BAB I Politik Lingkungan : Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
A. Latarbelakang Substansi lingkungan hidup sebagai objek kajian keilmuan sangat luas cakupannya. Kerusakan dan kebakaran hutan, keanekaragaman hayati, polusi udara, akibat emisi karbon dari industri dan asap kendaraan bermotor, pencemaran sungai dan laut, kerusakan pantai, pembuangan limbah nuklir, merupakan cakupan isu lingkungan hidup yang mempengaruhi keberlangsungan hidup umat manusia sebagai individu atupun kelompok. Akhir-akhir ini isu lingkungan hidup menjadi isu yang hangat diperdebatkan dalam berbagai forum internasional karena adanya pemanasan global. Masalah lokal tentang degradasi lingkungan hidup semakin memiliki implikasi internasional. Polusi udara yang terjadi tidak berhenti diperbatasan; hujan asam dari Perancis, misalnya, mengancam masyarakat, persediaan air tanah, ikan di danau dan hutan-hutan tidak hanya di Perancis tetapi juga dinegara-negara tetangga di Eropa. Atau kebakaran hutan di Indonesia yang asapnya terbang hingga melintas batas negara sehingga mengganggu negara-negara tetangganya seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Dan yang lebih parah lagi saat ini telah terjadi pengunaan berlebih atas zat yang bernama CFC (clorofluorcarbon) yang digunakan pada alat
Universitas Sumatera Utara
pendingin, penyejuk ruangan, bahan kimia dan produk industri lainnya. Hal ini merupakan ancaman besar bagi lapisan ozon, selimut gas yang melindungi bumi dari sinar ultra violet matahari. CFC berinteraksi secara kimiawi dengan lapisan ozon sehigga menipiskan karbondioksida dan kandungan kimia lainnya terkunci dalam panas dekat dengan permukaan bumi dan oleh karena itu menghasilkan pemanasan global. Pemanasan global berarti polusi udara yang sangat dan meningkatkan permukaaan air laut, suatu ancaman bagi sebagian penduduk yang hidup di wilayah pantai. 1 Menangapi permasalahan pemanasan global ini negara-negara di dunia yang tadinya melakukan program penanganan secara sediri-sendiri menyadari bahwa tindakan mereka tidaklah cukup , negara-negara tersebut sadar bahwa permasalahan global harus ditangulangi dengan sebuah gerakan bersama. Maka disepakatilah diadakannya konfrensi yang tujuannya adalah menyamakan presepsi tentang pemanasan global dan penanganannya. Adalah United Nations Framework Convention on Climate ChangeConference of parties (UNFCCC-CoP) sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh PBB untuk mengatasi permasalahan pemanasan global. Melalui konfrensi para pihak ini (CoP) dibahas permasalahan dari dampak serta cara mengatasi pemanasan global. Sejak awal konfrensi ini telah terjadi banyak perdebatan tentang faktor-faktor penyebab timbulnya pemanasan global, karena banyak negara yang mengetahui bahwa negaranyalah yang ikut andil dalam percepatan pemanasan global mencoba 1
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan internasional, Yoyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. 324
Universitas Sumatera Utara
menghindar dari tanggung jawabnya. Karena konsekuensi dari pengakuan tersebut akan memberikan implikasi yang besar bagi negaranya. Konfrensi ini berubah menjadi ruang saling menyerang antar negara bahwa merekalah penyebab pemanasan global serta harus bertanggung jawab. Pada UNFCCC CoP ke 3 tahun 1997 baru mulai mengalami kemajuan yang riil. Pada CoP ke3 yang diselengarakan di Kyoto jepang ini terjadi perubahan besar serta komitmen untuk mengatasi pemanasan global semakin serius. Hal ini dorong oleh semakin nyata dampak-dampak bahaya pemanasan global. Pada Cop ini menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang diberi nama Protokol Kyoto yang pada intinya adalah komitmen pembatasan dan target pengurangan emisi. Ketika mulai diberlakukannya Protokol Kyoto ini setiap tahunnya tetap dilaksanakan konfrensi-konfrensi untuk mengevaluasi pencapaian dari protocol ini. Pada tahun 2007 diadakannya kembali CoP ke 13 di Bali Indonesia, CoP kali ini menjadi sangat istimewa karena pada CoP ini dilakukannya persiapan untuk melanjutkan protokol Kyoto yang masa berlakunya akan berakhir pada tahun 2012. Maka disaat semakin dekatnya berakhirnya protokol Kyoto dunia seakan tidak ingin terlambat mengambil keputusan untuk menyelamatkan dirinya. Dalam CoP ini juga menghasilkan suatu kesepakatan penrting untuk mengatsi pemanasan global. Hasil dari CoP 13 ini di beri nama Bali Roadmap, yang salah satu hasilnya adalah Program Reducing Emission From Deforestation and Degradation (REDD). Yaitu sebuah program penurunan emisi gas penyebab pemanasan global melalui hutan yang asri.