BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Epidemi atau wabah penyakit merupakan salah satu faktor penyebab terbesar kematian penduduk. Wabah dapat menyerang tanpa pandang bulu, dapat menimpa anak-anak, orang tua, wanita, pria, dan dari kalangan sosial manapun. Penyebab berjangkitnya wabah yang menimbulkan kematian bisa disebabkan faktor alam, manusia, maupun kegaganasan penyakit yang menyerang. Faktor alam dapat berupa gunung meletus, banjir, dan kekeringan. Faktor manusia
misalnya
berkaitan
dengan
kehidupannya
sehari-hari
seperti masalah pembuangan limbah rumah tangga dan cara memperdayakan sumber daya alam.1 Timbulnya wabah dapat memberikan gambaran buruknya kondisi kesehatan penduduk. Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi masyarakat meliputi gizi atau nutrisi yang tidak baik, kurang dalam hal menjaga kebersihan lingkungan dan penyediaan air bersih maupun pelayanan kesehatan. Gambaran semacam ini umum terjadi
Lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 5 (Jakarta: PT Adi Cipta Pustaka, 1989) hm. 140 1
2
di
negara-negara
miskin
atau
sedang
berkembang
dengan
pertumbuhan penduduk besar, hal ini juga menimpa penduduk di pulau Jawa pada masa kolonial khususnya di daerah pedesaan. Salah satu akibat dari pertumbuhan penduduk Jawa yang besar ialah semakin meningkat kepadatan penduduknya.2 Dalam satu sisi jumlah penduduk yang besar memang menguntungkan yaitu untuk sumber tenaga kerja perkebunan dan sumber tenaga pada industri milik pemerintah. Akan tetapi, bagi pemerintah kolonial jumlah penduduk yang besar menuntut konsekuensi lain, yakni menyediakan mata pencaharian yang lebih banyak lagi.3 Sudah selama
berabad-abad
pulau
Jawa
terkenal
sangat
padat
penduduknya dan salah satu penyebabnya adalah tingkat kelahiran yang tinggi. Kepadatan penduduk berpengaruh terhadap kapasitas agraris yang tersedia. Jalan yang termudah ditempuh adalah penduduk mulai menyebar ke seluruh bagian pulau Jawa dan terjadilah pembukaan lahan-lahan baru. Bersamaan dengan dibukanya lahan baru tersebut maka berkembang pula jalur transportasi ke seluruh
J. Van Gelderen, et al., Tanah dan Penduduk di Indonesia. (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 20. 2
3Ibid.
3
wilayah pulau Jawa. Pusat perniagaan dan pemukiman meluas seiring
meluasnya
aktivitas
penduduk.
Kepadatan
penduduk
biasanya terjadi di daerah yang menjadi sentra perekonomian. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi tentu saja memberi dampak hampir di semua aspek. Salah satu aspek yang terkena dampak dengan adanya tingkat kepadatan yang tinggi adalah aspek kesehatan masyarakat. Dengan kondisi semacam ini masyarakat cenderung rentan terkena berbagai macam penyakit. Penyakit yang sering terjadi misalnya, tifus, disentri, pes atau sampar, kolera, malaria dan lain-lain. Dari berbagai jenis penyakit tersebut, penyakit sampar pernah menjangkiti hampir seluruh penduduk Jawa. Penyakit sampar masuk ke Jawa pada akhir tahun 1910. Penyakit ini muncul beberapa saat setelah adanya usaha pemerintah Hindia Belanda mempertahankan harga beras dengan melakukan impor beras. Sebagian besar beras didatangkan Burma. Ternyata perkakas atau alat yang digunakan untuk mengangkut beras tidak sehat dan banyak sekali ditemukan tikus yang sudah terinfeksi penyakit sampar. Tikus-tikus yang sudah terinfeksi penyakit sampar tersebut kemudian menularkan penyakitnya kepada para penduduk melalui gigitan pinjal atau kutu yang ada di badan tikus tersebut. Kasus
4
sampar pertama ditemukan di Turen, Malang yang mengakibatkan sekitar 17 orang meninggal. Penyakit sampar muncul ketika beras disimpan di gudang-gudang penyimpanan di Malang karena adanya bencana banjir yang memutus jalur kereta api dari arah Malang menuju Wlingi. Dari daerah inilah penyakit sampar menyebar ke seluruh Jawa.4 Dinas kesehatan daerah Malang dikerahkan untuk mengatasi wabah ini, akan tetapi kewalahan karena sudah terlanjur menyebar atau meluas. Penduduk desa yang terkena wabah ini diungsikan ke tempat-tempat khusus atau diisolasikan di barak-barak sementara. Lama-kelamaan kota Malang dipenuhi dengan barak-barak yang menampung 48 ribu dan mereka tidak bekerja selama satu bulan.5 Menurut
penyebarannya,
penyakit
sampar
di
Jawa
dikelompokkan ke dalam empat jalur. Pertama, jalur Pelabuhan Surabaya tahun 1910, kemudian menjalar ke Malang Selatan, Kediri, Madiun, Surakarta dan Yogyakarta. Jalur yang kedua adalah pada tahun 1919 penyakit sampar mulai masuk ke Pelabuhan Semarang
4Arsip
Nasional Republik Indonesia, Memori Serah Jabatan 1921-1930 :Jawa Timur dan Tanah Kerajaan. (Jakarta: ANRI, 1978), hlm. LII 5Van
Geuns, “De Gouverneur Generaal naar de Peststreken”, dalam Weekblad voor Indie tahun 1913-1914, hlm. 1118.
