26
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM YANG DIBERIKAN UNDANG-UNDANG MEREK INDONESIA TERHADAP MEREK ASING DALAM HAL TERJADI PENDAFTARAN SECARA ITIKAD TIDAK BAIK DI INDONESIA A. Konsep Perlindungan Hukum Dalam Merek Pada masa perkembangan globalisasi sekarang ini, Merek yang adalah salah satu bagian hak kekayaan intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Demikian pentingnya peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum.41 Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan.42 Jadi Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
41
Adrian Sutedi, Hak atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 91-92. Pengertian Perlindungan hukum, http://politkum.blogspot.com/2013/05/pengertianperlindungan-hukum.html , diakses pada tanggal 25 September 2014 42
26
Universitas Sumatera Utara
27
yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. 43 Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat.44 Konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep Rechtstaat muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law ) yang dipelopori oleh A.V.Dicey.45 Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu : 46 1. Perlindungan hukum yang preventif, adalah Perlindungan hukum bersifat pencegahan dan bertujuan untuk minimalisasi kemungkinan terjadi sengketa. 2. Perlindungan hukum yang represif, adalah Perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang 43
Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html , diakses tanggal 25 September 2014 44 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (PT. Bina Ilmu, Jakarta) , 1987, hlm. 72. 45 Konsep Negara Hukum, http://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-5/pendidikankewarganegaraan/konsep-negara-hukum/ , diakses 25 September 2014 46 Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, http://tesishukum.com/pengertianperlindungan-hukum-menurut-para-ahli/, diakses 25 September 2014
Universitas Sumatera Utara
28
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Aspek dominan dalam konsep barat tentang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Karena konsep ini, maka sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”.47 Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
47
Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://www. docudesk.com, diakses pada tanggal 25 September 2014
Universitas Sumatera Utara
29
menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Didalam perlindungan hukum ini dikenal dua sarana perlindungan Hukum, yaitu sarana perlindungan Hukum bersifat Preventif dan saran perlindungan hukum yang bersifat Represif.48 Perlindungan Hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa. para pemilik merek diberikan wadah untuk mendapatkan perlindungan hukum. Wadah perlindungan hukum merek adalah dengan dibuatnya UndangUndang No 15 Tahun 2001 yang mengatur tentang merek. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual meminta dan menganjurkan para pemilik merek yang sah untuk mendaftarkan merek sesuai dengan ketentuan yang ada didalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Hal ini bertujuan supaya para Pemilik merek yang sah mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang merek karena Undang-Undang merek No 15 Tahun 2001 ini menganut sistem Konstitutif. Sistem Konstitutif ini berarti bahwa jika seorang pemilik merek yang sah ingin mendapatkan perlindungan terhadap mereknya maka pendaftaran merek tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merupakan sesuatu yang diwajibkan. Setelah didaftarkan merek sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UndangUndang No 15 Tahun 2001, maka pemilik merek mendapatkan hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek 48
Perlindungan Hukum Unsur Essensial dalam suatu Negara Hukum, http://fitrihidayatub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html , diakses 25 September 2014
Universitas Sumatera Utara
30
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. terhadap merek terdaftar tersebut akan diberikan perlindungan. Permohonan Pendaftaran suatu merek tidak boleh dilandasi dengan unsur itikad tidak baik, tidak boleh memiliki persamaan pada pokoknya dan persamaan pada keseluruhannya dengan merek terdaftar lainnya maupun merek terkenal. Merek yang diajukan permohonan pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual juga tidak boleh bertentang dengan poin-poin yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No 15 Tahun 2001, menyatakan bahwa suatu merek tidak boleh didaftar apabila merek tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban Umum, tidak memiliki daya pembeda, telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Mengenai Jangka waktu perlindungan terhadap merek diatur pada Pasal 28 Undang-Undang No 15 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Jangka waktu yang diberikan oleh Pasal 28 ini jauh lebih lama dari jangka waktu perlindungan yang
Universitas Sumatera Utara
31
ditetapkan Pasal 18 TRIPs, yang hanya memberikan perlindungan hukum selama 7 tahun dan setelah itu dapat diperbaharui lagi.49 Jangka waktu perlindungan merek ini dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu perlindungan yang sama.50 Dalam perpanjangan jangka waktu perlindungan merek ini tidak dilakukan lagi penelitian terhadap merek tersebut, juga tidak dimungkinkan adanya bantahan dari pihak lain.
Perpanjangan waktu
perlindungan merek ini harus dilakukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasa yang ditunjuk oleh pemilik merek yang sah. Permohonan perpanjangan jangka waktu ini harus telah diajukan dalam jangka waktu tidak lebih dari 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan merek. Permohonan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar, diterima atau disetujui apabila: 1. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek. 2. Barang atau jasa sebagaimana dalam Sertifikat Merek tersebut masih diproduksi dan diperdagangkan. Jadi selama jangka waktu perlindungan merek berlaku, maka Undang-Undang merek memberikan perlindungan merek terdaftar tersebut. Walaupun sebuah merek telah didaftarkan dan mendapat perlindungan tetap tidak menutup kemungkinan 49
Jangka Waktu Perlindungan Merek, http://merek-patennurdin.blogspot.com/2007/11/jangka-waktu-perlindungan-merek.html , di akses pada tanggal 14 Oktober 2014 50 Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 238
Universitas Sumatera Utara
32
timbulnya perlanggaran terhadap merek terdaftar tersebut. Pencegahan akan pelanggaran terhadap merek sebenarnya telah dilakukan oleh pihak Dirjen HKI, mereka melakukan pengecekan seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Merek 2001. Namun pengecekan ini hanya bersifat First To File, tanpa pengecekan lebih lanjut apakah merek yang didaftarkan tersebut adalah merek yang sudah didaftarkan terlebih dahulu atau tidak.51 Oleh karena itu pelanggaran merek berupa pendaftaran merek secara itikad tidak baik kerap terjadi. Maka dari itu diperlukan juga sarana perlindungan hukum yang bersifat Represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Negeri di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum ini bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Perlindungan hukum yang bersifat represif ini juga sangat diperlukan dalam hal perlindungan merek karena walaupun suatu merek telah terdaftar kerap menjadi sasaran dari pelanggaran merek, terutama merek terkenal yang sering menjadi sasaran
51
Metha Kurniawan, Perlindungan Hukum Merek Di Indonesia, (Jakarta: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal 16.
Universitas Sumatera Utara
33
pemboncengan merek. penyelesaian sengketa, Undang-Undang merek No 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa peradilan yang berwenang adalah pengadilan Niaga. Didalam Pasal 76 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhannya untuk barang atau jasa sejenis berupa gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Selain gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek, pada Pasal 80 yang mengatur tentang gugatan pembatalan merek. Mengenai sanksi Pidananya pada KUHP ada di atur pada Pasal 253-262 KUHP, tetapi dengan ada pembaharuan Undang-Undang merek dengan UndangUndang No 15 Tahun 2001 yang didalam Pasal 91-94 ada pengaturan sanksi pada dan oleh karena juga Undang-Undang No 15 tahun 2001 ini adalah lex spesialis maka Pasal KUHP yang mengatur hal yang sama di kesampingkan. Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan, juga di kenal penyelesaian melalui arbitrase atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud dengan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
Universitas Sumatera Utara
34
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya, arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk yaitu : a. Klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa. b. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Selain penyelesaian sengketa melalui arbitrase, juga beberapa jenis lagi dari alternatif penyelesaian sengketa. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.52 Mengenai Konsultasi di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian konsultasi. Pengertian konsultasi menurut Black Law Dictionary yang pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. 53 Negosiasi Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya 52
Gunawan Widjaya Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 86 53 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm 55
Universitas Sumatera Utara
35
harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan oleh pihakpihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa sudah barang tentu telah berdiskusi atau bermusyawarah sedemikian rupa agar kepentingan-kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan/ kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis. Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (imparsia) yang turut aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian.54 Namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa. Dalam kaitan dengan Mediasi menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
54
Ibid, hal 79.
Universitas Sumatera Utara
36
Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga, pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya. Konsiliator dalam proses konsiliasi ini memiliki peran yang cukup berarti, oleh karena konsilisator Konsiliator juga berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa pun. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antar mereka. 55 B. Perlindungan Hukum Merek Dari Berbagai Aspek 1.
Perlindungan Merek secara Pidana Perbuatan yang dilarang berhubungan dengan merek juga diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP mengenai perbuatan yang dilarang berhubungan dengan merek ini diatur pada pasal 253-262 KUHP. Dalam hal ini rumusan perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikelompokkan, antara lain : 1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun, baik itu menaruhkan sesuatu yang palsu dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan barang-barang tersebut seolah-olah merek atau tanda yang ditaruhkan itu asli dan tidak palsu.