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia yang berlaku sebagai tuan rumah dalam konfrensi ini memainkan peran yang lebih. Menyadari posisinya saat itu dan juga pertimbangan lainnya, Indonesia menyampaikan program yang disusunnya untuk ditawarkan pada para negara peserta, REDD merupakan usulan dari Indonesia yang dalam penyampaiannya ini mengungkapkan argumen bahwa untuk mencegah pemanasan global haruslah menyelamatkan hutan dari eksloitasi, namun untuk menjaga lestarinya hutannya maka negara pemilik hutan yang asri harus mendapat konpensasi. Pada dasarnya REDD merupakan mekanisme internasional untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Jadi negara-negara maju yang menyumbang emisi lebih besar dari kemampuan negaranya menyerap emisi di haruskan menutupi kelebihan emisinya dengan cara memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang hutannya menyerap emisi karbon. Tidak dapat disangkal pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi semua negara berkembang. Penyedian lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan merupakan tujuan pembangunan ekonomi yang bersifat mendesak. Sementara pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai antara lain melalui eksploitasi sumber daya alam merupakan pilihan yang tersedia bagi pemerintah untuk menunjukan kepedulian terhadap kesejahteraan rakyatnya. Biasanya pemerintah negara berkembang pemilik hutan memberikan kesempatan kepada investor asing atau perusahaan dalam negeri yang mengelolah kekayaan alam secara komersial. Karena prioritas yang tinggi diberikan kepada pertumbuhan ekonomi maka lingkungan hidup dikorbankan dan akibatnya
Universitas Sumatera Utara
sumber daya alam seperti hutan tidak dikelolah secara keberlanjutan dan lingkungan hidup pun menjadi rusak. 2 Emisi gas rumah kaca global yang berasal dari bahan bakar fosil dan deforstasi hutan tropis harus mulai diturunkan apabila ingin mencegah kenaikan suhu global tetap pada kisaran dibawah 2 derajat celcius pada akhir tahun 2050. Hutan memang dapat menjadi sumber (source) atau rosot (sink) gas rumah kaca terutama karbondioksida, hutan menjadi sumber karbondioksida ketika hutan dikonversi, hutan menjadi rosot karbondioksida ketika hutan itu lestari, sebab hutan dalam pertumbuhannya menyedot karbondioksida yang ada diatmosfer. Jadi sebenarnya fungsi alami hutan adalah mencegah berlebihannya gas rumah kaca yang ada di atmosfer sehingga tidak terjadi pemanasan global. Seperti diungkapkan diatas bahwa demi pembangunan ekonomi terkadang pemerintah negara berkembang menyampingkan kelestarian lingkungannya, bahkan pemerintah mengeksloitasi sumberdaya alamnya secara besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi sesaat. Hal ini yang terjadi dengan hutan di Indonesia. Indonesia yang tidak memliki sumber uang yang mencukupi untuk membiayai pembangunannya terpaksa mengeksploitasikan hutannya. Dan ketika alam yang di eksploitasi besar-besaran ini mengalami kerusakan yang parah, alam menunjukan responnya. Respon alam ini banyak berupa bencana seperti banjir dan tanah longsor. Namun ternyata respon alam ini tidak hanya memberdampak lokal saja. Ketika terjadi perusakan hutan di negara-negara
2
Aleksius Jemadu, Politik Global Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008, hal. 316
Universitas Sumatera Utara
berkembang bukan hanya negara-negara berkembang tersebut saja yang terkena dampak negativenya, negara-negara maju pun ikut terkena dampaknya. Secara tidak langsung dampak negative dari alam membuat khawatir juga negara-negara maju, sebab gaya hidup mereka terganggu oleh fenomena alam tersebut. Tentu saja mereka kembali menekan negara-negara berkembang tersebut untuk
memperbaiki
mempersalahkan
alamnya.
