BAB II BAHAN RUJUKAN
2.1 Persediaan Setiap perusahaan, baik itu perusahaan jasa maupun perusahaan manufaktur, selalu memerlukan persediaan, tanpa adanya persediaan, para pengusaha akan dihadapkan pada resiko bahwa perusahaannya pada suatu waktu tidak dapat memenuhi keinginan para pelanggannya. Persediaan merupakan suatu elemen yang penting bagi perusahaan dagang maupun perusahaan industri. Jumlah persediaan yang tinggi memang dapat membuat perusahaan dapat memenuhi kebutuhan konsumennya, namun persediaan yang tinggi juga dapat menghambat kegiatan perusahaan, karena sebagian besar dana perusahaan tertanam di persediaan dan tidak dapat diputarkan lagi. Untuk itu jumlah optimum persediaan yang dimiliki perusahaan tertentu dapat juga mempengaruhi tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Pada prinsipnya, persediaan mempermudah/memperlancar jalannya operasi perusahaan industri yang harus dilakukan secara berturut-turut untuk memproduksi barang-barang serta menyampaikannya kepada para pelanggan/konsumen.
2.1.1 Pengertian Persediaan Definisi persediaan menurut SAK No.14 : 2004 “Persediaan adalah Aktiva : a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal b. Dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan; atau c. Dalam bentuk bahan/perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi/pemberian jasa.”
Pengertian persediaan menurut Hendriksen & Breda dialihbahasakan oleh Herman Wibowo (2002;131) adalah sebagai berikut : “Persediaan adalah barang yang ditujukan untuk dijual dalam pelaksanaan usaha normal, serta bahan baku dan perlengkapan yang akan digunakan dalam proses produksi.”
Menurut Skousen et All (2001;360) definisi persediaan adalah sebagai berikut : “Persediaan adalah nama yang diberikan untuk barang-barang baik yang dibuat/dibeli untuk dijual kembali dalam bisnis normal.”
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persediaan merupakan unsur yang paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara terus menerus diperoleh, diubah, yang kemudian dijual kembali. Sebagian besar sumber perusahaan juga sering dikaitkan di dalam persediaan yang akan digunakan dalam perusahaan industri. Nilai persediaan harus dicatat, digolongkan menurut jenisnya, kemudian dibuat perincian masing-masing barangnya dalam suatu periode yang bersangkutan.
Persediaan pada umumnya meliputi jenis barang yang cukup banyak dan merupakan bagian yang cukup berarti dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan. Disamping itu, transaksi yang berhubungan dengan persediaan merupakan aktivitas yang paling sering terjadi. Persediaan sangat mempengaruhi bagaimana kondisi perusahaan melaui laporan keuangan diantaranya neraca dan laporan laba rugi. Dalam sebuah neraca perusahaan dagang maupun perusahaan industri, persediaan merupakan salah satu aktiva yang mempunyai jumlah yang cukup material. Sedangkan dalam laporan laba rugi, saldo persediaan sangat mempengaruhi laba perusahaan.
2.1.2 Jenis Persediaan Persediaan yang dimiliki perusahaan dagang hanya berupa persediaan barang dagangan, karena perusahaan ini membeli barang untuk dijual kembali tanpa melalui proses produksi. Sedangkan perusahaan manufaktur atau industri merupakan perusahaan yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi, sehingga diperlukan persediaan bahan-bahan yang dapat mendukung proses produksi secara langsung diantaranya adalah ; persediaan bahan baku (raw material), persediaan bahan baku pembantu (supplies), persediaan setengah jadi (work in process), dan persediaan barang jadi (finish goods). Setiap jenis persediaan memiliki karakteristik tersendiri dan cara pengelolaan yang berbeda. Dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Persediaan (Aplikasi di Bidang Bisnis)”, Freddy Rangkuti (2004) menguraikan jenisjenis persediaan sebagai berikut :
1. Persediaan Bahan Baku (raw material) Persediaan bahan baku yaitu persediaan barang-barang berwujud, seperti; besi, kayu, serta komponen-komponen lain yang berwujud yang digunakan dalam proses produksi. Bahan baku merupakan masalah yang cukup dominan di bidang produksi. Perusahaan selalu menghendaki jumlah persediaan bahan baku yang cukup agar jalannya produksi tidak terganggu. Kata cukup disini tidak berarti bahwa persediaan bahan baku harus selalu memiliki jumlah yang besar. Persediaan bahan baku dalam jumlah yang besar mengandung banyak resiko seperti : •
Resiko hilang dan rusak
•
Biaya pemeliharaan dan pengawasan yang tinggi
•
Resiko usang
•
Uang yang tertanam di persediaan terlalu besar.