5
masuk ke Ambarawa, Salatiga, Magelang, Wonosobo, Banyumas dan Pekalongan. Jalur ketiga adalah masuk dari Pelabuhan Tegal pada tahun 1922 merembes ke Bumiayu. Jalur terakhir melalui Pelabuhan Cirebon pada tahun 1924 dan menyebar ke Majalengka, Kuningan, dan Bandung Selatan.6 Menurut waktu terjadinya, epidemi sampar di Jawa dibedakan dalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama terjadi pada 1910 sampai 1914. Pada tahun 1912 korban meninggal karena sampar ini sekitar 2000 orang. Pada tahun 1915 penyakit ini sudah menyebar ke wilayah Surakarta dan mengakibatkan pemerintah Kolonial mengerahkan semua mantri dan para dokter untuk menanggulangi penyakit sampar ini.7 Gelombang kedua di Jawa Tengah 1919 sampai 1928. Epidemi diawali dari Pegunungan Ungaran, Gunung Sundoro dan Sumbing, Merbabu dan Merapi. Gelombang ketiga adalah di Jawa Barat 1930-1934. Wabah sampar mengakibatkan kematian 2000 orang pertahun. Total tahun 1932 mencapai 4. 366 dan 1933 mencapai 15.000 orang. Hingga tahun 1939 jumlah kematian akibat
6Departemen
Kesehatan, Sejarah Kesehatan Indonesia. Jilid 2. ( Jakarta: Depkes, 1980 ), hlm. 41. 7Baca
Nasional
Dienst der Pestbestrijding, “Verslag over het Eerste kwartal 1916”. ( Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1917), hlm. 3-7.
6
sampar sebanyak 215.020 orang. Korban terbesar adalah pada tahun 1934 sebanyak 55.080 orang.8 Wabah
sampar
sendiri
menjangkiti
warga
di
wilayah
Karesidenan Surakarta pada tahun 1915. Diperkirakan penyakit ini muncul di Surakarta adalah terbawa oleh barang-barang dagangan yang sudah terkontaminasi oleh kutu-kutu tikus yang dibawa melalui jalur kereta api dari Jawa Timur. Barang dagangan tersebut terutama beras yang sebelumnya sudah disimpan di gudang-gudang dalam waktu yang lama sehingga banyak sekali ditemukan kutu-kutu dalam beras tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tikus
yang mati dalam jumlah besar di gudang beras dekat stasiun Jebres. Pada bulan Juli di tahun yang sama penyakit sampar ditemukan di daerah Pasar Legi (Kampung Lor). Dari sinilah kemudian menyebar ke Kota, Pasar Kliwon, Serengan dan terakhir adalah Laweyan. Pada bulan November 1915 seluruh kota tertular. Pada bulan Januari 1916 wabah mulai menurun di kota dengan perlahan-lahan. Akan tetapi di wilayah lain wabah sampar justru belum dapat teratasi.
8Restu
Gunawan, “Wabah Pes di Jawa 1915-1925”, dalam LIPI, Sejarah dan Dialog dan Peradaban: Persembahan 70 Tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 977-978.
7
Daerah yang parah terkena wabah adalah Klaten, Boyolali dan Sragen.9 Untuk memberantas wabah ini pemerintah Belanda bekerja sama dengan penguasa pribumi mengambil beberapa tindakan. Selama tahun 1916 ternyata kasus sampar sudah menjalar hingga Afdeeling
Klaten,
Boyolali
dan
Sragen,
sehingga
daerah
ini
ditempatkan juru penerang. Tindakan kedua adalah mendirikan laboratorium untuk memeriksa semua tikus yang mati apakah terjangkit sampar ataukah tidak. Selain itu dibuat pula barak-barak khusus untuk menampung para penderita sampar ini. Tindakan lainnya adalah dengan melakukan penyemprotan rumah yang terjangkiti
penyakit
sampar
atau
pes.
