BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Menciptakan humor yang baik, yang memancing timbulnya tawa, tidak menimbulkan efek konflik, tidak merendahkan atau menyinggung pihak lain ternyata tidak mudah. Aktor yang berbeda, dalam situasi yang berbeda, walaupun dengan topik dan kalimat yang sama persis, dapat menghasilkan efek humor yang berbeda. Terbukti
bahwa
kemampuan
akting
sangat
mempengaruhi
kesuksesan penciptaan humor, selain pemilihan simbol-simbol verbal tentunya. Kesesuaian materi humor dengan konteks situasi juga sangat menentukan. Ishadi S.K., Direktur TVRI tahun 1992 pernah menyampaikan dalam sebuah wawancara media bahwa TVRI tidak bermaksud mencekal suatu grup lawak, melainkan berhati-hati menampilkan grup lawak yang sering menyentil topiktopik peka1. Dalam penyiaran televisi tercatat beberapa tayangan telah dihentikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mulai tanggal 28 Juni 2014 KPI telah mengambil keputusan untuk memberhentikan
1
Herry Gendut Janarto, Bagito: Trio Pengusaha Tawa, (Jakarta: Grasindo, 1995), 61.
1
2
program YKS yang ditayangkan oleh Trans TV2. Langkah ini diambil oleh KPI karena materi humor di salah satu episode tayangan YKS dinilai
melecehkan
budayawan
Benyamin
Betawi.
Di
era
(Alm.), Orde
seorang
Baru
KPI
seniman juga
dan
pernah
menghentikan sebuah iklan alat elektronik yang menyebutkan “B*z*k*, kualitas rock, harga keroncong…” (simbol */asterisk adalah untuk menyamarkan merk). Iklan ini dihentikan karena dinilai melecehkan masyarakat pecinta musik keroncong3. Mungkin sang pencipta
humor
menganggap
ketersinggungan
masyarakat
hanyalah sebagai kesalahpahaman, tetapi kenyataannya humor itu telah dianggap berpihak4. Dalam kasus ini sang pembuat humor berpihak pada rock (kebetulan bintang iklannya penyanyi rock) dengan menghubungkan simbol rock dengan konsep mahal dan bagus, serta menghubungkan simbol keroncong dengan konsep murah.
Humor yang gagal telah berubah menjadi sesuatu yang
menyakitkan karena ada pihak (dalam hal ini pecinta dan pegiat keroncong) yang merasa direndahkan dalam sebuah peristiwa tawa.
2 Okezone.com edisi Kamis, 26 Juni 2014 , http://celebrity.okezone.com/ read/2014/06/26/533/1004595/hina-benyamin-kpi-hentikan-tayangan-ykstrans-tv, diakses pada 16 Juli 2014 3 Undang-undang Penyiaran direvisi terakhir tahun 2002. UndangUndang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, pasal 36 ayat (6) menyebutkan bahwa Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. 4 Dalam tawa kita selalu menemukan suatu maksud tak terhindarkan untuk mempermalukan, dan konsekuensinya untuk melakukan koreksi terhadap sasaran yang ditertawakan, jika tidak dalam kehendaknya, paling tidak perbuatannya (Bergson dalam Seno Gumirah Ajidarma, 2012:13).
3
Meskipun humor beresiko menjerumuskan pihak-pihak yang berinteraksi ke dalam konflik, kenyataannya humor tetap menjadi andalan untuk mendapatkan perhatian khalayak, tidak terkecuali khalayak pemirsa seni pertunjukan.
Penelusuran
lembaga survei, Nielsen Audience Measurement, terhadap sepuluh kota besar di Indonesia membuktikan bahwa acara televisi yang paling digemari penonton Indonesia adalah komedi, sinetron, dan talent show5. Kita pahami bersama bahwa humor tak hanya hadir dalam acara komedi, melainkan juga dijadikan sebagai daya tarik dalam sinetron maupun penyajian talent show. Di balik keperkasaan humor dalam memenuhi kebutuhan pasar (khalayak), dan pebisnis seni pertunjukan (produser, pemodal, stasiun televisi, dan pihak-pihak pemesan humor) terdapat tim kreatif yang paling bertanggung jawab dalam penciptaannya. Tim kreatif6 yang terdiri dari penulis naskah, sutradara, kru produksi, dan para aktor berusaha sekuat-kuatnya menggunakan keahlian masing-masing agar adegan humor yang mereka ciptakan benar-benar menjadi adegan yang menimbulkan tawa.
5 Imam Sukamto, Acara TV yang Paling Digemari Penonton Indonesia. Tempo Online Edisi Rabu, 06 Maret 2013. Diakses pada 12 Maret 2013 dari www.tempo.co/read/news/2013/03/06/090465467/Acara-TV-Ini-PalingDigemari-Penonton-Indonesia, diakses pada 14 Juli 2014 6 Tim kreatif atau kreator adalah penulis atau tenaga kreatif utama lainnya di belakang penggarapan film, program televisi, dll. (Ilham Zoebazary, Kamus Istilah Televisi & Film, Jakarta: Gramedia, 2010, 68).
4
Di bawah arahan sutradara, para ahli seni media rekam mengerahkan
keahlian
sinematografinya,
dan
para
aktor
mengerahkan kemampuan aktingnya untuk menghasilkan efek dramastis yang diinginkan, dalam hal ini efek tawa. Jelas bahwa dalam penggarapan sebuah adegan humor melibatkan banyak ahli dari beberapa bidang. Dengan demikian, dalam rangka meneliti bagaimana sebuah humor diciptakan, dan bagaimana sebuah humor dimaknai, dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Misal, dari sudut pandang media komunikasi dapat meneliti bagaimana pemilihan jam tayang, pemilihan segmen khalayak, dan pemilihan topik humor yang tepat. Dari sudut pandang seni media rekam dapat diteliti penciptaan komposisi, strategi perangkaian footage, penerapan tata cahaya, dan berbagai pemanfaatan sarana fotografi lainnya untuk menciptakan efek dramatis yang diinginkan. Dari sudut pandang seni drama dapat menitikberatkan penelitian pada akting yang memanfaatkan sarana verbal dan nonverbal oleh para pemeran dalam penciptaan humor, serta mencari pola pemaknaan humor dengan merunut hubungan antara simbol-simbol verbal maupun nonverbal yang dihasilkan oleh para pemeran dengan konteks budaya khalayak. Tentu ada alasan logis mengapa sinetron juga menjadikan humor sebagai elemen penting. Sinetron adalah salah satu bentuk
5
sajian seni pertunjukan dalam media elektronik7. Dalam media elektronik,
seni
pertunjukan
mengemban
fungsi
memenuhi
kebutuhan pasar. Pasar bagi televisi saat ini adalah masyarakat modern
yang
sangat
membutuhkn
hiburan.
Kebanyakan
masyarakat di kota saat ini bekerja dari pagi hingga petang, bahkan ada yang sampai malam. Sisa waktu yang ada mereka manfaatkan untuk mencari hiburan ala kadarnya - contoh menonton televisi untuk sekedar melepas kepenatan atas kesibukan yang telah dialaminya, sekaligus menyiapkan energi untuk beraktivitas esok hari.8 Itulah sebabnya maka humor sebagai penunjang tercapainya fungsi hiburan dalam seni pertunjukan, termasuk sinetron, sangat penting. Ketika penonton berhasil dihibur, maka misi akan lebih mudah disampaikan. Sejalan dengan pandangan tersebut, Pearson9 menyebutkan bahwa ketika semuanya dilihat dari nilai hiburan,
7
Teater dalam perkembangannya telah bertransformasi menjadi salah satu industri informasi elektronik. Pengertian drama kini tidak hanya dikenal sebagai peristiwa kesenian yang berlangsung lewat panggung, tetapi terutama melalui media elektronik audio-visual. Dan karena media elektronik audio-visual lebih dominan dalam menayangkan drama, maka memungkinkan terciptanya publik penonton yang memahami drama sebagai “media yang berlangsung dalam media lain”. (Afrizal Malna, “Multi Media, TV dan Personifikasi Elektronik untuk Teater” dalam Tommy F. Awui, Ed. Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problem, Jakarta: Cipta, 1999, 345). 8 Zaenal Arifin, Syi’ar Deddy Mizwar, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2002), 92. 9 “When everything is looked at for its entertainment value, when the news is examined for its entertainment value, when politics is essentially analyzed for its entertainment value, when religion is examined for its entertainment value, and when entertainment, frankly, is the pre-eminent value in life, everything tends to get trivialised. Serious issues that don’t conform themselves to entertainment will not get addressed” (Pearson dan Simpson, 2001: 334).
6
ketika berita dilihat untuk nilai hiburan, ketika politik pada dasarnya dianalisis untuk nilai hiburan, ketika agama diperhatikan untuk nilai hiburan, dan ketika hiburan adalah pranilai terkemuka dalam hidup, segala sesuatu cenderung diremehkan. Isu-isu serius yang tidak menyesuaikan diri untuk kepentingan hiburan menjadi kurang menarik. Karena aspek hiburan telah menjadi selera penonton, maka ketika terdapat misi lain yang hendak dicapai, tujuan menghibur harus dicapai terlebih dahulu. Usmar Ismail10, salah satu tokoh perfilman Indonesia juga menyampaikan pentingnya fungsi hiburan selain
fungsi
edukatif
film.
Lebih
lanjut
Usmar
Ismail
menyampaikan bahwa untuk menjadikan film sebagai media dakwah, media perjuangan, maka yang utama untuk diperhatian adalah harus dicari dan diselidiki secara sadar
rahasia selera
penonton pada umumnya dan bagaimmana cara-cara untuk memberikan kepuasan kepada selera itu. Para kreator film tidak boleh hanya bersikap pasif atau sinis saja, karena dengan demikian film itu tidak akan dengan sendirinya menjadi senjata ampuh. Apakah
muatan
hiburan
hanya
sebagai
alat
untuk
melancarkan penyampaian pesan? Ternyata fungsi hiburan juga dapat menjadi ukuran mutu
sebuah karya seni.
Rendra11
10 Usmar Ismail, Mengupas Film. (Jakarta: P.T. Pustaka Sinar Harapan, 1986), 99. 11 Rendra dalam Tomy F. Awuy, 1999: 2.
7
menyebutkan bahwa salah satu mutu yang merupakan nilai lebih dalam
sebuah
pertunjukan
adalah
mutu
hubungan
antara
pertunjukan dengan kehidupan. Pada kenyataannya manusia sejak masih bayi memiliki naluri untuk mencari kegirangan, kesenangan, kegembiraan dan hiburan. Sejak seorang bayi dilahirkan, ibunya segera melatihnya untuk menyukai kegembiraan. Hampir setiap saat ibu mengusahakan dengan giat agar sang anak dapat tertawa girang. Ia sering menirukan tingkah laku binatang, mengeluarkan bunyi aneh-aneh, memperagakan hal-hal yang ganjil atau tidak masuk akal, selalu merangsang agar anaknya suka tertawa. Ketika sang anak sudah beranjak dewasa, kebutuhan akan kegembiraan itu sudah melekat erat dalam dirinya. Selaras dengan pandangan tersebut Priyo Hendarto12 menegaskan bahwa seni pertunjukan harus mampu memenuhi kebutuhan akan hiburan karena manusia hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan hiburan. Persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa masyarakat senantiasa berubah sehingga apa yang menarik dalam kurun waktu tertentu belum tentu menarik dalam kurun waktu yang lain. Dalam sejarah perkembangan seni pertunjukan di Indonesia, perubahan wayang orang - yang semula sakral dan terisolasi di dalam tembok kerajaan - menjadi kesenian yang
12
1990),76.
Priyo Hendarto, 1990, Filsafat Humor, (Jakarta: Karya Megah,
8
popular mampu menarik perhatian khalayak. Pertunjukan wayang orang, yang sebelumnya merupakan simbol masyarakat kelas atas, hanyalah impian bagi rakyat jelata. Dengan izin dari Mangku Negara V, Gan Kam menjadikan wayang orang sebagai seni pertunjukan yang bisa dikonsumsi khalayak umum. Wayang orang laku dijual karena simbol-simbol kelas atas dalam pertunjukan wayang memenuhi impian masyarakat.13 Humor yang menarik di era itu adalah ekspresi pemberdayaan anggota masyarakat kelas bawah dalam bergaul dengan masyarakat kelas atas. Masyarakat kelas bawah disimbolkan dengan tokoh punokawan, sedangkan masyarakat kelas atas disimbolkan dengan tokoh raja-raja. Tokohtokoh kelas bawah yang mampu berkomunikasi setara dengan masyarakat kelas atas adalah potensi daya tarik humor antarkelas. Di era informasi elektronik konsep tentang hiburan telah berubah. Masyarakat modern yang serba sibuk, lebih menyukai efisiensi. Masyarakat modern menginginkan dalam satu saat bisa mendapat banyak manfaat. Maka dalam industri informasi elektronik
khususnya
televisi
dikenal
istilah
infotainment
(information and entertainment) dan edutainment (education and entertainment). Penggabungan information dan education dengan entertainment merupakan wujud dari upaya meramu keseriusan
13 RM. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2002), 223.
9
informasi dan pendidikan dengan keceriaan hiburan.14 Untuk tujuan
ini
televisi
menghadirkan
simbol-simbol
yang
dapat
merepresentasikan kecerdasan dan hiburan. Humor di era ini juga dituntut untuk cerdas dan lucu. Saat ini adalah era posmodern. Baudrillard menyebut postmodern sebagai tahapan simulacrum yang ketiga. Masyarakat di era ini cenderung menyukai permainan citra, simulacra, yang semakin tidak berhubungan dengan yang di luar, "realitas" eksternal. Pada kenyataannya kita hidup di dunia simulacra di mana citra atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman dan pengetahuan15. Semesta posmodern ini cenderung membuat semuanya menjadi simulacrum. Maksud Baudrillard adalah kita hidup didunia dimana yang kita miliki adalah simulasi, tidak ada " yang nyata" diluar simulasi itu, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Bukan lagi dunia yang nyata versus dunia yang tiruan atau mimikri, tetapi sebuah dunia di mana yang ada hanya simulasi. Ketika dalam kenyataan para pemimpin korup sulit diberantas, di dalam sinetron tokoh pemimpin korup justru ditertawakan. keagamaan
Ketika
mengisi
dalam
kenyataan
berita-berita,
dalam
konflik sinetron
antaraliran penonton
14 Robert E. Pearson dan Philip Simpson, Critical Dictionary of Film and Television Theory, (New York: Routledge), 334. 15 Jean Baudrillard dalam Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), 290.
10
menikmati humor lewat tokoh-tokoh agama yang menyejukkan. Ketika dalam kenyataan dunia masih didominasi oleh laki-laki, dalam sinetron penonton menikmati adegan laki-laki yang sangat tunduk pada istri. Penonton diajak menkmati simulacrum yakni kondisi ideal yang disimulasikan sedemikian rupa sehingga penonton menganggap itu sebagai kenyataan. Humor dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara ternyata telah diterapkan sejak lama. Raja Majapahit Hayamwuruk (1350-1389 M) memilih menyampaikan pesan dan sindiran dalam bentuk nyanyian dan humor. Dalam kitab Negara Kertagama disebutkan bahwa pada sebuah pertunjukan raja Hayamwuruk tiba-tiba tampil di panggung. Raja ke empat Majapahit ini membawakan nyanyian-nanyian yang menyindir dan menghibur penonton. Sang raja juga melawak sambil meluncurkan ucapanucapan yang mengenai sasaran.16 Hingga sekarang humor ternyata juga menjadi elemen penting dalam seni pertunjukan tradisional. Arwah Setiawan17 mengatakan
bahwa
humor
pentas
sudah
mengakar
dalam
masyarakat Indonesia sejak dulu. Kesenian semacam wayang, ludruk, ketoprak, lenong, dan sejenisnya selalu menampilkan
16 RM. Soedarsono, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Kraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1997), 9. 17 Arwah Setiawan, “Yang Pop dan Tinggi dalam Humor” dalam Majalah Prisma No. 006 Tahun 1977
11
humor. Adegan goro-goro pada pertunjukan wayang kulit terbukti dapat mengeliminasi kesan dogmatis berbagai ajaran kebaikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gauter18, bahwa humor dapat memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Humor juga dapat menyampaikan siratan menyindir, atau suatu kritikan yang bernuansa tawa. Selain itu, humor juga dapat berfungsi
sebagai
sarana
persuasi,
untuk
mempermudah
masuknya informasi atau pesan yang bersifat serius dan formal. Mengapa humor efisien dalam menyampaikan pesan? Menurut Hall19, kebanyakan orang menolak peringatan atau nasihat langsung, mereka cenderung menerima kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Narasi biasanya mengajari kita tanpa kita sadar bahwa kita telah diajari. Narasi tentu saja dapat disampaikan dengan berbagai cara, antara lain dengan cerita dan humor (anekdot, guyonan atau lelucon). Humor
dalam
dialog
sinetron
Para
Pencari
Tuhan
menunjukkan pola yang unik. Kelucuan ditimbulkan dengan berbagai pembalikan terhadap kenyataan normal yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Adegan di dalam sinetron menjadi humor dengan menghubungkan simbol-simbol yang ditampilkan
Gauter dalam Didiek Rahmanadji, 2007: 215. Deddy Mulyana, Komunikasi Humoris, Belajar Komunikasi Lewat Cerita dan Humor, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media 2008), xiii. 18 19
12
dalam adegan dengan konsep umum yang sedang dominan. Ketika dalam adegan ditampilkan seorang tokoh wanita yang tidak memiliki kemampuan memasak maka adegan ini menjadi lucu karena
simbol-simbol
kewanitaan
dalam
adegan
tersebut
bertentangan dengan konsep normal tentang wanita yang pada umumnya bisa memasak. Ketika dalam adegan ditampilkan tokoh agama yang disibukkan oleh tuntutan mencari nafkah maka akan menggelitik penonton yang dalam pikirannya telah memiliki konsep bahwa tokoh agama umumnya tidak menonjol dalam ikhtiar duniawi. Ketika dalam adegan ditampilkan tokoh usia lanjut yang berperilaku kekanak-kanakan maka adegan ini menjadi humor apabila dalam pikiran penonton telah terdapat konsep umum bahwa manusia dewasa seharusnya lebih dekat dengan simbolsimbol kebijaksanaan. Penelusuran hubungan antara simbolsimbol dalam teks sinetron dengan teks yang lain, termasuk dalam kenyataan sehari-hari ini merupakan ciri perlakuan semiotik20. Tawa sebagai akibat dari humor merupakan reaksi spontan, tetapi penyebab mengapa sesuatu itu dapat menimbulkan tawa dapat dibongkar dan ditelusuri. Inilah yang melatarbelakangi pembahasan tesis ini. Dengan asumsi bahwa terdapat relasi-relasi tertentu antara simbol-simbol dalam teks dengan hal-hal lain di
20 Barthes secara lebih khusus menyabut hubungan antara penanda dengan kultur yang menjadi konteksnya sebagai pertandaan “tatanan kedua” (dalam John Fiske, 2010:122).
13
luar
teks
sinetron
yang
secara
bersama-sama
mendukung
terciptanya humor, maka perlu dilakukan kajian mendalam untuk menemukan bagaimana fenomena tersebut terjadi. Selain itu ketertarikan penulis pada sinetron Para Pencari Tuhan juga melatarbelakangi penelitian ini. Sinetron Para Pencari Tuhan memperoleh penghargaan Special Award for Foreign di ajang International Drama Festival in Tokyo, Jepang, pada Rabu, 29 Oktober 2008.21 Sinetron ini dianggap berhasil mengemas edukasi dan hiburan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
di
atas
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1) Mengapa humor digunakan dalam sinetron Para Pencari Tuhan 2) Bagaimana para tokoh dalam sinetron Para Pencari Tuhan memainkan perannya sehingga menghasilkan humor?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengungkap alasan pemanfaatan humor dalam sinetron Para Pencari Tuhan;
21 http://www.sctv.co.id/kasak-kusuk/sinetron-ippt-i-meraihpenghargaan-internasional_21074.html , diakses pada 16 Juli 2014.
14
2) Medeskripsikan pemanfaatan simbol verbal dan non-verbal untuk menciptakan humor dalam adegan sinetron Para Pencari Tuhan;
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi pengembangan keilmuan adalah untuk memperkaya khasanah penelitian multi disiplin tentang seni pertunjukan khususnya sinetron. Peneliti mendapatkan manfaat penelaitian ini karena dapat menjadi sarana menemukan fenomena keilmuan yang baru dan melatih ketrampilan dalam melakukan kajian. Khalayak diharapkan mendapatkan manfaat berupa sudut pandang baru tentang humor, manfaat humor, dan mengetahui mengapa sebuah sinetron religi memerlukan humor.
E. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai sinetron telah banyak dilakukan para peneliti, namun sejauh ini penulis belum menemukan penelitian yang membahas tentang humor dalam sinetron religi. Dalam penelusuran web ditemukan sebuah tulisan promosi doktor berjudul Simulasi Islam Mistik dan Implosi Makna Religius dalam Sinetron Rahasia Ilahi pada Stasiun Televisi TPI yang ditulis oleh Iswandi Syahputra, mahasiswa Program Doktoral Sekolah Pasca
15
Sarjana UGM.22 Tidak ada pembahasan tentang humor dalam disertasi tersebut. Namun demikian telah banyak buku yang membahas
tentang
humor,
yang
dapat
digunakan
sebagai
penunjang pembahasan sinetron. Zaenal Arifin dalam buku Syi’ar Deddy Mizwar (2006) membahas tentang pemanfaatan sinetron untuk kepentingan dakwah yang dilakukan oleh Deddy Mizwar. Buku tersebut juga mengulas tentang prospek media elektronik audiovisual untuk dakwah di masa mendatang. Humor dalam sinetron-sinetron karya Deddy Mizwar tidak dibahas dalam buku tersebut. Penekanan lebih pada bagaimana Deddy Mizwar, sebagai sutradara, bertindak arif terhadap media dalam upayanya melakukan syiar. Pembahasan tentang sinetron Para Pencari Tuhan telah dilakukan oleh Brahmantyo Yogisworo dalam skripsi yang berjudul Penerimaan Pemirsa Mengenai Tayangan Sinetron Religi Rahasia Illahi dan Para Pencari Tuhan. Skripsi ini lebih menitikberatkan kajian pada persepsi pemirsa terhadap muatan ajaran yang disampaikan dalam kedua sinetron religi tersebut, bukan pada pemanfaatan humor. Tidak terdapat kajian tentang peran tokoh dalam membangun adegan dalam skripsi ini.23
www.pasca.ugm.ac.id/id/promotion_view.php?dc_id=76 , diakses pada 16 Juli 2014 23 Brahmantyo Yogisworo, Penerimaan Pemirsa Mengenai Tayangan Sinetron Religi Rahasia Illahi dan Para Pencari Tuhan (Semarang: Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, 22
16
Priyo Hendarto pada tahun 1990 menulis buku Filsafat Humor. Sepengetahuan penulis inilah buku teori humor pertama yang berbahasa Indonesia. Di dalamnya Hendarto membahas lengkap teori-teori humor yang telah lebih dahulu disampaikan oleh para pakar. Karena bersifat umum, buku ini tidak membahas representasi humor dalam berbagai konteks. Humor in Interaction karangan Norrick dan Chiaro (2009) membahas tentang humor dalam interaksi. Humor memungkinkan individu untuk membangun identitas sosial yang kompleks, dengan perilaku yang tidak konvensional, memungkinkan orang untuk melawan dan menggeser batas-batas perilaku normatif. Fenomena bergesernya
batas-batas
norma
inilah
yang
memungkinkan
hubungan yang luwes antarstatus dalam komunitas tertentu. Pembahasan dalam buku ini menekankan pada humor dalam interaksi di kehidupan sehari-hari, bukan humor dalam seni pertunjukan atau media lainnya. Rahmanadji24 dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007 memaparkan berbagai sejarah, teori, jenis, dan fungsi humor. Pembahasan dalam artikel ini sangat mudah dipahami. Artikel ini lebih sebagai ringkasan dari buku Priyo
2010) dari http://eprints.undip.ac.id/26038/1/SUMMARY_ PENELITIAN_ Brahmantyo.pdf, diakses pada 16 Juli 2014. 24 Rahmanadji, 2007: 215.
17
Hendarto. Artikel ini merupakan seri tulisan yang mengarahkan pada pemanfaatan humor pada seni rupa, khususnya komik. I Dewa Putu
Wijana25 dalam disertasi yang berjudul
Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia, meneliti humor verbal dalam kartun. Penelitian ini sangat detail mengungkap tuturan dan pelanggaran-pelanggaran maksim pragmatik. Jadi, penelitian ini menitikberatkan pada kajian bahasa, dan menempatkan aspek nonverbal hanya sebagai konteks. Berbeda dengan penelitian tentang kartun tersebut, penelitian tentang humor dalam sinetron Para Pencari Tuhan ini meletakkan aspek verbal dan nonverbal sebagai komponen yang secara bersamaan dipergunakan oleh para pemeran untuk membangun adegan humor. Brown & Gilmann dalam buku Theory of Power and Solidarity (1968) membahas tentang bagaimana pola berbahasa anggota suatu kelompok sosial berdasarkan status dan peran dalam kelompok sosial. Teori ini membuktikan bahwa orang-orang berstatus tinggi belum tentu secara otomatis menciptakan jarak komunikasi dengan orang-orang berstatus rendah. Pola bahasa tertentu dapat dipergunakan untuk mengeliminasi jarak sosial antarstatus dan peran dalam kelompok sosial. Salah satunya dengan memanfaatkan humor. Teori-teori linguistik Brown &
25 I Dewa Putu Wijana, Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1995)
18
Gilman selaras dengan teori humor Norrick & Chiaro yang menekankan fungsi humor dalam interaksi. Fungsi humor untuk meluweskan interaksi antarkelas sejalan dengan theory of power and solidarity. Teori ini menjadi alat bantu analisi dalam tesis ini. Desmond Morris menulis buku Manwatching: A Field Guide to Human Behavior (1977) mengemukakan berbagai kategori perilaku
manusia,
kemungkinan
penyebab
dalam
proses
munculnya perilaku, hubungan antara perilaku dengan pakaian dan lain-lain. Buku ini sangat bermanfaat untuk menganalisis perilaku yang dibawakan oleh tokoh-tokoh dalam teater. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Dewojati bahwa akting adalah wujud yang kasat mata dari suatu seni peragaan tubuh, yang menirukan perilaku-perilaku manusia mencakup segala segi, lahir dan batin.26 Penelitian ini diharapkankan dapat melengkapi kajian-kajian yang telah ada. F. Landasan Teori 1. Teori Humor Humor mempunyai dua pengertian. Pertama, Humor merupakan pengalaman mental pada saat menemukan ide-ide, peristiwa-peristiwa, atau situasi yang ganjil. Yang kedua, humor
26 Cahyaningrum Dewojati, Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2010), 255.
19
adalah suatu peristiwa yang dapat membuat kita tertawa.27 Hal-ha1 yang aneh, dan berbeda dengan kebiasaan dapat menjadi humor.28 Humor bukanlah jenis emosi, walaupun dapat mempengaruhi kondisi emosi. Humor juga bukan perilaku seperti halnya tertawa atau tersenyum, meskipun jenis perilaku tertentu memiliki hubungan terhadap persepsi humor. Humor adalah sesuatu yang ada di dalam benak manusia. Humor bersifat subyektif karena apa yang ada di dalam benak manusia merupakan perbendaharaan yang diperoleh melalui proses yang berbeda-beda.29 Teori humor dibagi dalam tiga kelompok30. Pertama, teori superioritas dan degradasi yang menganggap humor sebagai refleksi rasa kelebihan pihak yang menertawakan pihak lain. Individu akan memperoleh kenikmatan dengan menertawakan kelemahan atau kemalangan orang lain. Seseorang akan tertawa jika ia secara tiba-tiba merasa lebih unggul atau sempurna dibanding pihak lain yang melakukan kesalahan, kekurangan, atau mengalami keadaan yang tidak menguntungkan. Kedua, teori konflik atau bisosiasi. Menurut teori ini, tertawa dapat muncul karena adanya dua fenomena atau lebih yang
27 Paul E. Mc. Gee, Humor Its Origin and Development, (San Francisco: W. H. Freeman & Company 1979), 6. 28 Setiawan dalam Rahmanadji, 2007: 313. 29 Paul E. Mc. Gee, 1979: 6. 30 Manser dalam Akhmad Muawal. Dkk, Fenomenolaugh, (Yogyakarta: Ekspresi Buku, 2014) 27-28.
20
inkonsisten31 - tidak kongruen atau bertentangan - dari suatu kejadian. Fenomena yang bertentangan misalnya pertentangan antara hal yang sama dengan hal yang tidak sama, pertentangan antara yang nyata dengan yang tidak nyata, pertentangan antara persahabatan permainan
dengan
dengan
permusuhan,
keseriusann,
serta
pertentangan pertentangan
antara antara
perasaan tertekan dan gembira. Inkonsistensi itu muncul dalam satu objek atau kumpulan orang-orang. Dalam penerapannya, humor adalah sesuatu yang memberi ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dilihat atau didengar. Ketiga, teori motivasional yang juga disebut teori pelepasan dari ketegangan atau hambatan. Teori ini bertolak dari pendapat psikoanalisis Sigmund Freud. Lebih lanjut Freud berpendapat, asal mula lelucon adalah kecenderungan agresif. Hal ini timbul karena ada sesuatu yang tidak dapat diterima oleh kesadaran kemudian ditekan ke alam bawah sadar. Energi psikis yang semula dibutuhkan untuk menekan ekspresi akhirnya dibebaskan menjadi lelucon atau humor yang diwujudkan dalam bentuk tawa. Dengan tertawa akan terjadi sesuatu pelepasan tekanan. Misalnya terlepas dari situasi yang menegangkan atau munculnya kesadaran bahwa lawan kita tidak berdaya.
31
I Dewa Putu Wijana, 1995: 26.
21
Humor berdasarkan bentuknya diklasifikadikan menjadi dua, yaitu humor verbal dan humor nonverbal. Humor verbal adalah humor yang direalisasikan dengan kata-kata, sedangkan humor nonverbal berarti humor yang disajikan dengan tingkah laku, gerak gerik atau gambar32. Fungsi humor menurut Mc. Gee adalah (1) sebagai pelumas sosial (social lubricant), (2) sebagai pengendor tensi sosial (social tension), (3) sebagai penanda keakraban, dan (4) sebagai penguat ikatan-ikatan sosial (social bonds).33 Fungsi humor yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat kita antara lain, fungsi pembijaksanaan dan penyegaran, yang membuat orang mampu memusatkan perhatian untuk waktu yang lama. Fungsi itu dapat kita amati di dalam pertunjukan wayang, di mana punakawan muncul untuk menyegarkan suasana. Humor punakawan biasanya mendidik serta membijaksanakan orang34. Menurut Freud humor
dimunculkan
manusia
untuk
mengubah tabu dalam masyarakat menjadi dapat diterima oleh masyarakat.35 Selaras dengan pendapat Freud, Plato dan Aristoteles
Rustono dalam Tommi Yuniawan, “Fungsi Asosiasi Pornografi dalam Wacana Humor”, Jurnal Linguistika No. 27, Vol 14, September 2007, (Denpasar: Universitas Udayana, 2007), 25. 33 Paul E. Mc. Gee, 1979: 103. 34 Priyo Hendarto, 1990: 9 . 35 “Freud considers humour as one of the so-called substitution mechanisms which enable to convert one’s socially tabooed aggressive impulses to acceptable ones and thus avoid wasting additional mental energy to suppress them” (Freud dalam Krikmann, 2005: 33). 32
22
(Abad V-IV SM) berpandangan bahwa humor
dipertimbangkan
sebagai alat efektif untuk mengontrol dan mengoreksi perilakuperilaku yang bersifat riskan, berlebihan dan tidak bisa diterima.36 Humor
menurut
Hall
memiliki
kekuatan
dalam
menyampaikan pesan karena humor adalah salah satu wujud narasi37. Lebih jauh Hall mengatakan bahwa sebagian dari cerita paling berpengaruh adalah narasi atau pengalaman pribadi yang tidak mengandung moral atau pelajaran yang eksplisit untuk dipelajari. Statusnya sebagai “hanya cerita tentang apa yang telah terjadi" membuat narasi lebih berpengaruh. Kebanyakan orang menolak peringatan atau nasihat langsung. Mereka cenderung menerima kebijaksanaan yang tersirat di dalamnya. Narasi biasanya mengajari kita tanpa kita sadar bahwa kita telah diajari. Narasi dapat disampaikan dengan berbagai cara, antara lain dengan cerita dan humor (anekdot, guyonan atau lelucon)38. Pendapat ini menjelaskan bahwa humor selain menghibur juga berfungsi memperlancar penyampaian pesan.
Paul E. Mc. Gee, 1979: 5. Narasi atau cerita terdapat dalam setiap budaya. Narasi pada dasarnya melukiskan suatu urutan peristiwa dengan menggunakan suatu sudut pandang, meski sudut pandang itu samar dan bahkan bisa berbeda-beda. Narasi bukan apa yang terjadi di sini dan sekarang melainkan menceritakan kejadian-kejadian yang terpisah dari apa yang terjadi sekarang (Hall dalam Deddy Mulyana, 2008: xii). 38 Hall dalam Deddy Mulyana, Komunikasi Humoris, Belajar Komunikasi Lewat Cerita dan Humor, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,2008), xiii. 36 37
23
Selaras
dengan
pendapat
Hall,
Susan
&
Lumpert
menyebutkan bahwa humor diperkenalkan dalam bentuk narasi lucu terutama untuk menghibur dan membangun solidaritas kelompok, atau muncul sebagai bagian dari wacana yang lebih serius untuk meringankan proses kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.39 Susan & Lumpert melihat manfaat humor dari dua pihak. Di satu sisi, penyampai pesan dapat lebih nyaman menyampaikan maksud dengan humor, di sisi lain penerima pesan dapat menerima maksud dengan ringan. Ini selaras dengan prinsip harmoni dalam budaya Jawa sebagaimana tercermin dalam semboyan menang tanpa ngasorake ‘menang tanpa mengalahkan’. Dalam
pandangan
Jawa
prinsip-prinsip
keselarasan
didahulukan bahkan terhadap hukum positif40.
harus
Menang berarti
tujuan pengajaran tercapai, tanpa ngasorake berarti tidak ada yang dianggap lemah atau dianggap lebih bodoh. Bagaimana menentukan bahwa suatu dialog mengandung humor? Mc. Gee mengungangkap tujuh indikator muatan humor. Sesuatu disebut humor apabila mengandung hal-hal berikut: 1. Absurd/ menyimpang: An event or statement in considered absurd if it is ilogical or inconsistent with what is either know or strongly belived to be true. (Suatu peristiwa atau pernyataan 39 Humor is introduced in the form of humorous narratives largely to entertain and build group solidarity, or emerges as part of a more serious discourse to lighten the import of the self-disclosure to the self and others (Erwin-Tripp & Susan Lumpert dalam Norrick & Chiaro (ed), 2009: xi). 40 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2003), 70.
24
2.
3. 4.
5.
6.
7.
yang dianggap masuk akal jika tidak logis atau tidak konsisten dengan apa yang diketahui atau dianggap benar) Incongrous/ aneh: The notion of congruity and incongruity refer to the relationship between components of an object, event, idea, social expectation, and so forth. When the arrangement of the constituent elements of an event is incompatible with the normal or expected pattern, the event is perceived as incongruous... (Gagasan tentang sesuatu yang lumrah dan ganjil mengacu pada hubungan antara komponen-komponen dari sebuah objek, peristiwa, ide, harapan sosial, dan sebagainya. Ketika susunan unsur-unsur pokok dari suatu peristiwa tidak sesuai dengan pola normal atau yang diharapkan, maka peristiwa tersebut dianggap aneh) Ridiculous/ konyol : ... it refers to events that are laughable and not to be taken seriously...( mengacu pada peristiwa yang menggelikan dan tidak untuk dianggap serius) Ludicrous/ menggelikan: This is a higher-order concept, referring to any event that produces laughter because of incongruity, absurdity, exaggeration, or ridiculousness. (Konsep tingkat tinggi, mengacu pada setiap peristiwa yang menghasilkan tawa karena keganjilan, absurditas, keberlebihan, atau kekonyolan) Funny/ lucu: The word is probably used more than any other to mean “humorous” especially as a result of perceiving something odd, incongruous, absurd, and so forth... (Hasil dari mengamati sesuatu yang aneh, ganjil, absurd, dan sebagainya. Kata ini digunakan lebih dari kata-kata yang lain yang berarti "lucu".) Amusing/ menyenangkan: ... The occupying of one’s attention in a pleasant and entertaining fashion is central to amusement... (Penempatan perhatian seseorang dengan cara yang menyenangkan dan menghibur adalah inti dari hiburan) Mirthful/ suka cita: We are mirthful when we are merry and in a generally light hearted mood. (Menimbulkan perasaan riang ketika menyambut sesuatu dengan suka cita dalam suasana hati yang ringan)41
Pandangan Mc. Gee tentang indikator muatan humor di atas sebenarnya hanya mememberi patokan tentang apa yang hadir dalam peristiwa humor, tanpa mengulas bagaimana indikator
41
Paul E. Mc. Gee, 1979: 6-8.
25
tersebut hadir dan berakibat memicu tawa. Berkenaan dengan penentuan humor, Seno Gumirah Adjidarma42 mengemukakan bahwa menentukan “yang lucu” berarti menentukan “yang normal”, karena “yang lucu” adalah “yang ganjil”. Pengaitan antara “yang lucu” dengan “yang normal” ini berkaitan dengan konvensi-konvensi dalam pemaknaan simbol. Pendapat Seno ini memperkuat interpretasi atas temuan informasi tentang humor yang tertulis pada prasasti Kuti dari abad IX. Pada prasasti tersebut tertulis nama seni abãnol salahan43. Interpretasi antropologis memaknai kata tersebut “lawak plesetan”. Dengan demikian terdapat logika yang mirip antara pandangan Seno Gumirah dengan temuan Timbul Haryono, yaitu bahwa pemaknaan humor (yang lucu/ yang diplesetkan) selalu membutuhkan pengaitan dengan makna yang normal. Berkaitan dengan pertentangan antara yang normal dengan yang tidak normal tersebut, Wilson44 merumuskan suatu konsep humor sebagai diagram segitiga. Dalam diagram tersebut humor dilambangkan dengan X, makna umum dengan M1, dan makna lain dengan M2. Humor digambarkan sebagai sesuatu yang bermakna ambigu dengan diagram berikut:
Seno Gumirah Adjidarma, 2012: 176. Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni, (Solo: ISI Press 2008), 37. 44 Wilson dalam I Dewa Putu Wijana, 1995:27-28. 42 43
26
M1
M2
X Hubungan antara X dengan M1 dan M2, serta hubungan antara M1 dengan M2 dilambangkan dengan “=” atau “╪” maka bagan di atas menjadi bagan berikut: M1
=/╪
M2
=/╪
=
X Wacana-wacana nonhumor menampakkan hubungan M1 dan M2 yang konjungtif (saling berkaitan) sebagaimana tampak pada wacana berikut ini. (1) Siswa rajin belajar. Orangtua rajin ikhtiar. Kata “rajin” pada “Siswa rajin belajar” memiliki makna yang sama dengan yang terdapat pada kalimat “Orangtua rajin ikhtiar”. Kesemuanya bermakna “giat” atau ”sungguh-sungguh”. Karena makna-makna
yang
timbul
saling
berkaitan
maka
nonhumor tersebut dilukiskan dengan bagan berikut:
wacana
27
M1
=
=
M2
=
X Kelucuan wacana humor biasanya dibentuk dari hubungan antara M1 dan M2 yang bersifat disjungtif (tidak berkaitan). M1 dan M2 di dalam humor berfungsi sebagai alternatif yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hubungan yang bersifat alternatif ini dilambangkan dengan ╪ sehingga dapat dilukiskan dengan bagan di bawah ini. M1
╪
=
M2
=
X Sebagai pemerjelas perhatikan wacana-wacana berikut: (2) + Kamu pasti telah disuap oleh terdakwa, ya?. - Maaf, ya. Sejak kelas 1 SD saya sudah bisa makan sendiri. Wacana (2) memanfaatkan ambiguitas kata disuap. Secara literal kata disuap bermakna ‘diberi makan dengan memasukkan makanan ke mulut’, sedangkan secara figuratif bermakna ‘diberi
28
uang secara tidak legal untuk memperlancar atau mempermudah suatu urusan’. Sumber kelucuan wacana (2) yang memanfaatkan kata disuap dapat dilukiskan dengan bagan di bawah ini. M1: diberi uang secara ilegal
M2: disuapi
╪
=
=
X disuap Humor
adalah
teka-teki
yang
terpahami
ketidaksejajarannya. Dalam kaitannya dengan pemahaman humor ini, para penikmat harus menemukan kaidah kognitif (cognitive rule) ketidaksejajaran itu. Humor yang mengejutkan/mengecoh ditandai dengan penolakan salah satu kemungkinan interpretasi yang disodorkan. Wacana berikut adalah contoh yang diambil dari adegan sinetron Para Pencari Tuhan.
29
NASRUL SEDANG BERPELUKAN DENGAN UDIN. KEDUANYA TERHARU KARENA TERPAKSA TIDAK DAPAT NAIK HAJI BERSAMA.
Gambar 1 (10_00:24:13:05)
Gambar 2 (10_00:24:19:02)
Asrul: Kau mau kan Din nganterin awak ke kantor haji? (10_00:24:10:09) Udin: Kita saudara. Gua pakai tarif saudara. (10_00:24:13:05)
Asrul: Apa maksud kau? (10_00:24:17:06) Udin: Ongkos nganterinnya Srul. Gua nggak pakai tarif biasa. Tapi gua pakai tarif saudara. Berapa aja dah. Asal jangan kurang dari sepuluh ribu. (10_00:24:19:10)
Secara umum penonton menduga bahwa kedua tokoh yang sedang berpelukan ini fokus pada pemicu keharuan yang sama. Tiba-tiba penonton terkecoh oleh dialog Udin. Penonton tidak menyangka bahwa dalam momen berpelukan bisa muncul sesuatu yang bukan “empati”, melainkan “bisnis”. Maka kelucuan dalam wacana tersebut dapat digambarkan dengan bagan berikut. M1 empati =
╪
M2 bisnis ╪
Berpelukan
30
Bagan humor ini akan menjadi alat bantu untuk menyajikan hasil analisis hubungan semiotik simbol-simbol verbal maupun nonverbal dalam adegan humor. Sedangkan untuk menelusuri bagaimana simbol-simbol verbal maupun nonverbal memposisikan makna sebagai M1 atau M2 dipergunakan pisau bedah semiotik dengan didukung ilmu-ilmu bantu yang lain. Lebih lanjut tentang teori semiotika diuraikan dalam sub bab berikut. 2. Teori Semiotik Semiotik adalah ilmu yang didedikasikan untuk studi tentang produksi makna dalam masyarakat. Sedemikan luasnya cakupan semiotika hingga tidak cukup dianggap sebagai suatu “disiplin”, dan terlalu beragam untuk disederhanakan menjadi “metode”. Karena itu, menurut Keir Elam, semiotika adalah suatu ilmu
multidisipliner
yang
akurasi
karakteristik-karakteristik
metodologinya bervariasi dari bidang satu ke bidang lain, namun semua itu dipersatukan oleh satu sasaran umum, yaitu pencapaian pemahaman makna'45.
yang Sebagai
lebih
baik
ilmu
tentang
'perilaku
multidisiplin
pengandung
semiotika
sangat
membutuhkan ilmu-ilmu lain dalam menangani objek. Semiotik dipergunakan sebagai sebuah pendekatan untuk menganalisis teks dalam pertunjukan, dalam hal ini sinetron Para 45
1980), 1
Keir Elam, The Semiotics of Theatre and Drama (England: Routledge,
31
Pencari Tuhan, dengan asumsi bahwa sinetron adalah media yang dikomunikasikan melalui seperangkat tanda (sign). Teks media pada
kenyataannya
selalu
memuat
ideologi
dominan
yang
terbentuk melalui tanda tersebut. Tanda inilah yang menjadi pusat perhatian studi semiotik. Menurut Fiske,46 terdapat tiga ranah utama dalam studi semiotik, yakni: a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
cara
berbagai
kode
dikembangkan
guna
memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk eksistensi dan bentuknya sendiri.