Dengan demikian jumlah persediaan yang ada harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, karena persediaan yang terlalu kecil akan mengandung resiko kehabisan persediaan yang dapat merugikan perusahaan. Pertimbangannya adalah jika persediaan terlalu besar dan tidak seimbang dengan penggunaannya, maka modal yang tertanam di persediaan akan menanggung beban atas bunga modal yang digunakan untuk membeli bahan mentah tersebut.
2. Persediaan Bahan Pembantu/Penolong (supplies) Persediaan bahan baku penolong/pembantu (supplies) yaitu, persediaan bahan yang diperlukan dalam proses produksi tetapi bukan merupakan bagian/komponen barang jadi. Sebagai contoh, dalam proses produksi sebuah meja yang berbahan baku kayu tentu saja membutuhkan bahan penolong seperti paku, cat, lem kayu, dll. Bahan ini membantu produk secara keseluruhan. Meskipun bahan baku pembantu diikhtisarkan secara terpisah, barang tersebut harus dilaporkan sebagai bagian dari persediaan perusahaan karena pada akhirnya akan digunakan dalam proses produksi dan akan menambah nilai pada produk yang dihasilkan. 3. Persediaan Komponen-Komponen Rakitan (purchased parts/component) Persediaan komponen-komponen rakitan yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain yang secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk. 4. Persediaan Barang Dalam Proses (work in process) Persediaan setengah jadi/persediaan barang dalam proses yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi/yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi. 5. Persediaan Barang Jadi (finish goods) Persediaan barang jadi yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap dijual atau dikirim kepada pelanggan.
2.1.3 Fungsi Persediaan Menurut Fien Zulfikarijah (2005) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Persediaan” menjelaskan bahwa fungsi-fungsi persediaan adalah sebagai berikut : 1. Fungsi Decoupling Adalah
persediaan
yang
memungkinkan
perusahaan dapat
memenuhi
permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier, persediaan bahan mentah diadakan karena perusahaan tidak akan sepenuhnya tergantung pada pengadaannya dalam hal kuantitas dan waktu pengiriman. Persediaan barang dalam proses diadakan agar departemen-departemen dan proses-proses individual perusahaan terjaga “kebebasannya”. Persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi permintaan produk yang tidak pasti dari para pelanggan. Persediaan diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat diperkirakan atau diramalkan disebut fluctuation stock. 2. Fungsi Economic Lot Sizing Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan penghematan atau potongan pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah dan sebagainya. Hal ini disebabkan perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang lebih besar dibandingkan biaya-biaya yang timbul karena besarnya persediaan (biaya sewa gudang, investasi, resiko, dsb). 3. Fungsi Antisipasi Apabila perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu, yaitu permintaan
musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan persediaan musiman (seasional inventory). Disamping itu perusahaan juga sering menghadapi ketidakpuasan jangka waktu pengiriman dan permintaan barang-barang selama periode tertentu. Dalam hal ini perusahaan memerlukan persediaan ekstra yang disebut persediaan pengaman (safety stock).
2.1.4 Peranan Persediaan Freddy Rangkuti (2004) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Persediaan (Aplikasi di Bidang Bisnis)” menjelaskan bahwa, pada dasarnya persediaan akan mempermudah jalannya operasi perusahaan industri yang harus dilakukan secara terus menerus untuk memproduksi barang-barang dan menyampaikannya kepada konsumen. Persediaan yang diadakan mulai dari bahan baku sampai barang jadi berguna untuk : 1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang 2. Menghilangkan resiko barang yang rusak 3. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan 4. Mencapai penggunaan mesin yang optimal 5. Memenuhi keinginan dan memberi pelayanan yang terbaik bagi konsumen.
Oleh karena itu persediaan merupakan salah satu unsur paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara kontinyu diperoleh, diubah kemudian dijual kembali.
