BAB II ASESMEN KESULITAN BELAJAR SISWA UNTUK MENILAI KESULITAN SISWA SMP DALAM MEMPELAJARI KONSEP KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN
A. Konsep dan Penguasaan Konsep Pengertian konsep menurut Rosser (dalam Dahar, 1996) adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatankegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Sementara itu Klausmier (Rustaman et al., 2003) mendefinisikan konsep sebagai pembentukan mental dalam mengelompokkan kata-kata dengan penjelasan tertentu yang dapat diterima secara umum. Penguasaan konsep merupakan salah satu bentuk dari hasil belajar yang mengungkap pemahaman siswa terhadap suatu materi yang diajarkan dalam proses belajar. Pemahaman siswa dalam domain/ranah kognitif sangat penting dimiliki oleh siswa mengingat dalam proses belajar mengajar, memahami dan mencamkan isi pelajaran merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru (Sagala, 2003; Runanda, 2010). Penguasaan konsep siswa termasuk kedalam ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam jenjang berdasarkan Taksonomi Bloom revisi, yaitu mengingat, mengerti, menerapkan, menguraikan, menilai, dan mencipta. Rincian kemampuan masing-masing jenjang menurut Anderson & Kratwohl (Runanda, 2010) beserta indikatornya dituangkan pada Tabel 2.1:
8
9
Tabel 2.1 Indikator Menurut Jenjang Kognitif Bloom Revisi No Kemampuan Indikator 1 Mengingat Kemampuan menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif, yaitu mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling). 2 Mengerti Kemampuan mengonstruksi makna berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki atau mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam skema yang telah ada dalam pikiran. Kategori ini meliputi menafsirkan (interpretting), memberikan contoh (examplifying), mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining). 3 Menerapkan Kemampuan menggunakan prosedur untuk menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Kategori menerapkan meliputi menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing). 4 Menguraikan Kemampuan menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antara unsur-unsur tersebut. Kategori ini mencakup tiga macam proses kognitif, yaitu menguraikan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributing). 5 Menilai Kemampuan membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Kemampuan menilai meliputi kemampuan memeriksa (checking) dan mengkritik (qritiquing). 6 Mencipta Kemampuan menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu kesatuan. Kemampuan ini meliputi membuat (generating), merencanakan (planning), dan menciptakan (producing).
B. Asesmen Pembelajaran Kedudukan asesmen dalam dunia pendidikan seperti dalam kegiatan pembelajaran sangat penting, seperti yang dikemukakan oleh James bahwa asesmen merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan dari seluruh jenjang pendidikan mulai dari pendidikan awal sampai pendidikan tinggi (Conner, 1999: 9; Darmiyati, 2009). Oleh karena itu, asesmen sudah seharusnya merupakan bagian dari pembelajaran, bukan merupakan hal yang terpisahkan (Popham, 1995; Wulan, 2007).
10
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Nitko bahwa asesmen merupakan proses pengumpulan informasi yang dapat digunakan untuk membuat keputusan tentang siswa, kurikulum dan program serta kebijakan dalam pendidikan. Keputusan tersebut meliputi pengelolaan pembelajaran di kelas, penempatan pemberian bimbingan dan arahan bagi yang bermasalah, pemilihan yang mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih menantang, dan pemberian sertifikat tentang kompetensi (Darmiyati, 2009). Penilaian atau tes menurut Arikunto (2003) ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur siswa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1. Tes diagnostik, adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. 2. Tes formatif, tes yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah
terbentuk
setelah
mengikuti
sesuatu
program
tertentu.
