Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1)
BAB II DASAR TEORI
2.2.
UMUM
Pengertian budidaya di kalangan pertanian dapat diartikan sebagai kegiatan usaha produksi suatu komoditi. Istilah ini merupakan padanan dari istilah culture dalam bahasa Inggris, atau cultuur dalam bahasa Belanda. Sebagai contoh, istilah cofficulture yang berarti perkebunan kopi.
Pembudidayaan daerah rawa saaat ini banyak dilakukan tergantung kebutuhan daerah setempat. Pada umumnya daerah seperti ini terbagi atas dua yaitu daerah yang akan dibudidayakan dan area non budidaya pertanian. Untuk area yang akan dibudidayakan pekerjaan yang harus dilakukan adalah dengan pengembangan jaringan drainase, sementara area non pertanian pengembangannya untuk permukiman pusat desa seperti jalan raya, industri kecil, dan yang lainnya.
Untuk pengembangan daerah rawa yang harus diperhatikan seperti topografi, kemasaman tanah, unsur-unsur tanah, iklim setempat dan curah hujan. Tujuannya kita bias mengetahui area mana yang bisa dimanfaatkan untuk daerah irigasi, untuk tanaman tahunan maupun tanaman keras. Untuk itu kita harus mengetahui kondisi fisik dan nonfisiknya.
Besarnya debit air yang akan ditampung oleh saluran drainase tergantung pada beberapa factor berikut. x
Topografi
x
Iklim
x
Jenis Tanah
x
Jenis Tanaman
Untuk mengetahui berapa banyak debit air yang harus dialirkan untuk menurunkan muka air tanah di lahan gambut perlu diperhatikan Evapotranspirasi Potensial lahan Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
6
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) dan besar curah hujan pada areal tersebut. Evapotranspirasi terbagi atar dua kata antara lain: a. Evaporasi Proses penguapan sejumlah uap air yang berada di permukaan air bebas lepas ke atmosfer. b. Transpirasi Proses penguapan air yang berasal dari tumbuhan itu sendiri langsung ke atmosfer.
Sedangkan pengertian Evapotranspirasi Potensial adalah laju maksimum dari penguapan atau perpindahan sejumlah air dari permukaan tanah untuk rentang waktu tertentu.
2.2.
METODA PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI
Pada saat ini terdapat beberapa metoda yang telah dikembangkan untuk menghitung besarnya evapotranspirasi berdasarkan jenis dan kelengkapan data yang tersedia. Pemilihan metoda biasanya dilakukan berdasarkan kelengkapan dan keakuratan data yang tersedia.
Metoda empiris dapat digunakan untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial. Metoda ini disusun berdasarkan data klimatologi seperti : temperatur, penyinaran
matahari,
kelembaban
relatif
dan
kecepatan
angin.
Besarnya
evapotranspirasi aktual diperoleh dengan mengalikan evapotranspirasi potensial dengan faktor koreksi yang bergantung pada tanaman setempat.
Beberapa metode empiris yang dikembangkan untuk menghitung evapotranspirasi potensial adalah Metode Thornthwaite, Metode Blaney & Criddle, Metode Radiasi dan Metode Penman (modifikasi). Parameter hidroklimatologi yang digunakan pada masing-masing metoda tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1. Prosedur perhitungan metoda tersebut dapat dilakukan mengikuti manual yang diterbitkan oleh F AO pada tahun 1977 (Crop Water Requirement, Doorencos & Pruitt).
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
7
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Tabel 2.1 Kebutuhan parameter pada metoda empiris perhitungan evapotranspirasi
Parameter Klimatologi Metode
Temperatur
Penyinaran Kelembaban Kecepatan matahari
relatif
angin
Thornthwaite
(*)
(koreksi)
-
-
Blaney & Criddle
(*)
(*)
(koreksi)
(koreksi)
Radiasi
(*)
(*)
(koreksi)
(koreksi)
Penman modifikasi (*)
(*)
(*)
(*)
Dibawah ini disajikan beberapa metoda yang kerap digunakan, deskripsi dari metoda tersebut adalah sebagai berikut:
2.2.1. Metode THORNTHWAITE Formulasi Thornthwaite dinyatakan dalam fungsi temperatur sbb.:
ET0
§ 10T · 1,6¨ ¸ © I ¹
a
dimana: ETa
= evapotranspirasi bulanan( | 30 hari, 1 hari = 12 jam).
