BAB II
BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA
1.1. Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum
Setiap tindak pidana yang terjadi memiliki tenggang waktu kadaluwarsa penuntutan sesuai dengan ancaman hukuman yang dirumuskan dalam undang-undang, oleh karena itu proses penyidikan
memegang peranan penting bagi suksesnya
penuntutan dan harus memperhitungkan waktu jangan sampai keterlambatan penyelesaian penyidikan mengakibatkan perkara kadaluwarsa masa penuntutannya. Disamping itu adanya batas waktu proses penanganan perkara pada tahap penyidikan akan memberi kepastian hukum terhadap perkara yang sedang ditangani baik dipandang dari sudut aparat penegak hukum tidak mempunyai tunggakan penanganan perkara yang bertumpuk, maupun dari sudut masyarakat pencari keadilan dengan cepat mengetahui arah penanganan kasusnya .
1.1.1. Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum Pidana
Setiap peristiwa yang terjadi dimuka bumi memiliki tenggang werjadi waktu tertentu, perlunya ditentukan tenggang waktu adalah untuk memastikan suatu peristiwa terjadi, setelah terjadi peristiwa, langkah apa selanjutnya akan dilakukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 3, tenggang (waktu) berarti “batas waktu”, batas waktu yang dibutuhkan oleh suatu peristiwa ada singkat, ada juga yang lama. Sedangkan yang dimaksud dengan “Waktu” menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
adalah : “Seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan
berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua
37
buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian; lamanya (saat yang tertentu); saat yang tertentu untuk melakukan sesuatu”1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak ada memberi batasan apa yang disebut dengan waktu, namun demikian dalam KUHP terdapat rumusan pengertian “sehari” dan “ sebulan” serta “ malam”, yaitu : Ketentuan Pasal 97 KUHP : Yang dikatakan sehari yaitu masa yang lamanya dua puluh empat jam. Ketentuan Pasal 97 KUHP : Sebulan yaitu masa yang lamanya tiga puluh hari. Pasal 98 KUHP : yang dikatakan malam yaitu masa diantara matahari terbenam dan matahari terbit 2 Batas waktu dikaitkan dengan penyidikan perkara tindak pidana umum adalah tenggang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penyidikan suatu perkara tindak pidana umum, misalnya selama sebulan, berarti penyidikan suatu perkara pidana umum harus selesai dalam waktu selama tiga puluh hari
1.1.2. Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana
Sebelum membicarakan mengenai peristiwa pidana terlebih dahulu perlu diketahui mengenai difinisi dari pada peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum didalamnya dapat berlaku konkret3. Dari peristiwa hukum tersebut dapat dibedakan atas peristiwa hukum publik (pidana) dan peristiwa hukum privat (perdata). Peristiwa hukum pidana atau tindak pidana berasal dari bahasa belanda strafbaar feit yang secara harfiah artinya “ peristiwa yang dapat dipidana” . Simon merumuskan 1
Agustin, Risa, tanpa tahun, Kamus Lengkap Besar Bahasa Indonesia, Serba Jaya, Surabaya, hal
634. 2
Soesilo, R. 1994, Kitab Unang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ulang, Politeia, Bogor, hal 103-104 3
Arrasjid, Chainur, 2000, Op.Cit. hal. 134 .
