BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang. Sejarah kawasan laut Sulawesi yang ditulis selama ini selalu menempatkan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan (Gowa dan Bone) sebagai posisi sentral peristiwa (Gowa dan Bone centris) dengan mengabaikan peran Kesultanan Buton dan beberapa kerajaan lainnya di Sulawesi dalam percaturan politik, perdagangan dan kemaritiman. Pengabaian melalui cara pandang berbeda mengingatkan kita akan "ucapan Van Leur bahwa sejarah Indonesia janganlah dilihat dari geladak kapal Belanda dan benteng VOC seperti dilakukan oleh banyak penulis Belanda".1 Dan dalam perspektif yang selaras, sejarah kawasan Sulawesi di tulis haruslah menempatkan seluruh kerajaan atau kesultanan termasuk Buton dalam posisi penting dan strategis dalam peristiwa
dengan
menghilangkan
aspek
pengabaian
karena
idealisme.Hal ini karena Buton merupakan kerajaan penting di kawasan laut Sulawesi yang memiliki geostrategis seimbang dengan Gowa maupun Bone. Dalam kaitannya dengan penulisan sejarah Buton, kajian yang dilakukan untuk menempatkan Buton dalam posisi yang A .B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 1 1
1
2
wajar dalam sejarah kawasan laut Sulawesi telah dilakukan oleh Susanto Zuhdi.2 Akan tetapi pembahasannya hanya terbatas pada sejarah Buton periode VOC. Itupun paparannya sebatas posisi Buton dalam persaingan dengan Gowa dan Ternate. Kajian tentang aspek maritim dan mobilitas orang-orang Buton ke basis perdagangan rempah tidak banyak di singgung. Sesungguhnya petualang poltik dan migrasi penduduk Buton telah dilaporkan oleh penguasa VOC di Maluku.3 Bahkan kehadiran orang-orang Buton di Maluku yang membentuk pemukiman pantai di Huamual (Seram Barat)4memberi warna dalam sejarah Maluku yang selama ini
peran
tersebut
terabaikan
dalam
penulisan
sejarah
Susanto Zuhdi, Labu Rope Labu Wana; Sejarah Buton Abad ke XVII dan XVIII, (Disertasi Universitas Indonesia, 1999). Kajian ini diterbitkan menjadi Buku di bawah judul Sejarah Buton yang terabaikan, Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). 2
penjelasan Rhumpius, De Ambonsche Historie,Tweede deel, (S-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1910). Lihat pula Memorie van Overgave Gubernur Ambon Abad XVII dan XVII Gerard Demer. 3Lihat
Daerah Huamual sering juga di sebut Seram Kecil. Sejak lama orang-orang Buton bermigrasi ke wilayah ini. Mereka membentuk pemukiman pantai dan terkenal ulet dalam bekerja. Bahkan mereka menempati sekitar 45 % dari keseluruhan penduduk Seram Kecil. Orang Buton tidak hanya menjadi orang maritim tetapi juga menjadi petani cengkih yang sukses. Keuletan mereka menyebabkan lahirnya sejumlah asumsi yang menyatakan bahwa orang Buton sangat terkenal survivedan memberi kontribusi bagi Maluku. Sekalipun demikian, sikap diskriminatif sering ditunjukkan oleh penduduk Maluku. Sikap ini terbawah jelas kedalam historiografi sejarah Maluku. Pengabaian dan manipulasi menjadi warna dalam penulisan sejarah Maluku yang dilakukan sejarawan lokal. 4
3
Maluku.Spatial yang dikemukakan oleh Susanto Zuhdi masih jauh dari paparan menyeluruh terhadap sejarah Buton era VOC. Dengan demikian Buton pada era kolonial Belanda menjadi bagian yang tidak tersentuh dalam penulisan sejarah.Pada periode kolonial Buton diperhadapkan pada situasi yang sulit dimana dampaknya
berdimensi
luas
bagi
Buton
dan
masa
depan
kesultanan. Retaknya hubungan, penerapan kebijakan baru dalam politik dan vakumnya kekuasaan menjadi episode penting yang terjadi pada Buton dalam periode kolonial. Buton merupakan kesultanan di Sulawesi Tenggara dengan basis kekuasaan di pulau Bau Bau. Dalam abad ke XV dan XVI, Buton
menjadi
wilayah
strategis
dalam
pelayaran
dan
perdagangan di kawasan Sulawesi. Karena posisi letaknya, VOC memposisikan Buton sebagai sekutu penting dalam persaingan politik di wilayah Timur Nusantara.Awalnya Kesultanan Buton bukanlah daerah yang kaya, namun wilayahnya yang strategis sebagai jalur perdagangan menjadi incaran oleh kerajaan-kerajaan tetangganya seperti Ternate dan Gowa. Perebutan pengaruh kekuasaan menjadikan Buton harus memilih “sahabat” yang mampu melindungi kedaulatan Kesultanan Buton, dan hasilnya pada tanggal 17 Desember 1613 tercetus perjanjian “Persekutuan Abadi” dengan VOC, yang menghasilkan sejumlah perubahan
4
politik sepanjang sejarah kesultanan baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan Kesultanan Buton.5 Hubungan diplomatik yang disepakati antara VOC dengan Kesultanan Buton dalam ikrar persekutuan abadi, lambat laun semakin retak, ini disebabkan karena kebanyakan dari anggota garnisium Belanda selalu menipu dan berbuat sesuatu yang arogan terhadap rakyat Buton. Keadaan ini memicu ketidak percayaan di dalam petinggi Kesultanan Buton untuk melanjutkan perjanjian tersebut. Sikap pemerintah VOC yang ambiguatau terkesan arogan dan berlaku tidak adil terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi termasuk Kesultanan Buton menjadi pemicu keretakan hubungan yang
telah
terjalin.
