BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Seperti halnya bacaan bagi orang dewasa, bacaan anak juga mensosialisasikan nilaianilai dan struktur masyarakat secara simbolis (Bosmajian, 2009:127). Anak-anak dapat belajar mengenai sesuatu yang pantas/tidak pantas, baik/tidak baik, unggul/inferior dst melalui bangunan sebuah cerita. Melalui tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita, anak-anak dihadapkan pada sebuah mode kehidupan. Hal ini sejalan dengan pemahaman Davis (dalam Sarumpaet, 2010:2) yang mengartikan bacaan anak adalah bacaan yang dibaca anak-anak "dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat." Dengan kata lain, sebuah cerita memungkinkan pembaca pemula (anak-anak) untuk mengeksplorasi isinya. Namun, cerita juga memiliki potensi untuk mengarahkan pembaca anak untuk menerima atau menolak komunitas sosial yang diharapkan atau dihindari dalam suatu masyarakat. Bacaan anak merupakan salah satu agen sosialisasi gender: melalui bacaan anak ini, pembaca anak diarahkan bagaimana menjadi 'lakilaki' atau 'perempuan' (Corrado, 2009:363). Pendapat Corrado ini senada dengan pendapat Vygotsky mengenai ‘alat-alat psikologis.’ Menurut Vygotsky (melalui Crain, 2007:341), peralatan psikologis ini fungsinya sebaga ramburambu berpikir dan bertingkah laku. Salah satu alat psikologis yang diciptakan untuk mengatur perilaku adalah bacaan anak. Meskipun bukan merupakan seperangkat aturan, cerita menyajikan beberapa model aturan, misalnya mengenai apa yang pantas atau tidak pantas dilakukan, bagaimana permainan yang layak untuk anak lelaki dan perempuan, dst., Karenanya, bacaan anak memiliki peran yang besar bagi anak-anak (Narahara melalui Anna dan Cameron, 2011:14). Karakter utama biasanya menyediakan panutan dan definisi maskulinitas dan femininitas bagi
anak-anak. Pendapat Narahara ini dikemukakan sebagai hasil kesimpulannya dalam melakukan penelitian terhadap buku-buku yang mendapatkan penghargaan dari Newberry dan Caldecott Award1. Baginya, representasi tokoh dalam buku dapat menciptakan kesan positif atau negatif bagi pembaca anak-anak. Sebagai salah satu agen sosialisasi dan formatif gender, tidaklah mengherankan apabila bacaan anak sarat dengan penanda heteronormativitas. Heteronormativitas adalah asumsi kultural yang mengacu pada heteroseksualitas sebagai sesuatu yang normal dan natural bagi semua orang (Corrado, 2009:414). Heteroseksualitas berasumsi bahwa setiap lelaki harus melakukan peran maskulin dan perempuan melakukan peran feminin. Dalam norma heteroseksual, misalnya, peran maskulin anak lelaki tampak pada bentuk permainan yang melibatkan ketangkasan otot, sedangkan peran feminin anak perempuan tampak pada permainan yang melibatkan ranah domestik seperti masak-masakan, dress up, atau permainan boneka. Penanda heteroseksualitas dalam dunia anak terlihat, antara lain dalam permainan atau pemilihan baju. Anak perempuan misalnya, lazim berbaju warna pink atau merah muda, sedangkan anak laki-laki berwarna biru. Anak laki-laki bermain mobil-mobilan, sedang anak perempuan bermain boneka atau masak-masakan. Anak perempuan dinormalkan berkarakter lemah lembut, sedangkan anak laki-laki dinormalkan berkarakter agresif. Penanda-penanda heteroseksualitas itu jamak ditemukan dalam bacaan anak. Di luar dua karakter itu, dianggap tidak normal, aneh, atau tidak wajar. Wacana heteronormativitas ini bertebaran dalam berbagai bacaan, termasuk bacaan untuk anak. Salah satu temuan menarik dalam bacaan-bacaan anak adalah adanya fenomena tokoh
Newberry dan Caldecott Award adalah ajang penghargaan khusus untuk bacaan anak di Amerika Serikat. Caldecott Medal khusus untuk buku bergambar, sedangkan penghargaan Newberry Medal diberikan untuk buku bacaan anak yang dianggap berkontribusi bagi perkembangan sastra anak di Amerika. 1
dengan karakter di luar heteronormatif. Karakter itu dikenal dengan 'tomboi'. Kata 'tomboi' berasal dari bahasa Inggris. Kata ini mulai muncul pada tahun 1553 dan memiliki arti anak laki-laki yang badung. Di akhir tahun 1500-an, kata tomboi berarti perempuan yang tingkah lakunya seperti anak laki-laki; anak perempuan yang menyukai permainan yang liar; anak perempuan yang tidak memiliki sopan santun (Onstad, 2012). Dalam sastra anak terjemahan, tokoh tomboi dapat dijumpai dalam novel serial Lima Sekawan atau The Famous Five karya Enid Blyton yang masuk ke Indonesia di tahun 1980-an. Tokoh tomboi dalam novel ini diwakili oleh Georgina Kirrin atau yang lebih senang dipanggil George. Tokoh George memiliki potongan rambut model lelaki, dengan baju bergaya maskulin, keras kepala dan sangat berani, dan tidak suka bila ada yang mengingatkannya sebagai perempuan. Sebenarnya, di Indonesia sendiri, cerita dengan tokoh tomboi dapat dijumpai dalam cerita pewayangan, melalui tokoh Srikandi. Srikandi adalah Putri Raja Drupada, titisan Dewi Amba. Dalam kitab Mahabharata, Srikandi diceritakan terlahir sebagai perempuan, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, dan kadang kala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dikisahkan Srikandi menikah dengan Arjuna. Karakternya dapat dikategorikan sebagai tokoh tomboi: perempuan, namun memiliki kemampuan seperti halnya laki-laki, seorang ksatria yang pandai memanah. Selain Srikandi dalam cerita pewayangan Mahabharata, novel anak Indonesia yang memiliki tokoh tomboi dapat ditemui dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2005), Rini Tomboy karya Jujur Prananto (1991), Brandal-Brandal Ciliwung karya Achmad MS (1974), Santri Tomboy karya Shachree M. Daroini (2006), Heart karya Fina Hamase (2006) atau Dea Lova karya Dyan Nuranindya (2005). Laskar Pelangi memuat tokoh Flo, seorang gadis mapan, yang berkarakter tomboi: menguasai kick boxing, lebih suka mengenakan celana dan jaket jeans belel,
dan disebut sebagai 'lelaki setengah perempuan' yang tak bisa diatur sehingga membuat Bu Mus kebingungan. Rini Tomboy memiliki tokoh Rini, siswi SMA 2000 yang kelelakian, jago bela diri, karate, bersikap sok jagoan. Brandal-Brandal Ciliwung memiliki tokoh Sissy, cucu pemilik pabrik tahu dari keluarga mapan yang tomboi dan bersahabat dengan geng beranggotakan anak laki-laki yang tinggal di kali Ciliwung. Santri Tomboy memiliki tokoh Amalia Zarqo` Zaitunna yang berkarater tomboi, pemberani, tidak bisa diam, dan usil. Heart memiliki tokoh Rachel yang tomboi, tak bisa diam, senang bermain layaknya anak laki-laki. Sedangkan novel Dea Lova memiliki tokoh Karra yang juga tomboi, pintar main basket, berpenampilan santai namun manja bila di rumah. Novel-novel anak yang memiliki karakter tokoh tomboi itu umumnya ditulis oleh penulis dewasa. Namun, fenomena mutakhir saat ini, ada novel anak berkarakter tokoh tomboi yang ditulis oleh penulis anak-anak. Novel anak karya penulis anak yang memuat tokoh tomboi di dalamnya antara lain Tomboy Girl karya Jonea Christie (2013), My First Make Up karya Shara (2011), Kado untuk Ummi karya Izzati (2006), dan Best Friends Forever karya Putri Salsa (2011). Giselle Autumn Brown, siswa kelas lima SD Sky Elementary School, adalah tokoh tomboi dalam Tomboy Girl. Shabryna Azizah, siswa SDIT Indonesia Merdeka, adalah nama tokoh yang berkarakter tomboi dalam novel My First Make Up. Frida dan Dila, adalah dua karib tokoh utama, Aisyah, dalam novel Kado untuk Ummi yang berkarakter tomboi. Mereka duduk di kelas IV SDN Cibuyung Dadapan. Sedangkan tokoh Nicole Maradova, atau yang biasa disebut Niki, adalah siswi tomboi kelas 6C di Cool Skool yang bersahabat dengan Katherine McVee (Kate) yang berkarakter manja dan Gennifer Gestineau atau Gen, yang berkarakter feminin superperfek. Representasi visual tokoh tomboi dalam novel-novel anak dapat dilihat dalam gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Representasi visual tokoh tomboi dalam novel Best Friends Forever, My First Make Up, Tomboy Girl, dan Kado untuk Ummi
(2) Shabryna3 (tiga dari kiri) dalam My First Make Up (1) Niki2 (kiri) dalam Best Friend Forever
2
Tokoh Niki yang tomboi direpresentasikan sebagai anak perempuan yang memiliki ciri visual hampir sama dengan anak laki-laki: bercelana panjang, memakai kaos, memakai topi yang dibalik, dan berambut pendek. Keberadaannya yang tomboi dapat dibedakan dengan keberadaan teman perempuan yang meski mengenakan celana panjang, namun terlihat jelas sisi keperempuanannya. Tokoh Kate, yang berada di tengah, meski mengenakan celana panjang, tapi identitas femininnya terlihat dengan rok yang dikenakan, dan rambut yang dikuncir dan diberi pita. Tokoh Niki menjadi penanda batas antara dirinya yang tomboi dengan anak perempuan yang feminin. 3
Shabhryna adalah tokoh tomboi dalam novel My First Make Up. Pada akhirnya, ketomboiannya tak bertahan lama karena tertarik untuk menjadi feminin seperti Ghreta, sahabatnya. Tokoh ini masih memperlihatkan sisa-sisa identitas tomboinya, tampak dari representasi visual dirinya yang bercelana panjang, mengenakan kaos (bedakan dengan anak-anak perempuan yang mengelilinginya), dan balon percakapan berbentuk bulat yang didalamnya ada gambar anak perempuan berjilbab, dan kaos bergambar bola, berlengan pendek dengan deker tangan. Representasi visual di atas merupakan bentuk visualisasi dari peristiwa di sekolah, saat teman-teman Bhryna heran dengan penampilannya kini yang dinilai lebih feminin. Visualisasi peristiwa tersebut menggambarkan hasil akhir negoisasi identitas gender yang dipilih oleh tokoh tomboi.