Perbaikan
rumah
pun
diberlakukan di beberapa kawasan yaitu, Afdeeling Klaten, Sragen, Boyolali, serta daerah perdagangan seperti Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Tasikmadu, Kartasura, pengging, Delanggu, Beji dan Wedi. Penduduk yang tidak mampu membiayai perbaikan rumahnya akan
menerima
uang
muka
yang
ditetapkan
oleh
pengawas
perbaikan rumah yang akan menerima bahan bangunan berupa
9Departemen
Indonesia. Loc.cit.
Kesehatan,
Sejarah
Kesehatan
Nasional
8
kayu, genting, paku, kapur dan bahan-bahan bangunan yang lain.10 Dengan melihat fenomena ini dapat diperkirakan keadaan sanitasi lingkungan masyarakat pada waktu itu sangat buruk. Atap rumah penduduk masih banyak yang menggunakan jerami dan dinding masih menggunakan dinding
bambu yang sering dijadikan tikus
sebagai sarang.11 Masyarakat juga masih belum mempunyai sarana MCK yang memadai. Banyak masyarakat yang melakukan kegiatan cuci dan membuang hajat di sungai yang mengakibatkan lingkungan menjadi tidak sehat. Selain itu masyarakat masih banyak yang membuang sampah di sembarang tempat sehingga tikus pun banyak yang bersarang di sampah tersebut. Luasnya areal perkebunan dan semakin lancarnya kegiatan perekonomian
seperti
perdagangan
dan
pengangkutan
barang
memicu wabah sampar semakin cepat menyebar. Pasar-pasar yang semakin banyak secara otomatis lingkungan di sekitar pasar tersebut menjadi tidak sehat. Banyaknya tumpukan sampah organik maupun non organik membuat tikus senang bersarang.
10Arsip
Nasional Republik Indonesia, Memori Serah Jabatan 1921-1930 : Jawa Timur dan Tanah Kerajaan. (Jakarta: ANRI, 1978), hlm. CCLVII 11Baca
tulisan M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hlm. 235.
9
Kondisi
semacam
ini
didukung
pula
dengan
adanya
diskriminasi yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial pada masa itu. Rumah-rumah yang terbuat dari batu dengan pekarangan yang luas biasanya hanya dimiliki oleh para priyayi, pegawai tinggi dan pegawai menengah. Sedangkan para pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan penduduknya pada umumnya tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu.12 Wabah atau epidemi ternyata sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang dijangkitinya. Hal ini juga terjadi ketika penyakit sampar menjangkiti hampir seluruh warga masyarakat di wilayah Karesidenan Surakarta.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Dari latar belakang yang diungkapkan, permasalahan utama yang dibahas pada tulisan ini adalah mengenai wabah sampar dan efektifitas usaha pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat pascawabah di Karesidenan Surakarta pada paruh pertama abad ke-20. Permasalahan yang telah dirumuskan akan dibahas berdasarkan tiga pertanyaan penelitian utama. Pertanyaan
Sartono Kartodirdjo, “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial”, dalam Lembaran Sejarah, vol. 4, 1969, hlm. 49. 12
10
pertama mengenai penyebaran penyakit sampar dan akibatnya pada kondisi
kesehatan
masyarakat,
yaitu
bagaimanakah
proses
penyebaran wabah sampar di Karesidenan Surakarta ? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan wabah sampar mudah berkembang ? Golongan masyarakat mana dan wilayah mana sajakah yang paling parah terkena dampak wabah sampar ini ? Seberapa jauh dan dalam hal apa sajakah dampak yang ditimbulkan oleh wabah sampar ini ? Pertanyaan
penelitian
yang
kedua
mengenai
tindakan
pencegahan wabah sampar yang dilakukan negara dan masyarakat pascawabah, yaitu kapan dan dimana sajakah usaha pencegahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat pascawabah sampar itu dilakukan ? Dalam bentuk apa sajakah usaha pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat pascawabah sampar dilakukan ? Apakah usaha pencegahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat pascawabah ini berhasil dilakukan ? Kendalakendala apa yang dialami oleh pemerintah dan masyarakat pada saat pencegahan wabah ? Penulisan ini merupakan salah satu bentuk penulisan sejarah lokal.13 Tema yang menjadi perhatian dari sejarah Karesidenan
13Taufik
Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia. ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 ), hlm. 15.