delik atau strafbaar feit
ialah : kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab 4. Suatu peristiwa yang mempunyai akibat hukum terhadap publik
dan peristiwa-peristiwa tersebut diatur dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang kemudian disebut dengan hukum, tentu peraturan perundang-undangan tersebut mengandung perintah, larangan serta sanksi yang harus dibebankan kepada orang yang melanggarnya secara umum disebur sebagai peristiwa atau tindak pidana. E.Utrech memberikan difinisi dari perbuatan pidana atau peristiwa pidana adalah: a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechhtmatig atau wederechtelijk); b. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van de overtreder te wijten); c. Suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar)5 Ahli hukum pidana Hazewinkel Suringha merumuskan strafbaar feit adalah : Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya 6. Administrasi penanganan perkara pidana umum dalam praktek sehari-hari aparat penegak hukum maupun
masyarakat mengkwalifikasi tindak pidana kedalam tiga
katagori yaitu: pertama adalah tindak pidana umum, yaitu suatu peristiwa pidana yang konstruksi hukum materiilnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana formil atau hukum acara pidananya diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). kedua adalah tindak pidana khusus, yaitu suatu peristiwa pidana yang mempunyai spesifikasi /kekhususan tertentu (extra ordinarry) baik pengaturan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formilnya yang diatur secara tersendiri dalam undangundang tersebut disamping secara umum tetap juga berpedoman kepada Kitab Undang4
Hamzah,Andi 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal. 48 5
Siahaan, Monang, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT. Elex Media Komputerindo- Kompas Gramedia, Jakarta, hal. 4 6
Ibid. hal . 4
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) misalnya tindak pidana pelanggaran HAM berat, tindak pidana korupsi dan lain-lain. Sudarto mengatakan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatannya yang khusus (bijzonderlijk feiten)7 , dari segi sanksi tindak pidana korupsi sebagai bagian tindak pidana khusus juga memiliki cirri tersendiri yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku dapat bersifat kombinasi (badan, denda serta tambahan uang pengganti kerugian) ; dan ketiga adalah tindak pidana umum lain, yaitu peristiwa pidana yang ketentuan hukum materiilnya diatur dalam undang-undang tertentu diluar KUHP sedangkan hukum pidana formilnya
mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Tindak pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
8
. Tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam katagori
pertama dan ketiga diatas secara umum disebut sebagai tindak pidana umum, hal ini terjadi karena dibentuknya berbagai perundang-undangan yang mengatur pidana materiil tersendiri merupakan perluasan dari ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , ruang lingkupnya diperluas dan ancaman pidana (sanksi) diperberat.
1.1.3. Pengertian Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada memberi difinisi dari pada hukum acara pidana, oleh karena itu saya mengambil pendapat ahli hukum pidana yang memberi pengertian dari hukum acara pidana tersebut, diantaranya:
7
8
Ibid, hal. 5 Hamzah,Andi, Op.Cit hal .164
Moelyatno memberikan difinisi dari Hukum Pidana, adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan atauran-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut 9 Pengertian hukum pidana menurut Moelyatno tersebut cukup langkap karena didalamnya mencakup pengertian hukum pidana materiil sekaligus juga hukum pidana formil. Pengertian dari Hukum Acara Pidana menurut E.Y. Kanter, adalah sebagai berikut : Seluruh garis hukum yang menjadi dasar/pedoman bagi penegak hukum dan keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil, dengan kata lain hukum acara pidana yaitu mengatur tentang bagaimana caranya negara dengan peraturan badan-badanya (Polisi, Jaksa, Hakim) dapat menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksanakan pidana10
1.1.4. Pengertian penyidik dan Penyidikan Tindak Pidana Umum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan pedoman umum dalam melaksanakan hukum acara pidana di Indonesia secara tegas telah mengatur mengenai tata cara penegakkan hukum pidana (materiil), bagaimana aparat penegak hukum harus bertindak, bagaimana seseorang yang diduga melakukan kejahatan harus diperlakukan, bagaimana cara membuktikan bahwa tersangka/terdakwa benar 9
10
Ali Zaidan, M. Op.Cit. hal 2
Kanter,E.Y. 1982, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHMPTHM, Jakarta, hal. 20
melakukan kejahatan, bagaimana cara mereka menjalani pemidanaan. Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini seseorang tersangka/terdakwa ditempatkan sebagai subyek hukum, hak-hak mereka dilindungi dan dihormati, aparat penegak hukum yang memperlakukan tersangka/terdakwa, saksi-saksi
dengan
sewenang-wenang diancam dengan sanksi sanksi. Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 memberi pengertian penyidikan sebagai berikut