(4) Frida5 dan Dila dalam Kado untuk Ummi (3) Giselle4 dalam Tomboy Girl Kelima tokoh tomboi dalam novel anak karya penulis anak di atas cenderung direpresentasikan dalam bentuk visual yang sama: bergaya seperti anak laki-laki: bercelana panjang, mengenakan kaos (sisi maskulinitas tokoh Shabryna tetap dimunculkan dalam kaos bola, meski tokoh itu digambarkan berjilbab), beberapa di antaranya berambut pendek (kecuali tokoh Shabryna dan Giselle), mengenakan aksesoris yang identik dengan laki-laki (topi yang dipakai secara terbalik, gelang berduri, sepatu kets), dan tidak bergaun. Selain memiliki kualitas seperti halnya anak laki-laki, tokoh-tokoh tomboi dalam Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friends Forever mengalami permasalahan yang sama. Mereka mengalami relasi yang cukup rumit dengan rekan seusianya atau dengan orang dewasa lainnya. Tokoh tomboi ini kerap mengalami opresi, akan tetapi kadang kala juga melakukan resistensi atau perlawanan terhadap heteronormativitas. Beberapa tokoh di dalam novel Giselle yang tomboi direpresentasikan secara visual dalam tokoh seorang anak perempuan yang berambut panjang, namun mengenakan aksesoris gelang berduri (spike) yang lazim dikenakan punkers; aksesoris yang biasanya cenderung digunakan oleh anak laki-laki, sekaligus menggambarkan ada sisi ‘liar’ dalam dirinya yang secara fisik berpenampilan sebagai anak perempuan. Fesyen yang disematkan pada tokoh Giselle sebagai penanda batas feminin sekaligus negosiasi identitas gendernya. 4
Frida dan Dila direpresentasikan secara visual sebagai anak perempuan yang tomboi. Hal ini ditunjukkan dengan fashion yang mereka berdua kenakan: bercelana panjang, berkaus, mengenakan gelang, bersepatu sneaker, berambut pendek, dan gaya yang ‘tidak seperti anak perempuan biasanya’. Sikap, perilaku, dan fesyen yang ditampilkan tokoh Frida dan Dila merupakan penanda batas feminin dan gambaran negoisasi identitas yang dilakukan oleh tokoh tomboi. 5
tersebut tampak berusaha keras untuk melakukan konformitas dengan nilai-nilai gender yang ada di sekitar mereka. Berikut ini adalah kutipan beberapa bentuk relasi rumit yang mereka alami. "Hehehe.... I'm here, Girls!" kata Stacy yang sudah membuatku kaget setengah hidup. "Tumben pakai gaun?" "Yaaa... Kamu tahu, seperti biasa, aku dipaksa. Aku juga tidak boleh main tenis nanti sore, gara-gara itu juga! Aku benar-benar kesal karena terus-terusan digodok mom untuk menjadi girly semacam bangsawan sejati." Aku berapi-api. "Dan...mereka tidak menyetujuiku menjadi anak tomboi!" (Tomboy Girl; Jonea, 2013:21) Sebenarnya, aku juga ingin jadi feminin. Tapi, aku belum siap jadi feminin! Aku enggak bisa masak, enggak bisa anggun enggak suka baju cewek walaupun baju cewekku setengah lemari, dan enggak bisa diam! Kataku dalam hati. (My First Make Up: Ketika si Tomboi Berdandan; Shara, 2013:21) Nicole Maradova nama lengkapnya, tapi teman akrabnya seperti Gen dan Kate, memanggilnya Niki. Niki tinggi dan kurus, tapi jangan meremehkan kemampuan olahraganya yang top banget. Dia nakal, cerdas, jago olahraga, tidak mau kalah, dan tomboy. Niki juga cantik (tapi jangan bilang langsung di depan orangnya, sebab dia maunya dipuji keren :P). Rambutnya berwarna hitam pendek dipotong shaggy, kulitnya agak lebih hitam dari pada Kate. Di gengnya, Niki dikenal sebagai si Tomboy. (Best Friends Forever; Putri Salsa, 2011:vi). Bola sepak yang sudah kumal itu menggelinding menghampiri Dila. "Dila, tendang ke arah sini, dong!" pinta Akbar. "Jangan, Dil! Biar aku saja!" Frida mendekati bola itu. "Ayo, siap-siap, ya! One, two, three, yak!" DUESSSH! Bola langsung melambung tinggi. "Thanks, ya!" Mail memberi tanda V. (Kado untuk Ummi; Izzati, 2006:38) Fenomena tomboi dalam novel anak sejatinya merupakan persoalan wacana. Dari sesuatu yang dinilai 'kepantasan', 'kelumrahan', 'ketaklumrahan', 'ketakpantasan', 'kenormalan', 'keanehan' itulah, terlihat bagaimana kepemilikan kuasa sekaligus penyebaran kuasa diperebutkan (Brooks, 2009:85). Fenomena tomboi yang ditemukan dalam novel anak karya penulis anak di atas merefleksikan pemikiran feminis postmodern, bahwa gender bukanlah sesuatu yang simpel, atau alami. Bentuk-bentuk relasinya pun, akan senantiasa kompleks, tidak stabil (Flax, 1990:43). Kuasa dipahami bersifat plural, menyebar melalui wacana, tubuh dan hubungan dalam
metafor suatu jaringan. Berangkat dari asumsi itu, wacana dimaknai sebagai situs kontestasi bagi wacana gender dan berbagai asumsi, serta berkontribusi pada penciptaan sekaligus reproduksi relasi kuasa yang tak sama dalam suatu kelompok sosial. Kekuasaan dihadirkan dalam cara-cara yang didesentralisasikan, dilokalisasikan, diwacanakan, dan secara institusional mengalami proses penormalan. Kekuasaan juga melahirkan perlawanan. Dalam relasi kuasa, tomboi dapat diartikan sebagai bentuk perlawanan, negosiasi, konformitas terhadap nilai-nilai heteronormativitas dalam masyarakat. Masa kanak umumnya dinilai sebagai masa ‘penerimaan’ terhadap nilai-nilai yang disodorkan kepada mereka. Namun, penulis anak-anak yang novelnya dikaji dalam penelitian ini sepertinya tidak serta merta ‘menerima’ nilai-nilai yang disodorkan masyarakat kepadanya. Masa kanak-kanak atau masa sekolah kadang juga disebut sebagai masa produksi dan reproduksi gender, serta masa queer (Renold, 2005:8-9). Yang dimaksud dengan masa queer adalah masa di mana kanak-kanak kadang terlihat kabur identitas gendernya, melampaui batas norma gender, atau menolak sistem binari gender di lingkungan mereka. Cerita yang ditulis penulis anak-anak itu adalah cerita yang realis. Ciri cerita anak yang realis menurut Lukens (2003:30) biasanya berbicara tentang masalah-masalah sosial dengan menampilkan tokoh protagonis sebagai pelaku cerita. Cerita realis kadang ditulis untuk memberikan efek bahwa cerita itu seolah-olah merepresentasikan kehidupan dan dunia sosial seperti yang terlihat oleh pembaca, menguatkan praduga bahwa karakter tokoh benar-benar ada, dan peristiwa yang terjadi di dalamnya kemungkinan benar-benar terjadi (Abrams, 1999:260). Dengan menggunakan analisis wacana feminis, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana ketomboian direpresentasikan dalam teks, bagaimana relasi kuasanya, serta dalam konteks sosial kultural yang seperti apa wacana tomboi ini diproduksi.