negara-negara
Negara-negara berkembang
maju
karena
dengan
terlalu
mudahnya
mengeksploitasi
alamnya.Padahal dari eksploitasi alam oleh negara-negara berkembang tersebut semuanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi negera-negara maju tersebut. Hal yang tidak adil kembali terjadi ketika negara-negara maju memaksakan agar negara-negara berkembang mengunakan teknologi canggih yang lebih ramah lingkungan dalam proses produksinya. Tentu hal ini menyebabkan masalah baru bagi negara-negara berkembang yang menyebabkan mereka semakin ketergantungan pada negara maju, sebab yang memiliki teknologi canggih hanya negara-negara industri maju saja, karena adanya keterbatasan sumber daya manusia negara berkembang dalam membuat teknologi canggih tersebut. Teknologi yang canggih ini pun bukan sesuatu yang murah. Ketidakadilan inilah yang mendorong
Indonesia mengajukan penawaran
Program REDD pada CoP ke 13. Keyakinan bahwa dengan adanya hutan lestari pemanasan globaldapat dicegah maka hal ini mendorong banyak negara menyetujui REDD ini sehingga program ini masuk kedalam salah satu butir kesepakatan dari Bali Roadmap. Tentunya dimasukannya REDD bukan tanpa perdebatan sehingga dapat diterima semuanya.
Universitas Sumatera Utara
Pembahasaan REDD inilah yang hendak diungkapkan lebih lanjut dalam penelitian ini, sebab REDD sebagai program usulan dari pemerintah Indonesia masih banyak masyarakat belum jelas mengerti tentang apa itu program Reducing Emissions from Deforestation and Degradation sehingga mendorong penulis untuk memberikan informasi yang utuh mengenai REDD tersebut. B. Perumusan Masalah Berangkat dari latarbelakang masalah, peneliti mencoba untuk merumuskan masalah yang hendak di teliti yaitu: 1. Siapa aktor-aktor di balik usul Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) pada Conference of Parties ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change ( CoP ke 13 UNFCCC ) Di Bali tahun 2007 dan apa saja kepentingan yang hendak dicapainya? 2. Apa dampak dari program Reducing Emission From Deforestation Degradation bila diterapkan di Indonesia? C. Batasan Masalah Untuk memperjelas dan mempertegas serta membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis maka diperlukan adanya batasan masalah. Penenelitian ini membatasi masalah yang dibahas hanya pada hal berikut : 1. Penelitian ini akan melihat bagaimana para aktor berperan dalam Program Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD).