T
= temperatur udara bulanan rata-rata
I
= indeks penyinaran matahari tahunan atau musiman
i
= (T / 5)1,154 = indeks penyinaran matahari bulanan
I
=
n
¦i i 1
a
= 0,000000675 I 3 - 0,000077112 I 2 0,01792 I 0,49239
2.2.2. Metode Blaney & Criddle
Formulasi metoda Blaney & Criddle (1950) pada awalnya dituliskan sbb: ET = kpt/l00
dimana k
= Consumptive use coeficient dari tanaman.
p
= Prosentase jam penyinaran matahari bulanan per tahun
t
= Temperatur rata bulanan (oF)
ET = Evapotranspirasi bulanan (inch) Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
8
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Formulasi tersebut kemudian dimodifikasi oleh FAO menjadi sbb.: ET = C [Ȗ (0,46 t + 8)]
dimana: ET
= evapotranspirasi (mm/hari)
C
= faktor koreksi f (RH, (n/N), U)
t
= temperatur udara bulanan rata-rata (oC)
Ȗ
= prosentase rasio penyinaran matahari harian/tahunan
RH
= kelembaban relatif(RH)
n/N
= penyinaran matahari
U
= Kecepatan angin
2.2.3. Metode Radiasi
Berdasarkan metoda radiasi besarnya evapotranspirasi diformulasikan sbb: ET =C W Rs
dimana: ET
= evapotranspirasi (mm/hari)
C
= faktor koreksi f(RH, (n/N), U)
W
= faktor bobot tergantung dari nilai temperatur udara dan ketinggian tempat
Rs
= (0,25 + 0,50 n/N) Ra
(n/N) = faktor lamanya penyinaran matahari N
= maksimum lamanya penyinaran matahari rata-rata harian
Ra
= radiasi matahari ekstra terrestrial tergantung dari letak lintang
2.2.4. Metode PENMAN (Modifikasi)
Metoda ini merupakan metoda terlengkap dibandingkan metoda-metoda sebelumnya. Rumusa besarnya evapotranspirasi dinyatakan dalam bentu sbb.:
dimana: ET
= evapotranspirasi dalam (mm/hari)
e
= faktor koreksi akibat keadaan iklim siang/malam
W
= faktor bobot tergantung dari temperatur udara dan ketinggian tempat
Rn
= radiasi neto ekivalen dengan evaporasi (mm/hari)
Rn
= Rns - Rnl
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
9
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Rns
= gelombang pendek radiasi matahari yang masuk = (l - Į) Rs = (l - Į) (0,25 + 0,50 n/N) Ra
Ra
= radiasi matahari ekstra terrestrial
Rnl
= f(t) f(ed) f(n/N) = gelombang panjang radiasi neto
N
= maksimum lamanya pcnyinaran matahari
(l-w) = faktor bobot f(toC, elevasi, U dan e) f(u)
f (u )
= fungsi kecepatan angin § U · 0,27¨1 2 ¸ © 100 ¹
(ea-ed) = selisih tekanan uap jenuh dan aktual pada temperatur rata-rata udara ed
ea u
kelembaban _ relatif 100
ea u RH 100
ea
= tekanan uap jenuh tergantung dari temperatur
f(t)
= fungsi efek temperatur pada gelombang panjang radiasi. = VTk4
V
= konstanta stefan-boltzman
Tk
= Temperatur (oK)
F(ed) = fungsi efek tekanan uap pada gelombang panjang radiasi = 0,34 - 0,044
ed
f(n/N) = fungsi efek sunshine pada gelombang panjang radiasi = (0.1 + 0.9 n/N)
2.3. MEMPERKIRAKAN DATA HUJAN YANG HILANG
Seringkali data hujan yang tercatat tidak lengkap. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan kerusakan atau pemindahan alat penakar, maupun ketidakhadiran si pencatat. Karena pengolahan data hujan membutuhkan data yang kontinyu, maka seringkali dilakukan taksiran data yang tidak lengkap/hilang tersebut. Cara yang biasa digunakan adalah cara rata-rata aritmatik, rasio normal dan kebalikan kuadrat jarak. Uraian dari ketiga metoda tersebut disajikan di bawah ini.