Dalam
kedudukannya seperti ini tes formatif dapat juga dipandang sebagai tes diagnostik pada akhir pelajaran. 3. Tes sumatif dilaksanakan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah program yang lebih besar. Dalam pengalaman di sekolah, tes formatif dapat disamakan dengan ulangan harian, sedangkan tes sumatif ini dapat disamakan dengan ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada setiap akhir semester. Dalam tes formatif maupun sumatif sering ditemukan siswa yang belum tuntas belajarnya karena nilainya tidak mencapai standar minimal sehingga ia
11
harus mengikuti remidial. Agar remidial tepat sasaran perlu dilakukan suatu tes yang dapat mendiagnosis kemungkinan-kemungkinan sumber masalah yang menyebabkan siswa kesulitan belajar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Linn dan Gronlund (Darmiyati, 2009) bahwa asesmen diagnostik disusun untuk mengkaji kesulitan pembelajaran yang belum terpecahkan dengan asesmen formatif. Oleh karena itu, fungsi asesmen formatif maupun sumatif berhubungan dengan fungsi diagnostik, seperti yang dikemukakan oleh Ecclestone bahwa asesmen terkait pula dengan diagnosa belajar menyediakan informasi terutama untuk siswa dan guru dalam membantu proses pembelajaran. Dengan memanfaatkan pengalaman sebelumnya dan kemampuan-kemampuan yang diperoleh sebelum memulai program (Ecclestone, 1996: 10; Darmiyati, 2009).
C. Kesulitan Belajar Siswa Kesulitan belajar didefinisikan oleh Blassic dan Jones (Warkitri et al., 1990; Kuntjojo, 2009) bahwa kesulitan belajar adalah terdapatnya suatu jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang diperoleh. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar adalah individu yang normal inteligensinya, tetapi menunjukkan satu atau beberapa kekurangan penting dalam proses belajar, baik persepsi, ingatan, perhatian, ataupun fungsi motoriknya. Sementara itu Ashlock (Wulan et al., 2010) menyatakan bahwa siswa yang selalu memperoleh hasil belajar yang rendah disebut sebagai siswa yang mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar
12
siswa dapat ditunjukkan dari kegagalan menyelesaikan suatu masalah/pertanyaan serta dari pola jawaban yang diberikan. Siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat dikenali dari gejala-gejala yang terjadi pada dirinya, seperti yang dikemukakan oleh Warkitri et al. (Kuntjojo, 2009) sebagai berikut: 1) hasil belajar yang dicapai rendah dibawah rata-rata kelompoknya; 2) hasil belajar yang dicapai sekarang lebih rendah dibanding sebelumnya; 3) hasil belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan; 4) lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar; 5) menunjukkan sikap yang kurang wajar, misalnya masa bodoh dengan proses belajar dan pembelajaran, mendapat nilai kurang tidak menyesal dan sebagainya; 6) menunjukkan perilaku yang menyimpang dari norma, misalnya membolos, pulang sebelum waktunya dan seterusnya; 7) menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, misalnya mudah tersinggung, suka menyendiri, bertindak agresif dan lain-lain. Gejala-gejala kesulitan belajar yang dialami siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor eksternal maupun faktor internal. Burton (Abin, 2002: 325-326; Kuntjojo, 2009) mendeskripsikan faktor-faktor tersebut sebagai berikut: 1. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor kejiwaan dan faktor kejasmanian. Faktor kejiwaan, antara lain: 1) minat terhadap mata pelajaran kurang; 2) motivasi belajar rendah; 3) rasa percaya diri kurang; 4) disiplin pribadi rendah; 5) sering meremehkan persoalan; 6) sering mengalami konflik psikis; dan 7) integritas
13
kepribadian lemah. Adapun yang termasuk faktor kejasmanian, antara lain: 1) keadaan fisik lemah (mudah terserang penyakit); 2) adanya penyakit yang sulit atau tidak dapat disembuhkan; 3) adanya gangguan pada fungsi indera; dan 4) kelelahan secara fisik. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berada atau berasal dari luar siswa. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor instrumental dan faktor lingkungan. Faktor-faktor instrumental yang dapat menyebabkan kesulitan belajar siswa antara lain: 1) kemampuan profesional dan kepribadian guru yang tidak memadai; 2) kurikulum yang terlalu berat bagi siswa; 3) program belajar dan pembelajaran yang tidak tersusun dengan baik; dan 4) fasilitas belajar dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Faktor lingkungan meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Penyebab kesulitan belajar yang berupa faktor lingkungan antara lain: 1) disintegrasi atau disharmonisasi keluarga; 2) lingkungan sosial sekolah yang tidak kondusif; 3) teman-teman bergaul yang tidak baik; dan 4) lokasi sekolah yang tidak atau kurang cocok untuk pendidikan.