Universitas Sumatera Utara
2. Penelitian ini juga akan melihat pandangan-pandangan para ahli tentang Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) serta analisis para ahli tentang dampak REDD bila di terapkan di Indonesia. D. Tujuan Penelitian Ada pun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui siapa saja aktor dibalik program Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD). 2. Untuk mengetahui dampak bagi Indonesia jika menerapkan program Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) ini, baik dampak sosial, ekonomi serta dampak politiknya. E. Manfaat Penelitian Layaknya penelitian ilmiah tentunya penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat baik bagi penulis maupun orang lain yang membaca laporan penelitian ini. Berikut adalah manfaat yang ingin dicapai dalam penlitian ini : 1. Secara akademis, penelitian ini untuk memperkaya penelitan ilmiah dibidang politik lingkungan terutama yang berhubungan dengan isu Pemanasan global yang disebabkan oleh kerusakan hutan. 2. Bagi penulis sendiri penelitian ini untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah khususnya dalam bidang politik lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Dasar Pemikiran 1. Wacana Politik Lingkungan Masalah mendesak mengenai Perubahan Iklim atau pemanasan global yang terjadi saat ini adalah berhubungan dengan pengelolahan yang salah atas eksploitasi atas sumber daya alam yang menunjukkan korelasi indikator sebagai berikut: Pertama, kelengahan atas pengelolahan sumberdaya alam diantara aktor yang langsung (seperti negara). Mereka seringkali lengah mengimplementasikan konsep dan sistem pembangunan ekonomi yang berbasis lingkungan. Kedua, para aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan lingkungan, dan mereka gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia dengan alam. Hal ini penting untuk diakui perbedaan antara sistem manusia dan alam. Dinamika lingkungan adalah sebagai produk saling penguatan dari banyak susunan yang saling berinteraksi dan proses dari pada suatu desain. Dengan demikian, perbedaan yang fundamental antara tabiat manusia dan lingkungan bermakna bahwa pemahaman peran suatu masyarakat di dalam sistem lingkungan bermakna bahwa pemahaman bagaimana masyarakat telah terbuat di masa lampau, tetapi juga apa yang mereka rencanakan untuk masa depan. Sekarang perlu dijelaskan tentang apa arti dari Political Ecology (politik lingkungan). Tercatat ada beberapa ilmuan yang yang memberikan defenisi yang berbeda mengenai politik lingkungan. Diantaranya adalah Gary Paterson, Bryant, Vayda, Blaike dan Brookfield, Rocheleau dan Abe ken-ichi. 3
3
Herman Hidayat, Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
Menurut Paterson, bahwa politik lingkungan adalah pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam didalam masyarakat dalam skala individu lokal pada transnasional secara keseluruhan. Blaike dan Brookfield, politik lingkungan adalah suatu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan antara masyarakat lokal, nasional, politik ekonomi global dan ekosistem. Bryant mendefinisikan politik lingkungan sebagai usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian lingkungan. Rocheleau mendefinisikan politik lingkungan sebagai kecenderungan untuk melihat mendalam dinamika lingkungan dan memfokuskan atas suatu sistem manusia. Abe ken-ichi mendefinisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumber daya secara politik ekonomi, dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis. Sedangkan Vayda menjelaskan politik lingkungan adalah suatu metode terapan oleh ahli-ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal sebagai ‘progressive contextualization’ (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara khusus terhadap suatu sumber daya alam. Mengamati skala sosial dan lingkungan yang berbeda, politik lingkungan menjelaskan sekurangnya dua peneltian area yang berbeda. Pertama, penelitian ke dalam sumber yang kontekstual perubahan lingkungan yang menguji pengaruh lingkungan secara umum pada suatu negara, hubungan antar negara, dan kapitalisme global. Kedua, area penelitian mencari tahu suatu lokasi dari aspek-aspek khusus mengenai perubahan lingkungan, yaitu dengan studi suatu konflik atas akses sumbersumber lingkungan. Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan. Politik lingkungan dalam banyak negara di dunia mempunyai peran penting tidak hanya pada tingkatan yang berbeda, tetapi juga dalam bingkai kerja struktural yang berbeda. Banyak lembaga antar pemerintahan mempunyai peranan penting dalam aktivits serupa, membuat aturan lingkungan, membuat kebijakan , penelitian, monitor, training, proyek pembiayaan dan supervisi.