55
konsoliasi, http://nielasafiraaa.blogspot.com/2014/01/konsoliasi.html, diakses pada tanggal 27 September 2014
Universitas Sumatera Utara
37
2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menaruhkan merek atau tanda pada barang yang dengan melawan hak memakai cap yang asli. 3. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menambah atau memindahkan Merek Negara yang asli atau tanda pembuat yang dikehendaki oleh, di dalam, pada atau atas barang-barang lain yang terbuat dari emas atau perak dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan barang itu, seolah-olah merek atau tanda itu dari mula-mulanya ditaruhkan pada barang itu. 4. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau memalsukan ke negara Indonesia materai, tanda, atau merek palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak, atau barang-barang yang ditaruh materai, tanda atau merek itu dengan melawan hak, seolah-olah materai, tanda atau merek asli tidak dipalsukan dan tidak dibuat dengan melawan hak atau tidak melawan hak ditaruhkan pada barang itu 5. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini memalsukan ukuran dan takaran timbangan yang sudah dibubuhi tanda dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan seolah-olah asli dan tidak dipalsukan 6. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menbuangkan tanda batal dari barang yang telah ditera dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan barang tersebut seolah-oleh tidak dibatalkan. 7. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun dalam hal ini menyediakan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan kejahatan memalsukan merek.56 Sanksi terhadap suatu tindakan yang melanggar merek, selain diatur khusus dalam ketentuan sanksi peraturan Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek, juga terdapat ketentuan KUH Pidana yang mengatur sanksi terhadap perlanggaran merek. salah satunya adalah Pasal 393 KUH Pidana yang pada butir pertama menyatakan bahwa “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menamarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan. barang-barang yang 56
Muhammad Djumhana dan Djubaedilah, Op. Cit, Hal 272
Universitas Sumatera Utara
38
diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untui menyatakan asalnya barang, nama sehuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.” Pasal 393 KUHPidana butir kedua menyatakan bahwa “Jika pada waktu melakukan kejahatan belurn lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan.” Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek juga memuat pengaturan tentang pidana. Ketentuan pidana pada Undang-undang No 15 Tahun 2001 ini bersifat khusus atau lex spesialis dorogat lex generalis atau hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Ketentuan asas Hukum ‘Lex Specialis” dapat mengesampingkan ketentuan yang termuat dalam KUH Pidana terhadap aturan yang memiliki kesamaan. Dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tenang bentuk deliknya untuk masalah merek diatur dalam Pasal 95, yang mnyatakan bahwa deliknya bukan delik biasa namun delik aduan, adapun delik aduan delik dimana walaupun telah terjadi tindak pidana namun polisi tidak proaktif dalam penindakan sebelum ada pengaduan, kemudian untuk delik aduan ini dapat dicabut pengaduannya dan dapat tidak dilanjutkan.Adapun pasal-pasal yang mengatur tentang pidana merek
Universitas Sumatera Utara
39
dalam hal merek dagang dan jasa ini diatur dalam Pasal 90-94 Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Dalam Pasal 90 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 mengatur sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah) terhadap pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Pasal 91 mengatur tentang tindakan penggunaan tanpa hak merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain, sanski yang dikenakan adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) Selain itu, sesuai dengan penambahan ketentuan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. maka terhadap pelanggaran kedua hal tersebut juga telah diatur sanksi pada Pasal 92 dan Pasal 93 Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Dalam Pasal 92 diatur tentang penggunaan tanpa hak terhadap tanda yang memiliki persamaan dengan indikasi geografis milik pihak lain. Pada ayat (1) Pasal 92 diatur mengenai sanksi pidana terhadap pihak yang terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang terdaftar, sanksi yang diberikan berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah).
Universitas Sumatera Utara
40
Pada ayat (2) 92 Pasal diatur Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah). Pada ayat (3) Pasal 92 mengatur bahwa Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Mengenai perlindungan terhadap indikasi asal diatur pada Pasal 93, yang pada intinya mengatur pemberian sanksi berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) terhadap pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut. Perbuatan tindak pidana berkaitan dengan perlanggaran indikasi geografis dan indikasi asal, semuanya di klasifikasikan sebagai kejahatan meskipun dilakukan pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun kata-kata yang menunjukkan bahwa barang-barang tesebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar atau dilindungi berdasarkan indikasi geografis.
Universitas Sumatera Utara
41
Dalam Pasal 94 mengatur larangan terhadap perdagangan barang atau jasa yang diketahui atau patut diduga sebagai barang atau jasa yang dihasilkan dengan melanggar ketentuan Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93. Pada ayat 1 Pasal 94 mengatur sanksi yang berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah). Pada ayat 2 dikatakan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Ketentuan-ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas yang memuat sanksi pidana memberikan perlindungan kepada orang atau badan hukum berhak atas merek terdaftar dengan jalan melarang pemakaian merek secara tidak sah oleh pihak lain. Dengan adanya sanski pidana sebagaimana di atur pada pasal 90-95 Undang-Undang No 15 Tahun 2001, tidak menutup kemungkinan pihak pemilik merek untuk menggugat secara perdata. Ketentuan mengenai penyidikan terhadap tindak pidana di bidang merek diatur dalam pasal 89 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal diberi kewenangan khusus sebagai penyidik. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diberi kewenangan sebagai berikut : a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; b) melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a;
Universitas Sumatera Utara
42
c) meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana dibidang Merek; d) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek; e) melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek; dan f) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Merek. Penyidik Pegawai Negeri sipil harus tetap berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara, terutama dalam hal pemberitahuan dimulai proses penyidikan serta dalam hal menyampaikan laporan penyidikan kepada Penuntut Umum harus melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI.57 2.
Perlindungan Merek Secara Perdata Undang-Undang No 15 Tahun 2001 mengatur bahwa pemilik merek yang
sudah terdaftar dalam Daftar Umum Merek akan mendapatkan hak atas merek dan mendapatkan perlindungan selama 10 tahun. pemilik merek oleh undang-undang diberikan hak untuk mempergunakan sendiri dan atau menguasakan kepada orang lain untuk mempergunakan merek yang telah didapatnya dari Negara dalam bentuk 57
CST Kansil, Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindutrian dan Hak Cipta), (Jakarta, Sinar Grafika, 2001), Hal 45
Universitas Sumatera Utara
43
lisensi. Biasanya merek yang sudah memiliki reputasi yang bagus menghadapi ancaman dari tindakan perlanggaran merek pemakaian merek tanpa hak, pemalsuan ataupun pemboncengan merek oleh pihak lain, tujuan dari pihak lain supaya bisa mendapatkan keuntungan dari memalsukan atau membonceng ketenaran dari merek yang memiliki reputasi bagus tersebut. Dalam hal suatu merek digunakan oleh pihak lain tanpa izin tentu akan sangat merugikan pemilik merek terdaftar, kerugian itu tidak hanya kerugian materiil berupa uang atau barang tetapi juga menimbulkan kerugian inmateriil. Kerugian inmateriil ini bisa berupa turun nilai penjualan dari merek tersebut. Maka untuk itu Negara melalui aturan hukumnya berupa undang-undang untuk melindungi pemilik merek yang sudah terdaftar, Undang-undang memberikan kesempatan kepada pemilik merek untuk melakukan upaya hukum untuk
mempertahankan hak-haknya untuk
menggunakan atau memanfaatkan hak atas mereknya. Pemilik merek terdaftar jika mereknya digunakan oleh pihak lain tanpa seizin pemilik merek terdaftar maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan melanggar hukum (pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sebagai pihak penggugat harus dapat membuktikan bahwa penggugat oleh karena perbuatan melanggar Hukum yang dilakukan tergugat, telah mengalami kerugian.58 Gugatan ini bersifat keperdataan, tidak bisa menyebabkan pembatalan merek. dan gugatan ini diajukan melalui pengadilan Niaga. Jadi pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap orang ataupun badan hukum yang menggunakan mereknya, tanpa hak berupa
58
Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 269
Universitas Sumatera Utara
44
permohonan ganti rugi dengan penghentian pemakain merek tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 76 Ayat (1) b Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Gugatan atas ganti kerugian atau penghentian dapat juga dilakukan oleh mereka yang mendapatkan lisensi dari pemilik merek baik sendiri ataupun secara bersama-sama. Dalam rangka untuk mengurangi kerugian dari yang lebih besar atas penggunaan merek oleh pihak lain maka pemilik merek ataupun penerima lisensi dapat menyampaikan permohonan kepada hakim agar memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan atau perdagangan barang dan jasa. Hakim dalam pemeriksaan gugatan tersebut dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan perdagangan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak tersebut atas permohonan pihak penggugat. Permohonan ini diatur dalam Pasal 180, dikenal sebagai tuntutan provisi. Putusan provisi ini tergolong dalam kategori putusan sela yang berbeda dengan putusan akhir.59 Dalam hal ini tergugat juga dapat dituntut pula menyerahkan barang yang diproduksi dengan menggunakan merek secara tanpa hak tersebut, Hakim dapat menmerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 3.