D. Asesmen Kesulitan Belajar Untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami siswa diperlukan suatu model asesmen yang dapat mengungkap kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa dalam belajar, menganalisisnya dan kemudian dirumuskan pemecahannya, untuk keperluan ini diperlukan tes diagnostik. Tes diagnostik dapat didefinisikan
14
sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat sesuai dengan kelemahan yang dimiliki oleh siswa (Depdiknas, 2007). Tes diagnostik memiliki dua fungsi utama (Depdiknas, 2007: 4) sebagai berikut: 1) mengindentifikasi masalah atau kesulitan yang dialami siswa; dan 2) merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesulitan yang telah teridentifikasi. Dalam mengembangkan tes diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa terdapat tujuh langkah yang harus dilakukan. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengembangan tes diagnostik adalah sebagai berikut: 1. Mengindentifikasi Kompetensi Dasar yang Bermasalah Untuk mengetahui tercapainya suatu kompetensi dasar dapat dilihat dari munculnya sejumlah indikator, karena itu bila suatu kompetensi dasar tidak tercapai, perlu didiagnosis indikator-indikator mana saja yang tidak dapat dimunculkan. Mungkin saja masalah hanya terjadi pada indikator-indikator tertentu, maka pada indikator-indikator itulah disusun tes diagnostik yang sesuai. 2. Menentukan Kemungkinan Sumber Masalah Setelah kompetensi dasar atau indikator yang bermasalah teridentifikasi, mulai
ditemukan
kemungkinan
sumber
masalahnya.
Contohnya
dalam
pembelajaran sains terdapat tiga sumber utama yang sering menimbulkan masalah, yaitu: 1) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; 2) terjadinya miskonsepsi; dan 3) rendahnya kemampuan memecahkan masalah.
15
3. Menentukan Bentuk dan Jumlah Soal yang Sesuai Perlu dipilih alat diagnosis yang tepat berupa butir-butir tes diagnostik yang sesuai. Butir tes tersebut dapat berupa tes pilihan ganda, essay, maupun kinerja sesuai dengan sumber masalah yang diduga dan pada dimensi mana masalah tersebut terjadi. 4. Menyusun Kisi-kisi Soal Sebelum menulis butir soal dalam tes diagnostik maka harus disusun terlebih dahulu kisi-kisinya. Kisi-kisi tersebut setidaknya memuat: 1) kompetensi dasar beserta indikator yang diduga bermasalah; 2) materi pokok yang terkait; 3) dugaan sumber masalah; 4) bentuk dan jumlah soal; dan 5) indikator soal. 5. Menulis Soal Soal tes diagnostik tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan butir soal tes yang lain. Jawaban atau respon yang diberikan siswa harus memberikan informasi yang cukup untuk menduga masalah atau kesulitan yang dialami siswa. Misalnya untuk soal pilihan ganda, untuk menghindari kemungkinan siswa menebak jawaban, maka sebaiknya digunakan pilihan ganda beralasan. 6. Mereviu Soal Butir soal yang baik tentu memiliki validitas isi. Validitas isi adalah kejituan suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut. Suatu tes hasil belajar dapat dikatakan valid, apabila materi tes tersebut betul-betul merupakan bahan-bahan yang representatif terhadap bahan-bahan pelajaran yang diberikan (Nurkancana dan Sunartana, 1981: 124). Oleh karena itu sebaiknya soal yang telah ditulis guru
16
divalidasi terlebih dahulu sebelum diteskan ke siswa, bisa divalidasi oleh dosen ahli atau guru-guru sejenis dalam MGMP. 7. Menyusun Kriteria Penilaian Kriteria penilaian memuat rentang skor yang menggambarkan pada rentang berapa saja siswa didiagnosis sebagai mastery (sudah menguasai kompetensi dasar) atau belum mastery (belum menguasai kompetensi dasar tertentu). Bisa pula berupa rambu-rambu bahwa dengan jumlah type error tertentu siswa yang bersangkutan dinyatakan ber”penyakit” sehingga harus diberikan perlakuan yang sesuai (Depdiknas, 2007: 7-9). Sementara itu Stanley (Darmiyati, 2009) menyatakan secara rinci langkahlangkah diagnosis kesulitan belajar sebagai berikut: 1) identifikasi kasus; 2) lokalisasi jenis dan sifat kesulitan; 3) menemukan faktor penyebabnya, faktor internal dan eksternal; 4) prognosis, yaitu langkah untuk mengestimasi, memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak; dan 5) terapi, yaitu langkah untuk menemukan berbagai alternatif kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam rangka penyembuhan kesulitan tersebut meliputi pengajaran remidial, transfer atau referral. Wulan et al. (2010) mengungkapkan bahwa untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa secara lebih mendalam, dimulai dengan menguraikan semua indikator untuk Kompetensi Dasar (KD) tertentu mulai dari indikator kemampuan terendah sampai indikator kemampuan tertinggi. Kemudian disusun soal untuk setiap indikator tersebut. Dengan demikian dapat ditelusuri informasi pada tingkat kemampuan manakah siswa mengalami kesulitan dalam mencapai KD tertentu.