4
Meskipun politik lingkungan muncul pada tahun 1980-an sebagai agenda riset di negara-negara berkembang, sejak tahun 1990-an disiplin ilmu ini telah berkembang 4
Herman Hidayat, Ibid, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
secara luas melalui wacana publik dibanyak negara. Ada banyak pendekatan untuk politik lingkungan. Pertama, untuk menjelaskan penelitian atas politik lingkungan dunia ketiga mengenai masalah-masalah lingkungan yang khusus atau menunjukan masalah, misalnya kerusakan hutan tropis, banjir, erosi tanah dan rusaknya mutu tanah. 5 Kedua, memfokuskan pada suatu konsep yang mengandung hubungan penting terhadap pertahanan politik
lingkungan. Pendekatan
ini untuk
memahami
karakteristik dari banyak aktor yang berbeda dan membatasi promosi dari minat aktor yang khusus. Ketiga, untuk menguji saling hubungan antara masalah-masalah politik dan lingkungan dalam hubungan kondisi geografis yang khusus. Hal ini dihubungkan dengan sering munculnya masalah alam yang bervariasi dari suatu negara ke negara lain, tetapi tujuannya ialah untuk mengevaluasi masalah tersebut dalam suatu konteks negara. Keempat, untuk mengali masalah politik lingkungan dalam hubungan karakteristik sosial-ekonomi seperti golongan, etnisitas atau gender. Kelima, menekankan perlunya memfokuskan minat, karakteristik dan aksi dari tipe pelaku yang berbeda didalam memahami konflik-konflik politik lingkungan. Pendekatan berbasis aktor ini dihubungkan dengan pemahaman para pelaku terhadap proses lingkungan dan politik.
5
Herman Hidayat, Ibid, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
Politik Lingkungan Global Pendefinisian
masalah
lingkungan
hidup
dalam
tataran
hubungan
internasional memiliki definisi tersendiri. Menurut Porter dan Brown, untuk masuk dalam kategori “global environmental politics”, kualitas persoalan lingkungan yang dimaksud harus mengandung ancaman terhadap daya dukung alam sebagai sebuah ekosistem (the global commons) yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia, yang tidak hanya terbatas dalam wilayah jurisdiksi negara tertentu. dengan kata lain minimal harus ada transedensi isu dalam cakupan: 1. Dampak atau akibat (impacts) dari kerusakan lingkungan itu bersifat transboundary. Lintas jurisdiksi nasional ini baik yang berkenaan dengan aspek social (seperti human health)maupun aspek ekonomi termasuk aspek politik dan keamanan. adanya kenyataan bahwa sekup dari kerusakan lingkungan tertentu seperti deforestation, loss of biodiversity dan global warming, demikian luasnya. Dan karena biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi persoalan demikian besarnya, telah melampaui batas kapasitas individual Negara-negara tertentu yang karenanya menuntut kerjasama internasional yang luas dan solid. Dengan kata lain global problems need global solutions. Akan tetapi pada gilirannya realitas obyektif ini harus bersinggungan dengan karakter dari politik internasional yang memberikan tingkat kesulitan tersendiri dalam upaya pencapaian solusi yang diharapkan. 2. Para pelaku yang terlibat lebih beragam. Intensitas isu lingkungan global tidak saja melibatkan peran (banyak) negara sebagai actor utama, tetapi juga berbagai
institusi
internasional
dan
non-governmental
organizations,
Universitas Sumatera Utara
termasuk pula perusahaan-perusahaan multinasional. Perkembangan isu lingkungan dewasa ini menunjukkan semakin pentingnya peran non-state actors yang bagi kaum hyperglobalist dianggap telah mengikis kedaulatan dan peran Negara sebagai aktor dominan dalam mengupayakan berbagai penyelesaian internasional untuk mengatasi masalah lingkungan global. Namun demikian, tesis ini masih dapat diperdebatkan. Yang pasti masingmasing actor memiliki peran dan powernya masing-masing yang memberi karakteristik tersendiri bagi lingkungan global misalnya : a. Negara : Dalam politik internasional yang masih menganut sistem negara bangsa, maka peran negara sangat dominan dalam proses pembentukan rejim bagi perlindungan lingkungan global. Ini sangat memungkinkan karena negara dapat menggunakan kekuatan vetonya. Dalam setiap perundingan internasional selalu terjadi proses pengelompokkan untuk menggalang kekuatan veto (Veto Coalitions). Yang kedua kekuatan ekonomi sebuah Negara, dan bukan militer, merupakan
laverage
yang
sangat
menentukan
posisi
tawar
menawarnya di dalam setiap perundingan multilateral. b. Non Governmental Organizations (NGOs) : Memainkan peran yang semakin besar dalam era globalisasi ini sebagai berkah kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. NGOs berperan dalam pembentukan opini public secara luas, membangun jaringan kerja yang efektif serta memberikan tekanan yang kuat kepada pemerintah dalam proses tawar menawar sebuah perundingan.