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Tindakan penyidikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan, pada tahap ini penyidik melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti yang diperoleh pada tahap penyelidikan, tindakan penyidik
selain melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang sudah ada juga
berusaha
memperkuat
alat
bukti
yang
sudah
diperoleh
penyelidik
dengan
mengumpulkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang sedang disidik, apabila pada tahap penyelidikan belum ditemukan tersangka maka pada tahap penyidikan inilah penyidik diwajibkan menemukan tersangkanya. Ketentuan Pasal 110 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 menentukan selain tindakan penyidikan, ada juga tindakan penyidikan tambahan namun dalam ketentuan tersebut tidak memberi pengertian apa yang dimaksud dengan penyidikan tambahan. Bambang Waluyo memberi pengertian dari penyidikan tambahan yaitu “Tindakan penyidik untuk melengkapi hasil penyidikannya, yang harus diselesaikan dalam jangka waktu empat belas hari sesuai dengan petunjuk penuntut umum11”, penyidikan tambahan dilakukan berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum setelah meneliti berkas hasil penyidikan. Menurut De Pinto, penyidikan adalah pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh U.U. segera setelah dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa terjadi suatu pelanggaran12
11
Ibid. hal. 45,
12
Hamzah, Andi, 1984, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Galia Indonesia, Jakarta, hal 5.
Pasal 1 angka 1 memberi pengertian dari pada penyidik, yaitu : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indoensia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan” . Penyidik sebagaimana di maksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, dipertegas oleh ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang menentukan siapa saja yang ditetapkan sebagai penyidik, yaitu : Penyidik adalah : a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP mengatur mengenai persyaratan kepangkatan bagi seseorang bisa diangkat menjadi penyidik baik Polri maupun Pagawai Negeri Sipil, Pasal 2 menyebutkan : Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. Peraturan Pemerintah Nomor 58 thun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang salah satu pasalnya merupakan penyempurnaan dari Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 27 tahun 1983, dengan memperluas dan memperjalas pengertian Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu, sehingga dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 menentukan : “Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang Selanjutnya disebut Pejabat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Perubahan peraturan pemerintah tersebut memberi peluang kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dapat diangkat sebagai Pejabat Penyidik adalah baik pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun yang bertugas di daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang.
Penyidik dalam peraturan perundang-undangan secara umum terdiri dari Penyidik Keplosian R.I. dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu, dalam tulisan ini penulis hanya membahas mengenai tugas dan wewenang Penyidik Polri. karena pokok bahasan tulisan ini adalah ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Ius Constitutum. Penyidik baru akan melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangan bidang penegakan hukum
(penyidikan) apabila menerima laporan atau pengaduan dari
masyarakat khususya bagi mereka yang mengalami, melihat atau mengetahui terjadinya suatu
peristiwa pidana, disamping itu ada juga peristiwa pidana yang ditemukan
sendiri oleh aparat penyidik (Polri). Untuk peristiwa pidana yang ditemukan sendiri oleh aparat penyidik pada umumnya peristiwa pidana yang tidak menimbulkan korban secara langsung seperti misalnya peristiwa perjudian, narkotika dan lain sebagaimnya. Pasal 1 angka 24 KUHAP menjelaskan yang dimaksud dengan laporan
adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sedangkan Pasal 1 angka 25 KUHAP. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Difinsi antara laporan dan pengaduan tersebut memiliki perbedaan yang mendasar, sebagai dasar penindakan bagi orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, untuk laporan sebagai dasar penindakan suatu peristiwa pidana aparat penegak hukum khususnya penyidik sudah dapat bertindak melakukan penyelidikan atau penyidikan jika mengetahui atau ada dugaan telah terjadi peristiwa pidana, dan yang menjadi pelapor bukan hanya mereka yang menjadi korban peristiwa pidana tersebut melainkan setiap orang yang mengetahui, melihat atau mendengarnya. Sedangkan untuk pengaduan sebagai dasar penindakan, aparat penegak hukum tidak akan mengambil tindakan hukum terhadap peristiwa yang diduga tindak pidana jika pihak yang bersangkutan dengan masalah tersebut tidak membuat pengaduan dan pengaduan yang sudah disampaikan kepada aparat penegak hukum sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pengadu.