Pada
kenyataannya
hubungan
Buton-
VOCsebenarnya telah mengakar sejak lama, ketika keduanya saling mendukung dalam mempertahankan eksistensi ditengah konflik antar kerajaan-kerajaan di kawasan Sulawesi. Tetapi pada akhirnya, hubungan Buton-VOC retak pasca Perang Bone III.6
Mengenai perjanjian Persekutuan Abadi antara Buton dengan VOC dapat dilihat dalam BKI tahun 1931,Hal. 364. Lihat pula BKI, jilid LVII, tahun 1907, Hal. 104. 5
Masyhuddin Masyhuda, Sejarah perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Sulawesi Tengah, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982). Juga lihat Edward L. Polinggomang, Makassar Abad XIX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002). 6Lihat
5
Perjanjian Bongaya tahun 1667 di Makassar ternyata tidak memberi
pengaruh
yang
luas
terhadap
Kesultanan
Buton,
walaupun kenyataannya Kesultanan Buton mempunyai andil yang sama dengan ternate dalam upaya penaklukan Makassar (16661669). Pemberian porsi kekuasaan yang besar terhadap Kerajaan Ternate oleh VOC sendiri dirasa sebagai upaya pengurangan kekuatan di wilayah Kesultanan Buton dan sebagai usaha adu domba dengan kerajaan Ternate. Langkah-langkah kebijakan VOC ini menjadi pasang surut hubungan diplomatik Buton-VOC dalam situasi perang dan damai. Setelah VOC runtuh pada 1799, terjadi peralihan kekuasaan masing-masing
ke
Prancis
(1808-1811)
dan
Inggris
(1811-
1816).Situasi Buton pada dua era kekuasaan ini tidak banyak diberitakan. eksistensinya.
Akan Era
tetapi
kesultanan
Daendels
menjadi
tetap periode
menunjukkan penting
bagi
pemangkasan hak-hak kekuasaan pribumi.7 Akan tetapi karena tindakannya lebih spontanitas atas Pulau Jawa, Buton cukup terkena
dampaknya.
Perubahan
struktur
kekuasaan
secara
ekstrim tidak tampak. Dalam era kekuasaan Inggris baik pada Gubernur Raffles (1811-1816) dan John Fendall (1816) situasi Buton tetap stagnan. Pengaruh Liberal yang diterapkan telah
Parakitri T. Simbolon, Kompas, 2006), hal. 92. 7
Menjadi
Indonesia,
(Jakarta:
6
memberi keleluasaan kepada penguasa pribumi termasuk juga Buton untuk mengatur pemerintahan menurut pola lama. Pengaruh yang cukup signifikan dalam perubahan mulai terasa
setelah
pemerintah
Hindia
Belanda
mengambilalih
kekuasaan dari Inggris pada 1816. Gubernur G.A.G.Ph. Baron van der Capellen (1816-1826) dalam menjalankan kebijakan sekalipun lebih besar mengarah ke Pulau Jawa akan tetapi wilayah Timur Nusantara juga diperhatikan. Salah satu kebijakan yang ia lakukan terhadap wilayah Timur Nusantara adalah penghapusan sistem monopoli dalam perdagangan rempah di Maluku. Akan tetapi
kebijakan
eksploitasi
terhadap
daerah-daerah
Timur
Nusantara menjadi gencar dilakukan oleh penguasa kolonial dan Buton pada situasi inipun tidak luput dari incaran. Perubahan demi perubahan mulai terjadi atas penguasa pribumi di seluruh Nusantara termasuk Buton seiring pergantian gubernur jenderal di Hindia Belanda. Perubahan terstruktur dalam kekuasaan kerapkali terjadi pada hampir pergantian Gubernur Jenderal. Dengan mengemban misi yang sama dalam membangun kekuasaan, Gubernur Jenderal mengatur berbagai strategi agar kekuasaan kolonial tetap langgeng di Nusantara. Dalam mempertahankan kekuasaan, di antara Gubernur Jenderal, Van Heutz merupakan salah satu yang cukup berhasil dalam menciptakan pemutlakkan negara kolonial di Nusantara. Langkah
7
van Heutz untuk mengendalikan kekuasaan penguasa pribumi telah melahirkan kebijakan penerapan Korte Verklaring(plakat pendek). Ide van Heutz tentang kekuasaan terpusat, sedikit banyaknya sangat dipengaruhi oleh pengalaman keterlibatannya dalam Perang Aceh.8 Pengalaman inilah yang telah melahirkan pemikiran revolusioner untuk menghapus kekuasaan penguasa pribumi yang olehnya di anggap membahayakan posisi pemerintah kolonial
Belanda.Pasificatie
Politik9(Politik
Perdamaian)
yang
diterapkan dalam kebijakan van Heutz telah mendasari terjadinya invasi terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dan
Tenggara.
Dengan
dalih
pelanggaran
perjanjian
dan
kedaulatan penguasa kolonial, J.B. van Heutz melancarkan ekspedisi
militer
untuk
mendukung
terlaksananya
Korte
Verklaring. Kebijakan
Van
Heutz
tentang
Korte
Verklaring
memberipengaruh tidak hanya pada penguasa Bone di Sulawesi Selatan
akan
tetapi
juga
pada
hubungan
Buton-Belanda.