46 John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra 2010), 60.
32
Tanda yang dikaji dalam penelitian ini merupakan simbol. Simbol atau lambang adalah tanda yang hubungan antara tanda denotatumnya (petunjuk) ditentukan oleh suatu kaidah yang berlaku secara umum, yang lebih tepat disebut sebagai kode. Tanda simbolis (kode) merupakan tanda berdasarkan perjanjian, karena tanda ini lebih terikat pada norma sosial yang ada dan bersifat meyakinkan pemakainya. Dalam kaitan dengan penciptaan dan pemaknaan humor kaidah-kaidah umum tersebut menjadi ukuran ada atau tidaknya penyimpangan. Khusus dalam melakukan analisis semiotik terhadap teater, Tadeusz Kowzan47 menyarankan untuk melakukan segmentasi atau pembagian sistem tanda teater yang dibagi menjadi tiga belas, antara lain: (1) Kata, (2) Nada, (3) Mime, (4) Gestur, (5) Gerak, (6) Make Up, (7) Hair Style, (8) Kostum, (9) Properti, (10) Setting, (11) Lighting, (12) Musik, (13) Sound Effect.
Analisis semiotik dalam
penelitian ini hanya membatasi pada (1) Kata, (2) Nada, (3) Mime, (4) Gestur, (5) Gerak, (6) Kostum, (7) Properti, dan (8) Setting yang mendukung terbentuknya humor. Hal ini mengingat bahwa linghting, musik dan sound effect dalam sinetron sangat erat
Tandeusz Kowzan dakam Keir Elam, The Semiotic of Theatre and Drama, (London and Newyork: Routledge, 1980), 30-31. 47
33
kaitannya
dengan
bidang
seni
media
rekam
yang
prinsip
penciptaannya berbeda dengan prinsip penciptaan pada seni teater. Kata dan nada adalah simbol verbal, sedangkan mime, gestur, gerak, kostum, properti dan seting adalah simbol nonverbal. Praktik analisis semiotik simbol-simbol verbal meliputi pencarian jawaban tentang bagaimana hubungan simbol-simbol verbal dengan maknamakna yang timbul. Diperlukan berbagai ilmu bantu yang memperkaya pemaknaan relasi simbol. Praktik analisis semiotik terhadap tanda-tanda nonverbal mencakup aktivitas berikut48. 1) Mengidentifikasi ciri-ciri dasar tanda di balik perilaku yang diamati; 2) menghubungkan ciri-ciri ini dengan budaya bersangkutan; 3) mendokumentasikan dan menjelaskan dampak kode-kode tubuh pada individu; 4) menyelidiki bagaimana kode-kode ini saling terkait di seluruh semiosfir (budaya yang melingkupi tanda); 5) memanfaatkan penemuan atau teknik dalam disiplin ilmu terkait (antropologi, psikologi, inguistik, dan seterusnya) yang dapat diterapkan pada situasi tersebut. Dalam rangka mendukung analisis semiotika nonverbal, penelitian ini juga didukung oleh teori tentang tanda-tanda tubuh yang
48
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 65.
34
dikemukakan oleh Desmon Morris sebagaimana diurai dalam sub bab berikut. 3. Tanda-tanda Tubuh. Selain memanfaatkan simbol verbal, humor juga ditunjang oleh simbol-simbol nonverbal dalam proses penciptaan maupun pemaknaannya. Tanda-tanda tubuh adalah bagian dari ekspresi nonverbal, yaitu tindakan yang mengandung pesan. Morris menyebut tindakan yang mengandung pesan sebagai gestur. Lebih lanjut Morris menjelaskan gestur adalah tindakan apapun yang mengirimkan sinyal visual kepada yang melihatnya. Untuk menjadi sebuah
gestur
sebuah
tindakan
harus
dilihat
dan
harus
menyampaikan atau mengkomunikasikan sesuatu. Orang yang melambaikan tangan berarti gestur jika dilihat oleh pihak lain dan menyampaikan suatu maksud49. Banyak jenis gestur dikemukakan Morris dalam buku Manwatching: A Field Guide to Human Behavior. Sub bab ini hanya membahas gestur-gestur yang dipergunakan dalam pembahasan tesis ini. a) Expressive gestures50 Expressive gestures adalah ekspresi wajah yang tidak hanya dilakukan oleh manusia tetapi juga oleh binatang. Wujud expressive
49 50
Desmond Morris,1977: 24. Desmond Morris,1977: 26.
35
gestures adalah tersenyum, tertawa, melongo, sedih, gelisah dan lain-lain. b) Mimic gestures51 Mimic gestures berasal dari kata mimicri, yaitu menirukan seakurat mungkin seseorang, sebuah objek atau sebuah tindakan. Dengan cara itu orang berusaha menunjukkan sesuatu atau mengkopi sesuatu yang ingin digambarkan. Kesuksesan mimic gesture adalah apabila dapat dipahami oleh siapapun yang melihat. Ada 4 mimic gesture. Pertama, social mimicri, yakni gestur untuk memenuhi tuntutan sosial. Misal tersenyum di pesta, bersedih di pemakaman. Kedua thetrical mimicri yakni ekspresi yang dilakukan untuk menimbulkan rasa terhibur. Ketiga, partial mimicri yakni peniruan terhadap sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam kenyataan. Misal menirukan burung yg terbang, air hujan, bara api dan lainlain, biasanya hanya melihatkan tangan. Keempat, vacuum mimicri yakni peniruan tindakan terhadap objek yang tidak ada. Misal, seseorang menirukan adegan makan tetapi makanan tidak ada. c) Symbolic gestures52 Symbolic gestures adalah tindakan yang mengindikasikan hal abstrak yang tidak mempunyai kesamaan yang simpel di dalam
51 52
Desmond Morris,1977: 28. Desmond Morris,1977: 30.
36
kenyataan.
Misal,
menggambarkan
ketidakwarasan
dengan
memiringkan telunjuk di depan kening, menggambarkan ketololan dengan menunjuk kening sendiri. Simbolic gesture tidak selalu akurat karena kecerdasan juga ditunjukkan dengan cara yang sama dengan ketololan. Interpretasi yang tepat terhadap simbolic gesture memerlukan
pemahaman
terhadap
konteks
yang
melatarbelakanginya. d)
Baton Signals53
Baton Signals adalah tindakan yang memberi tekanan pada ritme kata-kata. Fungsi utama baton signals adalah memberi tanda bagian kalimat yang diberi tekanan atau dipentingkan. Sinyal ini sering kali menjadi bagian integral dari bahasa verbal kita, bahkan ketika kita berbicara di telefon. Ini biasanya menyertai kita dalam percakapan di depan publik. Gerakan tangan sering mengatur ritme kata-kata yang diucapkan. Tindakan ini merupakan tindakan setengah sadar. Kita tahu bahwa tangan kita aktif, tetapi jika kita ditanya mengenai gerakan-gerakan tersebut kita tidak bisa menjelaskan. Perbedaan bangsa dapat menyebabkan perbedaan tingkan batoning. Studi terhadap film menunjukkan bahwa masyarakat Mediterania lebih banyak bergerak melakukan gestur daripada orang-orang Eropa Utara. Perbedaan kelas sosial juga
53
Desmond Morris,1977: 56.
37
menimbulkan perbedaan intensitas penggunaan baton signals. Contohnya orang-orang Victorian kelas atas banyak menggunakan gerakan lengan dan tangan sebagai penekanan kata-kata. Orangorang dalam posisi superordinat lebih memanfaatkan baton signals dibanding orang-orang dalam posisi subordinat54. e)
Parental signals55
Sinyal ini berupa tindakan-tindakan yang umumnya dilakukan orang tua kepada anak bayinya yang berisi rasa cinta dan perlindungan. Wujud parental signals berupa sikap-sikap memeluk, mengayun, bersenandung, tersenyum lembut dan lain-lain. f)
Invantile signals56
Invantile signals meliputi wajah kekanak-kanakan, tangisan, senyum, dan tawa yang dilakukan oleh anak-anak. Jika para orang tua mengirim sinyal kepada anak-anak berupa kasih sayang dan perlindungan (parental signals), anak-anak mengirim sinyal yang membantu orang tuanya untuk memberikan kasih sayang dan perhatian. Tindakan-tindakan oleh seorang anak adalah stimulus yang kuat untuk menimbulkan limpahan emosi orang tua. Tiga perwujudan utama invantile signal adalah tangisan, senyuman, dan
Desmond Morris,1977: 62. Desmond Morris,1977: 252. 56 Desmond Morris,1977: 256. 54 55
38
tawa. Kombinasi ketiganya dapat memunculkan sikap merajuk dan sikap-sikap lain yang bertujuan meminta perhatian. g)
Contradictory Signals57
Contradictory Signals adalah tindakan terpecah yang timbul sebagai wujud dari rasa tidak nyaman Tindakan-tindakan kita selain menyatu secara harmonis juga menyatu dengan cara kontradiktif. Wajah senang seharusnya menunjukkan perasaan senang, tetapi dapat
juga
wajah
menampakkan
senang
sambil
tangan
menunjukkan tidak senang dengan mengepal. h) Overkill signals58
Overkill signals adalah suatu tindakan yang berlebihan. Sinyal ini tampak ketika sebuah tindakan dilakukan terlalu kuat bagi konteks yang biasa. Orang yang tertawa terlalu keras dan panjang dalam lelucon yang tidak lucu haruslah dicurigai. Kita segera tahu bahwa dia sesungguhnya tidak terhibur tetapi ingin menyembunyikan perasaannya. Mengangguk dengan ekspresi riang berlebihan seakan paham sesuatu dapat dicurigai sebagai tanda tidak paham.
57 58
Desmond Morris,1977: 112. Desmond Morris,1977: 118.
39
i)
Status display59
Status display adalah cara-cara dalam menunjukkan posisi di dalam masyarakat. Status display adalah sebuah demonstrasi tingkat dominasi. Dalam kondisi primitif, ditunjukkan dengan kekuatan yang brutal. Anggota kelompok yang kuat adalah yang dominan. Kekuatan otot pada masyarakat modern digantikan oleh kekuatan pikiran, bakat dan kemampuan. Uang kadang-kadang difungsikan sebagai status display, tetapi ini tidak selalu benar. Misalnya bangsawan tidak beruang, politisi mlarat, tetapi tetap memegang peranan karena bigron kekuatan atau ketrampilan kreatif. Tetapi kaya dan bergelar, kaya dan tangguh, kaya dan brilian menjadikan seseorang mendapatkan status tinggi. Wujud status display adalah pakaian, perhiasan, rumah mewah, cara berbicara yang berusaha menarik minat orang lain untuk mendengarkan
dan
lain-lain.
Tidak
menutup
kemungkinan
penampilan bisa merupakan kebalikan dari status. Seseorang dapat berwibawa karena kepandaiannya walaupun hanya naik sepeda. Penampilan kerajaan yang megah saat ini tidak memiliki kekuatan politik, sebaliknya gedung DPR tidak menunjukkan penampilan glamor tetapi memiliki kekuatan politik.
59
Desmond Morris,1977: 121.
40
j)
Insult Signals60
Sinyal ini lebih ditujukan pada kekerasan psikis, misal Cara-cara menunjukkan rasa tidak suka dan tidak hormat. Hampir semua tindakan dapat dimaksudkan sebagai insult signals jika hal tersebut ditunjukkan diluar semestinya. Tidak sesuai tempat dan waktunya. Ini adalah tindakan-tindakan yang dirancang untuk kasar, mengejek, menakut-nakuti, atau merendahkan. Tindakan ini biasa diterapkan untuk tujuan intimidasi dan hegemoni. k) Threat Signals61 Mengacu pada tindakan-tindakan yang memberi sinyal kekerasan fisik dan peringatan mengenai tumbuhnya agresi. Threat Signals juga memberi pesan bahwa jika tindakan itu dilaksanakan akan menimbulkan akibat buruk yang sesungguhnya. Gerakan-gerakan ini terdiri atas gerakan utama. Pertama, intention movements of attack yakni
gerakan-gerakan
peringatan
untuk
menyerang.