17
Model pengembangan tes kesulitan belajar yang dikembangkan mbangkan digambarkan pada Gambar 2.1:
Gambar 2.1 Model Pengembangan Tes Kesulitan Belajar (Wulan et al., al. 2010)
E. Tinjauan Pembelajaran Tumbuhan
dan
Asesmen
Konsep
Keanekaragaman
Analisis materi yang akan disampaikan dalam pembelajaran haruslah mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum. Materi keanekaragaman makhluk hidup merupakan salah satu konsep yang harus dimiliki siswa SMP S kelas VII semester genap. Standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terkait dengan keanekaragaman makhluk hidup disajikan pada Tabel 2.2:
18
Tabel 2.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMP Kelas VII Semester Genap Standar Kompetensi 6.Memahami keanekaragaman makhluk hidup
Kompetensi Dasar 6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk hidup 6.2 Mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki 6.3 Mendeskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan mulai dari tingkat sel sampai organisme (Sumber: BSNP-KTSP, 2006)
Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut, materi keanekaragaman makhluk hidup yang terkait dengan klasifikasi tumbuhan adalah kompetensi dasar yang kedua yaitu mengklasifikasikan makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki. Kompetensi dasar tersebut menuntut siswa untuk dapat mengklasifikasikan tumbuhan yang ada di lingkungan sekitarnya berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Dalam mengajarkan konsep klasifikasi, guru sebaiknya mengutamakan pengalaman belajar para siswa secara langsung dengan tumbuhan dan atau hewan di lingkungan sekitarnya. Menurut Rustaman (Astagini, 2010) sebaiknya siswa tidak disuruh menghafal ciri-ciri hewan tanpa melihat sendiri makhluk hidup atau tiruannya, apalagi menghafal pembagian makhluk hidup menjadi kelompokkelompok dan nama ilmiahnya. Dengan melakukan demikian, siswa tidak menyenangi
belajar
IPA,
khususnya
biologi
yang
berkenaan
dengan
keanekaragaman. Langkah-langkah yang perlu dilakukan guru menurut Rustaman (Astagini,
2010) bila
mengajarkan
keanekaragaman tumbuhan adalah:
konsep
keanekaragaman,
khususnya
19
a. Menyuruh siswa membawa sendiri macam-macam makhluk hidup yang akan dibahas; b. Menyuruh siswa belajar dalam kelompok untuk mengamati bersama-sama ciriciri dari masing-masing makhluk hidup yang diamati; c. Menanyakan persamaan dan perbedaan antara makhluk hidup yang diamati tersebut; d. Melakukan diskusi kelas untuk menyamakan pendapat. Kegiatan penilaian yang dilakukan setelah kegiatan pembelajaran konsep klasifikasi tumbuhan sebaiknya menilai proses dan hasil belajar siswa, tidak hanya hasil belajar saja. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rustaman (2003) bahwa aspek keterampilan (proses) yang diperoleh sebagai hasil belajar (termasuk praktikum dan kerja ilmiah) dituntut untuk dikembangkan dan dinilai dalam pembelajaran IPA/biologi, selain aspek konsep. Sebagian besar konsep yang terdapat pada materi klasifikasi tumbuhan dianggap sulit oleh siswa, ini tak lepas dari banyaknya hafalan dan istilah dalam bahasa Latin yang semakin membuat siswa kesulitan, selain itu pula kurang tepatnya model dan metode pembelajaran yang digunakan guru dalam menyampaikan materi tersebut. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hidayat (Puspitasari, 2006), bahwa pemahaman siswa tentang biologi sebagai ilmu, diasumsikan sebagai ilmu hafalan dan tidak ada manfaatnya dalam kehidupan keseharian juga akibat pengalaman belajar yang bersifat verbalistis dan tidak pernah diajak belajar di luar kelas. Model pembelajaran yang memisahkan konsep dengan realitas kehidupan sehari-hari, semakin menjauhkan pemahaman