Kebijakan ini telah menyebabkan retaknya persekutuan abadi
Lihat penjelasan Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 301306. 8
Edward Polinggomang, Makassar abad 19; Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hal. 92. 9
8
yang terbina sejak era VOC. Rencana Van Heutz yang ambisius telah menghancurkan tatanan politik kesultanan Buton. Ekspedisi militer terhadap Bone membuka peluang terciptanya kesepakatan yang dipaksakan. Penguasa Buton yang tidak lagi memiliki kekuatan
pada
akhirnya
menerima
tuntutan
kolonial
atas
penghapusan hak-hak primordial. Yaitu hak-hak mendasar yang dimiliki
oleh
kesultanan
dalam
mengatur
wilayah
dan
penduduknya. Sejak
penandatangan
Korte
Verklaring
perubahan
kekuasaan terjadi secara menyeluruh atas Kesultanan Buton. Replika kekuasaan terlihat jelas dalam hari-hari perjalanan Kesultanan Buton. Absurd bagi sebagian pandangan karena kekuasaan yang dibangun dan mengakar jauh ke masa lalu dihapus hanya dengan kebijakan Korte Verklaring. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah demikian, dimana penempatan gezaghebber telah memberi situasi baru bagi penduduk Buton dalam
sistem
kekuasaan.
kekuasaan
telah
percaturan
politik.
Kontrol
membenamkan Kemasa
dan
pengambilan
Kesultanan
depanpun
sangat
hak
Buton
dalam
terasa
akibat
pencaplokkan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Dalam birokrasi kesultanan selain terputusnya kekuasaan Sultan, tradisi
pelantikan
sultan
dan
terlupakan oleh penduduk Buton.
tradisi
yang
menyertainya
9
B. Lingkup Penelitian dan Permasalahan Sejarah Buton masa lalu tidak dapat dipisahkan dari situasi strategis wilayah perairan Sulawesi. Wilayah perairan yang menjadi lintas pelayaran menuju ke wilayah produksi rempahrempah di Maluku. Kesultanan Gowa yang lebih superior di Sulawesi sangat mengancam posisi kesultanan Buton dan Bone. Superioritas Gowa mulai tersaingi setelah hadirnya VOC, dan kehadiran VOC memberi angin segar bagi dua kesultanan ini. Terciptalah jalinan kerjasama Buton-VOC, VOC-Bonedan ButonBone.10 Hubungan Buton-VOC dalam Pax Neerlandica menjadi kekuatan bagi Buton dari ancaman Kesultanan Gowa. Hubungan ini menjadi penting bagi eksistensi kesultanan Buton karena ancaman yang datang dari arah barat (Gowa) dan dari Timur (Ternate) mampu membentengi Buton dari invasi kedua kekuatan ini. Jalinan kerjasama ini telah memposisikan Kesultanan Buton sebagai wilayah transit bagi kapal-kapal VOC yang berlayar dari Batavia ke Maluku. Kerjasama Buton-VOC terus berlangsung hingga akhir kekuasaan VOC tahun 1799. Pasca VOC jalinan ini tidak terhenti karena
pemerintah
kolonial
Belanda
yang
mengambil
alih
Indonesia dari tangan Inggris tahun 1816 tetap memposisikan 10Ibid,
hal. 76.
10
Buton sebagai Sekutu. Dalam konteks ini, Pax Neerlandica telah berubah menjadi Belanda-Buton. Akan tetapi karena ancaman dari Gowa sudah tidak ada, demikian situasi hubungan ButonBelanda
dari
kekuasaan
atas
pemerintah
Neerlandica Kesultanan
kolonial
menghadirkan kekuasaan
Pax
Buton
Belanda.
paparan
Kesultanan
berubah
Buton
yang
Pada
sejarah
intervensi
dilakukan
situasi
tentang karena
menjadi
oleh
inilah
hilangnya
intervensi
yang
hak-hak
pemerintah
kolonial Belanda. Intervensi yang dilakukan oleh Belanda terhadap Buton telah melahirkan pula sejumlah konflik Buton-Belanda. Karena konflik yang tercipta antara Buton-Belanda telah menyebabkan Belanda mengambil alih hak-hak primordial Kesultan Buton. Dalam penelitian ini selain lingkup kajian, lingkup temporal juga dipakai untuk membatasi waktu dalam penelitian. Lingkup waktu
yang
di
tetapkan
yakni
tahun
1905-1918.
Asumsi
penetapan temporal ini dilakukan melalui pertimbangan pada aspek
fakta.
terjadinya
Tahun
intervensi
1905-1918 secara
merupakan
intensif
yang
rentang dilakukan
waktu oleh
pemerintah kolonial terhadap Kesultanan Buton yang berujung pada penghapusan hak-hak primordial kesultanan. Dalam melakukan kajin terhadap sejarah Buton dalam konteks intervensi pemerintah kolonial Belanda, dan tidak terjadi
11
pembahasan yang meluas serta tidak keluar dari fakta yang sesungguhnya, maka ruang lingkup penulisan dibatasi hanya pada sejarah Kesultanan Buton masa pengambilalihan hak-hak primordial kesultanan Buton yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Masalah pokok yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu penghapusan hak-hak kekuasaan(hak primordial) kesultanan Buton yang meliputi; pajak tol, eksploitasi hutan dan eksplorasi pertambangan. Penghapusan dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905-1918. Hak-hak primordial yang dihapus oleh
pemerintah
kolonial
merupakan
hak-hak
yang
paling
mendasar yang dibangun sejak awal kekuasaan Kesultanan Buton.Untuk memudahkan analisis deskriptif terhadap fakta peristiwa, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut; 1. Mengapaterjadi penghapusan hak-hak kekuasaankesultanan Buton? 2. Bagaimana proses terjadinya penghapusan hak-hak kekuasaan kesultanan Buton? 3. Apakah dampak yang ditimbulkan dari penghapusan hak-hak kesultanan Buton? Penetapan merupakan
permasalahan
pengembangan
ini
sebagai
penelitian
di
obyek
penelitian
kawasan
Sulawesi
12
khususnya di Buton dengan pertimbangan bahwa masalah ini merupakan suatu persoalan sejarah yang belum sepenuhnya terungkap.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menjelaskan
proses
