8
BAB II “ANALISA KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN DAN BUKTI TANAH LETTER C”
2.1. Tinjauan Umum Mengenai Pendaftaran Tanah, Hak Guna Bangunan, Bukti Letter C: 2.1.1. Sejarah Hukum Tanah di Indonesia Seperti telah disebutkan pada bahasan sebelumnya, bahwa kehidupan manusia selalu terkait erat dengan keberadaan tanah. Hubungan manusia dan tanah menjadi tidak terpisahkan meskipun terjadi suatu perubahan atas perkembangan manusia.
Dr. B.F. Sihombing, SH, MH
menyebutkan bahwa jiwa rakyat baik sebagai hasil perubahan yang lama maupun sebagai hasil letusan revolusi menghendaki juga perubahan dalam hukum tanah.7 Ini mengartikan bahwa terdapatnya perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia, mengharuskan adanya penyesuaian terhadap sebuah pengaturan hubungan manusia dengan tanah itu sendiri. Pengaturan hubungan manusia dengan tanah itu yang kemudian disebut sebagai hukum tanah. Prof. Boedi Harsono menyebutkan bahwa Hukum Tanah merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Dari konteks tersebut, Hukum Tanah Indonesia diartikan sebagai bentuk pengaturan hubungan antara manusia, Pemerintah yang mewakili negara sebagai
badan
hukum
publik
maupun
swasta
termasuk
badan
keagamaan/badan sosial dan perwakilan negara asing dengan tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)8 Penerapan Hukum Tanah di Indonesia dalam kerangka mengatur hubungan atau hak-hak penguasaan masyarakat atas tanah di wilayah 7
Dr. B. F. Sihombing, SH, MH. Evaluasi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 2004). Hal 51. 8 Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1. Cet. X (Edisi Revisi) 2005. (Jakarta : Djambatan, 2005). Hal. 16.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
9
Indonesia telah mengalami berbagai tahapan perkembangan yang cukup signifikan. Tahapan perkembangan Hukum Tanah di Indonesia dapat dideskripsikan dalam dua bagian penting, yaitu dengan membedakan antara kondisi sebelum dan sesudah UUPA 2.1.1.1. Hukum Tanah Indonesia Sebelum Berlakunya UUPA Pada masa jauh sebelum berlakunya UUPA, masyarakat Indonesia
sebenarnya
telah
melakukan
pengaturan
terhadap
hubungan manusia dengan tanahnya melalui sebuah kesepakatankesepakatan dengan masyarakat lainnya sehingga menghasilkan tata kehidupan yang tentram dan saling menghargai. Perubahan terjadi setelah datangnya Belanda ke Indonesia yang pada akhirnya juga mengubah ketentuan masyarakat di bidang agraria sebelumnya. Bagi Hukum Tanah di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA, terdapat dua sumber peraturan yang dianut masyarakat, yaitu peraturan agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan Hukum Barat. Perbedaan sumber peraturan ini lebih pada pengaturan atas tanah yang dimiliki dan bukan pada orang – orang yang memilikinya. Pada saat ini, Hukum Tanah yang berlaku di masyarakat terdiri atas hukum yang tertulis dan yang lainnya tidak tertulis. Pada zaman pendudukan Belanda, antara tahun 1602 – 1799 dimana Vereenigde Oostindische Compagnie atau lebih dikenal dengan sebutan VOC berkuasa, pengaturan, pemilikan dan penguasaan
tanah
menerapkan
Hukum
Barat
dengan
tidak
memperdulikan hak – hak tanah rakyat dan raja – raja di Indonesia, tetapi secara umum Hukum Adat yang memiliki corak dan sistem sendiri tidak dipersoalkan oleh VOC, bahkan membiarkan rakyat Indonesia hidup menurut adat dan kebiasaannya9 Sedangkan pada zaman Daendels tahun 1808 – 1811 telah terjadi perubahan yang cukup mencolok atas struktur penguasaan dan pemilikan tanah
9
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Daerah Kebutuhan Hidup, (Jakarta: Chandra Pratama, 1995). Hal. 8-11.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
10
dengan sistem penjualan tanah.
Kondisi ini menyebabkan
munculnya tanah – tanah partikelir. Pada zaman pendudukan Inggris tahun 1811 – 1816, terutama masa Raffles berkuasa, semua tanah yang berada dibawah kekuasaan Pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government, sehingga seluruh tanah dikenakan pajak bumi. Zaman Cultuur stelsel telah melakukan pemaksaan terhadap rakyat Indonesia untuk melakukan penanaman komoditi tertentu yang hasilnya harus diberikan untuk kepentingan penjajah. Dari hal ini, penduduk tersingkir ke pegunungan untuk mencari lahan-lahan lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak
tahun
1870, setelah keluarnya Undang-undang
Agraria Barat yang disebut dengan Agrarisch Wet 1870 menjadi pokok hukum dan semua peraturan pelaksanaannya dalam pengaturan bidang agraria yang diberlakukan pada masa itu. Ketentuan utama dalam Agrarisch Wet adalah bahwa Pemerintah masa itu memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan asing, terutama yang bergerak di bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, dengan tetap menjamin hak – hak pribumi atas tanah miliknya. Aturan selanjutnya yang dikeluarkan adalah Agrarisch Besluit yang merupakan ketetapan Raja Belanda untuk menetapkan bahwa pemilik atas tanah di seluruh Indonesia adalah Pemerintah Belanda, kecuali tanah – tanah yang dapat dibuktikan eigendom-nya. Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanya bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar pemiliknya. Dalam hal ini, terdaftarnya tanah tersebut bukan sebagai bukti formal hak atas tanahnya. Sejak
Proklamasi
Kemerdekaan
17
Agustus
1945,
Pemerintah Indonesia berusaha mengakhiri dominasi Hukum Agraria Barat yang ditinggalkan oleh Pemerintah kolonial. Namun demikian sampai tahun 1950-an Pemerintah Indonesia belum mampu menghasilkan suatu Hukum Agraria Nasional yang secara tetap
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
11
menggantikan Hukum Agraria Barat.
Baru pada tahun 1954,
dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat10. Undang-undang ini hanya mengatur secara parsial persoalan tanah di Indonesia, sedangkan aturan secara umum tentang Hukum Agraria yang akan menggantikan secara total Hukum Agraria Barat warisan penjajah sampai tahun 1959 tidak dapat dibuat.
2.1.1.2. Hukum Tanah Indonesia Sesudah Berlakunya UUPA Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penyebutan lazim dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria, yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada tanggal 24 September 1960. UUPA ini merupakan hasil penyempurnaan dari hasil – hasil rancangan yang telah dibuat oleh lima kepanitiaan pembentukan UUPA sebelumnya yang telah ditetapkan sejak tahun 1948 hingga 1959, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenarjo dan Rancangan Sadjarwo, yang kemudian hasilnya dilakukan penyesuaian dengan UUD 1945. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, maka terjadilah perubahan secara fundamental dibidang Hukum Tanah dan hak-hak perorangan atas tanah yang berlaku di Indonesia. Jika pada masa sebelumnya terjadi dualistik Hukum Tanah yang berlaku, maka setelah UUPA terjadi unifikasi Hukum Tanah yang bersumber hanya kepada Hukum Adat Tidak Tertulis. Konsekuensi dari hal ini adalah secara tegas dinyatakan tidak berlakunya lagi : a. Hukum Tanah Barat yang liberalistik yang ketentuannya terdapat dalam Buku Kedua Kitab Undang – Undang Hukum Perdata 10
Indonesia (d), Undang Undang tentang Penetapan Undang Undang Darurat tentang Pemindahan Hak atas Tanah dan Barang – barang Tetap yang lainnya yang Bertakluk Kepada Hukum Eropa (Undang – undang Darurat nomor 1 tahun 1952) sebagai Undang Undang, UU Nomor24 Tahun 1954, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
12
Indonesia
(kecuali tentang ketentuan hipotik yang
masih
berlaku), b. Hukum Tanah Adat Tertulis yang diciptakan oleh Pemerintah Belanda dan Pemerintah Swapraja. Sangat wajar apabila konsepsi, bahan, norma, sistem, asasasas dan lembaga-lembaga hukumnya ditetapkan sebagai sumber perumusan Hukum Tanah Nasional, karena Hukum Tanah Adat Tidak Tertulis ini sangat sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia dan juga merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli. Dalam hal lain, unifikasi hak – hak perorangan atas tanah (hak – hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah) yang sudah dikuasai oleh orang dan badan hukum baik yang berasal dari Hukum Tanah Barat maupun Hukum Tanah Adat (yang tertulis atau tidak tertulis), melalui diktum kedua UUPA, yaitu ketentuan konversi dari hukum terhitung sejak 24 September 1960 dikonversi atau diubah menjadi hak-hak perorangan atas tanah menurut Hukum Tanah Nasional. Dari konteks di atas, maka fungsi UUPA adalah : a. Menciptakan unifikasi hukum tanah dan mengakhiri hukum tanah yang dualistik, b. Unifikasi hak – hak perorangan atas tanah melalui ketentuan konversi (Diktum Kedua UUPA), c. Meletakkan landasan hukum untuk melaksanakan pembangunan Hukum Tanah Nasional. UUPA memiliki sifat nasional dalam aspek formal maupun material. Dalam aspek formal, UUPA merupakan Hukum Tanah Nasional yang dibuat oleh pembentuk Undang – undang di Indonesia, dibuat di Indonesia, disusun dalam bahasa Indonesia, berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi seluruh tanah yang ada di wilayah negara Indonesia. Sedangkan tentang aspek material, UUPA harus juga bersifat nasional dalam hal tujuan, konsepsi, asas – asas, sistem dan isinya.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
13
Konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional yang berasal dari konsepsi Hukum Adat adalah bersifat komunalistik religius
yang
berarti
Hukum
Tanah
Nasional
memberikan
kesempatan pemilikan tanah secara individual, dengan hak hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mencakup unsur kebersamaan. Kesempatan hak kepemilikan atas tanah oleh individu masyarakat memperoleh perlindungan hukum dengan ketentuan dilakukan pendaftaran hubungan
terlebih dahulu. Dengan pendaftaran tanah, maka pribadi
individu
masyarakat
dengan
tanah
yang
dimilikinya diumumkan dan memperoleh jaminan hukum. Dengan pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas kepemilikan tanah juga, maka hak keperdataan seseorang anggota masyarakat terhadap tanahnya memperoleh jaminan hukum.
2.1.2. Konsep Hak Milik atas Tanah 2.1.2.1. Pengertian Hak Milik atas Tanah Hak-hak atas tanah berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri atas : a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai e. Hak Sewa f. Hak Membuka Tanah g. Hak Memungut Hasil Hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak – hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak – hak yang sifatnya sementara yaitu Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Soedharyo Soimin11 menyatakan bahwa, bila dilihat dari kepentingan yang mendesak dan sangat dibutuhkan oleh manusia 11
Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), Hal. 1.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
14
ataupun badan hukum maka hak atas tanah dapat dibedakan atas Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha. Senada dengan pendapat tersebut A. P. Perlindungan12, menyatakan bahwa : “Pada dasarnya hak atas tanah hanya terdiri atas Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Namun berdasarkan UUPA maka hak tersebut dapat ditambah dengan hak memungut hasil dan hak membuka tanah”. Salah satu hak atas tanah yang sering menjadi pangkal sengketa di pengadilan adalah sengketa terhadap hak milik atas tanah. Secara yuridis hak milik diatur dalam Pasal 20 ayat (1) & (2) UUPA yang menegaskan bahwa, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA, dan hak ini dapat beralih serta dialihkan pada pihak lain. Sehubungan dengan pengertian tersebut Soedharyo Soimin13 mengatakan bahwa, hak milik adalah hak yang dapat diwariskan secara turun temurun, secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi pemindahan hak. Selanjutnya A. P. Parlindungan14 menegaskan bahwa, unsurunsur dari hak milik: a. Turun temurun Bahwa hak milik dapat diwariskan pada pihak lain atau ahli waris apabila pemiliknya meninggal dunia tanpa harus memohon kembali bagi ahli waris untuk mendapatkan penetapan. b. Terkuat dan terpenuh Hal ini berarti bahwa hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dimiliki oleh seseorang, dapat dibedakan dengan hak yang lain seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan 12
A. P. Perlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, (Bandung: Mandar Maju, 1998), Hal. 13. 13 Soedharyo Soimin, Op. Cit., Hal. 1. 14 A. P. Parlindungan, Op. Cit., Hal. 137.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
15
Hak Pakai; bahwa diantara hak-hak atas tanah hak miliklah yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi tetap mempunyai fungsi sosial. c. Fungsi sosial Maksudnya adalah meskipun hak milik sifatnya terkuat dan terpenuh tetapi tetap mempunyai fungsi sosial, yang mana apabila hak ini dibutuhkan untuk kepentingan umum maka pemiliknya harus menyerahkannya pada negara dengan mendapatkan ganti rugi yang layak. d. Dapat beralih dan dialihkan Hak milik dapat dialihkan pada pihak yang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik melalui penjualan,
penyerahan,
hibah
atau
bahkan
melalui
hak
tanggungan. Apabila disimak bunyi Pasal 21 ayat (1), (2) dan (3) UUPA maka dapat diketahui bahwa yang berhak untuk memperoleh hak milik adalah hanya warga negara Indonesia; oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan; Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian
pula
warga-negara
Indonesia
yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung; Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
16
dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan mengenai orang asing. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum15, bahwa yang dapat mempunyai hak atas tanah adalah sebagai berikut: a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara) b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian c. Badan-badan
keagamaan
yang
ditunjuk
oleh
Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Sosial.
2.1.2.2. Terjadinya Hak Milik atas Tanah Sebagai salah satu jenis hak atas tanah maka hak milik merupakan hak yang terkuat, terpenuh serta turun temurun. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. a. Hak milik atas tanah terjadi disini dengan didaftarkan pada kantor pertanahan Kabupaten/ Kota untuk mendapatkan sertifikat hak milik. b. Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah. c. Hak milik atas tanah yang terjadi disini semua berasal dari tanah negara d. Hak milik atas tanah yang terjadi ini karena permohonan pemberian hak milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
15
Indonesia (e), Peraturan Pemerintah tentang Penunjukan Badan – badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, PP Nomor 38 Tahun 1963, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2555.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
17
e. Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan undangundang f. Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka semua hak atas tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang diatur dalam undang-undang pokok agraria. Yang dimaksud dengan konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA.16 A.P. Parlindungan17 mengatakan bahwa proses lahirnya hak milik terdiri atas beberapa sebab yaitu : a. Konversi dari tanah-tanah eks eigendom b. Konversi tanah-tanah eks hukum adat c. Hak milik berdasarkan ketentuan-ketentuan landreform d. Hak milik berdasarkan suatu surat keputusan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional atau dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. e. Pemberian hak milik kepada para transmigran. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya hak milik atau lahirnya hak milik dapat terjadi karena beberapa sebab yakni : a. Atas keputusan pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional b. Atas permohonan dari pemegang tanah yang akan berstatus hak milik. c. Karena aturan perundang-undangan yang berlaku.
