Bab II Landasan Teori
BAB II DASAR TEORI 2.1 Klasifikasi Jalan Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas : 1) Jalan Arteri 2) Jalan Kolektor 3) Jalan Lokal Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No 038/T/BM/1997, disusun pada tabel berikut: Tabel 2.1 Ketentuan klasifikasi : Fungsi, Kelas Beban, Medan
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Administratif) sesuai PP. No. 26 / 1985 : Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa dan Jalan Khusus. Keterangan : D (datar), B (bukit, G (gunung)
II - 1
Bab II Landasan Teori
2.2 Kecepatan Rencana Kecepatan rencana (Vr) pada ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan – kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lenggang, dan tanpa pengaruh samping jalan yang berarti.
Tabel 2.2 Kecepatan Rencana (Vr) sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 2.3 Bagian – Bagian Jalan 1. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) a. Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan b. Tinggi 5 meter diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan c. Kedalaman ruang bebas 1,5 m di bawah muka jalan 2. Daerah Milik Jalan (DAMIJA) Ruang daerah milik jalan (DAMIJA) dibatasi oleh lebar yang sama dengan DAMAJA ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5m dan kedalaman 1,5m. 3Daerah Pengawasan Jalan (DAWASJA) Ruang sepanjang jalan di luar DAMIJA yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sesuai dengan fungsi jalan: a. Jalan Arteri minimum 20 meter b. Jalan Kolektor minimum 15 meter c. Jalan Lokal minimum 10 meter
II - 2
Bab II Landasan Teori
2.3.1 Lajur 1) Lajur adalah begian jalur lalulintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana 2) Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang di dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan 3) Jumlah lajur yang di tetapkan mengacu pada MKJI berdasarkan tingkat kinerja volume terhadap kapasitas nilai tidak lebih dari 0.80. 4) Untuk melancarkan drainase permukaan, lajur lalulintas pada alinemen lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut a. 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton; b. 4-5% untuk perkerasan krikil
II - 3
Bab II Landasan Teori
Tabel 2.3 Lebar Lajur Jalan deal
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 2.4 Jarak Pandang Jarak pandang adalah suatu jarak yang di perlukan oleh seorang pengemudi pada saat mengemudi sedemikian sehingga jika mengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan du jarak Pandang Henti Pandang Mendahului
dan Larak
.
2.4.1. Jarak Pandang Henti 1)
adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraan dengan amanbegitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik sepanjang jalan harus memenuhi
2)
.
di ukur berdassarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105cm dan tinggi halangan 15cm diukur dari permukaan jalan.
3)
terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu: a.
Jarak tanggap
adalah jarak yang di tempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halanganyang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem b.
Jarak
pengereman
adalah
jarak
yang
dibutuhkan
untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
II - 4
Bab II Landasan Teori
4)
dalam satuan meter, di dapat di hitung dengan rumus:
II.2 di mana : = kecepatan rencana (km/jam) T = waktu tanggap di tetapkan 2,5 detik g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2 f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, di tetapkan 0,35-0,55 Tabel 2.4 Jarak Pandang Henti minimum
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 2.4.2. Jarak Pandang Mendahului 1)
adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula liat (gambar 2.2).
2)
diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.
II - 5
Bab II Landasan Teori
Gambar 2.2 Jarak Pandang Mendahului Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 3)
dalam satuan meter di tentukan sebagai berikut: =
+
+
+
dimana : = jarak yang di tempuh selam waktu tanggap = jarak yang di tempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula (m), = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang dating dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m), = jarak yang di tempuh oleh kendaraan yang dating dari arah berlawanan, yang besarnya di ambil sama dengan 213 4)
yang sesuai dengan
(m)
ditetapkan dari table 2.5
Tabel 2.5 Panjang Jarak Pandang Mendahului
II - 6
Bab II Landasan Teori
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 5)
Daerah mendahului harus di sebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas jalan tersebut.