2.1.5 Sifat Persediaan Sifat persediaan sangat bervariasi, tergantung pada aktivitas perusahaan. Istilah persediaan menunjukkan barang-barang yang dimiliki perusahaan untuk langsung dijual kembali bagi perusahaan dagang atau harus melalui proses produksi lebih lanjut bagi perusahaan manufaktur/industri. “...sifat persediaan sangat bervariasi menurut sifat aktivitas perusahaan dan dalam beberapa hal meliputi aktiva yang biasanya tidak dianggap sebagai persediaan...” (Jay K Smith & K Fred Skousen, 2004;326-327). Contoh ; tanah dan bangunan yang dimiliki untuk dijual kembali oleh perusahaan real estate, bangunan yang sedang dibangun oleh perusahaan untuk dijual di masa yang akan datang oleh perusahaan konstruksi dan saham yang dibeli untuk dijual kembali oleh para pialang selayaknya diklasifikasikan sebagai persediaan untuk perusahaan yang bersangkutan. Persediaan juga mempunyai sifat yang dapat direalisasikan menjadi uang tunai, baik dengan cara dijual atau digunakan dalam siklus operasi perusahaan. Karena sifat tersebut, maka persediaan digolongkan sebagai harta lancar (current assets) yang dapat dipengaruhi langsung oleh nilai uang yang sedang berlaku. Persediaan merupakan salah satu unsur yang paling aktif dalam operasi perusahaan karena secara kontinyu persediaan ini diproses dan diproduksi sehingga oleh perusahaan seringkali diinvestasikan dalam bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang-barang ini harus dicatat, dikelompokkan dan diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir periode, biaya dialokasikan diantara aktivitas periode yang berjalan dan aktivitas di masa mendatang, yaitu
diantara barang-barang yang dijual dalam periode berjalan dan barang-barang dalam persediaan untuk dijual pada periode mendatang. Sehingga sifat persediaan adalah sebagai berikut : 1. Biasanya merupakan aktiva lancar karena pada masa perputarannya biasanya kurang atau sama dengan satu tahun. 2. Merupakan jumlah yang cukup besar, terutama dalam perusahaan dagang dan industri. 3. Mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap neraca dan laporan laba rugi perusahaan, karena jika terdapat kesalahan dalam menentukan persediaan pada akhir periode akan mengakibatkan kesalahan dalam jumlah aktiva lancar dan total aktiva, harga pokok penjualan, laba kotor dan laba bersih, taksiran pajak penghasilan, pembagian deviden dan saldo laba (rugi) ditahan. Kesalahan tersebut akan muncul dalam laporan keuangan periode berikutnya.
2.1.6 Pengakuan Persediaan Selain persediaan yang ada pada perusahaan, pada tanggal disusunnya laporan keuangan ada item yang tidak berada di perusahaan tetapi harus dimasukkan (ditambahkan) sebagai elemen persediaan untuk menentukan apakah barang itu sudah dapat diakui dan dicatat sebagai persediaan, dasar yang digunakan adalah hak kepemilikan. Barang-barang akan diakui dan dicatat sebagai persediaan pihak yang memiliki barang-barang tersebut, sehingga perubahan catatan persediaan akan didasarkan pada perpindahan hak pemilikan barang, kadang-kadang terdapat keadaan
dimana sulit untuk menentukan hak pemilikan barang sehingga dalam prakteknya akan ditemui penyimpangan-penyimpangan. Kesulitan menentukan perpindahan hak atas barang antara lain timbul sebagai berikut : a.
Jika barang yang dipesan masih dalam perjalanan (goods in transit) dimana terdapat syarat pengirimannya yaitu : 1. Free On Board (FOB) Shipping Point, persediaan diakui/dicatat sebagai persediaan oleh pembeli pada saat barang keluar dari gudang/pelabuhan penjual atau pada waktu diterima oleh pihak jasa angkutan. 2. Syarat pengiriman FOB Destination, persediaan diakui/dicatat oleh pembeli pada saat barang tiba di pelabuhan/gudang pembeli atau diserahkan oleh pihak jasa angkutan kepada pembeli.
b.
Barang Konsinyasi
Perusahaan manufaktur/industri kadang-kadang mengirimkan barang dagangya kepada pengecer yang bertindak sebagai agen mereka pada saat menjual barang dagang. Disini, produsen tetap memiliki hak kepemilikan sampai barang terjual. Cara menjual barang dagang seperti ini dinamakan konsinyasi (titipan). Barang dagang yang belum terjual termasuk bagian dari persediaan yang dimiliki produsen (consignor), walaupun barang tersebut secara fisik berada di tangan pengecer (cosignee). Barang konsinyasi tidak boleh dimasukkan ke dalam catatan persediaan pengecer, karena pihak yang menerima titipan (pengecer/consignee) tidak mempunyai hak atas barang-barang tersebut, apabila barang-barang tersebut sudah terjual maka pihak yang menitipkan (consignor/produsen) menerima laporan
penjualan barang konsinyasi dari pihak yang menerima titipan (pengecer/consignee). Pihak consignee tidak mencatat persediaan barang konsinyasi hanya memberikan laporan penjualan barang konsinyasi untuk pencatatan di pihak consignor mengenai berapa saldo persediaan barang konsinyasinya. c.
Barang-barang yang dipisahkan (Segregated Goods)
Kadang-kadang terjadi suatu kontrak penjualan barang dalam jumlah besar sehingga pengirimannya tidak dapat dilakukan sekaligus. Barang-barang yang dipisahkan tersendiri dengan maksud untuk memenuhi kontrak atau pesanan pelanggan walaupun belum dikirim, haknya sudah berpindah ke tangan pembeli. Oleh karena itu, pada tanggal penyusunan laporan keuangan jika ada barang-barang yang dipisahkan haruslah dikeluarkan dari jumlah persediaan penjual dan dicatat sebagai penjualan. Begitu pula pada pihak pembeli, pihak pembeli dapat mencatat pembelian dan menambah persediaan barangnya. d.
Penjualan Angsuran (Installment Sales)
Dalam penjualan angsuran, hak atas barang tetap pada penjual sampai seluruh harga jualnya dilunasi.
2.2
Metode Penilaian dan Perhitungan Persediaan Persediaan barang dagang adalah barang-barang yang dimiliki perusahaan
dagang untuk dijual kembali. Untuk perusahaan manufaktur/industri, yang termasuk dalam
persediaan
adalah
barang-barang
yang
digunakan
untuk
proses
produksi selanjutnya. Cara penilaian dan metode penetapan harga pokok harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Penilaian persediaan adalah harga beberapa persediaan barang yang akan dilaporkan dalam neraca. Hal ini disebabkan karena perbedaan harga pembelian maupun terjadinya harga pada waktu penyusunan neraca. Metode penilaian persediaan menurut Haryono Jusup (2001;106-107), mengatakan bahwa : “Dalam akuntansi lazim digunakan metode penentuan harga perolehan yang didasarkan pada aliran anggapan (bukan aliran fisik yang sesungguhnya), yaitu : 1. First In-First Out 2. Last In-First Out 3. Harga Perolehan Rata-rata.” Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Metode First In-First Out (FIFO) Metode ini menyatakan bahwa harga barang yang masuk (dibeli) pertama, dianggap dikeluarkan/digunakan/dijual pertama. Ini berarti bahwa bahan baku dari barang yang sedang diproses dinilai berdasarkan harga pembelian bahan baku dari pembelian yang dilakukan lebih awal. Biaya akan dibebankan menurut urutan terjadinya, dengan demikian persediaan akhir didasarkan atas harga pembelian bahan baku yang terakhir masuk. Akibatnya sisa persediaan bahan baku yang belum diproses akan dinilai berdasarkan harga pembelian bahan baku yang dilakukan terakhir.
Dibawah ini merupakan contoh perhitungan dengan menggunakan metode FIFO dengan data sebagai berikut : Data bulan Juli 2003 Tgl
50 unit @ Rp. 120 = Rp. 6.000
1
Saldo awal pers
3
Pembelian
9
Penjualan
11
Pembelian
300 unit @ Rp. 135 = Rp. 40.500
15
Pembelian
200 unit @ Rp. 140 = Rp. 28.000
19
Penjualan
325 unit
23
Penjualan
100 unit
200 unit @ Rp. 125 = Rp. 25.000 150 unit
750 unit
Rp. 99.500
575 unit
Perhitungan Metode FIFO berdasarkan Physical Inventory System Perhitungan fisik atas barang-barang dalam gudang persediaan pada tanggal 31 Juli 2003 adalah sebanyak 175 unit dengan menggunakan metode FIFO, terdiri dari : Bulan Juli 2003 Tgl
15
Pembelian
175 unit @ Rp. 140 = Rp. 24.500
Jumlah Persediaan Akhir 175 unit Harga Pokok Penjualan : Saldo Persediaan
Rp. 99.500
Penjualan
(Rp. 24.500)
Harga Pokok Penj.
Rp. 75.000
= Rp. 24.500
yaitu
Perhitungan Metode FIFO berdasarkan Perpetual Inventory System Tabel 2.2.1 Kartu Persediaan dengan Metode FIFO Juli 2003 Tgl 1 3 9
Pembelian Unit
Harga (Rp)
Saldo Awal 200 125
Penjualan (COGS) Jumlah (Rp)
Unit
Harga (Rp)
Jumlah (Rp)
25.000
11
300
135
40.500
15
200
140
28.000
19
50 50 200
120 120 125
6.000 6.000 25.000
100 100 300 100 300 200
125 125 135 125 135 140
12.500 12.500 40.500 12.500 40.500 28.000
75 200 75 200
135 140 135 140
10.125 28.000 10.125 28.000
100 225
125 135
12.500 30.375
75 25
135 140
10.125 3.500
175
140
24.500
75.000
175
140
24.500
175 unit @ Rp. 140 = Rp. 24.500 Harga Pokok Penjualan sebesar Rp. 75.000, terdiri dari :
23
Jumlah (Rp)
6.000 12.500
Sehingga persediaan akhir sebesar Rp. 24.500, terdiri dari :
19
Harga (Rp)
120 125
TOTAL
9 Juli
Unit
50 100
23
Tgl
Saldo
50 unit
@
Rp. 120 = Rp. 6.000
100 unit
@
Rp. 125 = Rp. 12.500
100 unit
@
Rp. 125 = Rp. 12.500
225 unit
@
Rp. 135 = Rp. 30.375
75 unit
@
Rp. 135 = Rp. 10.125
25 unit
@
Rp. 140 = Rp. 3.500
Harga Pokok Penjualan
Rp. 75.000
2. Metode Last In-First Out (LIFO) Metode ini menyatakan bahwa harga barang yang masuk (dibeli) terakhir, dianggap dikeluarkan (diproses) lebih awal. Ini berarti bahwa bahan baku dari barang yang sedang diproses dalam proses produksi dinilai berdasarkan harga pembelian yang dilakukan terakhir. Akibatnya sisa persediaan bahan baku yang belum diproses akan dinilai berdasarkan harga pembelian bahan baku awal. Penggunaan metode ini lebih jelas dapat dilihat melalui perhitungan sebagai berikut dimana data yang diambil adalah data yang sama dengan perhitungan diatas : Perhitungan Metode LIFO berdasarkan Physical Inventory System Perhitungan fisik atas barang-barang dilakukan dalam gudang persediaan pada tanggal 31 Juli 2003 menunjukkan jumlah sebanyak 175 unit dengan menggunakan metode LIFO, yaitu terdiri dari : Bulan Juli 2003 Tgl
1
Saldo Awal
50 unit @ Rp. 120 = Rp. 6.000
3
Pembelian
50 unit @ Rp. 125 = Rp. 6.250
11
Pembelian
75 unit @ Rp. 135 = Rp. 10.125
Jumlah Persediaan Akhir
175 unit
= Rp. 22.375
Harga Pokok Penjualan : Saldo Persediaan
Rp. 99.500
Penjualan
(Rp. 22.375)
Harga Pokok Penj.
Rp. 77.125
Perhitungan Metode LIFO berdasarkan Perpetual Inventory System Tabel 2.2.2 Kartu Persediaan dengan Metode LIFO Juli 2003 Tgl 1 3
Pembelian Unit
Harga (Rp)
Saldo Awal 200 125
Penjualan (COGS)
Jumlah (Rp)
Unit
Harga (Rp)
Jumlah (Rp)
25.000
9
150
125
18.750
19
200 125
140 135
28.000 16.875
23
100
135
13.500
TOTAL
575
11
300
135
40.500
15
200
140
28.000
77.125
Sehingga persediaan akhir sebesar Rp. 22.375, terdiri dari : 50 unit @ Rp. 120 = Rp. 6.000 50 unit @ Rp. 125 = Rp. 6.250
Saldo Unit
Harga (Rp)
50 50 200 50 50 50 50 300 50 50 300 200 50 50 175 50 50 75 75
120 120 125 120 125 120 125 135 120 125 135 140 120 125 135 120 125 135 135
Jumlah (Rp) 6.000 6.000 25.000 6.000 6.250 6.000 6.250 40.500 6.000 6.250 40.500 28.000 6.000 6.250 23.625 6.000 6.250 10.125 10.125
75 unit @ Rp. 135 = Rp. 10.125 Jumlah
Rp. 22.375
Harga Pokok Penjualan sebesar Rp. 77.125, terdiri dari : Tgl
9 Juli
150 unit
@
Rp. 125 = Rp. 18.750
19
200 unit
@
Rp. 140 = Rp. 28.000
125 unit
@
Rp. 135 = Rp. 16.875
100 unit
@
Rp. 135 = Rp. 13.500
23
Harga Pokok Penjualan
Rp. 77.125
3. Metode Harga Pokok Rata-Rata a. Metode Harga Pokok Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method) Menurut Mulyadi (2000;316), mengatakan bahwa : “ Dalam metode rata-rata bergerak (moving average) persediaan bahan baku yang ada di gudang dihitung harga pokok rata-ratanya dengan cara membagi total harga pokok dengan jumlah satuannya.” Berdasarkan definisi diatas dapat dijelaskan bahwa setiap kali terjadi perbedaan harga pokok pada saat pembelian, harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata untuk menentukan harga pokok penjualan/pemakaian yang baru. Apabila terjadi pembelian, maka faktur-faktur baru ditambahkan ke kolom saldo, jumlah kuantitas ditambahkan ke kolom kuantitas yang ada dan membagi total biaya yang baru dengan total unit sehingga diperoleh biaya-biaya rata-rata yang baru.
Demikian pula jika terjadi pengeluaran, maka biaya bahan yang dikeluarkan dihitung berdasarkan biaya rata-rata yang telah ditetapkan sampai tercatat pembelian baru. Dalam harga rata-rata bergerak, harga yang akan dikeluarkan sudah dipengaruhi oleh harga terakhir. Metode ini banyak dipakai sebab sangat mudah diterapkan. Dengan menggunakan data yang sama, dibawah ini merupakan uraian perhitungan dengan menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average method) : Perhitungan Metode Harga Pokok Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method) berdasarkan Physical Inventory System Metode rata-rata bergerak (moving average method) hanya dapat digunakan untuk sistem pencatatan perpetual saja, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan pada sistem pencatatan periodik/fisik. Harga beli persediaan dirata-ratakan setiap kali terjadi pembelian persediaan, sehingga setiap ada pembelian dengan harga yang tidak sama dengan pembelian sebelumnya maka harga per unit persediaan akan berubah, oleh karena itu disebut moving average. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem perpetual semua mutasi dicatat.
Perhitungan Metode Harga Pokok Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method) berdasarkan Perpetual Inventory System Tabel 2.2.3 Kartu Persediaan dengan Metode Moving Average Pembelian
Juli 2003 Tgl
Unit
1 3 9 11 15 19 23 TOTAL
Harga (Rp)
Penjualan (COGS)
Jumlah (Rp)
Unit
Saldo Awal 200 125
25.000
300 200
40.500 28.000
135 140
Harga (Rp)
Jumlah (Rp)
150
124
18.600
325 100
134,83 134,83
43.819,75 13.483 75.902,75
1
250 unit = 50 unit+ 200 unit
2
Rp. 31.000 = Rp. 6.000 + Rp. 25.000
3
Rp. 124 = Rp. 31.000 : 250 unit
Sehingga persediaan akhir sebesar Rp. 23.595, terdiri dari : 175
unit @ Rp. 134,83 = Rp. 23.595
Harga Pokok Penjualan sebesar Rp. 75.902,75, terdiri dari : Tgl
9 Juli
150 unit
@
Rp. 124
19
325 unit
@
Rp. 134,83 = Rp. 43.819,75
23
100 unit
@
Rp. 134,83 = Rp. 13.483
Harga Pokok Penjualan
= Rp. 18.600
Rp. 75.902,75
Saldo Unit
Harga (Rp)
Jumlah (Rp)
50 2501) 100 400 600 275 175 175
120 1243) 124 132,25 134,83 134,83 134,83 134,83
6.000 31.0002) 12.400 52.900 80.900 37.078 23.595 23.595
b. Metode Harga Pokok Rata-Rata Tertimbang (Weight Average Method) Metode ini hanya dapat digunakan jika perusahaan menggunakan sistem pencatatan secara periodik (Physical Inventory System). Harga beli per unit dikalikan dengan jumlah unit yang dibeli (untuk masing-masing pembelian). Hasilnya dibagi dengan jumlah seluruh unit pembelian selama periode tersebut. Jika terdapat saldo awal persediaan, maka saldo awal tersebut dianggap sekali pembelian. Metode ini didasarkan atas suatu asumsi yang menyatakan bahwa barang yang dijual didasarkan atas harga rata-rata. Harga rata-rata tersebut dipengaruhi/ditentukan oleh jumlah unit barang dagangan yang tersedia. Nilai ditetapkan atas harga rata-rata per unit yang sama. Perhitungan Metode Harga Pokok Rata-Rata Tertimbang (Weight Average Method) berdasarkan Physical Inventory System Berdasarkan data diatas, berikut ini adalah contoh perhitungan dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang (weight average method) berdasarkan sistem pencatatan secara periodik/fisik.
Tabel 2.2.4 Jumlah persediaan dalam bentuk Unit dan Rupiah Unit Saldo Awal (I)
50
Pembelian (II)
200
Harga per unit
(Rp)
Jumlah
120 125 25.000
6.000
Pembelian (III)
300
135 40.500
Pembelian (IV)
200
140 28.000 93.500
Total
750
520
99.500
Saldo akhir persediaan : Total Persediaan (Rp) Total Persediaan (unit)
Rp. 99.500 750 unit = Rp. 132,67
Nilai persediaan akhir Rp. 132,67 x 175 unit = Rp. 23.217,25 Perhitungan Metode Harga Pokok Rata-Rata Tertimbang (Weight Average Method) berdasarkan Perpetual Inventory System Seperti telah disebutkan diatas bahwa metode ini tidak bisa digunakan jika perusahaan menggunakan sistem pencatatan secara perpetual, karena metode ini menitikberatkan pada perhitungan fisik di akhir periode sehingga hanya dapat digunakan jika perusahaan menggunakan sistem pencatatan secara periodik/fisik. Oleh karena itu pada bab ini tidak dapat dilakukan perhitungan.
c. Metode Harga Pokok Rata-Rata Sederhana (Simple Average Method) Sama halnya dengan metode harga pokok rata-rata tertimbang (weight average), metode ini pun hanya dapat digunakan pada perusahaan yang menggunakan sistem pencatatan persediaan secara periodik.
Harga beli per unit setiap kali melakukan pembelian dijumlahkan, hasilnya dibagi dengan frekuensi pembelian. Jika ada saldo awal, maka saldo tersebut dianggap sekali pembelian. Haryono Jusup (2001) dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Akuntansi”, mengatakan bahwa metode rata-rata sederhana mempunyai dua kelemahan pokok, yakni (1) tidak memperhitungkan jumlah unit yang dibeli, dan (2) bisa dipengaruhi oleh harga beli per unit yang ekstrim tinggi atau ekstrim rendah. Perhitungan Metode Harga Pokok Rata-Rata Sederhana (Simple Average Method) berdasarkan Physical Inventory System Dengan menggunakan data yang sama, dibawah ini merupakan contoh perhitungan dengan menggunakan metode harga pokok rata-rata sederhana berdasarkan sistem pencatatan periodik/fisik :
Tabel 2.2.5 Jumlah persediaan dalam bentuk Unit dan Rupiah Unit
Harga per unit (Rp)
Jumlah
Saldo Awal (I)
50
120
6.000
Pembelian (II)
200
125 25.000
Pembelian (III)
300
135 40.500
Pembelian (IV)
200
140 28.000 93.500
Total
750
520
99.500
Dari tabel diatas dapat diuraikan bahwa saldo persediaan pada tanggal 31 Juli 2003 adalah sebagai berikut :
Harga per unit (bila dijumlahkan) Frekuensi pembelian Harga pokok rata-rata
Rp. 520 4 kali = Rp. 130
Saldo akhir persediaan berdasarkan perhitungan fisik sebesar 175 unit, sehingga saldo persediaan akhir pada tanggal 31 Juli 2003 adalah : Rp. 130 x 175 unit = Rp. 22.750 Perhitungan Metode Harga Pokok Rata-Rata Sederhana (Simple Average Method) berdasarkan Perpetual Inventory System Seperti telah disebutkan diatas bahwa metode ini tidak bisa digunakan jika perusahaan menggunakan sistem pencatatan secara perpetual sama halnya dengan metode harga pokok rata-rata tertimbang (weight average method), yang menitikberatkan pada perhitungan fisik di akhir periode sehingga kedua metode ini hanya dapat digunakan jika perusahaan menggunakan sistem pencatatan secara periodik/fisik. Oleh karena itu pada bab ini tidak dapat dilakukan perhitungan.