16 17
A. P. Parlindungan, Log. Cit., Hal. 140. Ibid., Hal. 148.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
18
2.1.2.3. Hapusnya Hak Milik atas Tanah Pasal 27 UUPA menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah karena : a. Tanahnya jatuh pada negara yakni : 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA; 2. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya; 3. Karena ditelantarkan; 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA b. Tanahnya Musnah Hal ini bisa terjadi karena pengaruh bencana alam atau faktor alam seperti tanah longsor, terkikisnya tanah pada aliran sungai dan dengan musnahnya tanah maka pemiliknya tidak dapat memanfaatkan lagi tanah tersebut.18 A. P. Parlindungan19, menyatakan bahwa hak milik dapat hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut : a. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA yakni : b. Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya c. Karena ditelantarkan tapi belum ada peraturan pelaksanaannya d. Akan kehilangan haknya karena terkena ketentuan perundangundangan e. Tanahnya musnah, yang disebabkan oleh bencana alam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat disebabkan karena campur tangan negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku maupun disebabkan oleh bencana alam yang mengakibatkan hilangnya hak milik atas tanah.
18 19
Ibid., Hal. 160. Ibid., Hal. 5.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
19
2.1.3. Teori dan Hukum Pendaftaran Tanah 2.1.3.1. Asas – asas Pendaftaran Tanah Terdapat beberapa asas dari pendaftaran tanah20 yaitu asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka. a. Asas Sederhana Dalam pendaftaran tanah yang dimaksud sederhana dalam pelaksanaannya agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun Prosedurnya, dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama hak atas tanah. b. Asas Aman Dimaksud untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. c. Asas Terjangkau Dimaksud keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan, golongan ekonomi lemah pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. d. Asas Mutakhir Dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, dan data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahanperubahan yang terjadi dikemudian hari. e. Asas Terbuka Masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.
20
Supriadi, Log. Cit., Hal. 164.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
20
2.1.3.2. Tujuan Pendaftaran Tanah Adapun tujuan pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan, sebagaimana pada garis besarnya telah dikemukakan dalam pendahuluan tujuan pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 adalah : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk
menyediakan
informasi
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan termaksud pemerintah agar dengan mudah, dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk
terselenggaranya
tertib
administrasi
pertanahan.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan, tertib administrasi di bidang pertanahan; untuk mencapai tertib administrasi tersebut disetiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftarkan. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya; data tersebut dikenal sebagai daftar umum yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama para pihak yang berkepentingan. Dalam melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu masyarakat mengetahui data yang tersimpan dalam daftar-daftar di kantor pertanahan. Data tersebut bersifat terbuka untuk umum ini sesuai dengan salah satu asas pendaftaran tanah yaitu terbuka seperti yang dinyatakan dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
21
1997 karena terbuka untuk umum daftar-daftar dan peta-peta tersebut disebut sebagai daftar umum. Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian yang diambil datanya dari peta pendaftaran. Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan suatu hak atas tanah atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertentu.
2.1.3.3. Sertifikat Tanah Merupakan Alat Pembuktian Yang Kuat Mengenai pengertian sertifikat, dalam beberapa literatur kamus memberi arti yang berbeda-beda, sebagai berikut : a. Kamus Bahasa Inggris yang ditulis E. Pino dan Wittermans : tahun 1953, sertifikat dalam teks aslinya certificate, diartikan sebagai “surat keterangan, surat lulusan, atau ijazah “. b. Kamus Bahasa Indonesia populer yang ditulis Bambang Marhijanto tahun 1996, dimana sertifikat diartikan sebagai ‘surat keterangan yang menguatkan kedudukan sesuatu (menurut hukum yang sah), surat tanda bukti. Maksudnya, ialah dengan sertifikat itu seseorang dapat membuktikan kedudukannya, posisinya, pembuktian mana dikuatkan oleh apa yang tersurat didalam sertifikat itu. c. Kamus Hukum yang ditulis oleh J.C.T Simorangkir, dkk tahun 2000 dalam teks aslinya certificate dimana sertifikat diartikan sebagai surat tanda bukti, maksudnya ialah dengan sertifikat itu
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
22
orang dapat membuktikan kedudukannya apakah sebagai pemilik suatu benda dan sebagainya. Berdasarkan pengkajian literatur yang dilakukan penulis, sertifikat yang diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah dan jika terdapat catatan – catatan menyangkut data fisik atau data yuridis maka penerbitan sertifikat ditangguhkan. Sesuai dengan Pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa : Sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sertifikat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yaitu surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
1. Tujuan Penerbitan Sertifikat Untuk memahami lebih mendalam tujuan penerbitan sertifikat hak milik atas tanah kita harus kembali mempelajari penyerahan klasifikasi benda sebagaimana diatur dalam Pasal 612 – 616 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Pada prinsipnya benda dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu: a. Benda bergerak Barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan (Pasal 509 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata). Kapal, perahu, sampan tambang,
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
23
kincir dan tempat penimbunan kayu yang dipasang di perahu atau yang terlepas dan barang semacam itu adalah barang bergerak.(Pasal 510 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) Yang dianggap sebagai barang bergerak karena ditentukan undang – undang adalah: 1) Hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak; 2) Hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terusmenerus, maupun bunga cagak hidup; 3) Perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau mengenai barang bergerak; 4) Surat saham atau saham dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan perdagangan
atau
persekutuan
perusahaan, sekalipun barang – barang bergerak yang bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaan tidak bergerak. Bukti saham atau saham ini dipandang sebagai barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing – masing peserta saja, selama persekutuan berjalan; 5) Saham dalam utang atas beban negara Indonesia, baik yang terdaftar dalam buku besar, maupun
sertifikat,
surat pengakuan utang, obligasi atau surat berharga lainnya, berserta kupon atau surat-surat bukti bunga yang berhubungan dengan itu. 6) Sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya, termasuk juga pinjaman yang dilakukan negara-negara asing. (Pasal 511 Kitab Undang – undang Hukum Perdata) b. Benda tetap/ tak bergerak. Barang tak bergerak adalah : 1) Tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya; 2) Penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam Pasal 510; 3) Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam tanah, buah pohon yang belum dipetik,
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
24
demikian pula barang-barang tambang seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya, selama barang-barang itu belum dipisahkan dan digali dari tanah; 4) Kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon yang tinggi, selama belum ditebang; 5) Pipa dan salurán yang digunakan untuk mengalirkan air dari rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku pada bangunan. (Pasal 506 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) Yang termasuk barang tak bergerak karena tujuan adalah: a. Pada pabrik; barang hasil pabrik, penggilangan, penempaan besi dan barang tak bergerak semacam itu, apitan besi, ketel kukusan, tempat api, jambangan, tong dan perkakas – perkakas sebagainya yang termasuk bagian pabrik, sekalipun barang itu tidak terpaku; b. Pada perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan lainnya bila dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran suatu ruangan, sekalipun barang itu tidak terpaku; c. Dalam pertanahan: lungkang atau tumbuhan pupuk yang dipergunakan untuk merabuk tanah; kawanan burung merpati; sarang burung yang biasa dimakan, selama belum dikumpulkan; ikan yang ada di dalam kolam; d. Runtuhan
bahan
bangunan
yang
dirombak,
bila
dipergunakan untuk pembangunan kembali; dan pada umumnya
semua
barang
yang
oleh
pemiliknya
dihubungkan dengan barang tak bergerak guna dipakai selamanya. (Pasal 507 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) Pemilik dianggap telah menghubungkan barang – barang itu dengan barang tak bergerak guna dipakai untuk
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
25
selamanya, bila barang – barang itu dilekatkan padanya dengan penggalian, pekerjaan perkayuan dan pemasangan batu semen, atau bila barang – barang itu tidak dapat dilepaskan tanpa membongkar atau merusak barang itu atau bagian dari barang tak bergerak di mana barang – barang itu dilekatkan. Yang juga merupakan barang tak bergerak adalah hak –hak sebagai berikut; a. Hak pakai hasil dan hak pakai barang tak bergerak. b. Hak pengabdian tanah; c. Hak numpang karang; d. Hak guna usaha; e. Bunga tanah, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk barang; f. Hak sepersepuluhan; g. Pajak bazar atau pasar yang diakui oleh pemerintah dan hak Istimewa yang berhubungan dengan itu; h. Hak gugatan guna menuntut pengembalian atau penyerahan barang tak bergerak. (Pasal 508 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata). Pembagian kedua jenis benda tersebut bukan dilakukan tanpa tujuan tetapi justru memiliki konsekuensi yuridis yaitu : a. Dalam hal jaminan benda bergerak digadaikan sebaliknya benda tak bergerak dihipotikkan. b. Dalam hal peralihan (jual beli, hibah, tukar menukar) benda bergerak diserahkan secara fisik, sebaliknya benda tak bergerak dilakukan dengan cara membuat akta otentik dihadapan pejabat tertentu. c. Asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1977 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya berlaku terhadap benda bergerak, sebaliknya benda tak bergerak tidak berlaku.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
26
Asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1977 yaitu sebagai berikut : “Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.” Dari uraian tersebut di atas ada yang menjadi anggapan/ sangkaan hukum bahwa setiap yang menguasai benda bergerak harus dianggap ia sebagai pemilik, konsekuensinya ialah barang siapa yang menyatakan bahwa benda yang dikuasai orang tersebut sebagai miliknya maka dialah yang dibebani pembuktian. Yang patut di garis bawahi disini ialah sangkaan/ anggapan hukum tersebut hanya berlaku terhadap benda bergerak berarti kalau kita menggunakan metode konstruksi hukum Argument a Contrario kita dapat menarik kesimpulan bahwa terhadap benda tetap (termaksud tanah) tidak berlaku. Hubungan antar asas tersebut
dengan penerbitan
sertifikat hak milik atas tanah dapat dijelaskan karena asas dimaksud tidak berlaku terhadap benda tak bergerak maka bagi yang menguasai benda tak bergerak (termaksud tanah) belum dianggap sebagai pemilik, sehingga dengan kata lain membuktikan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah tertentu tidak cukup dengan cara menguasainya secara de facto melainkan diperlukan bukti tertentu sebagai pendukungnya.21 Bukti tersebut tidak lain adalah sertifikat hak milik atas tanah. Sebagai bukti alas hak yang sah dan dimiliki kekuatan pembuktian sempurna. Dengan diterbitkannya sertifikat, kepastian hukumnya akan lebih terjamin yang meliputi : a. Kepastian hukum tentang subyeknya, maksudnya adalah dengan diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah secara
21
Abdurrahman, Tentang dan Sekitar UUPA, (Bandung: Alumni, 1995), Hal. 109.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
27
yuridis telah terjamin bahwa orang yang namanya tersurat di dalam sertifikat sebagai pemilik atas tanah tertentu. b. Kepastian
tentang
obyeknya,
maksudnya
dengan
diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah, baik letak, luas maupun batas-batas tanah lebih terjamin karena didalam sertifikat hal-hal yang berkenaan dengan suatu bidang tanah termaksud gambar situasi termuat didalamnya. Dengan terciptanya kedua kepastian hukum di atas kita mengharapkan sengketa atau konflik di bidang pertanahan lambat laun akan semakin berkurang dan inilah sebenarnya tujuan 22
akhir
dari
penerbitan
sertifikat.
Abdurrahman
menyatakan bahwa : Lebih parah lagi adalah timbulnya dua atau lebih
sertifikat tanda bukti hak atas tanah yang sama. Kondisi demikian tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum melainkan juga merugikan bagi pemegang bukti hak sebab diantara sekian banyak sertifikat mungkin hanya satu yang sah, selebihnya cacat hukum dan ini akan teruji kalau antara mereka telah terjadi sengketa di pengadilan.
2. Fungsi Sertifikat Bagi Pemegangnya Sebagai konsekuensi dari terciptanya kepastian hukum mengenai subyek dan obyek maka dengan diterbitkannya sertifikat tersebut dapat menimbulkan beberapa fungsi bagi pemiliknya yaitu : a. Nilai ekonomisnya (harga jual) lebih tinggi Dalam jual beli pada umumnya pembeli (konsumen) memiliki pandangan, lebih baik kalah dalam membeli tetapi menang dalam pemakaian daripada menang dalam membeli tetapi kalah dalam memakai. Bertolak dari pandangan seperti itulah sehingga tanah yang telah bersertifikat memiliki harga yang jauh lebih tinggi ketimbang tanah yang belum bersertifikat. 22
Ibid., Hal. 120.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
28
Kenapa demikian, karena tanah yang telah bersertifikat telah memiliki jaminan kepastian hukum baik subyek maupun obyeknya. Kepastian hukum mengenai subyek, dalam hal ini ada jaminan oleh hukum bahwa penjual adalah pemilik tanah yang sesungguhnya. Dengan begitu telah menepiskan keraguraguan dari pembeli atas gangguan pihak ketiga. Kepastian hukum mengenai obyek, bahwa luas dan batas-batas tanah tidak perlu diragukan lagi karena kedua hal tersebut telah tersurat di dalam sertifikat tanah.23 b. Tanah lebih mudah dijadikan sebagai jaminan utang Tidak setiap orang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, sering ditemukan orang dalam mempertahankan hidupnya harus meminjam uang dari pihak/ orang lain. Demikian juga halnya dengan para pelaku usaha, bahwa tidak setiap pelaku usaha memiliki modal yang cukup untuk tetap bertahan atau mengembangkan usahanya, terkadang harus membutuhkan dana yang cukup besar, sementara dana dimaksud tidak dimilikinya. Suatu alternatif yang dapat ditempuh ialah dengan cara meminjam dana dari orang/pihak lain. Bertolak dari kenyataan tersebut pemerintah bahkan pihak
swasta
membentuk
lembaga-lembaga
keuangan
misalnya, lembaga perbankan dimana salah satu fungsinya memberi kredit bagi setiap orang yang membutuhkannya. Suatu keraguan lalu muncul, bagaimana kalau debitur terlambat atau tidak mengembalikan uang pinjamannya; kalau ini terjadi kreditur akan menderita kerugian. Untuk mengatasi hal ini lalu kreditur membuat persyaratan bahwa dalam perkreditan disyaratkan adanya jaminan (garansi), maksudnya para debitur hanya akan diberi kredit jika ada barang yang dijaminkan.
23
Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1983), Hal. 73.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
29
Barang yang menjadi obyek jaminan tersebut meliputi segala macam barang yang memiliki nilai ekonomi, termasuk tanah. Dengan adanya barang yang dijaminkan kreditur tidak perlu ragu akan pengembalian uang pinjaman sebab sekalipun debitur wanprestasi barang dimaksud dapat dijual lelang dan hasil
penjualannya
digunakan
untuk
pelunasan
utang.
Keraguan yang muncul berikutnya adalah bagaimana kalau barang yang dijaminkan tersebut bukan milik debitur; kalau ini terjadi proses pelelangan akan terhambat oleh gangguan pihak ketiga
sebagai
pemilik
tanah
yang
sesungguhnya.
