Ey) Beban gempa nominal E adalah kombinasi beban pada SNI 2847 ini, memakai
beban terfaktor = 1,0 karena E adalah beban Ultimate. HARGIYANTO
II 37
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
2.8
Analisis Struktur Bangunan yang menggunakan bahan utama beton dan tulangan dengan struktur
berlantai banyak terdiri dari dua bagian yaitu, elemen vertikal dan elemen horizontal yang terdiri dari balok, kolom, pelat dan dinding yang dihubungkan satu sama lain untuk membentuk suatu kerangka monolitis. Setiap bagian tersebut harus di rencanakan agar mampu menahan gaya yang bekerja pada bagian itu sendiri. Proses analisis dimulai dengan menghitung seluruh beban yang akan membebani struktur tersebut dengan tidak mengesampingkan berat struktur itu sendiri. Kemudian di rencanakan dimensi dan ukuran dari bagian-bagian tersebut. Pengecekan kembali haruslah di lakukan untuk lebih memastikan bahwa struktur yang kita rencanakan sudah memenuhi kaidah struktur yang layak pakai bagi manusia. Dalam merencanakan struktur, gaya-gaya dapat dihitung dengan berbagai metode, seperti analisa struktur statis tak tentu, baik secara manual maupun software komputer. Pada Tugas Akhir ini penulis menggunakan program komputer ETABS. Beban yang terima struktur direncanakan sebagai pembebanan vertikal gravitasi dan pembebanan leteral gempa. Pembebanan vertikal gravitasi terdiri atas beban mati dan beban hidup. 2.9
Perkakuan Vertikal dengan Sistem Perbesaran Kolom Penggunaan perkakuan tambahan berupa perbesaran kolom sudut serta balok lantai atas di maksudkan agar rangka berperilaku sebagai portal tunggal dengan tujuan untuk meningkatkan faktor kekakuan sepanjang rangka. Selain mampu memperkecil terjadinya lendutan juga dapat mereduksi momen-momen HARGIYANTO
II 38
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
dalamnya, sehingga momennya mengecil dibandingkan dengan tanpa diberi perkakuan. Manfaat yang dapat dilihat dari segi lendutan yang terjadi akibat adanya gaya lateral ( Maya Kumala Sari, 1999 ) adalah : 1.
Kekakuan rangka mampu menahan gaya lateral hingga lantai ke-9 dengan mengurangi gaya lateral dari 34% sampai 26,35%, sedangkan di lantai ke-10 goyangannya sedikit bertambah besar (0,18%) tetapi tidak berarti.
2.
Dari pola lendutan, pada rangka yang diperkaku perilakunya menyerupai rangka sederhana.
Sistem perkakuan perbesaran kolom juga di kembangkan agar rangka dapat bergerak serempak, sehingga dapat mengurangi efek perbesaran gaya lintang pada kolom akibat gaya lateral seperti yang dapat terjadi pada sistem perkakuan dinding geser dan diharapkan juga distribusi gaya dalam/momen pada balok-balok dan kolom-kolom normal di sebelah dalam akan mengecil dibanding tanpa perkakuan tambahan. Sistem perkakuan ini dapat di modifikasi dengan menempatkan kolom yang di perbesar pada kolom sudut sebelah dalam, sehingga selain sebagai pehahan lentur akibat gaya lateral, juga menampung gaya normal paling maksimal, karena area gaya normalnya paling maksimal. Berdasarkan distribusi momen akibat beban vertikal dan beban lateral, sistem perkakuan untuk gedung berbentuk bujur sangkar diperoleh momen tumpuan (negatif) yang bertambah besar dan momen lapangan (positif) yang relatif kecil. Sedangkan pada kolom,
HARGIYANTO
II 39
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
peningkatan momen hanya terjadi pada kolom-kolom sudutnya. Selebihnya momen pada kolom lainnya mengecil akibat pengaruh distribusi momen. Untuk gedung dengan ketinggian di atas 40 meter, sistem ini perlu di tambah beberapa perbesaran balok di tengah tengah. Sistem ini mengadopsi kakunyan sapu lidi. 3.0
Strong Column- Weak Beam
Desain struktur perlu memegang prinsip mengendalikan dan mempertahankan perilaku daktail struktur pada waktu menahan gaya gempa, yakni perilaku struktur yang di rencanakan setelah melampaui batas elastis harus tetap terjamin dengan baik. Pada sistem struktur direncanakan daerah sendi plastisnya untuk pemencaran energi, sehingga komponen stuktur benar-benar berperilaku daktail. Dengan demikian, mekanisme goyangan portal dengan sendi-sendi plastis terbentuk dalam balok-balok, bukan pada kolom-kolom. Dengan menggunakan balok kuat dan lebih kaku mekanisme goyang portal dengan sendisendi plastis terbentuk pada kolom-kolom, yang ada umumnya hanya diizinkan pada rangka struktur rendah, karena alasan-alasan sebagai berikut: a. Pemencaran energi berlangsung terpusat didalam sejumlah kecil komponen struktur kolom, b. Daktilitas yang tinggi yang di tuntut pada kolom-kolom akan sulit di penuhi, c. Simpangan besar yang terjadi pada struktur mengakibatkan timbulnya efek Pdelta yang merupakan kondisi berbahaya bagi daktilitas struktur. Dengan berlandaskan persyaratan dasar strong column – weak beam ini di harapkan struktur beton dapat menunda keruntuhan totalnya, karena balok-balok dan pelat beton bertulang pada umumnya tidak akan segera runtuh meskipun sudah terjadi kerusakan HARGIYANTO
II 40
Dasar Teori Perencanaan Struktur Gedung
yang besar pada lokasi sendi plastis, sedangkan kolom-kolom akan runtuh segera walaupun baru terjadi kerusakan kecil (Andriano dan Kusuma, 1996) Sehubungan dengan itu SKSNI T – 15 – 1991 – 03 mengatur : a. Keruntuhan harus di akibatkan oleh lentur, bukan geser. Untuk itu pada waktu tulangan lentur mencapai tegangan lelehnya maka tulangan geser masih harus dalam keadaan elastis (± 90% tegangan leleh), b. Keruntuhan joint – joint di antara batang- batang harus dihindari, c. Keruntuhan harus daktail, bukan getas. Sistem perkakuan perbesaran kolom-balok ini mencoba memegang prinsip-prinsip perencanaan ini. Perbesaran balok pada beberapa lantai tetap tidak menjadikan balokbalok yang diperbesar ini lebih kuat atau lebih kaku. Dengan demikian, sendi plastis tetap direncanakan terjadi pada balok.
HARGIYANTO
II 41