25
BAB II PENGATURAN DAN PROSES PEMBERIAN JAMINAN HUTANG DENGAN HAK TANGGUNGAN ATAS HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN A. Ruang Lingkup Rumah Susun dan Satuan Rumah Susun 1.
Sejarah Perkembangan Rumah Susun Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin
seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu usaha untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Adapun salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. 40 Pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam strategi pengembangan wilayah yang menyangkut aspek-aspek yang luas dibidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka memperkuat Ketahanan Nasional. Hal tersebut dikarenakan perumahan adalah masalah nasional yang bersinggungan langsung dengan seluruh wilayah tanah air terutama wilayah perkotaan yang berkembang pesat. 41
40
Herman Hermit, Komentar atas Undang-undang Rumah Susun (UU No. 16 Tahun 1985) Dalam Perspektif Isu-isu Strategis Periode 2007-2011, Cetakan ke-I, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 4. 41 Ibid.
25
Universitas Sumatera Utara
26
Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bagian menimbang point c, bahwa: “Pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Pemerintah dalam melakukan berbagai upaya guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan, terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan tersedianya tanah sangat terbatas tersebut,
kemudian dapat melaksanakan
pembangunan perumahan dengan menggunakan sistem rumah susun yang merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan permukiman karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang terbuka dalam perkotaan dan mengurangin daerah kumuh. Sistem pembangunan rumah susun dapat dikatakan bukan merupakan sesuatu yang baru lahir, hal ini dikarenakan pembangunan rumah susun sudah ada bahkan sejak ribuan tahun sebelum masehi, terutama pada masa-masa dimana telah mulai dikenal adanya hak milik pribadi, hak milik bersama dan pada saat masyarakat mulai mengenal perpaduan antara kedua hak milik tersebut.42 Suatu bukti bahwa sistem rumah susun sudah dikenal sejak dahulu yaitu terlihat pada bangsa Dravida yang berwilayah di daerah dataran tinggi Dekhan dan 42
A. Ridwan Halim, Hukum Kondominium dalam Tanya Jawab, Cetakan ke-1, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
27
sekitarnya. Bangsa Dravida sudah menerapkan sistem rumah susun tersebut, yaitu mereka membangun dua buah kota yakni Mohenjo daro dan Harapa dilembah sungai Lindus, jauh sebelum masuknya bangsa Aria yang mengembara dari asal mereka di Persia dan datang ke Hindustan pada sekitar tahun 1500 sebelum masehi ke daerah Dekhan tersebut. 43 Berbagai reruntuhan kota serta fosil-fosil yang kemudian diketemukan membuat para ahli sejarah dan budayawan berpendapat bahwa bangsa Dravida ini sudah memiliki tingkat peradaban hidup yang tinggi pada zamannya dan kebudayaan mereka juga sudah sangat maju pada saat itu. Prasasti-prasasti yang bertuliskan piktograf juga memperlihatkan bahwa salah satu cabang kebudayaan mereka yang paling pesat pada saat itu adalah kebudayaan dalam hal pembangunan.44 Kota Mohenjo Daro dan Harapa merupakan suatu bukti konkrit yang memperkuat kesimpulan mengenai eksistensi rumah susun. Kedua kota ini benarbenar dibangun sebagai kota-kota yang baik dengan sistem pembangunan yang teratur yakni adanya jalan yang lurus, pemukiman yang tertata dengan baik, bahkan dilengkapi dengan tempat hiburan dan pemandian umum yang dibangun dengan sangat indah di taman Mohenjo Daro. Adapun salah satu wujud tertatanya sistem permukiman itu adalah terdapat pembangunan gedung-gedung bertingkat yang
43 44
Ibid, hal. 183. Ibid, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
28
menjadi tempat tinggal, meskipun jumlah tingkat bangunan pada gedung tersebut masih sedikit dan sangat sederhana.45 Penemuan arsitektur yang menggambarkan munculnya pembangunan dengan sistem rumah susun kemudian di jumpai di Romawi Timur, yaitu mulai zaman kejayaan Bizantium sampai dengan jatuhnya Kota Istanbul ke tangan Bangsa Turki pada tahun 1453. Bangsa Turki sendiri dalam sejarah kebudayaannya ternyata banyak juga meresepsi pola-pola kebudayaan yang universal dari Negara Romawi yang berhasil ditundukannya itu, yaitu antara lain dalam hal kebudayaan mendirikan bangunan.46 Sejarah juga kemudian membuktikan bahwa Hukum Rumah Susun terusmenerus berkembang seiring dengan majunya pembangunan gedung-gedung bertingkat pada kelima benua di dunia, terutama Eropa dan Amerika yang sudah mengalaminya sejak awal dan lebih dahulu dari pada ketiga benua lainnya yang baru kemudian menyusul pula, dan secara implisit termasuk Negara kita yaitu Indonesia.47 Pertumbuhan dan perkembangan rumah susun yang terjadi diberbagai Negara tersebut pada dasarnya dikarenakan melihat bahwa terbatasnya ketersediaan tanah sebagai tempat mendirikan bangunan, sementara jumlah manusia yang mendiami dan mempergunakan tanah tersebut semakin bertambah. Adapun dalam kata lain bahwa terbatasnya benda pemenuh kebutuhan hidup manusia dibandingkan dengan jumlah kebutuhan yang terus berkembang. 45
Ibid. Ibid, hal. 184. 47 Ibid, hal. 186. 46
Universitas Sumatera Utara
29
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menanggulanginya maka harus dengan cara dan metode tertentu. Seperti di Negara Australia misalnya, disamping dikenal cara pembagian tanah secara vertikal, di Negara tersebut juga menggunakan cara lain untuk membagi tanah yaitu secara horizontal. Adapun Undang-undang Anglo-Australia membagi secara horizontal yang mana ruang udara diatas tanah yang sebenarnya dibagi menjadi strata-horizontal, yaitu tingkat keatas dari suatu bangunan dan ruang udara didalamnya dapat dipisahkan dari tanah dimana bangunan itu berdiri dan dianggap sebagai real property.48 Perkembangan mengenai pembangunan rumah susun juga terlihat di Inggris yaitu lahirnya istilah strata title dalam Undang-undang Inggris yang ada sejak pertengahan pertama abad ke-17.49 Adapun berdasarkan hal tersebut dan dengan berbagai perkembangan yang terjadi, akan semakin terlihat adanya eksistensi rumah susun ditengah-tengah kehidupan dan dengan mengenal pembangunan dengan sistem rumah susun tersebut berbagai manfaat kemudian dapat diambil baik bagi individu maupun kelompok masyarakat diberbagai Negara. 2.
Undang-Undang Tentang Rumah Susun Perkotaan adalah merupakan daerah dimana tingkat kebutuhan akan adanya
ruang, sangatlah tinggi. Konsep ruang yang ada, baik hunian ataupun komersial secara tata pertanahan yang ada dimasyarakat dirasakan kurang efisien, dan akibatnya kota dengan luas tanah yang terbatas tidak dapat menanggulangi hal tersebut. Sebagai 48 49
Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, Op. Cit, hal. 6. Ibid, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
30
tindakan untuk menjawab kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan adanya aturan yang jelas untuk merangsang pembangunan rumah susun dengan segera, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan hunian khususnya didaerah perkotaan. Suatu ketentuan dan aturan tentang rumah susun tidaklah muncul secara tibatiba. Hal tersebut selain diperoleh melalui proses pemikiran yang panjang dan mendalam, juga merupakan suatu perkembangan idealisme yang terdapat dan diperoleh dari berbagai peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya sebagai pelopor berbagai ketentuan yang akan dibentuk kemudian. Pada awalnya, hal yang menjadi latar belakangnya adalah timbul dari suatu kebutuhan untuk mengakomodir pemilikan atas tanah bersama. Adapun dengan adanya kebutuhan itu, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang ada di atasnya serta Penerbitan Sertipikatnya.50 Peraturan tersebut memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam beberapa buku tanah sesuai dengan jumlah pemegang hak atas tanah bersama, yang artinya bahwa pada masing-masing pemegang hak atas tanah bersama dapat diberikan sertifikat hak atas tanah bersama. Adapun jika diatas
50
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cetakan ke-1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 154.
Universitas Sumatera Utara
31
tanah bersama tersebut terdapat bangunan, maka pada tiap pemilik bagian bangunan tersebut juga dapat memperoleh sertipikat hak atas tanah bersama.51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 kemudian direvisi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977, yang memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam satu buku tanah, dan buku tanah ini lalu dapat dibuatkan beberapa salinannya untuk dilampirkan pada sertipikat hak atas tanah bersama, untuk diberikan kepada para pemegang hak atas tanah bersama.52 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 selanjutnya mengalami revisi kembali dan menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983, yang memuat ketentuan tentang: a) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah bagi pemilikan tanah bersama; b) Salinan Izin Mendirikan Bangungan (IMB) bagi pembangunan rumah susun; c) Bangunan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah bersama; d) Bangunan telah selesai dibangun; e) Defenisi bangunan bertingkat; f) Salinan gambar denah bagian-bagian bangunan; g) Salinan gambar denah tiap pemegang hak atas tanah bersama; dan h) Pernyataan tertulis mengenai besarnya bagian tiap pemegang hak atas tanah bersama. 51 52
Ibid, hal. 154. Ibid, hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
32
Adapun setelah perubahan tersebut diatas, kemudian pada akhirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 direvisi substansinya dan ditingkatkan bentuk produk perundangannya dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, yang mana merupakan suatu landasan awal yang dijadikan dasar pembangunan perumahan dengan sistem rumah susun.53 Pada saat sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun atau kemudian disebut juga dengan UURS yang pertama ini, di Indonesia belum terdapat suatu produk hukum tertentu yang mengatur dan menaungi mengenai pengaturan rumah susun dan kepemilikan atas satuan rumah susun. Hal tersebut juga terlihat pada Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang lahir 25 tahun sebelum lahirnya UURS yang pertama ini, yang mana belum juga memperlihatkan isyarat akan adanya konsep pemilikan atas satuan rumah susun maupun hak bersama atas tanah dan bagian ataupun benda yang melekat pada bangunan gedung rumah susun tersebut.54 Pengaturan mengenai UURS yang pertama ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1985, yang mana memantapkan mengenai tata aturan hukum terhadap halhal yang berkaitan dengan rumah susun. Adapun sebagai pendukung dan tindak lanjut mengenai pokok-pokok pikiran yang terdapat didalam Undang-undang tersebut,
53 54
Ibid. Herman Hermit, Op Cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
33
kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 atau yang kemudian disebut dengan PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.55 Latar belakang ataupun alasan dikeluarkannya UURS yang pertama ini apabila kita lihat didalam bagian penjelasan Undang-undang tersebut adalah untuk menjamin dan mengusahakan rakyat banyak agar dapat memiliki tempat tinggal, yang dalam hal ini berupa rumah susun. Hal ini berarti disamping dari segi semakin sedikitnya ketersediaan tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah secara horizontal, tetapi juga dari segi aspek ekonomi dalam arti kebutuhan akan adanya tempat tinggal juga merupakan latar belakang pemikiran yang penting bagi dikeluarkannya UURS ini. Kebutuhan akan rumah susun pada awalnya dipergunakan untuk tempat hunian dan tempat tinggal, yang mana hal tersebut pada saat ini seiring dengan perkembangan jaman, maka kebutuhan akan rumah susun kemudian menjadi bukan hanya sebagai hunian melainkan dapat dipergunakan untuk hal-hal lain misalnya untuk perkantoran, pertokoan maupun pusat perbelanjaan. Terhadap hal tersebut, UURS yang pertama ini bersifat fleksible dan tetap berlaku walaupun rumah susun tersebut dipergunakan untuk tempat tinggal maupun untuk kegunaan yang lain.56 Menanggapi hal itu, Boedi Harsono berpendapat bahwa: “Walaupun tujuan utama diterbitkannya Undang-undang Rumah Susun adalah untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan gedung bertingkat dengan bagian-bagiannya untuk dihuni, terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, namun ketentuan-ketentuannya dengan penyesuaian55 56
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 185. Ibid, hal. 186.
Universitas Sumatera Utara
34
penyesuaian seperlunya, menurut Pasal 24 dapat diberlakukan juga untuk bangunan-bangunan bagi keperluan lain seperti perkantoran, pertokoan dan lain sebagainya.”57 Sehubungan dengan hal tersebut, sudah sepantasnya apabila UURS yang pertama ini patut dihargai sebagai peletak dasar hukum bagi semua jenis dan berbagai macam model bangungan gedung bertingkat tinggi dengan fungsi sebagai hunian. Hal tersebut seperti tertera dalam penjelasan umum UURS yang pertama ini yaitu58: “Dengan Undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun yang meliputi: a) Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah; b) Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun; c) Hak bersama atas benda-benda; d) Hak bersama atas tanah; yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.” Seiring dengan perkembangan yang terjadi dimasyarakat yaitu tuntutan pembangunan dan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, terutama untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam penyelenggaraan rumah susun, maka Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 atau UURS yang pertama ini dipandang tidak memadai lagi dan perlu adanya penyempurnaan terhadapnya dan hal itu juga merupakan instruksi dari Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Perumahan
57
Boedi Harsono, Beberapa Analisa tentang Hukum Agraria, Cetakan ke-1, (Jakarta : “ESA” Study Club, 1979), hal. 3. 58 Herman Hermit, Op Cit, hal.8.
Universitas Sumatera Utara
35
yang menetapkan bahwa ketentuan mengenai rumah susun diatur tersendiri dengan Undang-undang.59 Sebagai tindakan untuk memenuhi tuntutan dan instruksi diatas, maka kemudian diterbitkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun yang ditetapkan pada tanggal 10 Nopember 2011 yang selanjutnya akan disebut sebagai UURS yang baru sebagai penyempurnaan produk hukum untuk mengatur tentang pengaturan penyelenggaraan rumah susun secara menyeluruh. 3.
Pengertian, Asas, dan Tujuan Rumah Susun Pada pembahasan mengenai rumah susun ini, sebaiknya diketahui dan
dimengerti terlebih dahulu pengertian maupun defenisi mengenai rumah susun itu sendiri agar memudahkan pemahaman mengenai hal tersebut. Adapun diperlukannya pemahaman lebih lanjut karena banyaknya istilah tentang rumah susun ini yang mana dalam kesehariannya sering ada kesamaan diantaranya. Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa istilah rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat atau apartement. Istilah tersebut digunakan berdasarkan sistem hukum tiap Negara masing-masing, misalnya di Amerika yang menggunakan istilah condominium yaitu co berarti bersama-sama, dan dominium yang berarti pemilikan, di Inggris yang menggunakan istilah joint property, sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title.60
59 60
Muhammad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 54. Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, Op. Cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
36
Pengertian dari Condominium adalah suatu bentuk pemanfaatan perumahan dimana bagian tertentu seperti kamar atau ruangan yang dimiliki secara pribadi sementara penggunaan dan akses ke fasilitas seperti lorong, sistem pemanas, elevator, eksterior berada di bawah hukum yang dihubungkan dengan kepemilikan pribadi dan di awasi oleh asosiasi pemilik yang menggambarkan kepemilikan seluruh bagian.61 Berdasarkan perkembangannya, condominium menunjuk kepada bangunanbangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang dapat digunakan atau dihuni secara terpisah. Bagian-bagian yang merupakan kesatuan dan dapat digunakan atau dihuni secara terpisah disebut sebagai apartemen.62 Pengertian dari strata title adalah suatu sistem yang mengatur tentang bagian tanah yang terdiri dari lapisan-lapisan atau strata yaitu lapisan bawah dan atas, dengan mana lapisan-lapisan tersebut dapat diartikan sebagai: 63 “Setiap bagian dari tanah yang terdiri dari ruang bentuk apapun didalamnya, di permukaan atau diatas permukaan tanah, merupakan suatu dimensi yang digambarkan.” Sebagai pemilikan atas satuan ruang dalam bangunan gedung bertingkat, strata title dimungkinkan untuk diterapkan di Negara yang menganut asas perlekatan (accessie/natrekking) yaitu asas dimana tanah adalah permukaan bumi dan apa yang ada diatas serta dibawahnya merupakan satu kesatuan. Maka rumah susun disini 61
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 138. Ibid, hal. 139. 63 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 342. 62
Universitas Sumatera Utara
37
berupa ruang yang berada diatas, dipermukaan dan dibawah tanah, dengan udara diatas permukaan yang dapat dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata), dan diatas udara terdapat hak untuk membangun (title), dan dimiliki oleh masing-masing individu disetiap lapisannya.64 Istilah-istilah tersebut kemudian dipersatukan agar lebih mudah dimengerti yang mana dalam bahasa hukum kesemuanya tetap disebut dengan istilah rumah susun dikarenakan mengacu kepada Undang-undang Rumah Susun itu sendiri baik UURS yang pertama maupun UURS yang baru. Terminologi hukum yang mengekspresikan bangunan gedung bertingkat yang mengandung pemilikan perseorangan dan hak bersama memang sebaiknya lebih konsisten dalam hal istilah, karena diketahui bahwa semua istilah hukum disuatu negara selalu bersifat nasional.65 Pengertian tentang rumah susun seperti yang tertera dalam UURS yang pertama dan kemudian disempurnakan dengan UURS yang baru pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Rumah Susun adalah: “Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.” Pengertian tersebut menegaskan bahwa rumah susun yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan bertingkat yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak 64 65
Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, Op. Cit, hal. 10. Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
38
bersama, yang penggunaannya untuk satu kesatuan sistem pembangunan. Hal tersebut menegaskan bahwa tidak semua bangunan gedung bertingkat itu dapat disebut rumah susun, tetapi setiap rumah susun adalah berupa bangunan bertingkat. 66 Adapun dalam pembangunan rumah susun, dilaksanakan dengan berdasarkan asas atau landasan tertentu, agar rumah susun tersebut bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengannya. Landasan ataupun asas dari pembangunan suatu rumah susun terdiri dari berbagai macam seperti terdapat dalam Pasal 2 UURS, yaitu: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l)
“Asas kesejahteraan Asas keadilan dan pemerataan Asas kenasionalan Asas keefisienan dan kemanfaatan Asas keterjangkauan dan kemudahan Asas kemandirian dan kebersamaan Asas kemitraan Asas keserasian dan keseimbangan Asas keterpaduan Asas kesehatan Asas kelestarian dan keberlanjutan; dan Asas keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan” Pembagian asas tersebut dimaksudkan sebagai landasan pada pembangunan
rumah susun, yaitu yang dapat memberikan kesejahteraan, keadilan yang merata, mengedepankan kepentingan nasional, dengan sistem yang efisien dan bermanfaat, terjangkau dan memberikan kemudahan bagi seluruh lapisan masyarakat secara mandiri maupun kebersamaan berdasarkan prinsip kemitraan yang serasi dan seimbang, terpadu dan mengedepankan kesehatan, kelestarian dan keberlanjutan agar terciptanya keselamatan, keamanan, ketertiban dan keteraturan. 66
Ibid, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
39
Landasan ataupun asas-asas pada pembangunan rumah susun yang telah dijelaskan tersebut diharapkan kedepannya akan dapat mewujudkan berbagai tujuan dan berbagai manfaat, yang mana tercantum dalam Pasal 3 UURS yang baru, yaitu diselenggarakan untuk: a) “Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. b) Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. c) Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik dikawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan. d) Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. e) Menunjang pembangunan dibidang ekonomi, sosial dan budaya; dan f) Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu dan berkelanjutan.” Berdasarkan Pendapat dari Arie Hutaggalung, suatu tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan rumah susun adalah67 : a) Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat b) Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang c) Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh d) Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan e) Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk.