Konsekuensinya ialah pelelangan tidak dapat dilakukan sehingga uang pinjaman tidak dapat dikembalikan oleh debitur apa bila secara yuridis pihak ketiga itu mampu membuktikan bahwa barang jaminan sebagai miliknya. Terbayangi oleh dampak terburuk itu lalu muncul pemikiran bahwa kalau sebidang tanah yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang disyaratkan dengan sertifikat tanah dimaksud agar ada kepastian hukum, bahwa debitur adalah benar-benar sebagai pemilik atas tanah yang dijaminkan itu.24 c. Potensi untuk menang dalam berperkara lebih terbuka Ada pepatah dalam bahasa latin yang berbunyi “Sivis Pacem Para Bellum” yang berarti hendak damai siapkan perang. Rupanya pepatah tersebut tidak hanya dapat diterapkan pada perang dalam arti yang sesungguhnya tetapi justru cukup memberi inspirasi dalam dunia hukum, dalam hal ini berperkara di pengadilan.25 Sertifikat hak milik atas tanah dapat diklasifikasikan dalam golongan alat bukti tertulis/ surat. Bagi kita di Indonesia hingga kini alat bukti primer (utama) lebih khusus lagi akta otentik. Apa yang dinamakan akta otentik tidak lain adalah
24
25
Ibid., Hal. 74 Boedi Harsono. Log. Cit., Hal. 431.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
30
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang – Undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Berdasarkan rumusan diatas maka sertifikat memenuhi syarat untuk digolongkan kedalam akta otentik karena dibuat oleh pejabat tertentu. Akta otentik dinamakan alat bukti primer karena memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki alat bukti lain. Suatu keunggulan bagi akta otentik dibanding dengan alat bukti lain ialah dari segi kekuatan pembuktiannya (Vis Probandi) bahwa akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna
(Volledige
Bewijs
Kracht)
artinya
kekuatan
pembuktian yang memberikan kepastian hukum yang cukup, kecuali terbukti sebaliknya. Sehingga menurut hukum akta otentik (termasuk sertifikat hak milik atas tanah) untuk sementara harus dianggap sebagai suatu yang benar sepanjang belum terbukti kepalsuan nya. Konsekuensinya ialah barang siapa yang membantah keasliannya pihak inilah yang harus membuktikannya bahwa akta itu palsu, berarti kalau tidak terbukti kepalsuannya maka pihak ini harus kalah dalam perkaranya.26 d. Dapat memberi proteksi yuridis bagi pemegangnya Seseorang yang bukan pemilik tanah menerbitkan sertifikat hak milik terhadap tanah tersebut atas namanya tanpa seizin pemilik sesungguhnya jika keduanya terlibat sengketa di pengadilan dimana sertifikat dijadikan sebagai alat bukti hampir dapat dipastikan pemegang sertifikat ini akan memenangkan perkara, sebab paling tidak secara yuridis ia telah membuktikan hak-haknya terhadap tanah tersebut. Kebenaran hukum itu terkadang tidak mencapai kebenaran yang sesungguhnya, dengan kata lain “pengertian yang benar” menurut hukum ialah pihak yang mampu membuktikan dalil26
Ibid., Hal. 432.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
31
dalilnya dan mampu membuktikan dalil-dalil sangkalannya yang diajukan pihak lawan dengan menggunakan alat – alat bukti yang sah. Sebaliknya bagi pihak lawannya sekalipun ia sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya tetapi karena dalam perkara, para pihak mampu membuktikan haknya atas tanah yang dipersengketakan.27 Sertifikat sebagai salah satu bukti kepemilikan hak, menjadi salah satu hal penting dalam pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu penerbitan sertifikat, menjadi sangat penting dalam sebuah negara hukum.
2.1.3.4. Proses Pendaftaran Tanah Proses pendaftaran tanah pertama kali merupakan kegiatan fisik untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas – batasnya, luasnya dan bangunan – bangunan yang terdapat di atasnya, penetapan batas dan pemberian tanda – tanda batas yang jelas, berdasarkan penunjukan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan
pemilik
tanah
berbatasan.
Selanjutnya
diadakan
pengukuran diikuti dengan perhitungan luas dan pembuatan peta bidang tanahnya yang kemudian diterbitkan menjadi surat ukur.28 Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai status tanah dan pemiliknya serta ada atau tidaknya hak pihak lain, yang membebaninya yang diperlukan guna penetapan surat keputusan haknya baik melalui penetapan konversi, pengakuan hak atau pemberian hak. Kegiatan berikutnya adalah pengukuran tanah, berdasarkan surat keputusan haknya dengan mencatatnya dalam buku tanah, selanjutnya diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai salinan dari buku tanah dan suratyang berlaku; sebagai tanda bukti hak yang kuat sertifikat tanah memuat data pemegang hak, jenis hak serta dilengkapi surat ukur memuat letak batas-batas bidang tanah yang bersangkutan. Ketentuan mengenai prosedurnya; 27 28
Ibid., Hal. 428. Ibid., Hal. 54.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
32
pengumpulan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Sebagaimana telah diuraikan di atas, pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran secara sistematik atau sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa badan pertanahan nasional yang didasarkan atas suatu rencana kerja jangka panjang dan
rencana
tahunan,
yang
berkesinambungan.
Pelaksanaan
dilangsungkan diwilayah-wilayah yang ditentukan oleh menteri serta diwilayah-wilayah yang belum ditunjuk oleh menteri. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas prakarsa pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan; yang akan diutamakan dalam pendaftaran tanah secara sistematik tetapi pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan29, dengan kegiatan – kegiatan sebagai berikut: 1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik pertama-tama dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan kegiatan ini meliputi : a. Pembuatan peta dasar pendaftaran b. Penetapan atas bidang-bidang tanah c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran d. Pembuatan daftar tanah e. Pembuatan surat ukur
2. Pembuatan peta dasar pendaftaran Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik disuatu wilayah yang di tunjuk dimulai dengan pembuatan peta dasar pendaftaran. Peta dasar pendaftaran tersebut menjadi dasar 29
Ibid., Hal. 54.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
33
pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam uraian di atas, selain untuk pembuatan peta pendaftaran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik peta dasar pendaftaran juga digunakan untuk memetak bidang-bidang tanah yang sebelumnya sudah didaftar. Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan agar setiap bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya, secara pasti karena dapat direkonstruksi dilapangan setiap saat untuk maksud tertentu, diperlukan adanya titik-titik dasar teknik nasional. Titik – titik dasar teknik adalah titik yang tetap yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungn dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Di wilayah – wilayah lain untuk keperluan pendaftaran tanah secara sporadik diusahakan juga tersedianya peta dasar pendaftaran;
yang
dimaksud
dengan
adanya
peta
dasar
pendaftaran tersebut dibidang tanah yang didaftar dapat diketahui letaknya dalam kaitannya dengan bidang – bidang tanah yang lain dalam suatu wilayah sehingga dapat dihindarkan terjadinya sertifikat ganda atas suatu bidang tanah.30
3. Penetapan batas-batas bidang tanah Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bidang – bidang tanah yang akan diukur, setelah ditetapkan letak batas – batasnya dan menurut keperluan ditetapkan tanda – tanda batas disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan; dalam penetapan batas tersebut diupayakan penetapan dasar batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan, untuk memperoleh bentuk yang tertata dengan baik bagi bidang – bidang tanah yang semula kurang baik bentuknya.31
30 31
Ibid., Hal. 72. Ibid., Hal. 73.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
34
Penetapan batas – batas bidang tanah yang sudah dimiliki dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar, tetapi belum ada surat ukur atau gambar situasinya atau surat ukur atau gambar situasinya tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan; penetapan batas bidang tanah yang akan diberikan dengan hak baru oleh negara (Badan Pertanahan Nasional) dilakukan sesuai ketentuan tersebut diatas atau penunjukkan instansi yang berwenang (Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Penetapan batas bidang-bidang di tanah tersebut jika tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan atau pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak hadir, biarpun sudah ada pemanggilan. Maka pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas – batas yang menurut kenyataannya merupakan batas – batas bidang tanah yang bersangkutan. (menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997)
4. Pengukuran dan pemetaan bidang – bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran Bidang – bidang tanah yang sudah ditetapkan batas – batasnya di ukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar pendaftaran, untuk bidang tanah yang luas pemetaannya dilakukan
dengan
cara
membuat
peta
sendiri,
dengan
menggunakan data yang diambil dari peta dasar pendaftaran dan hasil ukur batas tanah yang akan dipetakan. Jika dalam wilayah pendaftaran tanah secara sporadik belum ada peta dasar pendaftaran, dapat digunakan peta lain sepanjang peta tersebut memenuhi persyaratan teknis untuk
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
35
pembuatan peta pendaftaran. Misalnya peta dari instansi pekerjaan umum atau instansi pajak; dalam keadaan terpaksa karena tidak tersedia peta dasar pendaftaran tanah ataupun peta lain pembuatan peta dasar pendaftaran dapat dilakukan bersamasama dengan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang bersangkutan dan bidang – bidang tanah sekelilingnya yang berbatasan sehingga letak relatif bidang tanah itu dapat ditentukan. Apabila dijumpai keadaan seperti dikemukakan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 pengukuran diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas – batas yang menurut kenyataan merupakan batas – batas tanah yang bersangkutan; mengenai dilakukannya pengukuran sementara itu dan belum diperolehnya kesepakatan mengenai penetapan batas tersebut dibuat suatu berita acara dalam gambar ukur, sebagai hasil pengukuran yang dilakukan, dibubuhkan catatan atau tanda yang menyatakan bahwa batas – batas tanahnya masih merupakan batas sementara.32
5. Pembuatan daftar tanah Bidang atau bidang – bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran, di bukukan dalam daftar tanah yang bentuk, isi, cara pengisian, penyimpanan dan pemeliharaannya akan diatur. Daftar tanah dimaksudkan sebagai sumber informasi yang lengkap mengenai nomor bidang, lokasi dan penunjukan kenomor surat ukur bidang – bidang tanah yang ada di wilayah pendaftaran baik sebagai hasil pendaftaran untuk pertama kali maupun pemeliharaannya kemudian.33
32 33
Ibid., Hal. 79. Ibid., Hal. 80.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
36
6. Pembuatan surat ukur Untuk keperluan pendaftaran haknya, bidang – bidang tanah yang sudah diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran dibuatkan surat ukur yang dimaksud dalam uraian diatas, demikian ditentukan dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 beda dengan ketentuannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 surat ukur bukan kutipan dari peta pendaftaran tanah, surat ukur memuat data fisik yang diambil dari peta pendaftaran.34 Untuk wilayah – wilayah pendaftaran tanah secara sporadik yang belum tersedia peta pendaftaran surat ukur dibuat dari hasil pengukuran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
7. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan hak Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan perbedaan antara pembuktian hak baru dan hak lama, hak – hak baru adalah hak – hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sedangkan hak – hak lama yaitu hak – hak atas tanah yang berasal dari konversi hak – hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak – hak yang belum didaftar menurut Peraturan Pemerintah 10 Tahun 1961. Untuk keperluan pendaftaran tanah, dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa: a. Hak atas tanah baru data yuridisnya dibuktikan dengan: 1) Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku, apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan yang dapat diberikan secara individual kolektif ataupun secara umum 34
Ibid., Hal. 83.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
37
2) Asli akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang memuat hak yang bersangkutan, mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik. b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang. c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf di tinjau dari sudut
objeknya
pembukuan
tanah
wakaf
merupakan
pendaftaran untuk pertama kali, meskipun bidang tanah yang bersangkutan sebelumnya sudah didaftar sebagai tanah milik. d. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan biarpun hak atas tanah tempat bangunan gedung rumah susun yang bersangkutan berdiri sudah didaftar. e. Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan. Untuk pembuktian hak – hak atas tanah yang sudah ada dan berasal dari konversi hak – hak lama data yuridisnya, dibuktikan dengan alat – alat mengenai adanya tersebut berupa bukti tertulis keterangan saksi dan atau hak pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia ajudikasi dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak, dan hak – hak pihak lain yang membebaninya. Demikian yang ditetapkan dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 alat – alat bukti tersebut adalah bukti pemilikan. Maka mengenai kepemilikan itu ada tiga kemungkinan alat pembuktian yaitu : a. Bukti tertulisnya lengkap tidak memerlukan tambahan alat bukti lain b. Bukti tertulis sebagian tidak ada lagi, diperkuat keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan. c. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi, diganti keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
38
Tetapi semuanya akan diteliti lagi melalui pengumuman untuk memberi kesempatan kepada pihak – pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
8. Pengumuman data fisik dan data yuridis Daftar isian tersebut memuat data yuridis beserta peta bidang atau bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang memuat data fisik diumumkan selama 30 hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik, sedangkan 60 hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Untuk memudahkan pelaksanaanya dalam pendaftaran tanah secara sistematik pengumuman tidak harus dilakukan sekaligus mengenai semua bidang tanah, dalam wilayah yang ditetapkan
tetapi
dapat
dilaksanakan
secara
bertahap;
pengumuman ini dilakukan dikantor kelurahan serta media massa, dalam hal ini baik media cetak maupun elektronik; hal ini ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Tujuan diadakan pengumuman ialah memberi kesempatan kepada pihak – pihak yang bersangkutan atau berkepentingan mengajukan keberatan; jika dalam jangka waktu pengumuman tersebut ada yang mengajukan keberatan mengenai data fisik dan yuridis yang diumumkan, ketua panitia ajudikasi mengusahakan agar secepatnya keberatan yang diajukan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Jika usaha tersebut tidak dapat dilakukan atau tidak membawa hasil, ketua panitia ajudikasi memberitahukan secara tertulis
kepada
pihak
yang
mengajukan
keberatan,
agar
mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai data fisik dan atau data yuridis setelah jangka waktu pengumuman berakhir, data
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
39
fisik dan data yuridis yang diumumkan oleh ketua panitia ajudikasi disahkan dengan suatu berita acara yang bentuknya ditetapkan oleh menteri. Jika masih ada kekurangan lengkap data fisik dan data yuridis yang bersangkutan atau masih ada keberatan yang belum diselesaikan, pengesahan yang dimaksud dilakukan dengan membubuhkan catatan mengenai hal – hal yang belum diselesaikan, mengenai hal – hal yang belum lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan.35
9. Pembukuan Hak Pelaksanaan pembukuan diatur dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan tersebut diatas hak atas bidang tanah : a. Data fisik dan yuridis sudah lengkap dan tidak ada yang disengketakan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah. b. Data fisik dan yuridis belum lengkap dan tidak ada yang disengketakan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap. c. Data fisik dan yuridis disengketakan tetapi diajukan gugatan kepengadilan, pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut. d. Data fisik dan atau data yuridis disengketakan dan diajukan gugatan di pengadilan tetapi tidak ada perintah dari pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari pengadilan, dilakukan pembukuan dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut. e. Data fisik dan yuridis disengketakan dan diajukan gugatan dipengadilan tetapi ada perintah dari pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaaan dari pengadilan, dilakukan 35
pembukuannya
dalam
buku
tanah
dan
Ibid., Hal. 89.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
40
mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang di sengketakan.36
10. Penerbitan Sertifikat Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftarkan dalam buku tanah. Sertifikat hanya boleh diberikan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain yang dikuasakan olehnya. Dalam hal pemegang hak sudah meninggal dunia sertifikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli warisnya dengan persetujuan ahli waris lainnya37
2.1.4. Hak Guna Bangunan 2.1.4.1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang – Undang Pokok Agraria. Menurut ketentuan Pasal 35 UUPA yang berbunyi sebagai berikut: (1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan - bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. (2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. (3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat diketahui bahwa yang dinamakan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu selama 30 tahun.