2.5 Alinement Horizontal Pada perencanaan alinemen horisontal, umumnya akan ditemui dua bagian jalan, yaitu : bagian lurus dan bagian lengkung atau umum disebut tikungan yang terdiri dari 3 jenis tikungan yang digunakan, yaitu : Lingkaran ( Full Circle = F-C )
Spiral-Lingkaran-Spiral ( Spiral- Circle- Spiral = S-C-S )
Spiral-Spiral ( S-S )
2.5.1 Panjang Bagian Lurus 1) Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai 2) Panjang bagian lurus dapat di tetapkan dari Tabel 2.6
Tabel 2.6 Panjang Bagian Lurus
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997
II - 7
)
Bab II Landasan Teori
Sumber : (di dapat dari Buku Silvia Sukirman tabel 4.1 Hal. 76 Buku Dasar – dasar Perencanaan Geometri Jalan) 2.5.2 Tikungan 1) Bentuk bagian lengkung dapat berupa: (1) Full Circle (FC)
Gambar 2.2 Lengkung Full Circle Keterangan : Δ
= Sudut Tikungan
O
= Titik Pusat Tikungan
TC
= Tangen to Circle
CT
= Circle to Tangen
Rd
= Jari-jari busur lingkaran
Tt
= Panjang tangen (jarak dari TC ke PI atau PI ke TC)
Lc
= Panjang Busur Lingkaran
Ec
= Jarak Luar dari PI ke busur lingkaran
II - 8
Bab II Landasan Teori
Syarat penggunaan tikungan Full Circle adalah sudut kecil (< 10˚) dan R rencana >R min tanpa ls, lc > 20 m FC (Full Circle) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar. Tabel 2.7 Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan
(2) Spiral – Cicle – Spiral (SCS)
Gambar 2.3 Lengkung Spiral-Circle-Spiral
II - 9
Bab II Landasan Teori
Keterangan gambar : Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik ST ke SC Ys = Jarak tegak lurus ketitik SC pada lengkung Ls = Panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS) Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST TS = Titik dari tangen ke spiral SC = Titik dari spiral ke lingkaran Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran θs = Sudut lengkung spiral Rd = Jari-jari lingkaran p = Pergeseran tangen terhadap spiral k = Absis dari p pada garis tangen spiral Tikungan S-C-S adalah sudut sedang (10˚ - 30˚) dengan syarat Δc = 0, lc > 20 m
II - 10
Bab II Landasan Teori
(3) Spiral – Spiral (SS)
Gambar 2.4 Lengkung Spiral-Circle-Spiral
Keterangan gambar : Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST Xs = Absis titik SS pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SS Ys = Jarak tegak lurus garis tangen dari titik PI ke titik TS ke titik SS Ls = Panjang dari titik TS ke SS atau SS ke ST TS = Titik dari tangen ke spiral Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran θs = Sudut lengkung spiral Rr = Jari-jari lingkaran p = Pergeseran tangen terhadap spiral k = Absis dari p pada garis tangen spiral Φs = Sudut lentur spiral terhadap tangen A = Titik absis dari p pada garis tangen spiral B = Titik singgung garis tangen dari titik PI ke titik TS dengan lengkung
II - 11
Bab II Landasan Teori
spiral sebelum mengalami p C = Titik potong Xs dengan Ys Tpa = Panjang tangen dari TS keB Tbs = Panjang tangen dari TS ke SS Tpc = Panjang tangen dari B ke SS Tikungan S - S biasa digunakan pada sudut tikungan ( ΔPI ) besar dengan syarat Lc < 20
II - 12
Bab II Landasan Teori
2) Superelevasi 1) Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pads kecepatan
.
2) Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%. 3) Jari – Jari Tikungan
Tabel 2.8 Besarnya R minimum dan D maksimum untuk beberapa kecepatan
II - 13
Bab II Landasan Teori
rencana dengan mempergunaka persamaan 12 dan 13
Sumber : (di dapat dari Buku Silvia Sukirman tabel 4.1 Hal. 76 Buku Dasar – dasar Perencanaan Geometri Jalan) a. Jari – jari tikungan minimum (
ditetapkan sebagai berikut:
= = 181913,53x(emax+fmax) Vr² di mana : = Jari jari tikungan minimum (m) = Kecepatan Rencana (km/jam) = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = 0,14 – 0,24 = Drajat maksimum Untuk perhitungan, digunakan emaks = 10% sesuai tabel b. Tabel 2.7 dapat di pakai untuk menetapkan
II - 14
Bab II Landasan Teori
Tabel 2.9 Panjang Jari – Jari minimum (Dibulatkan)
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 Untuk kecepatan rencana < 80km/jam berlaku fmax = - 0.0065 V + 0,192 80 – 112 km/jam berlaku fmax = - 0,00125 V + 0,24 4) Lengkung peralihan (1) Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R; berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan. (2) Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral. (3) Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas pertimbangan bahwa: a) lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk menghindarkan kesan perubahan alinemen yang mendadak, ditetapkan 3 detik (pada kecepatan
);
b) gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi berangsur angsur pada lengkung peralihan dengan aman; dan c) tingkat perubahan kelandaian melintang jalan ( ) dari bentuk kelandaian normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui yang ditetapkan sebagai berikut:
(4)
untuk
70 km/jam,
= 0.035 m/m/detik,
untuk
80km/jam,
= 0.025 m/m/detik.
di tentukan dari 3 rumus di bawah ini diambil nilai yang terbesar: (1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan, =
T
II - 15
Bab II Landasan Teori
di mana T = waktu tempuh lengkung peralihan, di tetapkan 3 detik = Kecepatan Rencana (km/jm) (2) Berdasarkan antisipasi gaya setrifugal, = 0.022
x 2,727
(3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian, = di mana :
= kecepatan rencana (km/jam) = super elevasi maximum, = superelevasi normal, = tingkat pencapaian perubahan kemringan melintang jalan (m/m/detik)
(5) Selain menggunakan rumus – rumus, untuk tujuan praktis
dapat di tetapkan
dengan menggunakan tabel 2.8 Tabel 2.10 Panjang Lengkung Peralihan ( ) dan panjang pencapaian superelevasi ( ) untuk jalan 1 jalur – 2 lajur – 2 arah.
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997
II - 16
Bab II Landasan Teori
(6) Lengkung dengan R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan pada Tabel 2.9, tidak memerlukan lengkung peralihan. Tabel 2.11 Jari – jari tikungan yang tidak memerlukan lengkungan peralihan
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 (7) Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser dari bagian jalan yang lurus ke arah sebelah dalam (lihat Gambar 11.20) sebesar p. Nilai p (m) dihitung berdasarkan rumus berikut: P= di mana : ( ) = panjang lengkung peralihan (m) R = Jari - jari lengkung (m) (8) Apabila nilai p kurang dari 0.25 maka lengkung peralihan tidak di perlukan sehingga tipe tikungan menjadi fC. (9)Superelevasi tidak diperlukan apabila R lebih besar atau sama dengan ditunjukkan dalam tabel 2.10 Tabel 2.12 Jari –jari yang di izinkan tanpa lengkung peralihan
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 5) Pencapaian superelevasi a. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal
II - 17
Bab II Landasan Teori
pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung. b. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar 2.3), diawali dari bentuk normal ( peralihan (TS) yang berbentuk (
) sampai awal lengkung ) pada bagian lurus jalan, 'lalu
dilanjutkan sampai superelevasi penuh (
) pada akhir bagian lengkung peralihan (SC).
c. Pada tikungan fC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat Gambar 2.4), diawali dari bagian lurus sepanjang 213 L sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang
.
d. Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral.
Gambar 2.2 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997
II - 18
Bab II Landasan Teori
Gambar 2.3 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe fC. Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997
Gambar 2.4 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe S-S.
II - 19
Bab II Landasan Teori
Sumber : TPGJAK No 038/T/BM/1997 2.5.3 Daerah bebas tikungan Jarak Pandang pengemudi pada lengkung horisontal (di tikungan), adalah pandanngan bebas pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan. Daerah bebas samping di tikungan dihitung bedasarkan rumus-rumus sebagai berikut : 1. Jarak pandangan lebih kecil daripada panjang tikungan (Jh < Lt).
Gambar 2.5 Jarak pandang < daripada tikungan
Keterangan : Jh = Jarak pandang henti (m) Lt = Panjang tikungan (m) E = Daerah kebebasan samping (m) R = Jari – jari lingkaran (m)
II - 20
Bab II Landasan Teori
(2) Jarak pandang lebih besar dari panjang tikungan (Jh>Lt)
Gambar 2.6 Jarak pandang > daripada tikungan Keterangan: Jh = Jarak pandang henti Jd = Jarak pandang menyiap Lt = Panjang lengkung total R = Jari-jari tikungan R’ = Jari-jari sumbu lajur
2.5.4 Pelebaran Perkerasan Pelebaran perkerasan dilakukan pada tikungan-tikungan yang tajam, agar kendaraan tetap dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang telah disediakan. Gambar dari pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
II - 21
Bab II Landasan Teori
Gambar 2.7 Pelebaran perkerasan pada tikungan
Keterangan: B = Lebar perkerasan pada tikungan n = Jumlah jalur lalu lintas b = Lebar lintasan truk pada jalur lurus b’ = Lebar lintasan truk pada tikungan p = Jarak As roda depan dengan roda belakang truk A = Tonjolan depan sampai bumper
II - 22
Bab II Landasan Teori
W = Lebar perkerasan Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan Z = Lebar tambahan akibat kelelahan pengamudi c = Kebebasan samping ε = Pelebaran perkerasan Rr = Jari-jari rencana
2.6 Alinemen Vertikal Alinemen Vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada peencanaan alinemen vertikal terdapat kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula kelandaian = 0 (datar). Rumus-rumus yang digunakan dalam alinemen Vertikal : 1. g = 2. A = g1 – g2 3.