2.3.1. Rata-rata Aljabar
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
10
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Cara rata-rata aljabar maksudnya adalah memperkirakan data curah hujan yang tidak lengkap dengan menghitung rata-rata curah hujan dari stasiun-stasiun yang terdekat dengan stasiun yang ditinjau pada waktu yang sama.
Misalkan A, B, C dan D adalah stasiun pengamat hujan, apabila pada stasiun ada data hujan yang tidak lengkap maka data hilang tersebut dapat diperkirakan dengan menggunakan formulasi sbb.: HD=
1 (HA + HB + HC) 3
Dimana : HA, HB, HC
= data hujan yang teramati pada masing-masing stasiun (A, B, C)
HD
= data hujan pada stasiun D yang diperkirakan.
Cara tersebut berlaku, apabila perbedaan antara data hujan pada stasiun terdekatt untuk jangka waktu tahunan rata-rata < 10 %.
2.3.2. Perbandingan (Rasio) Normal
Bila ternyata perbedaan curah hujan untuk jangka waktu tahunan rata-rata antara stasiun hujan yang terdekat > 10 %, maka cara ratio normal lebih dianjurkan, yaitu sbb.: HD
· R R 1 § RD ¨¨ H A D H B D H C ¸¸ 3 © RA RB RC ¹
dimana: RA, RB, RC
= hujan tahunan rata-rata pada masing-masing stasiun A, B dan C
RD
= hujan tahunan rata-rata pada stasiun D
HA, HB, HC
= hujan pada masing-masing stasiun D
HD
= data hujan pada stasiun D yang diperkirakan.
Perhitungan-perhitungan ini akan lebih mendekati kenyataan jika dipergunakan pada daerah-daerah pegunungan.
2.3.3. Kebalikan Kuadrat Jarak
Metode ini digunakan oleh 'US National Weather Service' untuk peramalan debit sungai. Dengan memperkirakan hujan pada suatu stasiun sebagai rata-rata berbobot dari empat stasiun yang terdekat dimana masing-masing terdapat dalam kuadran yang
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
11
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) dibatasi oleh garis utara-selatan dan timur-barat melalui stasiun yang bersangkutan. Rumus yang dipergunakan adalah:
Hx
1 1 1 H1 2 H 2 2 H 3 2 R1 R2 R3 1 1 1 2 2 2 R1 R2 R3
dimana: H1, H2, H3
= hujan pada masing-masing stasiun pada kuadran 1, 2, 3.
R1, R2, R3
= jarak masing-masing stasiun tcrhadap stasiun Yang ditinjau
Hx
= hujan yang diperkirakan pada sistem yang ditinjau.
Apabila satu atau lebih kuadran tidak terisi stasiun hujan, seperti yang mungkin terjadi pada kasus suatu titik pada daerah tangkapan air, maka perhitungannya hanya melibatkan kuadran yang tersisa.
2.4. TES HOMOGENITAS
Dalam analisis regional, data hujan dari beberapa stasiun yang diambil perlu dilakukan test homogenitas. Test homogenitas dilakukan dengan menerapkan metoda yang dikembangkan oleh Langbein untuk menganalisis banjir atau hujan regional, yang juga digunakan oleh US Geological Survey.
Prinsip perhitungan ini adalah perhitungan secara statistik terhadap data dari beberapa stasiun hujan, dengan lama pengamatan tidak harus sama, yang dilakukan berdasarkan distribusi ekstrim. Range variasi pada standar deviasi dari 'reduced variate' untuk perioda ulang 10 tahun adalah 95% . Alasan dipilihnya perioda ulang 10 tahun dalam test ini karena hal ini memiliki interval kejadian terpanjang yang dapat diandalkan.