penghapusan hak-hak Kesultanan Buton (hak primordial) yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang terjadi pada kurun waktu 1905-1918. Dengan memfokuskan kajian pada perubahan yang terjadi atas Kesultanan Buton setelah penerapan Korte Verklaring oleh pemerintah kolonial Belanda, intepretasinya menjadi sumbangsih untuk memecahkan persoalan kebuntuan sejarah Buton pada periode kolonial. Kajian ini masih luput dari perhatian sejarawan baik nasional maupun lokal. Kajian yang dilakukan oleh Susanto Zuhdi sebagai sejarawan akademik mengenai Buton hanya menjelaskan Kesultanan Buton pada periode VOC sehingga ruang kajian Buton pada era kekuasaan kolonial tidak tersentuh sama sekali. Olehnya itu suatu kajian sangatlah dibutuhkan untuk menjelaskan situasi kesultanan Buton pada era kekuasaan kolonial. Tujuan lain dari penelitian ini adalah memperkaya kajian sejarah terutama masa-masa pemerintahan kolonial Belanda di Buton. Penulisan sejarah di Buton selama ini berorientasi lokal
13
sehingga terkesan sangat subyektif karena belum melihat sumber lain seperti sumber kolonial sebagai bahan perbandingan dalam merekonstruksi sejarah Buton masa lalu. Dalam penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan salah satu contoh historiografi pengkajian
sejarah
kolonial,
sehingga
diharapkan
tesis
ini
nantinya dapat memperkaya khasanah historiografi baik nasional maupun lokal. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran untuk mengetahui keberadaan kesultanan Buton pada masa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, sekaligus sebagai titik awal bagi penelitian selanjutnya untuk mengkaji pengaruh kolonial Belanda baik di Buton maupun di Sulawesi Tenggara umumnya.
D. Tinjauan Pustaka dan Sumber Tulisan mengenai Buton dalam bentuk artikel pernah ditulis oleh A. Ligtvoet,11 tentang sejarah Buton, tulisan ini menjelaskann tentang sejarah politik. Bagaimana Lightvoet menggambarkan dinamika politik lokal di Buton, perseteruan para bangsawan Buton dalam perebutan kekuasaan di Buton. Salah satu tulisan
A. Ligvoet, “Beschrijving en Geschiedenis van Buton”, dalam BKI, vol. 26, (s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1878), hal. 1-113. 11
14
yang spektrumnya lebih luas adalah karya Abdul Mulku Zahari,12 meliputi tema sejarah politik dan birokrasi, sejarah Budaya, sejarah Sosial, sejarah hubungan Buton dengan dunia luar. Pada aspek sejarah politik membahas sistem pemerintahan diButon mulai dari raja pertama hingga Sultan terakhir. Jika kita membaca tulisan tersebut harus diakui memiliki banyak informasi mengenai data sejarah Buton, tetapi masalah eksistensi dan pengaruh VOC maupun pemerintah kolonial Belanda sangat kurang dalam penjelasannya. Karena pemaparannya merupakan cara pandang kolonial,
sehingga
dibutuhkan
kajian
yang
mengedepankan
obyektivitas. Rahim Yunus,13
dalam buku ini diuraikan tentang
hubungan agama dengan struktur pemerintahan di Kesultanan Buton meliputi munculnya ajaran tasawuf, jaringan ajaran tasawuf,
tokoh-tokoh tasawuf, dan hubungan tasawuf dan
kekuasaan pada abad ke-19.
Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butun (Buton), Jilid I, II, dan III, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977). 12Abdul
Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Kesultanan Buton, (Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies— INIS, 1995). 13
15
Penelitin kemaritiman ritualitas
Michael masyarakat
kekeluargaan
Southon,14 Buton, dengan
mengenai
menguraikan dinamika
semangat
relasi
antara
pelayaran
dan
perdagangan masyarakat Lande di Buton, perekonomian perahu dalam sejarah maritim berdasarkan musim angin Timur dan Barat. Studi yang dilakukan La Ode Rabani15 tentang aktivitas pelayaran dan perdagangan masyarakat di kepulauan Tukang Besi sebagai suatu migrasi. Isolasi atau migrasi timbal balik yang di dalamnya menuntut perubahan sosial ekonomi. Belum melihat pengaruh kolonial Belanda sebagai suatu kekuatan yang merubah situasi kehidupan perpolitikan di Kesultanan Buton. Kajian
Susanto
Zuhdi,
dkk,
terfokus
pada
masalah
kesultanan Buton sebagai kerajaan Nusantara yang paling awal merupakan hubungan diplomatik dengan VOC.16 Namun tidak secara spesifik menguraikan bagaimana pengaruh kekuatan
Southon, The Navel of the Prahu: Meaning and Values in the Maritime Trading Ekonomi of a Butonesse Village. (Camberra Departement of Antropologi, Research School of Pacifik and Asian Studies, The Australia National University, 1995), hal. 325. 14Michael
La Ode Rabani, Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton, 19611987. Skripsi, (Yogyakarta: UGM, 1997), hal. 12. 15
Zuhdi,et,al., Kerajaan Tradisional Nusantara di Sulawesi Tenggara; Kesultanan Buton. (Jakarta: Depdikbud, 1996). 16Susanto
16
pemerintah kolonial Belanda dalam menanamkan pengaruhnya hingga menguasai bahkan mengambil alih hak-hak primordial Kesultanan
Buton.
Bahkan
karya
ini
lebih
mendalam
menguraikan struktur politik, perkembangan kebudayaan dan peradaban Buton. Karya disertasi Susanto
Zuhdi,17 menjelaskan bagaimana
Buton mampu bertahan di tengah-tengah tiga kekuatan yaitu Ternate, Gowa dan VOC yang kemudian mengakibatkan dirinya secara bergantian bersekutu dan berseteru. Oleh karena ancaman Gowa, Buton bersekutu dengan VOC, pihak yang juga berlawanan kepentingan dengan Gowa, Buton bersekutu dengan VOC, pihak juga
yang
berlawanan
kepentingan
dengan
Gowa.