Tindakan ini dimulai tetapi tidak diselesaikan. Perwujudan umumnya adalah tangan yang dinaikkan seperti hendak memukul. Kedua, vacuum gestures yakni tindakan yang diselesaikan tetapi tidak terjadi kontak fisik dengan lawan. Tindakan yang muncul dapat berupa pukulan ke tempat kosong. Ketiga redirection gestures yakni kontak fisik terjadi tetapi tidak dengan tubuh lawan, tetapi
60 61
Desmond Morris,1977: 186 Desmond Morris,1977: 195.
41
ditujukan kepada hal lain, kadang kadang kepada tubuh sendiri. Memukul tangan sendiri, memukul tembok, atau menjambak rambut sendiri adalah perwujudan dari redirection gestures. l)
Clothing signals62
Sinyal yang timbul dari pakaian yang dikenakan oleh seseorang. Pakaian Tidak mungkin dikenakan tanpa sinyal sosial. Setiap kostum menceritakan sebuah kisah mengenai si pemakainya. Pakaian menunjukkan peranan sosial pemakainya serta sikap si pemakai terhadap kebudayaan di mana dia berada. Pakaian mencerminkan tiga fungsi pokok yang dipertimbangkan oleh pemakainya, yakni comfort, modesty, dan display. Comfort lebih pada fungsi kenyamanan, tidak bersifat sosial. Contoh dungsi comfort seperti ketel pack, jaket untuk menghangatkan tubuh, pakaian olahraga untuk menunjang keleluasaan gerak dan lainlain. Modesty adalah fungsi pakaian untuk kesopansantunan, dan display ada fungsi pakaian untuk penampilan. m) Shortfall signals63 Shortfall
signals
adalah
sinyal
yang
dihasilkan
dari
kegagalan mempertahankan intensitas level reaksi. Ini terjadi karena hal-hal yang diharapkan ternyata tidak terjadi atau gagal
62 63
Desmond Morris,1977: 213. Desmond Morris,1977: 116.
42
secara tiba-tiba sehingga merusak mood untuk tertawa. Normalnya senyum tidak bisa muncul maupun hilang secara mendadak. Selalu ada gradasi pada muncul dan hilangnya senyuman. Gradasi senyuman menjadi shortfall signals karena semakin singkat gradasi antara
ekspresi
gembira
dengan
ekspresi
lain
akibat
dari
kekecewaan yang datang tiba-tiba. Gradasi ekspresi sangat penting, karena itu para aktor film menyadari kekuatan close up. Dalam teater panggung para aktor dipaksa melebihkan gerakan maupun aksinya. Dalam film lensa close up telah mengubah cara berekspresi. Lensa Close up mengharuskan para aktor berkonsentrasi pada peniruan secara sempurna gestur dan ekspresi keseharian karena detil gradasi – sesingkat apapun – menjadi sangat tampak.
4. Sosiolinguistik Sosiolinguistik adalah kajian bahasa yang dikaitkan dengan kemasyarakatan.64 Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan juga sikapsikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian bahasa.65
64 Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 1. 65 Fishman dalam Sumarsono dan Partana, 2004: 2.
43
Sosiolingistik
dapat
mengacu
pada
pemakaian
data
kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial, dan sebaliknya, mengacu kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik.66 Kajian terhadap dialog humor sinetron Para Pencari Tuhan berkenaan dengan pola bahasa yang dituturkan oleh tokoh-tokoh dengan latar belakang kelas sosial yang berbeda-beda. Dengan demikian diperlukan tolok ukur sebagai pegangan pengelompokan kelas sosial. Soekanto67 mengemukakan bahwa terdapat empat ukuran untuk menentukan lapisan/kelas sosial dalam masyarakat, yakni (1) ukuraan kekayaan, (2) ukuran kekuasaan, (3) ukuran kehormatan, dan (4) ukuran ilmu pengetahuan. Sumarsana dan Partana68 mengemukakan bahwa kelas sosial (social class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam
bidang
kemasyarakatan
seperti
ekonomi,
pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Selanjutnya Sumarsono
dan
Partana
menjelaskan
bahwa
kelas
sosial
berkonsekwensi pada status dan peran. Seorang individu mungkin memiliki status lebih dari satu. Seseorang yang di rumah berstatus sebagai bapak mungkin juga berstatus sebagai guru di sekolah.
66 67
262-263. 68
Sumarsono dan Paina Partana, 2004: 3. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1991, Sumarsono dan Partana, 2004: 43.
44
Teori tentang kelas sosial di atas selaras dengan teori tentang tipe tuturan menurut Brown & Gilmann.69 Lebih lanjut Brown & Gilman mengemukakan bahwa kelas sosial dan sikap terhadap lawan tutur menentukan pilihan bahasa dalam berkomunikasi. Terdapat enam tipe tuturan ditinjau dari kelas sosial dan sikapnya terhadap lawan tutur. Keenam tipe tersebut adalah: 1. Superordinat akrab (superior and solidarity) 2. Superordinat tidak akrab (superior and not solidarity) 3. Setara akrab (equal and solidarity) 4. Setara tidak akrab (equal and not solidarity) 5. Subordinat akrab (inferior and solidarity) 6. Subordinat tidak akrab (inferior and not solidarity) Superordinat akrab adalah tuturan yang diungkapkan oleh penutur yang berkedudukan sosial lebih tinggi kepada lawan tutur yang lebih rendah dengan sikap akrab. Contoh tuturan dari tokoh superordinat misalnya tuturan seorang ustad kepada murid ngajinya, pemimpin kepada rakyat, pemilik usaha kepada pekerja, guru kepada murid. Jika gaya bahasa yang dipilih bersifat akrab maka tuturan tersebut termasuk dalam kategori superordinat akrab.
Brown dan Gilman, “The Pronound of Power and Solidarity” dalam Fishman, Joshua A. (ed). Readings in the Sociology of Language, (The Hague: Mouton & Co. N.V. Publishers, 1972), 73. 69
45
Superordinat tidak akrab adalah tuturan yang diungkapkan oleh penutur yang berkedudukan sosial lebih tinggi kepada lawan tutur yang lebih rendah kelas sosialnya dengan sikap tidak akrab. Dalam kategori ini penutur berposisi seperti superordinat akrab tetapi bahasa yang dipilih adalah bahasa yang tidak akrab atau formal. Setara akrab adalah tuturan yang diungkapkan oleh penutur kepada lawan tutur yang berkedudukan sosial setara. Contoh para pelibat dalam kategori ini adalah ustad dengan guru, pengusaha kaya denga pemimpin pemerintahan, pekerja dengan pekerja lain, dan sebagainya. Jika para pelibat berdialog dengan gaya bahasa yang akrab maka termasuk dalam kategori setara akrab. Sebaliknya jika komunikasi yang dipilih cenderung formal maka termasuk dalam kategori setara tidak akrab. Subordinat akrab adalah tuturan yang disampaikan dengan akrab oleh seorang penutur yang berkedudukan lebih rendah kepada lawan tutur yang berkedudukan lebih tinggi. Contoh tuturan dalam kategori ini adalah tuturan akrab seorang pekerja yang sedang berdialog dengan atasan, tuturan akrab murid dengan ustad, tuturan akrab warga kepada pemimpin. Sebaliknya jika tuturan yang dipilih tidak akrab, formal, memperlihatkan sikap menjaga
jarak,
maka
subordinat tidak akrab.
tuturan
demikian
termasuk
kategori
46
G. Metodologi 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Kualitatif merupakan data
yang
dihimpun
dan
disajikan
dalam
bentuk
verbal,
menekankan pada bentuk kontekstualitas dan tidak diatur oleh hitungan statistik, angka numerik dan ukuran-ukuran tertentu. Data dapat dikumpulkan melalui berbagai cara, seperti observasi, wawancara, dan dokumentasi. Endraswara70 menyebutkan bahwa penelitian kualitatif lebih mengandalkan kekuatan indra peneliti untuk merefleksikan fenomena budaya. Sebagian besar data dalam penelitian ini diperoleh dari pengamatan terhadap keseluruhan isi sinetron yang diteliti, yakni sinetron Para Pencari Tuhan Jilid IV. Hasil pengamatan dianalisis berdasarkan pendapat para ahli yang diperoleh melalui studi literatur. Dengan demikian penelitian ini tidak menjaring pandangan penonton secara langsung. Pandangan penonton diwakili oleh studi para ahli yang telah dibukukan.
2. Objek Penelitian Untuk memperoleh arah penelitian yang jelas, serta perolehan data yang sesuai dengan yang diperlukan, maka pembatasan terhadap sasaran penelitian perlu dilakukan. Penulis
70 Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 15.
47
menentukan objek formal penelitian ini adalah dialog humor dalam sinetron Para Pencari Tuhan.
Objek material penelitian ini adalah
sinetron Para Pencari Tuhan, khususnya sequel IV. Adegan dalam sequel sinetron ini diletakkan sebagai sumber data primer penelitian yang harus ditangani secara khusus. Penanganan secara khusus tersebut berupa pemilihan secara seksama dialog para tokoh cerita serta adegan-adegan yang sesuai dengan kebutuhan analisis sebagai titik-tolak untuk meneliti humor. Namun demikian, meski perhatian difokuskan pada sinetron Para Pencari Tuhan IV, tidak berarti bahwa episode-episode lainnya dianggap tidak penting dalam
penelitian
ini.
Pembatasan
perlu
dilakukan
karena
keterbatasan ruang dan waktu penelitian. Selain itu, sequel IV (Para Pencari Tuhan IV) dipilih karena ketika gagasan penelitian ini muncul Para Pencari Tuhan telah sampai sequel IV. Data yang dikumpulkan berupa dialog para tokoh yang dapat dikategorikan sebagai dialog humor, dan selanjutnya dialog tersebut dianalisis dengan menggunakan teori semiotik yang ditunjang dengan teori-teori bantu sehingga dapat diketahui bagaimana
simbol-simbol
baik
verbal
maupun
nonverbal
dipergunakan untuk menciptakan humor. Sinetron Para Pencari Tuhan ini akan dianalisis berdasarkan scene
atau
rangkaian
scene
di
mana
tokoh-tokoh
yang
menyampaikan dialog humor ditampilkan di dalamnya. Dengan
48
demikian hanya scene atau rangkaian scene yang secara spesifik menampilkan tokoh-tokoh berdialog humor, atau yang mendukung terciptanya suasana humor, yang akan dianalisis.
3. Sumber Data Penelitian Data dalam penelitian kualitatif bisa berasal dari berbagai sumber. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah rekaman tayangan sinetron Para Pencari Tuhan yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta SCTV pada bulan Ramadah (Agustus tahun 2008). Data tambahan atau data sekunder diambil dari buku-buku dan sumber-sumber lain yang mengulas tentang sinetron tersebut. Data sekunder yang berupa pendapat para ahli yang sudah dibukukan dipergunakan untuk memferivikasi intuisi peneliti yang sekaligus sebagai penonton.
4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
menggunakan
beberapa teknik yang diterapkan secara bertahapan sesuai dengan kebutuhan. Tahap pertama pengumpulan data menggunakan teknik rekam. Tahap ke dua menggunakan teknik observasi, dan tahap ke tiga menggunakan teknik cuplik. Penerapan teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut.
49
a. Teknik Rekam Perekaman adalah langkah pertama pengumpulan data. Peneliti memanfaatkan alat perekam video dengan jenis pita VHS. Sumber gabar diambil dari jalur audi—video out pada pesawat televisi di rumah peneliti. Total 25 episode pada sequel/jilid IV sinetron Para Pencari Tuhan menghabiskan tujuh kaset VHS dengan kapasitas masing-masing kaset dua jam. Berikutnya untuk mempermudah pada tahap observasi dan tahap pencuplikan, data video analog yang masih berada dalam kaset VHS diproses menjadi data video digital. Proses digitalisasi ini menghasilkan file video dalam format MPG2 yang telah dipilah-pilah per episode, sehingga diperoleh 25 file video. b. Teknik Observasi File-file
video
hasil
dari
penerapan
teknik
rekam
dipergunakan dalam tahap observasi. Teknik observasi dilakukan secara langsung. Observasi secara intensif dilakukan sendiri oleh peneliti. Hal ini akan mempermudah peneliti dalam mendapatkan fakta serta merasakan gejala yang muncul. Peneliti menonton dengan intensif rekaman sinetron Para Pencari Tuhan IV. Dengan memanfaatkan perangkat keras komputer laptop dan perangkat lunak Edius71, penulis dapat dengan mudah mengamati data video
71
Copyright © 2010 Technicolor dba Grass Valley, All right reserved.
50
dari unit yang paling kecil (frame), adegan (scene), hingga episode. Berikut adalah antarmuka (interface) Edius.
Monitor
Squence Marker
Tampilan software Edius
Timeline
Perangkat lunak Edius dipilih sebagai sarana observasi karena menyediakan berbagai fasilitas yang dapat membantu. Di antara fasilitas yang sangat penting adalah squence marker yang dapat secara otomatis memberikan penanda waktu pemunculan secara teliti. Perolehan data pada Squence marker dapat dikonversi menjadi berkas tabel berisi catatan dialog lengkap dengan posisi dialog dalam video. Tabel hasil konversi ini dapat langsung dibuka menggunakan word procesor untuk kemudian dianalisis.
51
Fasilitas Squence Marker pada Edius
Berkenaan dengan teknik observasi terhadap data video digital ini Collier dan Collier72 menyarankan beberapa langkah yang dapat memudahkan dalam meneliti rekaman tayangan audiovisual, yakni: a) mengamati dengan cara slow motion adalah proses kunci dalam analisis, b) mengamati dengan cara high speed juga dapat membantu melihat pola-pola yang berbeda, c) logging dengan menggunakan video footage counters dapat membantu memperoleh presisi, d) dalam hal analisis terstruktur, penghitungan dan pengukuran kelompok sekuen dapat membantu dalam hal kredibilitas, e) mengamati hubungan antara suara (sound) dan gambar (image) dapat mengarahkan pada pandangan baru mengenai rekaman
72 Collier & Collier dalam Patricia Leavy, “Feminist Content and Representative Characters”. The Qualitative Report, Vol. 5, May, 2000.
52
visual, karena dapat dicatat pacing dan peaks komunikasi dan perilaku nonverbal, dan f) pengamatan survei dapat menjadikan rekaman lebih tertata. Pengamatan yang teliti dilanjutkan dengan melakukan penandaan
pada
data-data
yang
mewakili.
Penandaan
menghasilkan catatan tentang peristiwa yang sedang berlangsung di layar dan catatan posisi pemunculannya di episode mana, adegan ke berapa, dan di jam, menit, detik serta frame ke berapa. Penandaan dilakukan pada timeline. Pemasangan tanda di timeline secara otomatis membuka record pada sequence marker yang memungkinkan
peneliti
menuliskan
transkrip
dialog
dan
keterangan gambar. Penandaan ini memudahkan pengambilan gambar diam (screen shoot) yang akan digunakan dalam analisis. Penandaan juga memudahkan penulis menuju ke posisi data, karena ketika catatan di squence marker ditunjuk (click) secara otomatis akan mengarahkan penunjuk pada posisi data di timeline. Untuk mempercepat akses menuju data yang dikehendaki dilakukan penamaan data dengan pola sebagaimana tampak dalam penjelasan di tabel berikut. Nama Data 01_00:11:12:06 Penanda Episode 01
Penanda Posisi Jam 00
Menit 11
Detik 12
Frame 06
53
Penamaan data demikian mengacu pada referensi yang diberikan secara otomatis oleh softwer Edius pada saat pencatatan di squence marker. Penamaan data ini berlaku pada data gambar maupun pada dialog. Jika contoh nama data di atas digunakan pada data gambar maka menginformasikan bahwa gambar tersebut terletak di episode 01, jam ke 0, menit ke sebelas, detik ke duabelas, frame ke enam. Jika contoh nama data di atas digunakan pada data dialog maka menginformasikan bahwa dialog tersebut terletak di episode 01, dimulai pada jam ke 0 menit ke 11, detik ke 12, dan frame ke 6. Antara
informasi
episode
dengan
informasi
waktu
posisi
pemunculan dipisahkan dengan simbol garis bawah (_). Antara informasi jam dengan menit, menit dengan detik, dan detik dengan frame dipisahkan dengan simbol titik dua (:). Cara penamaan ini selain
memudahkan
identifikasi
pada
penyajian
data
juga
memudahkan pengecekan pada file video. Selain itu penamaan demikian juga memudahkan pencarian file di media penyimpan komputer karena dengan pola penamaan demikian komputer akan secara otomatis menampilkan file-file tersebut dalam urutan yang rapi. c. Teknik Cuplikan (Sampling) Teknik cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling di mana peneliti memilih informasi dan masalahnya secara
54
mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap73. Peneliti memilih cuplikan-cuplikan dialog maupun elemen visual yang mewakili kategorisasi yang telah ditentukan. Cuplikan didasarkan pada penandaan yang telah dilakukan pada tahap observasi. Dasar yang digunakan sebagai alat validasi untuk memastikan bahwa dialog tersebut mengandung muatan humor mengacu pada teori tujuh konsep penanda humor yang dikemukakan oleh Mc. Gee sebagaimana yang telah diuraikan pada subbab kerangka teori. Tujuh
penanda humor tersebut terdiri dari
(1) Absurd/
menyimpang, (2) Incongrous/ aneh, (3) Ridiculous/ konyol, (4) Ludicrous/ menggelikan, (5) Funny/ lucu, (6) Amusing/ menyenangkan, (7) Mirthful/ suka cita.74 Selain itu peneliti juga memanfaatkan intuisinya yakni dengan mengubungkan teks humor pada sinetron dengan kenyataan yang dipahami peneliti. Ini sesuai dengan pandangan Seno Gumirah bahwa menentukan “yang lucu” tak dapat lepas dari “yang normal”, sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab teori humor. Selain itu, penelitian ini merupakan studi pustaka, yaitu mengolah data pendukung yang diperoleh dari buku-buku, jurnal ilmiah, majalah dan situs internet yang berhubungan dengan topik penulisan.
73 74
Endraswara, 2006: 206. Mc. Gee, 1979: 6-8.
55
Untuk memperoleh hasil penelitian yang berkualitas, peneliti berusaha menjaga validitas internal agar tidak terjadi kesalahan internal dalam mendesain penelitian dan validitas eksternal agar tidak terjadi kekeliruan dalam generalisasi data. Kedua validitas ini dapat dicapai dengan teknik pengembangan validitas yang berupa trianggulasi data75 dan trianggulasi teori76. Trianggulasi data (sumber) adalah pengumpulan data dari berbagai sumber berbeda, dalam hal ini literatur pendukung, untuk melakukan pengkajian secara objektif, kritis dan mendalam. Sedangkan trianggulasi teori merupakan upaya penggunaan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas suatu masalah dalam penelitian.
5. Teknik Analisis Data Analisis terhadap suatu karya sinetron merupakan upaya menangkap makna dan memberi makna kepada teks sinetron tersebut. Analisis, menurut Miles dan Huberman,77 terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yakni: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data adalah
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
75 Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative approach, 4th Edition, (Needhan Heights: Av Pearson Education Company, 2000), 171-172. 76 HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Penerapannya dalam Penelitian, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002), 82. 77 Miles, dan Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992), 16.
56
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ‘kasar’ yang muncul selama proses pengumpulan data. Reduksi data ini berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi kualitatif dilakukan. Adapun penyajian data merupakan informasiinformasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sedangkan penarikan kesimpulan/verifikasi
merupakan
pengujian
kebenaran,
kekokohan dan kesesuaian makna-makna yang muncul dari data. Berkenaan dengan penyajian data, peneliti mempergunakan tabel-tabel. Setiap sel tabel berisi data gambar dan data dialog serta informasi tentang perilaku nonverbal tokoh. Penggunaan tabel dalam
penelitian
ini
hanya
bertujuan
mempermudah
penggabungan data gambar dengan data dialog yang menyertainya. Gambar-gambar pada sel bukanlah salinan utuh footage (rangkaian gambar) melainkan cuplikan satu hingga sepuluh gambar yang dianggap mewakili isi cerita. Cara ini dilakukan mengingat
dalam
sistem
video
dialirkan
rangkaian
gambar
sebanyak 24 hingga 30 gambar per detik, sehingga tidak mungkin ditampilkan semua dalam penyajian data. Untuk mempermudah melihat hubungan antara dialog dengan gambar tokoh, khusus gambar yang mengandung lebih dari satu tokoh, diberikan kode centang merah [] pada dialog dan gambar
57
tokoh untuk menandai tokoh mana (pada data foto) yang mengucapkan dialog tersebut. Berikut adalah contoh penyajian data dalam tabel:
[]
Gambar 1 (02_00:41:20:01)
Gambar 2 (02_00:41:22:21)
PAK HAKIM SEMAKIN JENGKEL.
Hakim []: Lho, Oke nggak? (02_41:19:04)
Hakim : Oke nggak? (02_41:19:04)
PAK RW DAN PAK YOS MENINGGALKAN PAK HAKIM YANG SEDANG JENGKEL, KEMUDIAN DISUSUL OLEH PAK HAKIM.
Tabel 1: Contoh penyajian data dalam tabel Sebagaimana diuraikan dalam sub bab tujuan dan manfaat penelitian, analisis dalam penelitian ini adalah mediskripsikan pemanfaatan simbol verbal dan nonverbal untuk menciptakan humor dalam sinetron Para Pencari Tuhan; dan menemukan hubungan antara teks humor dalam sinetron Para Pencari Tuhan dengan konsep umum yang ada di tengah masyarakat penonton sehingga diperoleh alasan logis mengapa teks itu dimaknai sebagai humor.
58
Berkenaan dengan pencapaian tujuan yang pertama peneliti sependapat dengan Mick Short78 yang mengatakan bahwa sebagian besar drama ditulis untuk dipertunjukkan. Karena itu, drama hanya dapat dipahami dengan baik dalam teater. Dalam teater kita menganalisis data linguistik/verbal dan nonlinguistik/ nonverbal dalam suatu paduan sehingga diperoleh informasi kinerja kedua aspek tersebut. Langkah-langkah analisis adalah sebagai berikut79. 1. Mengamati pertunjukan dari teks (Inferring performance from text) yang meliputi apa yang dikatakan (dalam dialog maupun arahan panggung) yang kemudian melalui proses inferensi yang menuntun pada apa yang dimaksud dalam fitur pertunjukan. 2. Mengamati fitur pertunjukan (performance features) yang terdiri dari: - Akting (Action), yakni Apa yang dilakukan di atas panggung (gerakan, penempatan objek dan gerakan lain), gestur, posisi tubuh dan perubahan postur, ekspresi wajah, serta arah tatapan. - Cara berbicara (Speech) yakni penggunaan fitur pengucapan umum (misalnya logat atau aksen non-standard, dan fitur cara
78. “The vast majority of play are written to be performed. As a consequence many modern drama critics tell us that plays can only be properly understood and reacted to in the theatre”. (Short dalam Culpeper dkk (ed), 1998:6) 79 Mick Short dalam Jonathan Culpeper, Exploring the Language of Drama: from Text to Context, (New York: Routledge, 1998), 10.
59
berbicara yang tidak lazim, seperti gagap),
fenomena
paralinguistik (misalnya nada suara, kenyaringan, kecepatan pengucapan, jeda, dll) - Penampilan (Appearance) yakni jenis kelamin, usia dan ukuran fisik dari pelaku, warna kulit, warna rambut, dan fitur fisik lainnya, serta apa pakaian tokoh. Simbol-simbol verbal yang berupa dialog akan dianalisis untuk menemukan bagaimana sikap bahasa para tokoh sehingga menghasilkan humor. Untuk tujuan tersebut dipergunakan teori pendukung berupa teori analisis wacana kritis Norman Fairclough khususnya
tentang
dimensi
sosiokultural
yang
melatari
penggunaan simbol-simbol bahasa. Fitur pertunjukan yang berupa simbol-simbol nonverbal akan dianalisis dengan mempergunakan teori bantu tanda-tanda tubuh dari Desmond Morris. Masih dalam rangka mencapai tujuan yang pertama, elemen verbal yang dianalisis dideskripsikan sebagai transkrip dialog, sedangkan
elemen
nonverbal
(karena
keterbatasan
media
penyajian), dicuplik sebagai gambar diam/foto. Untuk pencapaian tujuan kedua adalah mencari hubungan antara simbol-simbol dalam teks sinetron dengan teks di dalam maupun di luar sinetron Para Pencari Tuhan. Penghubungan dilakukan dengan menghadirkan wacana dominan yang berkaitan
60
dengan teks humor yang sedang dianalisis. Wacana dominan dapat berupa konvensi-konvensi atau konsep ideal dengan didasarkan pada teori-teori yang sesuai dengan topik humor. Hubungan makna yang terkandung dalam teks humor akan menjelaskan alasan mengapa teks tersebut dimaknai sebagai humor. Berikut ini adalah contoh penyajian data yang telah dilengkapi dengan analisis.
Gambar 3 (01_00:08:47:02)
Gambar 4 (01_00:08:48:22)
SEMUA JAMAAH SEREMPAK TERIAK PUAS. ADA SEORANG JAMAAH YANG MENERIAKKAN ALLAHUAKBAR DENGAN MENGEPALKAN TANGAN.
BANG JEK MULAI MARAH DAN MEMANDANG TAJAM PADA JAMAAH YANG MENERIAKKAN ALLAHUAKBAR. JAMAAH TIBATIBA BERUBAH TAKUT OLEH EKSPRESI BANG JEK. Bang Jek: Nih. Mangkanya. Yang kita lihat tadi itu cuma fatamorgana. Sebab apa? Sebab kita nyebar ke mana-mana. Renggang satu sama lain. Kenyataannya cuma tiga saf kurang. Itu kekuatan kita sekarang. Makanya jangan GR dulu. Rapatkan saf. Perkuat ukuwah islamiah. Paham? (01_00:09:51:08)
61
Gambar 5 (01_00:10:16:10)
Gambar 6 (01_00:10:20:06)
Tabel 2. Contoh Penyajian Data Gambar 3 sampai 6 adalah cuplikan dari adegan para jamaah yang sedang bereaksi terhadap kemarahan Bang Jek. Gambar 3 dalam komposisi midle group shot salah seorang jamaah berteriak “Allahuakbar”. Bang Jek berreaksi dengan menatap tajam kepada jamaah yang berteriak tersebut (gambar 4). Gambar 5 dan 6 dalam midle group shot ditampilkan ekspresi para jamaah yang menunduk ketakutan karena kemarahan Bang Jek. Bang
Jek
dalam
mengungkapkan
kemarahanya
menggunakan diksi “fatamorgana”, “renggang”, “GR”. Kata-kata ini ketika dipergunakan disertai dengan nada emosi dan ditujukan kepada jamaah yang usianya bervariasi. Simbol verbal ini dapat memberi makna bahwa Bang Jek adalah tokoh yang disegani. Simbol-simbol nonverbal yang hadir dalam adegan tersebut adalah shortfall signal80 terdiri dari ekspresi para jamaah yang berubah
80
Shortfall signals adalah sinyal yang dihasilkan dari kegagalan mempertahankan intensitas level reaksi. Ini terjadi karena hal-hal yang
62
secara mendadak dari sikap garang dengan kepalan tangan dan terikan berubah menjadi tunduk dan takut. Ekspresi verbal maupun nonverbal Bang Jek lebih difungsikan untuk mendukung kontradiksi antara sikap garang para jamaah dengan sikap pengecut yang ditampilkan kemudian. Perubahan ekspresi para jamaah dari arogan (gambar 3) menjadi takut (gambar 5 dan 6) merupakan kritik terhadap sikap radikal dalam beragama. Tampak dalam gambar-gambar tersebut para jamaah dengan berbagai usia. Data ini menyiratkan pesan bahwa kesalahan sikap dalam beragama dapat dilakukan oleh berbagai kalangan tanpa memandang usia. Ketika jamaah yang banyak tiba-tiba ditaklukkan oleh seorang tokoh maka timbul kesan inverior dari subjek yang dikalahkan sehingga memicu humor superioritas81. Humor dalam adegan ini juga dapat ditimbulkan oleh hasrat melepaskan diri dari tekanan82. Sikap arogan para jamaah (gambar diharapkan ternyata tidak terjadi atau gagal secara tiba-tiba sehingga merusak mood untuk tertawa. Normalnya senyum tidak bisa muncul maupun hilang secara mendadak. Selalu ada gradasi pada muncul dan hilangnya senyuman. Gradasi senyuman menjadi shortfall signals karena semakin singkat gradasi antara ekspresi gembira dengan ekspresi lain akibat dari perubahan perasaan yang datang tiba-tiba. 81 Teori superioritas menganggap humor sebagai refleksi rasa kelebihan pihak yang menertawakan pihak lain. Individu akan memperoleh kenikmatan dengan menertawakan kelemahan atau kemalangan orang lain. Seseorang akan tertawa jika ia secara tiba-tiba merasa lebih unggul atau sempurna dibanding pihak lain yang melakukan kesalaha, kekurangan, atau mengalami keadaan yang tidak menguntungkan (Manser dalam Muawal Dkk, 2014: 27). 82 Teori motivasional disebut juga teori pelepasan dari ketegngan atau hambatan. Teori ini bertolak dari pendapat psikoanalisis Sigmund Freud. Freud berpendapat, asal mula lelucon adalah kecenderungan agresif. Hal ini timbul
63
3) pemaknaannya dapat ditelusuri dari wacana dominan tentang radikalisme yang ada dalam pikiran masyarakat83. Kesan tentang radikalisme adalah keras, militan, dan arogan. Berita-berita tentang perilaku
arogan
yang
mengatasnamakan
agama
sering
berhubungan dengan radikalisme yang berakibat intimidasi atau gangguan bagi pihak lain yang dianggap tidak sepaham. Terhadap wacana dominan tentang radikalisme ini masyarakat cenderung merepresi penolakan, menahan diri atau memilih tidak bersikap walaupun tidak menyukai. Ketika terjadi kontradiksi terhadap wacana dominan tentang radikalisme - dari keras dan arogan menjadi tidak berdaya dan penurut-, terjadi pelepasan energi psikis dari ketidaksukaan yang terrepresi dalam bawah sadar penonton. Pelepasan energi psikis tersebut muncul menjadi motivasi tawa. Humor dalam adegan ini dihadirkan menyertai pemunculan pesan moral tentang ukuwah dan kualitas umat. Pemunculan
karena sesuatu yang tidak dapat diterima oleh kesadaran tetapi ditekan ke alam bawah sadar. Energi psikis yang semula dibutuhkan untuk menekan ekspresi akhirnya dibebaskan menjadi lelucon atau humor yang diwujudkan dalam bentuk tawa. Dengan tertawa akan terjadi sesuatu pelepasan tekanan. Misalnya terlepas dari situasi yang menegangkan atau munculnya kesadaran bahwa lawan kita tidak berdaya (Manaser dalam Muawal Dkk, 2014: 28). 83 Radikalisme adalah sikap keagamaan yang ditandai oleh 4 hal: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat orang lain; (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah; (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan Islam kebanyakan dan mengklaim bahwa cara beragama merekalah yang paling benar, yang kaffah, dan cara beragama yang berbeda dari mereka sebagai salah, kafir dan sesat; (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Pada tingkatan yang ekstrem, pola keberagamaan yang seperti inilah yang memunculkan kelompok yang lebih dikenal dengan fundamentalisme yang melahirkan radikalisme (Sabirin, 2004: 5).
64
humor berfungsi untuk menarik perhatian penonton sehingga tetap berkonsentrasi ketika situasi berubah serius oleh munculnya pesan moral84. H. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I menerangkan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, batasan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II berisi tentang sekilas sejarah sinetron di Indonesia. Namun karena kemunculan sinetron merupakan fenomena media di Amerika maka pada bab ini dibahas pula sejarah munculnya sinetron di Amerika. Bab ini juga membahas pengertian sinetron dan sinetron religi. Bab III berisi informasi seputar sinetron Para Pencari Tuhan.
Dipaparkan
dalam
bab
ini
tentang
produksi
dan
penayangan, para pemeran, gambaran umum cerita, sinopsis Para Pencari Tuhan IV, dan penghargaan serta apresia terhadap Para Pencari Tuhan yang diulas oleh berbagai media.
84 Fungsi humor yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat kita antara lain, fungsi pembijaksanaan dan penyegaran, yang membuat orang mampu memusatkan perhatian untuk waktu yang lama (Periksa Priyo Hendarto. 1990: 9).
65
Bab IV berisi analisis dialog humor dalam sinetron Para Pencari Tuhan. Pembahasan akan dipilah dalam lima subbab sesuai dengan kategorisasi data yang telah ditentukan. Subbab 4.1 akan membahas humor dengan memanfaatkan sibol-simbol agama. Subbab 4.2 akan membahas humor dengan memanfaatkan simbolsimbol kelas sosial. Subbab 4.3 akan membahas humor dengan simbol-simbol gender. Subbab 4.4 akan membahas humor dengan memanfaatkan simbol-simbol politik dan kekuasaan. Subbab 4.5 akan membahas humor dengan memanfaat simbol-simbol usia. Bab V berisi hasil kesimpulan serta saran-saran.