Laporan atau pengaduan masyarakat yang diterima oleh aparat penyidik tidak serta merta dapat dilakukan tindakan penyidikan melainkan terlebih dahulu dilakukan tindakan penyelidikan. Tindakan penyelidikan dipandang sangat perlu dilakukan karena laporan yang disampaikan oleh masyarakat
belum tentu memenuhi syarat untuk
dilakukan tindakan penyidikan, sehingga laporan-laporan tersebut terlebih dahulu dilakukan identipikasi, diselidiki apakah peristiwa yang dilaporkan tersebut benar merupakan peristiwa pidana, ada alat bukti pendukung yang sah, ditemukan pelakunya. Mengenai betapa pentingnya tugas polisi sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana umum Andi Hamzah menyatakan : Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku di seantero dunia. Kekuasaan dan kewenangan (power and outhority) polisi sebagai penyidik luar biasa penting dan sangat sulit, lebih-lebih yang di Indonesia. Di Indonesia Polisi memonopoli penyidikan hukum pidana umum (KUHP) berbeda dengan negeri lain. Lagi pula masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai adat istiadat yang berbeda13. Posisi sentral kepolisian sebagai penyidik tindak pidana diatur baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981) maupun dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. dengan posisi sentral seperti itu, masyarakat masih bertanya-tanya apakah Polri sudah siap memikul tanggung jawab sebagai penyidik untuk semua tindak pidana baik mengenai sumber daya manusia (SDM) maupun mengenai sarana dan prasarana pendukung dari tingkat pusat sampai ke daerah terpencil / pelosok. Penyidikan perkara tindak pidana
secara materiil harus diarahkan untuk
mendukung pembuktian unsur-unsur dari pasal (tindak pidana) yang disangkakan terhadap
tersangka/terdakwa.
Kesuksesan
kegiatan
penuntutan/
pembuktian
dipersidangan sangat ditentukan oleh hasil penyidikan, karena hasil penyidikan merupakan bahan dasar untuk pembuatan surat dakwaan dan surat dakwaan merupakan dasar dari pemeriksaan perkara di persidangan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) menentukan disamping ada aparat penyidik juga dikenal adanya Penyidik Pembantu, sebagaimana diberikan difinisi dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) “Penyidik Pembantu adalah pejabat 13
Pangaribuan, Luhut M.P. 2013, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Praperadilan, Eksepsi,Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasaski dan Peninjauan Kembali Cetakan Pertama, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hal 44
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan “. Mengenai syarat kepangkatan yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983, Pasal 3 ayat (1) menyatakan: i. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat sersan dua polisi ii. Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu dalam lingkup Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda (golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu . Yang disempurnakan dalam Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010, salah satu adalah persyaratan untuk dapat diangkat sebagai penyidik anggota kepolisian berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah disempurnakan lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 3A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010, antara lain menyebukan “Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (antara lain) : b. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a; c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; dalam ketentuan ini mengenai kepangkatan Pegawai Negeri Sipil menjadi paling rendah III/a dan berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara, mengenai persyaratan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan tingkat kemajuan pengetahuan, keterampilan serta penguasaan teknis dari pejabat penyidik baik penyidik kepolisian maupun pegawai negeri sipil tertentu Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2), masih dimungkinkan adanya penyidik selain kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil, walaupun terbatas pada penyidikan perkara-perkara pidana dengan ketentuan acara secara khusus, seperti jaksa selaku penyidik dalam perkara pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia ( HAM berat), penyidik TNI Angkatan Laut untuk perkara pelanggaran zone ekonomi ekslusif /