Dalam
menghadapi Gowa itu pula, Buton, VOC, dan Ternate secara bersama-sama menggalang kekuatan mereka untuk menghadapi Gowa, itu pula Buton bersekutu dengan Bone, kerajaan yang berusaha lepas dari tekanan Gowa. Dalam disertasi initidak secara keseluruhan aktivitas pemerintah kolonial Belanda di Buton diuraikan. Bahkan yang lebih nampak dalam disertasi ini adalah uraian tentang pola sekutu dan seteru yang terjadi antara tiga kekuatan dan mengabaikan bagaimana hubungan Buton dengan pemerintah kolonial Belanda pasca sekutu dan seterunya.
17
Susanto Zuhdi, op. cit.,hal. 199.
17
Pim Schoorl18dalam tulisannya membahas keberadaan VOC di Buton pada periode-periode awal, hubungan kekerabatan, kekuasaan, ideologi dan perubahan dalam Negara Buton dan sedikit menguraikan sistem perbudakan yang terjadi di Buton. Tulisan Schoorl ini lebih memposisikan diri bagaimana Islam mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Buton, mulai pengaruh pada sistem kekuasaan, hubungan sosial dan sistim kekerabatan yang terbangun pada masyarakat Buton. Haliadi kolonial
Sadi19tidak
Belanda
di
membahas
Buton.
Dalam
eksistensi Tesisnya
pemerintah lebih
detail
menguraikan tentang awal masuknya Islam di Buton, perjumpaan antara adat istiadat atau tradisi masyarakat Buton dengan agama Islam di kesultanan Buton dan bagaimana pengaruh agama Islam terhadap tatanan kehidupan masyarakat Buton. Abd.
Rahman
Hamid20,
membahas
masalah
tradisi
kemaritiman orang Buton. Dalam tulisannya dijelaskan tentang perahu dan solidaritas pelaut Buton. Selain itu juga dipaparkan eksistensi dan ekspansi usaha orang Buton. Tulisan ini lebih Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, (Jakarta: Djambatan bekerjasama dengan Perwakilan KITLVJakarta, 2003). 18Pim
Haliadi Sadi, Buton Islam dan Islam di Buton, Tesis (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 2000). 19
Abd. Rahman Hamid, Orang Buton; Suku Bangsa Bahari Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2011). 20
18
bersifat kontemporer dan yang dijelaskan seluruhnya berkaitan dengan tradisi kemaritiman masa kini. Karena tulisannya dalam perspektif maritim kontemporer, persoalan sejarah Buton era kolonial tidak terjangkau sama sekali. Dengan demikian sangat kontras dengan kajian ini, baik aspek temporal maupun spatial dalam kajian. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan; Sebuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya
merupakan
karya
Tony
Rudiyansyah.21
Tulisannya menganalisis relasi antara kekuasaan, historisitas dan tindakan. Tulisan tersebut bersifat antropologis tidak banyak menggunakan data-data atau sumber sejarah primer dalam analisisnya.
E. Kerangka Konseptual. Dari judul tulisan, terdapat dua konsep utama yang digunakan yaitu persekutuan (kerjasama) dan kekuasaan. Dalam sejarah kolonial, kedua konsep ini dianalogikan seperti dua sisi dari satu keping mata uang yakni invasi wilayah dan kekuasaan sulit untuk dipisahkan dari strategi politik. Penguasaan suatu wilayah dan merebut kekuasaan hanya dapat dicapai dengan strategi politik. Kedua konsep ini dalam sejarah, dikategorikan Rudiyansyah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan; Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. (Jakarta: Rajawali Press, 2009). 21Tony
19
sebagai
sejarah
politik.
Hal
ini
karena
pembahasan
yang
memposisikan kekuasaan sebagai bahasan utama termasuk dalam kajian sejarah politik. Interpretasi ini selaras dengan penjelasan Kuntowijoyo bahwa "sejarah politik tidak hanya menjelaskan politik tetapi tentang kekuasaan pada umumnya".22 Persekutuan
dalam
kamus
besar
bahasa
Indonesia
diterjemahkan sebagai persatuan, perhimpunan atau ikatan dari orang-orang yang sama kepentingannya.23 Persekutuan dalam konteks politik pada dasarnya selalu selaras dengan pengertian tersebut. Perbedaannya adalah bahwa konsep persekutuan secara politis lebih bersifat praktis sedangkan kamus lebih pada konsep pemaknaan
terhadap
kondisi
dari
suatu
fenomena
sosial.
Hubungan antara Kesultanan Buton dan pemerintah kolonial Belanda
di
masa
lalu
yang
masuk
dalam
Pax
Neerlandica24merupakan salah satu bentuk dari persekutuan
Terkait dengan masalah konsentrasi sejarah politik, lihat penjelasan Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 176. 22
23Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 1015. 24Pax
Neerlandica ((1800-1942) menurut Asvi Warman Adam, telah menciptakan jaringan birokrasi, komunikasi, sistem transportasi, agro-industrialisasi dan sistem pendidikan. Jaringan ini dilengkapi pula dengan rasionalisasi, komersialisasi, urbanisasi dan modernisasi. Kemudian muncullah organisasi etnonasionalis seperti Budi Utomo, Jong Sumatera, Jong Ambon, dst. Secara implisit dinyatakan di sini keberagaman unsur-unsur yang ada di Nusantara
20
politik. Hal ini karena bentuk kerjasama yang terjadi antara Buton dan pemerintah Kolonial Belanda termasuk dalam kategori kerjasama politik dan masing-masing pihak punya maksud dan kepentingan tertentu. Kerjasama yang terjadi sedemikian kuatnya dan setiap pihak merasa saling menguntungkan sehingga antara satu dan lainnya sudah menganggap sebagai sekutu abadi yang saling melindungi kekuasaan masing-masing. Kekuasaan pada hematnya dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses politik. Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.25 Makna kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah "kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan para pelaku.26 Al-Ghazali seperti di kutip oleh M. Alfan Alfian, memandang kekuasaan hanya milik Allah (Mahakuasa), sedangkan kekuasaan manusia tak lebih daripada fatamorgana dunia. Namun, dunia harus dipandang secara benar agar kekuasaan mampu menumbuhkan keadilan.
