1
BAB I PENGANTAR
1.1
Latar Belakang Burung adalah
anggota hewan bertulang belakang (vertebrata)
yang
termasuk ke dalam Kelas Aves. Berdasarkan struktur morfologi dan anatomi tubuh, Kelas Aves memiliki ciri spesifik berupa bulu yang terbuat dari keratin dan bentuk rangka yang memungkinkan untuk terbang (Harrison dan Greensmith, 1993; Storer, 2014). Burung merupakan satwa liar yang mudah ditemukan hampir di setiap lingkungan bervegetasi. Habitatnya dapat mencakup berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem alami hingga ekosistem buatan. Burung merespon perubahan pada lingkungannya dengan cara yang dapat diprediksi. Hubungan sebab-akibat antara perubahan lingkungan dengan populasi burung dapat dilihat secara langsung dan diamati dengan mudah, sehingga burung dapat berperan sebagai bioindikator kualitas suatu tempat. Berbagai jenis burung dapat dijumpai di berbagai tempat terbuka, diantaranya hutan, perkebunan, persawahan, dan perkotaan (Koskimies, 1989; Temple dan Wiens, 1989; Hadinoto et al., 2012). Burung-burung yang hidup liar di kota, yang sering disebut sebagai burung perkotaan, hingga saat ini belum banyak mendapat perhatian dari kalangan pengamat burung. Padahal, burung perkotaan sebenarnya memiliki peranan penting untuk lingkungan kota, diantaranya sebagai penyeimbang ekologis kota,
2
menekan populasi hama pertanian, membantu proses penyerbukan, serta menjadi salah satu objek wisata kota dan sarana pendidikan lingkungan (Jarulis et al., 2005). Salah satu permasalahan yang cukup mengancam keberadaan burung perkotaan adalah semakin berkurangnya jumlah habitat. Hal tersebut terkait dengan pembangunan gedung-gedung maupun permukiman penduduk di wilayah perkotaan yang semakin pesat, sehingga menyebabkan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) semakin berkurang (Rosanna, 2005; Hadinoto et al., 2012; Yuda dan Wisnubharda, 2013). Menurut Prasetijaningsih dan Riyan (2012), RTH adalah bagian dari ruang terbuka, yang merupakan salah satu bagian dari ruang-ruang di suatu kota, yang biasanya menjadi ruang bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan. RTH memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi ekologis, sosial, ekonomi dan estetika (arsitektural). Salah satu contoh fungsi ekologis dari RTH adalah sebagai habitat burung. Selain karena jumlahnya yang semakin berkurang karena terdesak pembangunan, permasalahan yang dihadapi RTH sebagai habitat burung adalah letak dari taman-taman atau hutan kota yang merupakan sumber biota saling terpisah dan tidak ada jalur penghubung hijau yang memadai, sehingga cukup banyak RTH yang terisolasi (Rosanna, 2005; Yuda dan Wisnubharda, 2013). Hal ini menyebabkan pergerakan burung menjadi terbatas dan populasi burung cenderung terkonsentrasi dan terisolasi di satu tempat saja, sehingga kemungkinan adanya overpopulasi (overpopulation) dapat terjadi.
3
Dampak yang ditimbulkan akibat pertambahan populasi satwa di suatu daerah dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak terhadap satwa itu sendiri dan dampak terhadap manusia. Jumlah populasi yang meningkat menyebabkan persaingan untuk bertahan hidup antar individu semakin meningkat. Hal ini salah satunya terkait erat dengan persaingan untuk mendapatkan makanan di area yang terbatas. Populasi yang berlebih juga menyebabkan terganggunya kesejahteraan manusia disekitarnya, misalnya berupa peningkatan pencemaran udara, serangan fisik, risiko penyakit menular, maupun berkurangnya nilai estetika kawasan (Wiens, 1989; Indrawan et al., 2007; Manfredo, 2008).
Kondisi tersebut,
khususnya jika terjadi pada perkotaan, tentu harus ditangani secara serius. Di satu sisi, burung memiliki fungsi penting bagi lingkungannya sehingga perlu untuk dijaga kelestariannya, tapi di sisi lain dapat berdampak negatif apabila terjadi overpopulasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya strategi pengeloaan lingkungan yang disusun berdasarkan kajian kerusakan lingkungan untuk menangani permasalahan populasi burung tersebut secara tepat.