Perlindungan Hukum Merek melalui Administrasi Negara Dalam hal terjadi perlanggaran merek, negara juga bisa melakukan upaya
melindungi pemilik merek yang sah. Upaya tersebut bisa melalui pengawasan pabean dan pegawasan standar industri
59
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, ( Bandung : Mandar Maju, 2005) Hal 107
Universitas Sumatera Utara
45
Pengawasan terhadap pabean, terhadap ekspor dan impor barang juga diatur dalam pasal Pasal 9 Konvensi Paris menyatakan bahwa setiap negara peserta Konvensi Paris harus melakukan tindakan penyitaan terhadap barang impor milik warga negaranya dalam hal barang tersebut memakai merek dagang yang tidak sah. Atau sekurang-kurangnya mengeluarkan larangan impor terhadap barang-barang tersebut. Dalam hal terindikasi bahwa barang-barang yang diimpor ada pemalsuan terhadap sumber barang-barang ataupun identitas pembuat maka dapat dilakukan tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut. Perundang-undangan Kepabeaan di Indonesia juga telah memuat ketentuan ataupun mekanisme perlindungan hukum terhadap merek. Pada Bab X UndangUndang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengatur ketentuan Larangan Pembatasan Impor Atau Ekspor serta Pengendalian Impor atau Ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pengaturannya dimulai dari pasal 53-64 Undang-Undang no 10 tahun 1995.60 Walaupun fungsi pengawasan terhadap barang ekspor-impor dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Untuk menjamin kelancaran dalam pengendalian terhadap ekspor-impor barang hasil pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, maka pemilik Hak kekayaan intelektual harus melakukan tindakan ataupun upaya aktif dalam hal mencegah terjadinya ekspor-impor barang dagangan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Dalam hal bilamana pemilik hak kekayaan intelektual mengetahui barang dagangan ekspor-impor merupakan barang dagangan hasil
60
Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 277
Universitas Sumatera Utara
46
pelanggaran atas merek sahnya maka pemilik hak kekayaan intelektual tersebut bisa meminta ke Pengadilan Negeri Setempat untuk mengeluarkan perintah tertulis yang ditujukan kepada Pejabat Bea Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang ekspor-impor dari kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta. Pasal 54 Undang-Undang no 10 tahun 1995 mengatur Pengajuan penangguhan sementara di Pengadilan Niaga setempat harus memenuhi kelengkapan sebagai berikut : 1. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan 2. Bukti pemilikan merek atau Hak cipta dari yang bersangkutan 3. Perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea Cukai 4. Jaminan Kelengkapan untuk mengajukan permohonan penangguhan bersifat mutlak. Keberadaan jaminan yang cukup nilainya sebagai salah satu kelengkapan untuk mengajukan permohonan penangguhan ini dimaksudkan untuk : 1. Melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu 2. Mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak 3. Melindungi Pejabat Bea Cukai dari kemungkinan adanya tuntutan ganti rugi sebagai akibat dari dilaksanakannya Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga
Universitas Sumatera Utara
47
Selain pengawasan oleh pabean dalam hal ekspor dan impor barang untuk mencegah terjadinya perlanggaran terhadap hak atas merek terdaftar , pengawasan terhadap merek dilakukan oleh Lembaga Badan Standar Industri Indonesia juga penting. Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap merek secara tidak langsung Lembaga badan standar Industri di Indonesia biasa nya memiliki Penilaian yang sering disebut SNI atau kepanjangannya Standar Nasional Indonesia.61 Dalam Undang-Undang Tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuian Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat ke 7 menyatakan bahwa : “Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Adapun tujuan dibuatnya Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian diatur dalam Pasal 3 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuian bertujuan : 1) meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi; 2) meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara,baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan 3) meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri. Biasanya barang-barang dagangan hasil dari pemalsuan merek dibuat dengan tidak memperhatikan kualitas pada merek aslinya. Hal ini dikarenakan para pelaku 61
Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 278
Universitas Sumatera Utara
48
pelanggaran merek ataupun pemalsuan merek memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Para pelaku pemalsuan merek akan memproduksi barang-barang
dagangannya
dengan
mengakibatkan
bahan-bahan
yang
biaya
digunakan
serendah-rendahnya, dalam
memproduksi
hal
ini
barang
daganganya bukanlah bahan-bahan dengan kualitas bagus. Dengan demikian patut diduga bahwa kebanyakan barang dagangan yang merupakan hasil pemalsuan merek dapat dikatakan tidak memenuhi standar dari merek aslinya dan mungkin ada juga yang tidak memenuhi standar industri yang telah ditentukan. Hal ini lah yang menjadi salah satu objek pengawasan dari Badan Standar Industri. Jadi Badan pengawasan Standar Industri bertindak aktif dalam pengawasan terhadap merek dagang yang beredar di dalam masyarakat 62 C. Pembatalan Pendaftaran Merek Terdaftar dan Penghapusan Merek Terdaftar Pengaturan mengenai pembatalan merek terdaftar ini dapat ditemukan dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan seperti jaksa, yayasan atau lembaga di bidang konsumen dan majelis lembaga keuangan atau juga oleh pemilik merek dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga, yang wilayah hukumnya meliputi alamat pemilik merek terdaftar yang akan dibatalkan. Kecuali apabila pemilik merek terdaftar sebagai tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga di Jakarta. 63
62 63
Djumhana Muhammad dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 279 Rezki Sri Astarini, Dwi, Op.Cit, hal 54
Universitas Sumatera Utara
49
Pasal 68 (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa gugatan pembatalan pendaftaran merek diajukan berdasarkan alasan yang terdapat dalam Pasal 4, 5, dan 6. Pasal 4 menyatakan bahwa merek tidak didaftar oleh pemohon beriktikad tidak baik. Pasal 5 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar bila bertentangan dengan Undang-Undang, tidak memiliki daya pembeda, merek menjadi milik umum dan merupakan keterangan yang berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran. Dan Pasal 6 menyatakan bahwa permohonan merek ditolak bila mempunyai persamaan dengan merek milik pihak lain, serta dengan indikasi geografis yang sudah terkenal, bendera, lambang Negara, cap resmi Negara kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Tenggang waktu gugatan pembatalan merek terdaftar tercantum dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah 5 ( lima ) tahun sejak tanggal pendaftaran.64 Namun, khusus untuk gugatan pembatalan yang didasarkan atas alasan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum dapat diajukan kapan saja tanpa batas waktu. Seperti yang telah diketahui, gugatan pembatalan merek terdaftar diajukan kepada Pengadilan Niaga, dan terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut hanya dapat diajukan kasasi.65 Setelah putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual akan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dengan member catatan tentang alasan dan 64
Nurachmad, Much, Segala Tentang HAKI Indonesia, (Jogjakara : Penerbit Buku Biru, 2012), hal 77 65 Siadin, O.K., Op.Cit, hal 393
Universitas Sumatera Utara
50
tanggal pembatalannya serta atau kuasanya. Dengan pembatalan merek terdaftar tersebut, berakhir pula perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan. 66 Selain mengatur tentang pembatalan merek, Undang-Undang merek juga mengatur
tentang
penghapusan
pendaftaran
merek.
Pengaturan
mengenai
Penghapusan pendaftaran Merek yang berlaku sekarang diatur dalam Bab VIII mengenai Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek dari Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam Undang-Undang ini, Pasal 61 (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa penghapusan pendaftaran merek dari Daftar Umum dapat dilakukan atas prakarsa dari Direktorat Jenderal HAKI ataupun berdasarkan prakarsa dari pemilik merek tersebut. Kemudian Pasal 62 (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan: “Permohonan penghapusan pendaftaran Merek oleh pemilik merek atau Kuasanya, baik sebagian atau seluruh jenis barang dan/atau jasa, diajukan kepada Direktorat Jenderal” Penghapusan pendaftaran merek juga dapat lakukan oleh pihak ketiga dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 63 yang menyatakan bahwa : “Penghapusan pendaftaran Merek berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga” 66
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung : PT.Alumni, 2003), Hal 347
Universitas Sumatera Utara
51
Sehingga berdasarkan Pasal-pasal 61,62 dan 63 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 diatas, dapat diketahui bahwa ada tiga cara penghapusan pendaftaran merek terdaftar, yaitu: 1. Penghapusan pendaftaran merek terdaftar atas prakarsa Direktorat HAKI, 2. Permohonan penghapusan pendaftaran merek terdaftar oleh pemilik merek sendiri dan 3. gugatan penghapusan pendaftaran merek terdaftar di pengadilan oleh pihak ketiga.67 Pasal 61 (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ditentukan secara limitatif alasan dari penghapusan pendaftaran merek yaitu: Merek tersebut tidak digunakan (non use) Merek yang bersangkutan tidak digunakan oleh pemilik mereka setelah didaftarkan dalam daftar umum merek dalam perdagangan barang dan jasa dan juga merek tersebut tidak pernah dipakai lagi selama 3 tahun berturut-turut, baik sejak tanggal pendaftaran ataupun dari pemakaian terakhir. Dalam praktik merek, alasan untuk menghapus suatu pendaftaran merek atas dasar non use pembuktiannya sulit, karena bukan merupakan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa suatu merek tidak dipakai, dan jika alasan ini yang dipakai untuk menghapus pendaftaran merek oleh Direktorat Merek, pemilik merek yang mereknya akan dihapus akan berusaha
untuk
mengedarkan
lagi
mereknya
dengan
barang-barang
yang
bersangkutan, atau memberi bukti bahwa sesungguhnya pemilik merek tersebut sudah memakai merek itu.68 Misalnya, barang yang dijual dalam kualitas yang sedikit kepada konsumen, bisa juga dengan menunjukkan bukti-bukti lain berupa fakturfaktur telah menjual ke beberapa toko di dalam wilayah Indonesia.