yang berevolusi menjadi satu (bangsa). Untuk lebih jelas lihat Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 163. Lihat Ramlan S. Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2008), hal. 57. 25
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), hal. 17-18. 26Miriam
21
Penguasa bertanggung jawab atas terwujudnya keadilan itu.27 Dalam hubungannya dengan kekuasaan, Wirawan menyebut sumber kekuasaan seperti; (1) posisi; (2) sifat personal; (3) keahlian; (4) peluang untuk mengontrol informasi. Sedangkan ahli lain membaginya dalam lima hal, yakni (1) legitimasi: otoritas, peraturan, undang-undang; (2) kontrol atas sumber keuangan dan informasi; (3) keahlian: kritikalitas; (4) hubungan sosial: kontak, pertemanan, kekuasaan dalam angka; (5) karakteristik personal, seperti kharismatis, menarik.28 Terlepas dari sumber kekuasaan, konseppenting yang ada dalam struktur kekuasaan adalah tindakan mempertahankan kekuasaan,
atau
lebih
tepat
dipandang
sebagai
strategi
mempertahankan kekuasaan. Pada era kolonial, yang menjadi fokus kajian ini, berbagai strategi telah dipraktekkan oleh pemerintah Belanda untuk menjaga eksistensi negara kolonial di Indonesia. Perang dan diplomasi merupakan langkah untuk menyeimbangkan tuntutan kekuasaan sebuah negara kolonial. Mengenai
negara
menggambarkannya
kolonial sebagai
Henk
Schulte negara
Nordholt (penuh)
Lihat M. Alfan,Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 236. 27
28Ibid.
hal. 237.
22
kekerasan.29Penjelasan yang sama dikemukakan oleh Marieke Bloembergen bahwa negara kolonial berhasil memperluas lingkup kekuasaan dan wilayahnya melalui penaklukkan militer dan itu juga berarti matinya ribuan orang Indonesia. Kenji Tsuchiya dalam ulasannya mengenai negara kolonial bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menggambarkan negara kolonial sebagai "rumah kaca". Dalam pandangannya terutama pada
analisis
mendapatkan
akhir dan
dikemukakan
bahwa
mempertahankan
negara
kolonial
kekuasaan
melalui
pengawasan politik.30 Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa negara kolonial adalah negara kekerasan satu dan lain, mengingat bahwa negara demikian terbentuk melalui penaklukan militer. Bersandar pada konsepsi Henk, Marieke dan Tsuchiya, maka dapat dikemukakan bahwa penaklukan terhadap kerajaankerajaan merdeka yang ada di Sulawesi (Selatan, Tengah dan Tenggara) merupakan kerangka penegakkan stabilitas negara kolonial
yang
dibutuhkan
untuk
mempertahankan
diri.
Pencaplokan Buton secara spesifik diantara kerajaan lainnya di Sulawesi adalah demi membangun keutuhan negara kolonial. Schulte Nordholt dalam Marieke Bloembergen, De Geschiedenis van de Politie in Nederlands-Indië: uit zorg en angst, (Amsterdam; Boom; Leiden: KITLV, 2009), hal. 18. 29Henk
30Ibid.
23
Berdasarkan penjelasan mengenai konsep kekuasaan dan karakter negara kolonial yang telah dikemukakan dan jika hal ini dihubungkan dengan fakta persekutuan Buton-Belanda maka terlihat jelas bahwa hubungan yang terjadi semata-mata karena kepentingan kekuasaan. Pemerintah kolonial Belanda membina hubungan
dengan
Buton
hanya
untuk
mengamankan
kekuasaannya di kawasan Timur Indonesia. Sedangkan Buton membangun
hubungan
persekutuan
dengan
Belanda
demi
mengamankan wilayahnya dari serangan Gowa dan Ternate. Selain konsep persekutuan dan kekuasaan, perlu dijelaskan pula mengenai konflik yang terjadi dalam hubungan persekutuan dan
kekuasaan.
Pada
dasarnya
setiap
persekutuan
tidak
selamanya berjalan secara normal. Benturan kepentingan selalu terjadi dari hubungan timbal balik antara kedua belah pihak. Hal inipun demikian yang terjadi antara Buton dan pemerintah kolonial
Belanda.
Konflik
kepentingan
telah
menimbulkan
penghapusan hak-hak kekuasaan kesultanan Buton. Apabila persekutuan dibangun pada awalnya hanya untuk mengamankan kekuasaan masing-masing pihak, maka pada tahap selanjutnya, kepentingan salah satu pihak telah memasuki ruang kekuasaan pihak
lainnya.
Kondisi
ini
tentu
akan
melahirkan
kontra
kepentingan dan pihak yang kuat (Belanda) akan memutuskan nasib pihak yang lemah (Buton).
24
Konflik yang digunakan sebagai pendekatan dalam kajian ini merupakan suatu konsep yang menurut Webster yakni didasarkan pada perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.31 Penjelasan Webster merupakan bentuk dari konflik terbuka karena kedua pihak pada akhirnya terlibat dalam perang terbuka demi mewujudkan tujuan yang diinginkan dari masing-masing pihak. Jika pandangan Webster dikaitkan dengan bentuk konflik Buton-Belanda maka situasinya sangatlah sinkron karena Belanda sebagai agresor memaksakan kehendak secara sepihak terhadap Kesultanan Buton
yang
lebih
defensif.