36 37
Ibid., Hal. 428 – 451. Ibid., Hal. 451.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
41
Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang Hak Guna Bangunan adalah berbeda dari Pemegang Hak Milik atas bidang tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Sehubungan Hak Guna Bangunan ini, Pasal 37 Undang – Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa: Hak Guna Bangunan terjadi: a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah; b. mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. 2.1.4.2. Subjek Hukum Yang Dapat Menjadi Pemegang Hak Guna Bangunan Kepemilikan Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 36 UUPA yang menyatakan bahwa: (1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah a. warga-negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sejalan dengan ketentuan – ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang – undang memungkinkan dimilikinya Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang didirikan menurut ketentuan
hukum
Negara
Republik
Indonesia
dan
yang
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
42
berkedudukan di Indonesia. Dua Unsur tersebut harus secara bersama – sama ada atau suatu keharusan kumulatif, jika badan hukum tersebut ingin menpunyai Hak Guna Bangunan di Indonesia.
2.1.4.3. Tanah Yang Dapat Diberikan Dengan Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan bahwa: Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: b. Tanah Negara; c. Tanah Hak Pengelolaan; d. Tanah Hak Milik. 1. Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan di atur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 199638 menentukan bahwa: (1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Pasal 22 Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 23 Pemberian Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 di daftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak di daftar oleh Kantor Pertanahan.
38
Indonesia (f), Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
43
(3) Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan sertifikat hak atas tanah. Dari kedua ketentuan tersebut, dapat di ketahui bahwa Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Negara dan tanah Hak pengelolaan harus berdasarkan keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, khususnya ketentuan dalam Pasal 4, Pasal 9 dan Pasal 13. Maka dapat diketahui bahwa terhadap pemberian Hak Guna Bangunan a. Sampai dengan 2000 m2 (dua ribu meter persegi), pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya; b. Mulai dari 2000 m2 (dua ribu meter persegi) hingga 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi; c. Diatas 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi); pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional/ Menteri Negara Agraria; d. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dilakukan
oleh
Kepala
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/
Kotamadya.
2. Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Hak Milik Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 tahun 1997 tentang perubahan Hak Milik
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
44
menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Dari Ketentuan tersebut diketahui bahwa terjadinya Hak Guna Bangunan dari Hak Milik adalah karena: a. Sukarela, dilakukan dengan cara pelepasan Hak Milik atas tanah yang disertai dengan pemberian Hak Guna Bangunan. b. Hasil Lelang, yang diperoleh badan hukum. Dalam Penjelasan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 maka jelas bahwa pemberian hak milik lahir pada saat dibuatnya akta pemberian Hak Guna Bangunan tersebut oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran yang dilakukan adalah untuk mengikat pihak ketiga.
2.1.5. Buku Letter C 2.1.5.1. Isi Buku Letter C Penjelasan mengenai isi Buku Letter C ini penulis disini juga didasarkan atas pendapat masyarakat, sarjana, dan menurut contoh Buku Letter C yang dimiliki. 1. Masyarakat berpendapat isi Buku Letter C adalah : a. Mengenai luas dan kelas tanah serta nomor persil b. Mengenai nama pemilik c. Mengenai jumlah pajak 2. Sarjana dalam hal ini adalah R. Soeprapto, menyatakan isi buku Letter C adalah : a. Daftar tanah b. Nama pemilik dengan nomor urut c. Besarnya pajak 3. Contoh Buku Letter C, isinya adalah : a. Nama pemilik b. Nomor urut pemilik c. Nomor bagian persil d. Kelas desa
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
45
e. Menurut daftar pajak bumi yang terdiri atas : 1) Luas tanah, hektar (ha) dan are (da) 2) Pajak, R (Rupiah) dan S (Sen) f. Sebab dan hal perubahan g. Mengenai Kepala Desa/Kelurahan yaitu, tanda tangan dan stempel desa
NAMA :
NO :
Nomor dan Bagian Persil
Menurut Daerah Perijinan Pajak Bumi Kelas Desa
Luas Tanah
Ha
Da
Sebab dan Perubahan
Pajak
R
S
Nama desa, Tgl, ……………………
Mengetahui, Kepala Desa/Kelurahan ttd Gambar 1. Contoh Buku Letter C
Di dalam keterangan ataupun contoh di atas terdapat kata “Persil” dan kelas desa, supaya lebih jelas saya mencoba akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan persil dan kelas desa. a. Persil adalah suatu letak tanah dalam pembagiannya atau disebut juga blok. Tanah dengan luas 1 hektar, atau tanah itu dibagi dengan berbagai bagian yang pemiliknya berbeda, luas tanahnya berbeda. Persil 1
Persil 4
Persil 2
Persil 3
Persil 5
Persil 6
Persil 7
Gambar 2. Contoh Persil
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
46
b. Kelas Desa adalah suatu kelas tanah biasanya dipergunakan untuk membedakan antara tanah darat dan tanah sawah atau diantara tanah yang produktif dan non produktif ini terjadi pada saat terbitan tahun dulu. Contoh : a) Kelas d. I, d.II, adalah kelas ini digunakan untuk perumahan b) Kelas S.I, S.II, adalah kelas ini digunakan untuk sawah dan pertanian Selanjutnya kita akan membahas pihak – pihak yang ada dalam buku letter C yang sangat berperan. Pertama kita akan membahas pemilik tanah dan yang berwenang mencatat keterangan tersebut dalam buku letter C. 1. Pemilik tanah Pihak di sini adalah pihak yang keterangan mengenai tanahnya baik persil, kelas desa, luas tanah, besarnya pajak dicatat di dalam buku Letter C. Berarti pemilik tanah ini adalah seorang yang memiliki hak atas tanah tersebut. Pendaftaran pada waktu itu yang kita kenal hanyalah pendaftaran untuk hak – hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Barat, sungguh pun juga ada orang – orang Bumiputera yang mempunyai hak – hak atas tanah yang berstatus Hak Barat, selain dari golongan Eropa dan golongan Timur Asing termasuk golongan China. Sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada, maka jika seorang bumiputera yang memiliki tanah yang berstatus Hak Barat, maka dianggap mereka telah menundukkan diri kepada Hukum Barat tersebut, sebagai konsensuensi tanah-tanah bekas Hak Barat itu tunduk Kitab Undang – undang Hukum Perdata (Barat). Untuk golongan Bumiputera tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform atau seragam, sungguhpun ada secara sporadik kita temukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna, sebaliknya juga kita mengenal pendaftaran tanah pajak,
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
47
seperti girik, petuk, dan letter C yang dilakukan oleh kantor – kantor pajak terutama di pulau Jawa.
2. Pihak yang mencatat buku letter C. Pihak yang berwenang disini adalah Perangkat Desa/ Kelurahan, yang dilakukan secara aktif dalam pengertian adalah bukan pemilik tanah yang datang ke Kantor Desa/ Kelurahan untuk mencatat keterangan tanah yang mereka miliki, tetapi secara otomatis Perangkat Desa/ Kelurahan yang mencatat. Mengenai tindakan yang aktif dari Perangkat Desa/ Kelurahan ini tidakhanya dalam hal pencatatan Bukti Letter C saja tetapi juga kegiatan atau transaksi-transaksi yang terjadi di desa mereka, misalnya seperti: a. Hibah b. Jual beli c. Kewarisan d. Bagi hasil dan sebagainya Mengenai hal ini terdapat Instruksi Presiden tahun 1980. Sebagai contoh Instruksi Presiden Indonesia Nomor 13 tahun 1980 tanggal 10 September 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil39. Pasal 6 ayat 1 menyatakan : “Para Kepala Desa secara aktif mengadakan pencatatan mengenai perjanjian – perjanjian bagi hasil yang ada di desanya masing – masing untuk dihimpun dalam daftar yang disediakan untuk itu dan dilaporkan kepada Camat yang bersangkutan.” Jadi dalam hal pihak yang berwenang mencatat Buku Letter C ini adalah Perangkat Desa/ Kelurahan secara aktif, dan di dalam Buku Letter C ditanda tangani oleh Kepala Desa/ Kelurahan.
39
Indonesia (g), Instruksi Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil, Inpres Nomor 13 Tahun 1980.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
48
2.1.5.2. Fungsi Bukti letter C Setelah membahas pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti, pengertian Bukti Letter C, maka dapatlah dikatakan bahwa Bukti Letter C dapat digunakan sebagai alat bukti yang dimiliki oleh seseorang, pada saat orang tersebut ingin memperoleh hak akan tanahnya, dan ingin melakukan pendaftaran tanah atas namanya. Dan tidak dapat dilupakan pula bahwa Bukti Letter C juga merupakan syarat yang harus ada untuk pengkonversian tanah milik adat, sebagai bukti hak milik adat. Jadi bukti letter C dapat dikatakan sebagai alat bukti tertulis, kemudian di dalam hal ini penulis akan membahas fungsi dari Bukti Letter C dari beberapa segi 1. Bukti Letter C sebagai salah satu syarat untuk pengkonversian tanah milik adat. Pasal II UUPA, ayat 1, “ Hak – hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik yayasan, andar beni, hak atas druwe/ hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, larderijen bezitrercht, altijddurende Erfpacht, Hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini, menjadi Hak Milik tersebut dalam Pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat, sebagai tersebut dalam Pasal 21.” Pengkonversian tanah milik adat dilihat dari sudut alat bukti dapat dipisahkan dalam dua macam bekas tanah milik adat yaitu : a. Bekas tanah milik adat yang dianggap sudah mempunyai bukti tertulis: girik, kekitir, petuk pajak dan sebagainya.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
49
b. Bekas tanah milik adat yang belum atau tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis.40 Dari penjelasan di atas, maka sangat jelas disebutkan untuk pengkonversian tanah milik adat memerlukan alat bukti, dua macam; salah satunya petuk pajak atau bisa dikatakan Bukti Letter C. Dalam hal pengkonversian tanah milik adat Bukti Letter C ini disebut sebagai tanda bukti hak. R. Soeprapto mengemukakan tentang tanda bukti hak milik adat sebagai berikut : Adapun yang dimaksud dengan surat-surat bukti hak menurut Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 196241 ialah : a. Surat hak tanah yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, ordonantie tersebut dalam S. 1873 Nomor 38 dan Peraturan Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keresidenan Surakarta serta Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat (Pasal 2 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962). b. Surat Pajak Hasil Bumi/Verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak dari instansi yang berwenang (Pasal 3 sub a Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962).42 Dari penjelasan R. Soeprapto di atas maka semakin jelas bahwa surat pajak (Girik, Petuk, Letter C, ) merupakan tanda bukti hak terutama tanda hak milik adat. Kemudian R. Soeprapto menjelaskan kembali bahwa : Menurut Permendagri Nomor SK.
40
R. Soeprapto, Op Cit, Hal. 207 Indonesia (h), Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria Tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah, PMPA Nomor 2 Tahun 1962. 42 Ibid, Hal. 209-201 41
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
50
26/DDA/1970 (tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak – hak Indonesia atas tanah). Yang dianggap sebagai tanda bukti hak menurut Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun1962 Pasal 3a adalah : Untuk daerah-daerah yang sebelum tanggal 24 September 1960 sudah ada Pajak Hasil Bumi (Landrente) atau Verponding Indonesia maka yang dianggap sebagai tanda bukti hak ialah : a. Surat Pajak hasil Bumi atau Verponding Indonesia. b. Girik, pipil, kekitir, petuk dan sebagainya hanya dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960. Jika antara tanggal 24 September 1960 sampai dengan tanggal diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 terjadi jual beli, tukar menukar, hibah, maka asli surat-surat akta jual beli, tukar menukar, hibah yang sah yaitu yang dibuat dihadapan Kepala Desa/ Adat setempat, atau dibuat menurut hukum adat setempat, harus dilampirkan juga sebagai tanda bukti hak.43
2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas tanah. Memperoleh hak milik atas sebidang tanah sebagai hasil dari pembagian warisan, membeli sebidang tanah atau hibah tidak memerlukan prosedur yang panjang, dapat dilakukan di muka Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan akta. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang pendaftaran tanah, Pasal 24 ayat 1, untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama yang dibuktikan dengan bukti tertulis, diantaranya girik, kekitir, petuk pajak bumi/ landrente.
43
Ibid, Hal. 210
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
51
2.1.5.3. Kutipan Buku Letter C Kutipan Bukti Letter C yang dianggap masyarakat umumnya adalah girik, kekitir, petuk, yang ada di tangan pemilik tanah, sedangkan yang asli terdapat di desa/ kelurahan. Jadi dapat disimpulkan Buku Letter C aslinya itu di Kantor Desa/ Kelurahan, sedangkan kutipannya berupa girik, petuk, kekitir diberikan pada pemilik tanah sebagai bukti pembayaran pajak.
2.1.5.4. Letter C Sebagai Alat Bukti Perolehan Hak Atas Tanah Bukti Letter C sebagai alat bukti perolehan hak atas tanah ini ada beberapa sarjana yang tidak menyetujui : a. D. Bidara, dan Martin P. Bidara Beliau – beliau ini menyatakan bahwa catatan dari buku desa (Letter C) tidak dapat dipakai sebagai bukti hak milik jika tidak disertai bukti-bukti lain. Kedua sarjana ini berpendapat atas dasar keputusan MA. Reg. Nomor 84k/ Sip/ 1973 tanggal 25 Juni 1973.44 b. Effendi Peranginangin Beliau dalam menjawab suatu pertanyaan “Apakah surat pajak (girik, petuk, Letter C, Ipeda) dapat dianggap sebagai hak bukti atas tanah, kalau sebidang tanah belum bersertifikat, maka yang ada mungkin hanya surat pajak (girik, petuk, Letter C, tanpa pembayaran
Ipeda).
Mahkamah
Agung
dalam
beberapa
keputusannya telah menyatakan bahwa surat pajak, bukan bukti pemilikan
hak
atas
tanah.