67 68
Rachmdi Usman, ibid., hlm. 360. Rezki Sri Astarini, Dwi, Op.Cit, hal 82
Universitas Sumatera Utara
52
Undang-Undang memberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun untuk dipergunakannya suatu merek untuk mengantisipasi perkembangan teknologi yang berkembang dengan pesat. Sehingga merek-merek yang sifatnya hanya didaftar saja tanpa pernah dipergunakan dalam kegiatan produksi barang dan jasa, akan mengganggu investasi dan perekonomian bangsa. Hal inilah yang berusaha dicegah dengan memberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Penghapusan suatu merek terdaftar juga bisa terjadi apabila merek terdaftar tersebut digunakan untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai; Merek tersebut digunakan untuk melindungi jenis barang atau jasa yang berbeda baik yang berada dalam satu kelas apalagi untuk jenis barang yang berbeda kelasnya. Bahkan, dalam penjelasan Pasal 61 (2) Undang-Undang, ketidaksesuaian dalam penggunaan tersebut meliputi, pertama bentuk penulisan kata atau huruf, dan kedua penggunaan warna yang berbeda. Hal ini kemungkinan terjadi dalam dunia perdagangan jika pemilik merek merasa mereknya mempunyai bentuk yang kurang menarik dan warnanya kurang cocok, sehingga pemilik merek tersebut menggunakan merek yang berbeda. 69 Tujuan dari Undang-Undang memperluas pengertian ketidaksesuaian dalam penggunaan warna yang berbeda, untuk membina terciptanya penggunaan merek yang jujur atau fair use dan beriktikad baik (good faith). Hal ini menyiratkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada pemilik merek terdaftar, tidak boleh dipergunakan dengan curang dan harus beriktikad baik.
69
Ibid, hal 84
Universitas Sumatera Utara
53
Penghapusan pendaftaran merek biasa atas prakarsa Direktorat Merek. Direktorat Merek diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan represif, yang secara ex-officio dilakukan berdasarkan kuasa yang diberikan Undang-Undang dapat melakukan penghapusan pendaftaran merek. Pasal 61 (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 memperingatkan apabila Direktorat Merek hendak mengambil tindakan menghapus pendaftaran merek atas prakarsa sendiri, selain harus berdasarkan pada alasan yang sah menurut Undang-Undang, juga mesti didukung oleh bukti yang cukup bahwa: a. Merek tidak dipergunakan berturut-turut selama 3 ( tiga ) tahun atau lebih dalam perdagangan barang atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Ditjen HAKI. b. Merek yang digunakan untuk jenis barang atau jasa tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya,teremasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar.70 Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa sendiri disikapi oleh Direktorat Merek dengan mencari bukti-bukti atau mendasarkan pada masukan dari masyarakat guna dijadikan bahan pertimbangan. Pemilik merek diberikan kesempatan untuk melakukan upaya pembelaan untuk dikecualikan dari ketentuan tentang penghapusan ide dengan mengajukan alasan-alasan yang dapat dipertimbangkan oleh kantor merek, misalnya produk makanan dan minuman yang izin peredarannya menjadi kewenangan instansi lain atau keputusan pengadilan yang bersifat sementara mengenai penghentian sementara pemakaian merek selama perkara berlangsung. Apabila terdapat bukti yang cukup untuk menghapus pendaftaran merek, 70
Nurachmad, Much, Op.Cit , hal 75
Universitas Sumatera Utara
54
penghapusan pendaftaran merek yang dilakukan oleh Direktorat Merek akan dicoret dalam Daftar Umum Merek dan akan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Pencoretan merek dari Daftar Umum Merek mengakibatkan berakhir perlindungan hukum atas merek tersebut. Jika dilihat dari Undang-Undang Merek, Direktorat Merek diharuskan untuk bekerja aktif dalam mengawasi pelaksanaan pemakaian merek terdaftar. Hal ini tentu saja merupakan pekerjaan yang tidak mudah, karena untuk mendapatkan bukti-bukti penggunaan merek yang menyimpang, tentu saja tidak gampang.71 Apabila keputusan yang diambil Direktorat Merek keliru, Direktorat Merek dapat digugat oleh pemilik merek yang mereknya dihapus untuk membatalkan penghapusan pendaftaran mereknya ke Pengadilan Niaga. Selain penghapusan merek berdasarkan Penetapan Pengadilan Niaga, Pada prinsipnya Direktorat Merek dapat melakukan penghapusan pendaftaran yang diajukan oleh pemilik merek terdaftar. Landasan prinsip ini dapat disimpulkan dari Pasal 62 (1) yang menegaskan: “Permohonan penghapusan pendaftaran Merek oleh pemilik Merek atau Kuasanya, baik sebagian atau seluruh jenis barang dan/atau jasa, diajukan kepada Direktorat Jenderal” Permintaan penghapusan pendaftaran merek oleh pemilik merek ini dapat diajukan untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa yang termasuk dalam satu 71
Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan hukum Merek di Indonesia, (Dalam Rangka WTO, TRIPs) 1997, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung} 1997, hlm. 175.
Universitas Sumatera Utara
55
kelas, pertimbangan pemilik merek dalam hal ini, biasanya karena mereknya dianggap sudah tidak menguntungkan lagi. Permintaan penghapusan pendaftaran merek oleh pemilik merek diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Merek dengan menyebutkan merek terdaftar dan nomor pendaftaran merek yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang tata cara Permintaan Pendaftaran Merek, Pasal 21 permintaan penghapusan pendaftaran merek oleh pemilik merek dilengkapi dengan surat-surat sebagai berikut: 1. Bukti identitas dari pemilik merek terdaftar yang dimintakan penghapusannya, 2. Surat kuasa khusus bagi permintaan penghapusan apabila penghapusan tersebut dilakukan oleh kuasa pemilik merek, 3. Surat pernyataan persetujuan tertulis dari penerima lisensi, apabila pendaftaran merek yang dimintakan penghapusan masih terikat perjanjian lisensi, 4. Pembayaran biaya dalam rangka permintaan penghapusan pendaftaran merek terdaftar.72 Apabila penghapusan pendaftaran merek dilakukan oleh pemilik merek yang masih terikat dengan perjanjian lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal ini disetujui oleh penerima lisensi, kecuali apabila telah terdapat kesepakatan tertulis dalam perjanjian lisensi dari penerima lisensi.73 Permohonan penghapusan pendaftaran merek yang diterima oleh Direktorat Merek akan dilaksanakan dengan cara mencoret merek tersebut dalam Daftar Umum Merek dan diberi catatan tentang alasan tanggal penghapusan. Selanjutnya, diberitahukan secara tertulis kepada
72
Rezki Sri Astarini, Dwi, Op.Cit, hal 88 Suyud Margono dan Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, (Novirindo Pustaka Mandiri, Jakarta), 2002, hlm. 62. 73
Universitas Sumatera Utara
56
pemilik merek atau kuasanya dengan diberikan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan merek dari Daftar Umum Merek, Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi.74 Penghapusan suatu merek terdaftar juga bisa berdasarkan Putusan Pengadilan Dengan gugatan Penghapusan pendaftaran Merek atas permintaan pihak ketiga, pembuat Undang-Undang menghendaki selain pemilik merek dan Direktorat Merek yang dapat melakukan penghapusan pendaftaran merek, kontrol dari masyarakat juga diperlukan tentang pelaksanaan merek yang telah didaftarkan. Gugatan penghapusan pendaftaran merek yang dimohonkan oleh pihak ketiga diajukan ke Pengadilan Niaga dimana Tergugat berdomisili atau bertempat tinggal. Hal ini menunjukkan kompetensi relatif dari suatu Pengadilan. Terdapat 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia, yaitu Pengadilan Niaga Jakarta, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Surabaya, serta Pengadilan Niaga Ujung Pandang.75 Dalam sengketa penghapusan pendaftaran merek, yang menjadi tergugat tidak cukup hanya pemilik mereknya saja sebagai tergugat I, tetapi juga harus melibatkan Direktorat Merek sebagai tergugat II. Hal ini dilakukan karena Direktorat Merek sebagai instansi yang melakukan pendaftaran merek yang dapat mencoret suatu merek dari Daftar Umum Merek sehingga dalam petitum gugatan penggugat perlu
74 75
Saidin, O.K., Op.Cit, hlm. 394. Rezki Sri Astarini, Dwi, Op.Cit, hal 90
Universitas Sumatera Utara
57