Perkelahian,
peperangan
dan
perjuangan merupakan ritme peristiwa yang berlangsung selama konflik Buton-Belanda. Buton mempertahankan eksistensi atas wilayahnya sedangkan Belanda melihat Buton sebagai aset politik dan ekonomi. Posisi Buton yang sangat strategis dipandang menguntungkan secara ekonomi karena Buton sebagai lalu lintas perdagangan ke kawasan Timur nusantara yang senantiasa dilalui oleh kapal-kapal dagang yang menuju pusat rempah-rempah di Maluku, dapat dijadikan aset untuk menarik bea masuk dan pajak perlintasan. Sedangkan secara politis, dengan menguasai Buton maka dapat pula menguasai struktur kekuasaan, karena ketika Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Terj. Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Seotjipto), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 9. 31
25
itu Buton adalah daerah kesultanan yang eksis sebagai Negara yang memiliki eksistensinya sendiri layaknya kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara. Bukan hanya itu, dengan menguasai kesultanan Buton, maka pemerintah kolonial Belanda dengan mudah mendapatkan tenaga kerja untuk keperluan eksploitasi rempah-rempah di Maluku. Dalam konteks model konflik, perseteruan Buton-Belanda merupakan
model
konflik
Agresor-Defender.
Model
Agresor-
Defender menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, adalah konflik dimana salah satu pihak, sang agressor (penyerang), di anggap memiliki suatu tujuan atau sejumlah tujuan yang mengakibatkannya terlibat di dalam konflik bersama pihak lainnya, sang defender (pihak yang bertahan). Di jelaskan lebih lanjut bahwa agressor biasanya mulai dengan taktik-taktik contentious karena mengingat ongkos yang harus dikeluarkannya bila terjadi ekskalasi. Tetapi bila tidak berhasil ia akan berpindah ketaktik-taktik yang lebih berat dan berlanjut ke ekskalasi.32 Model
konflik
Agresor-Defender
ini
dalam
dalam
kenyataannya di gunakan oleh pemerintah kolonial Belanda di Buton. Belanda sangat berkepentingan dengan Buton, karena Buton
merupakan
32Ibid.
jalur
hal. 200-201.
lalu
lintas
perdagangan
yang
26
menghubungkan Batavia sebagai pusat pemerintahan dengan Maluku sebagai pusat rempah-rempah. Dalam menerapkan model konflik ini, kolonial Belanda tidak secara langsung terlibat sebagai aggressor atau defender karena tujuan utama Belanda bukan semata-mata ingin menguasai Buton tetapi yang lebih penting adalah menjadikan Buton sebagai tempat yang aman untuk disinggahi maupun dilalui oleh kapal-kapal Belanda menuju Maluku. Konsep
lainnya
yang
menjadi
satu
kesatuan
dengan
persekutuan dan kekuasaan dalam kerangka konsep kajian adalah
hak
primordial.
Primordial
dalam
kajian
ini
tidak
diterjemahkan sebatas ikatan kesukuan tetapi lebih luas. Dalam Kamus Kesar Bahasa Indonesia primordial di artikan sebagai tingkatan yang paling awal atau mendasar. Pada konteks lebih luas,
seperti
yang
dikemukakan
oleh
oleh
Edward
Shills,
primordialisme di anggap sebagai suatu bentuk karakteristik kewilayahan,agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial.33 Mengikuti
pengertian
terakhir
yang
dikemukakan
sesuai
pandangan Shills maka sangat jelas bahwa hak primordial yang ada pada kesultanan Buton merupakan hak kekuasaan yang di
Edward Shills dalam Daniele Conversi (Ed.), Ethnonationalism in the Contemporary World: Walker Connor and the Study of Nationalism, (London: Routledge, 2004), hal. 75-76. 33
27
miliki secara terintegrasi dan dibangun sejak awal pembentukan kesultanan Buton.