Surat
pajak
tanah
hanyalah
pemberitahuan bahwa yang membayar atau wajib pajak adalah orang yang namanya tercantum dalam surat pajak.45 c. A. P. Parlindungan AP. Parlindungan berkomentar dalam bukunya bahwa “Kita harus meninjau bagaimana pandangan dari Mahkamah Agung Nomor. 44
D. Bidara, dan Martin P Bidara, Ketentuan Perundang-undangan Yurisprudensi dan Pendapat Mahkamah Agung RI tentang Hukum Acara Perdata, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1984), Hal. 61. 45 Effendi Peranginangin, Pembuatan Akta, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1979), Hal. 16-17.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
52
34/ k.Sip/ 80. Tidak diakui sebagai bukti hak atas tanah yang sah, surat-surat pajak bumi atau Letter C tersebut hanya merupakan bukti permulaan untuk mendapatkan tanda bukti hak atas tanah secara yuridis yaitu sertifikat (Pasal 13 jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).46 Tetapi walaupun demikian Bukti Letter C tetap dikatakan sebagai alat bukti. Mengapa demikian, karena untuk memperoleh hak atas tanah seseorang harus memiliki alat bukti yang menyatakan tanah itu miliknya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 24 ayat 1 itu menyatakan untuk keperluan pendaftaran hak – hak atas tanah dibuktikan dengan alat bukti, salah satunya bukti tertulis adalah Bukti Letter C yang merupakan alat bukti perolehan hak atas tanah yaitu bukti tertulis karena Bukti Letter C itu berisi tentang hal-hal yang menyangkut tanahnya dan semua itu tertulis dengan jelas. Mengenai pendapat-pendapat di atas itu tidak berarti salah karena Letter C juga memiliki fungsi yang telah disebutkan para sarjana-sarjana tersebut di atas, tetapi tetap dalam perkembangannya Letter C tetaplah dinyatakan sebagai alat bukti. Tidak cukup sampai disitu saja, pihak bank pun memiliki keberanian bahkan keyakinan untuk memberikan kredit kepada debitur yang memiliki tanah yang bukti kepemilikannya berupa Letter C. Pada penjelasan dari Pasal 8 Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan47 disebutkan sebagai berikut : Kredit yang diberikan bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur
46
A. P. Parlindungan, Op Cit, Hal. 31. Indonesia (i), Undang – Undang tentang Perbankan, UU Nomor 7 Tahun 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472. 47
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
53
untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan proyek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan adalah salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adalah yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lainlain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan, bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai yang lazim dikenal dengan “agunan tambahan”.48 Jadi sudah semakin jelas bahwa Bukti Letter C sebagai alat bukti untuk memperoleh dan untuk pendaftaran hak atas tanah yaitu sebagai bukti tertulis.
2.2. Kasus Posisi Kasus posisi kekuatan pembuktian sertifikat Hak Guna Bangunan Dan Bukti Letter C pada studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 190/ PDT.G/ 2001/ PN.JKT.UT tanggal 17 Oktober 2001, Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 110/ PDT/ 2002/ PT.DKI tanggal 7 Juni 2002, Putusan Mahkamah Agung Nomor 390 K/ Pdt/ 2003 tanggal 16 September 2004, Putusan Peninjauan Kembali Nomor 163 PK/ PDT/ 2005 tanggal 27 Januari 2006, dijabarkan dibawah ini: Para pihak yang bersengketa disini adalah PT. Taman Harapan Indah selaku Penggugat, Terbanding, Termohon Kasasi dan Pemohon Peninjauan Kembali dengan Bon Surya Santika selaku Tergugat, Pembanding, Pemohon Kasasi dan Termohon Peninjauan Kembali. Dimana Penggugat telah memperoleh 48
A. P. Perlindungan, Op Cit, Hal. 30.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
54
lahan tanah seluas kurang lebih 18,227 m2, yang terletak di Wilayah Kelapa Gading, Kecamatan Koja, Jakarta Utara berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Nomor 01/ SPK/ 1982, yang dibuat dan ditandatangani oleh Penggugat asli dengan Badan Pelaksana Otorita Pluit Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Lahan tanah tersebut luasnya berubah menjadi 19.150 m2 karena setelah dilakukan pengukuran untuk pembuatan peta lokasi oleh Suku Dinas Tata Kota Jakarta Utara; Bahwa lahan tanah seluas tersebut diperoleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) Cq. Badan Pelaksana Otorita Pluit Jakarta (karena terjadi perubahan status hukum kini berubah menjadi PT. Pembangunan Jaya) dari Perkumpulan Sekolah Kristen Jakarta (PSKJ), karena didasari adanya tukar menukar tanah sebagaimana terbukti dalam Surat Perjanjian Nomor 03/ Per/ PTI/ 75, tanggal 29 Agustus 1975; Bahwa dalam melaksanakan pembangunan rumah tinggal di atas lahan tanah tersebut, Penggugat telah memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor 08644/ IMB/ 1985, tanggal 11 Desember 1985; Bahwa untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan rumah tinggal tersebut, Penggugat mendapat hambatan karena “sebagian” lahan tanah Penggugat dengan luas 2.970 m2, yang terletak di Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian, Jalan Taman Gading V, Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, tidak dapat dikerjakan pembangunannya karena dikuasai secara melawan hukum oleh Tergugat,
padahal tanah in cassu telah memperoleh
sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513, tanggal 26 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal 29 Februari 1992, dengan batas – batas seperti disebut dalam surat gugatan; Bahwa tanah milik Penggugat asli semula luasnya 4440 m2 terdiri dari Letter C 333, dan bekas Hak Guna Bangunan Nomor 3195/ Kelapa Gading Timur untuk sebagian dan seluas 1470 m2 diperuntukkan untuk “rencana jalan”, sehingga luas tanah Penggugat yang dapat diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) adalah seluas 2970 m2 tentang Surat Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal 29 Februari 1992;
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
55
Bahwa pada waktu Penggugat melakukan pemeriksaan lahan seluas 2.970 m2 di atas, Penggugat melihat dan menyadari tanah in cassu dikuasai Tergugat secara melawan hukum dengan melakukan pemagaran dengan menggunakan seng, dan diduga kuat dijaga oleh oknum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).; Bahwa melihat keadaan tersebut, Penggugat langsung melapor kepada Kantor Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (SDPPK) Jakarta Utara,dan Kepala SDPPK Jakarta Utara telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Pekerjaan Pembangunan (SP4) Nomor 2346/ SP.4/ U/ 1994 kepada Tergugat; Bahwa dalam realitanya Tergugat tidak mengindahkan Surat Peringatan SDPPK Jakarta Utara tersebut, maka untuk kedua kalinya Penggugat melaporkan Tergugat kepada Kepala SDPPK dengan hal yang sama, dan Kepala SDPPK Jakarta Utara kembali mengeluarkan SP4 Nomor 1429/ SP.4/ U/ 1996 tanggal 15 Oktober 1996 kepada Tergugat; Bahwa akibat Tergugat tidak mengindahkan peringatan Kepala SDPPK Jakarta Utara, pada tanggal 18 Oktober 1996 Kepala SDPPK Jakarta Utara telah mengeluarkan Surat Penyegelan Nomor 1379/ SP/ U/ 1996 atas seluruh bangunan Tergugat; Bahwa meskipun telah dua kali dikeluarkan SP4, dan terakhir Kepala SDPPK Jakarta Utara mengeluarkan Surat Penyegelan Nomor 1379/ SP/ U/ 1996 atas seluruh bangunan Tergugat, namun Tergugat tetap tidak mengindahkannya, dan bahkan dalam realita sekarang pagar seng tersebut telah berubah menjadi pagar tembok yang melingkari tanah milik Penggugat tersebut.; Bahwa akibat adanya perbuatan melawan hukum dari Tergugat, Penggugat sampai saat ini tidak dapat melakukan pembangunan sebanyak 18 unit rumah tinggal di atas tanah milik Penggugat seluas 2970 m2 yang terletak di daerah tersebut, setempat dikenal Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian, Jl. Taman Gading Indah V Kelurahan Kelapa Gading, Jakarta Utara.; Bahwa untuk pembangunan 18 unit rumah tinggal di atas tanah in cassu, Penggugat telah mengurus perijinan, termasuk design structure, landscape, dan pematangan tanah, dalam hal ini Penggugat telah mengeluarkan biaya ditaksir sejumlah Rp. 1.688.550.000,- (satu milyar enam ratus delapan puluh delapan juta
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
56
lima ratus lima puluh ribu rupiah), diluar bunga Bank, akan tetapi biaya ini pada akhirnya telah menjadi kerugian Penggugat karena lahan tanah tersebut tidak produktif.; Bahwa karena Tergugat masih menguasai lahan tanah Penggugat secara melawan hukum, maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 1246 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, kerugian yang patut dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp. 7.845.050.000,- (tujuh milyar delapan ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), dengan perincian sebagai berikut : Kerugian Materiil 1. Karena tidak bisa menguasai tanah milik Penggugat
Rp. 2.970.000.000,-
2. Keuntungan yang diharapkan dari penjualan 18 unit rumah Tipe 70/112 (lb/lt) dan tanah
Rp. 2.686.500.000,-
3. Biaya IMB, Sertifikat, pematangan tanah, design structure, landscape
Total Kerugian Materil
Rp. 1.688.550.000,-
Rp. 7.345.050.000,-
(tujuh milyar tiga ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah) Kerugian Inmateriil, Karena keuntungan yang diharapkan tidak dapat dinikmati, yang akhirnya menimbulkan keresahan hati yang tidak dapat dinilai dengan uang, namun cukup pantas apabila dinilai dengan uang sebesar
Rp.
500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) Bahwa untuk menghindari gugatan Penggugat tidak bersifat ilusoir dan guna mencegah dialihkannya lahan sengketa serta harta kekayaan Tergugat, maka Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, agar berkenan meletakkan Sita Jaminan terlebih dahulu, terhadap : 1. Tanah sengketa seluas 2.970 M2, terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian, Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang telah Penggugat peroleh Sertifikat HGB Nomor4513 tanggal 26 Februari 1993, dan Surat Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal 29 Februari 1992. 2. Tanah berikut bangunan rumah di Jalan Taman Gading Indah Blok H/4, Jakarta Utara
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
57
Dari kasus tersebut, hakim memutuskan sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 190/ PDT.G/ 2001/ PN.JKT.UT tanggal 17 Oktober 2001 PT. Taman Harapan Indah selaku Penggugat dan Bon Surya Santika sebagai Tergugat Menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas: Sebelah Utara
: Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35
Sebelah Selatan
: Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II;
Sebelah Timur
: Komplek Perumahan PLN Blok B ;
Sebelah Barat
: Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III
2. Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 110/ PDT/ 2002/ PT.DKI tanggal 7 Juni 2002 Bon Surya Santika selaku Pembanding semula Tergugat dan PT. Taman Harapan Indah selaku Terbanding semula Penggugat. Menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/2001/ PN.JKT.UT yang dimintakan banding tersebut.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 390 K/ Pdt/ 2003 tanggal 16 September 2004 Bon Surya Santika selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/ Pembanding dan PT. Taman Harapan Indah selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/ Terbanding dan memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Juni 2002 Nomor 110/ Pdt/ 2002/ PT.DKI. dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT;
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
58
4. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 163 PK/PDT/2005 tanggal 27 Januari 2006 PT. Taman Harapan Indah selaku Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Kaasasi/ Penggugat/ Terbanding dan Bon Surya Santika selaku Termohon
Peninjauan
Kembali
dahulu
Pemohon
Kasasi/
Tergugat/
Pembanding, Peninjauan Kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. Taman Harapan Indah tersebut.
2.3. Analisa Pokok Permasalahan Setelah mempelajari teori mengenai tata cara memperoleh tanah, pendaftaran tanah, pembuktian hak, Hak Guna Bangunan, Bukti Letter C dan kasus posisi yang menjadi pokok permasalahan serta dengan mempertimbangkan putusan pengadilan tingkat pertama sampai dengan Mahkamah Agung merupakan dasar untuk melakukan analisa terhadap sengketa dalam kasus yang diatas oleh penulis. 2.3.1. Analisa yuridis sertifikat dan Bukti Letter C sebagai bukti kepemilikan tanah Pemahaman tentang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah adalah hal terpenting yang harus dimiliki oleh masyarakat saat ini; hal ini mengingat banyaknya sengketa hak atas tanah yang terjadi dewasa ini, dan akan semakin meningkat karena kebutuhan akan tanah meningkat sedangkan luas tanahnya bersifat tetap. Kejadian penyerobotan dan pemalsuan tanda bukti kepemilikan tanah merupakan salah satu jenis sengketa yang muaranya pada pengambilalihan paksa atas kepemilikan tanah orang lain untuk memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut. Kejadian tersebut sebenarnya perbuatan melawan hukum, dan sangat merugikan bagi pertumbuhan pembangunan dan perekonomian di Indonesia, karena tidak adanya kepastian hukum. Dalam konteks inilah penulis ingin membahas mengenai tanda bukti kepemilikan tanah yang sah dan diakui oleh hukum:
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
59
a. Pengertian Tanda Bukti Pengertian alat atau tanda bukti, menurut Andi Hamzah adalah segala apa yang menurut undang – undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu49. Sedangkan menurut Kitab Undang – undang Hukum Perdata, Pasal 1865, istilah pembuktian memiliki pengertian sebagai berikut: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Jadi sangat jelas bahwa yang dapat menjadi suatu alat pembuktian dalam suatu hal dalam hukum dan peradilan adalah suatu peristiwa dan hak, contoh hak yang dimaksud diatas adalah hak atas kepemilikan tanah. John Salindeho memberikan pengertian hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan suatu bidang tanah tertentu yang dimiliki, dimana didalamnya diatur tentang kewenangan dan kewajiban50. Kewenangan disini diartikan sebagai kewenangan untuk mempergunakan tanah bagi kepentingan pribadinya dengan pembatasan tidak merugikan dan mengganggu pihak lain sesuai yang diatur dalam UUPA. Jadi secara ringkas dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanda bukti hak atas tanah adalah segala alat atau tanda apapun yang menurut undang – undang yang resmi dan sah dapat digunakan untuk membuktikan hak seseorang atas tanah yang dimilikinya, sehingga orang tersebut memiliki kewenangan yang luas untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut dengan tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Di Indonesia dasar hukum atau peraturan perundang – undangan yang menjadi rujukan dan mengatur tentang keabsahan hukum terhadap alat atau tanda bukti hak atas tanah, atau secara umum mengatur tentang bidang pertanahan adalah UUPA, beserta peraturan pelaksanaan 49 50
Andi Hamzah, Kamus Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Hal. 34. John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), Hal. 184.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
60
dibawahnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan dibawahnya masih terdapat Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaan lainnya.
b. Sertifikat sebagai Alat Bukti Hak atas Tanah. Mengenai pengertian sertifikat, dalam beberapa literatur kamus memberi arti yang berbeda-beda, sebagai berikut : 1. Kamus Bahasa Inggris yang ditulis E. Pino dan Wittermans : tahun 1953, sertifikat dalam teks aslinya certificate, diartikan sebagai “surat keterangan, surat lulusan, atau ijazah “. 2. Kamus Bahasa Indonesia populer yang ditulis Bambang Marhijanto tahun 1996, dimana sertifikat diartikan sebagai ‘surat keterangan yang menguatkan kedudukan sesuatu (menurut hukum yang sah), surat tanda bukti. Maksudnya, ialah dengan sertifikat itu seseorang dapat membuktikan kedudukannya, posisinya, pembuktian mana dikuatkan oleh apa yang tersurat didalam sertifikat itu. 3. Kamus Hukum yang ditulis oleh J.C.T Simorangkir, dkk tahun 2000 dalam teks aslinya certificate (BLD) dimana sertifikat diartikan sebagai surat tanda bukti, maksudnya ialah dengan sertifikat itu orang dapat membuktikan kedudukannya apakah sebagai pemilik suatu benda dan sebagainya. . Sesuai dengan Pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa : “Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak/ tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.“ Sertifikat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yaitu surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
61
sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Dari Pasal – pasal dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas bidang tanah, maka Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah yang disertai dengan pemberian tanda bukti hak atas bidang tanah, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang diatur dalam UUPA Pasal 19 ayat (2) huruf c. Sertifikat bukan hanya sekedar fasilitas tetapi menjadi hak bagi pemegang hak atas tanah bersangkutan, dan keberadaannya di jamin undang – undang. Sebagai bukti alas hak yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang kuat. Dengan diterbitkannya sertifikat, kepastian hukumnya akan lebih terjamin yang meliputi : 1.