Universitas Sumatera Utara
c. International Institution : Berperan sebagai fasilitator yang aktif dalam pembentukan
berbagai
rejim
internasional
bagi
pengawasan,
perlindungan dan pemeliharaan alam dan segala sumber-sumbernya. Setidaknya
peran
mereka
adalah
menghasilkan
kesepakatan
multilateral (soft law). 2. Definisi Deforestation Deforestation telah didefinisikan oleh FAO (Food and Agricultural Organization) sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan lain atau pengurangan yang tajam dari tutupan hutan dibawah 10%. Disamping itu, deforestation (kerusakan hutan) menekankan kehilangan permanen tutupan hutan dalam jangka panjang. Kehilangan itu hanya dapat disebabkan melalui pengaruh manusia yang berlanjut atau gangguan alam.
6
Definisi dasar oleh FAO mengenai deforestation telah dikembangkan dan pada umumnya diterima oleh negara-negara yang berpartisipasi dan dikenal oleh para ahli penemuan dan penilaian hutan. Istilah internasional dan definisi adalah tidak tetap, tetapi mengikuti perkembangan umum dari proses internasional. WRI (World Resources Institute) juga mendefinisikan deforestation sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan pertanian. Deforestation mencakup lahan hutan yang dipakai untuk infrastruktur seperti pembangunan, pertambangan, permukiman, ladang berpindah, dan sebagainya. 7
6 7
Food and Agricultural organization(FAO), Global Forest Resources Assessment 2000: Main Report. World Resources Institute (WRI) Report 2001.
Universitas Sumatera Utara
Norman Myers mendefinisikan deforestation sebagai penghancuran tutupan hutan secara sempurna melalui pembersihan lahan (land clearing) untuk sektor pertanian. Misalnya, pengembalaan sapi, pertanian dalam skala besar dan kecil. Ini berarti tidak ada pohon yang tersisa, dan lahannya diberikan untuk tujuan bukan hutan. 8 Definisi FAO dan WRI mengenai deforestation lebih cocok dalam menjelaskan skala deforestation dalam skala besar dan menengah yang terjadi di Indonesia. 3. Pembangunan Berkelanjutan Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. 9 Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu sederhana, akan tetap isu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.
8
Herman Hidayat, op.cit, hal.91 Pan Mohamad Faiz, paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009. Perubahan Iklim dan Perlindungan Terhadap lingkungan : Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi. http://www.wordPress.com. Dikutip dari World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43. (diakses tanggal 16 Mei 2009)
9
Universitas Sumatera Utara
Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik. 10 Lebih
lanjut,
apabila
ditarik
melalui
persepektif
kerangka
hukum
internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional. 11 Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi manusia di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan pengaturan 10
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Dinah M. Payne dan Cecily A. Rainborn, Sustainable Development: The Ethics Support the Economics, dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw Hill, 2008, hlm. 28-33. 11 Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Dominic McGoldrick,Sustainable Development and Human Rights: An Integrated Conception, dalam The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 45, No. 4, Oktober, 1996, hlm. 2-7.
Universitas Sumatera Utara
yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya. Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga diperhatikan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED tersebut, terdiri dari: 1. keadilan antargenerasi (intergenerational equity); 2. keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); 3. prinsip pencegahan dini (precautionary principle); 4. Perlindungan
keanekaragaman
hayati
(conversation
of
biological
diversity); dan 5. Internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism). Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21. 12
12
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 104-107
Universitas Sumatera Utara
Berwawasan Lingkungan Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan aspekaspek yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan
lingkungan (CBESD),
maka diperlukanlah pokok-pokok
kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: 13 a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya; b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek; c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah; d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan;
13
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Surna T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I No. 1/1994, ICEL, Jakarta, hlm. 6-9.