Jika seluruh stasiun hujan setelah diplotkan dalam kurva tersebut terletak di dalam lengkung pengontrol berarti seluruh stasiun tersebut dikatakan homogen, artinya untuk seluruh regional tersebut dapat diwakili dengan harga rata-rata dari seluruh stasiun tersebut. Sebaliknya jika ada stasiun yang berada di luar lengkung pengontrol, maka stasiun tersebut tidak homogen dengan stasiun lainnya, untuk keperluan analisis regional stasiun tersebut boleh diabaikan. Pada tes homogenitas parameter-parameter yang diperhitungkan sebagai berikut:
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
12
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) a = lama pengamatan (tahun) b = hujan rencana dengan perioda ulang 10 tahun c = rata-rata hujan harian maksimum d = perbandingan (b)/(c) e = harga rata-rata (d) f = perioda ulang harga rata-rata hujan harian maks;mum g = perkalian (q) x (e) x (f) Kemudian harga a dan g diplot pada grafik berikut.
Gambar 2.1 Grafik Test Homogenitas Jika stasiun yang bersangkutan terletak di dalam lengkung pengontrol, maka stasiun tersebut dapat dipakai mewakili data hujan di daerah studi.
2.5. ANALISIS FREKUENSI DATA HUJAN HARIAN MAKSIMUM
Dalam melakukan analisa frekuensi data hujan sering dipakai istilah Return Period untuk menyatakan probabilitas. Return Period = periode ulang adalah suatu interval rata-rata yang dinyatakan dalam satuan waktu (tahun) antara kejadian peristiwa banjir yang tertentu besarnya dengan suatu banjir yang bernilai sama atau terlampaui. Untuk
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
13
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) menerapkan analisa frekuensi banjir secara statistik dikenal beberapa distribusi kemungkinan yang telah diuji keandalannya antara lain:
2.5.1. Distribusi Gumbel
Fisher Tippet memperkenalkan ada 3 jenis distribusi nilai ekstrim: a. Fisher Tippet jenis I yang sering dikenal sebagai Distribusi Gumbel. b. Fisher Tippet jenis II. c. Fisher Tippet jenis III. Hubungan antara x dan y menurut Fisher Tippet dinyatakan dengan persamaan:
x
P D
1 e ky k
Besaran ȝ, Į, dan k adalah parameter. Untuk k = 0 o x
P
D . y dikenal sebagai Fisher Tippet jenis I atau Distribusi
Gumbel. Untuk k < 0 o x
P
Untuk k > 0 o x
P
D k
D k
Fisher Tippet jenis II. Fisher Tippet jenis III.
Fisher Tippet jenis I (Distribusi Gumbel) seringkali digunakan untuk meramalkan suatu peristiwa secara statistik yang bernilai ekstrim, baik untuk aliran (debit) maupun untuk hujan atau elevasi muka air. Fisher Tippet tipe III seringkali cocok untuk meramalkan elevasi muka air hujan, sedangkan Fisher Tippet jenis II jarang digunakan kecuali untuk hujan. Fungsi distribusi menurut Gumbel dinyatakan dalam persamaan berikut: F ( x)
Y
e e
Y
xP
D
D
6 S 3
P
X 0.5772D
Dapat disubtitutsikan menjadi: y
ª § 1 ·º ¸¸» .........................persamaan 1 ln «ln¨¨ ¬ © F ( x) ¹¼
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
14
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Perioda ulang dinyatakan sebagai 1 T
P x t xT 1 P X X T 1 F X T
F X T YT
T 1 disubtitusikan kedalam Persamaan 1 T
§ § T ·· ln¨¨ ln¨ ¸ ¸¸ © © T 1¹¹
Menurut Gumbel persamaan peramalan dinyatakan sebagai: XT
P Dy T
Persamaan peramalan juga dapat dinyatakan dengan memakai faktor frekuensi KT. XT
X KT S
XT
X
yT y N S SN
Dimana: X = Nilai rata-rata suatu besaran =
S = Standar Deviasi =
¦ X
i
X
1 N
N
¦X
i
i 1
2
N 1
YT = Reduce Variate ( Tabel 8.3) YN = Reduce Mean (Tabel 8.1) SN = Reduce Standar Deviasi (Tabel 8.2) Nilai faktor frekuensi KT dapat dinyatakan dengan persamaan: KT
ª § T ·º ½ 6 ¸» ¾ ®0.5772 ln «ln¨ Tr ¯ ¬ © T 1 ¹¼ ¿
2.5.2.Distribusi Log Pearson Tipe III
Parameter statistik yang digunakan dalam Distribusi Log Pearson III adalah:
Rata-rata Logaritma
Standar Deviasi Logaritma
Koefisien Asimetri
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
15
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Dalam pemakaian distribusi Log Pearson Tipe III kita haus mengkonversikan setiap rangkaian data menjadi bentuk logaritma: Y Rata-rata logaritma : log x
log x
1 n ¦ log x ni1
log x log x
2
Standar deviasi logaritma : S log x
Koefisien asimetri logaritma : C s
¦
N 1
¦ log x
i
lg x
3
N 1 N 2 S log x 3
Persamaan peramalan menurut distribusi Log Pearson Tipe III : log X T Atau yT
log x k T S log x
y KT S y
Distribusi Log Pearson Tipe III cocok digunakan untuk meramalkan debit banjir, hujan lebat maupun elevasi muka air banjir untuk perioda ulang T.