Kepastian hukum tentang subyeknya, maksudnya adalah dengan diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah secara yuridis telah terjamin bahwa orang yang namanya tersurat di dalam sertifikat sebagai pemilik atas tanah tertentu.
2.
Kepastian tentang obyeknya, maksudnya dengan diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah, baik letak, luas maupun batas-batas tanah lebih terjamin karena didalam sertifikat hal-hal yang berkenaan dengan suatu bidang tanah termaksud gambar situasi termuat didalamnya. Ketentuan tersebut bersifat mutlak, kecuali apabila terdapat
sesuatu hal yang mampu membuktikan kondisi yang sebaliknya. Penjaminan perlindungan hukum kepada pemegang sertifikat mendapat perlakuan yang lebih tegas sesuai yang dinyatakan olleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
62
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.” Dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 32 ayat (2) diatas, menjadi sangat jelas bahwa apapun yang tercatat dalam sertifikat hak asalkan memenuhi kriteria yang telah ditentukan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku tersebut, kepastian hukumnya menjadi sangat kuat. Kekuatan hukum tersebut tetap berlaku meskipun Indonesia menganut sistem publikasi negatif yaitu negara tidak menjamin atas kebenaran yang disajikan. Meskipun demikian, tidak menjaminnya negara atas kebenaran data yang disajikan bukan dalam arti sesuai sistem publikasi negatif murni, karena dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, dan Pasal 23, 32 dan 38 dari UUPA sangat jelas disebutkan bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat, serta pendaftaran berbagai peristiwa hukum tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat. Jadi pada dasarnya Indonesia pada satu sisi tetap berpegang pada sistem publikasi negatif, tetapi dalam sisi lain negara tetap memberikan keseimbangan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak lain yang dengan itikad baik menguasai bidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah dengan sertifikat sebagai tanda bukti dimana menurut UUPA berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
c. Bukti Letter C sebagai Alat Bukti Hak atas Tanah. Bukti Letter C dapat digunakan sebagai alat bukti yang dimiliki oleh seseorang, pada saat orang tersebut ingin memperoleh hak atas tanahnya, dan ingin melakukan pendaftaran tanah atas namanya. Dan tidak dapat dilupakan pula bahwa Bukti Letter C juga merupakan syarat yang harus ada untuk pengkonversian tanah milik adat, sebagai bukti hak milik adat. Jadi Bukti Letter C dapat dikatakan sebagai alat bukti tertulis.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
63
Pasal II UUPA, ayat 1, “ Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik yayasan, andar beni, hak atas druwe tanah / hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, larderiyen bezitrercht, altijddurende erfpacht, Hak usaha atas bekas tanah partikulir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini, menjadi Hak Milik tersebut dalam Pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat, sebagai tersebut dalam Pasal 21.” Pengkonversian tanah milik adat dilihat dari sudut alat bukti dapat dipisahkan dua macam bekas tanah milik adat yaitu : 1. Bekas tanah milik adat yang dianggap sudah mempunyai bukti tertulis, girik, kekitir, petuk pajak dan sebagainya. 2. Bekas tanah milik adat yang belum atau tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis.51 Dari penjelasan di atas, maka sangat jelas disebutkan untuk pengkonversian tanah milik adat memerlukan alat bukti, salah satunya petuk pajak atau bisa dikatakan Bukti Letter C. Dalam hal pengkonversian tanah milik adat, Bukti Letter C ini disebut sebagai tanda bukti hak. R. Soeprapto mengemukakan tentang tanda bukti hak milik adat sebagai berikut : Adapun yang dimaksud dengan surat-surat bukti hak menurut Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 ialah : 1. Surat hak tanah yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, ordonantie tersebut dalam S. 873 Nomor 38 dan Peraturan Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta serta Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat (Pasal 2 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962). 51
R. Soeprapto, Op. Cit., Hal. 207.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
64
2. Surat Pajak Hasil Bumi/Verponding Indonesia atau surat pemberian hak dari instansi yang berwenang (Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962).52 Dari penjelasan R. Soeprapto di atas maka semakin jelas bahwa surat pajak
(Girik, Petuk D, Letter C) merupakan tanda bukti hak
terutama bagi hak milik adat. Kemudian R. Soeprapto menjelaskan kembali bahwa: Menurut Permendagri Nomor SK. 26/ DDA/ 1970 (tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hal-hal Indonesia atas tanah). Yang dianggap sebagai tanda bukti hak menurut PMPA Nomor 2 Tahun 1962 Pasal 3a adalah : Untuk daerah-daerah yang sebelum tanggal 24 September 1960 sudah ada Pajak Hasil Bumi (Landrente) atau Verponding Indonesia maka yang dianggap sebagai tanda bukti hak ialah : 1. Surat Pajak hasil Bumi atau Verponding Indonesia. 2. Girik, pipil, kekitir, petuk dan sebagainya hanya dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960. Jika antara tanggal 24 September 1960 sampai dengan tanggal diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 terjadi jual beli, tukar menukar, hibah, maka asli surat-surat akta jual beli, tukar menukar, hibah yang sah yaitu dibuat dihadapan Kepala Desa/adat setempat, atau dibuat menurut hukum adat setempat, harus dilampirkan juga sebagai tanda bukti hak,53 Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas tanah. Dengan penjelasan – penjelasan diatas dapat dinyatakan bahwa girik adalah bukti tertulis untuk melakukan pendaftaran atas tanah bekas hak milik adat berkaitan dengan konversi hak atas tanah tersebut, yang merupakan sejak di keluarkannya UUPA, tanah hak adat dan tanah Barat harus dikonversi atau disesuaikan atau di ubah dari peraturan hukum tanah nasional lama menjadi peraturan yang baru.
52 53
Ibid, Hal. 209 - 201. Ibid, Hal. 210
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
65
Keberadaan Girik yang berkembang di masyarakat yang kemudian dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai tanda bukti hak atas tanah, jika di telusuri dapat diketahui berasal dari pengaruh ketika masih terdapatnya status tanah hak barat dan hak adat sebelum diundangkannya UUPA. Sampai pada tahun 1961, di Indonesia dikenal tiga jenis pungutan pajak yang masing – masing dikenakan sesuai dengan status tanah yang ada. yaitu Verponding Eropa untuk tanah berstatus taah hak barat, Verponding Indonesia untuk tanah berstatus hak adat yang berada di wilayah Gemeente, dan Landrente atau Pajak Bumi untuk tanah dengan status hak adat yang berada di luar wilayah Gemeente. Dalam konteks pungutan pajak ini, yang memiliki kewajiban untuk membayar pungutan pajak tersebut adalah hanya pemilik atau pemegang hak atas tanah tersebut. Jadi meskipun yang menguasai tanah meminta untuk dikenai verponding atau landrente, tetapi kalau tanah yang bersangkutan bukan tanah hak barat atau hak adat, maka tidak akan diberikan. Landrente atau pajak bumi hanya dikenakan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, Sulawesi, Daerah Hulu Sungai Kalimantan, Bima, Dompu dan Anggar, serta Sumbawa. Pengenaan pajak dilakukan dengan menerbitkan surat pengenaan pajak atas nama pemilik tanah. Di kalangan masyarakat surat ini disebut Petuk Pajak, Pipil, Girik dan lainnya. Karena pajak tersebut dikenakan kepada pemilik/ pemegang hak atas tanah, maka sering terjadi kesalahan anggapan oleh sebagian masyarakat, bahwa petuk pajak atau Girik yang sebenarnya hanya merupakan surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, kemudian menjadi tanda bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan, dianggap sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas tanah yang dimilikinya. Anggapan salah tentang Girik atau petuk pajak yang terjadi sebelum tahun 1961, terbawa sampai saat ini, meskipun sejak diundangkan UUPA, klasifikasi tentang hak tanah (hak barat dan hak adat) telah dihapuskan termasuk didalamnya hak – hak yang ada dan
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
66
jenis pungutan pajak juga dilakukan konversi dalam bentuk lain. Tiga jenis pungutan pajak yang sebelumnya dikenakan diganti dengan nama Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) dan diganti lagi menjadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). IPEDA dan PBB tidak berkaitan langsung dengan status tanah, sehingga antara status tanah dan hubungan dengan wajib pajak bukan sebagai faktor penentu penetapan pajaknya. Dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan54 Pasal 4 ayat (1) disebutkan: “Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/ atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas bangunan”. Jadi setiap orang atau badan dapat dikenakan pajak apabila memperoleh manfaat dari bumi/ bangunan, dan bukan hanya mereka yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan penjelasan di atas terdapat penegasan bahwa Bukti letter C, Girik, atau Petuk Pajak atau surat pajak lainnya tidak dapat dijadikan bukti hak atas tanah. Tentang hal tersebut Mahkamah Agung dalam putusannya pada tanggal 10 Februari 1960 melalui Ketetapan Nomor 34 K/ Sip/ 1960 menyatakan bahwa: “surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.” Putusan tersebut menegaskan bahwa Girik atau Petuk Pajak tidak diterima sebagai bukti pemilikan tanah, meskipun telah dikenai pajak. Penegasan lain yang menyatakan bahwa tanda pembayaran pajak bukan menjadi bukti hak atas kepemilikan tanah adalah seperti yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) itu sendiri, yaitu:
54
Indonesia (j), Undang-Undang Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, UU Nomor 12 Tahun 1985, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
67
“Tanda pembayaran/ pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak”. Maka dalam hal pembuktian hak kepemilikan atas tanah, Bukti letter C tidak dapat dijadikan bukti hak atas tanah. Bukti letter C juga tidak kuat dalam melakukan pembuktian dalam kasus sengketa pengadilan, kecuali untuk melakukan penggugatan atas bukti lain yang tidak sah, dimana Bukti letter C masih harus didampingi oleh penguatan alat bukti lain, seperti surat keterangan kepala desa dan atau tentang sejarah kepemilikan tanah tersebut yang benar dan akurat. Karena keberadaan Bukti letter C atau Girik yang banyak mengandung sengketa dan juga pemahaman yang salah dari masyarakat itulah, maka melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/ PJ.6/ 1993, tanggal 27 Maret 1993, yang kemudian dilakukan penegasan ulang melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/ PJ.6/ 1998, tanggal 11 November 1998, dinyatakan bahwa Girik/ Petuk/ Ketitir/ Keterangan Objek Pajak sejak dikeluarkannya surat edaran tersebut dilarang untuk diterbitkan lagi di wilayah Indonesia. 2.3.2. Analisa cara memperoleh Sertifikat dan Bukti Letter C dalam kasus tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sertifikat dan Bukti Letter C merupakan produk hukum yang diperoleh berdasarkan prosedur yang harus dijalani sedemikian rupa agar dihasilkan produk hukum yang tidak cacat hukum. Sertifikat adalah produk hukum setelah UUPA dan Bukti Letter C sebelum UUPA. UUPA sebagai hukum tanah nasional yang mendasarkan pada kesatuan dan kesederhanaan hukum
dan
keinginan
untuk
menghilangkan
dualisme yang
diakibatkan oleh hukum agraria kolonial maka timbullah konversi atas hak – hak tanah baik barat maupun adat. Dilaksanakanlah landreform sebagai upaya penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan sumber – sumber agraria (khususnya tanah) yang ditujukan untuk mencapai keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghasilannya tergantung pada produksi pertanian dan/ atau sumber agraria tersebut. Sumber – sumber agraria yang merupakan sumber penghidupan tersebut
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
68
harus dikelola sedemikian rupa sebagai sarana pemberdayaan masyarakat memberi kemungkinan untuk kegiatan ekonomi skala besar. Namun, dalam kenyataannya banyaknya sengketa hak atas tanah yang terjadi dewasa ini, salah satunya disebabkan oleh adanya tumpang tindih bukti atas satu bidang tanah yang sama. Sebagaimana sudah di bahas penulis mengenai kekuatan pembuktian Sertifikat dan Bukti letter C, maka berdasarkan kasus yang ada, penulis ingin membahas apakah prosedur dalam hal PT. Taman Harapan Indah sudah memperoleh pemindahan hak atas sertifikat Hak Guna Bangunan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan apakah Bon Surya Santika juga sudah melalui proses yang benar dalam hal pemindahan hak sebagaimana diatur dalam perundangan di Indonesia. Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/ Th. 1992, tanggal 29 Februari 1992 atas nama PT. Taman Harapan Indah diperoleh berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Sama Nomor 01/ SPK/ 1982, tanggal 6 Januari 1982 tentang pembangunan perumahan di atas areal tanah seluas kurang lebih 18.227 M2 di daerah Kelapa Gading, Kecamatan Koja, Jakarta Utara antara PT. Taman Harapan Indah dengan Badan Pelaksana Otorita Pluit Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Da. 11/ 23/ 49/ 1972, tanggal 29 Nopember 1972, mengatur tentang ketentuan dan persyaratan pemberian izin penunjukan penggunaan tanah untuk real estate (perumahan) dalam
wilayah
Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta.