1.2
Permasalahan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di muka, dapat dirumuskan bahwa
kajian strategi untuk menangani populasi burung perlu dilakukan terutama pada daerah yang terindikasi terjadi overpopulasi suatu jenis burung di wilayahnya. Salah satu daerah yang mengalami hal tersebut adalah Kabupaten Sleman, dimana terjadi pertambahan populasi burung cangak abu (Ardea cinerea L.) di beberapa
4
lokasi. Cangak abu adalah salah satu jenis burung yang termasuk kedalam Famili Ardeidae. Cangak abu memiliki ukuran tubuh yang cukup besar dengan tinggi sekitar 90-100 cm dan berat badan dewasa mencapai 1,5 kg. Burung ini dapat ditemukan di Eropa, Afrika, dan Asia, yang hidup di berbagai tipe habitat, seperti savana, kolam, sungai, danau, rawa, dan habitat-habitat lain yang memiliki pohon tinggi yang digunakan untuk bersarang (Jakubas dan Mioduszewska, 2005; Alexander, 2012). Beberapa RTH di Kabupaten Sleman memiliki pohon berstrata tinggi, sehingga cocok sebagai habitat cangak abu. Luas RTH di Kabupaten Sleman saat ini masih terus diupayakan untuk ditambah. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (P2K) Kabupaten Sleman pada 2013, dari luas wilayah yang mencapai 57.842 hektare, hanya 6.148,9 hektare atau sekitar 10% yang masih berfungsi sebagai hutan atau RTH. Untuk menjamin ketersediaan RTH di Kabupaten Sleman, Pemerintah setempat memasukkan penambahan RTH di wilayahnya sebagai salah satu poin dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman Tahun 20112031. Pengelolaann RTH umumnya terhambat karena adanya konversi lahan, belum adanya perencanaan RTH yang baik, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan RTH (Harian Jogja, 2014; BLH DIY, 2014; Tribunjogja, 2014). Kondisi tersebut menyebabkan populasi cangak abu di Kabupaten Sleman cenderung terkonsentrasi di satu titik RTH saja, salah satunya di Arboretum Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (Arboretum UGM). Populasi cangak abu di Arboretum UGM terindikasi semakin bertambah sejak tahun 2000an. Populasi cangak abu di lokasi itu semakin dirasa mengganggu oleh masyarakat
5
sekitar. Salah satu hal yang paling dikeluhkan adalah feses burung yang semakin banyak menutupi Arboretum dan jalan-jalan disekitarnya. Bau feses yang menyengat menjadi hal yang mengganggu bagi siapa saja yang berjalan di sekitar kawasan tersebut, mengingat kawasan tersebut adalah bagian dari kawasan publik. Setyoaji (2013) dalam penelitiannya tentang persepsi masyarakat terhadap keberadaan cangak abu di Arboretum UGM, memperlihatkan bahwa 76,67% dari total responden berpendapat bahwa keberadaan cangak abu dirasa sangat mengganggu terutama akibat bau fesesnya. Selain bau feses yang mengganggu aktivitas masyarakat disekitar kawasan tersebut, Sudarmoko (2013) menjelaskan bahwa keberadaan cangak abu telah memengaruhi keseimbangan ekosistem. Pertumbuhan populasi cangak abu yang sangat cepat telah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga jenis burung ini mendesak populasi burung lain meninggalkan Arboretum UGM. Guna mengatasi hal itu, pihak UGM telah melakukan pemangkasan beberapa pohon di Arboretum UGM. Pohon yang dipangkas adalah pohon yang menjadi tempat sebagian cangak abu bersarang. Hal ini dilakukan dengan harapan sebagian cangak abu akan berpindah ke Kebun Biologi UGM atau hutan di Lembah UGM, sehingga burung-burung jenis lain dapat kembali hidup dan keanekaragaman hayati akan pulih lagi. Langkah tersebut sebenarnya cukup efektif untuk menyelesaikan permasalahan dalam jangka waktu pendek, namun tidak untuk jangka waktu yang panjang. Peningkatan populasi pada suatu tempat dapat disebabkan oleh berkurangnya habitat, sehingga populasi terkonsentrasi pada satu tempat saja. Menjaga keberadaan dan kualitas habitat adalah salah satu cara yang dapat
6
dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan dalam jangka waktu yang panjang (Bennett dan Saunders, 2010). Oleh karena itu, untuk mengungkap dan menyelesaikan permasalahan seperti yang telah diuraikan di atas, maka penting untuk dilakukan penelitian secara mendetail tentang: Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Populasi Burung Cangak Abu (Ardea Cinerea) sebagai Dasar Penentuan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Sleman.
1.3
Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi sekaligus sebagai perbandingan untuk menunjukkan keaslian penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.1. Perbedaan penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitianpenelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih fokus untuk mengetahui fungsi RTH dalam menjaga keseimbangan ekologis, khususnya peran RTH sebagai habitat burung. Penelitian dengan tema tersebut masih jarang dilakukan, khususnya di Indonesia yang umumnya lebih berfokus pada peran RTH dalam mengatasi masalah pencemaran atau penyedia oksigen di wilayah perkotaan. Selain itu, penelitian ini juga merupakan penelitian pertama yang dilakukan untuk mengetahui jumlah total, distribusi, dan permasalahan lingkungan akibat populasi cangak abu di Kabupaten Sleman.
7
Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
No
1.
Peneliti, Tahun, Judul
Tujuan Utama
Metode
Hasil
Setyoaji, 2013,
Mengetahui persepsi
Wawancara
Masyarakat beranggapan bahwa
Persepsi Masyarakat
masyarakat terhadap
keberadaan cangak abu dan
Terhadap Keberadaan
keberadaan burung
kowak malam kelabu memiliki
Cangak Abu (Ardea
cangak abu dan
cinerea Linnaeus, 1978)
kowak malam
dampak negatif, dimana 76,67% masyarakat berpendapat bahwa
dan Kowak Malam
cangak abu dan kowak malam
(Nycticorax nycticorax L.) di Arboretum Fakultas
kelabu dirasa sangat mengganggu
Kehutanan Universitas
akibat bau feses hewan tersebut
Gadjah Mada
2.