dimntakan agar Direktorat Merek diperintahkan untuk mencoret merek dari Daftar Umum. Gugatan dalam sengketa penghapusan pendaftaran merek tidak dimungkinkan menggunakan dasar hukum lain, selain alasan yang tercantum dalam Pasal 61 (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Apabila dalil gugatan menyimpang dari itu, akan berakibat gugatan menjadi kabur (obscuur libel) atau tidak mempunyai dasar hukum. Akibat yang terjadi adalah gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima.76 Selain dari penghapusan merek terdaftar sebagaimana dibahas di atas, juga ada pengaturan mengenai Penghapusan Merek Kolektif. Penghapusan Merek Kolektif merupakan Hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Pada penghapusan pendaftaran merek kolektif ini harus di ajukan kepada Direktorat Jenderal HAKI. Mengenai penghapusan Merek kolektif terdaftar ini akan dicatat dalam Daftar Umum dan akan dilakukan pengumuman dalam Berita Resmi Merek. Penghapusan Pendaftaran Merek Kolektif ini harus atas dasar : 1. Permohonan sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis semua pemakai Merek Kolektif; 2. Bukti yang cukup bahwa Merek Kolektif tersebut dipakai selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak tanggal pendaftarannya atau pemakaian terakhir kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal; 3. Bukti yang cukup bahwa Merek Kolektif digunakan untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jenis jasa yang dimohonkan pendaftarannya; atau pula 3 ( tiga ) pihak yang dapat menghapuskan pendaftaran merek. 4. Bukti yang cukup bahwa Merek Kolektif tersebut tidak digunakan sesuai dengan peraturan penggunaan Merek Kolektif.77
76 77
Ibid, hal 91 Nurachmad, Much, Op.Cit, Hal 76
Universitas Sumatera Utara
58
Penghapusan pendaftaran merek kolektif yang diajukan oleh pihak ketiga harus diajukan ke Pengadilan Niaga hal ini sebagaimana diatur Dalam Pasal 67, yang menyatakan bahwa : “Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan Niaga berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d”. Dalam sejarah perkembangan dan perubahan Undang-Undang Merek, dapat dilihat bahwa pada bagian penghapusan pendaftaran merek terdapat penyempurnaanpenyempurnaan yang dilakukan guna menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan untuk menyesuaikan Hukum merek dengan ketentuan TRIPs. Seperti diatur pada Pasal 63 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang gugatan penghapusan pendaftaran merek merupakan bagian dari perekonomian dan dunia usaha, sehingga penyelesaian sengketa memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga. Dipilihnya Pengadilan Niaga disebabkan sengketa merek tersebut dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. D. Pengertian Dan Konsep Itikad Tidak Baik Dalam Pendaftaran Merek Definsi mengenai itikad tidak baik, sejauh ini masih belum mendapatkan pengertian yang jelas. Beberapa Negara telah mulai membuat peraturan yang mengatur tentang itikad tidak baik, tetapi sejauh ini masih belum didapatkan
Universitas Sumatera Utara
59
penjelasan yang akurat mengenai pembahasan itikad tidak baik ini. Menurut legal Dictionary menyebutkan bahwa “Bad faith is intentional dishonest act by not fulfilling legal or contractual obligations, misleading another, entering into an agreement without the intention or means to fulfill it, or violating basic standards of honesty in dealing with others. Most states recognize what is called ‘implied covenant of good faith and fair dealing’ which is breached by acts of bad faith, for which a lawsuit may be brought (filed) for the breach (just as one might sue for breach of contract). The question of bad faith may be raised as a defense to a suit on a contract.”78 Definisi mengenai itikad tidak baik oleh legal Dictionary di atas, memberikan pengertian itikad tidak dari sudut pandang perjanjian atau pembuatan kontrak. Definisi itikad tidak baik melalui sudut pandang pendaftaran merek masih belum didapat pengertian yang jelas. Tetapi itikad tidak baik dalam pendaftaran merek selalu identik dengan pendaftaran merek yang memiliki persamaaan pada merek terdaftar. Menurut Amalia Rooseno, ada 2 (dua) doktrin mengenai persamaan merek yaitu doktrin enterities similar dan doktrin nearly resembles.79 Doktrin enterities similar menganggap persamaan merek diidentifikasi sebagai persamaan keseluruhan elemen dengan merek lain, Sedangkan doktrin nearly resembles menganggap suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain jika pada merek tersebut terdapat kemiripan atau hampir mirip dengan merek orang lain, Di Indonesia pengaturan mengenai itikad tidak baik ini diatur pada Pasal 4 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek yang menyatakan bahwa :
78
http://dictionary.law.com/Default.aspx?selected=21, diakses pada tanggal 15 September
2014 79
Emmy Yuhassarie, Hak Kekayaaan Intelektual dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), Hal 206
Universitas Sumatera Utara
60
“ Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.” Dalam Pasal 4 Undang-Undang no 15 Tahun 2001 ini tidak dijelaskan pengertian itikad tidak baik ataupun unsur-unsur suatu permohonan dikategorikan sebagai pemohon yang beritikad tidak baik. Didalam penjelasan Pasal 4 ini hanya menjelaskan pengertian pemohon yang beritikad baik. Dalam penjelasan pasal 4 itu disebutkan bahwa pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa niat untuk menbonceng,meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Walaupun tidak dijelaskan mengenai pengertian atau definisi itikad tidak baik, tetapi dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tersebut ada diberikan contoh yang merupakan suatu tindakan itikad tidak baik. Dalam contoh yang dimuat pada penjelasan Pasal 4 itu djelaskan bahwa suatu tindakan peniruan terhadap merek yang sudah dikenal oleh masyarakat secara umum sejak bertahuntahun dan tindakan peniruan tersebut sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya ataupun memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan merek dagang tersebut, maka dalam hal ini sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui adanya unsur peniruan merek yang sudah dikenal lama oleh masyarakat umum tersebut. Jadi dapat diketahui bahwa secara umum
Universitas Sumatera Utara
61
jangkauan pengertian itikad tidak baik meliputi perbuatan penipuan, rangkaian menyesatkan orang lain, serta tingkah laku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Bisa juga diartikan sebagai perilaku yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonestly purpose).80 Jadi dapat diketahui bahwa walaupun Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek telah mengatur tentang itikad tidak baik, tetapi mengenai itikad tidak baik tersebut belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek tersebut. Dalam pembahasan di bawah ini akan di bahas mengenai pengaturan mengenai definisi serta kriteria mengenai itikad tidak baik tersebut dari beberapa negara serta pembahasan mengenai kriteria itikad tidak baik yang diatur di Undang–Undang merek Indonesia. 1.
Pengaturan Itikad Tidak Baik Dalam Hukum Beberapa Negara
a.
Australia Hukum di Negara Australia belum memberikan definisi secara jelas mengenai
itikad tidak baik, tetapi mengenai kriteria-kriteria atau syarat-syarat suatu tindakan dikatakan sebagai itikad tidak baik ada di atur dalam The Explanatory Memorandum to the Trade Marks Amendment Act 2006. Di dalam The Explanatory Memorandum to the Trade Marks Amendment Act 2006, menyebutkan itikad tidak baik sebagai “instances in which a person has deliberately set out to gain registration of a trade
80
Agus Mardianto, “Penghapusan Pendaftaran Merek Berdasarkan Gugatan Pihak Ketiga”, Jurnal Dinamika Hukum, Unsoed Purwokerto, Vol. 10 No. 1, 2010, Hlm, 47
Universitas Sumatera Utara
62
mark, or adopted a trade mark in bad faith”. Untuk bisa dinyatakan sebagai itikad tidak baik, harus mencakup : 1. an element of intentional dishonesty; or 2. a deliberate attempt to mislead the Registrar in some way by means of the application; or 3. in circumstances where an Applicant claims that the application was not made in bad faith but, rather, as a result of its own ignorance or naivety, then the evidence would need to show that the circumstances were such that the “reasonable man” standing in the shoes of the Applicant, should be aware that he ought not to apply for Trade Mark Registration.81 b.