67
Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Cetakan ke-1, (Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal 20.
Universitas Sumatera Utara
40
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, pembangunan rumah susun pada dasarnya bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan akan adanya suatu rumah susun yang layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dikawasan perkotaan dengan penduduk sangat padat, sehingga akan berdampak pada68: a) Peningkatan efisiensi penggunaan tanah, ruang, dan daya tampung kota b) Peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan menengah bawah dan pencegahan tumbuhnya kawasan kumuh perkotaan c) Peningkatan efisiensi prasarana, sarana dan utilitas perkotaan d) Peningkatan produktivitas masyarakat dan daya saing kota e) Peningkatan
pemenuhan
kebutuhan
perumahan
bagi
masyarakat
berpenghasilan menengah kebawah f) Peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Berdasarkan hal-hal tersebut, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah nasional yang mana dampaknya sangat dirasakan diseluruh wilayah tanah air, terutama didaerah perkotaan yang berkembang pesat, maka oleh karena itu pembangunan dengan sistem rumah susun adalah salah satu alternatif agar terciptanya kesejahteraan masyarakat. 4.
Satuan Rumah Susun dan Hak Milik Satuan Rumah Susun Suatu bangunan rumah susun, didalamnya memiliki bagian-bagian yang
merupakan ruang-ruang yang terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dari keseluruhan bangunan rumah susun yang ada. Bagian-bagian ini yang kemudian 68
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 161.
Universitas Sumatera Utara
41
dikenal dengan sebutan satuan rumah susun. Bagian inilah yang kemudian akan dapat dimiliki oleh penghuni yang berbeda disetiap ruangnya. Pengertian satuan rumah susun berdasarkan UURS yang pertama pada Pasal 1 angka 2 adalah: “Rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.” Sedangkan pada UURS yang baru, pada Pasal 1 angka 3 disebutkan: “Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.” Satuan rumah susun atau sarusun merupakan ruang-ruang didalam bangunan rumah susun yang kemudian akan dimiliki secara individual dan digunakan secara terpisah. Setiap sarusun harus memiliki sarana penghubung ke jalan umum karena merupakan penegasan hak pemilik sarusun untuk mempunyai aksesbilitas ke jalan umum, dan antisipasi agar hak aksesbilitas tersebut tidak mengganggu sarusun milik penghuni lainnya. Hal ini dibutuhkan untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan masing-masing pemilik sarusun. Pada Pasal 16-19 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 atau selanjutnya akan disebut dengan PPRS, memperincikan standarisasi fisik sarusun yaitu: a) “Ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi fungsi dan penggunaannya serta harus disusun, diatur dan dikoordinasikan agar dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari untuk hubungan ke dalam dan keluar. b) Keberadaan ruang sarusun, yaitu bahwa sarusun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau (apabila terpaksa maupun untuk keperluan tertentu) dibawah
Universitas Sumatera Utara
42
permukaan tanah, atau sebagian diatas permukaan tanah, yang merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai dengan yang telah direncanakan. c) Kelayakan sebagai hunian, dalam arti bahwa sarusun dapat memenuhi kebutuhan penghuni sehari-hari untuk tidur, mandi, mencuci, menjemur, memasak, makan, menerima tamu, dan menempatkan barang-barang keperluan rumah tangga maupun kebutuhan sehari-hari.” Perbuatan hukum yang ditujukan pada suatu bangunan rumah susun akan tertuju dan terbatas kepada pemisahan rumah susun menjadi satuan-satuan rumah susun dan penjualan satuan rumah susun untuk pertama kalinya dari penyelenggara pembangunan kepada pemilik pertama. Pemegang hak atas tanah tersebut merupakan sekaligus pemilik gedung. Pada awalnya hanya terdapat hubungan sewa-menyewa antara pemilik tanah dan sekaligus pemilik bangunan rumah susun dengan para pemakai dari ruang-ruang dalam bangunan gedung tersebut. Hal tersebut kemudian berubah sejak lahirnya UURS yang pertama, yang memperkenalkan dan menjalankan suatu lembaga kepemilikan baru sebagai hak kebendaan yaitu adanya Hak Milik Sarusun yang terdiri dari hak perorangan atas unit sarusun dan hak atas tanah bersama, benda bersama, dan bagian bersama yang berupa satu kesatuan.69 Hak Milik Satuan Rumah Susun memiliki konsep dasar bahwa benda atau bangunan dapat dimiliki oleh seseorang, dua orang, atau bahkan lebih yang mana hal tersebut dikenal dengan istilah pemilikan bersama. Bentuk pemilikan bersama ini
69
Ibid, hal. 198.
Universitas Sumatera Utara
43
terbagi atas dua yaitu pemilikan bersama yang terikat dan pemilikan bersama yang bebas.70 Pemilikan bersama yang terikat yaitu ikatan hukum yang pada awalnya telah ada antara pemilik benda bersama, misalnya pemilikan bersama yang terdapat pada harta perkawinan dan disini pemilik tidak bebas melakukan pemindahan hak kepada orang lain tanpa adanya persetujuan dari pihak lainnya atau selama suami atau istri masih dalam ikatan perkawinan dan tidak dimungkinkan untuk melakukan pembagian atau pemisahan harta perkawinan.71 Pada pemilikan bersama yang bebas yaitu bahwa setiap para pemilik bersama tidak terdapat ikatan hukum terlebih dahulu, selain dari hak bersama sebagai pemilik dari suatu benda. Maka disini kemudian muncul kehendak secara bersama-sama untuk menjadi pemilik atas suatu benda untuk digunakan secara bersama-sama. Bentuk pemilikan bebas ini yang kemudian disebut sebagai istilah condominium.72 Berdasarkan konsep tersebut, maka UURS baik yang pertama maupun yang terbaru kemudian merumuskan dan menetapkan jenis kepemilikan perorangan dan kepemilikan bersama dalam suatu kesatuan jenis pemilikan baru yang disebut dengan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau lebih lanjut akan disebut dengan HMSRS. Suatu HMSRS berbeda dengan strata title, yang mana keduanya dikatakan berbeda karena pada HMSRS memiliki makna yang berbeda pula. Pada HMSRS adalah merupakan suatu pemilikan atas sarusun, sedangkan pada strata title, adalah 70
Ibid. Ibid, hal. 199. 72 Ibid. 71
Universitas Sumatera Utara
44
merupakan hak atas lapisan-lapisan ruang. Adapun dalam hukum tanah Anglo Saxon, lapisan-lapisan ruang itu dapat dimiliki secara individual.73 Pengertian mengenai HMSRS ini tercantum pada UURS yang baru di Bab VI, Bagian Kedua, Pasal 46 ayat (1) yaitu: “Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.” Hal tersebut kemudian diperjelas dengan Pasal 41 ayat (1) PP Nomor 4 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa: “Hak milik atas satuan rumah susun meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian-bagian bangunan, hak bersama atas benda, dan hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.” Berdasarkan uraian tersebut, menunjukkan bahwa HMSRS bersifat simultan (bersamaan) yaitu didalamnya mengandung hak perorangan dan sekaligus hak bersama, yang mana antara paduan kedua hak itu tetap mempunyai pembatasan kewenangan yang jelas. Pada Pasal 8 ayat (1) UURS yang pertama, dijelaskan bahwa subjek HMSRS adalah perseorangan dan badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Persyaratan tersebut mengingat bahwa hak pemilikan perseorangan atas sarusun dan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.
73
Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, Op. Cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
45
Suatu rumah susun hanya dapat dibangun diatas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan, dan khusus terhadap yang dibangun diatas tanah hak pengelolaan, ketentuan ayat (2) dari Pasal 7 UURS yang pertama, menentukan bahwa pembangunan rumah susun wajib menyelesaikan status hak guna bangunan diatas hak pengelolaan tersebut sebelum melakukan berbagai tindakan salah satunya seperti menjual sarusun itu. Maka dengan demikian, pemilik sarusun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama yang bersangkutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21, 36 dan 42 UUPA.74 Adapun meski HMSRS merupakan hak pemilikan perseorangan dengan hak bersama, namun didalam hierarki Hak Penguasaan atas Tanah pada Hukum Tanah Nasional kita, HMSRS dikategorikan sebagai hak perorangan. Penempatannya dalam sistem Hak Penguasaan atas Tanah dapat diterima oleh logika hukum disebabkan karena inti sistem rumah susun adalah suatu pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik diatasnya.75 Pada pasal 41 ayat (2) PPRS menyatakan bahwa “Hak pemilikan perseorangan atas sarusun merupakan ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi yang mempunyai luas dan batas tinggi tertentu yang tidak selalu dibatasi oleh dinding”. Maka selanjutnya oleh ayat (3) tersebut menentukan bahwa “Dalam hal ruangan dibatasi dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan
74 75
Ibid, hal. 27. Ibid, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
46
bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur, merupakan batas pemilikannya.” Hal sebaliknya terdapat pada ruangan yang “sebagian tidak dibatasi dinding”, oleh ayat (4) Pasal 41 PPRS menentukan bahwa “batas permukaan dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal merupakan pemilikannya”. Adapun contoh dari ruangan yang sebagian tidak dibatasi dinding adalah balkon, yang mana batas-batas bagian atas setinggi permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, merupakan batas pemilikannya. Pada ruangan sarusun yang “keseluruhannya tidak dibatasi dinding”, seperti untuk tempat parkir atau tempat usaha yang dimiliki oleh perseorangan secara terpisah, ayat (5) Pasal 41 PPRS menentukan bahwa “garis batas yang ditentukan ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya, merupakan batas pemilikannya”. Garis batas yang ditentukan itu diberi tanda yang jelas dan tidak dapat dihapuskan. 5.
Proses Sertifikasi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Sebagai bukti kepemilikan dari satuan rumah susun, Badan Pertanahan
Nasional menerbitkan suatu sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang didalamnya menerangkan tiga hal yaitu keterangan mengenai letak, luas, dan jenis hak tanah bersama. Keterangan tersebut dapat dilihat pada salinan buku tanah dan surat ukur atau lebih dikenal dengan sertifikat tanah atas tanah bersama dimana bangunan rumah susun itu berdiri.
Universitas Sumatera Utara
47
Hal tersebut diatas dapat dilihat sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) UURS yang baru menyebutkan bahwa: “Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun diatas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai diatas tanah Negara, hak guna bangunan atau hak pakai diatas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun”, yang mana pada Pasal 47 ayat (2) disebutkan bahwa SHM sarusun ini “diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah”. Penyelenggaraan pembangunan rumah susun yang telah memperoleh izin layak huni, kemudian harus menyelesaikan suatu proses pembuatan SHM sarusun yang bersangkutan yaitu dengan terlebih dahulu melakukan pemisahan rumah susun dan satuan-satuan rumah susun. Pemisahan ini perlu dilakukan sebelum pemilik dari masing-masing satuan rumah susun itu melakukan berbagai tindakan hukum salah satunya seperti menjual atau menjadikan jaminan atas sarusun tersebut.76 Adapun pemisahan itu dilakukan dengan melihat dari pertelaan yang ada pada rumah susun tersebut. Pertelaan yang dimaksud adalah uraian dalam bentuk gambar dan tulisan yang memperjelas batas-batas rumah susun baik secara horizontal maupun vertikal, bagian bersama, tanah bersama, benda bersama, serta uraian mengenai nilai perbandingan proporsional masing-masing satuan rumah susunnya. Pertelaan sangat penting dalam sistem rumah susun, karena dari sinilah titik awal dimulainya proses penerbitan SHM sarusun. Dari pertelaan tersebut akan muncul satuan-satuan rumah susun yang terpisah secara hukum melalui proses pembuatan Akta Pemisahan. 76
Ibid, hal. 208.
Universitas Sumatera Utara
48
Pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun yang akan dilakukan dengan pembuatan akta pemisahan tersebut, sesuai Pasal 25 UURS yang baru jo. Pasal 39 PPRS, maka diketahuilah bahwa akta pemisahan adalah: a) Tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung nilai perbandingan proporsional. b) Bentuk dan tata cara pengisian dan pendaftaran akta pemisahan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989. c) Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun. Akta pemisahan ini tidak diharuskan dibuat secara notarial. d) Akta pemisahan ini wajib disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten /Kotamadya setempat atau Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Akta pemisahan tersebut kemudian harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan sertifikat hak atas tanah, izin layak huni dan warkahwarkah lainnya yang diperlukan yang sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang bentuk dan tatacara pengisian serta pendaftaran akta pemisahan rumah susun. Akta pemisahan dan
Universitas Sumatera Utara
49
berkas-berkas lampirannya ini lalu dipergunakan sebagai dasar dalam penerbitan SHM atas sarusun.77 Setelah dilakukannya pendaftaran akta pemisahan, maka terjadi pemisahan atas satuan-satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara individual dan terpisah yang disebut dengan HMSRS dengan dibuatkannya buku tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan yang mana hal ini sesuai dengan isi pasal 9 ayat (4) PPRS. Hak milik atas satuan-satuan rumah susun yang telah dibukukan tersebut kemudian dapat diterbitkan SHMSRS. Bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan sertipikat ini sesuai dan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. Suatu SHMSRS merupakan tanda bukti hak milik atas sarusun, yang mana pada sertipikat ini terdiri atas78: a) Salinan Buku Tanah dan surat atas Hak Tanah Bersama menurut ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. b) Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki.
77
Ibid, hal. 209. Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, Komentar atas Peraturan-peraturan Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria (1996), Cetakan ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 79. 78
Universitas Sumatera Utara
50
c) Peta pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang bersangkutan kesemuanya merupakan satukesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Sertipikat tersebut kemudian terbit atas nama penyelenggara pembangunan dan harus sudah ada sebelum sarusun mengadakan tindakan penjualan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan perumahan biasa yang mana sertipikat hak atas tanah yang berasal dari pemecahan sertipikat induk atas nama penyelenggara pembangunan terbit atas nama pembeli atau pemilik yang baru dan terbit setelah rumah yang bersangkutan dibeli.79 Maka dari itu, perbedaan diantara kedua hal tersebut terletak pada perbuatan hukum pemisahannya dan perbuatan hukum jual belinya, yaitu: a) Pada rumah susun, pemisahan dilakukan sebelum sarusun dijual yang selanjutnya terbit SHM sarusun atas nama penyelenggara pembangunan. Adanya SHM sarusun merupakan syarat untuk dapat menjual suatu sarusun tersebut. b) Pada
perumahan
biasa,
pemecahan
dilakukan
setelah
rumah
yang
bersangkutan dijual, yang mana atas dasar jual beli tersebut, kemudian terbit sertipikat hak atas tanah yang terdaftar atas nama pemilik yang baru. Adapun dengan diterbitkannya SHM sarusun, maka Sertipikat atas tanah bersama harus disimpan di Kantor Pertanahan sebagai warkah dan didalam buku tanah maupun sertipikat hak atas tanahnya diberi catatan mengenai pemisahan dan 79
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 210.
Universitas Sumatera Utara
51
penerbitan SHM sarusun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. B. Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Sebelum keluarnya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan dan UndangUndang tentang Jaminan Fidusia, tentang jaminan hak kebendaan diatur dalam KUH Perdata dan Jurisprudensi-Jurisprudensi Mahkamah Agung. Seperti masalah jaminan atas benda-benda bergerak diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab Ke-20 tentang gadai dan masalah jaminan atas benda-benda tidak bergerak diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab Ke-21 tentang hipotik. Setelah menantikan selama kurang lebih 34 tahun sejak diundangkannya UUPA yang menjanjikan akan adanya suatu peraturan yang mengatur tentang hak tanggungan, maka akhirnya lahirlah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang disahkan pada tanggal 9 April 1996.80 Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 atau disebut dengan UUHT, maka Undang-undang tersebeut kemudian menggantikan ketentuan mengenai hipotik dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan juga
80
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
52
ketentuan mengenai credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 berdasarkan Pasal 57 UUPA yang masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya UUHT tersebut. Pada penjelasan umum UUHT disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai hipotik dan credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya untuk sementara waktu yaitu sambil menunggu terbentuknya UUHT. Ketentuan mengenai hipotik dan credietverband dipandang tidak sesuai lagi dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibat yang timbul yaitu perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Hak tanggungan pada dasarnya tidak dibangun berdasarkan sesuatu yang belum ada sebelumnya. Hak tanggungan dibangun dengan mengambil alih dan mengacu atas asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diatur dalam KUH Perdata, sehingga apabila ditelaah maka banyak asas dan ketentuan
Universitas Sumatera Utara
53
pokok dari Hak Tanggungan yang diambil alih dari hipotik, meskipun juga pasti terdapat pula asas dan ketentuan yang berbeda.81 Hak tanggungan tersebut dikatakan menggantikan posisi hipotik tidak keseluruhannya, karena hanya menggantikan hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja, sedangkan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara tetap berlaku. Adapun disamping hak-hak jaminan berupa hipotik atas kapal laut dan pesawat udara, ketentuan mengenai gadai dan fidusia sebagai jaminan juga berlaku sebagai hak jaminan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat beberapa jenis hak jaminan dengan nama yang berbeda-beda, akan tetapi asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya boleh dikatakan sama. Maka dari itu agar tidak mendapat kesulitan dalam pembagiannya, sebaiknya istilah mengenai hak-hak jaminan tersebut diadakan penggabungan saja yaitu istilah Hak Tanggungan terhadap semua jenis hak jaminan yang objeknya benda terdaftar, sedangkan gadai untuk benda yang tidak terdaftar.82 1.
Pengertian Hak Tanggungan Istilah Hak Tanggungan sebagai hak jaminan dilahirkan oleh UUPA, yang
mana istilah itu dipakai dan berkaitan dengan perasuransian. Pada dunia perasuransian di Indonesia, istilah “tanggungan” digunakan sebagai sinonim dari kata “asuransi”. Sejalan dengan hal tersebut, lalu muncul istilah “penanggung” yang
81 82
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 3. Ibid, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
54
berarti suatu perusahaan asuransi, dan istilah “tertanggung” yang berarti pihak yang ditanggung atau diasuransikan. Berkaitan dengan pemakaian istilah “hak tanggungan” didalam UUPA dan didalam UUHT, dunia perasuransian telah menyatakan bahwa pemakaian istilah tersebut adalah merupakan istilah yang khusus bagi dunia perasuransian, yang mana sebaiknya tidak digunakan oleh kalangan yang lain selain kalangan pihak perasuransian. Hal tersebut dikarenakan kata “tanggungan” mempunyai dua arti yaitu jaminan atas tanah dan asuransi.83 Pemahaman mengenai Hak Tanggungan dapat terlihat misalnya pada Pasal 1 Ayat (1) UUHT disebutkan bahwa: “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.” Apabila diadakan perbandingan dengan definisi hipotik, terlihat bahwa rumusan mengenai Hak Tanggungan jauh lebih baik dalam rumusannya dibandingkan dengan rumusan dalam hipotik. Pada rumusan definisi hipotik banyak unsur-unsur dari hipotik yang belum dicantumkan sehingga definisi tersebut dikatakan belum dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan hipotik.
83
Ibid, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
55
2.
Asas-asas Hak Tanggungan Hal yang dijadikan sebagai asas dalam pemberian Hak Tanggungan bertujuan
untuk membedakan Hak Tanggungan tersebut dari jaminan-jaminan utang lainnya dari segi jenis dan bentuk. Asas-asas tersebut dapatlah terlihat dari berbagai PasalPasal yang terdapat didalam UUHT. Adapun asas-asas tersebut yaitu84: a)
Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan (droit de preference). Berdasarkan definisi yang ditemukan pada Pasal 1 Ayat (1) yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dibandingkan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Kreditur yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Adapun pengertian “kedudukan yang diutamakan” tidak ditemui dalam penjelasan dari Pasal 1 tersebut melainkan terlihat pada Angka (4) Penjelasan umum UUHT, bahwa yang dimaksud adalah apabila debitur cidera janji, kreditur dapat mengambil tindakan seperti menjual tanah yang diperjanjikan melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur-kreditur lain. Pada penjelasan umum tersebut, diketahui bahwa sekalipun diutamakan terhadap hak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan, akan tetapi tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitur yang bersangkutan. Kewajiban itu adalah berupa pajak dan semua piutang 84
Ibid, hal. 15-48.
Universitas Sumatera Utara
56
Negara sebagaimana Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. b) Hak Tanggungan Tidak dapat Dibagi-bagi Pada Pasal 2 UUHT diketahui bahwa Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, yang artinya bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek-objeknya dan setiap bagian daripadanya. Meskipun sebagian dari utang telah dilunasi, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang yang belum dilunasi. Sifat Hak Tanggungan seperti ini menyebabkan tidak dimungkinkannya dilakukan penghapusan penanggungan secara sebahagian atau yang disebut dengan roya parsial terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Menurut Pasal 2 Ayat (1) jo Ayat (2) UUHT, sifat tersebut dapat disimpangi oleh para pihak apabila
para
pihak
menginginkan
hal
yang
demikian
itu
dengan
memperjanjikannya dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atau kemudian disebut dengan APHT. Adapun pengecualian ini hanya dapat dilakukan sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan tersebut, sehingga selanjutnya hanya membebani objek sebagai sisa
Universitas Sumatera Utara
57
utang yang belum dilunasi. Tujuan pengecualian ini menurut Pasal 2 Ayat (2) UUHT yaitu untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan. c)
Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak atas Tanah yang Telah Ada. Pada Pasal 8 Ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk memberikan Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan yang hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Maka dari itu, terhadap hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dan tidak pula dimungkinkan untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru aka nada dikemudian hari.
d) Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain atas Tanahnya juga Berikut Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan hanya pada hak atas tanah yang menjadi objeknya saja, akan tetapi juga berikut bangunan, tanaman, atau hasil karya sebagai satu kesatuan dengan tanah, yang mana bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut adalah
merupakan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai objek Hak Tanggungan tersebut bukan hanya terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan seperti pada Pasal 4 Ayat (4), akan
Universitas Sumatera Utara
58
tetapi juga terhadap benda yang bukan merupakan milik pemegang hak atas tanah seperti Pada Pasal 4 Ayat (5) UUHT. e)
Hak Tanggungan dapat Dibebankan pula Atas Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Baru Akan Ada Dikemudian Hari. Pasal 4 Ayat (4) UUHT memungkinkan terhadap Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah sekalipun bendabenda tersebut belum ada, akan tetapi baru akan ada dikemudian hari yaitu benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan, belum merupakan bahagian dari tanah yang menjadi objek misalkan karena tanaman itu baru akan ditanam atau terhadap hasil karya yang baru akan dibangun.
f)
Perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Accessoir. Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian induk. Perjanjian induk bagi pemberian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian utang-piutang yang menimbulkan adanya suatu benda yang dijaminkan sebagai utang. Pada penjelasan umum UUHT butir 8 disebutkan bahwa: “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.”
g) Hak Tanggungan dapat Dijadikan Jaminan untuk Utang yang Baru akan Ada.
Universitas Sumatera Utara
59
Adapun hal tersebut berdasarkan isi dari Pasal 3 Ayat (1) UUHT, dimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk: (1) Utang yang telah ada (2) Utang yang baru akan ada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu. (3) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan. h)
Hak Tanggungan dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang. Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) UUHT disebutkan bahwa: “Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.” Pasal tersebut memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang dan terhadap beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang-piutang bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan. Ketentuan tersebut bertujuan sebagai penampung kebutuhan pemberian Hak Tanggungan bagi kredit sindikasi perbankan, yang dalam hal ini seorang debitur memperoleh kredit lebih dari satu bank, akan tetapi berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang sama yang dituangkan hanya dalam satu perjanjian kredit saja.
Universitas Sumatera Utara
60
Praktik perbankan memungkinkan seorang debitur memperoleh kredit dari beberapa kreditur berdasarkan perjanjian-perjanjian kredit atau perjanjian bilateral yang berlainan, sedangkan untuk agunan bagi semua kreditur tersebut, debitur menjaminkan hak atas tanah yang sama atau dengan satu agunan. i)
Hak Tanggungan mengikuti Objeknya dalam Tangan Siapapun Objek Hak Tanggungan itu Berada. Suatu Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 7 UUHT memiliki asas tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Maka dari itu, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain disebabkan oleh apapun juga dan pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda itu berpindah.
j)
Sita oleh Pengadilan tidak dapat Diletakkan diatas Hak Tanggungan Pada saat terdahulu, banyak terdapat kasus yang memperlihatkan bahwa pengadilan meletakkan sita diatas tanah yang telah dibebankan hak hipotik. Penetapan pengadilan yang tersebut sangat disayangkan oleh banyak kalangan hukum dan perbankan. Sita yang diletakkan itu adalah baik sita jaminan maupun sita eksekusi yang dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan pihak ketiga. Peletakan sita tersebut tidak seharusnya dilakukan mengingat karena tujuan dari diperkenalkannya hak jaminan pada umumnya dan hak tanggungan pada khususnya adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Jika terhadap
Universitas Sumatera Utara
61
Hak Tanggungan dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tersebut. k) Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah yang Tertentu. Asas ini pada dasarnya menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Pasal 8 dan 11 UUHT menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objeknya dan kewenangan itu harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan yang hanya dimungkinkan apabila objeknya telah ada dan telah tertentu pula tanah tersebut tanah yang mana. Berdasarkan hal tersebut, dikatakan secara spesifik artinya bahwa dalam pemberian Hak Tanggungan didalam APHT wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, dan hal itu tidaklah dapat terwujud jika objek Hak Tanggungan yang bersangkutan belum ada dan bahkan belum diketahui bagaimana ciri-cirinya secara spesifik. l)
Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan sebagai Asas Publisitas Adapun terhadap Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT dimana pemberian Hak Tanggungan itu wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, yang mana pendaftaran itu adalah syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap Pihak Ketiga.
Universitas Sumatera Utara
62
Pihak ketiga sebagai yang terkait dengan adanya suatu proses pemberian Hak Tanggungan berhak untuk mengetahui tentang terjadinya pembebanan Hak Tanggungan itu sendiri. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara yaitu melalui pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. m) Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai Janji-Janji Tertentu Menurut Pasal 11 Ayat (2) UUHT, Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai oleh janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT yang. Janji-janji tersebut bersifat fakultatif dan tidak limitatif. Adapun dikatakan fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, baik sebahagian maupun seluruhnya, dan bersifat limitatif karena dapat pula diperjanjikan janjijanji lain selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) tersebut. n) Objek Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan Untuk Dimiliki Sendiri Oleh Pemegang Hak Tanggungan Bila Debitur Cidera Janji. Pasal 12 UUHT menyebutkan bahwa terhadap janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan dalam memiliki objek Hak Tanggungan apabila terjadi cidera janji yang dilakukan debitur, maka kewenangan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Larangan pencantuman janji seperti itu dimaksudkan untuk melindungi debitur
yang
berkedudukan
lemah,
yang
adakalanya
pihak
kreditur
Universitas Sumatera Utara
63
memanfaatkan posisi debitur yang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan utang harus terpaksa menerima janji itu dengan persyaratan yang sulit dan merugikan baginya. o) Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti Berdasarkan Pasal 6 UUHT, ketika debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk melakukan parate executie yaitu dengan menjual objek Hak Tanggungan dan atas kekuasaan sendiri melakukan pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Adapun dalam hal ini tidak diperlukan perolehan persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan ataupun meminta penetapan pengadilan dalam pelaksanaannya. 3.
Perjanjian Utang-Piutang Terhadap Hak Tanggungan Perjanjian piutang berkaitan erat dengan pemberian suatu Hak Tanggungan.
Hal ini terlihat pada Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” Adapun dengan kata lain, bahwa timbulnya Hak Tanggungan hanya dimungkinkan apabila sebelumnya telah diperjanjikan didalam perjanjian utangpiutang atau disebut juga dengan perjanjian kredit yang menjadi dasar pemberian utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan kepada kreditur, dan kemudian terhadap pemberian Hak Tanggungan itu nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian
Universitas Sumatera Utara
64
tersendiri oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berupa suatu akta yang disebut dengan APHT.85 Pelaksanaan yang terjadi dalam praktek sehari-hari diketahui bahwa tidak selamanya didalam perjanjian kredit telah dicantumkan janji-janji yang menyatakan bahwa untuk menjamin pelunasan kredit yang dibebankan akan selalu diberikan Hak Jaminan tertentu misalnya gadai, fidusia, hipotik ataupun sekarang ini telah digantikan dengan Hak Tanggungan. Adapun pihak pemberi kredit atau pihak kreditur biasanya baru akan meminta pemberian suatu hak jaminan tertentu setelah diadakannya perjanjian kredit disebabkan karena objek hak jaminan itu baru kemudian dimiliki oleh debitur atau baru kemudian dapat diberikan dan diserahkan oleh debitur kepada pihak kreditur. Suatu keharusan dalam membuat perjanjian utang ditentukan berdasarkan penjelasan Pasal 10 Ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihakpihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia.”
85
Ibid, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
65
Pembuatan perjanjian kredit seperti yang dimaksud tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian tersebut. Apabila diharuskan dibuat dengan akta otentik, maka perjanjian kredit itu dibuat dengan akta otentik. Akan tetapi apabila tidak diharuskan menggunakan akta otentik, maka cukup dibuat dengan akta dibawah tangan. 4.
Objek Hak Tanggungan Adapun yang dapat dijadikan sebagai suatu objek Hak Tanggungan yaitu
dapat digolongkan terhadap: a) Hak-hak atas Tanah Berdasarkan Pasal 25, 33 dan 39 UUPA, yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Adapun didalam praktik perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai juga dapat dijadikan agunan kredit. Hal itu disebabkan karena Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum dan dapat dipindahtangankan. Hal tersebut terhadap pelaksanaannya mengingat didalam UUPA tidak disebutkan adanya Hak Pakai sebagai salah satu objek Hak Tanggungan, maka kemudian pihak kreditur tidak dapat menguasainya sebagai agunan dengan membebankan Hak Tanggungan akan tetapi dengan melakukan
Universitas Sumatera Utara
66
pengikatan secara fidusia dengan meminta surat kuasa menjual kepada pemiliknya.86 Terhadap hal tersebut, dengan mengingat kebutuhan dimasyarakat yang menghendaki agar Hak Pakai juga dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan, maka sesuai Pasal 4 Ayat (3) kemudian diperbolehkan hanya terhadap Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebankan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa: “Dikarenakan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara saja, akan tetapi juga dari tanah milik orang lain dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai yang bersangkutan, sedangkan kedua jenis Hak Pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yaitu menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Maka dari itu wajar jika Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat pula dibebankan dengan Hak Tanggungan seperti halnya Hak Pakai atas tanah Negara.” Pada penjelasan umum UUHT juga menyebutkan bahwa terhadap Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek jaminan Hak Tanggungan yaitu pada butir 5 Bagian I yang menyebutkan: “.....Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan UUPA dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat.”
86
Ibid, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
67
Penjelasan umum UUHT mengemukakan bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara yang wajib didaftarkan, akan tetapi dikarenakan sifatnya yang tidak dapat dipindah tangankan, maka terhadapnya tidak dikategorikan sebagai objek Hak Tanggungan, misalnya pada Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan sosial. Adapun terhadap Hak Milik juga dapat dikategorikan bukan sebagai objek Hak Tanggungan dalam hal apabila Hak Milik tersebut sudah diwakafkan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya. Meskipun Hak Milik ini terdaftar, akan tetapi karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, maka terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. b) Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah Kita mengetahui bahwa KUH Perdata menganut asas perlekatan, sedangkan UUHT menganut asas pemisahan horizontal. Asas perlekatan yang dianut oleh KUH Perdata itu tercermin pada ketentuan Pasal 1165 yang menentukan bahwa setiap hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Berdasarkan penjelasan diatas, perlekatan yang dimaksud adalah tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari, demi hukum terbebani pula dengan hipotik yang telah dibebankan sebelumnya diatas hak atas tanah yang menjadi objek hipotik. Hipotik tersebut meliputi pula segala perbaikan dikemudian hari dari benda yang dibebankan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
68
Adapun diketahui bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Maka dari itu segala benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang telah dibebankan dengan Hak Tanggungan itu tidak dengan sendirinya terbebani pula dengan Hak Tanggungan.87 Berdasarkan yang tercantum dalam angka 6 penjelasan umum UUHT, dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebankan Hak Tanggungan itu menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan sehingga setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Terhadap hal tersebut, UUHT mengambil sikap bahwa penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Maka kemudian dimungkinkan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah meliputi benda-benda tersebut sepanjang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu hanya terjadi apabila dengan tegas dinyatakan dalam APHT yang bersangkutan, dan apabila tidak dinyatakan secara tegas atau eksplisit, Hak
87
Ibid, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
69
Tanggungan akan terjadi terhadap tanahnya saja sesuai asas pemisahan horizontal yang dianut hukum tanah nasional. Hak Tanggungan juga dapat dibebankan terhadap “bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut”. Adapun tidak disebutkan dengan kalimat “bangunan yang berada diatas tanah tersebut” dimaksudkan agar yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah juga termasuk bangunanbangunan yang berada dibawah permukaan tanah yang merupakan bagian dari tanah diatasnya.88 Maksud hal tersebut adalah bahwa bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut termasuk misalnya ruang bawah tanah hanya akan dapat dibebankan tehadapnya Hak Tanggungan apabila atas tanahnya juga dibebani pula dengan Hak Tanggungan. Bangunan tersebut tidak dapat dibebankan jika tanah dimana bangunan itu berdiri tidak ikut dibebankan. Adapun yang dimaksud dengan hasil karya menurut Pasal 4 ayat (4) UUHT adalah meliputi benda-benda seperti candi, patung, gapura, relief bahkan pada saat ini misalnya pembangkit tenaga listrik (tower) dan jalan layang (fly over) yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan terhadapnya dapat dibebankan hak tanggungan. 5.
Subjek Hukum Hak Tanggungan Pihak-pihak yang dapat dijadikan adalah pihak yang terkait dalam proses
pemberian Hak Tanggungan dari awal sampai hapusnya Hak Tanggungan tersebut. 88
Ibid, hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
70
Adapun diketahui bahwa pihak-pihak yang terkait itu menurut pendapat Sutan Remy Sjahdeini adalah89: a) Pemberi Hak Tanggungan Menurut UUHT pada Pasal 8, untuk menentukan pihak mana yang dikategorikan sebagai pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau Badan Hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Adapun dikerenakan objek Hak Tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah Negara, sejalan dengan ketentuan Pasal 8 tersebut, yang dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau Badan Hukum yang mempunyai hak-hak atas tanah tersebut. Kewenangan dalam hal melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Ayat (1) UUHT tersebut harus telah ada dan masih tetap ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Pernyataan tersebut diatas disebabkan karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut yang secara sendirinya lahir pula kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Hal ini harus dibuktikan keabsahannya pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan.
89
Ibid, hal. 75-79.
Universitas Sumatera Utara
71
Adapun pihak-pihak yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara yaitu: (1) Pemilik Hak Milik Berdasarkan ketentuan UUPA, yang dapat mempunyai hak milik adalah orang perorangan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum tertentu. Pasal 21 Ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa orang perseorangan yang dapat mempunyai Hak Milik adalah Warga Negara Indonesia, yang mana dengan ketentuan itu tidak dimungkinkan orang asing dalam mempunyai tanah Hak Milik. Badan Hukum yang dimaksud sebelumnya adalah melihat pada Pasal 21 Ayat (2) UUPA bahwa terhadap Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dengan syarat-syarat tertentu yang ditentukan secara khusus oleh Undangundang atau peraturan lainnya, seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1973, bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik adalah: (a)Bank-bank yang didirikan oleh Negara. (b)Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958. (c)Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama. (d)Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Sosial. (2) Pemilik Hak Guna Usaha
Universitas Sumatera Utara
72
Menurut Pasal 30 Ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah Warga Negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Maka dengan demikian orang asing tidak dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia berupa Hak Guna Usaha. (3) Pemilik Hak Guna Bangunan Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Mengenai kepemilikan Hak Guna Bangunan ini pada dasarnya sama dengan pemilik Hak Guna Usaha. (4) Pemilik Hak Pakai atas Tanah Negara Pihak yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah Negara menurut Pasal 42 UUPA adalah: (a)Warga Negara Indonesia (b)Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia (c)Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia (d)Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia b) Pemegang Hak Tanggungan Pasal 9 UUHT menjelaskan bahwa pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau Badan Hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Maka dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah
Universitas Sumatera Utara
73
siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik itu orang perorangan Warga Negara Indonesia maupun orang asing. C. Pemberian Hak Tanggungan atas Hak Milik Satuan Rumah Susun 1.
Syarat-syarat Sahnya Satuan Rumah Susun Sebagai Jaminan Utang Pada setiap bagian satuan rumah susun adalah bersifat terbagi-bagi dan
merupakan milik masing-masing dari para pemegang hak yang berbeda-beda di setiap satuannya. Terhadap bahagian tersebut, pemegang Hak Milik atas satuan tersebut secara pribadi dapat membebankan satuan rumah susunnya dengan tanpa mengganggu kepentingan dari pemilik sarusun yang ada disekitarnya kepada kreditur untuk dapat dibebankan Hak Tanggungan. Kewenangan yang dimiliki pemegang Hak Milik sarusun tersebut terhadap sarusun miliknya adalah diperbolehkan karena sejalan dengan isi Pasal 27 UUHT yang menyatakan bahwa: “Ketentuan Undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”. Maka selanjutnya dimungkinkanlah suatu sarusun dapat dijadikan salah satu objek Hak Tanggungan. Pengaturan mengenai sarusun sebagai jaminan utang juga tercantum pada Pasal 13 UURS yang pertama yaitu: “…..Hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3) dapat dijadikan hutang dengan: a. Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan. b. Dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.”
Universitas Sumatera Utara
74
Adapun Pasal 8 Ayat (3) yang dimaksud tersebut yaitu: “Hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan” Pada UURS yang baru yang menggantikan UURS yang pertama, ketentuan mengenai sarusun dapat dijadikan suatu jaminan utang tercantum dalam Pasal 47 ayat (5) yang menyebutkan bahwa: “Sertifikat Hak Milik sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa kepemilikan seseorang atas satuan rumah susun yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kemudian dijadikan sertifikat hak milik sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun tersebut dapat dijadikan salah satu objek dari Hak Tanggungan dengan dijadikan jaminan utang. Satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan utang tersebut memiliki syarat-syarat tertentu yang mengakibatkannya dapat digolongkan sebagai salah satu objek jaminan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki sarusun agar dapat dijadikan sebagai jaminan utang yaitu: a) Berdasarkan Pasal 13 UURS yang pertama, sarusun dapat dijadikan jaminan hutang dengan hipotik atau sekarang disebut dengan Hak Tanggungan, jika tanahnya berupa tanah hak milik maupun hak guna bangunan dan juga dapat
Universitas Sumatera Utara
75
dijadikan jaminan hutang dengan fidusia apabila tanahnya merupakan tanah hak pakai atas tanah Negara. b) Berdasarkan Pasal 14 UURS yang pertama, terhadap pemberian jaminan tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk dicatatkan pada buku tanah dan sertifikat tersebut dan kemudian diterbitkan sertifikat Hak Tanggungannya. c) Satuan rumah susun memiliki karakteristik yang sama dengan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan karena meskipun merupakan satu bahagian dengan keseluruhan bangunan rumah susun, akan tetapi terhadap satuannya masing-masing para penghuninya memegang hak milik yang dapat dijadikan jaminan utang. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan Hak Tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya, sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang dijaminkan. Ketentuan ini juga dimungkinkan untuk diperolehnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) guna membayar lunas harga satuan rumah susun yang dibeli, dan pengembaliannya dapat dilakukan secara angsuran KPR tersebut baru dapat diberikan setelah rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah pula dilakukan pemisahan dalam satuan-satuan rumah susun yang bersertifikat.
Universitas Sumatera Utara
76
2.
Proses Pemberian Hak Tanggungan pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Pemberian Hak Tanggungan pada Hak Milik Satuan Rumah Susun terdiri dari
beberapa tahap tertentu yang mana tahap-tahap tersebut adalah merupakan bagian dari proses yuridis dan administratif. a) Perjanjian Kredit Pada tahap awal yaitu dilakukan suatu pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian utang dimana disepakati janji debitur untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang. Perjanjian kredit tersebut merupakan suatu90: (1)Perjanjian pokok (basic agreement, principal agreement), yang berfungsi sebagai dokumen pertama atau sebagai dokumen awal untuk membuktikan ada terjadinya perjanjian utang. (2)Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” Maka diketahui bahwa eksistensi janji memberikan Hak Tanggungan dalam perjanjian utang atau perjanjian kredit merupakan satu kesatuan dengan janji pemberian Hak Tanggungan. (3)Perjanjian Hak Tanggungan bersifat accessoir dengan perjanjian pokok. Suatu Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan ikutan dari 90
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cetakan keIV, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 189.
Universitas Sumatera Utara
77
perjanjian pokok yaitu perjanjian tentang pemberian jaminan atau pelunasan utang yang disebut dalam perjanjian pokok. Perjanjian pokok seperti yang tersebut diatas, dapat berbentuk akta dibawah tangan (onderhandse akte), atau berbentuk akta autentik (authentieke akte). Pembuatan perjanjian pokok tersebut dapat dilakukan didalam maupun diluar negeri, karena tidak disyaratkan validitas dan keabsahannya harus diperbuat didalam negeri, perjanjian tetap sah apabila dibuat diluar negeri. Pihak-pihak sebagai subjek dalam perjanjian pokok dapat berupa orang perorangan, badan hukum, maupun orang atau badan hukum asing dengan syarat kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah Republik Indonesia. b) Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan Pemberian Hak Tanggungan didukung dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau disingkat dengan istilah APHT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Akta ini berfungsi sebagai bukti tentang Pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua, melengkapi dokumen perjanjian utang (perjanjian pokok).91 Penjelasan seperti tersebut diatas juga diperkuat berdasarkan yang tercantum pada isi Pasal 10 ayat (2) UUHT yang menyebutkan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
91
Ibid, hal. 190.
Universitas Sumatera Utara
78
Adapun dalam pembuatan suatu APHT oleh seorang PPAT menurut Pasal 11 UUHT, wajib mencantumkan nama dan identitas pemegang dan pemberi HT, domisili dari pihak-pihak tersebut, penunjukan secara jelas tentang utang yang dijaminkan, nilai tanggungan, dan uraian mengenai objek Hak Tanggungan yaitu dalam hal ini satuan rumah susun yang akan dijadikan jaminan utang. Pencantuman elemen ini didalam APHT bersifat kumulatif, dan oleh karena itu harus dilengkapi dan dicantumkan secara jelas. Jika lalai dalam pencantuman salah satu diantaranya, mengakibatkan APHT tersebut batal demi hukum, seperti tercantum dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UUHT bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek, maupun utang yang dijamin”. Pada suatu APHT juga dicantumkan janji-janji tertentu agar dalam pelaksanaannya tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, dimana terdapat sejumlah klausul yang dapat dicantumkan yaitu: “Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan atau mengubah bentuk tata susunan objek Hak Tanggungan, dan janji untuk memberi kewenangan kepada penerima Hak Tanggungan mengelola objek berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri, menyelamatkan objek Hak Tanggungan dari hapusnya hak atas objek tersebut, kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri, dan terhadap janji pemberi Hak Tanggungan yang akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada saat eksekusi”. c)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
Universitas Sumatera Utara
79
Pada tanggal 27 Desember 2012 yang lalu, terjadi perubahan ketetapan dalam sistem pembuatan Akta-akta PPAT yaitu dengan lahirnya sebuah peraturan dimana dimungkinkan setiap PPAT dalam menjalankan jabatannya membuat dan menyusun sendiri akta-akta di bidang pertanahan, baik yang menyangkut peralihan hak seperti Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam Perusahaan, dan Pembagian Hak Bersama, dan juga dalam bidang jaminan seperti pada
pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, atau maupun juga untuk pelayanan seperti pembuatan akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Adapun sehubungan dengan pembuatan APHT sebagai proses pemberian Hak Tanggungan pada hak milik satuan rumah susun, awalnya
setiap PPAT
menggunakan blanko (formulir) akta yang telah disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dengan format yang telah ditetapkan, namun dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 yang selanjutnya disebut dengan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 ini, maka PPAT untuk seterusnya harus membuat dan menyusun akta tersebut secara pribadi karena tidak dibenarkan lagi mempergunakan blanko. Hal tersebut sesuai dengan isi Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 pada bahagian menimbang huruf a yaitu: “Bahwa untuk meningkatkan pelayanan pertanahan, terhitung mulai tahun 2013 penyiapan dan pembuatan blanko Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dilakukan oleh masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus.”
Universitas Sumatera Utara
80
Berdasarkan Hal tersebut, maka APHT sebagai bentuk perjanjian kedua yang merupakan kelanjutan dari perjanjian utang sebagai perjanjian pokok, dibuat dalam bentuk konsep tersendiri yang disusun oleh PPAT sedemikian rupa dengan mencantumkan hal-hal yang penting dalam suatu APHT serta mengenai satuan rumah susun sebagai objek Hak Tanggungan. d) Pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan Adapun dalam suatu perjanjian kebendaan, pada dasarnya mempunyai karakter yang bersifat berkelanjutan (voortdurende overeenkomst) yang diawali dengan perjanjian pemberian Hak Tanggungan dan berakhir pada saat pendaftaran. Sepanjang pendaftaran belum dilakukan, perjanjian pemberian Hak Tangungan ini dikatakan belum merupakan suatu perjanjian kebendaan.92 Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat imperatif yaitu suatu syarat yang diharuskan. Hal tersebut yang menyebabkan Hak Tanggungan tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan karena merupakan perwujudan asas publisitas serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.93 Adapun sebelum pendaftaran berlangsung, proses awalnya yaitu meliputi penandatanganan yang dilakukan oleh para pihak terhadap APHT yang telah dibuat oleh seorang PPAT dengan syarat dan ketentuan sesuai sebagaimana dengan isi dari Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UUHT. 92 93
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hal. 61. Ibid, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
81
Setelah penandatanganan akta tersebut, seorang PPAT sebagai pembuat APHT berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UUHT, berkewajiban mengirimkan APHT dan warkat lain yaitu meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan dan identitas para pihak, serta sertifikat hak atas tanah yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja dari tanggal penandatanganan APHT. Pengiriman tersebut sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 13 ayat (2) UUHT, yang dapat dilakukan melalui petugas PPAT atau melalui pos tercatat, yang mana disini PPAT tersebut wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang ada di daerah yang bersangkutan. Seorang PPAT yang lalai memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi administratif berupa
teguran
lisan
maupun
tulisan,
pemberhentian
sementara,
maupun
pemberhentian dari jabatan. Kantor Pendaftaran Tanah sehubungan dengan hal tersebut diatas, berkewajiban mendaftarkan Hak Tanggungan dan kemudian membuat Buku Tanah Hak Tanggungan atau yang kemudian disebut dengan BTHT dan mencatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Pencantuman tanggal pada BTHT sesuai Pasal 13 ayat (4) dan (5) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap terhadap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran. Maka dari itu, efektifnya suatu Hak Tanggungan terhitung mulai tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan dan sekaligus adanya asas keterbukaan (openbaar) dan
Universitas Sumatera Utara
82
perlindungan hukum (legal protection) terhitung dari tanggal penerimaan pendaftaran.94 e)
Penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan Setelah dokumen-dokumen seperti yang dijelaskan sebelumnya diterima, lalu
Kantor Pertanahan membuat buku tanah Hak Tanggungan atau disebut juga dengan sertifikat Hak Tanggungan, lalu mencatatnya dalam buku hak atas tanah dan menyalin catatan itu pada sertifikat hak tanah. Penerbitan sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUHT ayat (1) yaitu: “Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan dengan mencantumkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Fungsi dari adanya sertifikat Hak Tanggungan ini adalah sebagai bukti atas Hak Tanggungan dan sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) yang menyatakan bahwa setifikat ini adalah sebagai landasan kekuatan eksekutorial yang mana kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Adapun tindakan yang dilakukan selanjutnya oleh Kantor Pertanahan adalah mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan pemberian Hak Tanggungan tersebut kepada pemegang hak tanah dan sekaligus memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada pihak kreditur.
94
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 191.
Universitas Sumatera Utara