F. Metode Penelitian Seperti halnya ilmu-ilmu sosial yang lain, sejarah dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu, tentu menggunakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran atau fakta-fakta otentik. Seperti yang dikatakan Djoko Suryo, bahwa Kebenaran dan
obyektifitas
rekonstruksi
sejarah
sejarah
dapat
dengan
dicapai
menggunakan
melalui metode
prosedur (ilmiah)
sejarah.34 Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau35. Menurut Louis Gottschalk bahwa prosedur kerja metode sejarah mencakup empat langkah utama yaitu, Pemilihan subyek untuk diselidiki, pengumpulan sumber-sumber informasi yang mungkin diperlukan untuk subyek tersebut, pengujian sumber-sumber tersebut untuk mengetahui sejati-tidaknya dan
Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hal. 56 34
Mengenai metode Sejarah, lihat Louis Gottschalk, Mengerti sejarah, Jakarta: UI Press, (Terj. Nugroho Notosusanto), (Jakarta: UI Press, 1985), hal. 32 35
28
pemetikan unsur-unsur yang dapat dipercayadari pada sumbersumber (atau bagian dari sumber-sumber yang terbukti sejati).36 Sumber yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber tertulis, sumber lisan, dan artefak yang berbentuk material maupun non material. Sumber-sumber tertulis yang diteliti
meliputi
arsip,
surat-surat
perjanjian
Kesultanan
Buton,surat kabar, majalah, laporan kolonial, dan buku-buku ilmiah. Sumber sejarah yang berupa sumber tertulis (dokumen) berasal dari dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu pemerintah kolonial Belanda, misalnya: Laporan Serah Terima Jabatan Memories van Overgave (MVO) tahun 1905 sampai tahun 1918, Kolonal Verslag (KV) tahun 1880-1918, Besluit, Corpus Dipomaticum, dan majalah-majalah kolonial yang membahas tentang Celebes dan Onderafdeling Buton. Sumber-sumber itu antara lain terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta dan Perpustakaan nasional RI, Perpustakaan Daerah Intimewa Yogyakarta, dan Perpustakaan Sono Budoyo. Arsip lain yang digunakan adalah arsip Kesultanan Buton yang berupa Surat menyurat antara Sultan Buton dengan pemerintah kolonial Belanda, Undang-Undang Murtabat Tujuh,
36Ibid,
hal. 34
29
dan Hikayat Negeri Butun yang tersimpan pada Arsip Daerah Sulawesi tenggara dan koleksi pribadi Abdul Mulku Zahari. Guna melengkapi kekurangan data yang tidak tercatat pada sumber tertulis maka dalam penelitian ini akan menggunakan sumber lisan. Sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara yang ditujukan kepada tokoh masyarakat Buton yang hidup pada zamannya
dan
mengetahui
tentang
keberadaan
pemerintah
kolonial Belanda di Buton. Pada penelitian lapangan, data lisan yang diambil sepenuhnya bergantung pada ingatan pelaku sejarah maupun saksi sejarah. Materi digali di seputar keberadaan kolonial Belanda di Buton, aktiftas yang dilakukan dan kondisi kehidupan masyarakat Buton pada masa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Sumber lain berupa artefak dalam bentuk material, misalnya dapat dilihat dalam bentuk Benteng pertahanan, meriam-meriam yang berada di dalam areal benteng keraton Buton, dan gua Arupalaka, yakni gua yang ditempati Raja Bone Arupalaka saat meminta suaka dari Sultan Buton ketika dikejar oleh raja Gowa. Langkah selanjutnya setelah sumber ditemukan adalah melakukan kegiatan-kegiatan analitis untuk memastikan apakah sumber-sumber tersebut otentik. Menurut Helius Sjamsuddin kegiatan analitis terdiri dari dua langkah operasional yaitu kritik
30
eksternal (external criticism) dan kritik internal.37 Kritik eksternal dilakukan
untuk
menegakkan
kembali
teks
yang
benar,
menetapkan di mana, kapan dan oleh siapa dokumen itu ditulis, serta mengklasifikasi dokumen tersebut berdasarkan sistem dari kategori-kategori
yang
diatur
sebelumnya.
Sedangkan
kritik
internal dimaksudkan untuk analisis atas isi dokumen dan suatu pengujian mengenai apa yang dimaksudkan oleh penulis serta suatu analisis keadaan-keadaan dan suatu pengujian negatif atas pernyataan-pernyataan penulis. Setelah proses analitis, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
penafsiran
dan
pengelompokan
fakta-faktaserta
melakukan formulasi dan presentasi hasil-hasil dari proses analitis untuk menghasilkan suatu karya historiografi.38 Demikian prosedur kerja yang harus ditempuh untuk menghasilkan sebuah karya sejarah yang obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
G. Sistematika Penelitian Tesis ini secara keseluruhan akan ditampilkan dalam enam bab. Dalam Bab I dijelaskan latar belakang masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Dalam bab ini memuat penjelasan tentang Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007),hal. 130 38Ibid, hal. 155 37
31
tujuan serta kegunaan penelitian, tinjauan pustaka yang terkait dengan
penelitian,
kerangka
konseptual
tentang
akhir
dari
persekutuan; aneksasi Buton dalam pax neerlandica, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada
Bab II,Lipu Butuni; negeri maritim di wilayah
Celebesdan hubungannya dengan pemerintah colonial Belanda sebelum tahun 1905 menguraikan kondisi geografis Buton sebagai wilayah
maritim,
kondisi
demografis,
kehidupan
ekonomi,
organisasi sosial dan birokratisasi Kesultanan Buton. Dalam uraiannya,
seluruh
aspek
digeneralisasi
secara
terstruktur
sehingga hal-hal yang berkaitan dengan Buton dalam konteks geografis,
demografis
dan
birokrasi
akan
dijelaskan
secara
mendalam. Dalam hubungannya dengan pemerintah colonial Belanda
sebelum
pemerintah
tahun
kolonial
1905dibahas
Belanda
yang
mengenai
meliputi
hubungan
dampak
yang
ditimbulkan dari perjanjian Bongaya, Perang Bone II, maupun Perang Bone III. Dalam bab ini seluruh gejala atau intrik yang menuju
pada
keretakan
hubungan
Buton-Belanda
serta
penghapusan kesultanan Buton dijelaskan secara gamblang. Pada bab IIIdibahas mengenai Fluktuasi diplomatik yang terjadi di Buton kurun waktu 1905-1913,Pergantian tahta di Kesultanan Buton, Pembuatan Korte Verklaringdan Pengambil alihan hak-hak primordial. Bab ini merupakan bagian inti tesis
32
karena
membahas
proses
terjadinya
penghapusan
hak-hak
primordial kesultanan Buton yang didahului oleh penerbitan Korte Verklaring. Bab IV disajikan pembahasan mengenai Aneksasi territorial Buton kurun waktu 1913–1918 yang meliputi Krisis politik di Kesultanan Buton, Penegakkan Birokrasi Barat dan Krisis Politik di Kesultanan Buton, Eksploitasi Hutan dan dan Penambangan Aspal dan Reaksi Buton Terhadap Kebijakan Kolonial. Dalam bab ini dijelaskan tindakan pemerintah kolonial terhadap Buton pasca penandatanganan Korte Verklaring. Bab Vmerupakan bab terakhir dari penulisan ini, yang memuat simpulan yang mengutarakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan.
33