20
hubungan ilmu biologi dengan alam sekitar dan kehidupan siswa. Suatu kondisi yang kemudian menimbulkan persepsi yang keliru dan melepaskan relevansi ilmu biologi dengan realitas kehidupan siswa. Salah satu konsep yang dianggap sulit oleh siswa adalah konsep tumbuhan paku. Hastuti (2008) dalam penelitiannya tentang proses pembelajaran mata pelajaran biologi konsep tumbuhan paku (Pteridophyta) pada siswa kelas VII B di SMP Muhammadiyah 10 Surakarta, menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dari segi pencapaian nilai atau prestasi akademik. Berdasarkan hasil pengamatan guru, salah satu penyebab yaitu sulitnya hafalan sehingga siswa mudah lupa, siswa jarang mengajukan pertanyaan walaupun guru sering meminta siswa agar bertanya, keaktifan siswa kurang dalam mengerjakan soal–soal, siswa sibuk dengan sendirinya, sehingga siswa tidak paham apa yang disampaikan guru, perhatian siswa pada materi yang diajarkan kurang, selain itu metode belajar mengajar yang diterapkan oleh guru biasanya metode ceramah, sehingga terasa membosankan siswa didik. Dengan demikian, metode pembelajaran berupa ceramah yang hanya menekankan siswa agar menghafal, daripada memperoleh pengalaman langsung melalui kegiatan praktikum mengamati tumbuhan di sekitarnya, membuat siswa mengalami kesulitan belajar dalam memahami konsep klasifikasi tumbuhan. Hal ini semakin diperburuk dengan penilaian yang dilakukan guru yang hanya menilai hasil belajar siswa, tanpa disertai dengan menilai proses belajarnya. Sehingga siswa yang mengalami kesulitan belajar tidak dapat memenuhi kriteria minimal
21
yang disyaratkan kurikulum dan kesulitan belajarnya tidak dapat terdeteksi akibat dari penilaian yang kurang tepat yang dilakukan oleh guru. Materi di sekolah yang dipelajari mengacu pada kompetensi dasar yang meliputi: 1) dasar-dasar klasifikasi makhluk hidup; 2) Kingdom Plantae; 3) tumbuhan lumut; 4) tumbuhan paku; dan 5) tumbuhan berbiji. Adapun uraian materi tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Dasar-dasar Klasifikasi Makhluk Hidup Klasifikasi merupakan suatu cara pengelompokan (penggolongan) dan pemberian nama makhluk hidup berdasarkan persamaan dan perbedaan ciricirinya. Tujuan klasifikasi makhluk hidup adalah sebagai berikut: 1) mempermudah dalam mempelajari dan mengenal berbagai macam makhluk hidup; 2) mengetahui hubungan kekerabatan antar makhluk hidup; 3) mengetahui manfaat makhluk hidup untuk kepentingan manusia; dan 4) mengetahui adanya saling ketergantungan antara makhluk hidup (Sugiyarto dan Ismawati, 2008). 2. Kingdom Plantae Kingdom Plantae meliputi berbagai jenis tumbuhan, meliputi lumut, paku, dan tumbuhan berbiji. Semua tumbuhan adalah eukariota multiseluler yang merupakan autotrof fotosintetik. Sel-sel tumbuhan memiliki dinding sel yang terbuat dari selulosa, dan tumbuhan menyimpan kelebihan karbohidratnya dalam bentuk pati. Dalam sistem klasifikasi, tumbuhan terdiri dari sebelas divisi di dalam Kingdom Plantae (Campbell et al., 2003). Kesebelas divisi tumbuhan tersebut tercantum dalam Tabel 2.3:
22
Tabel 2.3 Klasifikasi Sebelas Divisi di dalam Kingdom Plantae
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Divisi Tumbuhan Divisi Bryophyta Divisi Hepatophyta Divisi Anthocerophyta Divisi Lycophyta Divisi Sphenophyta Divisi Pterophyta Divisi Coniferophyta Divisi Cycadophyta Divisi Ginkgophyta Divisi Gnetophyta Divisi Anthophyta
Perkiraan Jumlah Spesies yang Masih Hidup Lumut daun 12.000 Lumut hati 6.500 Lumut tanduk 100 Likofita 1.000 Ekor kuda 15 Pakis 12.000 Konifer 550 Sikad 100 Ginkgo 1 Gnetae 70 Tumbuhan berbunga 250.000 (Sumber: Campbell et al., 2003) Nama Umum
Kingdom Plantae berdasarkan ada atau tidaknya jaringan vaskuler, dibagi menjadi dua macam, yaitu tumbuhan nonvaskuler dan vaskuler. Tumbuhan nonvaskuler tidak memiliki jaringan vaskuler. Tumbuhan nonvaskuler mencakup sebagian besar golongan lumut. Tumbuhan vaskuler sebagian besar tubuhnya berdiferensiasi menjadi sistem akar di bawah permukaan tanah, yang menyerap air dan mineral, dan sistem tunas batang dan daun di atas permukaaan tanah tempat fotosintesis berlangsung. Tumbuhan vaskuler memiliki dua jaringan vaskuler, yaitu xilem atau pembuluh kayu dan floem atau pembuluh tapis. Sel-sel berbentuk tabung pada pembuluh kayu membawa air dan mineral ke atas dari akar. Pembuluh tapis adalah suatu jaringan hidup dengan sel-sel pengantar makanan yang tersusun menjadi saluran yang mendistribusikan gula, asam amino, dan zatzat hara organik lainnya ke seluruh bagian tumbuhan tersebut. Golongan tumbuhan yang tergolong vaskuler adalah tumbuhan paku (vaskuler tak berbiji) dan tumbuhan berbiji (Campbell et al., 2003).
23
3. Tumbuhan Lumut (Bryophyta) Tubuh tumbuhan lumut berupa talus seperti lembaran-lembaran daun, atau telah mempunyai habitus seperti pohon kecil dengan batang dan daun-daunnya, tetapi padanya belum terdapat akar yang sesungguhnya, melainkan hanya rhizoidrhizoid yang berbentuk benang-benang atau kadang-kadang memang telah menyerupai akar (Tjitrosoepomo, 1994). Lumut mengalami pergiliran keturunan dalam perkembangbiakannya, gametofit haploid merupakan generasi dominan pada lumut dan Bryophyta lainnya. Sporofit umumnya lebih kecil dan hidupnya lebih pendek. Gamet pada lumut berkembang di dalam gametangia. Gametangia jantan dikenal sebagai anteridium, menghasilkan sperma berflagela. Setiap gametangium betina atau arkegonium menghasilkan satu telur (ovum). Tumbuhan lumut terbagi kedalam tiga divisi, yaitu Divisi Bryophyta, Hepatophyta, dan Anthocerophyta. Divisi Bryophyta (lumut daun), menyerupai keset berupa hamparan dan melekat pada substrat dengan sel yang memanjang atau filamen seluler yang disebut rhizoid; akan tetapi, “batang”, “daun” , dan “akar” (rhizoid) lumut daun tidak homolog dengan struktur yang sama pada tumbuhan vaskuler (Campbell et al., 2003). Divisi Hepatophyta (lumut hati) dinamakan demikian karena penampakannya yang datar dan seperti lobus, mirip dengan lobus hati. Divisi Anthocerophyta (lumut tanduk) memperoleh namanya dari sporofitnya yang berbentuk seperti tanduk dan tumbuh dari gametofit yang datar (Fried dan Hademenos, 2005).