Latar
belakang
dikeluarkannya keputusan ini adalah sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan di wilayah DKI Jakarta yang belum terpenuhi, disertai dengan keinginan masyarakat terutama para pengusaha perumahan. Oleh karena itu untuk terlaksananya pembangunan perumahan Real Estate, dengan kewajiban membiayai prasarana untuk kepentingan lingkungan perumahan yang akan di bangunnya, agar pelaksanaan pembangunan dapat
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
69
dilakukan dalam kesatuan rencana yang ditentukan dalam Rencana Induk Jakarta 1965 – 1985.55 Selain pengembang swasta atau pengusaha perumahan atau developer, di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta sudah terdapat badan – badan yang bergerak dalam pengembangan kegiatan wilayah baru dan peremajaan pusat – pusat kegiatan perkotaan. Kepada Otorita tersebut diberikan wewenang pengembangan atas suatu areal tanah yang ditunjuk untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan berpedoman pada Rencana Induk. Adapun salah satu Otorita tersebut adalah Badan Pelaksana Otorita Pluit56 yang bertugas mengembangkan sesuai dengan planologi, mempercepat pembangunan dan mengendalikan pembangunan. Pengusaha swasta selalu mencari tanah kosong dalam menanamkan modalnya, yang tentunya ingin agar segera modalnya dapat kembali, disinilah Badan Pelaksana Otorita Pluit berperan dalam mengendalikan para pengusaha Real Estate, sehingga pengembangan wilayah dapat terlaksana dan menyentuh semua golongan, baik golongan ekonomi kuat maupun golongan ekonomi lemah.57 Perjanjian Kerja Sama dilaksanakan antara Badan Pelaksana Otorita Pluit dengan PT. Taman Harapan Indah tentang Perjanjian Penggunaan Tanah dari pemegang hak pengelolaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 sebagai berikut: (1) Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan, kepada pihak ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak disertai dengan pendirian bangunan di atasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan. (2) Perjanjian termasuk dalam ayat (1) pasal ini memuat antara lain keterangan mengenai: a. Identitas para Pihak yang bersangkutan, b. Letak batas – batas dan luas tanah yang bersangkutan, c. Jenis penggunaannya,
55
Keputuan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Da. 11/23/49/1972, dalam Menimbang, huruf a sampai dengan d. 56 Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 9557/BS/61 tanggal 31 Mei 1961. 57 Dr. B. F. Sihombing, SH, MH, Op. Cit., Hal. 397.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
70
d. Hak atas tanah yang dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga dan jangka waktunya serta kemungkinan untuk memperpanjangnya jangka waktu atau memperbaharui haknya, e. Jenis-jenis bangunan yang akan didirikan di atasnya dan ketentuan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada saat berakhirnya hak atas tanah yang diberikan, f. Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya, g. Syarat-syarat lain yang dipandang perlu Berdasarkan penjelasan – penjelasan tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa cara memperoleh Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/ Th. 1992, tanggal 29 Februari 1992 atas nama PT. Taman Harapan Indah diperoleh berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Sama Nomor 01/ SPK/ 1982, tanggal 6 Januari 1982 tentang pembangunan perumahan di atas areal tanah seluas kurang lebih 18.227 M2 di daerah Kelapa Gading, Kecamatan Koja, Jakarta Utara antara PT. Taman Harapan Indah dengan Badan Pelaksana Otorita Pluit Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sudah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Bukti Kepemilikan atas tanah sengketa oleh Bon Surya Santika adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1996 yang diperoleh berdasarkan Akta Penyerahan Hak dan Kuasa Nomor 119 tertanggal 24 Maret 1981 antara H. Masnadi Badar, BBA dengan Bon Surya Santika di hadapan Notaris J. F.B.T. Sinjal, SH. Bahwa asalnya H. Masnadi Badar, BBA membelinya dari Muhali Bin Songsen pada tahun 1971, dan Muhali Bin Songsen memperolehnya dari PR. Maemunah binti H. Eli pada tahun 1963 berdasarkan Surat Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963. Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi atas nama Pr. Maemunah Binti H. Eli Nomor 335 persil 375 seluas 0.361 Ha. Sebagaimana
sudah
dibahas
pada
bagian
pertama
bagian
pembahasan pokok permasalahan ini, yaitu tanda pembayaran pajak bukan menjadi bukti hak atas kepemilikan tanah adalah seperti yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) itu sendiri, yaitu: “Tanda pembayaran/ pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak”.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
71
Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 antara Pr. Maemunah binti H. Eli sebagai Penjual dan Muhali bin Songsen sebagai Pembeli, yang diketahui Lurah Desa Pulogadung dibawah register Nomor 46/ 63, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 195858 tersebut berlaku pada tanggal 24 Januari 1958 maka sejak itu tanah – tanah partikelir karena hukum telah menjadi tanah Negara, bahwa meskipun menurut Pasal 5 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958, bahwa tanah partikelir oleh Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya diberikan kepada penduduk yang mempunyai usaha atas itu dengan hak milik, namun tidak ternyata adanya bukti bahwa atas tanah yang dikuasai Tergugat tersebut telah ditunjuk oleh Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya Pr. Maemunah binti H. Eli adalah pemiliknya dan tidak ada usaha dari Pr. Maemunah untuk mendaftarkan hak miliknya tersebut. Maka pada dasarnya tanah yang diperjualbelikan adalah tanah negara, karena tidak adanya usaha untuk mengklaim hak atas tanah berdasarkan bukti bukti letter C. Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen sebagai Penjual dan H.Masnadi Badar, BBA sebagai Pembeli masing – masing adalah akta dibawah tangan yang menurut ketentuan pasal 1875 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya membuktikan diantara para pihak dan para ahli warisnya tidak berlaku bagi pihak ketiga. Akta Penyerahan Hak dan Kuasa Nomor 119 tertanggal 24 Maret 1981 antara H. Masnadi Badar, BBA dengan Bon Surya Santika di hadapan Notaris J. F.B.T. Sinjal, SH. tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk dijadikan bukti terjadinya pemindahan hak atas tanah. Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu : “Setiap pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau 58
Indonesia (k), Undang Undang Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, UU Nomor 1 Tahun 1958, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1571
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
72
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : penjabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.” Pejabat yang dimaksud dalam pasal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 1961 tentang penunjukan pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah serta hak dan kewajibannya, yang lengkapnya berbunyi: “Yang dapat diangkat sebagai pejabat adalah : a. Notaris; b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah; c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat; d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria.” Akta yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 tahun 1961 tentang bentuk akta, yaitu : “Akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran-Negara tahun 1961 Nomor 28) harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan mempergunakan pormulir-pormulir (daftar-isian) yang contoh - contohnya terlampir pada Peraturan ini.” Jadi berdasarkan peraturan yang disebutkan di atas, untuk pelaksanaan perjanjian mengenai pertanahan harus dilaksanakan dan dilakukan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dengan menggunakan akta yang ditentukan oleh Menteri Agraria yang di perjelas oleh Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 tahun 1961 tentang bentuk akta, bahwa pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan akta yang dimaksud adalah berbentuk formulir – formulir isian yang sudah baku.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
73
2.3.3. Analisa Putusan Hakim Masing – Masing Peradilan Dalam pokok pembahasan bagian ini, penulis ingin mempelajari yang menjadi pertimbangan hukum hakim Peradilan yang menjadi dasar yuridis dalam rangka memutuskan pokok perkara kasus Perseroan Terbatas Taman Harapan Indah selaku developer dan pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan melawan Bon Surya Santika selaku pemilik Bukti Letter C, untuk memenangkan Perseroan Terbatas Taman Harapan Indah dalam Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tetapi kalah dalam putusan Mahkamah Agung dan ditolak dalam Peninjauan Kembali, pembatalan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berupa sertifikat hak atas tanah yang telah melalui analisis yang berkaitan dengan hukum materiil peraturan perundang-undangan
dibidang pertanahan
dan
dalam
pertimbangan
hukumnya telah menganalisis kajian aspek hukum tanah nasional (hukum materiil) yang menjadi landasan hukum mengatur tentang hak kepemilikan atas tanah. Kepastian hukum harus diterapkan untuk mencapai keadilan dan kebijakan pertanahan dapat dilaksankan secara konsisten. 2.3.3.1. Putusan Pengadilan Negeri Dalam pokok perkara Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 190/ PDT.G/ 2001/ PN.JKT.UT tanggal 17 Oktober 2001 berbunyi sebagai berikut: “Menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas: Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35 Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II; Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ; Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III” Penggugat dalam hal ini adalah PT. Taman Harapan Indah dan Tergugat adalah Bon Surya Santika. Adapun pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Negeri tersebut adalah: Menimbang, bahwa Pengugat pada pokoknya mengajukan gugatan agar tanah Hak Guna Bangunan Milik Pengugat luas 2970
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
74
m2, yang terletak dan didaerah setempat dikenal dengan Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian, Jalan Taman Gading Indah V Kelurahan Kelap Gading, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sertifikat HGB Nomor 4513 tanggal 26 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Februari 1992 dengan batas – batas: Utara
: Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35
Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II; Timur
: Komplek Perumahan PLN Blok B ;
Barat
: Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III yang telah dikuasai oleh Tergugat secara melawan hukum
sehingga Pengugat tidak dapat mengerjakan pembangunannya, dikembalikan kepada Pengugat dan Tergugat dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp. 7.345.050.000,- dan Immaterial sebesar Rp. 50.000.000,-; Menimbang, bahwa karena gugatan Penggugat telah dibantah Tergugat, maka pembuktian dibebankan kepada Pengugat ; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993, Surat Ukur Nomor 20 tahun 1992 tanggal 29 Februari 1992 ternyata bahwa benar Penggugat adalah pemilik tanah Hak Guna Bangunan Nomor 4513/Desa Kelapa Gading Timur, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D, dan Blok H sebagian, seluar 2970 m2; Menimbang, bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 11 Desember 1985 Nomor 08644/ IMB/ 1985 tentang ijin untuk mendirikan bangunan, terbukti Pengugat telah mendapat ijin untuk mendirikan bangunan diatas tanahnya yang terletak di Kelapa Gading Blok A Nomor1 sampai dengan 12 A & 14 sampai dengan 16, Koja, Jakarta Utara tersebut; Menimbang, bahwa Pengugat mendalilkan pula bahwa pelaksanaan pembangunan rumah tinggal ditempat tersebut tidak
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
75
dapat dilaksanakan karena sebagian dari tanah Penggugat tersebut telah dikuasai secara melawan hukum oleh Tergugat; Menimbang, bahwa dari bukti Sertifikat
Hak Guna
Bangunan Nomor 4513/Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993, Surat Ukur Nomor 20 tahun 1992 tanggal 29 Februari 1992, ternyata tanah Hak Guna Bangunan milik Penggugat berasal dari Tanah Negara bekas Eigendom Nomor 6871 Girik 335 persil 375 dan bekas Hak Guna Bangunan Nomor 3195/ Kelapa Gading Timur sebagian; Menimbang, bahwa ternyata tanah yang dikuasai Tergugat Letter C 335 persil 375 yang berasal dari Pr. Maemunah binti H. Eli adalah tanah yang berada diatas tanah Hak Guna Bangunan milik Penggugat karena berasal dari Nomor Girik dan persil yang sama; Menimbang
bahwa
Tergugat
mendalilkan
bahwa
ia
memperoleh tanah tersebut dari H. Masnadi Badar, BBA selaku penjual dan Tergugat selaku pembeli berdasarkan akta yang dibuat di hadapan Notaris J. F. B. T. Sinjal, SH., Badar,
BBA
membelinya
dari
Muhali
sedangkan H.Masnadi bin
Songsen
yang
memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan Surat Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963. Bahwa Pr. Maemunah binti H.Eli tercatat dalam buku C Kelurahan Kelapa Gading sebagai pemilik pertama atas tanah setempat di kenal Kampung Pulogadung dahulu Desa Pulogadung sekarang Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara dengan batas – batas: Sebelah Utara
: Sawah Lihan;
Sebelah Selatan
: Sawah Syamsudin;
Sebelah Timur
: Sawah Piih;
Sebelah Barat
: Sawah Jamhari;
Sedangkan Tergugat sudah lama menguasai tanah miliknya yang dipagar dengan pondasi beton sejak tahun 1981, maka Tergugat menguasai tanah tersebut sah secara hukum sehingga tidak masuk
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
76
akal sehat Tergugat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum; Menimbang, bahwa bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 antara Pr. Maemunah binti H. Eli sebagai Penjual dan Muhali bin Songsen sebagai Pembeli, yang diketahui Lurah Desa Pulogadung dibawah register Nomor 46/ 63, dan bukti Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen sebagai Penjual dan H.Masnadi Badar, BBA sebagai Pembeli masing – masing adalah akta dibawah tangan yang menurut ketentuan pasal 1875 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya membuktikan diantara para pihak dan para ahli warisnya tidak berlaku bagi pihak ketiga; Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak ketiga, maka bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 dan Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 tidaklah mengikat Penggugat, sehingga dengan sendirinya tidaklah dapat membuktikan kepada Penggugat, bahwa benar tanah yang sekarang dikuasai Tergugat adalah tanah yang diperoleh H. Masnadi Badar, BBA dari jual beli dengan Muhali bin Songsen, dan Muhali bin Songsen memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963; Menimbang, bahwa dari bukti Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 ternyata bahwa tanah yang dikuasai oleh Penggugat adalah tanah yang berasal dari tanah Partikelir yang menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir Lembaran Negara 1958 Nomor 2 Pasal 3 ayat 2 menyebutkan; Sejak mulai berlakunya Undang – undang ini demi kepentingan umum hak – hak pemilik beserta hak – hak pertuanannya hapus dan tanah – tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya menjadi tanah negara; Menimbang, bahwa karena Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958 tersebut berlaku pada tanggal 24 Januari 1958 maka
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
77
sejak itu tanah – tanah partikelir karena hukum telah menjadi tanah negara; Menimbang, bahwa meskipun menurut Pasal 5 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958, bahwa tanah partikelir oleh Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya diberikan kepada penduduk yang mempunyai usaha atas itu dengan hak milik, namun dari bukti – bukti Tergugat tidak ternyata adanya bukti bahwa atas tanah yang dikuasai Tergugat tersebut telah ditunjuk oleh Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuknya Pr. Maemunah binti H. Eli adalah pemiliknya; Menimbang, bahwa dengan demikian meskipun dari Bukti T4 ternyata H. Masnadi Badar, BBA telah menyerahkan tanah yang berasal dari Pr. Maemunah binti H. Eli kepada Tergugat, maka peralihan hak atas tanah tersebut tidak mempunyai akibat hukum beralihnya tanah tersebut kepada Tergugat; Menimbang,
bahwa
karena
Tergugat
tidak
dapat
membuktikan tanah tersebut adalah miliknya sebagai didalilkannya, sedangkan bukti Surat Ketetapan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan, bukan bukti pemilikan, maka Tergugat tidak dapat membuktikan dalil – dalil bantahannya bahwa tanah yang dikuasainya adalah tanah yang berasal dari H. Masnadi Badar, BBA yang membelinya dari Muhali bin Songsen, dan Muhali bin Songsen memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli dengan Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963; Pertimbangan – pertimbangan hukum yang diambil dalam mengambil keputusan sudah tepat,
benar dan sesuai dengan