Brazil Di negara Brazil juga ada diatur mengenai tindakan itikad tidak baik. Tetapi
sejauh ini Hukum di Negara Brazil masih belum mencantum atau mengatur mengenai pengertian atau definisi itikad tidak baik secara jelas. Mengenai itikad tidak baik, pada Undang-undang merek Brazil yang disahkan pada tanggal 14 mei 1996 memperkenalkan konsep mengenai itikad tidak baik yang kaitannya dengan pengaplikasian merek atau pada pendaftaran merek. mengenai itikad tidak baik ini diatur pada Section 124, XXIII, yang mengatur bahwa “shall not be registered as trade marks a sign that imitates or reproduces, either wholly or in part, a trade mark which the applicant clearly could not be unaware of as a result of his activity, in the name of a person established or domiciled in Brazilian territory or in a country that is bound to Brazil by agreement, or that assures reciprocity of treatment, if the mark is intended to identify identical, similar or related products or services liable to cause confusion or association with the other person’s mark”.82 81 Trade mark application for SUPERMAN WORKOUT made in bad faith , http://www.gadens.com/publications/Pages/Trade-mark-application-for-SUPERMAN-WORK-OUTmade-in-bad-faith.aspx , diakses pada tanggal 29 September 2014 82 Brazilian Trademark Oppositions/Cancellations Bad Faith Filings and Issues, Luiz Edgard Montaury Pimenta, IPO Annual Meeting 2013 Brazil
Universitas Sumatera Utara
63
Dengan demikian, definisi "itikad buruk" dalam suatu pendaftaran merek, tidak hanya mempertimbangkan status ketenaran suatu merek dagang (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 bis Konvensi Paris), tetapi juga harus menganalisis tujuan dan maksud Pemohon dalam mengajukan permohonan pendaftaran suatu merek. c.
China Mengenai pengertian dan konsep itikad tidak baik di China, masih belum ada
penjelasan yang lengkap pada Regulasi dan Hukum merek di China. Trademark Review and Adjudication Board (TRAB) memberikan Penjelasan mengenai itikad tidak baik, TRAB menyatakan bahwa “Bad faith is a mental state of a person in that he knew or should have known that the trademark in question originated from a third party.” China Trademark Office (CTMO) dan Trademark Review and Adjudication Board (TRAB) juga memberikan penjelasan mengenai konteks pasal 13 dari Hukum merek China yang mengatur mengenai perlindungan merek terkenal. Dalam hal ini dikatakan dalam melindungi merek terkenal dari kemungkinan terjadi itikad tidak baik, harus mempertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut : 1. The Applicant and the prior user of the trademark have had business contacts or cooperation; 2. the Applicant and the prior user are in the same area or both goods/ services have same distribution channel and territorial scope; 3. the Applicant and the prior user have had other disputes to let the applicant become aware of prior user’s trademark; 4. the Applicant and the prior user have had internal personnel exchanges; 5. upon the registration of the trademark, the Applicant, with the purpose to seek unfair benefit, uses the reputation and influence of the prior user’s influential
Universitas Sumatera Utara
64
trademark to mislead the public, forces the prior user to do business with the applicant, or demands high transfer fee, royalty fee or infringement compensation from the prior user or others; 6. the other’s trademark has high originality; and 7. other situations indicating the existence of bad faith.83 Selain pengaturan mengenai perlindungan terhadap merek terkenal yang sebagaimana tercantum pada konteks Pasal 13 Hukum merek, dalam perkembangan nya juga ada diberikan penjelasan mengenai itikad tidak dalam pendaftaran merek. untuk dapat memutuskan suatu pendaftaran tergolong dalam pendaftaran yang berdasarkan itikad tidak baik, maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. If the applicant seeks to register the mark, it may be difficult to determine if this act is actually done in bad faith. A bad faith applicant is not actually using the mark for the properly intended usage; rather they are using the intellectual property of others for their personal gain by filing a bad faith application. This behavior in and of itself is intended to occupy the fruits of labor or intellectual achievements of others. If this type of mark is registered, it is no different from theft. we can identify the registration made in bad faith from one that establishes legitimate interests from three step. First, see that if registration is successful, the mark is used on the applicant's goods or services and see whether those goods and services are registered with said mark are similar to or the same as another's. Secondly, one should know if the registrant transferred the trademark rights to a second party, or they bought a license to use the mark. Third, ask if a registered trademark owner made the direct infringement complaint, and if so, did they request reimbursement. If the bad faith applicants have registered trademarks not primarily for their own use, and do not own the products or services associated with that mark, or, if they have not purchased a trademark license or failed to request compensation for infringement of the trademark, then it can be accurately assumed that this applicant's actions were intended to register a mark in bad faith. 2. If the applicant has registered through unfair means; this behavior can be explained through the aforementioned elements. Through improper means, the applicant registered a trademark in an unlawful manner, concealing relevant 83
Bad Faith Trade Mark Filings – An International Perspective, http://www.ipo.org/wpcontent/uploads/2013/11/badfaithfilings..pdf , Page 12, diakses pada tanggal 30 September
Universitas Sumatera Utara
65
facts in their trademark application and other related materials, thereby falsely reporting information within their application. 3. If registration is successful, the results of bad faith registration can be more easily determined; it will eventually constitute a bad faith registration if objections are filed. If there is a procedure of objection, these bad faith applicants will inevitably be found to have applied for the trademark rights of others. In this case, objections will certainly be raised, leading to the unsuccessful registration of the mark, which is then called "attempted bad faith registration"84 d.
Inggris Mengenai itikad tidak baik, dalam Undang-undang Inggris belum di muat
pembahasan mengenai pengertian ataupun kriteria tindakan-tindakan yang bisa digolongkan sebagai tindakan berdasarkan itikad tidak baik. Mengenai pembahasan itikad tidak baik muncul pada sidang pengadilan kasus Gromax Plasticulture Ltd v Don dan Low Nonwovens Ltd. Dalam persidangan ini Hakim ada memberikan opini mengenai itikad tidak baik, Hakim menyatakan bahwa : “I shall not attempt to define bad faith in this context. Plainly it includes dishonesty and, as I would hold, includes also some dealings which fall short of the standards of acceptable commercial behavior observed by reasonable and experienced men in the particular area being examined. Parliament has wisely not attempted to explain in detail what is or is not bad faith in this context; how far a dealing must so fall-short in order to amount to bad faith is a matter best left to be adjudged not by some paraphrase by the Courts (which leads to the danger of the Courts then construing not the Act but the paraphrase) but by reference to the words of the Act and upon a regard to all material surrounding circumstances.”85 e.
Taiwan
84
Bad Faith Registration: What China's New Trademark Law Will Change To Protect IPR Owners,http://www.mondaq.com/x/310464/Trademark/Bad+Faith+Registration+What+Chinas+New+ Trademark+Law+Will , diakses pada 29 September 2014 85 Bad Faith Trade Mark Filings – An International Perspective, Page 139, http://www.ipo.org/wp-content/uploads/2013/11/badfaithfilings.pdf, diakses pada tanggal 30 September
Universitas Sumatera Utara
66
Dalam
perundang-undangan
kekayaan
intelektual
di
Taiwan
tidak
memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan "itikad buruk", tetapi ada diberikan kriteria-kriteria ataupun unsur-unsur itikad tidak baik. Sehubungan dengan dokumen atau pernyataan yang disampaikan ke Kantor Merek Dagang diatur dalam Pasal 119 UU Prosedur Administrasi dimana tindakan-tindakan berikut dikategorikan sebagai tindakan "itikad buruk" yaitu : 1. Causing the administrative authority to render an administrative disposition by way of fraud, coercion or bribery; 2. furnishing incorrect information or making incomplete statements, thereby causing the administrative authority to render an administrative disposition based on such information or statement; and 3. having knowledge that the administrative disposition is unlawful or failing to know that it is unlawful due to his gross negligence.86 f.