perikanan, Penyidik Bea dan Cukai dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi selaku penyidik perkara korupsi 14. Istilah penyidikan sebelum berlakunya undang-undang Nomor 8 tahun 1981 penulis dapat temukan dalam beberapa ketentuan seperti Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya digunakan istilah “penggusutan”, sebagaimana disebutkan antara lain dalam : 1. Dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) dan HIR sebagai ketentuan umum dalam penanganan perkara-perkara pidana maupun perdata, dalam penanganan perkara pidana menggunakan istiah “pengusutan” 2. Dalam undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 3. Perpu 24/1960, Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 (1) Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekedar tidak ditentukan lain dalam peraturan ini. Namun dari peraturan tersebut tidak ada yang memberi pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan pengusutan, akan tetapi
secara harfiah pengertian
pengusutan tersebut dapat disamakan dengan pengertian penyidikan . Berbagai istilah yang digunakan dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana pada tahap permulaan (pengusutan atau penyidikan), maka dari tindakan tersebut akan menghasilkan berkas perkara (dossier). Andi Hamzah memberi pengertian dari berkas perkara, yaitu “kumpulan catatan atau tulisan secara lengkap yang bersifat autentik mengenai perkara pidana yang dibuat oleh penyidik dalam bentuk yang ditentukan undang-undang. Berisi pemeriksaan saksi, tersangka, daftar barang bukti, perintah penahan” 15. Berkaitan dengan tindakan penyidikan Pasal 7 ayat (1) huruf j jo pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 16 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 14
Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Edisi pertama, Cetakan pertama, Universitas Muhamadyah Malang, Malang, hal. 227. 15
Hamzah,Andi Op. Cit hal .24
tentang Kepolisian Negera Repbulik Indonesia adalah ketentuan perundang-undangan yang memberi wewenang kepada penyidik untuk melakukan tindakan hukum berupa “mengadakan penghentian penyidikan”, kewenangan tersebut diperoleh secara atribusi oleh penyidik. Ketentuan Pasal : 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dengan tegas merumuskan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya”. Ketentuan-ketentuan tersebut dimaksudkan dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, karena jika tidak ada kewenangan “penghentian penyidikan” maka terlalu banyak perkara pada tahap penyidikan yang tidak ada ujung penyelesaianya . namun dalam ketentuan tersebut tidak ditentukan tenggang waktu berapa lama penyidik harus sudah mengambil tindakan penghentian penyidikan sejak mengetahui bahwa perkara yang sedang ditangai memenuhi syarat untuk dihentikan penyidikannya.
1.2. Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Tersangka
Asas Equality be for the law serta pemahaman bahwa setiap manusia dimuka bumi mempunyai hak-hak yang hakiki yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun dalam keadaan apapun, pembatasan hak-hak asasi manusia hanya bisa dilakukan atas dasar undang-undang, demi menjamin hak-hak asasi orang lain. Perlindungan mengandung makna bahwa setiap hak yang dimiliki oleh manusia harus dijaga, ditegakan dan dipenuhi jangan sampai dirampas oleh pihak lain termasuk didalamnya aparat pemerintah dengan alasan apapun.