peraturan hukum dan perundang – undangan yang berlaku, Bukti Letter C tidak dapat dijadikan bukti hak atas tanah, dan berdasarkan penjelasan diatas juga cukup diragukan cara memperoleh Bukti Letter C tersebut oleh Bon Surya Santika.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
78
2.3.3.2. Putusan Pengadilan Tinggi Dalam Pokok Perkara Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 110/ PDT/ 2002/ PT.DKI tanggal 7 Juni 2002 adalah sebagai berikut: “Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT yang dimintakan banding tersebut” Adapun pertimbangan hukum yang diambil oleh Pengadilan Tinggi adalah menimbang, bahwa memperhatikan dan mempelajari secara cermat dan seksama putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat, bahwa putusan Hakim pertama telah berdasarkan alasan – alasan dan pertimbangan – pertimbangan yang tepat dan benar menurut hukum sehingga diambil alih oleh Pengadilan Tinggi untuk dijadikan sebagai pertimbangan sendiri oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT yang dimohonkan banding tersebut dikuatkan. Oleh karena Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa alasan – alasan dan pertibangan – pertimbangan dalam putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar menurut hukum maka Pengadilan Tinggi memutuskan untuk menguatkan Keputusan Pengadilan Negeri
Jakarta
Utara
tanggal
17
Oktober
2001
Nomor
190/Pdt.G/2001/ PN.JKT.UT yang berbunyi : “Menyatakan Penggugat adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur Nomor 20/ 1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas: Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35 Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II; Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ; Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III”
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
79
2.3.3.3. Putusan Mahkamah Agung Dalam Pokok Perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 390 K/ Pdt/ 2003 adalah sebagai berikut: “Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Juni 2002 Nomor 110/ Pdt/ 2002/ PT.DKI. dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT” Adapun pertimbangan hukum yang diambil oleh Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: 1. Bahwa putusan judex factie bertentangan dengan hukum yang berlaku, hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan hukum alinea 18 alinea 2 putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang menyatakan: “Menimbang, bahwa dari bukti Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading Timur, tanggal 15 Februari 1993 dan Surat Ukur Nomor 20/ Th. 1992, tanggal 29 Februari 1992 dan bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 yang diketahui oleh Lurah Desa Pulogadung dibawah Register Nomor 46/ 63 antara Pr. Maemunah binti H. Eli (Penjual) dan Muhali bin Songsen (Pembeli), Surat Jual Beli Mutlak atas Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen (Penjual) dan H. Masnadi Badar, BBA (Pembeli), Akta Penyerahan Hak dan Kuasa Nomor 119 tertanggal 24 Maret 1981 antara H. Masnadi Badar, BBA dengan Bon Surya Santika, Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi atas nama Pr. Maemunah binti H. Eli Nomor 335 persil 375 seluas 0.361 Ha, serta Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1996 atas nama Bon Surya Santika, ternyata tanah yang dikuasai Tergugat Letter C 335, persil 375 yang berasal dari Pr. Maemunah binti H. Eli adalah tanah yang berada diatas tanah Hak Guna Bangunan milik Penggugat karena berasal dari nomor girik dan persil yang sama”; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, sangat jelas
Majelis
Hakim
tingkat
pertama
telah
memberikan
pertimbangan hukum yang memihak kepada Penggugat atau tidak objektif, karena pada dasarnya judex factie dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa ternyata tanah yang dikuasai Pemohon Kasasi Letter C 335, persil 375 yang berasal dari Pr.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
80
Maemunah binti H. Eli adalah tanah yang berada diatas tanah Hak Guna Bangunan milik Termohon Kasasi, sedangkan pihak Termohon Kasasi tidak ada hubungan hukum apapun dengan Pr. Maemunah binti H. Eli. Hak Guna Bangunan milik Termohon Kasasi dari Surat Perjanjian Kerjasama tanggal 6 Januari 1982 dan tukar menukar tanah antara PT. Badan Pengelolaan Lingkungan
Pluit
dengan
Perkumpulan
Sekolah
Kristen
tertanggal 29 Agustus 1975, sedangkan Pemohon Kasasi sangat jelas ada hubungan hukum dengan Pr. Maemunah binti H. Eli, karena asal tanah yang dibeli oleh Pemohon Kasasi berasal dari H. Masnadi Badar, BBA., selaku penjual dan Pemohon Kasasi selaku pembeli berdasarkan Akta yang dibuat dihadapan J. F. B. T.Sinjai, SH, Notaris di Jakarta, sedangkan H. Masnadi Badar, BBA membeli dari Muhali bin Songsen, yang mana Muhali bin Songsen membeli dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan Akta Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963, yang mana dalam Bukti Letter C Kelurahan Kelapa Gading, tanah objek sengketa a quo tercatat atas nama Pr. Maemunah binti H. Eli sebagai pemilik Pertama. Pertimbangan hukum hakim kurang tepat, hakim melihat berdasarkan hubungan hubungan hukum, jika dilihat berdasarkan hubungan hukum mengenai jual beli tanah atau pemindahan hak atas tanah, berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu : “Setiap pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut : pejabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.” Akta yang dimaksud dalam pasal pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 diatur dalam pasal 1 Peraturan
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
81
Menteri
Agraria Nomor 11 tahun 1961 tentang bentuk akta,
yaitu: “Akta-akta yang dimaksudkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran-Negara tahun 1961 Nomor 28) harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan mempergunakan pormulirpormulir (daftar-isian) yang contoh - contohnya terlampir pada Peraturan ini.” Jadi berdasarkan peraturan yang disebutkan di atas, untuk pelaksanaan perjanjian mengenai pertanahan harus dilaksanakan dan dilakukan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dengan menggunakan akta yang ditentukan oleh Menteri Agraria yang diperjelas oleh Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 tahun 1961 tentang bentuk akta, bahwa pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan akta yang dimaksud adalah berbentuk formulir – formulir isian yang sudah baku. Sehingga Akta yang dibuat dihadapan J.F.B.T.Sinjai,SH, Notaris di Jakarta oleh Bon Surya Santika selaku pembeli dan H. Masnadi Badar, BBA., selaku penjual tidaklah tepat, karena Notaris tidak dapat membuat akta pemindahan hak atas tanah, tetapi dapat membuat Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dapat digunakan untuk Perjanjian awal sebelum dilaksanakannya Pembuatan Akta Jual Beli. Perjanjian Jual Beli harus diikuti dengan Pemberian Kuasa Mutlak bagi Pembeli agar Pembeli dapat melakukan pengurusan untuk pendaftaran tanahnya. Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan proses untuk melakukan Jual Beli, dengan demikian tidak tunduk pada ketentuan – ketentuan atau peraturan – peraturan mengenai Jual Beli menurut Hukum Tanah Nasional, dalam hal ini, Pengikatan Jual Beli hanyalah untuk mengikat suatu prestasi yang terlaksana di kemudian hari, sehingga akibat hukumnya hanyalah janji untuk melakukan sesuatu di masa datang, dengan demikian jual beli tersebut bukan merupakan jual beli yang sah menurut Hukum
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
82
Tanah Nasional. Sehingga hubungan hukum yang dijadikan dasar pertimbangan hakim menjadi tidak sah.
2. Bahwa, Pengadilan tingkat banding tidak menerapkan hukum atau salah dalam menerapkan hukum, yang mana telah menguatkan atau mengambil alih pertimbangan – pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama, hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan hukumnya halaman 18 dan 19 alinea 4 dan 5 putusan Pengadilan Tingkat Pertama sebagai berikut: “Menimbang, bahwa bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 antara Pr. Maemunah binti H. Eli sebagai Penjual dan Muhali bin Songsen sebagai Pembeli, yang diketahui Lurah Desa Pulogadung dibawah register Nomor 46/ 63, dan bukti Surat Jual Beli Mutlak Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen sebagai Penjual dan H. Masnadi Badar, BBA sebagai Pembeli masing – masing adalah akta dibawah tangan yang menurut ketentuan pasal 1875 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata hanya membuktikan diantara para pihak dan para ahli warisnya tidak berlaku bagi pihak ketiga; Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak ketiga, maka bukti Surat Jual Beli Mutlak tertanggal 16 Februari 1963 yang diketahui oleh Lurah Desa Pulogadung dibawah Register Nomor 46/ 63 antara Pr. Maemunah Binti H. Eli (Penjual) dan Muhali bin Songsen (Pembeli) dan Surat Jual Beli Mutlak atas Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen ( Penjual ) dan H.Masnadi Badar, BBA (Pembeli) tidaklah mengikat Penggugat, sehingga dengan sendirinya tidaklah dapat membuktikan kepada Penggugat, bahwa benar tanah yang sekarang dikuasai Tergugat adalah tanah yang diperoleh H. Masnadi Badar, BBA dari jual beli dengan Muhali bin Songsen, dan Muhali bin Songsen memperolehnya dari Pr. Maemunah binti H. Eli berdasarkan Jual Beli Mutlak tanggal 16 Februari 1963”; Bahwa pertimbangan hukum judex factie tersebut diatas, sangat jelas tidak menerapkan hukum atau keliru dalam menerapkan hukum karena judex factie menafsirkan Pasal 1875 Kitab Undang Undang Hukum Perdata hanya sebagian yang menguntungkan pihak Termohon Kasasi, diantaranya hanya dikutip kata – kata “ .............. Akta dibawah tangan hanya berlaku bagi para pihak dan para ahli warisnya” dan telah judex factie
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
83
telah menghilangkan kata – kata “dan orang – orang yang mendapat hak dari pada mereka”. Untuk jelasnya berikut ini Pemohon Kasasi kutip isi Pasal 1875 Kitab Undang Undang Hukum Perdata sebagai berikut: “Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap tulisan itu hendak dipakai atau dengan cara menurut undang – undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang – orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang – orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu” Dengan demikian sudah sangat jelas dengan adanya kata – kata “dan orang – orang yang mendapat hak dari pada mereka berati berlaku bagi pihak ketiga”, sehingga kekeliruan atau kekhilafan judex factie sudah terbukti dengan jelas; Hakim melupakan bahwa perjanjian dibawah tangan adalah tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si penandatangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya. Dalam hal ini, para pihak yang melakukan penandatanganan dalam akta di bawah tangan tersebut tidak hadir ataupun tidak memberikan surat pernyataan mengakui kebenaran tanda tangan mereka, sehingga pembuktian atas Surat Jual Beli Mutlak atas Tanah Sawah tertanggal 24 Februari 1971 antara Muhali bin Songsen ( Penjual ) dan H.Masnadi Badar, BBA (Pembeli) tidak dapat dijadikan dasar pihak ketiga yang mendapat hak dari pada mereka untuk menagih hak tersebut.
3. Bahwa, putusan tingkat banding bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, yang mana telah menguatkan putusan tingkat pertama; Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan hukum tingkat pertama halaman 19 alinea 1, 2 dan 6 (mohon dianggap telah diurai selengkapnya), menyatakan sesuai dengan Undang –
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
84
Undang nomor 1 tahun 1958 nomor 2 Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan: ”Sejak mulai berlakunya undang – undang ini demi kepentingan umum, hak – hak pemilik beserta hak – hak pertuanannya hapus dan tanah – tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya menjadi tanah negara”; Bahwa, pertimbangan hukum judex factie tersebut sangat bertentangan atau kontradiktif dalam pertimbangan hukumnya sendiri, halaman 19 alinea 6 putusan tingkat pertama dinyatakan bahwa tanah objek sengketa a quo milik Termohon Kasasi berdasarkan bukti Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi atas nama Pr. Maemunah Binti H. Eli Nomor 335 persil 375 seluas 0.361 Ha,
sedangkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, tanah objek sengketa a quo dinyatakan atau menjadi milik negara berdasarkan undang – undang nomor 1 tahun 1958; Menimbang, bahwa terlepas dari alasan – alasan kasasi yang diajukan Pemohon kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Judex Factie telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa situasi tahun 1963, undang – undang nomor 5 tahun 1960 belum sepenuhnya secara riil dilaksanakan, apalagi bagi rakyat. Bagi masyarakat setiap nama yang tercantum dalam Letter C dianggap sebagai pemilik. Kelalaian Pemerintah tidak membuat Penetapan tidak dapat merugikan Pr. Maemunah binti H. Eli yang menguasai tanah, karena telah dijamin oleh hukum. Penetapan Pemerintah hanyalah formalitas belaka; Bahwa seluruh proses jual beli telah terjadi sebelum Penggugat mengikat perjanjian “menguasai” tanah tersebut. Justru Penggugat yang melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu berusaha menguasai tanah yang telah menjadi milik orang lain;
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
85
Dalam pertimbangan hukum hakim bagian : “Bahwa situasi tahun 1963, undang – undang nomor 5 tahun 1960 belum sepenuhnya secara riil dilaksanakan, apalagi bagi rakyat. Bagi masyarakat setiap nama yang tercantum dalam Letter C dianggap sebagai pemilik. Kelalaian Pemerintah tidak membuat Penetapan tidak dapat merugikan Pr. Maemunah binti H. Eli yang menguasai tanah, karena telah dijamin oleh hukum. Penetapan Pemerintah hanyalah formalitas belaka;” Dapat kita lihat bahwa hakim tidak berdasarkan hukum yang diterapkan pemerintah melainkan menafsirkan kondisi riil sosiologis pada tahun tersebut yaitu tahun 1963. Hal ini sangat bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1960 Nomor 34K/ Sip/ 1960 bahwa: “surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan.” Dapat kita lihat bahwa hakim pada tahun 2003 melihat kondisi tahun 1963 bahwa undang – undang nomor 5 tahun 1960 belum dapat sepenuhnya secara riil dilaksanakan, apalagi bagi masyarakat, karena bagi masyarakat setiap nama yang tercantum dalam Letter C dianggap sebagai pemilik. Sedangkan hakim pada tahun 1960 yang pada saat itu ada pada masa yang dianggap tidak sepenuhnya secara riil dapae dilaksanakan sudah memutuskan bahwa surat petuk pajak bukanlah suatu bukti mutlak siapa pemilik tanah tersebut tetapi hanya merupakan tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan. Putusan Hakim Mahkamah Agung juga tidak memberi kejelasan dalam akibat hukum dari masing – masing pihak yang bersengketa dimana Hakim menyatakan Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 7 Juni 2002 Nomor 110/ Pdt/ 2002/ PT.DKI. dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 17 Oktober 2001 Nomor 190/ Pdt.G/ 2001/ PN.JKT.UT, dimana Putusan kedua pengadilan tersebut adalah menyatakan
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
86
Penggugat atau PT. Taman Harapan Indah adalah pemilik tanah seluas 2970 m2, yang terletak di Jalan Taman Gading Indah V Blok A, Blok D dan Blok H sebagian, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 4513/ Desa Kelapa Gading dan Surat Ukur Nomor 20/1992 tanggal 29 Januari 1992, dengan batas – batas: Sebelah Utara : Perumahan Kelapa Gading Blok KH.35 Sebelah Selatan : Taman Gading Indah Blok B, Jalan Kelapa Puyuh II; Sebelah Timur : Komplek Perumahan PLN Blok B ; Sebelah Barat : Perumahan Kelapa Gading, Jalan Kelapa Puyuh III” Jika putusan hakim Mahkamah Agung adalah dibatalkan maka yang dibatalkan adalah PT. Taman Harapan Indah sebagai pemilik tanah sengketa tersebut tetapi tidak menghapus kepemilikan sertifikat dari yang bersangkutan. Sehingga sampai saat ini Sertifikat dan Bukti Letter C masih berlaku dan tidak dapat menjadi dasar pendaftaran tanah bagi pemegang Bukti Letter C. Sehingga tanah sengketa sampai saat ini masih dalam keadaan terlantar dan tidak dapat di bangun oleh salah satu pihak yang bersengketa.
2.3.3.4. Putusan Peninjauan Kembali Dalam Pokok Peninjauan Kembali Nomor 163 PK/PDT/2005 tanggal 27 Januari 2006 adalah sebagai berikut: “Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. Taman Harapan Indah tersebut;” Dengan pertimbangan bahwa alasan – alasan Kasasi yang berupa kekeliruan yang nyata hanyalah perbedaan penafsiran antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Termohon Peninjauan Kembali tersebut; dimana Pemohon Peninjauan Kembali adalah PT. Taman Harapan Indah dengan termohon Peninjauan Kembali adalah Bon Surya Santika. Ketika salah satu pihak yang bersengketa
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.
87
memohon peninjauan kembali adalah karena menganggap bahwa ada kesalahan putusan oleh hakim dan kasus ini menjadi semakin menggantung karena tidak adanya kejelasan dari status hukum dalam putusan – putasan Mahkamah Agung tersebut.
Universitas Indonesia
Kekuatan pembuktian..., Dessy Nofita, FH UI, 2011.