2.5.3.Distribusi Log Normal
Seperti halnya pada Distribusi Log Pearson Tipe III, peramalan nilai ekstrim dengan menggunakan Distribusi Log Normal setiap rangkaian data dikonversikan menjadi bentuk logaritma: Y
log x
Rata-rata logaritma : log x
1 n ¦ log x ni1
log x log x
2
Standar deviasi logaritma : S log x
N 1
Untuk Distribusi Log Normal nilai oefisien asimetri logaritma : C s
0
Persamaan peramalan menurut distribusi Log Normal : log X T
log x kS log x
Atau yT
y kT S y
2.6. ANALISIS HUJAN WILAYAH RATA-RATA
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
16
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan rancangan pemanfaatan air adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan. Stasiun-stasiun pengamat hujan yang tersebar pada suatu daerah aliran dapat dianggap sebagai titik (point).
Tujuan mencari hujan rata-rata adalah mengubah hujan titik (point rainfall) menjadi hujan wilayah (regional rainfall) atau mencari suatu nilai yang dapat mewakili pada suatu daerah aliran. Ada tiga cara pendekatan untuk menghitung hujan rata-rata yang akan diuraikan berikut ini.
2.6.1. Cara Rata-rata Aljabar
Metode ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan merata-ratakan tinggi curah hujan yang terukur dalam daerah yang ditinjau secara aritmatik. Keuntungan cara ini adalah lebih obyektif jika dibandingkan dengan cara lain. Hasil yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang didapat dengan cara lain jika dipakai pada: x
Daerah datar
x
Stasun-stasiun penakarnya banyak dan tersebar merata
x
Masing-masing data tidak bervariasi banyak dari nilai rata-ratanya
Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan:
RH
1 n ¦ Hi ni1
Dimana Hi
= hijan pada masing-masing stasiun
N
= Jumlah stasiun
RH
= Rata-rata hujan
Perlu diperhatikan bahwa untuk menghitung hujan wilayah dengan menerapkan cara rata-rata aljabar, data hujan yang ditinjau dan diperhitungkan adalah data hujan yang berada di dalam daerah aliran (catchment area). Yang berada di luar daerah aliran tidak dihitung.
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
17
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 2.6.2. Cara Poligon Thiessen
Cara ini sering dipakai karena mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weghting factor) bagi masingmasingstasiun. Cara ini dapat dipakai pada daerah dataran atau daerah pegunungan (dataran tinggi) dan stasiun pengamat hujan minimal ada tiga, sehingga dapat membentuk segitiga.
Lokasi/koordinat stasiun diplot pada peta, kemudian hubungkan tiap titik yang berdekatan dengan sebuah garis lurus sehingga membentuk segitiga. Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon di sekitar masingmasing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon merupakan batas luas wefektif yang diasumsikan untuk stasiun tersebut. Luas masing-masing poligon ditentukan dengan planimetri atau cara lain.
Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan: n
¦ H .L i
RH
i
i 1
n
¦L
i
i 1
Dimana: Hi
= hujan pada masing-masing stasiun
Li
= Luas poligon masing-masing stasiun
N
= Jumlah stasiun yang ditinjau
RH
= Rata-rata hujan
Kendala terbesar dari metode ini adalah sifat ketidakluwesannya, dimana suatu diagram poligon Thiessen baru selalu diperlukan setiap kali terdapat suatu perubahan dalam jaringan alat ukurnya.
2.6.3. Cara Isohyet
Cara ini merupakan cara rasional terbaik dalam merata-ratakan hujan pada suatu daerah, jika garis-garis digambar dengan akurat. Cara ini dapat dipakai bila stasiun curah hujan cukup banyak dan tersebar merata pada daerah aliran sungai.
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
18
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Cara ini agak sulit mengingat proses penggambaran peta isohyet harus mempertimbangkan topografi, arah angin, dan faktor di daerah studi. Lokasi stasiun dan besar dan besar datanya di plot dalam peta, kemudian digambar garis yang menghubungkan curah hujan yang sama dengan perbedaan interval berkisar antara 10 sampai 20 mm. Luas bagian daerah antara dua garis isohyet berdekatan yang termasuk bagian-bagian daerah itu kemudian diukur dengan palnimetri.
Besarnya rerata curah hujan dapat dihitung dengan formulasi : n
¦H L i
i
i 1
RH
n
¦L
i
i 1
Dimana : Hi = hujan pada masing-masing stasiun L1, L2,......., Ln Li = luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet n = jumlah bagian-bagian antara garis-garis isohyet RH = rata-rata hujan.
2.7.
ANALISIS KLASIFIKASI IKLIM
Ada 3 cara unruk menetapkan Klasifikasi Iklim antara lain: 2.7.1.
A.
Sistem Koppen
Sistem ini berdasarkan pada evaluasi besarnya hujan, temperatur, dan
karakteristik vegetasi. Menurut sistem iklim diklasifikasikan menjadi 5 (lima) tipe iklim : Untuk Tipe A (Tropical Rainy Climates)
Tipe A ini adalah dengan : Temperatur rata-rata tahunan
: r 25 0 C 20 0 C
Curah Hujan rata-rata tahunan minimum
: 700 mm – 600 mm
Iklim Tipe A ini dibagi lagi menjadi 3, yaitu : a. Af = lembab sepanjang tahun, dimana curah hujan bulan minimum 60 mm b. Am = iklim hujan musiman dengan pembagian periode kering yang teratur c. Ad = iklim savana kering periodik yaitu dengan :
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
19
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Tabel 2.2 Persyaratam Iklim Hujan Tropis menurut Koppen Hujan Tahunan Curah Hujan terbanyak (pada bulan kering)
2500
2000
1500
1000
mm
0
20
40
60
mm
Untuk Tipe B (Dry Climates)
Iklim tipe B ini dibagi menjadi : a. Bs = iklim steppa, yaitu dengan : B
Tabel 2.3 Persyaratam Iklim Kering menurut Koppen Temperatur Tahunan Hujan Tahunan
250
200
150
100
< 700
< 600
< 500
< 400
C mm
b. Bw = iklim gurun dengan curah hujan maksimum setengah dari curah hujan iklim B
steppa Catatan Di Indonesia iklim tipe Bs sangat jarang ditemui, sedangkam tipe Bw tidak ada.