11
Surakarta adalah masalah sosial terutama tentang kesehatan masyarakatnya. Dengan demikian penulisan ini termasuk ke dalam cakupan sejarah kesehatan masyarakat. Batasan temporal penelitian ini adalah 1915 sampai dengan 1930, sedangkan batasan spatialnya adalah Karesidenan Surakarta yang meliputi Afdeeling Surakarta, Klaten, Sragen, Boyolali serta daerah Wonogiri, kartasura dan Karanganyar. Pengambilan menerangkan
tahun
wabah
1915
sampar
didasarkan
atau
pes
pada
mulai
data
yang
berjangkit
di
Karesidenan Surakarta pada tahun tersebut. Selain itu pengambilan angka tahun 1915 didasarkan beberapa alasan bahwa data-data kependudukan mulai lengkap pada sekitar tahun-tahun ini yaitu mengenai data mortalitas dan fertilitas penduduk. Data-data tersebut meliputi pelbagai satuan lokal dan dinyatakan dengan jumlah mutlak. Dengan demikian data kependudukan dapat untuk melihat tingkat kematian penduduk jika suatu waktu tertentu terjadi tingkat kematian tinggi. Apakah wabah tersebut berjangkit kembali dan apakah keadaannya menjadi lebih buruk atau sebaliknya. Dengan kebijakan pemerintah apakah dapat mencegah berjangkitnya wabah kembali dan menjadikan Surakarta bebas dari wabah sampar. Peneliti menutup tahun penelitian pada tahun 1930 dengan alasan
12
mulai terlihatnya dampak-dampak positif dalam bidang kesehatan masyarakat
dengan
adanya
usaha
dilakukan negara dan dukungan
pencegahan
wabah
yang
masyarakat pascawabah di
Karesidenan Surakarta. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Karesidenan Surakarta dengan alasan bahwa kawasan ini merupakan kawasan yang
subur
perekonomian
untuk
pertanian
penduduk
dan
tergantung
perkebunan, pada
tanah.
sehingga Selain
itu
Surakarta merupakan karesidenan yang mempunyai 3 pemerintahan yaitu
pemerintah
Kolonial
Belanda,
pemerintah
Kasunanan
Surakarta dan pemerintah Mangkunegaran. Dengan melihat hal tersebut apakah ada bentuk kerja sama antara pemerintah Kolonial dengan pemerintah tradisional dalam menangani masalah epidemi ini, Apakah sebaliknya yakni bekerja sendiri-sendiri. Selain itu wilayah Karesidenan Surakarta adalah wilayah yang paling penting di jawa tengah bagian selatan. Banyak kantor-kantor penting yang didirikan di wilayah ini dan jalur transportasi pun sudah lancar. Akan tetapi, ternyata dibalik semua itu kondisi masyarakat khususnya dalam hal kesehatan sangat buruk sehingga sering muncul wabah salah satunya adalah sampar atau pes ini.
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Mengacu pada latar belakang dan permasalahan tujuan penelitian ini ialah menjelaskan usaha pencegahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat pascawabah sampar di Karesidenan Surakarta, membandingkan pascawabah masyarakat
tingkat
sampar tiap
yang
Afdeeling
keberhasilan dilakukan di
usaha oleh
Karesidenan
pencegahan
pemerintah Surakarta
dan dan
mengembangkan studi sejarah sosial-ekologi yang didasarkan pada aspek-aspek kesehatan. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau pedoman dalam hal pencegahan penyakit menular, terutama penyakit sampar. Selain itu dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk hidup lebih sehat.
D. Tinjauan Pustaka Sampai saat ini memang telah banyak dihasilkan tulisan, baik itu berupa buku, desertasi ataupun tesis yang membahas mengenai kesehatan penduduk di Indonesia. Pembahasan kesehatan penduduk Indonesia antara lain peter Boomgaard, dengan desertasi berjudul Children of The Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java 1795-1880. disertasi ini membahas mengenai
14
penduduk
di
Indonesia
pada
masa
kolonial.
Boomgaard
menggambarkan bahwa penduduk jawa sangat miskin, akan tetapi tingkat pertumbuhan penduduknya per tahun sangat tinggi yakni mencapai 2.2%-2.3%. Data-data kependudukan yang dipakai sangat lengkap baik dari arsip-arsip Belanda maupun Inggris dan dari data statistik Indonesia. Tulisan Peter Boomgaard yang lain adalah Health Care in Java Past and Present, tulisan ini lebih mengarah kepada pembahasan pemikiran tradisional mengenai kesehatan dan penyakit. Tulisan ini juga membahas mengenai perawatan kesehatan di masa sekarang. Buku ini lebih menekankan pada kebijakan kesehatan masyarakat dan beberapa menegenai masuk akal dan tidaknya perawatan kesehatan secara tradisional. Peter
Boomgaard
menggambarkan
tingkat
juga
menulis
kematian
sebuah
penduduk
artikel
Jawa
dan
yang Asia
Tenggara pada abad XIX-XX sangat tinggi yang disebabkan oleh adanya penyakit. Artikel dapat ditemukan dalam buku Death and Disease in Southeast Asia: Explorations in Social Medical and Demographic History, yang disunting oleh Norman G. Owen. Disertasi Djoko Suryo yang berjudul Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 membahas mengenai sejarah
15
kesehatan di pedesaan. Akan tetapi cakupan kajianya hanya sebatas karesidenan semarang. Tesis S2 yang membahas mengenai epidemi adalah yang ditulis oleh
Dina
Dwikurniarini
yang
mengambil
judul
“Epidemi
di
Karesidenan Banyumas tahun 1870-1940”. Tesis ini membahas epidemi yang terjadi di Karesidenan Banyumas antara tahun 18701940 dan juga membahas menegenai penanggulangan epidemiepidemi tersebut baik secara tradisional maupun medis. Beberapa
tulisan
yang
disebutkan
diatas
lebih
banyak
menyoroti tentang masalah kesehatan masyarakat di Jawa secara umum dan hanya beberapa yang membahas secara lebih sempit cakupannya seperti disertasi Djoko Suryo dan tesis yang ditulis oleh Dina Dwikurniarini. Tulisan-tulisan yang membahas mengenai Surakarta pun sebagian besar membahas persoalan
dengan aspek sosial-politik,
ekonomi dan budaya saja. Seperti Kehidupan Dunia Kraton Surakarta: 1830-1935 karya Darsiti Soeratman. Buku ini membahas bagaimana kehidupan
di
dalam
Keraton
Surakarta
dan
juga
kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan oleh para penghuni keraton termasuk para abdi dalem keraton. Karya yang sejenis adalah buku yang ditulis oleh S. Margana Keraton Surakarta dan Yogyakarta 1796-1874.
16
Buku yang lain adalah karya dari Kuntowijoyo yaitu Raja, Priyayi, dan Kawula Surakarta 1900-1915. Buku ini tidak hanya membahas mengenai kebiasaan yang dilakukan masyarakat di Surakarta saja akan tetapi juga membahas intelektualitas dari masyarakat Surakarta pada masa itu. George D. Larson dalam Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan
Politik
di
Surakarta
1912-1942.
Buku
ini
lebih
memfokuskan pada aspek politik yakni mengungkapkan latar belakang politik yang menyebabkan kedua kraton di Surakarta mengalami nasib yang buruk pada masa revolusi. Dalam buku ini juga
diungkapkan
sedikit
tentang
bagaimana
wabah
sampar
menjangkiti masyarakat di Surakarta. Karya yang hampir sama adalah Pedesaan Surakarta 18301920: Perubahan Kedudukan Tanah Apanage dan Perubahaban Peranan Bekel oleh Suhartono. Buku ini menjelaskan bagaimana eksistensi
dari
para
bekel.
Buku
ini
lebih
membicarakan
permasalahan sosial-politik terutama dalam hal pergolakan para petani di Surakarta pada abad 19 dan 20. pergolakan semacam ini sering disebut gerakan radikal atau radical movement. Takashi Shiraishi dalam An Age in Motion: Popular Radicalism in Java,
1912-1926
mengungkapkan
tindakan
dan
pikiran
para
17
pemimpin serta pengikut pergerakan yang dibahas dalam konteks sosial, budaya dan politiknya
khususnya di wilayah Surakarta.
Sedangkan Soegijanto Padmo dalam bukunya The Cultivation of Vorstenlands tobacco in Surakarta Recidency lebih mengungkapkan pada persoalan perekonomian masyarakat Surakarta pada abad 20 terutama dalam hal perkebunan tembakau. Beberapa laporan penelitian mengenai Surakarta pun sebagian besar berhubungan dengan masalah politik, sosial dan budaya seperti karya dari Julianto Ibrahim dalam ”Runtuhnya Swapraja di Surakarta di Awal Revolusi (1946)”, ”Kriminalitas di Kota Oposisi: Kerusuhan di Surakarta pada Masa Revolusi 1945-1949” dan juga karya Harlem Siahaan dan Julianto Ibrahim ”Madat di Kota Bengawan: Perdagangan Candu di Surakarta pada Masa Revolusi”. Laporan ini mengupas mengenai gerakan sosial dan politik di Surakarta. Dengan melihat hal di atas maka penelitian mengenai wabah sampar dan efektifitas usaha pencegahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat pascawabah di Karesidenan Surakarta pada paruh pertama abad ke-20 merupakan penelitian yang asli. Penelitian ini dihaparapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya.
18
Sebagai dasar penelitian ini maka peneliti mengacu pada karya David Henley yang meneliti tentang penyakit malaria di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Penelitian ini juga mengungkapkan keadaan
lingkungan
sangat
mempengaruhi
kondisi
kesehatan
masyarakat. Karya Vincent J.H. Houben Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1890 merupakan sumber yang dipakai sebagai landasan utama terutama pada permasalahan-permaslahan yang membahas
tentang
Surakarta.
Vincent
menjelaskan
tentang
perubahan-perubahan yang terjadi di Vorstenlanden terutama setelah adanya campur tangan atau intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintah lokal serta perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya Western Commercial Agriculture. Pada bab terakhir vincent mengupas tentang perubahan sosial dalam pemerintahan yang diikuti dengan perubahan-perubahan dalam aspek kehidupan yang lain.
E. Kerangka Konseptual dan Pendekatan Untuk mengkaji sejarah kesehatan khususnya di Karesidenan Surakarta diperlukan akan pemahaman konsep kesehatan secara jelas. Konsep kesehatan diperlukan untuk mengungkap wabah atau
19
epidemi khususnya epidemi sampar atau pes yang melanda wilayah Karesidenan Surakarta ini. Kajian yang pertama yang dibahas adalah mengenai epidemi. Epidemi merupakan penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban.14 Dengan perkataan lain epidemi merupakan penyakit yang tidak secara tetap berjangkit di suatu daerah dan terkadang pula disebut wabah. Epidemi suatu penyakit dapat mempengaruhi sejumlah besar individu di beberapa kawasan. Populasi penduduk yang diserang disebut “ambang epidemik”, dan apabila kasusnya melebihi ambang epidemik maka disebut “epidemik” dan jika seluruh dunia mengalami gejala yang sama disebut “pandemik”. Terdapat
konsep
lain
mengenai
epidemi
yakni
peristiwa
timbulnya penyakit, gejala atau keluhan penduduk yang berlebihan dan berbeda makna dari keadaan biasa atau keadaan sebelumnya. Akan tetapi pengertian yang lebih sesuai dengan penelitian ini adalah peristiwa penjalaran suatu penyakit di suatu daerah tertentu, dimana jumlah para penderita semakin meningkat dari sebelumnya
14Pengertian
penyakit menular saat ini adalah penyakitpenyakit yang dapat dicegah dengan melakukan imunisasi atau vaksinasi pada waktu tertentu. Lihat Sri Kardjati, d.k.k., Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita. ( Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1985 ), hlm. 43.
20
dalam waktu singkat sehingga harus dilakukan isolasi penderita dari orang lain di sekitarnya.15 Faktor utama yang menjadi penyebab munculnya epidemi atau wabah
adalah
lingkungan.
Peran
lingkungan
sebagai
sarana
timbulnya penyakit bermacam-macam. Salah satunya adalah yang sering disebut Environtmental reservoir yaitu tempat hidup yang paling sesuai bagi bibit penyakit seperti genangan air, lingkungan yang kumuh, sampah, dan lain-lain.16 Salah
satu
bagian
dari
lingkungan
adalah
pemukiman.
Pemukiman berarti daerah tempat bermukim atau hal yang bertalian dengan bermukim.17 Pemukiman sebagai tempat sarana hidup manusia dapat digolongkan menjadi dua skala, yaitu permukiman (skala makro) human settlement dan perumahan (skala mikro) housing. Unsur-unsur permukiman itu sendiri antara lain berupa wadah atau lahan yang digunakan dan pengisi yang terdiri dari makhluk hidup dan benda tak hidup.
15Ensiklopedi
Indonesia, Vol. 2. (Jakarta: Ikhtiar Baru—Van Hoeve, 1980), hlm. 943. 16Azrul
Anwar, Pengantar Epidemiologi. ( tanpa kota terbit: Bina Para Aksara, 1988 ), hlm. 24. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua ( Jakarta: Balai Pustaka, 1995 ) hlm. 670. 17
21
Menurut Undang-undang No. 1 tahun 2011, pemukiman mempunyai pengertian bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.18 Kegunaan dari sebuah pemukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat komunikasi, pendidikan, dan rekreasi. Menurut Constantinos A. Doxiadis, pemukiman mempunyai lima elemen dasar, yaitu: a. Nature (alam), yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah dan difungsikan semaksimal mungkin, b. Man (Manusia), baik pribadi maupun kelompok, c. Society (Masyarakat), bukan hanya kehidupan pribadi yang ada tetapi juga hubungan sosial masyarakat, d. Shells (rumah) atau bangunan yang didalamnya tinggal manusia dengan fungsinya masing-masing, e. Networks (jaringan atau sarana prasarana) yaitu jaringan yang mendukung fungsi pemukiman baik alami maupun buatan manusia.19
18Undang-undang
Pengertian Pemukiman.
Pemerintah No. 1 tahun 2011, tentang
22
Pendekatan
yang
dipakai
dalam
penelitian
ini
adalah
pendekatan kesehatan masyarakat dalam arti luas. Pendekatan dalam arti luas ini mengartikan kesehatan lebih dari kehidupan yang tanpa penyakit. Pendekatan ini memandang keadaan sehat-sejahtera dalam pengertian sehat jiwa dan fisik serta
meliputi perasaan
memiliki kontrol tertentu atas hidup. Pendekatan yang luas ini mengaitkan ilmu kesehatan masyarakat dengan kebijakan, tindakan dan struktur yang disepakati masyarakat dan bertujuan untuk memperbaiki serta mempertahankan kesehatan. Model teoritis yang dipakai lebih mengarah kepada konsep sosio-kultural. Pendekatan ini berfokus pada lingkungan yang lebih luas dan berupaya memahami faktor-faktor yang memudahkan orang dalam melakukan pilihan yang sehat atau malah menghambatnya. Basis
evidens
bagi
pendekatan
yang
luas
berasal
dari
epidemiologi yang lebih sesuai untuk menggali konteks sosiokultural tersebut. Pendekatan yang luas memandang kasus serta solusi dalam jangka waktu yang lama dan menangani masalah struktural dalam masyarakat. Kerugian pendekatan yang luas adalah resiko kegagalan karena cakupan terlalu luas. Lihat Eny Endang Surtiani, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga)”, Tesis S-2, Universitas Diponegoro Semarang, 2006, hlm. 43-44. 19
23
Dengan
bedasarkan
pendekatan
tersebut,
kesehatan
masyarakat bisa diukur dengan melihat tiga hal. Tiga hal tersebut adalah kebijakan negara atau pemerintah, keadaan lingkungan, dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan. Apabila keadaan lingkungan baik, kesadaran masyarakat tinggi dalam hal kesehatan, dan pemerintah juga mendukung
maka
kesehatan masyarakat pun akan terwujud. Figur I Skema Hubungan antara Kebijakan Pemerintah, Keadaan Lingkungan dan Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan Masyarakat
KEBIJAKAN NEGARA / PEMERINTAH
KEADAAN LINGKUNGAN
KESADARAN MASYARAKAT
KESEHATAN MASYARAKAT
24
F. Sumber dan Metode Penelitian Terdapat beberapa sumber yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama arsip-arsip dari masa pemerintahan Hindia Belanda periode 1900-an-1930-an yang terdapat dalam koleksi arsip nasional yang belum diterbitkan maupun yang sudah diterbitkan atau dipublikasikan. Arsip-arsip tersebut berupa surat-surat dari pejabat pemerintah Hindia Belanda mengenai keadaan penduduk dan kesehatan yang dilengkapi tabel-tabel jumlah penduduk, kematian, kelahiran, jenis penyakit, vaksinasi dan tenaga medis. Kedua, dokumen yang digunakan kolonial verslag, memori serah jabatan 1921-1930 jawa tengah, regeering almanak, staatsblad van Nederlandsch-Indie. Koleksi arsip yang sudah dipublikasikan tersebut berisi keterangan mengenai kondisi kesehatan dengan cukup lengkap juga kebijkan Pemerintah Belanda dalam mengatasi wabah penyakit di Indonesia. Oleh karena itu, koleksi tersebut sangat mendukung untuk membahas kesehatan penduduk di Karesidenan Surakarta. Ketiga, sumber-sumber tradisional seperti babad, serat dapat digunakan untuk melengkapi sumber. Terutama yang membahas mengenai penduduk, kebudayaan dan adat istiadat yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
25
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang mencoba untuk merekonstruksi kembali peristiwa masa lampau tentang penyakit sampar dan upaya pencegahan pascawabah di Karesidenan Surakarta 1915-1930, untuk itu metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang merupakan usaha untuk mendapatkan hasil penelitian secara sistematis, kritis, terarah dan terpadu.20 Berkenaan
dengan
hal
tersebut
metode
penelitian
yang
digunakan adalah metode sejarah yang mengacu pada langkahlangkah sebgai berikut yakni: pencarian sumber ( Heuristik ), kritik sumber, perumusan fakta ( Auffasung), dan penyajian pemikiran baru ( Darstellung ) dalam bentuk cerita sejarah.21 Dalam penelitian ini digunakan sumber primer, sekunder maupun tersier yang diperoleh dari hasil pelacakan di berbagai perpustakaan dan kantor kearsipan. Sumber primer diperoleh dari arsip-arsip
yang
tersimpan
di
kantor
arsip.
Sumber-sumber
penelitian mencakup laporan kolonial, seperti kolonial verslaag, verslaag van burgerlijke geneeskundige dients dan dienst van gezondheid. Selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan
20Baca
Louis Gottsclak., Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosutanto ( Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1975 ). 21G.
J. Reiner., History its Purpose and Method. ( London: George Allen & Unwin ltd, 1950 ), hlm. 106-110.
26
beberapa jurnal kesehatan yang diterbitkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang mencakup Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (MBGD), Dienst der Pestbestrijding, Geneeskundige Tijdschrijft voor Nederlandsch-Indie. Jurnal kesehatan ini merupakan rekaman sejaman yang ditulis oleh para dokter Eropa yang ditugaskan dalam menanggulangi wabah sampar di wilayah Hindia Belanda. Sumber-sumber tersebut dilacak di Kantor Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Sumber-sumber sekunder dan tersier diperoleh dari berbagai buku dan artikel serta karya peneliti terdahulu seperti tesis maupun disertasi yang terkait dengan pembahasan. Penelitian ini juga akan menggunakan sumber-sumber yang berasal dari perpustakaan baik di lingkungan UGM seperti Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM,
UPT
Perpustakaan
Pusat
UGM,
Perpustakaan
Fakultas
Kedokteran UGM, serta dari perpustakaan lain yang mendukung penelitian ini. Setelah dilakukan kritik terhadap sumber-sumber tersebut
kemudian
diperoleh
fakta
sejarah
yang
selanjutnya
dirangkaikan dengan fakta-fakta yang lain dalam kesatuan yang serasi sehingga menghsilkan cerita sejarah
27
G. Sistematika Penulisan Permasalahan pokok dan tujuan penulisan ini disampaikan dalam bagian pertama. Pada Bab II perhatian diarahkan kepada pembahasan kondisi geografi wilayah Karesidenan Surakarta. Dalam hal ini dibahas mengenai batas-batas wilayah Karesidenan Surakarta secara terperinci. Keadaan ekologi dan lingkungan hidup juga akan dibahas pada bab ini yang meliputi struktur tanah, keadaan iklim termasuk kondisi topografisnya. Kondisi sosio-ekonomi dan juga keadaan demografi penduduk juga akan dibahas dalam bab II ini. Selain itu akan disinggung masalah kondisi kesehatan masyarakat Karesidenan Surakarta. Hal yang tidak kalah penting, yakni kondisi sarana transportasi yang ada di Surakarta yang menjadi sarana pendukung dalam hal mobilitas penduduk juga akan dibahas pada bab ini. Mobilitas penduduk yang sangat tinggi ini juga dapat menjadi penyebab merebaknya berbagai macam penyakit menular. Pada Bab selanjutnya dibahas mengenai kronologi masuknya wabah sampar di wilayah Surakarta. Dengan masuknya wabah sampar di wilayah Surakarta ini tentu saja akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di Surakarta. Aspek demografi adalah aspek yang paling jelas terlihat, bagaimana angka kematian penduduk semakin meningkat. Sehingga aspek demografi ini dibahas kembali
28
sebagai perbandingan sebelum dan sesudah terjadi wabah sampar. Pada bab ini juga dibahas sebab-sebab wabah sampar mudah menjalar di Surakarta. Faktor-faktor apa saja yang memudahkan sampar cepat menjalar akan dibahas pula dalam bab ini. Tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan pascawabah sampar akan dibahas pada Bab IV. Dalam bab ini juga akan membahas Kendalakendala yang dihadapi pemerintah dalam upaya penanggulangan wabah ini. Apakah masyarakat mendukung atau menolak juga akan dibahas pada Bab ini. Sebagai penilaian akhir dari penulisan tesis ini diberikan kesimpulan pada Bab V.