Universitas Sumatera Utara
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; f. Pengembangan
kebijakan
ekonomi
yang
memuat
pertimbangan
lingkungan; g. Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup; h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan; i.
Pengembangan kerja sama luar negeri.
4. Teori Ketergantungan Ketergantungan (dependency) adalah sebuah konsep yang digunakan secara populer dalam analisis negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin selama tahun 1960-an dan kemudian sering dipakai dalam beberapa tulisan tentang Asia dan Afrika. Sedikitnya ada enam ilmuan yang tercatat menulis tentang teori ketergantungan yaitu Philip J. O’brien, Fernando Henrique Cardoso, Claire Savir Bacha dan Ronald H Chilcote, Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos. 14 Mereka yang menerapkan ketergantungan dalam analisis pembangunan dan keterbelakangan seringkali berfokus pada masalah penetrasi asing ke dalam ekonomi politik dunia ketiga. Frank menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan 14
Ronald H. Chilcote, Toeri Perbandingan Politik, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2007, hal. 403
Universitas Sumatera Utara
pembangunan pada suatu negara. Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Terdapat perbedaan sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya kegagalan penelitian sejarah dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara penjajah dan negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme. Pembangunan ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang terdiri dari beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal tahapan tersebut. Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu : 1. Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara pusat dan satelitnya, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut. 2. Kemampuan
negara
satelit
dalam
pembangunan
ekonomi
terutama
pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara pusat. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu
Universitas Sumatera Utara
pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “pusatsatelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis. 3. Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara pusat pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara pusat. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara pusat. 4. Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Perkebunan yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar yang berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit. 5. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tulisan Dos Santos membenarkan bahwa dengan ketergantungan kita mengartikan sebuah situasi dimana ekonomi negara-negara tertentu terkondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi lain yang menjadi tempat tergantung negara-negara tadi. Hubungan saling ketergantungan antara dua atau lebih ekonomi, dan antara ekonomi-ekonomi ini dengan perdagangan dunia, mengambil bentuk ketergantungan sementara beberapa negara (yang dominan) dapat melakukannya hanya sebagai pencerminan ekspansi, yang bisa memiliki pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan langsung mereka. 15 Dan di pertegas lagi oleh ekonom Chili, Osvaldo Sunkel bahwa faktor-faktor asing tidak hanya dilihat sebagai hal-hal eksternal melainkan interistik pada sistem, dengan bermacam-macam akibat politik, keuangan, ekonomi, teknis dan budaya, yang terkadang tersembunyi dan terselubung di dalam negara terbelakang. Dengan konsep ketergantungan secara internasional menghubungkan evolusi kapitalisme paska perang dengan sifat-sifat diskriminatif proses pembangunan lokal, sebagaimana kita
ketahui.
Akses
terhadap
proses-proses
dan
keuntungan-keuntungan
pembangunan bersifat selektif; bukan menyebarkannya, proses ini cenderung memastikan adanya akumulasi keistimewaan dan penguatan diri bagi kelompokkelompok khusus maupun lanjutan kebereadaan suatu kelas marjinal. Lebih lanjut lagi Dos Santos dengan teori ketergantungan baru menunjukan bahwa hubungan negara-negara dependen dengan negara dominan tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan
dalam struktur
internal dan
hubungan-hubungan
eksternalnya. Selanjutnya, struktur ketergantungan bertambah dalam, membawa 15
Ronald H. Chilcote, ibid, hal. 402
Universitas Sumatera Utara
negara-negara masyarakat
dependen
pada
keterbelakangan,
ketika negara-negara tersebut
memperburuk
permasalahan
mengikuti struktur
internal dan
internasional yang dipengaruhi secara kuat oleh peran perusahaan-perusahaan multinasional maupun pasar-pasar komoditas dan modal internasional. Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturanaturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saham melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”. Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni : a. Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif. b. Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.