Jerman Didalam undang-undang perdagangan merek di Jerman No. 10 pada Pasal
8(2) ada diatur mengenai pembahasan itikad tidak baik. Menurut pengaturan pada Pasal 8(2) untuk menentukan apakah suatu merek dagang diajukan berdasarkan itikad tidak baik, harus menjadi subyek dari penilaian secara keseluruhan dengan mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus tertentu. Faktor-faktor yang relevan adalah : 1. The fact that the Applicant knows or must know that a third party is using an identical/similar sign for identical/similar products/services capable of being confused with the sign for which registration is sought and that this third party has acquired a degree of legal protection on this sign through use. 2. A presumption of knowledge by the Applicant of the use by a third party of a confusingly similar sign may arise from general knowledge in the economic sector concerned with such use or from the duration of such use. The more 86
Ibid, hal 127
Universitas Sumatera Utara
67
that use is long-standing, the more probable it is that the Applicant had knowledge of that use when it filed its application. 3. The fact that the third party has acquired a degree of legal protection through use of the sign. It is required in this regard that the sign is known in the relevant sector of the public. Evidence that the sign has renown is the extent of use, the duration of its use, the annual turnover, the annual marketing expenditures, the market share, etc. 4. However, the mere fact that the Applicant knows or must know that a third party has long been using a confusingly similar sign is not alone sufficient to permit the conclusion that the Applicant was acting in bad faith. To determine whether there was bad faith, consideration must also be given to the Applicant’s intention when he filed the application for registration. Bad faith is assumed in cases where the Applicant filed the application without having any justification, but only with the intention to prevent a third party from continuing to use such sign or to disrupt theprotection. That is particularly the case when it becomes apparent that the Applicant applied for registration of the sign without intending to use it. Further, bad faith is assumed in cases where a third party’s sign has long been used and where the Applicant’s sole aim lies in taking advantage of the reputation of the sign of the third party and competing unfairly with the third party on the market.87 Bilamana ada indikasi terjadi itikad tidak baik dalam suatu pengajuan merek, maka ada beberapa kriteria-kriteria yang bisa dijadikan standar untuk menentukan telah terjadinya tindakan itikad tidak baik. Suatu tindakan digolongkan sebagai tindakan itikad tidak baik harus memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini: 1. The third party has acquired a degree of legal protection through use of the relevant sign. Proof of use should be submitted to the Office or the Court, i.e. documenting the extent and long duration of use of the sign, the annual turnover and marketing expenditures, the market share, the reputation of the sign on the market, etc.. 2. The Applicant had knowledge or at least must have had knowledge of this of the third party’s sign. 3. The Applicant primarily filed the trade mark application with the intention to prevent the third party from continuing to use its sign or with the intention todisrupt the protection. Since the Applicant’s intention is a subjective factor, itmust be determined by reference to the objective circumstances surrounding theparticular case. If it can be proven that the Applicant does not use the 87
Ibid, hal 49
Universitas Sumatera Utara
68
trade markin the course of trade, this might be good evidence to document its intention toonly disrupt the use of this sign by the third party. The same applies to cases where the Applicant is already using another trade mark for the very product on the market. In those cases there is no need for a new trade mark and thus this fact can also be sufficient evidence that the Applicant has no intention to seriously use the new trade mark, but only has the intention to prevent the third party from continuing to use its sign. In some cases disputes or competitive relationships between the Applicant and the third party might lead to the assumption that only those disputes, or the fact that the parties are serious competitors, were the reason for filing the trade mark application, particularly to damage the third party.88 g.
Singapura Negara Singapura tidak mengatur secara tertulis mengenai itikad tidak Baik
dalam Hukumnya. Pengaturan mengenai definisi itikad tidak baik masih belum ada didalam hukum negara Singapura. Tetapi begitu dalam persidangan di pengadilan ada beberapa kasus yang menimbulkan pemahaman mengenai apa yang dikatakan sebagai tindakan itikad tidak baik. Dibawah ini akan dipaparkan beberapa kasus yang berhubungan dengan tindakan itikad tidak baik yaitu : 1. Bad faith is a distinct and independent argument from the issue of confusing similarity. Bad faith can exist even where the use of trade mark sought to be registered would not result in any confusion or deception. In the case of Rothmans of Pall Mall Ltd v. Maycolson International Ltd [2006] 2SLR 551, wherein the fact that Fairlight mark was not confusingly similar to theRothman marks, was irrelevant in the bad faith inquiry. 2. The test for bad faith involves a combination of an objective and a subjective standard. In the similar case of Rothmans of Pall Mall Ltd v. MaycolsonInternational Ltd [2006] 2SLR 551, the element in the test required theCourt to examine the licensee’s conduct by reference to a reasonable person with expertise in the area under consideration. Using this objective assessment, the circumstances of the case were such that a reasonable person would have harboured suspicions as to propriety of the Fairlight mark, the licensee ought to have further inquired into the origins of this mark and intentions of Hertlein Brothers. Failure to do so was akin to willful 88
Ibid, hal 50
Universitas Sumatera Utara
69
blindnessand an indication of bad faith, because honest people would not deliberatelyclose their eyes and refrain from asking questions lest they obtain information they would rather not know. 3. In the case of P. T. Permona v Shanghai Tobacco Group [2001] SGHC 359, the Applicant was probably not using the Mark nor did he have the bona fide intention to use it. His intention was to sell the registration of the mark to the rightful proprietor. His declaration in the application form amounted to afalse declaration to the Registry. These facts supported the claim that the application was one made in bad faith.89 h.
Vietnam Di dalam Hukum Kekayaan Intelektual Vietnam, masih belum ada pengaturan
spesifik mengenai "itikad buruk", tapi ada beberapa penjelasan mengenai itikad tidak baik di berbagai dokumen Hukum Vietnam yaitu sebagai berikut : 1. Article 96.3 of the IP Law stipulates that “Any organizations or individuals shall have the right to request the State administrative authority of industrial property rights to invalidate a Protection Title in cases provided for in paragraphs 1 and 2 of this Article, provided that fees shall be paid. The time period for making request for invalidation of a Protection Title shall be its whole term of protection. With regard to marks, such time limit shall be 5 years as from the grant date, except for the case where the Protection Title has been granted due to the applicant’s dishonesty”. 2. According to Point 5.3 of Circular 01-2007-TT-BKHCN dated February 14, 2007 of Ministry of Science and Technology: “Representatives of application owners are accountable to application owners for all consequences of the declaration or supply of untruthful information in transactions with the NOIP and pay compensations for any damage caused”. 3. Furthermore, Point 22.3 of this Circular also stipulates that “22.3. Responsibilities of complainants: A complainant shall ensure the truthfulness of supplied proofs and are liable for consequences of the supply of untruthful proofs”.90
89
Bad Faith and Trade Mark Registrations in Singapore, Susanna H.S. LEONG and Cheng
Lim SAW 90
How is “bad faith” construed and dealt with in Vietnam?, http://kenfoxlaw.com/faq/13042how-is-bad-faith-construed-and-dealt-with-in-vietnam.html, diakses 30 September 2014
Universitas Sumatera Utara
70
2.
Kriteria Itikad Tidak Baik Menurut Undang-undang Merek Di Indonesia Perbuatan itikad tidak baik ini jelas-jelas dilarang dalam Undang-undang
merek, hal ini sebagaimana tercantum pada pasal 4 Undang-undang No 15 Tahun 2001, yang berbunyi : “Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik “ Undang-undang No 15 Tahun 2001 tidak memberikan definsi secara jelas mengenai pengertian itikad tidak baik ini, pada penjelasan Undang-undang No 15 Tahun 2001 ini hanya dijelaskan mengenai pemohon yang beritikad baik. Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, menjiplak, atau meniru ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat pada kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Perbuatan beritikad tidak baik yaitu tindakan curang untuk membonceng merek yang sudah terkenal atau sesuatu yang sudah banyak dikenal masyarakat luas ataupun memiliki reputasi yang baik, sehingga dengan menggunakan merek yang demikian, menimbulkan kesalahan persepsi masyarakat. Perbuatan demikian, tidak sesuai dengan dasar etika intelektual yang telah diatur dengan undang-undang Merek Indonesia, karena suatu karya yang dihasilkan dengan cara meniru karya orang lain adalah merupakan suatu pelanggaran.