1.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa tahun 1948 yang lebih dikenal dengan Declaration of Human Rihts yang
merupakan pengakuan hak asasi manusia secara internasional, memberi pengertian dari pada hak asasi manusia sebagai berikut : “Hak Azasi Manusia adalah semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Difinisi tersebut memberi pandangan bahwa setiap manusia dilahirkan ke muka bumi dalam keadaan bebas dan merdeka serta memiliki derajat serta hak-hak yang sama, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hari nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi terhadap hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dan hak-hak ini dikenal dengan hak asasi yang non derogable yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun. Perkembangan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia secara internasional semakin berkembang dan pada tahun 1966 telah dideklarasikan dua jenis hak asasi manusia yang lebih spesifik dari deklarasi hak asasi manusia tahun 1948, yaitu hak asasi manusia bidang
sipil dan politik (International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) beserta Protokol Opsional (Optional Protocol), dan hak asasi manusia dibidang ekonomi, sosial dan budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESR) beserta Protokol Opsional (Optional Protocol). Deklarasi hak asasi manusia yang mengatur hak-hak
dibidang hukum adalah
kovenan hak sipil dan politik (International Convenant on Civil and Political Rights), beserta protokol tambahanya yang dikenal dengan perkembangan Hak Asasi Manusia generasi pertama (I) tahun 1966 . Pasal-pasal yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia dibidang hukum, diantaranya Pasal 10 dan 14 ICCPR : Pasal 10 mengatur mengenai “hak sebagai tersangka dan terdakwa diperlakukan secara manusiawi”, dan dalam Pasal 14 “ hak atas kedudukan yang sama dimuka hukum” Perwujudan bagi Bangsa Indonesia dalam rangka pengakuan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia pada tahun 1999 Pemerintah R.I. telah mengesahkan dan mengundangkan undang-undang tentang hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut memberikan difinis atau pengertian mengenai hak asasi manusia sebagai berikut : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, memberikan pengertian hak asasi manusia
sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Kamus Dental dictionary, memberi difinisi Human Right is The legal and moral rights of humans recognized by national and international laws
16
. Hak asasi manusia
merupakan hak moral yang secara legal ada pada setiap manusia, diakui oleh hukum nasional maupun internasional . Indonesia sebagai bagian dari Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, secara konstitusi telah turut meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik ( ICCPR), dalam penjelasan umum point 3. Pokokpokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 9,10, 11 dan 14 mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia dibidang hukum. Landasan prinsip/dasar secara filofis bagi Bangsa Indonesia turut melakukan ratifikasi terhadap kovenan hak sipil dan politik tersebut adalah: Instrumen Internasional ICCPR tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD. Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat Negara R.I. sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan Bangsa Indonesia untuk secara terus menerus memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara17. Kovenan Hak Sipil dan Politik ( International Covenan Civil and Political Rights/ ICCPR ) tanggal
16 Desember 1966 yang telah diratifikasi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 secara tegas dan terrinci mengatur mengenai hak-hak asasi manusia dibidang hukum dan peradilan, sebagaimana tertuang pada Bagian III Pasal 9, 10, 11, serta Pasal 14 dan 15, 16
http://www.answers.com/topic/human-rights
17
Sunarso Siswanto H., Op.Cit, hal.99
Article 9 ( Pasal 9) 1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law. 1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. 2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him. 2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya. 3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement. 3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. 4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful. 4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum. 5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation. 5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakan. Article 10 (Pasal 10) 1. All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person.
1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. 2. (a) Accused persons shall, save in exceptional circumstances, be segregated from convicted persons and shall be subject to separate treatment appropriate to their status as unconvicted persons;
(b) Accused juvenile persons shall be separated from adults and brought as speedily as possible for adjudication. 2. (a.) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana; (b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan. 3. The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners the essential aim of which shall be their reformation and social rehabilitation. Juvenile offenders shall be segregated from adults and be accorded treatment appropriate to their age and legal status. 3. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka. Article 11 (Pasal 11) No one shall be imprisoned merely on the ground of inability to fulfil a contractual obligation. Tidak seorang pun dapat dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian. Article 14 (Pasal 14) 1. All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children. 1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau
keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anakanak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. 2. Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law. 2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. 3. In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality: 3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: (a) To be informed promptly and in detail in a language which he understands of the nature and cause of the charge against him; a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; (b) To have adequate time and facilities for the preparation of his defence and to communicate with counsel of his own choosing; b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) To be tried without undue delay; c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests of justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it; d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; (e) To examine, or have examined, the witnesses against him and to obtain the attendance and examination of witnesses on his behalf under the same conditions as witnesses against him; e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksisaksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