2.7.2. Menurut Oldeman
Oldeman menetapkan klasifikasi iklim berdasarkan peninjauan Hujan bulan basah, apabila curah hujan bulanan > 200 mm Hujan bulan kering, apabila curah hujan bulanan < 100 mm
Pembagian iklim menurut Oldeman L. R (1975) Zone A = lebih dari 9 bulan berturut-turut bulan basah Zone B1 = 7 – 9 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 2 bulan kering Zone B2 = 7 – 9 bulan berturut-turut bulan basah & kurang dari 2–4 bulan kering Zone C1 = 5 – 6 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 2 bulan kering Zone C2 = 5 – 6 bulan berturut-turut bulan basah & kurang dari 2 - 4 bulan kering Zone C3 = 5 – 6 bulan berturut-turut bulan basah & kurang dari 5 - 6 bulan kering Zone D1 = 3 – 4 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 2 bulan kering Zone D2 = 3 – 4 bulan berturut-turut bulan basah & kurang dari 2 - 4 bulan kering Zone D3 = 3 – 4 bulan berturut-turut bulan basah& kurang dari 5 - 6 bulan kering Zone D4 = 3 – 4 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 6 bulan kering Zone E1 = kurang dari 3 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 2 bulan kering
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
20
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) Zone E2 = kurang dari 3 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 2 - 4 bulan kering Zone E3 = kurang dari 3 bulan berturut-turut bulan basah dan kurang dari 5 - 6 bulan kering Zone E4 = kurang dari 3 bulan berturut-turut bulan basah & kurang dari 6 bulan kering 2.7.3. Menurut Schmidt & Fergusson
Sistem ini menggunakan besaran Q
Q
Jumlah _ rata rata _ bulan _ ker ing Jumlah _ rata rata _ bulan _ basah
Bulan kering adalah apabila curah hujan < 60 mm Bulan basah adalah apabila curah hujan > 100 mm
Tabel 2.4 Persyaratan Iklim menurut Schmidt & Ferguson
2.8.
A
0.000 d Q d 0.143
Sangat Basah
B
0.143 d Q d 0.333
Basah
C
0.333 d Q d 0.600
Agak Basah
D
0.600 d Q d 1.000
Sedang
E
1.000 d Q d 1.670
Agak Kering
F
1.670 d Q d 3.000
Kering
G
3.000 d Q d 7.000
Sangat Kering
H
7.000 d Q d ......
Luar Biasa Kering
PERHITUNGAN MODULUS DRAINASE
Persamaan Modulus Drainase :
q
Rt I t Et u 10 4 24 u 3600 u T
Dimana :
q Rt It Rt T
liter/det/ha
= modulus drainase (liter/det/ha) = curah hujan harian selama t hari (mm) = infiltrasi selama t hari (mm) = evapotranspirasi selama t hari (mm) = lama waktu pembuangan (hari)
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
21
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1)
2.9.
PERHITUNGAN DRAIN SPACING
Pada perhitungan menggunakan 2 persamaan antara lain:
2.9.1. Persamaan Hooghoudt :
L2
8 K 2 .h.d 4 K 1 .h q q
Dimana : L = Drain Spacing (m) K1 = Konduktivitas hidraulik lapisan atas (m/hari) K2 = Konduktivitas hidraulik lapisan bawah (m/hari) h
ba
b
= Kedalaman drainase (m)
a = Kedalaman muka air tanah dibawah permukaan tanah (m) q
= Laju drainase (m/hari)
Persamaan Hooghoudt untuk tanah homogen dimana dasar saluran tidak mencapai lapisan kedap. L2
8 KDe h 4 Kh 2 q
Keterangan dapat dilihat pada gambar dibawah .
Gambar 2.2 Saluran Drainase untuk Persamaan Hooghoudt
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
22
Laporan Tugas Akhir (SI 40Z1) 2.9.2. Persamaan Ernst :
h
hvertikal hhorizontal hradial
h
q
Dv D qL2 qL ln a 0 K 1 8K 1 .D1 K 2 D2 S .K 1 u
Dimana : q
= Laju drainase (m/hari)
K1 = Konduktivitas hidraulik lapisan atas (m/hari) K2 = Konduktivitas hidraulik lapisan bawah (m/hari) td = Kedalaman air pada sarana drainase (m) D1 = Kedalaman lapisan tanah atas (m) D2 = Kedalaman lapisan tanah bawah (m)
Pada saluran drainase yang tidak mencapai lapisan impervious, variasi aliran yang tetjadi dapat merupakan aliran horizontal, vertikal dan radial. Hal ini dapat diterangkan oleh persamaan ERNST yang merupakan penjumlahan "hydraulic head" untuk masing-masing variasi aliran tersebut. h
q
D L L2 yh q q ln 0 SK u 8KD K
Keterangan dilihat pada gambar di bawah.
Gambar 2.3 Saluran Drainase untuk Persamaan Ernst
Aqri Chandra Kriswanto (15002010) Eka Susanto (15002095)
23