Yuda dan Wisnubharda,
Membuat sistem
Pengumpulan
Didapatkan total sebanyak 269
2013, Pendekatan Citizen
berbasis web untuk
data-data
judul referensi tentang burung di
Science dan Pemanfaatan
pemantauan burung
penelitian tentang
Kota Yogyakarta yang berasal
Sistem Informasi Berbasis
Kota Yogyakarta
burung di Kota
Web untuk Program
dari berbagai sumber
Yogyakarta
Pemantauan Burung Kota Yogyakarta
3.
Jakubas dan
Mengetahui
Sampling pakan
Ikan merupakan komposisi utama
Mioduszewska, 2005,
komposisi pakan
burung cangak abu
sebagai pangan cangak abu di
Diet Composition and
burung cangak abu
dan fesesnya
Polandia bagian utara, yaitu
Food Consumption of the
sebesar lebih dari 95%.
Grey Heron (Ardea cinerea) from Breeding Colonies in Northen Poland
4.
Suhardjo, 2007,
Mengetahui
Sampling tingkat
Hasil penelitian memperlihatkan
Analisis Kebutuhan Ruang
kebutuhan RTH
pencemaran serta
bahwa makin luas RTH maka
Terbuka Hijau dalam
dalam fungsinya
kemampuan
makin rendah tingkat
Mengendalikan Tingkat
sebagai pengendali
tumbuhan untuk
Pencemaran Gas Buang
pencemaran udara
menyerap polutan
Juricic dan Jokimaki ,
Mengkaji pendekatan
Analisis
Salah satu langkahnya adalah
2001,
dalam upaya
pendekatan-
dengan menambah jumlah pohon
A Habitat Island Approach
konservasi burung
pendekatan yang
disekitar jalan.
pencemarannya
Kendaraan Bermotor
5.
to Conserving Birds in
pernah di lakukan
Urban Landscapes: Case
di beberapa negara
Studies from Southern and Northen Europe
8
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan lingkup kajian penelitian yang
didukung oleh konsep teori yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: (1)
menghitung populasi cangak abu dan menganalisis karakteristik habitatnya di Kabupaten Sleman;
(2)
menganalisis tingkat kerusakan lingkungan akibat populasi cangak abu di Kabupaten Sleman; dan
(3)
menyusun strategi pengelolaan lingkungan yang tepat untuk menangani pertumbuhan populasi cangak abu di Kabupaten Sleman.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu secara akademis
dan praktis seperti diuraikan berikut ini. (1)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih lengkap tentang dampak yang ditimbulkan akibat burung cangak abu yang menghuni kawasan perkotaan, mengingat perkotaan bukanlah merupakan habitat asli dari burung tersebut.
(2)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan penelitian-penelitian selanjutnya tentang burung cangak abu di Kabupaten Sleman, mengingat informasi tentang kehidupan burung cangak abu di Kabupaten Sleman yang masih sedikit diketahui.
9
(3)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi untuk Pemerintah Kabupaten Sleman untuk mengelola burung cangak abu di wilayahnya, sehingga keberadaannya tidak menyebabkan keseimbangan ekosistem menjadi terganggu.
1.6
Daftar Istilah
Birdwatching adalah pengamatan burung sebagai aktivitas rekreasional yang dapat dilakukan dengan mata telanjang, menggnakan binokuler atau teleskop, ataupun dengan mendengarkan suaranya (AWF, 2011). Citizen Science adalah suatu program pemantauan atau penelitian yang melibatkan sukarelawan (volunteer) untuk mengumpulkan data (McCaffrey, 2005, dalam Yuda dan Wisnubhadra, 2013). Data geospasial adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi (Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2011). Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1994). Ekosistem adalah unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisme dan lingkungannya (lingkungan biotik dan abiotik) dan diantara keduanya saling memengaruhi (Odum, 1993).
10
Geospasial adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada,
atau di atas
permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu (Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2011). Habitat adalah tempat hidup suatu makhluk hidup (Odum, 1993). Informasi geospasial adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian (Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2011). Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin
pemanfaatannya
secara
bijaksana
serta
kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009). Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009). Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang
11
telah ditetapkan (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009). Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam memanfaatkan, menata, memelihara, mengawasi, mengendalikan, memulihkan, dan mengembangkan lingkungan hidup (Zulkifli, 2014). Populasi adalah suatu kelompok organisme satu spesies yang berada di tempat dan waktu yang sama (Krebs, 1985). Ruang Terbuka Hijau adalah bagian dari ruang terbuka, yang merupakan salah satu bagian dari ruang-ruang di suatu kota, yang biasanya menjadi ruang bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan (Prasetijaningsih et al., 2012). Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2011).