(f) To have the free assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language used in court; f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; (g) Not to be compelled to testify against himself or to confess guilt. g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. 4. In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take account of their age and the desirability of promoting their rehabilitation. 4. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. 5. Everyone convicted of a crime shall have the right to his conviction and sentence being reviewed by a higher tribunal according to law. 5. Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. 6. When a person has by a final decision been convicted of a criminal offence and when subsequently his conviction has been reversed or he has been pardoned on the ground that a new or newly discovered fact shows conclusively that there has been a miscarriage of justice, the person who has suffered punishment as a result of such conviction shall be compensated according to law, unless it is proved that the non-disclosure of the unknown fact in time is wholly or partly attributable to him. 6. Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. 7. No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country. 7. Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara. Article 15 (Pasal 15) 1 . No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was committed. If, subsequent to the commission of the offence,
provision is made by law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby. 1. Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut. 2. Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations. 2. Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa. Pengaturan hak asasi manusia dalam hukum Indonesia hendaknya mencakup aspek-aspek, antara lain : a. Menjadikan HAM bagian dari hukum indonesia. b. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM tersebut c. Terdapat pengadilan yang bebas d. Terdapat pula profesi hukum yang bebas18 Mardjono Reksodiputro
menyatakan pendapatnya bahwa cara pelaksanaan
pengaturan hukum hak asasi manusia dalam peraturan hukum harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 1. Menjadikan HAM sebagai bagian dari hukum indonesia. 2. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM 3. Terdapat pengadilan yang bebas ( an independent judiciary) 4. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession) 19 Ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “Perlindungan,pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “. 18
Sujata, Antonius, Op.Cit. hal. 31-32
19
Nuraeny Henny, Op.Cit.. hal 120
maka sudah
menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memberi perlindungan, memenuhi serta menegakan hak-hak asasi manusia Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluaran berbagai peraturan perundang-undangan, yang mengatur mengenai
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia,
diantara : 1. Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Pembentukan Komisi Nasional Hak Asisi Manuasia 2. Ketetapan MPR R.I. Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 3. Jauh sebelumnya pengaturan hak asasi Warga Negara R.I. juga telah diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dilakukan amandemen / perubahan terhadap Undang-undang Dasar 1945 sebanyak empat kali, dengan agenda utama adalah pengaturan mengenai hak asasi manusia secara lebih detail terutama pada saat dilakukan amandemen ke dua tanggal 7 – 18 Agustus 2000, dengan menambahkan satu bab sesudah Bab X yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yaitu dalam Pasal 28 A sampai J 20 4. Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Apabila kita simak kebelakang, bahwa pengaturan hak asasi manusia dibidang hukum secara pundamental telah diatur oleh pemerintah sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 s/d 33; Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari pernyataan Pasal 27 ayat (1) tersebut terkandung makna perlakuan yang sama terhadap semua warga Negara tanpa terkecuali dihadapan hukum (equality befor the law), perlakuan yang sama penulis maksudkan terhadap semua warga Negara termasuk mereka yang terlibat dalam permasalahan hukum (tersangka) mendapat pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasinya.
20
. Ibid, hal. 126
1.2.2. Hak Asasi Tersangka
Selain berbagai ketentuan internasional yang mengatur mengenai hak-hak asasi manusia khususnya dibidang hukum, juga yang menjadi cikal bakal pengakuan hak-hak asasi tersangka / terdakwa dibidang hukum yang diikuti oleh negara-negara didunia adalah Hukum Acara Pidana Amerika Serikat yang dikenal dengan Miranda Rule. Miranda Rule adalah Suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang secara konstitusional yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana/kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang21. Hak-hak tersangka/ terdakwa yang diatur dalam ketentuan Miranda Rule adalah suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana / kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang22, pada pokoknya meliputi hak untuk diam, hak untuk didampingi atau mendapatkan /menghubungi penasehat hukum sejak awal suatu proses perkara pidana sampai tahap akhir. Dalam perlindungan dan penegakan hak-hak tersangka / terdakwa juga dikenal adanya Miranda Right dan Miranda Warning. Miranda Rights adalah ketentuan yang mewajibkan aparatur penegak hukum khususnya penyidik untuk memberitahukan kepada tersangka atas hak-hak yang dimilikinya sebelum
dilakukan penangkapan, penahanan 23.
penyidik
sebelum
melakukan tindakan upaya paksa terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana maka terlebih dahulu harus diberitahu mengenai hak-hak hukum orang tersebut seperti hak menghubungi penasehat hukum, hak didampingi penasehat hukum dan sebaginya.
21
Sofyan Lubis, Op.Cit, hal. 15
22
Sofyan Lubis, Loc.Cit
23
Sofyan Lubis, Op.Cit, hal. 17
Sedangkan Miranda warning adalah peringatan yang harus diberikan oleh penyidik kepada tersangka24 misalnya hak bagi tersangka untuk diam/tidak menjawab, hak untuk mendapat pendampingan hukum pada saat pemeriksaan dan lain sebagainya. Hak asasi tersangka/terdakwa adalah sejumlah hak-hak bagi seseorang yang didudukan sebagai tersangka /terdakwa yang telah ditentukan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan 74 KUHAP . Dibandingkan dengan
ketentuan perlindungan terhadap hak-hak tersangka
/
terdakwa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan hak-hak tersangka / terdakwa
yang diatur dalam Miranda Rule, Miranda
Rights, maupun dalam Miranda Princip hampir sama. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai hak tersangka/terdakwa “memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik, tidak boleh dipaksa, ditekan “, dalam pasal ini secara implisif diatur mengenai kebebasan tersangka untuk memberi keterangan atau tidak memberi keterangan (diam) , tersangka / terdakwa tidak bisa dipaksa/ditekan untuk memberi keterangan sesuai kemauan penyidik.
1.2.3. Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ditetapkan mulai berlaku sejak 31 Desember 1981 telah berusia lebih dari tiga puluhan tahun, secara teori ketentuan tersebut sudah harus dilakukan pembaharuan, dalam kurun waktu tersebut telah terjadi banyak perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek kehidupan warga negara dan apabila terjadi pelanggaran terhadapat peraturan perundang-undangan tersebut banyak masalah hukum yang tidak mampu dijangkau oleh ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP), oleh karena itu dibentuklah berbagai hukum acara pidana yang disatukan dalam perundang-undangan organik untuk menjangkau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sehingga terlihat selain hukum
acara pidana yang diatur dalam KUHAP juga terdapat hukum acara pidana yang tersebut dalam peraturana perundang-undangan secara khusus. Pendapat mengenai pembaharuan hukum pidana diungkapkan oleh Andi Hamzah yang menyatakan, disamping penciptaan peraturan yang lebih baik mengenai peradilan pidana, juga orang yang harus menegakkan peraturan itu perlu ditingkatkan pengetahuan, moral dan akhirnya wibawanya25, proses peningkatan moralitas, integritas, profesionalitas dan proforsionalitas aparat penegak hukum dilakukan dengan cara memberi pendidikan dan pelatihan teknis administratif maupun teknis penanganan perkara, pendidikan budi pakerti yang dimulai sejak pembentukan awal penyidik, jaksa maupun hakim. Pembaharuan hukum acara pidana mengandung pengertian dilaksanakanya pembaharuan / perubahan baik secara menyeluruh (general) maupun bagian-bagian tertentu (parcial) dari hukum acara pidana yang sedang berlaku (ius constitutum). Pembaharuan hukum acara pidana ( Ius Constituendum) diharapkan selain membawa perubahan secara mendasar bagi hukum acara pidana dalam hal ini menyangkut tenggang waktu penyelesaian setiap tahap pemeriksaan perkara juga mampu menyatukan hukum acara pidana yang berlaku (kodifikasi) serta bersifat dinamis. Pembaharuan hukum acara pidana dapat dilakukan dengan cara pembentukan hukum baru, perubahan hukum acara yang sudah ada, melalui penemuan hukum atau yang dalam pengertian luas disebut sebagai kebijakan hukum pidana (Penal Polyce).
25
Hamzah Andi, 1993. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori Dan Praktek, Penahanan-Dakwaan-Requisitoir, Reneka Cipta , Jakarta, hal. 11