Universitas Sumatera Utara
c. Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui monopoli teknologi industri. 16 Intinya Ketergantungan adalah : 1. Yang menjadi hambatan pembangunan bukan karena tidak ada modal melainkan pembagian verja internasional yang terjadi. 2. Pembagian verja Internasional itu diuraikan menjadi hubungan antar kawasan yakni pusat dan pinggiran, terjadilah surplus dari negara pinggirian ke negara pusat 3. Akibat pengalihan surplus ini negara pinggiran kehilangan sumber
yang
dibutuhkan karena di hisap negara pusat. Pembangunan dan keterbelakangan adalah dua aspek dari proses global yang sama. Proses global tersebut adalah kapitalisme dunia. 4. Teori Ketergantungan menganjurkan untuk memutuskan hubungan dengan kapitalisme dunia. 5. Dalam pandangan ketergantungan negara pusat dan kapitalisme mengandung inti Dominasi, Hegemoni dan Eksploitasi. Dan ketika berbicara tentang penyelamatan lingkungan tidak terlepas dari ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara-negara berkembang. Dalam hal ini negara-negara berkembang yang biasanya dalam pembangunan ekonominya selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
tetapi kurang
16
Slamet Widodo, Ketergantungan dan Keterbelakangan, http:www.WordPress.com//F:/ketergantungan/KETERGANTUNGAN%20DAN%20KETERBELAK ANGAN%20_%20Learning%20of%20Slamet%20Widodo.htm (diakses tanggal 18 Mei 2009)
Universitas Sumatera Utara
memperdulikan dampak negative dari pembangunan tersebut bagi lingkungan hidup. Ketika hasil dari pembangunan ekonomi tersebut memberi dampak buruk bagi kehidupan bersama, beramai-ramai negara-negara maju melakukan aksi kritik terhadap pembangunan di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang ditekan agar dalam pembangunan ekonominya mengunakan teknologi yang canggih dan bersih sehingga tidak memberikan efek negative terhadap kondisi lingkungan. Dibuatlah standarisasi pengelolahan produk sesuai dengan keinginan negara-negara maju. Sehingga menyebabkan produk yang dihasilkan oleh negara satelit sulit masuk kedalam pasar negara pusat. Dan untuk itu terpaksa negara satelit membeli teknologi baru dari negara pusat yang lebih maju, hal ini yang menyebabkan semakin kaburnya kesepakatan internasional tentang penyelamatan lingkungan atau hanya sebagai bentuk baru lagi dari evolusi system penghisapan baru negara pusat terhadap negara satelit.
G. Teknik Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif, yaitu analisis masalah dengan pengumpulan data melalui Studi Pustaka (Library Research) dengan teknik Pengumpulan bahan kepustakaan buku-buku, artikel, media massa cetak dan media massa elektronik serta data-data tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Universitas Sumatera Utara
H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat (4) bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Bab ini akan membahas tentang latarbelakang, Perumusan masalah, Batasan Masalah, Tujauan Penelitian, Kerangka Dasar
pemikiran,
Ruang
lingkup
Penelitian,
Teknik
Pengumpulan Data, Hipotesa, serta Sistematika Penulisan. BAB II :
DESKRIPSI PERKEMBANGAN DAN AKTOR-AKTOR REDD Bab ini berisikan sekilas tentang perkembangan wacana Progaram REDD dari awal hingga dimasukannya sebagai salah satu butir kesepakatan dalam Bali Roadmap, serta bagaimana actor-aktor dibalik REDD ini berperan.
BAB III :
ANALISA PENERAPAN REDUCING EMISSION FROM DEFORESTATION AND DEGRADATION Bab ini membahas tentang analisa dampak serta resiko penerapan REDD di Indonesia.
BAB IV :
PENUTUP Bab ini berisikan Kesimpulan dan saran, yaitu kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang telah tercantum dalam bab-bab sebelumnya serta diakhiri dengan saran dari penulis.
Universitas Sumatera Utara