B. Masalah Penelitian Identitas gender pada masa kanak cenderung bersifat lebih cair dan tidak stabil. Kadang kala, dengan mudah anak ‘mengganti’ atau ‘memilih’ identitas kelelakian atau keperempuanan dengan cepat. Sementara itu, sekelompok masyarakat yang menanamkan dan menginginkan terlestarikannya nilai-nilai heteronormatif, cenderung memilah identitas hanya secara bipolar, ‘lelaki’atau ‘perempuan’ saja, tidak ada dualisme atau pemakluman terhadap liminalitas di antaranya. Akan tetapi, seperti halnya sebuah kekuasaan, heteronormativitas tak sepenuhnya ditaati atau dipatuhi oleh anggota-anggota masyarakatnya. Ada beberapa wacana yang meresistensi penegakan heteronormativitas dalam masyarakat, seperti yang tercermin melalui karya sastra. Karya sastra memiliki sifat penting dalam menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembacanya yang bermacam-macam pula (Chamamah, 2011:62). Tokoh dalam sebuah karya sastra adalah medium untuk meyampaikan pesan kepada pembacanya. Tokoh-tokoh yang memiliki identitas yang dianggap atypical atau tak setipe dengan identitas gender yang biasa ditemui dalam masyarakat yang heteronormatif, dengan demikian, perlu dipahami sebagai medium penyampai pesan terhadap kemungkinan identitas gender baru yang ditawarkan atau dicoba untuk dinegosiasikan dalam sebuah komunitas masyarakat. Identitas gender baru yang ditawarkan atau dinegosiasikan dalam sebuah masyarakat muncul melalui representasi tokoh yang identitas gendernya dinilai tak setipe dengan masyarakat heteronormatif pada umumnya. Dari representasi itu pula, akan diketahui bagaimana masyarakat menyikapinya: apakah mereka menolak keberadaan gender yang tak setipe dalam norma mereka, atau menerimanya? Gender adalah persoalan konstruksi budaya. Konstruksi itu akan terlihat dalam wacana
yang dalam masyarakat: gender mana yang dianggap ‘sesuai’ dan gender mana yang dianggap ‘tidak sesuai’ dalam konstruksi mereka. Konstruksi-konstruksi itu diuji, diteguhkan, melalui interaksi antar pemilik identitas gender. Anak perempuan yang tomboi sebagai sebuah ‘identitas’ gender juga berinteraksi dengan tokoh lainnya, yang memiliki kemungkinan identitas gender sama atau berbeda dengannya. Interaksi itu tentu memunculkan sikap yang beragam. Sikap itu sendiri tidak terlepas dari entitas lainnya, seperti faktor usia, kelas sosial, budaya, agama, jenis kelamin, ekonomi, dll. Faktor interaksi itulah yang akan menentukan bentuk relasi kuasa gender. Dari pembacaan sementara terhadap novel-novel anak karya penulis anak di Indonesia, ditemukan beberapa novel anak yang mengungkap adanya permasalahan identitas gender. Novelnovel itu mengangkat cerita yang tokohnya adalah anak perempuan tomboi. Tokoh-tokoh tomboi itu direpresentasikan secara beragam. Kajian identitas gender dalam novel anak di Indonesia sejauh ini merupakan kajiankajian struktural (Trimansyah, 1999; Nurgiyantoro, 2006; Suyanto, 2009), pragmatik (seperti yang banyak dilakukan di kampus-kampus dengan jurusan pendidikan, seperti UNES, UNESA, UNY, UNPAD, dll), poskolonial dan maskulinitas (Sarumpaet, 2002; Wulan, 2009), kritik sastra feminis (Sendjaja dkk, 2003). Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang fokus pada representasi ketomboian dan relasi kuasanya dalam novel anak karya penulis anak di Indonesia, dengan menggunakan kajian wacana feminis. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat terungkap sejumlah masalah yang mempengaruhi pemilihan identitas gender, bagaimana suatu pilihan identitas gender direpresentasikan, bentuk relasi kuasa gender dan faktor yang mempengaruhinya, serta konteks sosial kultural yang melahirkan wacana identitas gender tersebut. Dengan demikian, masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah: (1) konteks
sosial kultural yang melahirkan wacana tomboi dalam novel anak, (2) representasi ketomboian, dan (2) relasi kuasa tomboi dengan identitas gender lainnya. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Dalam konteks sosial dan kultural yang bagaimanakah, wacana tomboi dalam Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friend Forever diproduksi? (2) Bagaimanakah representasi ketomboian dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friend Forever? (3) Bagaimanakah relasi kuasa tomboi dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friend Forever? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengungkapkan dan menjelaskan konteks sosial kultural yang memungkinkan diproduksinya wacana tomboi dalam Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friend Forever. (2) Mengungkapkan dan menjelaskan representasi ketomboian dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friend Forever. (3) Mengungkapkan dan menjelaskan relasi kuasa tomboi dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friend Forever. 2. Manfaat Penelitian Secara teoretik, penelitian ini diharapkan berkontribusi dalam pengembangan ilmu sastra, khususnya yang berkaitan dengan kajian wacana feminis dalam memahami fenomena kemunculan wacana tomboi dalam novel anak di Indonesia, yang ditulis oleh penulis anak-anak.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah mengungkapkan adanya hubungan antara keberadaan sastra dengan fenomena-fenomena yang berkembang dalam suatu masyarakat, yakni persoalan tomboi dalam novel anak di Indonesia. Oleh karena itu, secara praktis, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana konteks sosial kultural yang memungkinkan lahirnya wacana tomboi, representasi ketomboian dalam novel anak serta relasi kuasa tomboi dengan identitas gender lainnya. D. Tinjauan Pustaka Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, kajian wacana yang membahas masalah tomboi dalam novel anak di Indonesia sepanjang penelitian ini dilakukan, belum ditemukan. Kajian terhadap sastra anak yang dilakukan selama ini sebagian besar fokus pada permasalahan struktur karya dan eksistensi tokoh laki-laki atau perempuan, dengan menggunakan perspektif struktural, pragmatik, poskolonial, dan kritik sastra feminis. Kajian ilmiah terhadap representasi
gender dalam bacaan anak, misalnya, pernah
dilakukan oleh Soelistyarini (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Representasi Gender dalam Cerita-Cerita Karya Penulis Anak Indonesia Seri KKPK. Penelitian ini mengungkapkan praktek gender sebagai konstruksi sosial dan representasi budaya dalam sastra anak. Menurut Soelistyarini, penulis anak ini belum lepas dari ideologi patriarki yang mempromosikan peran gender tradisional yang mendefinisikan laki-laki lebih unggul daripada wanita. Analisis tentang peran agen sosialisasi gender yang meliputi orang tua, masyarakat dan media menunjukkan bahwa mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk persepsi jender pada anak-anak. Representasi gender dalam karya anak-anak ini, bagi Soelistyarini, dinilai berperan serta dalam mereproduksi dan melegitimasi peran gender tradisional yang mencerminkan pandangan masyarakatnya, membentuk sikap dan persepsi mengenai perilaku gender yang tepat dalam masyarakat tempat mereka tumbuh.
Kajian relasi kuasa yang berkaitan dengan persoalan gender pernah dilakukan oleh Nur Wulan (2009), Sendjaja (2003), dan Sarumpaet (2002). Sednjaja dkk dalam penelitiannya yang berjudul Reaktualiasasi Cerita Anak-Anak : Eliminasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Media Anak-Anak Indonesia memetakan pola kekerasan terhadap perempuan dalam cerita anakanak di media massa cetak anak-anak Indonesia dengan unit analisis karakter tokoh manusia dalam cerita anak-anak pada keseluruhan majalah anak-anak yang terpilih sebagai sampel penelitian dengan menggunakan teori patriarkisme, ideologi kapitalisme, teori kekerasan, dan misoginisme. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, Sendjaja dkk menyimpulkan bahwa dalam cerita anak-anak dalam berbagai majalah anak-anak yang diteliti ternyata memuat perilaku kekerasan personal secara fisik, psikologis, seksual, dan finansial terhadap tokoh perempuan. Kekerasan semacam itu juga ditangkap oleh pembaca anak-anak. Sedangkan secara kultural, kekerasan terhadap perempuan dijumpai pada pemberian peran terbatas sebagai pelaksana fungsi reproduksi di rumah sebagai ibu rumah tangga. Ditengarai, ideologi patriarki berada di balik semua bentuk kekerasan terhadap perempuan tersebut. Selain itu, hasil penelitian Sendjaja dkk membuktikan bahwa keinginan para pengelola media anak-anak untuk menjadikan majalah mereka sebagai basis panduan nilai-nilai moralitas tertentu bagi anak-anak, entah disadari atau tidak, telah menempatkan informasi yang berisi kekerasan terhadap perempuan melalui berbagai cerita yang mereka muat sebagai komoditas industri tersendiri. Peningkatan bentuk-bentuk kekerasan tertentu terhadap perempuan mengindikasikan akan kepentingan ekonomis tersebut. Dengan lain perkataan, visi kultural para pengelola media anak-anak itu ternyata kalah dengan kepentingan ekonomi politik untuk menjual komoditas informasi yang makin melanggengkan kepentingan ideologi kapitalisme. Persoalan maskulinitas dan relasi kuasanya dalam sastra anak Indonesia zaman kolonial diangkat oleh Nur Wulan dalam ringkasan hasil penelitian disertasinyanya, “Masculinites in
Colonial Indonesian’s Children Literature”, yang dimuat dalam jurnal explusultra vol 1, September 2009. Nur Wulan menyoroti bagaimana gagasan menjadi seorang lelaki digambarkan dalam bacaan untuk anak-anak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Balai Pustaka dinilai berperan penting dalam mendirikan bacaan anak. Nur Wulan menyoroti beberapa novel yang terbit di era Balai Pustaka, yakni Anak Desa (1930) dan Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo (1936), dan Anak Nelajan (1930) karya Sidi Haroen. Ketiga penulis itu berasal dari Minang, yang menurut Nur Wulan memiliki peran penting dalam membentuk cerita novel tersebut. Cerita-cerita anak terbitan Balai Pustaka menurut Wulan diilhami oleh
cerita Barat,
misalnya Tom Sawyer (seperti yang terlihat dalam Si Samin dan Si Doel Anak Betawi), Oliver Twist (seperti yang dapat dijumpai dalam Si Djamin dan Si Djohan). Kesamaan dari karya-karya itu adalah adanya identitas maskulinitas dalam tokoh protagonis (Wulan, 2009:17). Selain identitas maskulin dalam sastra anak terbitan Balai Pustaka, Wulan juga menemukan bahwa identitas tersebut ditemukan dalam sastra anak berbahasa Jawa, antara lain Kantja Anjar dan Botjah ing Goenoneng karya M Soeratman Sastradiarja (1928 dan 1929), dan Tig lan Tor karya Sasrasoetiksna (1919). Kesamaannya terletak pada tokoh protagonis, setting, dan penggunaan bahasa (Wulan, 2009:12) yang menggambarkan aristokrasi priyayi Jawa, dengan adanya hirarki bahasa. Dalam Tig lan Tor, ceritanya berpusat pada seorang priyayi muda yang memiliki kawan seorang penggembala ternak, yang disebut Bocah Angon. Bocah Angon ini adalah “The Other” bagi Tig dan Tor. Ditampilkannya identitas subjek maskulinitas dalam Balai Pustaka, menurut Wulan (2009:16) adalah bentuk pematuhan dan usaha untuk meyakinkan protagonisitas lelaki, dengan segala sifat ketegasannya. Pembentukan karakter tersebut penting untuk menerapkan kebijakan politik penjajah Belanda dan menerapkan maskulinitas dalam komunitas lokal yang dimaksudkan teks.
Dalam makalahnya yang berjudul Sastra dan Anak: Penjajah dan Taklukannya (2002), Riris K Toha Sarumpaet mengkaji kumpulan cerpen Warisan untuk Anto (1998). Menurut hasil penelitiannya, cerpen-cerpen dalam kumpulan tersebut menunjukkan bahwa anak-anak merupakan gambaran tokoh yang dimanfaatkan orang dewasa, penjajah yang memerlukan taklukannya, yakni Sang Lain. Persoalan ketomboian dalam bacaan anak di Indonesia tidak mudah dilacak jejaknya. Berdasarkan penelusuran awal melalui media internet di perpustakaan-perpustakaan PTN/PTS yang terjangkau, belum diketemukan bahasan ilmiah terhadapnya, khususnya dalam objek material novel anak. Artikel ilmiah yang mengangkat persoalan tomboi sebagai bahasan di dalamnya antara lain terdapat dalam "It's stupid being a girl!"The Tomboy Character in Selected Children's Series Fiction (Cynthia Mei-Li Chew, 2008), Heteronormative Heroism and Qeering The School Story in J.K. Rowling's Harry Potter Series (Tison Pugh and David L. Wallace, 2006), Queering Eearly Childhood Practices: Opening Up Possibilities With Common Children's Literature (Jill-HermannWilmarth and Mariana Souto-Manning, 2007), Tomboys and Sissy Girls: Young Girl's Negotiations of Femininity and Masculinity (Kerry Robinson, 2007), A Three Generational Study of Tomboy Behaviour (Betsy Levonian Morgan, 1998), dan Discourses of Masculinity and Femininity in The Hunger Games: S" carred,""Bloody,"and "Stunning"(Vera Woloshyn dkk, 2013). Dalam penelitiannya yang berjudul Discourses of Masculinity and Femininity in The Hunger Games: "Scarred,""Bloody,"and "Stunning" Woloshyn dkk (2013:150-160) melakukan telaah terhadap trilogi The Hunger Games dengan menggunakan analisis wacana feminis. Dalam penelitiannya tersebut, Woloshyn dkk menemukan adanya tokoh laki-laki dengan “marginalized masculinites” yang direpresentasikan melalui tokoh Peeta. Tokoh Peeta adalah representasi dari karakter laki-laki yang digambarkan subordinat oleh mereka yang menjadikan maskulinitas sebagai
hegemoni, seperti yang diidealkan dalam masyarakat yang heteronormatif. Representasi Peeta sebagai tokoh yang termarjinalkan maskulinitasnya tampak dengan karakter individunya sebagai orang yang mencintai damai dan setia terhadap orang yang dicintainya. Peeta juga direpresentasikan sebagai korban dan seseorang yang secara fisik lemah dibanding yang lainnya. Tokoh Peeta tidak pernah bermaksud melukai yang lain, melainkan hanya sebagai bentuk pertahanan diri untuk melindungi Katniss dan dirinya sendiri. Selain itu, tokoh Peeta merasa keberatan dengan operasi militer Gale (tokoh dengan hegemonik maskulinitas yang kuat, pembanding tokoh Peeta), senantiasa menolak kekerasan, dan melukai orang yang tak bersalah (Woloshyn, 2013:153). Dalam "It's stupid being a girl!"The Tomboy Character in Selected Children's Series Fiction, Cythia Mei-Li Chew mengeksplorasi representasi dan evolusi karakter tomboi dalam novel fiksi anak berseri. Chew memfokuskan analisisnya pada elemen sastra seperti plot, karakterisasi dan struktur naratif, begitu juga dengan latar belakang penerbitan dan konteks kultural dari teks yang dianalisis. Chew menyimpulkan, pada tokoh tomboi Ethel May dalam The Daisy Chain-nya Charlotte Yonge --meski Ethel tidak disebut tomboi-- Ethel digambarkan sebagai tokoh yang tomboi dan mengalami masalah saat mengalami masa gadis atau kewanitaan. Dalam novel seri keluarga March --Little Women, Little Men, dan Jo's Boys-- karya Loisa Maria Alcott, Chew menyatakan bahwa kisah Jo yang tomboi bisa diinterpretasikan penuh instruksi dan subversif. Jo berhadapan dengan standar konvensional femininitas dalam rangka menjadi seorang istri. Namun hal ini dapat dipahami, mengingat konteks pada masa itu yang memanfaatkan bacaan anak sebagai sarana pendidikan nilai-nilai yang dianggap sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku. Di novel karya Laura Ingalls Wilder, Chew menemukan bahwa karakter tokoh Laura
yang tomboi diturunkan dari tokoh ayah Laura. Namun, pada akhirnya tokoh Laura ini mengalami 'pendisiplinan tubuh'. Chew juga melakukan analisis terhadap dua novel misteri yang populer di Amerika, The Nancy Drew Mystery Stories dan The Trixie Belden Mystery. Dalam The Nancy Drew Mystery Stories, karakter George Fayne lama kelamaan di-demaskulinkan. Ketomboian tokoh tersebut di akhir cerita tersebut dikurangi. Sebaliknya, ketomboian dalam novel Trixie Belden dimapankan dan disoroti dalam enam buku seri pertama. Menurut Chew (2008:399), tokoh Georgina dalam The Famous Five karya Enid Blyton adalah tokoh tomboi yang paling ekstrim sebab menunjukkan penolakan yang sangat kuat terhadap femininitas dan paling menunjukkan performans maskulinitas. Selain kajian ketomboian dalam novel seri untuk anak, kajian tokoh tomboi dalam kaitannya dengan heteronormativitas dapat ditemukan dalam artikel Heteronormative Heroism and Qeering The School Story in J.K. Rowling's Harry Potter Series karya Tison Pugh and David L. Wallace. Pugh dan Wallace menyatakan bahwa sekolah sihir Hoghwarts dan dunia sihir yang terbangun dalam struktur cerita Harry Potter karya JK Rowling sarat akan nilai-nilai heteronormativitas. Meski tanpa terang-terangan tidak homofobis atau seksis, buku Harry Potter juga tidak mengilustrasikan petunjuk untuk patuh terhadap heteronormativitas bagi pembacanya, agar memiliki peran seks yang normatif secara kultural. Menurut Pugh dan Wallace (2006:275), novel seri Harry Potter tidak memunculkan seorang tokoh yang mempelajari seksisme dan heteroseksisme di dalam kehidupan. Sebaliknya, efek dari heroisme heteronormativitas banyak ditemukan dan dirasa cukup mengganggu: identitas seksual yang non-normatif tidak ada, kemungkinan pembacaan afirmasi-queer masih problematis, perempuan dan anak perempuan dihadirkan dalam peran kepatuhan dan telah diseksualiskan. Selain kajian tomboi dalam teks-teks kesastraan, penelitian ini menemukan ada satu
artikel ilmiah yang mencoba membawakan teks ke dalam kehidupan praktis anak-anak dengan kacamata queer. Melalui studi terhadap tiga teks sastra anak, Jill Hermann-Wilmarth dan Mariana Souto-Manning mengeksplorasi kemungkinan praktik queer di masa kanak dan menggambarkan implikasi berbagai kemungkinan serta merangkul keadilan sosial sesuai dengan konteks anak usia dini. Hermann-Wilmarth dan Souto-Manning menganalisis Three Little Pigs (Disney, 1933/1948), The True Story of The 3 Little Pigs (Scieszka, 1989) dan The Three Pigs (Wiesner, 2001). Menurut mereka, pembacaan queer menawarkan pencerahan mengenai performans identitas dan ekspektasi. Dengan menggunakan tiga teks itu, guru dan murid dapat menelaah bagaimana suatu identitas digambarkan. Daripada mencari perbedaan teks, menurut mereka berdua, pendidik dapat memperkaya siswa untuk membicarakan bagaimana tokoh srigala dalam cerita Scieszka, atau para babi di cerita yang ketiga, yang cukup berbeda dengan cerita pertama. Guru kemudian dapat bertanya mengenai harapan dari anak perempuan dan laki-laki. Diskusinya dapat diperluas ke persoalan identitas yang ada di sekolah dan lingkungan sekitar mereka. Hal ini, menurut HermannWilmarth dan Souto-Manning (2007:13), dapat membantu siswa dan guru mendiskusikan sebuah apresiasi bagaimana setiap orang dapat menunjukkan identitas yang berbeda, dan bagaimana performans mereka memperkaya komunitas, daripada sekadar mengajarkan kepada anak-anak untuk bertoleransi terhadap perbedaan itu. Cerita mengenai perempuan yang tomboi dapat lebih mudah ditemukan pada ceritacerita yang bertokoh anak-anak. Hal ini dapat dipahami apabila kita melihat pada penelitian Kerry Robinson, Tomboys and Sissy Girls: Young Girl's Negotiations of Femininity and Masculinity (2007). Robinson menyatakan alasan yang kuat, mengapa masa kanak disebut sebagai masanya queer. Pada saat itu, terhadi peralihan yang alami dari identitas gender, dan bagaimana anak-anak mengambil maskulinitas dan femininitas pada hal tertentu di suatu waktu. Melalui pemahaman
masa kanak sebagai masa dan waktu queer, Robinson mengeksplorasi beberapa cara yang dilakukan anak untuk melawan wacana, memungkinkan mengambil subjektivitas gender yang berbeda. Kerangka berpikir seperti ini menghasilkan cara untuk memahami bagaimana agensi anak berkaitan dengan gender performans dapat menghasilkan rasa percaya diri dalam kehidupan anak. Tidak ada rasa kepanikan pada anak-anak perempuan ketika menunjukkan maskulinitasnya, dibandingkan anak laki-laki yang menunjukkan femininitasnya (Robinson, 2007:29). Menurut Robinson, pilihan-pilihan tersebut akan berubah seiring anak-anak tumbuh menjadi dewasa. Pemahaman akan penelitian Kerry Robinson ini dapat dikuatkan dengan penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Betsy Levonian Morgan pada tahun 1998 yang berjudul A Three Generational Study of Tomboy Behaviour. Penelitian Morgan melibatkan 521 perempuan (pelajar, ibu, dan nenek), usia antara 17-94 tahun, melibatan 87% Euro-Amerika, 6% orang Amerika asli, 3% Hispanik, dan 2% Asia-Amerika. 60% responden mengalami tomboi pada masa kanak-kanak mereka. Ketomboian mereka terjadi pada usia 5 hingga 12 tahun. Sikap ketomboian itu antara lain, menurut para responden, ditunjukkan dengan keterlibatan secara aktif mereka di dunia olah raga, permainan di luar ruangan, permainan anak laki-laki, perilaku seperti laki-laki, bermain peran seperti laki-laki, dan berkawan akrab dengan laki-laki (1998:796). Dalam penelitiannya, Morgan menemukan faktor-faktor yang menghentikan seseorang dari sikap tomboinya. Teman sepermainan,
ketertarikan terhadap lawan jenis (laki-laki),
perkembangan, keluarga, dan transisi masa sekolah adalah beberapa faktor yang 'memaksa' mereka untuk berhenti menjadi tomboi (Morgan, 1998:795). Penelitian Karakter Tomboi dalam Novel Anak Tomboy Girl, My First Make Up, Best Friends Forever, dan Kado untuk Ummi yang dikaji dengan analisis wacana feminis tentu memiliki perbedaan yang cukup signifikan terhadap kajian-kajian yang telah disebutkan sebelumnya.
Pertama, penelitian ini mengkaji ketomboian dalam novel anak di Indonesia yang ditulis oleh penulis anak. Kedua, penelitian ini memperhatikan aspek teks dan konteksnya, ditunjukkan dengan analisis representasi dan relasi kuasa tokoh tomboi di dalam novel, sekaligus analisis terhadap latar belakang sosial kultural produksi wacana tomboi di Indonesia. Ketiga, penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Robinson dan Morgan merupakan penelitian yang akan memperkaya penelitian ini. Khususnya, untuk memahami mengapa ketomboian muncul pada masa kanak. Keempat, penelitian ini akan memperkaya kajian queer dalam novel anak Indonesia.
E. Landasan Teori Untuk membahas karakter ketomboian dalam novel anak yang difokuskan pada representasi, relasi kuasa, dan latar belakang sosial kultural yang melatarbelakangi munculnya wacana tomboi dalam novel anak Tomboy Girl, My First Make Up, Best Friends Forever, dan Kado untuk Ummi, penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk mengkajinya. Teori itu antara lain teori representasi Stuart Hall, teori Queer Judith Butler, dan analisis wacana feminis. 1. Teori Representasi Makna dan bahasa dihubungkan dengan budaya melalui representasi. Secara singkat, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997:16). Representasi merupakan produksi makna dari konsep-konsep yang ada di pikiran melalui bahasa. Hubungan antara konsep dan bahasa inilah yang memungkinkan terjadinya ‘pengarahan atau penunjukan’ baik kepada dunia ‘nyata’ mengenai objek, orang, atau peristiwa, atau dunia imajiner dari objek, orang, dan peristiwa yang fiksional. Ada dua sistem representasi. Dinamakan sistem representasi karena representasi tidak hanya berkaitan dengan konsep yang sifatnya individual melainkan beragam cara dalam
mengarahkan, mengatur, mengelompokkan, dan mengklasifikasikan konsep, dan menetapkan relasi yang kompleks di antara mereka. Sistem yang pertama adalah ‘sistem’ di mana semua objek, orang, dan peristiwa berkaitan dengan seperangkat konsep atau representasi mental yang dibawa dalam kepala kita. Makna suatu konsep bergantung pada dunia –orang, peristiwa, nyata atau fiksional—dan sistem yang konseptual, yang dapat beroperasi sebagai representasi mental (Hall, 1997:18). Sistem representasi yang kedua adalah bahasa. Bahasa merupakan sistem representasi yang terlibat dalam semua proses pembentukan makna (Hall, 1997:18). Tanda adalah istilah yang digunakan untuk kata, suara, atau citraan yang membawa makna. Tanda tersebut berfungsi untuk merepresentasikan makna atau relasi konseptual dan membuat sistem pemaknaan dalam suatu budaya. Suara, kata, citra atau objek yang berfungsi sebagai tanda, dan diatur dengan tanda lain melalui sebuah sistem yang mampu membawa dan mengekspresikan maknanya, disebut ‘bahasa.’ Dalam kaitannya dengan proses pemaknaan dalam budaya, Hall menyatakan ada dua proses, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. At the heart of the meaning process in culture, then, are two related ‘systems of representation.’ The first enables us to give meaning to the world by constructing a set of correspondences or a chain of equivalences between things –people, objects, events, abstract ideas, etc- and put system of concepts, our conceptual maps. The second depends on constructing a set of correspondences between our conceptual map and a set of signs, arranged or organized into a various languages which stand for or represent those concepts. The relation between ‘things’, concepts and signs lies at the heart of the production of meaning in language. The process which links these three elements together is what we call ‘representation’ (Hall, 1997:19). Berdasarkan penjelasan Hall di atas, proses yang pertama adalah kemungkinan pemaknaan dengan membangun seperangkat peta konseptual. Proses berikutnya bergantung pada bagaimana kita membagun peta konseptual dengan seperangkat tanda yang diatur dalam keragaman bahasa untuk merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Relasi antara ‘sesuatu’, konsep, dan tanda inilah yag mempengaruhi produksi makna. Proses yang menghubungkan ketiga hal itu lah, yang menurut
Hall, disebut sebagai representasi. Budaya berbagi peta konseptual, sistem bahasa, dan kode yang mengatur hubungan pemaknaan di antara ketiga hal itu. Kode menstabilkan hubungan antara konsep dan tanda. Pemaknaan itu sendiri dikonstruksi, diproduksi, dan tidak hadir dengan sendirinya. Praktik pemaknaan inilah yang menghasilkan makna. Dalam pendekatan konstruksionis, representasi berarti sebuah praktik, sebuah ‘kerja’ yang menggunakan objek material dan memiliki pengaruhnya. Namun, maknanya bergantung pada fungsi simboliknya (Hall, 1997:25-27). Pemaknaan bergantung pada relasi antara tanda dan konsep yang ditentukan oleh sebuah kode. Karenanya, makna bersifat relasional. Pemaknaan itu sendiri melibatkan interpretasi. Wacana dapat dikatakan sebagai sebuah sistem representasi. Sebab, makna dan praktik pemaknaannya dikonstruksikan melalui wacana. Sesuatu memiliki makna dalam sebuah konteks historisnya. Wacana menghasilkan bentuk pengetahuan, objek, subjek, praktik pegetahuan yang dapat berbeda dari waktu ke waktu. Ketomboian yang muncul dalam novel anak melibatkan suatu sistem representasi mengenai bagaimana ketomboian dikonstruksikan dalam sebuah wacana, melalui bahasa verbal maupun visual. Dalam analisis wacana feminis, kajian representasi ketomboian diperlukan untuk mengetahui pengetahuan mengenai ketomboian apa saja yang dihadirkan dalam teks dan apa yang tidak dihadirkan di dalamnya. Citra yang terefleksi mengenai ketomboian atau tokoh yang tomboi dalam novel anak mungkin saja memberikan informasi mengenai bagaimana nilai-nilai ketomboian atau permasalahan yang berkaitan dengan ketomboian yang direpresentasikan dari dunia nyata. 2. Teori Queer Dalam pemahaman Butler, gender tidak otomatis berasal dari jenis kelamin. Baik gender
maupun jenis kelamin, menurut Butler, adalah fiktif. Artinya, keduanya dibentuk dalam praktik diskursif maupun nondiskursif. Gender merupakan performatif sekaligus produk wacana. Disebut sebagai performatif karena gender memerlukan
pertunjukan yang diulang-ulang. Repetisi ini
sekaligus merupakan pemeragaan sekaligus pengalaman kembali dari seperangkat makna yang sudah mapan secara sosial (Butler, 1999:178-179). Pemeragaan kembali atau pengulangan-pengulangan itu jamak dan ritual yang biasa dilakukan untuk mendapatkan legitimasi dari lingkungan sosial mereka. Performan ini dipengarui oleh tujuan strategis pengaturan gender dalam masyarakat yang menganut sistem binari gender. Dalam cara ini, gender adalah sebuah identitas yang lemah, dibentuk dalam sebuah lingkungan melalui pengulangan perilaku yang dibuat-buat. Gender merupakan performatif karena tidak memiliki 'kenyataan sama sekali'. Gender merupakan efek dari 'keputusan wacana publik dan masyarakat' yang membutuhkan pengulangan tanpa henti dari berbagai lakuan gender/gaya yang membuatnya tampak nyata/kekal/benar dalam hidup kita, dengan melakukan pengulangan-pengulangan (Beasley, 2005:102). Secara lengkap, dalam bukunya yang berjudul Gender Trouble, Butler menyatakan seperti berikut. Such acts, gestures, enacments, generally construed, are performative in the sense that the essence or identity that they otherwise purport to express are fabrication manufactured and sustained through corporeal signs and other discursive means. That the gendered body is performative suggests that it has no ontological status apart from the various acts which constitute its reality. This also suggests that if that reality is fabricated as an interior essence, that very interiority is an effect and function of fantasy differentiates inner from outer, and so institutes the “integrity” of the subject. In other words, acts and gestures, articulated and enacted desires create the illusion of an interior and organizing gender core, as an illusion discursively maintained for the purposes of the regulaton of sexuality within the obligatory frame of reproductive heterosexuality. (Butler, 1999:173) Berdasarkan kutipan di atas, Butler menjelaskan bahwa perilaku, gesture, pengundang-
undangan itu semuanya dapat ditafsirkan sebagai performatif, sebab esensi atau identitas yang diekspresikan sebenarnya adalah bentuk fabrikasi semata, dan dipelihara melalui tanda dan alatalat diskursif lainnya. Hal ini juga menyaran bahwa realitas sebenarnya hanya fabrikasi. Bahasa, perilaku, gestur diartikulasikan untuk menciptakan ilusi dan mengatur gender untuk tujuan regulasi seksualitas dalam kerangka reproduksi heteroseksualitas. Gender merupakan sebuah 'fabrikasi' atau buatan saja. Karenanya, 'identitas' merupakan sebuah 'fantasi',
yang diimajinasikan dan dilakukan sebagai sebuah kenyataan yang tak
tergantikan. Dalam teori Butler, gender merupakan hasil dari performativitas. Performativitas yang dimaksudkan di sini adalah bahwa apa yang disebut sebagai maskulin, feminin, atau homoseksual adalah bukan sesuatu yang ada. Namun, telah ada pada kondisi sebelumnya dan diulang-ulang nilainya hingga menjadi aturan yang tak tertulis dalam masyarakat, dan diyakini kebenarannya secara taken for granted. Jadi, ketika seorang perempuan berlaku ‘feminin’, misalnya, sebenarnya dia hanya melakukan atau menunjukkan apa yang telah ada atau ditunjukkan oleh masyarakat sebelumnya. Tugas kritikus feminis menurut Butler adalah untuk menegaskan kemungkinankemungkinan intervensi dengan menelaah praktik repetisi yang membentuk identitas dan tetap menghadirkan perlawanan-perlawanan terhadapnya (Butler, 1999:188). Tugas ini memerlukan genealogi kritik terhadap naturalisasi seks dan tubuh. Dengan memulai analisis politis terhadap heteroseksualitas, perlu dipertanyakan pula bagaimana konstruksi seks dalam hirarki yang binari. Dari sudut pandang gender sebagai suatu ketetapan, pertanyaan dapat diperluas menjadi ketetapan identitas gender yang ada dan diekspresikan dalam masyarakat. Istilah queer muncul dari adanya pertanyaan mengenai stabilitas dan variabilitas dalam performativitas. Istilah queer merupakan salah satu praktik linguistik yang tujuannya adalah untuk
mempermalukan subjek atau menghasilkan subjek melalui interpelasi yang memalukan. Kekuatan queer justru berasal dari seruan yang menghubungkannya dengan tuduhan, patologisasi, dan penghinaan. Ini diserukan dalam masyarakat yang homofobis dari waktu ke waktu. Gender sebagai performativitas memiliki nilai historis dalam suatu masyarakat, tidak hanya yang telah ada sejak dahulu tapi yang telah menjadi kebiasaan, dan nilai historis tersebut secara efektif mempengaruhi pandangan subjek sebagai suatu identitas yang dinyatakan dalam masyarakatnya. Hal ini juga berarti bahwa istilah yang digunakan untuk mempolitisasi identitas kadang kala memerlukan perlawanan terhadap bentukan historisnya. Orang yang mempertanyakan hal itu kadang kala disebut orang yang sedang mendepolitisasi teori. Genalogi kritik terhadap subjek yang mengkaji bentukan dan pengeksklusifan relasi kuasa melalui bentukan wacana inilah yang menjadi inti dari teori queer (Butler, 1993:227). Queer merupakan situs kontestasi dari refleksi historis dan gambaran masa depan. Quer sendiri menurut Butler merupakan istilah yang tumpang tindih. Ketumpangtindihan dalam istilah queer menurut Butler: In some context, the terms appeals to a younger generation who want to resist the more institutionalized and reformist politics sometimes signified by “lesbian and gay”, in some context, sometimes the same, it has marked a predominantly white movement that has not fully addressed the way in which “queer” plays –or fails to play—within non-white communities and whereas in some instances it has mobilized a lesbian activism,” in other term represents a false unity of women and men. (Butler, 1993:228) Menurut Butler, dalam beberapa konteks istilah queer seperti mengacu pada generasi muda yang ingin melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang telah diinstitusionalkan, sebuah gerakan politis yang kadang dihubungkan dengan ‘lesbian dan gay’. Namun dalam konteks yang lain, queer kadang dimaknai sebagai gerakan komunitas kulit putih dan aktivisme lesbian. Kadang queer juga merepresentasikan penyatuan yang palsu antara laki-laki dan perempuan.
Politik dekonstruksi queer memungkinkan kita untuk mempertimbangkan apa yang telah dikorbankan dan apa yang menjadi tujuan digunakannya istilah tersebut, dan melalui relasi kuasa seperti apa kategori-kategori yang telah ada itu dibuat. Inti dari studi queer adalah bahwa kajian queer mengisyaratkan penyelidikan terhadap pembentukan homoseksualitas dan perubahan atau penyalahgunaan kuasa yang berkaitan dengan istilah tersebut. Seseorang tidak akan pernah cukup menguasai idealisme identitas yang dipaksakan terhadanya, karenanya memerlukan proses yang senantiasa diulang-ulang. Norma gender yang dijalankan membutuhkan perwujudan ideal dari femininitas dan maskulinitas, identitas yang selalu dihubungkan dengan idealisasi dalam ikatan heteroseksual. Femininitas bukan produk dari pilihan, namun sebutan yang dipaksakan dari suatu norma, yang dalam kesejarahannya tak dapat dipisahkan dari relasi disiplin, regulasi, dan hukuman. Teori queer merupakan praktik pemaknaan ulang akan ‘queer’ sekaligus kontestasi terhadap legitimasi seksual (Butler, 1993:232). Teori queer menentang siapa saja yang mengatur identitas atau menetapkan klaim epistemologis. Teori queer tidak hanya merambah pada komunitas berbasis aktivisme antihomofobis, melainkan untuk melawan bahwa seksualitas bukan hal yang mudah untuk disimpukan atau disatukan melalui kategorisasi (Butler, 2004:7). Gender adalah aparatus di mana produksi dan normalisasi maskulin dan feminin berada bersamaan dengan persoalan hormonal, kromosomal, psikis, dan performatif yang diharapkan oleh suatu gender (Butler, 2004:42). Gender adalah suatu mekanisme di mana gagasan mengenai maskulin dan feminin diproduksi dan dinaturalisasikan. Gender mungkin juga menjadi aparatus bila istilah tersebut didekonstruksi dan didenaturalisasi. Ketika seseorang dihubungkan dengan ‘gender trouble’ atau ‘gender blending’, ‘transgender’ atau ‘cross-gender’, maka seseorang telah menyaran bahwa gender memiliki cara untuk bergerak dari binari yang dinaturalisasikan.
Kebinarian tersebut tidak bisa dipahami begitu saja di luar kerangka heteroseksual, bahwa gender itu sendiri tidak stabil, bahwa kehidupan transgender adalah bukti dari terpecahnya garis penyebab yang menentukan antara seksualitas dan gender. Yang tidak kalah penting adalah untuk melacak suatu momen dimana sistem binari gender dilawan dan diperdebatkan, dan di mana kategori yang ada dipertanyakan, dan di mana kehidupan sosial gender dapat berubah menjadi lebih lentur dan diubah (Butler, 2004:216). Dengan sudut pandang teori queer, tomboi dapat dimaknai sebagai kontestasi antara nilainilai gender tradisional dan gender masa depan yang dibayangkan (oleh anak-anak). Anak-anak yang dicap tomboi itu mempertanyakan nilai-nilai femininitas dan maskulinitas yang menghegemoni dalam masyarakat mereka yang heteroseksis. Anak-anak yang tomboi acap kali mendobrak norma heteroseksual, mempertanyakan dan berusaha menggoyahkan nilai gender yang ada, dan berusaha merangkul kedua identitas dalam subjek dirinya --meskipun pada akhirnya beberapa di antara mereka ‘menyerah’ pada regulasi gender yang dipaksakan kepada mereka. 3. Analisis Wacana Feminis Perhatian kaum feminis terhadap isu-isu gender yang berkembang di masyarakat juga turut mempengaruhi orientasi kajiannya. Sebagai sebuah teori, feminisme telah mengalami begitu banyak perkembangan.
Perkembangan feminisme dapat dibagi menjadi tiga gelombang.
Feminisme gelombang pertama dimulai pada akhir abad ke-19 sampai tahun 1920an (1880-1920). Feminisme gelombang kedua muncul di akhir tahun 1960an. Ada perbedaan antara feminisme gelombang pertama dan kedua. Feminisme gelombang pertama melobi pemberian hak perempuan melalui hak pilih
(Sommers, 1994:22). Feminis gelombang kedua mulai mengarahkan
perhatiannya pada perlawanan terhadap patriarki, dengan memperhatikan persoalan seks atau gender, memusatkan perhatian pada isu-isu khusus perempuan, seperti hak reproduksi, ibu,
kekerasan seksual, ekspresi seksualitas dan tenaga kerja domestik (Gills, 2004:2). Feminisme gelombang ketiga masih meneruskan isu gelombang kedua, khususnya tentang seks dan gender, namun juga memperhatikan ‘racun’ budaya pop dan media massa. Feminisme posmodern merupakan perkembangan pemikiran feminis gelombang ke tiga. Feminisme posmodern berkeyakinan bahwa 'laki-laki' dan 'perempuan' pada hakikatnya adalah persoalan kategori yang dibentuk melalui wacana (Jackson, 2009:232). Menurut Derrida (via Bryson, 2003:234), meskipun objek dan individu memiliki keberadaan material, namun 'realitas'nya dimediasikan oleh pengalaman dan bahasa. Meskipun kata-kata memungkinkan untuk melihat dunia, namun pemaknaannya selalu berubah, dan dipahami secara berbeda oleh orang yang berbeda, dan di waktu yang berbeda pula. Analisis terhadap cara kata-kata itu digunakan dan pengetahuan tentangnya, pemaknaan, dan budayanya, produksi secara kulturalnya, penting untuk dilakukan. Sebab, kelompok yang dominan akan berusaha untuk mempengaruhi cara mereka melihat dunia kepada semua anggota masyarakat, dan wacananya akan bersifat mengikat, meskipun dapat dilawan atau dinegosiasikan oleh kelompok lainnya. Perlawanan itu terfragmentasi dan bersifat sementara. Penelitian feminis posmodern memiliki ciri adanya tendensi yang kuat untuk masuk ke eksperimen-eksperimen linguistik dan mengeksplorasi narasi sebagai alat untuk mengkritisi narasi utama kekuasaan yang menghegemonik, sekaligus sebagai cara untuk mengartikulasikan pendekatan alternatif untuk menganalisis resistensi dan agensi subjektif (Lykke, 2010:149). Penelitian ini berangkat dari pemikiran feminisme gelombang ke tiga, yang memandang bahwa gender merupakan bagian dari wacana yang keberadaannya dimediasi melalui pengalaman dan bahasa. Karenanya, pemaknaan terhadap gender akan senantiasa berubah, sesuai dengan konteks masyarakat. Sastra sebagai produk masyarakat dapat melakukan representasi atau
konstruksi imaji-imaji yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu (Budianta, 2002:211). Representasi dapat dianggap sebagai ‘medan perang’ kepentingan atau kekuasaan suatu ideologi. Analisis wacana feminis merupakan perkembangan dari analisis wacana. Analisis wacana dapat dipandang sebagai reaksi dari analisis struktural yang lebih fokus pada unit pembentuk bahasa dan struktur kalimat, dan tidak terlalu memperhatikan analisis kegunaan dari bahasa itu sendiri (Mills, 1997:135). Selain dikembangkan dari analisis wacana, analisis wacana feminis juga dipengaruhi oleh pemikiran Foucault mengenai kekuasaan. Teori analisis wacana meyakini bahwa kekuasaan dihadirkan dalam cara-cara yang didesentralisasikan, dilokalisasikan, diwacanakan, dan secara institusional mengalami proses penormalan, maka kekuasaan juga menghasilkan berbagai macam bentuk perlawanan. Wacana terbentuk atas relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan pengetahuan (Mills, 1997:19-22). Kekuasaan adalah sebuah usaha untuk mencegah seseorang melakukan apa yang menjadi kehendaknya dan pembatasan terhadap kebebasan seseorang. Kekuasaan ini menyebar melalui relasi sosial dan menghasilkan perilaku-perilaku yang diperbolehkan atau dilarang. Semua pengetahuan yang diperoleh individu merupakan hasil atau efek dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan tersebut terepresentasi, antara lain dengan hubungan negatif, instansi aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kesatuan perangkat (Foucault, 1997:102-104). Hubungan negatif antara lain berupa penyingkiran, pengabaian, penolakan, penghambatan, dan penyamaran. Dampak dari hubungan negatif adalah pembatasan. Instansi aturan adalah bentuk kekuasaan yang mengatur seorang individu boleh atau tidak melakukan sesuatu. Siklus larangan bertujuan untuk memfungsikan kekuasaan. Alatnya adalah ancaman. Logika sensor untuk menegaskan, menghalangi, dan menyangkal apa yang ada demi langgengnya kekuasaan. Aturan-aturan tersebut diterapkan merata di segala tataran, dari atas hingga bawah.
Wacana bagi Foucault (1997:125) adalah alat sekaligus dampak kekuasaan, juga hambatan, sandungan, perlawanan, dan awal strategi yang berlawanan. Wacana menyatakan dan menghasilkan kekuasaan, memperkokoh sekaligus mengikisnya, memaparkan sekaligus membuatnya rentan. Menurut Philips (2003:268), kajian wacana gender sebaiknya tetap dikaitkan dengan institusi (yang dipinjamnya dari teori hegemoni Gramsci) untuk mengenali dan memahami bagaimana wacana itu diartikulasikan secara ideologis di berbagai level kehidupan: apakah ada institusi yang lebih berkuasa, berpengaruh, atau menghegemoni ideologi gender ketimbang yang lainnya. Perlu dilihat bagaimana identitas gender dilembagakan oleh adat, norma, atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Analisis wacana feminis mengambil teori Gramsci dalam menilai wacana sebagai hasil dari agensi kelompok sosial dalam memproduksi dan menegosiasi makna. Dengan demikian, wacana mengenai apa yang normal dan tidak bagi perempuan dan laki-laki merupakan hasil dari agensi sosial suatu kelompok sosial. Lehtonen (2007:4-7) menyampaikan beberapa kata kunci dari analisis wacana feminis. Pertama, analisis wacana feminis berorientasi pada kritik. Fokus kritis ini adalah pada penjelasan peran praktik wacana untuk menjaga tatanan sosial dan perubahan sosial. Kedua, analisis wacana feminis mempertimbangkan hubungan antara teks dan konteks sosial kultural. Analisis wacana feminis berupaya menunjukkan hubungan yang mungkin tersembunyi, seperti kaitan antara bahasa, kekuasaan, dan ideologi. Analisis wacana feminis menamai proses ini sebagai demistifikasi atau denaturalisasi asumsi-asumsi ideologis yang memungkinkan perbedaan kekuasaan dan ketaksetaraan. Tujuan analisis wacana feminis bersifat politis, yakni memunculkan kesadaran dan
perubahan sosial melalui kritik wacana. Perhatian utama analisis wacana feminis adalah pada studi empiris mengenai cara-cara gender dikonstruksikan dalam teks dan situasi-situasi tertentu, atau dengan cara bagaimana gender secara diskursif terbentuk. Karena gender tergantung pada konteks sosial kultural, maka analisisnya berpusat pada representasi gender dan relasi kuasa yang tergenderkan dalam situasi teks dan konteksnya yang khas. Tujuan analisis wacana feminis mengkaji representasi adalah untuk melihat apa yang tidak ada dan dihadirkan dalam sebuah teks (Pilcher & Wherehan, 2004:138). Representasi ini penting dikaji sebab citra yang terefleksi melalui tokoh-tokoh mungkin saja tidak sesuai, namun sekaligus dapat memberitahu pembaca mengenai bagaimana nilai-nilai dan permasalahan yang direpresentasikan dari dunia nyata. Konsep representasi di sini diadaptasi dari teori representasi Stuart Hall. Hall (2003:17) menyatakan bahwa representasi adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan kepada anggota masyarakat lainnya. Dalam pemahaman analisis wacana feminis, seseorang dapat menggunakan wacana untuk menciptakan sesuatu: dapat mengambil bagian dalam mengerjakan ulang, atau melawan asumsi yang dibawa wacana. Meski wacana dapat membentuk kehidupan individu, wacana juga dapat dilawan atau diubah oleh individu dalam situasi sosial, institusi, serta struktur yang dibangun oleh wacana. Dengan kata lain, analisis wacana feminis tak hanya tertarik pada upaya mengeksplorasi bentuk-bentuk penindasan, melainkan juga bentuk-bentuk pemberdayaan melalui wacana. Satu hal yang harus dicatat menurut Lehtonen (2007:6), meski tujuan analisis tekstual dalam analisis wacana feminis adalah untuk menjembatani representasi gender atau wacana yang tergenderkan dalam teks dengan konteks sosial kulturalnya,
analisis wacana feminis tidak
bertujuan untuk memprediksi 'respon pembaca' atau menentukan 'niatan penulisnya. Analisis wacana feminis adalah salah satu bentuk analisis wacana yang memfokuskan kajiannya pada persoalan bagaimana gender sebagai suatu wacana dikonstruksi, kekuasaannya tersebar dan senantiasa diproduksi-dinegosiasi atau bahkan di-re-negosiasi oleh kelompok sosial. Analisis wacana feminis bekerja dalam dua tataran. Yang pertama, mikro level atau berangkat dari unit sastra. Kedua, makro level atau dari konteks di luar karya sastra. Dalam analisis wacana feminis, pemaknaannya dilakukan dengan mempertimbangkan mikro dan makro, dilakukan secara berulang, bertingkat, dan bolak-balik. 4. Konsep Sastra Anak Konsep sastra anak cukup beragam. Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2005:5) menyatakan bahwa sastra anak dipahami sebagai bacaan yang menyajikan citraan dan atau metafora kegiatan, yang berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak. Pendapat Saxby tidak secara jelas menyebutkan, apakah bacaan anak harus ditulis oleh penulis anak atau orang dewasa. Pendapat Saxby di atas berbeda dengan pendapat Davis yang dirujuk oleh Sarumpaet (2010:2), yang menyatakan bahwa sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak "dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa." Pendapat Davis yang dirujuk oleh Sarumpaet tersebut tentu sudah tidak berlaku lagi di Indonesia. Mengingat, saat ini di Indonesia, penulisan bacaan anak tidak lagi dilakukan oleh orang dewasa, melainkan juga anak-anak. Berbeda dengan Saxby dan Davis, Mitchelle dan Lukens tidak memberikan definisi yang jelas mengenai sastra anak. Dalam bukunya yang berjudul Childrens Literature, An Invitation to
The World, Mitchelle (2003:4) hanya membedakan buku anak dengan sastra anak. Menurutnya, tidak semua yang disebut sebagai buku anak adalah sastra anak. Sastra anak ditandai oleh munculnya isi dan tulisan yang jelas, karakter yang lebih sering memunculkan figur anak-anak, orang yang familiar dengan anak, atau binatang. Selain itu, setting cerita biasanya dikenali dengan baik oleh anak, dan temanya berbicara kepada anak dan perhatian mereka. Mitchelle (2003:6) membagi sastra anak dalam beberapa bentuk, seperti buku bergambar, puisi, sastra tradisional, fiksi realistis dan historis, fantasi modern dan fiksi sain, nonfiksi dan buku informasi, dan yang terakhir biografi. Rebecca J Lukens dalam bukunya yang berjudul A Critical Handbook of Children’s Literature menyatakan bahwa pada hikakatnya tidak ada perbedaan antara sastra anak dan sastra untuk orang dewasa (2003:9). Seperti halnya sastra untuk orang dewasa, sastra anak pun mampu memberikan kesenangan sekaligus pemahaman kepada para pembacanya. Lukens di sini membagi sastra anak menjadi dua genre, yakni fiksi dan nonfiksi. Fiksi dibagi lagi menjadi beberapa genre, antara lain: (1) realisme; yang dibagi lagi menjadi cerita realis, realisme binatang, realisme sejarah, dan cerita olah raga, (2) Fiksi formula; yang dibaginya lagi menjadi cerita detektif dan misteri, cerita romantis, dan buku berseri, (3) Fantasi; yang memiliki sub genre cerita fantastis, fantasi tinggi, dan fiksi sains, (4) Sastra tradisional yang meliputi fabel, cerita rakyat, mitos, cerita legenda dan cerita kepahlawanan, serta cerita epik, dan (5) puisi. Yang termasuk dalam nonfiksi adalah buku informasi dan buku biografi. Selain itu, Lukens juga menambahkan cerita anak klasik sebagai bagian dari sastra anak. Senada dengan Michelle dan Lukens, Lynch-Brown dan Tomlinson (2008:4) juga tidak memberikan definisi yang pasti mengenai apa itu sastra anak. Berdasar klasifikasi buku yang dilakukan oleh guru dan pustakawan, yang membagi buku menjadi tradebook dan textbook,
Lynch-Brown dan Tomlinson menggolongkan sastra anak sebagai bagian dari tradebook. Sastra anak merupakan bagian dari tradebook yang memilki kualitas bagus, memiliki topik yang berkaitan dengan anak-anak, dan yang menyajikan kesenangan, imajinasi, pengalaman, pemahaman dan empati, nilai moral, warisan pemikiran generasi terdahulu, dan memiliki nilai artistik. Melihat kenyataan di Indonesia dan berdasarkan beberapa pendapat yang dapat dihimpun mengenai sastra anak, penelitian ini memegang konsep bahwa 'sastra anak' adalah 'sastra' yang ditulis oleh penulis dewasa maupun anak-anak, yang ceritanya terjangkau oleh anak-anak, dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Selain itu, 'sastra anak' memiliki berbagai manfaat bagi perkembangan personal, bahasa, kognitif, dan sosialnya. Bila diklasifikasikan dalam pembagian genre 'sastra anak' yang dilakukan oleh Lukens dan Michelle, objek material dalam penelitian ini termasuk dalam genre fiksi realis. Fiksi realis sendiri dapat berupa cerpen ataupun novel. Fiksi realis adalah cerita fiksi yang memiliki kemungkinan kesamaan (lifelikeness) dengan kehidupan, tokohnya manusia, permasalahan yang diangkat dalam cerita biasanya berbicara tentang masalah sehari-hari yang dapat memperkaya pemahaman anak-anak mengenai kehidupan, membangun empati kepada orang lain, dan membangun pemahaman terhadap interaksi kepada sesama yang kompleks. Penulis anak yang novelnya dikaji dalam penelitian ini menulis karya mereka pada rentang usia 7-11 tahun atau pada tahapan operasional konkret. Anak-anak pada usia ini mampu mengembangkan kemampuan berpikir sistematis. Kemampuan anak untuk berpikir secara sistematis, abstrak, dan hipotesis semakin matang pada saat dia berada pada tahapan formal operasional (11 tahun – dewasa) (Crain, 2007:171; Hetherington and Parke, 1979:310). Novel-novel anak yang dikaji dalam penelitian ini biasanya ditujukan untuk pembaca
dalam kisaran usia 7 hingga 12 tahun. Penulis anak yang novelnya menjadi objek kajian dalam penelitian ini juga ada dalam rentang usia 8-11 tahun saat menulis novelnya. Ciri bahasa anak usia 8 hingga 10 tahun menurut Tarigan (1995:32-35) adalah mulai dihubungkannya konsep konsep dengan ide atau gagasan-gagasan umum. Meskipun proses penerbitan melibatkan banyak interaksi antara editor, penerbit, penulis, (barangkali juga orang tua penulis anak), namun perlu diyakini bahwa ide atau gagasan yang ada di dalam novel karya penulis anak adalah hasil pemikirannya, dan upayanya untuk mengkonstruksi dunia. Dalam upaya mengkonstruksi dunia itulah, berlangsung proses akomodasi dan asimilasi. Menurut Brooks (2011:500-501), anak pada usia sekolah dasar telah dapat memberikan penjelasan mengenai ketetapan identitas gender dengan cara yang lebih matang dari sebelumnya. Ketika anak-anak mengembangkan sikap mengenai apa yang sesuai dengan gender bagi mereka dan gender lain, mereka menggunakan ketertarikan pilihan mereka untuk menentukan apa yang sesuai bagi mereka sebagai individu. Dengan demikian, apa yang dipersepsikan penulis anak mengenai gender dalam novel mereka, dapat diasumsikan sebagai bagian dari pemikirannya mengenai gender. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Cara kerja penelitiannya diikuti langsung dengan mencatat, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan data (Muhadjir, 1989:43). Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif karena data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data verbal berupa kutipan kata-kata, frase, paragraf, atau wacana (Moleong, 2006:11) dalam novel anak
yang terkait dengan rumusan permasalahan penelitian.
Data-data yang
dikumpulkan adalah data yang menjelaskan persoalan identitas, peran, dan relasi gender dalam
novel anak karya penulis anak yang dikaji. Laporan hasil penelitian berupa kutipan-kutipan data sebagai ilustrasi dan untuk memberikan dukungan atau penjelasan atas apa yang disajikan (Handayani dan Sugiarti:2008:53).
2. Objek Penelitian Objek formal penelitian ini adalah representasi ketomboian dan relasi kuasa tomboi, beserta konteks sosial dan kultural yang memungkinkan diproduksinya wacana tomboi dalam novel anak yang ditulis oleh penulis anak di Indonesia. Objek material penelitian ini adalah Tomboy Girl karya Jonea Christie (2013), My First Make Up karya Shara (2011), Kado untuk Ummi karya Izzati (2006), dan Best Friends Forever karya Putri Salsa (2011). Objek material dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Ada beberapa pertimbangan dalam pemilihan objek tersebut. Pertama, novel yang dipilih adalah novel yang berbicara tentang persoalan anak-anak yang tomboi. Kedua, novel ditulis oleh penulis novel yang masih anak-anak. 3. Sampel Data Berdasarkan pembacaan terhadap novel-novel anak yang ditulis oleh penulis anak, maka didapat beberapa novel yang mengemukakan permasalahan anak tomboi di dalamnya. Novelnovel ini kemudian dipilih berdasarkan teknik purposive, atau teknik pemilihan sampel dengan tujuan tertentu. Dengan teknik ini, diperoleh empat sampel data, yakni novel Tomboy Girl karya Jonea Christie (2013), My First Make Up karya Shara (2011), Kado untuk Ummi karya Izzati (2006), dan Best Friends Forever karya Putri Salsa (2011). Data penelitian ini adalah sekumpulan data verbal yang terdapat di dalam novel anak
(teks) dan konteks produksi sosial kultural novel anak yang diteliti. Data verbal adalah data yang berupa kutipan kata, frase, kalimat, dialog, monolog, atau wacana (Given, 2008:186). Menurut Soeratno (2003:156), pengumpulan data perlu dipertimbangkan eksistensinya sebagai suatu unsur, sehingga korpusnya bersifat parsial dan terbuka. Data dalam penelitian ini adalah segala hal yang berkaitan dengan bagaimana seorang tokoh tomboi direpresentasikan dan bagaimana relasi kuasa tomboi dengan identitas gender lainnya dalam objek material yang dikaji, serta bagaimana konteks sosial kultural yang melatarbelakangi kehadiran wacana tomboi dalam novel anak yang ditulis oleh penulis anak di Indonesia. Sumber data penelitian ini adalah segala informasi mengenai ketomboian dan representasinya, serta relasi kuasanya dengan identitas gender
lainnya. Data mengenai
representasi ketomboain dan relasi kuasanya diperoleh dari data primer, yakni novel Tomboy Girl karya Jonea Christie (2013), My First Make Up karya Shara (2011), Kado untuk Ummi karya Izzati (2006), dan Best Friends Forever karya Putri Salsa (2011). Sedangkan data yang berkaitan dengan konteks sosial kultural yang melahirkan wacana tomboi dalam novel anak tersebut diperoleh dengan tambahan dari data sekunder yang berasal dari teks, jurnal, surat kabar cetak maupun internet. 4. Teknik Pengambilan Data Data berkenaan dengan representasi tokoh tomboi, relasi kuasa tokoh tomboi dengan tokoh lainnya, beserta konteks sosial kultural yang melahirkan wacana tomboi diambil dengan teknik penyimakan secara kritis terhadap informasi yang didapatkan, baik dari novel maupun teks di luar karya sastra. Penyimakan terhadap permasalahan penelitian dilakukan dengan (1) menyimak multiple voices dalam novel anak untuk melihat suara-suara mengenai tokoh tomboi serta pandangan narator mengenai tomboi dalam novel yang dikaji; (2) melakukan interpretasi
dengan melihat hubungan antartokoh dalam micro level; dan (3) mencari aspek-aspek di luar karya sastra untuk melihat bagaimana persoalan tomboi dipersepsi di luar konteks karya sastra. 5. Teknik Analisis Data Seperti yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji persoalan tomboi dalam novel anak melalui analisis wacana feminis. Lehtonen telah membuat sistematika tahapan dalam analisis gender dalam fiksi anak dengan menggunakan analisis wacana feminis atau feminist discourse analysis. Pertama, membaca mikro level untuk melihat permasalahan pertama dan kedua penelitian. Kedua, melakukan pembacaan interdiskursif (membaca teks dengan memahami konteks sosial kulturalnya) dan intertekstual (membaca teks dan melihat keterkaitannya dengan teks/konteks) untuk melihat permasalahan penelitian yang ketiga, yakni konteks sosial kultural produksi novel anak di Indonesia. Pembacaan secara intertekstual ini bukan berarti membaca untuk mencari pre-teks-nya, melainkan untuk memaknai kaitan antara gender, bahasa, dan formasi sosial kulturalnya. Teks di sini juga dapat berupa tulisan dari jurnal, media massa, hasil penelitian, atau buku yang relevan dengan permasalahan penelitian. Pembacaan interdiskursif perlu dilakukan sebab tak mungkin teks dipahami secara terpisah dengan teks yang lain dan konteks sosial kulturalnya.
G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut. Bab 1: Pengantar; menyajikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab 2: Latar belakang sosial kultural produksi wacana tomboi dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friends Forever.
Bab 3: Representasi ketomboian dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friends Forever. Bab 4: Relasi kuasa tomboi dalam novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado untuk Ummi, dan Best Friends Forever. Bab 5. Kesimpulan dan penutup.