Universitas Sumatera Utara
71
Seseorang yang beritikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur berwujud penggunaan upaya-upaya atau ikhtiar-ikhtiar mempergunakan merek dengan meniru merek terkenal (well know trade mark) yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksi secara pokoknya sama dengan merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal (untuk barang atau jasa sejenis) dengan maksud menimbulkan kesan kepada khalayak ramai, seakan-akan barang atau jasa yang diproduksinya itu sama dengan produksi barang atau jasa yang sudah terkenal. Bahkan suatu merek yang didaftarkan diharapkan di pergunakan secara itikad baik. Jika sebuah merek diajukan pendaftarannya tanpa bermaksud memakai ataupun tujuan pendaftaran mereknya untuk menghalangi pihak lain mendaftarkan ataupun menghambat orang lain supaya tidak bisa mendaftarakan merek tersebut, hal ini juga termasuk suatu tindakan berdasarkan itikad tidak baik.91 Bahkan ada yang mendaftarkan merek terkenal asing yang belum terdaftar di Indonesia, dan jika pemilik merek terkenal asing ingin memperdagangkan tersebut ingin menproduksi dan memperdagangkan mereknya, dia harus harus bekerjasama dengan pihak yang mendaftarkan merek secara itikad tidak baik melalui lisensi. Hal seperti pernah diizinkan di Indonesia, tetapi melalui perkembangan dan pembaharuan Undangundang merek di Indonesia, hal seperti ini tidak di perbolehkan lagi. 92 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tidak memberikan penjelasan mengenai kriteria dari itikad tidak baik tersebut. Tetapi pada pasal 6 ada diatur penolakan 91
Lindsey, Tim, Eddy Damian, Simon Butt dan Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung : P.T. Alumni , 2006) hal 141 92 Ibid
Universitas Sumatera Utara
72
terhadap permohonan merek oleh Direktorat Jenderal, Pasal 6 Undang-Undang no 15 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : (1)Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal. (2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (3)Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut: a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Pasal 6 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 ini, selalu dijadikan dasar gugatan merek perihal pelanggaran merek dengan unsur itikad tidak baik, Terutama butir pertama pada Pasal 6 ini. Beberapa contoh gugatan pendaftaran merek secara itikad tidak baik, dengan dasar persamaan pada pokoknya dan persamaan pada keseluruhan, yiatu: CESARA PACIOTTI (Cespa SRL) melawan CESARE PACIOTTI (Piong San Po), RDL (RDL Pharmaceautical) melawan RDL (PT Sparindo Mustika), HOLLAND BAKERY (PT Mustika Citrarasa) melawan BAKERI HOLAN (Drs
Universitas Sumatera Utara
73
F.X.Y. kiatanto S) dan masih banyak lagi gugatan itikad tidak baik dengan dasar persamaan pada pokoknya maupun persamaan pada keseluruhan. Jadi mengenai Kriteria Itikad Tidak Baik dalam Pendaftaran merek belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001. walaupun tidak jelaskan dalam Undang-Undang No 15 tahun 2001 mengenai kriteria itikad tidak baik, tetapi dalam pasal 6 Undang-undang merek ada diatur tentang penolakan permohonan pendaftaran merek. penolakan permohonan merek ini dalam hal adanya persamaan pada pokoknya dan persamaan pada keseluruhan dengan merek terdaftar maupun dengan merek terkenal. Permohonan pendaftaran merek juga harus ditolak dalam hal menyerupai nama orang terkenal, foto atau nama badan hukum. Dalam hal merek merupakan tiruan atau menyerupai nama, singkatan, bendera, lambang atau simbol atau emblen negara atau lembaga nasional maupun internasional, permohonan pendaftaran tersebut harus di tolak juga. Jadi walaupun Undang-Undang No 15 tahun 2001 belum mengatur secara jelas mengenai kriteria dari itikad tidak baik, Pasal 6 Undang-Undang merek ini dapat dijadikan pedoman untuk menentukan apakah suatu pendaftaran merek tergolong beritikad buruk atau tidak. E. Perlindungan Merek Asing Menurut Perundang-undangan merek Di Indonesia Salah satu prinsip terpenting dari konvensi paris adalah prinsip tentang persamaan pelakuan yang mutlak antara orang asing dengan warga negara sendiri, Prinsip tersebut dirumuskan pada Pasal 2 konvensi paris. Pasal 2 konvensi paris tersebut mengandung prinsip “national treatmant” atau prinsip asimilasi (principle of
Universitas Sumatera Utara
74
assimilation), yaitu seorang warga negara yang merupakan warga dari suatu negara peserta Uni, akan memperoleh pengakuan dan hak yang sama seperti seorang warga negara di mana mereknya didaftarkan. Prinsip perlakuan sama ini tidak untuk badanbadan hukum.93 Seorang asing dilindungi sama dengan warga negara tempat mereknya didaftarkan, dengan demikian hak dan kewajibannya pun sama, tidak boleh adanya diskriminasi. Dengan adanya ketentuan tersebut, dan oleh karena Indonesia menjadi keanggotaan dalam WTO maka Indonesia diwajibkan untuk mengikuti konvensi Paris tersebut. Jadi para pemilik merek asing yang ingin mendaftarkan merek ke Indonesia, sejauh pemilik merek asing tersebut adalah seorang warga negara dari negara menjadi keanggotaan WTO ataupun negara yang meratifikasi Agreement On Establishing maka prinsip National Treatmant ini berlaku untuk dirinya. Dengan kata lain dalam hal pendaftaran mereknya tersebut si pemilik merek asing akan mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara Indonesia, dan akan tunduk pada Undang-Undang merek No 15 tahun 2001. Biasanya secara hampir sama dalam ketentuan merek suatu negara selalu mencantumkan ketentuan mengenai cara memudahkan pengurusan merek tersebut, yaitu si orang asing diwajibkan mempunyai domisili di mana mereknya didaftarkan dengan cara memberikan kuasa kepada konsultan merek di negara tempat merek yang diajukan oleh pemilik atau yang berhak atas merek yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap diluar wilayah Negara Republik Indonesia, wajib diajukan 93
Muhammad Djumhana, dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 233
Universitas Sumatera Utara
75
melalui kuasanya di Indonesia. Pemilik merek juga wajib menyatakan dan memilih tempat tinggal kuasanya sebagai alamatnya di Indonesia.94 Prinsip National Treatmant tersebut tidak hanya berlaku dalam hal pendaftaran oleh pemilik merek asing, dalam hal pelindungan hukum terhadap merek asing juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan merek yang dimiliki oleh warga negara Indonesia. Dengan merek asing yang telah terdaftar menurut Undangundang Merek, maka pemilik merek mendapatkan hak atas mereknya dan mereknya mendapatkan jangka waktu perlindungan 10 tahun sesusai ditentukan UndangUndang No 15 Tahun 2001. Selain dari membahas tentang perlindungan merek asing yang terdaftar di Indonesia, kita perlu juga membahas tentang perlindungan merek yang belum terdaftar atau lebih jelasnya pembahasan mengenai merek asing terhalang pendaftaran atau pembatalan suatu pendaftaran merek asing yang diakibatkan oleh sudah ada pendaftaran merek asing tersebut oleh warga negara Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa sistem yang pernah dianut didalam sejarah Undang-undang merek ada dua sistem yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif, sistem dekralatif yang dianut oleh Undang-Undang No 21 Tahun 1961 dan sistem konstitutif yang dianut dalam Undang-Undang
No 19 Tahun 1992, Undang-Undang No 14 Tahun 1997 dan
Undang-Undang merek saat ini yaitu Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Perbedaan mendasar dari sistem Deklaratif dan sistem Konstitutif adalah perlindungan pada merek. dalam sistem Konstitutif memberikan perlindungan 94
Muhammad Djumhana dan Djubaedilah, Op.Cit, Hal 234
Universitas Sumatera Utara
76
terhadap merek yang pertama mendaftarkan (first to file). Jadi perlindungan merek hanya diberikan kepada pemilik merek yang duluan mendaftarkan mereknya, dan pemohon pendaftaran atas merek yang sama akan dikategorikan sebagai pemohon yang beritikad tidak baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Perlindungan
Hukum
dalam
Sistem
Deklaratif
adalah
memberikan
perlindungan hukum bagi merek terdaftar, dan merek tidak terdaftar pun dimungkinkan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam sistem Deklaratif ini memberikan perlindungan hukum terhadap pemakai pertama merek (first to use). Jadi selama seorang pemilik merek bisa membuktikan bahwa dia adalah pemakai pertama atas mereknya, maka dia akan diberikan perlindungan walaupun si pemilik merek belum mendaftarkan merek tersebut. Jadi dalam pembahasan mengenai perlindungan terhadap merek asing yang belum melakukan pendaftaran atau belum terdaftar merek tersebut menurut Undangundang merek di Indonesia, jika kita memandang dari sudut pandang sistem deklaratif maka pemilik merek asing tersebut dimungkinkan mendapatkan perlindungan merek. Pemilik merek asing ini sejauh dia bisa membuktikan bahwa dia adalah pemakai pertama dari mereknya tersebut, maka menurut sistem Deklaratif ini pemilik merek asing akan diberikan perlindungan walaupun sudah pihak lain yang mendaftarkan merek yang sama terlebih dahulu. Dan terhadap pendaftaran merek yang dilakukan oleh pihak lain akan di batalkan. Tetapi karena sistem yang dianut dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2001 ini adalah sistem Konstitutif maka bisa dipastikan bahwa terhadap merek dari pemilik asing yang belum didaftarkan atau
Universitas Sumatera Utara
77
belum terdaftar menurut Undang-undang merek Indonesia ini tidak akan mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang No 15 Tahun 2001. Walaupun dalam sistem Konstitutif yang dianut Undang-Undang merek saat ini hanya memberikan perlindungan terhadap merek yang telah terdaftar menurut Undang-undang merek di Indonesia, tetapi Undang-Undang No 15 Tahun 2001 ini memberikan celah terhadap merek asing yang belum terdaftar menurut UndangUndang merek di Indonesia untuk memdapatkan perlindungan hukum. Pemilik merek asing yang belum terdaftar menurut Undang-Undang merek di Indonesia juga mendapatkan perlindungan hukum, sejauh pemilik merek asing tersebut dapat membuktikan bahwa merek asing miliknya terkategori kedalam merek terkenal. Hal ini sebagaimana tercantum pada Pasal 6 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa penolakan terhadap permohonan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dan persamaan keseluruhannya dengan merek terkenal. Jadi dapat diketahui bahwa Undang-Undang No 15 tahun 2001 tentang merek menganut sistem Konstitutif, oleh karena itu perlindungan merek hanya diberikan kepada pemilik merek yang melakukan pendaftaran pertama atas mereknya, dan pendaftaran merek merupakan sesuatu yang diwajibkan bila ingin mendapatkan perlindungan merek. Dan terhadap merek asing ataupun merek lokal yang belum terdaftar menurut Undang-Undang merek tetapi bilamana pemilik merek asing atau pemilik merek lokal dapat membuktikan bahwa merek yang dimiliki adalah tergolong merek terkenal maka ini akan memungkinkan merek asing ataupun merek lokal tersebut bisa mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang No 15 Tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara