BAB II ASUMSI FILOSOFIS DAN KERANGKA PENAFSIRAN
Filosofis berarti penggunaan ide dan keyakinan abstrak yang memengaruhi dan
mewarnai penelitian kita. Ringkasan tentang proses penelitian yang disusun oleh Denzim dan Lincoln (2011, hlm. 12), membantu kita untuk menempatkan asumsi filosofis dan teoretis ke dalam perspektif sebuah penelitian.
Proses penelitian dimulai dari:
o
Fase 1 dimana para peneliti memikirkan apa yang mereka bawa dalam penelitiannya,
seperti sejarah pribadi mereka, pandangan tentang diri mereka dan orang lain, dan persoalan etika dan politik. o
Fase ke-2 sang peneliti membawa beberapa hal kedalam penelitiannya seperti;
berbagai teori, paradigma, dan perspektif. Difase iniah kita mendapati kerangka filosofis dan teoritisyang dibahas dibab ini. o
Fase 3 yakni berbagai strategi riset, yang dalam biasa kita sebut sebagai sebuah
“Pendekatan”. o
Fase 4 sang peneliti terlibat dalam sebuah kegiatan yang biasa kita sebut sebagai
metode pengumpulan dan analisis data. o
Fase 5 yang terakhir sebagai fase penafsiran dan evaluasi dara.
Secara keseluruhan, kita melihat bahwa riset melibatkan beberapa level abstraksi yang berbeda mulai dari penilaian tentang karakteristik individu yang dibawa oleh sang peneliti hingga asumsi filosofis dan teoritis yang menjadi landasan bagi berbagai pendekatan dan metode yang lebih spesifik.
Empat asumsi filosofis, umumnya menyangkit empat keyakinan, yaitu:
o
Ontology (Watak dan Realitas)
Etika dan Filsafat Komunikasi
1
o
Epistemologi (apa yang dianggap sebagai pengetahuan dan bagai mana pengetahuan
terebut diafirmasi) o
Aksiologi (peran dan nilai dalam riset)
o
Metodologi (proses riset)
Para peneliti kualitatif yang menggunakan sistem keyakinan yang didasarkan pada
postpositivisme
akan
menggunakan
sebuah
pendekaran
ilmiah
dalam
risetnya.
Pospositivisme memiliki cirri-ciri reduksionitas, logis, empiris, berorientasi sebab dan akibat, dan deterministis berdasarkan pada teori a priopri.
Para peniliti postpositivis melihat penelitian sebagai serangkaian langkah yang
terhubung secara logis, meyakini keragaman perspektif dari para partisipan daripada satu realitas tunggal, dan mendukung metode pengumpulan dan anilisis data yang tepat dan teliti.
Kerangka penafsiran lainnya ialah kostruktifisme sosial, individu-individu berusaha
memahami dunia tempat mereka hidup dan mereka bekerja. Mereka mengembangkan makna-makan subjektif dari pengalaman mereka yang berhubungan dengan sebuah objek tertentu. Makna-makna yang beragam inilah yang mendorong para peniliti untuk lebih mencari beragam pandangan daripada mempersempit makna-makana tersebut menjadi sejumlah kecil ketegori atau ide. Mereka tidak sekedar dilekatkan pada individi-individu, tetapi dibentuk melalui interaksi dengan yang lain dan melalui norma-norma historis dan cultural yang berlaku dalam kehidupan individu-individu. Tersebut.
Jika postpositivisme menggunakan hokum dan teori structural yang tidak cocok untuk
individu atau kelompok marginal dan konstruktivismetidak bergerak cukup jauh dalam memperjuangkan aksi untuk membantu individu, maka para peneliti dapat menggunakna sebuah kerangka alternative, yaitu kerangka transformatif, prinsip dasar dari kerangka ini adalah pengetahuan bersifat tidak netral dan merefleksikan hubungan kekuasaandan sosial dalam masyarakat.
Kemmis dan Wilkenson (1998) merangkum ciri-ciri dari kerangka transformative ini
sebagai berikut: o
Aksi antisipatoris bersifat rekursif atau dialektis dan berfokus untuk menghasilkan
perubagan dalam praktik. Etika dan Filsafat Komunikasi
2
o
Kerangka transformative berfokus untuk membenti individu-individu membebaskan
diri mereka dari berbagai penghalang yang terdapat dalam media, bahasa, prosedur kerja, dan dalam hubungannya dengan kekuasaan dalam lingkungan pendidikan. o
Kerangka transfomatifbersifat emansifatoris karena dapat membantu melepaskan
masyarakat dari belenggy struktur yang tidak adil dan tidak rasional yang menghambat pengembangan diri dan determinasi diri. Para penilit lain yang menganut pandangan ini adalah Fay (1987), Heron dan Reason (1997)
Postmodernisme adalah sekumpulan teori dan prespektif yang memiliki sejumlah
persamaam. Konsep dasarnya adalah berbagai klaim pengetahuan harus disusun dalam konteks kondisi dunia saal itu dan dalam beragan perspektif dari afiliasi kelas , ras, gender, dan lain-lain.
