1
BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Penelitian Akar Pule merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Oka Rusmini. Di dalamnya terdapat sepuluh cerpen yang ditulis sejak tahun 2002 sampai 2010 yang kemudian diterbitkan pada April 2012. Kumpulan cerpen ini mengangkat tema perempuan Bali yang terluka baik fisik maupun batin, perlawanan terhadap dominasi laki-laki, polemik kasta, dan kejanggalan adat. Selain itu, pergulatan perempuan dengan pikiran-pikirannya sendiri mengenai kehidupannya juga masih tersaji dengan baik dalam kumpulan cerpen ini. Dalam kumpulan cerpen ini terlihat jelas bahwa Oka ingin menunjukkan adanya ketidakadilan gender yang dialami perempuan. Ketidakadilan gender tersebut terjadi ketika perempuan berhadapan dengan laki-laki dan adat Bali, yang secara khusus mengacu pada persoalan
kasta. Sistem kekerabatan masyarakat Bali menggunakan sistem
patrilineal, yaitu sistem yang selalu membincangkan laki-laki sebagai fokus kehidupan. Sistem patrilineal ini diduga keras membuka peluang terjadinya budaya patriarki (kekuasaan/dominasi laki-laki). Beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen Akar Pule ini, digambarkan sebagai sosok yang lemah. Sosok yang selalu ditindas oleh laki-laki dan mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya. Dominasi-dominasi yang
1
2
dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan baik dalam ranah domestik maupun publik sering terlihat dalam kumpulan cerpen ini. Misalnya, kita bisa melihatnya dalam cerpen pembuka yang berjudul Tiga Perempuan. Dalam cerpen ini perempuan selalu menjadi korban penindasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok penyebab utama dari penderitaan perempuan. Tidak hanya menderita dalam kehidupan domestik lantaran tindakan ayah yang buruk, dua dari tiga perempuan dalam cerpen ini juga menderita dalam kehidupan rumah tangga mereka sendiri. Perempuan lainnya, saudari lain ibu, juga tidak terlepas dari penderitaan yang disebabkan suaminya. Bahkan perempuan ini mengalami nasib yang jauh lebih tragis. Ketiga perempuan ini digambarkan menjadi sosok yang tertindas, korban dari kuasa seorang laki-laki, dan peraturan adat yang membelenggu perempuan. Hal yang sama juga terjadi pada tokoh Sipleg dalam cerpen yang berjudul Sipleg. Sipleg digambarkan menjadi sosok perempuan yang termarginalkan oleh lingkungannya, tidak hanya disebabkan laki-laki tetapi juga oleh perempuan yang berada di sekitarnya kendati ia berasal dari keluarga miskin. Sipleg dikawinkan oleh ibunya Ni Nyoman Songi dengan lelaki yang tidak ia cintai demi mendongkrak kehidupan keluarganya. Akan tetapi, perkawinan tidak memberikan jaminan kebahagiaan dan Sipleg justru terpuruk dalam kesengsaraan. Padahal Sipleg tidak ingin menjadi seperti ibunya, Ni Nyoman Songi. Ni Nyoman Songi yang tidak pernah merasa bahagia dalam kehidupan perkawinannya yang sulit yang harus menghamba pada kasta dan laki-laki yang mengharuskannya memiliki
3
anak laki-laki. Ia berkali-kali melahirkan, tetapi tidak pernah melahirkan anak laki-laki. Tubuhnya tetap ia biarkan menjadi santapan suaminya demi memperoleh keturunan laki-laki karena ia tidak mau mendapat stereotipe sebagai perempuan yang gagal. Sipleg sendiri adalah tokoh yang memiliki sebuah pemikiran bahwa perempuan harus berkuasa pada dirinya, dan tidak bergantung kepada orang lain. Dalam cerpen Pastu ini dibincangkan seorang perempuan yang bernama Dayu Cenana, yang berarti kayu cendana. Dikisahkan Ayahnya seorang dokter spesialis mata yang meninggalkan ibunya karena kecantol janda beranak dua. Ibunya akhirnya memutuskan untuk bunuh diri karena stress berat. Akhirnya Dayu hidup bersama Nini, neneknya. Nini merupakan perempuan sudra yang dinikahi oleh kakeknya, jadi perempuan ini berganti nama menjadi Jero Tunjung sebelumnya Ni Luh Made Ragi. Dayu memiliki sahabat karib yang bernama Cok Ratih. Cok Ratih adalah perempuan yang perempuan berkasta ksatria yang menikah dengan laki-laki berkasta brahmana. Ia rela meninggalkan gelar kebangsawanannya demi menikah dengan laki-laki ini, namun ternyata Cok Ratih diselingkuhi oleh suaminya dan memutuskan untuk bunuh diri. Karena permasalahan dalam keluarga dan temannya inilah yang menyebabkan ibu dan sahabatnya mati, Dayu berpikiran bahwa pernikahan hanya akan mnyakiti perempuan, jadi ia memutuskan untuk tidak menikah. Dalam cerpen lain, Bunga yang sekaligus menjadi judul dari cerpen ini digambarkan sebagai gadis kecil berumur tujuh tahun yang belum mengerti
4
banyak hal. Ibunya adalah seorang pelacur dan tidak diketahui siapa bapaknya. Karena hal itulah yang membuatnya menjadi sosok manusia yang tidak dapat melakukan apa-apa. Anggapan negatif yang disandangkan oleh ibu Made kepada Bunga karena anak seorang pelacur dan tidak memiliki bapak membuat Made tidak diperbolehkan berteman dengan Bunga. Bagi ibu Made, Bunga akan memberikan kesialan kepada anaknya jika Bunga sering bertemu dengannya. Berdasarkan beberapa cuplikan cerita dalam kumpulan cerpen Akar Pule ini, dapat diketahui bahwa secara konstruksi sosial laki-laki menjadi sosok utama dari sebuah kehidupan di Bali, sedangkan perempuan selalu berada di posisi kedua setelah laki-laki. Seolah-olah laki-laki menjadi sosok yang menindas dan perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang tertindas. Hal ini terjadi karena perempuan selalu dikaitkan dengan sifat biologisnya yang cenderung membelenggunya yang sekaligus menyebabkan kelanggengan posisi laki-laki sebagai sosok yang berkuasa dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat dengan berbagai aktivitas sosial yang terefleksi dalam produk budaya. Salah satu dari bentuk produk budaya itu adalah sistem kemasyarakatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem kemasyarakatan merupakan bentuk dari realita yang terdapat dalam masyarakat. Hal ini tersampaikan dalam bentuk karya yang diciptakan oleh seorang pengarang dalam merefleksikan dunia kenyataan masyarakat di sekitarnya, termasuk dalam masyarakat Bali.
5
Masyarakat Bali memiliki stereotipe bahwa perempuan adalah sosok pekerja keras, tidak pernah mengeluh, patuh, dan berbakti pada keluarga. Semua yang dilakukan perempuan hanya sebagai bakti untuk keluarga dan adat (Gayatri, 2011). Masyarakat Bali yang menganut sistem patriarki yang sangat kuat, yakni sistem kekerabatan yang bersumber pada figur seorang laki-laki yang selalu beranggapan bahwa laki-laki berada di atas segalanya. Laki-laki adalah sosok utama dalam sistem kemasyarakatan yang berada di Bali. hal itu dapat dilihat pada sistem pembagian kerja. Misalnya pada pekerjaan laki-laki yang relatif mudah dan ringan, kadangkala dilakukan oleh seorang perempuan, sedangkan pekerjaan perempuan sendiri relatif berat. Pekerjaan yang biasanya secara fisik dilakukan laki-laki, seperti bertani, memotong batu, mengangkut pasir ke truk, berladang, dan lain sebagainya. Pekerjaan ini selayaknya dilakukan oleh seorang laki-laki yang sejak lahir tercipta dengan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan seorang perempuan. Sistem patriarki ini membelenggu perempuan. Hal ini diperparah lagi dengan fakta sosial yang ada di Bali, yang memegang teguh sistem kasta. Di Bali terdapat 4 kasta, yakni kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Sudra, dan kasta Waisya. Kasta menjadikan perempuan Bali terpilah antara perempuan bangsawan dan perempuan jaba. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kasta ini menyebabkan seorang perempuan bisa turun dari kasta yang sebelumnya ia pegang dan juga bisa menaikkan kasta seorang perempuan ke dalam kasta seorang laki-laki. Hal ini disebabkan juga karena sistem Patriarki yang dianut oleh masyarakat Bali. Seorang perempuan berkasta
6
Brahmana akan turun dari kasta yang dianutnya ketika ia menikahi laki-laki dari kasta yang berada di bawah kasta yang dianutnya. Sebaliknya, seorang perempuan yang berkasta Sudra akan naik dari kastanya ketika ia mampu menikah dengan laki-laki berkasta di atas kasta yang ia anut sebelumnya. Adat perkawinan Bali yang merupakan perwujudan sistem patriarki ini lebih membebankan aturan kepada perempuan daripada kepada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai sebuah benda yang dipersiapkan untuk mempertahankan hierarki kekuasaan yang dominan (Gayatri, 2011). Patriarki dan sistem kasta yang dianut masyarakat Bali inilah yang menyebabkan ketidakadilan, ketimpangan, ketertindasan, dan dominasi terhadap kaum perempuan oleh laki-laki. Kaum perempuan dalam masyarakat Bali dari kasta Triwangsa pun juga mengalami hal yang sama yang dialami oleh perempuan Sudra. Perempuan-perempuan ini mendapatkan beban pekerjaan ganda karena tidak hanya melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga harus melakukan pekerjaan yang terkait dengan kerja produksi misalnya bekerja di sawah, mengurus rumah tangga, menyiapkan peralatan peribadatan dan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Meskipun laki-laki Bali berdalih hal itu dilakukan agar perempuan bisa hidup lebih mandiri. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Bali ini tidak sesuai dengan apa yang ia dapatkan di masyarakat dan keluarga Bali. Banyak hak yang tidak diterima oleh perempuan Bali, khususnya perempuan Bali
7
pada masyarakat tradisional, seperti penghargaan, hak waris, kekurangan finansial (upah), adat perkawinan yang mengikat, dan anggapan terhadap perempuan yang kurang dapat berperan dalam kehidupan. Selain itu, struktur masyarakat Bali yang berdasarkan kasta menambah keterpurukan kondisi perempuan Bali. Akibatnya perempuan Bali terpisah menjadi perempuan bangsawan atau kasta Triwangsa dengan perempuan jaba atau kasta Sudra. Di samping itu, aturan-aturan perkawinan mengikat perempuan Bali dalam masyarakat tradisional, khususnya peraturan adat pada kelompok Triwangsa yang memarginalkan perempuan. Perempuan Bali golongan Triwangsa sangatlah dijaga untuk tidak menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah atau yang berasal dari kelompok jaba (sudra), karena perkawinan tersebut akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi keluarga dan kasta (Bagus, dkk, 1977:106). Perempuan harus siap dijodohkan dengan laki-laki yang mau menjadi sentana apabila keluarganya tidak memiliki anak laki-laki, agar warisannya tidak jatuh ke tangan orang lain. Dalam pewarisan adat masyarakat tradisional Bali, pewarisan harta dan kekayaan keluarga Bali, hanya dapat diwariskan kepada anak laki-laki (Manuaba, 2000:147). Semua penjelasan tersebut merupakan manifestasi penindasan-penindasan budaya patriarki dalam masyarakat Bali terhadap perempuan. Perempuan-perempuan yang tertindas itu, dalam istilah Gayatri Spivak disebut dengan istilah subaltern.
8
Pernyataan Spivak dalam Can the Subaltern Speak, bahwa perempuan sebagai sosok subaltern/bawahan dalam masyarakat tak akan pernah mampu bersuara apalagi mendapatkan hak-hak yang selayaknya sebagai manusia. Sebagai subaltern perempuan disubordinasikan secara ekonomi, sosial, politik dan tidak dapat bertindak apalagi bersuara karena mereka dieksklusi dari representasi kultural dan politis. Dalam hal ini, ada baiknya untuk memperhatikan secara seksama serangkaian pertanyaan dari Loomba (2003) yang menjadi poin penting dalam menguraikan posisi penting suara subaltern: Dalam suara-suara apa maka yang terjajah itu berbicara – suara mereka sendiri, atau dalam aksen-aksen yang dipinjam dari tuan mereka? Apakah proyek menggali subaltern paling baik dilakukan dengan mencari keterpisahannya dari budaya dominan, atau dengan mencari sejauh mana dia membentuk proses-proses dan budaya-budaya yang menindas dirinya? Dan akhirnya bisakah subaltern diwakili oleh intelektual? (Lomba, 2003:297-298). Dengan serangkain pertanyaan yang rumit itu, terlihat jelas bahwa suara subaltern tidak perlu dihomogenkan dan diromantiskan. Namun, Spivak mengungkapkan perlu ada usaha dari intelektual pascakolonial dalam karyakaryanya untuk menonjolkan penindasan dan mengemukakan perspektif rakyat tertindas (Lomba, 2003: 302). Kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa bersuara. Karena itu, seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisasi kemampuan mereka untuk menggali
9
dan mencari suara kelompok subaltern.(Kisi-kisi… 2006 dalam Suryawan 2009:88). Dalam Can the Subaltern Speak?, Spivak mengemukakan bahwa tidak mungkin bagi kita untuk menggali kembali suara subaltern atau subjek yang tertindas. Subaltern bagi Spivak berdasar pada seks (perempuan), tidak ada ruang bagi mereka untuk bisa bersuara. Spivak melihat kepada pola perdebatan kolonial tentang bakar diri janda di India untuk melihat bagaimana pandangan bahwa gabungan cara-cara kerja kolonialisme dengan patriarki dalam kenyataannya menjadikan sulit bagi subaltern (dalam hal ini janda India yang dibakar hiduphidup dalam api unggun pembakaran suaminya) untuk mengartikulasikan pandangannya. Perempuan-perempuan India, dalam hal ini janda India, yang harus ikut mati dalam pembakaran suaminya yang meninggal ini tidak memiliki suara untuk menolak. Pernyataan-pernyataan di atas, jika dikaitan dengan masyarakat Bali, menunjukkan bahwa perempuan Bali tidak mampu bersuara, apalagi bertindak. Perempuan selalu menjadi bawahan laki-laki. Bali mewakili laki-laki karena sistem kekerabatan patriarkinya dan sistem kastanya yang hierarkis. Sistemsistem inilah yang menguntungkan laki-laki dan memberikan kekuasaan terhadap kaum laki-laki, sedangkan perempuan yang berada dalam masyarakat Bali akan mengalami ketertindasan, dominasi, dan marginalisasi oleh adat Bali yang maskulin. Sampai saat ini kedudukan perempuan dalam masyarakat Bali masih di bawah kedudukaan laki-laki. Hal itu dapat dilihat dalam kehidupan keluarga
10
dengan semua keputusan rumah tangga yang berada di tangan suami. Bukan hanya pada tataran rumah tangga, melainkan juga dalam sosial kemasyarakatan Bali, perempuan tidak pernah memiliki suara. Misalnya, dalam pengambil keputusan
banjar/dusun,
perempuan
tidak
pernah
diikutsertakan
dalam
musyawarah pengambilan keputusan, hanya laki-laki yang tergabung di dalamnya. Keadaan semacam itu sudah menjadi budaya di masyarakat yang masih menganut sistem patriarki dengan menempatkan perempuan di belakang laki-laki. Mereka juga mengatakan bahwa pembagian aktivitas pun dibedakan. Kaum laki-laki beraktivitas di sektor publik, sementara kaum perempuan dikurung di sektor domestik. Hal ini sejalan dengan pendapat Beauvoir (2003: 375) yang menyatakan bahwa perempuan dalam karya sastra pada dekade-dekade lalu selalu dihadirkan sebagai sosok yang lain. Mereka tidak memiliki eksistensi dan kemandirian sebagaimana laki-laki mampu memiliki diri dan tubuhnya secara bebas. Ketika menggambarkan perempuan, tiap penulis menunjukkan jurang keterpisahan antara laki-laki dan perempuan. Dalam sejumlah karya sastra Indonesia, perempuan selalu dihadirkan untuk laki-laki dan mereka tidak memiliki eksistensi diri. Sejalan dengan itu, kaum feminisme mengatakan bahwa dalam dunia sastra Indonesia, pengarang membagi dua kategori bagaimana cara memandang tokoh perempuan: pertama, peranan perempuan yang dapat dilihat dari segi biologisnya (istri dan ibu) atau berdasarkan tradisi lingkungan. Kedua, peranan
11
perempuan yang dapat dilihat dari kedudukannya sebagai individu yang bukan sekedar sebagai pendamping suami. Tokoh perempuan yang demikian biasanya disebut dengan perempuan feminis, yaitu perempuan yang berusaha mandiri dalam berpikir, bertindak, serta menyadari hak-haknya. Fenomena di atas merupakan kenyataan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Adanya fenomena di atas juga terlihat dalam karya sastra yang relatif kuat dan menonjol dalam merepresentasikan gender adalah kumpulan cerita pendek. Sebagai suatu genre sastra, kumpulan cerpen merupakan salah satu genre sastra yang mengungkapkan usaha manusia untuk menciptakan kembali dunia sosial serta usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan keinginan
manusia
mengubahnya. Menurut Dwipayana (2004: 96), perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Bali ini tidak semua masyarakat menerima dengan sepenuhnya. Hal inilah yang menyebabkan konflik sosial yang terjadi dalam masyakat Bali. Keinginan suatu masyarakat yang tradisional yang masih memegang teguh nilainilai leluhur menjadikan benturan keras terjadi dengan budaya modern yang berangsur-angsur memasuki Bali. Masyarakat Bali yang masih memegang teguh nilai tradisional inilah yang tidak akan menyetujui terjadinya perubahan dalam masyarakat Bali dalam hal ini kesetaraan gender yang sedang banyak diwacanakan. Wacana kesetaraan gender inilah yang banyak juga bermunculan dalam karya sastra termasuk karya Oka Rusmini dengan kumpulan cerpennya Akar Pule.
12
Oka Rusmini adalah seorang penulis perempuan yang lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Ia dibesarkan dengan kultur Bali yang sanagt kuat dan tumbuh dalam lingkungan griya yang dituntut berperilaku lebih tertib dan sopan beradab. Oka adalah salah satu pengarang feminis Indonesia. Setelah menyentak dengan karyakaryanya yang membawa tema keperempuanan seperti; novel Tarian Bumi pada tahun 2000, kumpulan cerpen Sagra pada tahun 2001, novel Kenanga pada tahun 2003, dan novel Tempurung pada tahun 2010, Oka kembali hadir dengan kumpulan cerita pendek terbarunya yang berjudul Akar Pule yang terbit pada bulan April tahun 2012. Oka Rusmini seringkali mengangkat tema-tema yang dianggap fenomenal dan bahkan seringkali menjadi kontroversial, karena mengangkat sejumlah persoalan adat-istiadat dan tradisi Bali yang kolot dan merugikan perempuan, terutama di lingkungan griya. Ia dengan lugas mendobrak tabu, memaparkan persoalan seks dan erotika secara gamblang. Dalam karya-karya Oka Rusmini, dijumpai metafora-metafora yang beraroma erotika, tetapi metafora ini bukan merupakan hal yang dapat membangkitkan syahwat kaum lelaki, melainkan lebih pada persoalan kehancuran tubuh (perempuan), ketertindasan, kekelaman, kepedihan tak terperikan, sakit hati dan dendam kesumat. Karya-karya Oka begitu keras mendobrak tabu tradisi dan dengan gamblang membicarakan tubuh serta erotika yang sempat memunculkan pertentangan dari keluarga, sejumlah kawan, atau masyarakat yang membaca karyanya yang akan merasa terganggu dengan tabu tradisi yang ia hadirkan dalam karya-karyanya.
13
Oka Rusmini sebagai sastrawan Indonesia karya-karyanya seringkali muncul di berbagai media massa serta jurnal kebudayaan, termasuk Mantra, Kalam, Horison, dan Ulumul Qur’an. Oka pernah menerima berbagai penghargaan sastra, diantaranya penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Cerpennya Putu Menolong Tuhan memenangkan Sayembara Mengarang Cerita Pendek Majalah Femina 1994. Noveletnya Sagra menerima penghargaan novelet terbaik Femina pada tahun 1998, dan penghargaan cerpen terbaik pada masa 1990-2000 dari majalah Horison atas karyanya Pemahat Abad dan novelnya Tarian Bumi meraih penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003. Oka sering diundang dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional antara lain pada tahun 1992 ia diundang sebagai penyair tamu dalam Festival Kesenian Yogya IV, mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1996, mewakili Indonesia pada temu penulis seASEAN pada bulan Oktober 1997 yang bertajuk Bengkel Kerja Penulisan Kreatif ASEAN di Jakarta. Pada tahun 2002 dan 2003 ia diundang dalam Festival Puisi Internasional di Surabaya dan Denpasar, pada tahun 2003 menjadi tamu undangan pada Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam, Belanda, dan tampil menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman pada tahun 2003. Dalam kumpulan cerpen Akar Pule ini, Oka Rusmini mengisahkan kisahkisah perempuan yang menjadi korban laki-laki dan juga adat Bali. Tema dalam kumpulan cerpen ini tidak jauh berbeda dengan karya-karya Oka yang lain yakni
14
mengenai posisi perempuan berdasarkan sistem kasta yang dianut oleh masyarakat Bali. Dalam kumpulan cerpen ini digambarkan perempuanperempuan dengan penderitaan yang mereka alami mulai melakukan sebuah pergerakan baik dalam tindakan maupun melantangkan suara, meskipun pergerakannya belum terlalu jauh dari ranah domestik. Pemilihan kumpulan cerpen Akar Pule karya Oka Rusmini dalam penelitian ini, berawal dari penemuan penulis mengenai wacana yang dimunculkan dalam cerpen ini, dalam hal ini perempuan Bali. Ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan melatarbelakangi pencarian jati diri seorang perempuan Bali. Perempuan-perempuan dalam kumpulan cerpen ini digambarkan memiliki kesadaran diri mengenai hak-hak hidup seorang perempuan yang memiliki potensi. Dalam kesadaran inilah perempuan mampu menunjukkan dirinya menjadi manusia sosial seutuhnya, manusia yang mampu menjalani hidupnya dengan seutuhnya tanpa bantuan siapapun. Beauvoir (2000: 102) mengatakan bahwa perempuan membutuhkan kebebasan sebagai syarat utama penemuan eksistensi dirinya, mereka teralienasi oleh mitos-mitos yang dibentuk masyarakat melalui sistem patriarki. Dalam segala aspek, perempuan begitu sulit menghadapi tekanan publik sehingga dibutuhkan keberanian untuk medobrak segala pembatasan dalam diri, mereka yang teralienasi. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pandangan subaltern perempuan melalui teori yang disampaikan oleh Gayatri Spivak untuk memahami
15
bagaimana perempuan didominasi oleh laki-laki sehingga perempuan tidak bisa melakukan banyak hal di ranah domestik maupun publik. Perempuan dalam masyarakat patriarki diletakkan pada posisi inferior. Mereka biasanya tidak mempunyai peran penting dalam masyarakat dan menjadi kaum marginal. De Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan bahwa secara hakekat perempuan tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur kekuasaan dalam masyarakat berada di tangan laki-laki. Masyarakat melihat segala hal termasuk perempuan, dengan sudut pandang laki-laki. Lakilaki menciptakan imaji bagi perempuan dalam kedaulatannya. Imaji tersebut diciptakan sesuai kebutuhan mereka Perempuan dalam masyarakat patriarki diletakkan pada posisi inferior. Mereka biasanya tidak mempunyai peran penting dalam masyarakat dan menjadi kaum marginal.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, karya sastra dalam hal ini kumpulan cerpen Akar Pule mengungksap fenomena yang terjadi pada masyarakat Bali. Masalah perempuan Bali yang harus terikat dengan budaya patriarki dan sistem kasta pada masyarakat Bali. Adat Bali yang begitu maskulin membuat perempuan tertindas dan terdominasi oleh kaum laki-laki. Perempuan selalu dianggap sebagai subaltern/bawahan yang tidak mampu bersuara sehingga keberadaannya hanya dijadikan sebagai alat untuk melegitimasikan kekuasaan laki-laki pada masyarakat Bali.
16
Gayatri Spivak dalam tulisannya ―Can Subaltern Speak?‖ (dalam Ashcroft, 1995: 24-28) menyatakan bahwa ―subaltern tidak bisa berbicara‖, yang dia maksud di sini adalah kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa konseptual untuk berbicara karena tidak ada telinga dari kaum lelaki untuk mendengarkannya. Ini bukan berarti bahwa kaum perempuan tidak bisa berkomunikasi secara literal, tetapi tidak ada posisi subjek dalam wacana kolonial yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengartikulasikan dirinya sebagai pribadi. Mereka ―ditakdirkan‖ untuk diam. Wacana yang menempatkan perempuan
sebagai
the second
sex
dan
dengan demikian cenderung
menjadikannya sebagai korban patriarki bisa diidentikkan dengan Orientalisme yang memandang Timur sebagai ―the other” yang boleh dijajah dan ditindas. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengarang merepresentasikan posisi perempuan-perempuan subaltern Bali dalam kumpulan cerpen Akar Pule? subalternitas perempuan Bali seperti apa yang akan dijelaskan oleh Oka Rusmini dalam Akar Pule, dan perspektif Oka Rusmini mengenai subaltern perempuan Bali?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini mencakup dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Secara teoritis, penelitian ini bertujuan: 1) menguraikan representasi posisi
17
perempuan subaltern dalam masyarakat Bali; 2) memaparkan subalternitas perempuan Bali yang seperti apa yang dijelaskan dalam kumpulan cerpen Akar Pule oleh Oka Rusmini dengan menggunakan teori Subaltern dalam karya Gayatri Chakravorty Spivak yang berjudul Can the Subaltern Speak?;
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik teoritis maupun praktis, yang dirumuskan sebagai berikut: a. Manfaat Teoretis Dalam dimensi teoretis, penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi dan memberi kontribusi bagi pengembangan kajian-kajian budaya, khususnya kajian terkait dengan kajian subaltern perempuan. b. Manfaat Praktis Dalam dimensi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pembaca sastra dengan memberikan alternatif pemahaman terhadap kumpulan cerpen Akar Pulekarya Oka Rusmini sehingga menambah wawasan pembaca. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan bagi para mahasiswa sastra yang akan mengadakan penelitian mengenai feminisme sehingga dapat memberikan gagasan baru yang lebih kreatif di masa mendatang.
18
1.5 Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran penulis terhadap sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini, penelitian terhadap karya Oka Rusmini beberapa kali dilakukan, di antaranya, oleh Kurnia D Febiola, Novira Perdita, Mariri, I Nyoman Kutha Ratna, Irma Satriani, dan Lutfiah, sedangkan penelitian yang mengungkapkan mengenai kajian subaltern perempuan dalam karya sastra antara lain penelitian yang dilakukan oleh Wiwik Hidayati, Nieken Dyah Ariretno, Hosnah, dan Utami Widyaningsih . Penelitian pada karya Oka Rusmini pernah dilakukan oleh Kurnia D Febiola (2006) dengan judul Bali dalam Dua Fiksi Oka Rusmini: Konkretisasi Budaya dalam Sastra, disertasi pada program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis memfungsikan pengetahuan lokal yang dilandasi oleh tradisi sastra wiragawirama-wirasa mabebasan pada ruang kosong teks Tarian Bumi dan Sagra. Kajian yang menyoroti Bali ini menemukan bahwa budaya Bali sarat dengan harmoni dalam sebaran keseimbangan dualistik poleng rwa bhineda, dua unsur bertolak dan saling melengkapi yang hadir bersamaan. Ruang kosong teks Tarian Bumi mengkonkretisasi harmoni sebaran keseimbangan poleng ―yang lain‖ dan ―yang umum‖ dengan komposisi dualistik wiraga aturan brahmana-sudra, hiburan cinta birahi pasangan heteroseks-nonheteroseks, alur profesi-digresi pengisahan, latar jaba-jero, wirama bernuansa tegang-longgar dan liar-hening, dan wirasa yang menyatukan isi dan jiwa teks dalam cinta dualistik sekalai-
19
niskala. Kajian ini lebih terfokus pada kajian harmoni dualistik itu dipandang sebagai
pengejawantahan
budaya
lokal
Bali
dalam
harmoni
sebaran
keseimbangan dualistik poleng rwa bhineda. Kurnia menyatakan bahwa aspek lokal dualistik poleng rwa bhineda sifat universal dalam harmoni sebaran keseimbangan dapat dimunculkan sebagai teori umum. Lewat kajian ini, Kurnia memandang teori umum harmoni dualistik sebaran keseimbangan bidang sastra ini melengkapi teori harmoni sebaran komplementer yang merupakan analogi sebaran unit dalam bidang linguistik. Secara keseluruhan kajian Kurnia ini mengupas keseimbangan ala Bali dalam karya-karya Rusmini secara mendalam, dan juga memiliki kekurangan karena belum mampu menggambarkan masalah sosiologis yang kompleks yang terjadi dalam masyarakat Bali dewasa ini. Penelitian pada karya Oka Rusmini juga pernah dilakukan oleh Novira Perdita (2002) dengan judul Potret Sikap Hidup Perempuan Bali Menghadapi Realitas Budayanya dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini. Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Kajian ini mengkaji tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam teks dan menghubungkan realitas sosialnya. Kajian ini ingin membuktikan keberadaan tokoh-tokoh perempuan dalam teks dengan tokoh-tokoh perempuan dalam relaitas di dalam masyarakat Bali. hasil temuan kajian ini mengungkapkan bahwa realitas yang sesungguhnya terjadi di masyarakat Bali. selain itu, Perdita juga memposisikan pengarang yang tidak hanya memiliki kemampuan menulis dengan imajinasi, tetapi sebagai orang yang
20
mampu menangkap segala problem kehidupan di masyarakat Bali, terutama yang dialami oleh perempuan Bali. alur flashback yang di dalam novel ini, bagi Perdita dikatakan membuat pengarang leluasa melontarkan berbagai macam konflik yang dihadapi tokoh-tokoh perempuan dalam berbagai zaman. Perdita mencoba mengangkat sikap hidup perempuan dalam masyarakat Bali yang tercermin dari karya Oka Rusmini, namun memiliki kelemahan karena belum melakukan telaah secara mendalam tentang dunia sosial Bali yang berubah. Penelitian pada karya Oka Rusmini juga pernah dilakukan oleh Dipta Mariri (2003) dengan judul Warna Lokal Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra Karya Oka Rusmini. Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Kajian ini lebih memfokuskan pada warna lokal Bali dengan lebih melihat aspek latar dan tokohnya. Selain tokoh dan latar, warna lokal juga dilihat dari adat kebiasaan dalam masyarakatnya. Kajian yang dilakukan oleh Mariri ini mengungkapkan temuan bahwa beberapa tokoh yang terdpat dalam cerpen kumpulan cerpen Sagra tersebut lebih banyak mewakili golongan sosialnya daripada pribadinya, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk status sosialnya. Latar budaya Bali juga begitu kuat mewarnai cerpen-cerpen Oka secara konkret diwujudkan dalam bentuk adat dan sistem kasta. Mariri tampak fokus pada warna lokal Bali saja. Mariri memang meliki keunggulan karena mencoba mengangkat soal ke-Bali-an lewat warna lokalnya yang tercermin dalam karya-karya Rusmini, namun memiliki kelemahan karena tidak melakukan telaah secara mendalam
21
tentang dunia sosial Bali secara lebih menyeluruh yang telah mengalami perubahan sosial. Penelitian pada karya Oka Rusmini juga pernah dilakukan oleh I Nyoman Kutha Ratna (2001) dengan judul Tarian Bumi: Kajian Struktural-Sosial dalam Kajian Sastra. Jurnal Bidang Kebahasaan, Kesusasteraan, dan Kebudayaan nomor 4 tahun XXV, Oktober 2001 yang kemudian diterbitkan oleh Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Dalam kajian ini ditemukan bahwa Rusmini sebagai pengarang perempuan Bali yang mengisi kekosongan yang terjadi hampir selama tujuh puluh tahun (1930-2000). Genesis novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini adalah masalah-masalah sosial dalam masyarakat Bali sendiri, yang disusun ke dalam kerangka naratif dengan menciptakan tokoh-tokoh dan kejadian. Bagi Ratna, satu kekhasan dari Rusmini sebagai pengarang, seperti tercermin dalam karya Tarian Bumi, ia sebagai pengarang perempuan yang memiliki keberanian
dalam
menampilkan
rahasia-rahasia
hubungan
antarmanusia
khususnya yang berkait dengan hubungan seksualitas, baik antara pria dengan wanita maupun wanita dengan sesama jenisnya. Selain itu Ratan juga mengungkapkan bahwa, Rusmini yang berasaldari golongan bangsawan memiliki kejujuran dalam melukiskan penyimpangan perilaku sosial yaitu kaum brahmana terhadap sudra yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan dalam rangka menopang konservasi mentalitas kelompok elit tertentu. Penelitian pada karya Oka Rusmini juga pernah dilakukan oleh Irma Satriani (2012) dengan judul Perlawanan Perempuan dalam Novel Tempurung
22
Karya Oka Rusmini menggunakan teori Helene Cixous yakni perlawanan perempuan pada Program Studi Pascasarjan Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam penelitian menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa; dalam masyarakat Bali sering terjadi represi terhadap perempuan, namun hal itu tidak mengurangi
kesadaran
kaum
perempuan untuk
melakukan perlawanan.
Perlawanan yang dihadirkan oleh Oka Rusmini yakni perlawanan baik secara internal maupun eksternal. Perlawanan yang dinegosiasikan melalui tubuh sampai pada perlawanan di ruang sosial publik. Penelitian pada karya Oka Rusmini yang lain juga pernah dilakukan oleh Lutfiah (2013) dengan judul
Novel Kenanga Karya Oka Rusmini: Analisis
Sosiologi Sastra pada Program Studi Pascasarjan Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam penelitian menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa Oka Rusmini merupakan pengarang Bali yang memiliki karya yang dipengaruhi oleh sistem sosial, institusi sosial, dan kelembagaan yang membentuk karakternya dalam masyarakat Bali. Kehidupan pengarang dalam hal ini Oka Rusmini berpengaruh pada penciptaan novel Kenanga. Hal ini terlihat dalam permasalahan sosial dalam novel Kenanga yang mencerminkan kehisupan masyarakat Bali yang hidup dalam aturan adat dan masih mempercayai aturan adat dari nenek moyang. Penggunaan sistem kasta yang masih langgeng menjadikan permasalah yang benar-benar nyata dalam novel ini. Penelitian mengenai subaltern pernah dilakukan oleh Wiwik Hidayati (2008) dengan judul Pengaruh Dominasi Penjajah atas Subaltern dalam Novel
23
Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis Berdasarkan Postkolonialisme pada program Sarjana Ilmu Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pada novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, penulis menganalisis pada segi mental, pola pikir, dan budaya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa penjajahan Belanda maupun Jepang sama-sama menimbulkan kesengsaraan bagi orang-orang yang terjajah, yaitu masyarakat Indonesia. Dari segi mental bangsa Indonesia diperlakukan sebagai bangsa yang berperadaban rendah dengan secara tidak manusiawi. Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pihak penjajah ini tidak semakin membuat lemah kaum subaltern. Dari segi budaya, adanya penjajahan membawa modernitas di bumi Indonesia. Masyarakat Indonesia menjadi kenal dengan kereta api, mobil, kantor-kantor dan lain-lain. Masuknya penjajah memberi nilai positif bagi kaum subaltern. Penilaian tersebut tergantung pada pemikiran masing-masing individu masyarakat Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Nieken Dyah Ariretno (2011) dengan judul Perjuangan Perempuan Keturunan Afrika: Kajian Subaltern dalam En Famille Karya Marie Ndiaye sebagai Karya Sastra Franchopone pada Program Studi Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa; 1) terjadi perbedaan perlakuan terhadap perempuan keturunan Afrika dalam karya tersebut. Kesempoatan ekonomi bagi warga keturunan, tidak terlepas dari adanya pembatasan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pemukiman bagi kaum migran; 2) perjuangan perempuan
24
keturunan Afrika dalam karya ini menunjukkan bahwa selepaskolonialisme perjuangan itu belum berakhir. Upaya yang dilakukan perempuan keturunan Afrika ini sama halnya dengan perjuangan perempuan di kawasan Asia Selatan seperti dalam esai Gayatri Spivak. Penelitian yang dilakukan oleh Hosnah (2013) dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk: Perjuangan Perempuan Subaltern Melawan Dominasi Patriarki pada Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa; 1) budaya menjadi sumber utama munculnya dominasi patriarki yang diperburuk oleh kemiskinan ekonomi dan pendidikan; 2) kesenian ronggeng menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan dan kebanggaan sehingga perempuan tidak memiliki kuasa untuk menolak dijadikan ronggeng yang berujung pada perampasan hak, menjadi budak dan objek seksual laki-laki yang berkuasa, 3) perempuan berusaha keras untuk memperjuangkan hak-haknya dengan menjadi kaum tertindas yang berbicara (subaltern) meskipun sebagian yang lain masih dalam pengaruh patriarki, menjadi subaltern yang bisu. Penelitian juga pernah dilakukan oleh Utami Widyaningsih (2011) dengan judul Subaltern dalam Naskah Drama Andorra Karya Max Frisch: Sebuah Kajian Poskolonial pada Program Sarjana Pendidikan Bahasa Jerman Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut. 1) kondisi Andri sebagai subaltern dalam bidang pendidikan yaitu biaya yang tinggi untuk sebuah pelatihan sehingga membuat der Lehrer kesulitan mendapatkan
25
uang dan terpaksa menjual tanahnya; 2) kondisi Andri sebagai subaltern dalam bidang ekonomi yaitu keinginan Andri untuk menjadi tukang mebel mendapat tekanan dari der Tischler (Tukang mebel ahli). Kursi buatan Andri tidak diakuinya karena Andri seorang Yahudi; 3) kondisi Andri sebagai subaltern dalam bidang sosial yaitu Andri dipandang sebagai orang lain dan sering mendapat perlakuan kasar dari masyarakat Andorra; 4) kondisi Andri sebagai subaltern dalam bidang mental (beban psikologis) yaitu adanya penolakan sang ayah atas keinginan Andri untuk menikahi Barblin karena seorang Yahudi; 5) kondisi Andri sebagai subaltern dalam bidang hukum yaitu Andri dituduh sebagai pembunuh die Senora karena seorang Yahudi selalu dianggap pihak yang bersalah; 6) kondisi Andri sebagai subaltern dalam bidang politik yaitu isu bahwa akan datangnya Schwarzen (Tentara Hitam) dari negeri seberang semakin terdengar. Tentara hitam akan mencari Yahudi dan membunuhnya. Andri meninggal saat proseksi seleksi Yahudi. Andri adalah sosok subaltern dari masyarakat Andorra. Ia merupakan kaum inferior yang tidak dapat berbicara. Dari beberapa penelusuran terhadap beberapa penelitian di atas, dengan karya Oka Rusmini dan kajian subaltern sebagai fokus kajiannya jika dibandingkan dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lain pada objek material dengan menggunakan karya Oka Rusmini terdapat enam penelitian dan empat penelitian pada kajian subaltern, sedangkan perbedaannya terletak pada fokus permasalahan pada tiap-tiap penelitian. Dari
26
enam penelitian pada karya-karya Oka Rusmini memiliki fokus permasalahan seperti konkretisasi budaya dalam sastra, potret sikap hidup perempuan Bali dalam menghadapi realitas budaya, warna lokal Bali, kajian struktural-sosial, perlawanan perempuan, dan sosiologi sastra. Dari keenam penelitian itu pastinya akan terdapat perbedaan yang signifikan dengan penelitian yang akan penulis lakukan karena kajian penulis ini berfokus pada subaltern perempuan Bali. sedangkan keempat penelitian yang memiliki fokus sama mengenai subaltern juga terdapat perbedaan, dua di antaranya berfokus pada kajian poskolonial, dan dua lagi mengarah kepada perjuangan perempuan dengan perempuan Jawa dan Afrika sebagai fokus kajiannya. Dari persamaan dan perbedaan tersebut, maka penulis akan mengambil penelitian yang bersumber pada kumpulan cerpen Akar Pule karya Oka Rusmini dengan menggunakan kajian subaltern perempuan Bali. Penelitian ini dianggap penting, karena secara teoretis, dapat mendukung teori sastra yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya dan kekosongan sosial. Dalam hal ini kumpulan cerpen Akar Pule merupakan bagian kesadaran masyarakat terhadap perempuan sehingga tidak lepas dari sistem sosial budaya masyarakatnya. Mozaik yang utuh dan menyeluruh tentang perempuan yang ada di balik kumpulan cerpen Akar Pule masih perlu dikaji lebih lanjut agar dapat diketahui dengan baik. Dari perspektif perempuan, penelitian ini mendukung pernyataan bahwa dunia simbolis termasuk dunia sastra telah menjadi salah satu wahana pembentukan, pelembagaan, dan pelestarian ideologi gender yang dominan. Di
27
samping itu, penguasaan dan pemahaman gender sangat penting karena apapun yang diharap dari perempuan, dan perlakuan pada perempuan didasari oleh sebuah kesadaran akan gender. Penelitian yang berprespektif perempuan perlu dilakukan karena hasilnya dapat bermanfaat bagi perempuan yang sekarang ini terlibat dalam persoalanpersoalan kemasyarakatan. Selain itu, dalam kehidupan di masyarakat umumnya seorang perempuan yang melakuakan sosialisasi
ini akan menjadi sebuah
representasi dari nilai kemanusiaan yang seharusnya. Oleh karena itu, kajian eksistensi perempuan dalam kumpulan cerpen Akar Pule perlu dilakukan dengan harapan dapat memberikan dampak positif bagi pembaca sekaligus sebagai salah satu cara untuk meningkatkan citra perempuan yang pada mulanya hanya dijadikan sebagai ―ajang‖ pendiskriminasian perempuan, khususnya dalam novel.
1.6 Landasan Teori Untuk mengungkap subalternitas perempuan Bali dalam kumpulan cerpen Akar Pule, penelitian ini akan berfokus pada teori subaltern yang dikembangkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Spivak banyak membicarakan tentang kaum subaltern yang tidak dapat berbicara, para intelektual yang menyuarakan kaum subaltern, sekaligus menawarkan sikap untuk menghadapi hal itu.
28
1.6.1 Subaltern yang Tidak Dapat Berbicara Subaltern merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Antonio Gramsci yang digunakan untuk menggambarkan tenaga kerja pedesaan dan proletariat. Ranajit Guha kemuidan menggunakan istilah subaltern untuk menunjuk pada sektor non-elit di India, terutama yang berkonstituen dengan pedesaan yang berkisar dari para bangsawan yang miskin untuk kaum tani ‗menengah-atas‘ (More-Gilbert, 1997: 79; Morton, 2008: 156). Lebih lanjut, Gayatri Chakravorty Spivak mengembangkan gagasan ini yang diambil dari konsep hegemoni Gramsci. Spivak memang dikenal sebagai penggagas poskolonial, bersama Edaward Said dan Homi K. Bhabha. Namun demikian, ada beberapa konsep Said dan Bhabha yang ditolak oleh Spivak. Dalam level tematik, Spivak membalikkan penekanan awal Said (dan juga Bhabha) yang berfokus pada wacana kolonial sebagai perhatian utama. Untuk itu, Spivak lebih berfokus pada counter-discourse. Spivak meluncurkan esainya yang berjudul Can the Subaltern Speak? pada tahun 1983. Istilah subaltern digunakan sebagai penunjuk terhadap kelompok inferior, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi objek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa seperti petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan hegemonik bisa disebut sebagai kelas subaltern. Menurut Gramsci, kelompok ini ada karena adanya hegemoni.
29
Melalui
konsep
hegemoni,
Gramsci
berargumentasi
bahwa
kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Yang pertama adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa, atau dapat dikatakan bahwa kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcement. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh lembaga hukum, militer, polisi, dan bahkan juga penjara. Adapun perangkat kerja yang kedua adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat banyak untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, dan bahkan juga keluarga. Antara subjek yang menghegemoni dan yang dihegemoni terjadi sebuah kesepakatan atau negosiasi sehingga subjek tersebut merasa wajar dan tidak dipaksa. Gayatri Spivak dalam tulisannya ―Can the Subaltern Speak?‖ (dalam Ashcroft, 1995: 24-28) menyatakan bahwa ―subaltern tidak bisa berbicara‖ Yang dia maksud di sini adalah kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa konseptual untuk berbicara
karena
tidak
ada
telinga
(dari
kaum
lelaki)
untuk
mendengarkannya. Ini bukan berarti bahwa kaum perempuan tidak dapat berkomunikasi secara literal, tetapi tidak ada posisi subjek dalam wacana kolonial yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengartikulasikan dirinya sebagai pribadi. Mereka ―ditakdirkan‖ untuk diam. Wacana yang
30
menempatkan perempuan sebagai the second sex dan dengan demikian cenderung menjadikannya sebagai korban patriarki yang bisa diidentikkan dengan Orientalisme yang memandang Timur sebagi ―the other” yang boleh dijajah dan ditindas. Kehadiran kajian kritis Subaltern oleh Gayatri Spivak yang dipengaruhi oleh berbagai teori kritis lainnya seperti marxisme, feminisme, teori poskolonialismedan juga dekonstruksi Derrida terhadap tradisi filsafat Barat dan interogasi Spivak terhadap warisan sistem kolonialisme, yang mengajarkan subjek humanis barat sebagai standard pencerahan universal kepada seluruh subjek non-Barat. Oleh karena itu kegunaan dekonstruksi terletak pada potensinya untuk beraksi sebagai penjaga melawan politik rasiaonal yang menuntut untuk berbicara atas nama kelompok minoritas seperti para buruh, perempuan atau warga jajahan (Morton, 2008: 86-87). Subalternitas sebagai fenomena sosial menjadi penghubung antara kolonialisme di masa lalu dengan ketidakadilan yang menjadi warisan dari kolonialisme itu sendiri di bangsa-bangsa terjajah pada saat sekarang. Ketika bagian terbesar dari masyarakat terjajah telah menikmati kebebasan menentukan nasib mereka sendiri, sebagian lagi dari masyarakat yang sama, (misalnya sebagai akibat/hasil) dari pengkastaan di India) tidak menikmati hal yang sama. Bagi mereka, terjajah dan tidak terjajah sama saja. Ketidakmampuan bergerak dan berpindah
kelas inilah yang
31
membentuk subaltern menjadi penanda bahwa bangsa tersebut pernah terjajah dan berada di bawah kekuasaan besar dari yang sekarang berkuasa. Subaltern dalam definisi Spivak adalah mereka-mereka yang mengalami penindasan. Oleh karena itu, dia mengakui kelompokkelompok tersebut merupakan orang-orang yang tidak dapat berbicara. Menurut Spivak, suara dari para kaum tertindas atau subaltern tersebut tidak akan bisa dicari, karena para kaum tertindas tersebut tidak bisa berbicara. Bahkan, secara krusial, subalternitas bagi Spivak adalah posisi tanpa identitas (Morton, 2008: 159). Penggunaan istilah subaltern
ini dijelaskan oleh karya pemikir
Marxis Italia Antonio Gramsci mengenai kaum petani desa Italia. Ia mengartikan subaltern sebagai kelompok subordinat seperti kaum petani desa di Italia Selatan, yang pencapaian kesadaran sosial dan politiknya terbatas dan kesatuan politik mereka rendah (Morton, 2008: 157). Berdasarkan Oxford English Dictionary istilah subaltern memiliki pengertian any officer in the army below the rank of captain (semua pegawai dalam tingkat ketentaraan di bawah pangkat kapten). Secara lebih umum dapat diartikan dengan mereka yang berada di tingkat inferior. Gayatri Spivak menggunakan kata subaltern untuk arti yang lebih spesifik. Kelas subaltern adalah sekelompok kelas marginal (Timur) nonelit yang didesak oleh garis-garis kultural dan pengetahuan yang memproduksi subjek kolonial. Spivak terkenal berfokus pada seputar
32
warisan filosofis, kultural, politis, dan ekonomi kolonialisme Eropa pada masyarakat jajahan mereka. Spivak pada mulanya menekankan subaltern pada subjek perempuan. Dalam esainya, ia menuliskan bahwa perempuan tidak dapat berbicara dan sebagai the second sex cenderung menjadikannya sebagai korban patriarki. Subalternisasi adalah terjadinya penindasan terhadap kaum marjinal karena adanya kekuasaan dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Subalternisasi ini terjadi antara mereka yang memiliki kepentingan dengan mereka yang termarjinal. Menurut Spivak, subaltern tidak bisa bersuara. Suaranya tidak bisa diwakilkan oleh siapapun. Istilah subaltern, memiliki tiga arti yang berbeda: secara konvensional, itu dipahami sebagai sinonim dari subordinat, namun bisa juga berarti pekerja kelas rendahan dalam ketentaraan, atau contoh khusus yang mendukung proposisi universal dalam logika filsafat (Morton, 2008: 156). Spivak menjelaskan, penggunaan istilah subaltern adalah sebagai representasi kaum petani desa Italia dalam riset Kelompok Kajian Subaltern dalam karya Gramsi. Penggunaan istilah subaltern, bergantian dengan istilah subordinat dan instrumental untuk mendeskripsikan kelompok atau kelas yang non-hegemonic. Menurut Spivak, kelas subaltern merupakan kelompok marginal (non elite) yang didesak oleh garis-garis kultural dan pengetahuan yang memproduksi subjek kolonial. Maksudnya, subaltern tidak bisa terlihat
33
tanpa pemikiran ―elite‖, sehingga keberadaannya selalu dilupakan bahkan saat ditampilkan subaltern merupakan sesuatu yang tidak berarti (Morton, 2008: 167). Dalam uraiannya, Gayatri menjelaskan, sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern mengadopsi gagasan Gramsci untuk mendorong penulisan kembali sejarah India yang kemudian mendefinisikan subaltern sebagai ―mereka yang bukan elite‖. Gagasan Guha menggeser dikotomi ―menindas-ditindas‖ karena penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok itu sendiri. Adopsi Guha atas subalternnya Gramsci ini menarik karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih untuk menganalisis soal ―siapa kawan, siapa lawan‖ dan memaksa kita untuk memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser dikotomi-dikotomi ―kolonial-antikolonial‖, ―buruh-majikan‖, ―sipil-militer‖, dsb. menjadi ―elite-subaltern‖. Perhatian kita pada penindasan yang selama ini hanya terpusat pada ―aktor-aktor luar‖, kini mesti ditambah dengan perhatian kepada ―aktor-aktor dalam‖. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial. Spivak dalam Can the Subaltern Speak? telah sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara (Morton, 2008: 159). Karena itu seorang intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir
34
kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suara kelompokkelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan) keberagaman kelompokkelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah ―kekerasan epistemologis‖ terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi ―tuan-hamba‖. Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai ―wakil‖ kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai ―pesimisme intelek dan optimisme kemauan‖: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompokkelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan. Sementara
itu
kaitannya
dengan
kesusastraan,
mempelajari
subalternitas di karya sastra berarti membaca dan menginterpretasikan pandangan seorang pengarang mengenai kondisi yang menjadi identitas mereka (kaum subaltern). Dalam hal ini, posisi Oka Rusmini sebagai pengarang menjadi penting. Ia dapat dianggap mewakili kelompok elit yang berusaha untuk menyuarakan kelompok subaltern dalam cerpencerpennya. Karena sebagai hasil dari yang disebut Gayatri Spivak sebagai
35
epistemic violence , terdapat dua golongan masyarakat yang memandang subaltern dengan cara yang berbeda. Golongan pertama, menyadari posisi mereka sebagai yang lebih tinggi dari masyarakat yang tertindas (karena posisi di pemerintahan dan keadaanekonomi dan sosial) meyakini bahwa tugas mereka mewakili subaltern dalam kehidupan berbangsa akan terpenuhi ketika mereka memberi fasilitas kepada golongan ini untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Golongan lain (setelah menyadari bahwa yang hilang dari golongan subaltern adalah akses menuju kelas yang lebih tinggi) berusaha menghilangkan pembatas bagi pergerakan mereka ke kelas sosial yang lebih tinggi. Sementara terkait dengan dunia kesusastraan, penegasan Spivak menimbulkan rasa keingintahuan yang lebih kritis sekaligus komprehensif mengenai representasi subalternitas yang hadir dalam karya sastra yang bertema senada. Gayatri Spivak hadir dengan teori kajian kritis yang mengobrak-abrik konvensi kritik sastra serta dunia filosofi barat dengan fokus pada kajian teks budaya dari mereka yang dimarjinalkan oleh budaya dominan barat. Bagi Spivak jejak-jejak kolonialisme masa lampau tidak lenyap begitu saja, meskipun secara resmi kemerdekaan telah diberikan namun lini utama kehidupan yang diciptakan oleh colonial tetap berlangsung. Spivak mempertanyakan banyak hal mengenai bagaimana dunia direpresentasikan melalui sudut pandang dominan dan di saat
36
bersamaan
mengklaim
tindakan
tersebut
sebagai
sebuah
praktek
menyuarakan suara politik kaum tertindas di dunia ketiga. Spivak hadir dengan sudut pandang baru pada kajian subaltern. Menurut Spivak, subaltern tidak hanya semata mereka para rakyat yang ditindas oleh kaum elite, melainkan segala sesuatu yang tidak memiliki akses apapun dalam imperialism budaya.
Lebih ditekankan lagi oleh
Spivak bahwa dalam penghapusan rencana perjalanan subjek subaltern, jejak diskriminasi seksual mengalami lapisan diskriminasi ganda. Pertanyaannya bukanlah ada tidaknya partisipasi kaum perempuan selaku pihak
yang
mengalami
diskriminasi
ganda
dalam
melakukan
pemberontakan, maupun aturan-aturan pembagian kerja berdasarkan gender. Melainkan posisi perempuan baik sebagai subjek histeriografi colonial dan juga sebagai pihak dominan. Oleh karena itu perempuan subaltern senantiasa berada pada level diskriminasi terendah. Spivak (dalam Jackson dan Jones, 2009: 184), mengatakan bahwa posisi perempuan baik sebagai subjek historiografi kolonial dan sebaga subjek pemberontakan, tidak mempengaruhi pembangunan ideologi gender yang senyatanya terus didominasi laki-laki. Terkait dengan sejarah kolonialisme, Spivak menyatakan bahwa kaum subaltern tidak memiliki sejarah, terlebih lagi mereka kaum subaltern perempuan. Kehidupan perempuan di dunia ketiga berada pada tatanan hidup terendah dimana
37
mereka tidak memiliki akses apapun untuk bersuara terlebih lagi menciptakan sejarah diri mereka sendiri. Lebih ditekankan lagi bahwa, subaltern adalah mereka yang bukan elit. Elit yang dimaksud adalah kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing. Kelompok asing adalah pejabat-pejabat, para pemilik industri, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Adapun para pribumi yang dalam tatanan subaltern dibagi menjadi dua lapis, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional.
1.6.2 Esensialisme Strategis: Strategi Menghadapi Subalternitas Mensubalternisasi adalah terjadinya penindasan terhadap kaum marjinal karena adanya kekuasaan dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Subalternisasi ini terjadi antara mereka yang memiliki kepentingan dengan mereka yang termarjinal. Kaum intelektual hanya bisa memberikan gambaran bagaimana keterbungkaman suara yang terjadi pada subaltern. Selama ini, hubungan antara penjajah-terjajah/ Barat-Timur/The Self (sang diri)-The Other (sang lain) adalah hubungan yang bersifat hegemonik. Penjajah/Barat/The Self selalu diposisikan sebagai superior, sedangkan terjajah/Timur/The Other selalu diposisikan sebagai inferior (Gandhi, 2001: vi). Dari hubungan ini muncul apa yang disebut dominasi dan subordinasi. Dari pola hubungan yang demikian timbul gambaran-
38
gambaran yang tidak menyenangkan mengenai pihak terjajah/Timur/The Other. Mereka digambarkan sebagai lemah, bodoh, barbar, tidak beradab, aneh, mistis, ―berbeda‖ dan tidak rasional (Said, 1996a: 49) Mereka ini disebut juga kelompok subaltern yang tidak memiliki suara. Dominasi dan subordinasi adalah sebuah hubungan yang tidak hanya terjadi antarnegara atau antaretnis, tetapi juga dalam sebuah negara atau dalam suatu etnis tertentu. Penekanan pada etnisitas dalam literatur teori poskolonial dapat menutupi berbagai relasi kekuasaan gender. Misalnya image tentang perempuan adalah para pengemban tugas yang signifikan untuk menjaga kesucian dan reproduksi. Lebih jauh, perempuan mengandung beban yang ganda akibat dijajah oleh kekuasaan-kekuasaan kolonial dan disubordinasikan oleh kaum lelaki. Dalam menghadapi identitas kaum subaltern, Spivak menawarkan apa yang disebutnya sebagai ‗esensialisme strategis‘. Dalam pengertiannya yang sederhana, esensialisme menunjuk pada pondasi atau esensi yang telah final dan terlihat alamiah yang mendefinisikan identitas manusia (Morton, 2008: 204). Spivak menganggap bahwa subjek bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya, bukanlah entitas yang utuh, tetapi terdesentralisasi sehingga identitas bukanlah sesuatu yang esensial, melainkan hasil konstruksi secara diskursif, atau dalam istilah Spivak disebut rupture. Akan tetapi, esensialisme tidak sepenuhnya negatif terhadap resistensi. Karena subjek
terdesentralisasi,
identitas
menjadi
sesuatu
yang
dapat
39
dinegosiasikan. Esensialisme yang dikonstruksi atas dasar negosiasi dan kekuatan-kekuatan politik dan ideologis yang ada bersifat positif bagi resistensi itulah yang disebut dengan esensialisme strategis (Faruk, 2007: 7). Gagasan Spivak mengenai esensialisme strategis ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap formasi subjek perempuan. Selain itu, gagasan mengenai esensialisme strategis ini secara jelas mengeksplorasi cara-cara subjektivitas gender dapat dimobilisasikan sebagai bagian strategi politik (Morton, 2008: 206). Spivak (dalam Ray, 2014:159) mengatakan bahwa esensialisme strategis memperkenalkan konteks sebagai pembacaan, sebuah konteks yang sesuai dengan strategi. Spivak menekankan prakti esensialisme strategis sebagai gerakan teoretis, yang akan menjatuhkan barisan terdepan sebuah teori esensi dan sebagai sebuah pembacaan mengenai esensialisme. Pemikiran Spivak mengenai esensialisme strategis secara jelas merupakan upaya untuk mengembangkan pemikiran yang lebih tertata mengenai perwakilan kelompok sosial yang dilemahkan secara relatif seperti kaum perempuan, rakyat jajahan atau kaum proletar. Dalam wawancara dengan Ellen Rooney disebutkan bahwa jika seseorang memikirkan sebuah strategi, orang tersebut harus melihat di mana kelompok orang-orang, atau gerakan-disituasikan saat seseorang membuat klaim untuk melawan esensialisme. Satu stategi untuk satu situasi: strategi bukanlah teori (Morton, 2008: 206-207).
40
Spivak (dalam Morton, 2008:207) memakai istilah ―esensialisme‖ untuk berjaga-jaga melawan pemakaian regulatif kategori esensialis sebagai konsep pokok dalam gerakan-gerakan sosial seperti Marxisme, feminism, atau nasionalisme: ―pemakaian strategis sebuah esensi sebagai slogan atau kata kunci unuk memobilisasi seperti perempuan atau buruh atau nama negara adalah sadar-diri secara ideal bagi semua yang termobilisasi. Inilah resiko yang mustahil dari strategi terakhir‖. Menurut Spivak resiko yang mengiringi adalah pemakaian kata-kata kunci seperti perempuan, buruh, atau nasionalis oleh kaum esensialis untuk memobilisasi kelompok-kelompok yang dilemahkan mungkin mengakar ke dalam identitas yang telah final, yang pada akhirnya mampu mengekalkan subordinasi
kelompok-kelompok
yang
mereka
klaim
untuk
diemansipasikan. Esensialisme strategis sebagai pilihan sikap itu dapat dilihat pada perilaku tokoh yang ada dalam kumpulan cerpen Akar Pule. Dalam menghadapi berbagai macam tekanan, tokoh-tokoh ini memilih untuk ‗bernegosiasi‘ dibandingkan dengan melakukan resistensi secara radikal. Spivak menggunakan dekonstruksi untuk untuk mensubversi sistemsistem biner yang padanya wacana-wacana dominan bersandar untuk melegitimisasi kekuasaan mereka. Untuk itu, analisis terhadap teks akan dilakukan
dengan
menggunakan
metode
membongkar wacana-wacana dominan itu.
dekonstruksionis
guna
41
Lebih lanjut, untuk melakukan pembelaan terhadap kaum subaltern, Spivak menyarankan sikap untuk menghindari program-program politik radikal
dan
bentuk-bentuk
analisis
kultural
dari
kecenderungan
mereproduksi asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang justru ingin dilawan sehingga mengalami repetition-rupture.
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu cara tertentu yang digunakan dalam suatu penelitian untuk memecahkan atau menjawab masalah yang diajukannya. Faruk (2012: 24-25) menyebutkan terdapat dua metode dalam penelitian, yakni (1) metode pengumpulan data yang berarti seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan fakta-fakta empirik terkait dengan masalah penelitian sastra, dan (2) metode analisis data, yakni seperangkat cara atau teknik untuk menarik relasi antara satu data dan data lain yang bermuara pada suatu pengetahuan ilmiah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: 1. Penentuan Objek Penelitian Objek penelitian dapat dikategorikan menjadi dua yakni objek material atau objek yang menjadi lapangan penelitian; dan objek formal atau objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012: 23). Pada tahap ini, terlebih dahulu peneliti menentukan objek material, yakni kumpulan cerpen Akar Pule. Kemudian, objek formal penelitian
42
ini adalah teori Subaltern Gayatri Chakratovsky Spivak. Pemilihan kumpulan cerpen Akar Pule dalam penelitian ini karena dalam kumpulan cerpen ini banyak hal yang menarik untuk diteliti berkaitan dengan fakta perempuan Bali. 2. Pengumpulan dan Klasifikasi Data Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data primer sebagai bahan penelitian. Data primer adalah data yang diambil dari teks-teks di dalam kumpulan cerpen Akar Pule. Kemudian peneliti mengumpulkan data sekunder, yakni data yang diperoleh dari sejumlah referensi berupa buku, artikel, jurnal, atau penelitian-penelitian lainnya yang ada hubungannya dengan objek kajian. Referensi ini diklasifikasikan sesuai dengan masalahnya atau yang dapat menunjang pokok permasalahan yang diteliti. Peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang berhubungan dengan fakta-fakta tentang ―subaltern perempuan‖ yang terungkap. Setelah itu, peneliti membaca, memahami, dan kemudian menganalisis dengan berpegang kepada bukti berupa kutipan-kutipan dari kumpulan cerpen Akar Pule yang berhubungan dengan objek penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini. 3. Analisis Data Setelah
memutuskan
objek
yang
akan
dibahas
dan
mengumpulkan data, langkah selanjutnya adalah menganalisis data
43
dengan menggunakan teori subaltern Gayatri Cakratovsky Spivak. Analisis data yang berupa satuan-satuan tekstual dilakukan dengan melihat hubungan antara teks-teks yang signifikan di dalam teks Akar Pule dalam sudut pandang konsep Gayatri Spivak. Di samping itu juga akan dilihat hubungan teks-teks tersebut dengan data-data yang berasal dari teks-teks di luar Akar Pule, diantaranya adalahteks-teks terkait dengan teks-teks budaya, kehidupan perempuan Bali, dan kehidupan sosial masyarakat Bali yang diperoleh dari buku-buku acuan, jurnal, artikel, serta penelitian yang mempunyai hubungan atau yang menunjang penelitian.
1.8 Objek Penelitian Dalam penelitian ini akan memiliki dua objek penelitian, yakni objek material dan objek formal. Objek formal dalam penelitian ini adalah subalternitas perempuan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Akar Pule karya Oka Rusmini. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana subalternisasi perempuan dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat Bali. Perempuan dalam masyarakat Bali dengan sistem kemasyarakatan patriarki yang kuat, yang selalu menjadi objek dalam masyarakat. Hal ini diperparah lagi dengan sistem kasta yang membuat perempuan semakin terjerembab dalam lubang kemasyarakatan yang membelenggunya. Sedangkan objek material dalam penelitian ini adalah
44
kumpulan cerpen Akar Pule karya Oka Rusmini yang diterbitkan oleh Grasindo Gramedia Jakarta pada bulan April tahun 2012.
1.9 Sistematika Penyajian Dalam penulisan penelitian ini akan menggunakan sistematika sebagai berikut: Pada bab I akan dipaparkan mengenai pendahuluan yang terdiri dari; (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) landasan teori, (6) metode pengumpulan dan analisis data, (7) objek penelitian, dan (8) sistematika penulisan. Pada bab II akan dipaparkan mengenai posisi kaum subaltern perempuan di Bali yang terdapat dalam kumpulan cerpen Akar Pule karya Oka Rusmini. Pada bab III merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penelitian subalternisasi perempuan dalam kumpulan cerpen Akar Pule yang sesuai dengan kajian subaltern Gayatri Spivak.