24
4. Tumbuhan Paku (Pteridophyta) Tumbuhan paku merupakan suatu tumbuhan yang anggotanya telah jelas mempunyai kormus, artinya tubuhnya dengan nyata dapat dibedakan dalam tiga bagian pokoknya, yaitu akar, batang, dan daun. Namun demikian, pada tumbuhan paku belum dihasilkan biji (Tjitrosoepomo, 1994). Oleh karena itu, tumbuhan paku disebut juga sebagai tumbuhan vaskuler tak berbiji. Tumbuhan paku mengalami pergiliran keturunan dengan generasi sporofit diploid adalah tumbuhan yang lebih besar dan kompleks dalam pergiliran generasi tersebut (Campbell et al., 2003). Tumbuhan paku terbagi kedalam beberapa divisi, yaitu Lycophyta, Sphenophyta, dan Pterophyta. Divisi Lycophyta batang dan akarnya bercabangcabang menggarpu; daun kecil-kecil, tidak bertangkai, dan selalu bertulang satu saja. Divisi Sphenophyta umumnya berupa terna yang menyukai tempat lembab; batangnya kebanyakan bercabang-cabang berkarang dan jelas kelihatan berbukubuku dan beruas-ruas; daun-daun kecil, seperti selaput, dan tersusun berkarang. Divisi Pterophyta dikenal sebagai tumbuhan paku atau pakis yang sebenarnya; termasuk tumbuhan higrofit, karena banyak tumbuh di tempat teduh dan lembab; mempunyai daun-daun besar (makrofil), bertangkai, mempunyai banyak tulangtulang; waktu masih muda daun itu tergulung pada ujungnya, dan pada sisi bawah mempunyai banyak sporangium.
25
5. Tumbuhan Berbiji (Spermatophyta) Menurut Rustaman (Astagini, 2010) tumbuhan berbiji adalah tumbuhan yang telah memiliki akar, batang, dan daun sejati, memiliki pembuluh, dan menghasilkan biji. Tumbuhan berbiji mempunyai bunga yang kemudian menghasilkan biji setelah mengalami penyerbukan dan pembuahan. Tumbuhan berbiji terbagi menjadi dua macam berdasarkan letak bijinya, yaitu Gymnospermae dan Angiospermae. Gymnospermae (istilah tersebut berarti “biji telanjang/terbuka”) tidak memiliki ruangan pembungkus (ovarium) tempat biji Angiospermae berkembang. Gymnospermae terbagi kedalam empat divisi, yaitu: 1) Divisi Cycadophyta, menyerupai palem, memiliki biji terbuka yang terdapat dalam sporofil, yaitu daun yang terspesialisasi untuk reproduksi; 2) Divisi Ginkgophyta, memiliki daun seperti kipas yang warnanya berubah keemasan dan rontok pada musim gugur; 3) Divisi Coniferophyta, sebagian besar diantaranya pohon besar, memiliki konus yang merupakan kumpulan sporofil yang menyerupai sisik, hampir semua konifer adalah evergreen (selalu hijau sepanjang tahun) (Campbell et al., 2003); dan 4) Divisi Gnetophyta, memiliki daun yang agak lebar dengan tulang daun menyirip (Syamsuri et al., 2007). Angiospermae memiliki bakal biji yang berkembang menjadi biji setelah fertilisasi dan terlindung dalam ovarium. Semua Angiospermae ditempatkan dalam sebuah divisi tunggal Anthophyta. Para ahli taksonomi membagi tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) menjadi dua kelas, yaitu Monokotil, dinamai demikian karena kotiledonnya (keping bijinya) hanya ada satu, dan Dikotil,
26
karena memiliki dua kotiledon (Campbell et al., 2003). Perbedaan monokotil dan dikotil dapat dilihat pada Tabel 2.4: Tabel 2.4 Perbedaan Karakter antara Kelas Monokotil dan Dikotil Karakter Embrio Susunan tulang daun Batang
Akar Bunga
Monokotil Memiliki satu keping biji Pada umumnya paralel/sejajar Berkas vaskuler umumnya tersusun secara kompleks dan tidak berkambium Sistem akar serabut Bagian-bagian bunga umumnya kelipatan tiga
Dikotil Memiliki dua keping biji Pada umumnya menjari/menyirip Berkas vaskuler umumnya tersusun dalam bentuk lingkaran dan memiliki kambium Sistem akar umumnya tunggang Bagian-bagian bunga umumnya kelipatan empat atau lima (Sumber Campbell et al., 2003)