Postmodernisme juga mencakup kebutuhan untuk “memugar” teks-teks dalam hal
bahasa, pembacaanya atas hierarki, dominasi, oposisi, inkonsistensi, dan kontradiksi yang tersembunyi dalam teks.
Pragmatism lebih berfokus pada hasiil riset aksi, situasi, dan konsekuensi penelitian
dari pada kondisi anteseden. Cherryholmes (1992) dan Murphy (1990) menyajikan ide-ide dasar pragmatism sebagai berikut: o
Pragmatism tidak berkomitmen pada salah satu sistem filosofis atau realitas
o
Para peneliti individual memiliki kebebasan untuk memilih
o
Kebenaran adalah apa yang dapat dijalankan padasaat itu
o
Para peneliti pragmatis melihat pada “apa” dan “bagaimana” tentang riset mereka
berdasarkan pada berbagai konsekuensi yang diinginkan. o
Para pragmatis sepakat bahwa riset selalu terjadi dalam konteks sosial, historis,
politik, dan lain-lain. o
Para penulis yang menganut pandangan ini diantaranya adalah Rorty (1990), Murphy
(1990), Patton (1990), Cherryholmes (1990), dan Tashakkori dan Teddlie (2003)
Teori feminis, pendekatan riset feminis berfokus pada beragam situasi perempuan
yang problematic dan lembaga yang membingkai situasi tersebut. Topic penelitian data dapat mencakup pemikiran pascakolonial yang terkait dengan bentuk feminism, Etika dan Filsafat Komunikasi
3
bergantungpada konteks nasionalisme, globalisasi dan beragam konteks internasional dan berkisan di seputan kelompok perempuan yang spesifik. Salah satu sarjana terkemuka yang menggunakan pendekatan ini adalah Lather (1991)
Teori Kritis dan Teori Ras Kritis (CRT), perspektif teori kritis berkenaan dengan
pemberdayaan umat manusia untuk mengatasi belenggun yang disebabkan oleh ras, kelas, dan gender (Fay, 1987). Desain riset yang menggunakan teori kritis, menurut sosiolog Agger (1991), terbagi menjadi dua kategori besar: metodologis, yang memengaruhi masyarakat membaca dan menulis, substansif, dalam teori dan topikdari peniliti.
Teori ras kritis (Critical Race Theory [CRT]) mengarahkan perhatian teoretisnya pada
ras dan bagaimana rasisme tertanam secara mendalam dalam kerangka masyarakat Amerika (Perk & Lynn, 2002). Menurut Perk & Lynn (2002) CRT memiliki tiga tujuan utama. Tujuan pertamanya adalah untuk menyajikan cerita-cerita tentang diskriminasi dari perspektif masyarakat kulit berwarna. Tujuan keduanya adalah menghapuskan dominasi ras dan sekaligus pada saat yang sama mengakui bahwa ras adalah konstruksi sosial. Terakhir, sasaran ketiga dari CRT mencangkup berbagai bidang, misalnya gender, kelas, dan setiap ketidaksetaraan yang dialami oleh individu.
Teori queer teori ini mengeksporasi beragam gagasan dan identitas, serta bagaimana
berbagai identitas itu bereproduksi dan “tampil” dalam forum sosial. Para peneliti queer menggunakan orientasi postmodern atau post ruktural untuk mengkritik dan memugar teoriteori yang dominan yang terkait dengan identitas.
Plummer (2011) menyediakan ringkasan tentang berbagai prinsip teori queer:
o
Pembagian biner heteroseksual/homoseksual dan pembedaan seks/gender ditantang
o
Terdapat penyebaran idetitas
o
Semua kategori seksual bersifat terbuka, cair, dan tidak tetap
o
Homoseksual aliran-utama dikritik
o
Kekuasaan diwujudkan secara diskursif
o
Semua strategi penormalan dihindari
o
Karya akademis dapat menjadi ironis, dan sering kali bersifat konyol dan paradox.
o
Versi dari posisi subjek homoseksual ditulis di mana saja
Etika dan Filsafat Komunikasi
4
o
Penyimpangan diabaikan, dan ketertarikan diarahkan pada perspektif dan pelanggaran
dari insider dan outsider. o
Objek yang umum dipelajari adalah film, video, novel, puisi, dan gambar visual.
o
Ketertarikan utamanya mencakup dunia sosial dari kalangan pinggiran seksual
radikal.
Teori disabilitas data ini menjadi alat yang digunakan oleh para peneliti yang
menafsirkan disabilitas yang berfokus pada disabilitas sebagai dimensi perbedaan atau keunikan manusia, bukan sebagai kerusakan atau kecacatan. Sebagai cirri atau keunikan, pemaknaannya dipengaruhi oleh bangunan sosial yang ada dan siri ini hanyalah salah satu dimensi dari perbedaan atau siri manusia.
Sumber Buku : John W Creswell, 2014, Penelitian Kualitatif & Desain Riset, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Etika dan Filsafat Komunikasi
5