=
4. Ev = 5. x =
Lv
6. y = 7. Panjang Lengkung Vertikal (Lv) : a. Syarat keluwesan bentuk Lv = 0,6 x V b. Syarat drainase Lv = 40 x A c. Syarat kenyamanan d. Lv = e. Syarat Jarak Pandang,baik Henti / Menyiap
Cembung
II - 23
Bab II Landasan Teori
Jarak Pandang henti Jh < Lv
Jh > Lv
Jarak Pandang Menyiap Jh < Lv
II - 24
Bab II Landasan Teori
Jh > Lv
Cekung Jarak Pandang henti Jh < Lv
Jh > Lv
1.) Lengkung vertical cembung Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent berada di atas permukaan jalan
Gambar 2.8 Lengkung Vertikal Cembung 2.) Lengkung vertical cekung Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent berada di atas permukaan jalan
II - 25
Bab II Landasan Teori
PPV Gambar 2.9 Lengkung Vertikal Cekung. Keterangan : PLV = titik awal lengkung parabola. PPV = titik perpotongan kelandaian g PTV = titik akhir lengkung parabola. g = kemiringan tangen ; (+) naik; (-) turun. ∆ = perbedaan aljabar landai (g1 - g2) %dan g EV = pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran (PV- m) meter. Lv = Panjang lengkung vertikal V = kecepatan rencana (km/jam) Jh = jarak pandang henti f
= koefisien gesek memanjang menurut Bina Marga, f = 0,35
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan Alinemen Vertikal 1) Kelandaian maksimum. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Tabel 2.13 Kelandaian maksimum yang di ijinkan
II - 26
Bab II Landasan Teori
2) Kelandaian Minimum Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena kemiringan jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air kesamping. 3) Panjang kritis suatu kelandaian Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh Vr. Tabel 2.14 Panjang Kritis (m)
2.7. Perencanaan Drainase Untuk merencanakan perhitung drainase penulis menggunakan metode manning referensi sumber internet untuk mengitung dimensi ekonomis saluran tersebut dengan contoh perhitungan: Saluran drainase sekunder berbentuk trapesium mengalirkan debit sebesar 2,3 m3/det. Kemiringan dasar saluran 1 : 5000. Dasar saluran mempunyai koefisien kekasaran n = 0,012. Tentukan dimensi tampang saluran yang paling ekonomis ? Diketahui : Q = 2,3 m3/det S = 1 : 5000 n = 0,012 Ditanyakan : dimensi penampang yang ekonomis ? Penyelesaian : Bentuk trapesium yang paling ekonomis adalah setengah heksagonal, dengan jari-jari hidraulik setengah dari kedalaman air.
II - 27
Bab II Landasan Teori
sumber: Internet http:www.ilmusipil.com
II - 28
Bab II Landasan Teori
2.8. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Perencanaan konstruksi lapisan perkerasan lentur disini untuk jalan baru dengan Metoda Analisa Komponen, yaitu dengan metoda analisa komponen SKBI – 2.3.26. 1987. Adapun untuk perhitungannya perlu pemahaman Istilah-istilah sebagai berikut : 2.8.1. Perhitungan Volume Lalu lintas 1). Lalu lintas harian rata-rata (LHR) Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masingmasing arah pada jalan dengan median.
Dimana:
II - 29
Bab II Landasan Teori
i1 = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi i2 = Pertumbuhan lulu lintas masa layanan J = jenis kendaraan n1 = masa konstruksi n2 = umur rencana C = koefisien distribusi kendaraan E = angka ekuivalen beban sumbu kendaraan Fp = Faktor Penyesuaian
2.8.2. Angka Ekuivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan Angka Ekuivalen (E) masing-masing golongan beban umum (Setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus daftar sebagai berikut:
x 0,086
II - 30
Bab II Landasan Teori
2.8.3. Faktor Regional (FR) Faktor regional bisa juga juga disebut faktor koreksi sehubungan dengan perbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain keadaan lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya dukung tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini Faktor Regional hanya dipengaruhi bentuk alinemen (Kelandaian dan Tikungan) Tabel 2.15 Prosentase kendaraan berat dan berhenti serta iklim (curah hujan)
2.8.4. Koefisien Distribusi Kendaraan Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar di bawah ini: Tabel 2.15 Koefisien distribusi kendaraan (C)
2.8.5. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR) Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi DDT dan CBR. 2.8.6 Indeks Permukaan (IP)
II - 31
Bab II Landasan Teori
Indeks Permukaan ini menyatakan nilai daripada kerataan / kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah ini: IP =1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu Iintas kendaraan. IP = 1,5: adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). IP = 2,0: adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap IP = 2,5: adalah menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), menurut daftar di bawah ini: Tabel 2.16 Indeks Permukaan Pada Umur Renacan (IP)
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal. Catatan: Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT / jalan murah atau jalan darurat maka IP dapat diambil 1,0. Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut daftar VI di bawah ini:
II - 32
Bab II Landasan Teori
Tabel 2.17 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
*) Alat pengukur roughness yang dipakai adalah roughometer NAASRA, yang dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 station wagon, dengan kecepatan kendaraan ± 32 km per jam. Gerakan sumbu belakang dalam arah vertikal dipindahkan pada alat roughometer melalui kabel yang dipasang ditengah-tengah sumbu belakang kendaraan, yang selanjutnya dipindahkan kepada counter melalui "flexible drive”. Setiap putaran counter adalah sama dengan 15,2 mm gerakan vertikal antara sumbu belakang dan body kendaraan. Alat pengukur roughness type lain dapat digunakan dengan mengkalibrasikan hasil yang diperoleh terhadap roughometer NAASRA. 2.8.7. Koefisien kekuatan relative (a) Koefisien kekuatan relative (a) masing-masing bahan dan kegunaan sebagai lapis permukaan pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan untuk (bahan yang distabilisasikan dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi atau pondasi bawah).
II - 33
Bab II Landasan Teori
Tabel 2.18 koefisien kekuatan relative (a)
Catatan: Kuat tekan stabilitas tanah dengan semen diperiksa pada hari ke-7. Kuat tekan stabilitas tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke-21. 2.8.8 Batas – Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Tabel 2.19 Batas – batas Tebal Minimum Tebal Lapis Perkerasan 1.Lapis Perkerasan
II - 34
Bab II Landasan Teori
2.Lapis Pondasi
3.Lapis Pondasi Bawah
2.8.9. Analisa komponen perkerasan Penghitungan ini didstribusikan pada kekuatan relatif masing-masing lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penetuan tebal perkerasan dinyatakan oleh Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Rumus: ITP = = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm) Angka 1,2,3 masing-masing lapis permukaan, lapis pondasi atas dan pondasi bawah 2.9. Rencana Anggaran Biaya (RAB) Untuk menentukan besarnya biaya yang diperlukan terlebih dahulu harus diketahui volume dari pekerjaan yang direncanakan. Pada umumnya pembuat jalan tidak lepas dari masalah galian maupun timbunan. Besarnya galian dan timbunan yang akan dibuat dapat dilihat pada gambar Long Profile. Sedangkan volume galian dapat dilihat melalui gambar
II - 35
Bab II Landasan Teori
Cross Section.Selain mencari volume galian dan timbunan juga diperlukan untuk mencari volume dari pekerjaan lainnya yaitu: 1. Volume Pekerjaan a. Pekerjaan persiapan - Peninjauan lokasi - Pengukuran dan pemasangan patok - Pembersihan lokasi dan persiapan alat dan bahan untuk pekerjaan - Pembuatan Bouplank b. Pekerjaan tanah -
Galian tanah
-
Timbunan tanah
c. Pekerjaan perkerasan - Lapis permukaan (Surface Course) - Lapis pondasi atas (Base Course) - Lapis pondasi bawah (Sub Base Course) -
Lapis tanah dasar (Sub Grade)
d. Pekerjaan drainase -
Galian saluran
-
Pembuatan talud
e. Pekerjaan pelengkap -
Pemasangan rambu-rambu
-
Pengecatan marka jalan
-
Penerangan
2. Analisa Harga Satuan Analisis harga satuan di ambil dari harga dari Ciputra
II - 36