1
BAB I PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Pelabelan bahasa ibu atau mother tongue seringkali dikaitkan dengan dengan bahasa pertama yang dipelajari (Weinreich, 1963), maka hal ini jelas berbanding terbalik dengan pelabelan bahasa kedua. Pelabelan ‘kedua’, ‘ketiga’, bahkan ‘keempat’ sering terjadi pada bahasa lain yang dipelajari setelah bahasa pertama, padahal pada kenyataannya bahasa lain selain bahasa ibu akan disebut sebagai bahasa kedua (Ellis, 2012). Bahasa kedua digunakan untuk menggambarkan bahasa lain yang diperoleh dalam proses yang disebut language acquisition atau pemerolehan bahasa. Persentase penggunaannya juga sangat mempengaruhi. Karenanya muncul juga kata “bahasa target” atau bahasa asing. Ellis memaparkan sebuah bahasa disebut bahasa kedua apabila diakui dalam taraf institusi dan digunakan dalam kelompok sosial. Apabila bahasa tersebut tidak memiliki fungsi yang penting dalam komunitas atau kelompok, bahasa tersebut hanya akan menjadi bahasa asing. Terlepas dari pelabelan bahasa kedua dan bahasa asing penelitian ini ingin melihat hubungan dari dari dua bahasa yaitu bahasa Korea sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa target. Krashen (1981) memaparkan bahwa proses pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa adalah dua proses yang berbeda dan membawa hasil yang berbeda juga. Pada pemerolehan bahasa, proses penguasaan bahasanya bisa saja formal atau informal, sedangkan pada proses
2
pembelajaran terdapat instruksi formal dan lingkungannya pun formal. Krashen sendiri mempercayai bahwa lingkungan formal dengan instruksi formal dapat meningkatkan kemampuan penutur dalam berbahasa target. Dalam penelitiannya ditunjukan bahwa penutur yang mengalami proses pembelajaran formal memiliki kemampuan berbahasa target lebih tinggi daripada penutur yang tak mengalami proses pembelajaran, meskipun dia tinggal di negara di mana bahasa target merupakan bahasa pertama negara itu untuk waktu yang cukup lama. Mempertimbangkan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut, penelitian ini mencoba melihat tentang kemampuan memproduksi bunyi bahasa target dengan mempertimbangkan latar belakang penutur pernah mengenyam proses pembelajaran formal. Penelitian ini berfokus pada penutur berbahasa ibu bahasa Korea dalam memproduksi bunyi-bunyi bahasa Indonesia yang ditemui di katakata atau frasa-frasa bahasa Indonesia. Di sini dapat dilihat bagaimana bahasa ibu mempengaruhi produksi bunyi. Seperti yang diketahui bahasa Indonesia dan bahasa Korea memiliki gap yang sangat besar dan banyak bunyi yang ditemukan di bahasa Indonesia tidak ditemukan di bahasa Korea, begitu juga sebaliknya. Selain itu banyak aturan-aturan fonologi bahasa Korea yang tak bisa diaplikasi pada bahasa Indonesia. Hal itu jelas menjadi halangan bagi pembelajar berbahasa ibu bahasa Korea untuk memproduksi bunyi-bunyi bahasa Indonesia sesuai dengan karakterisasi bunyi pada bahasa Indonesia. Bahasa Korea memiliki sistem bunyi konsonan yang mengalami perubahan bunyi tergantung dengan posisi bunyi tersebut. Lingkungan bunyi sangat mempengaruhi bagaimana bunyi tersebut diucapkan. Bahasa Korea sangat
3
menaruh perhatian besar pada posisi coda dan onset. Contohnya dapat dilihat pada bunyi alir /r/ dan /l/. Bunyi alir /r/ hanya ditemukan pada posisi onset dan bunyi /l/ pada posisi coda (Lee & Ramsey, 2000). Pada kata ‘jembatan’ /dari/, bunyi /r/ ditemukan pada posisi onset silabe kedua. Sedangkan pada kata ‘anak perempuan’ /t*ari/ ditemukan bahwa bunyi /r/ itu sebenarnya adalah bunyi /l/ pada posisi coda kata /t*al/ yang bertemu penanda subjek i. Jadi, jika tidak ada penanda subjek i maka kata itu akan diucapkan sebagai /t*al/. Selain itu bunyi /l/ dapat muncul di depan silabe apabila di sebelum bunyi /r/ ditemukan bunyi /l/. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kata ‘tidak tahu’ yang dalam bahasa Korea /molla/. Kata ini terdiri dari dua silabel yaitu silabel /mol/ dan silabe /ra/. Namun, karena bunyi coda /l/ bertemu dengan bunyi onset /r/ maka berubah menjadi bunyi ganda (geminasi) /ll/. Sehingga ada kemungkinan besar kata /perlu/ menjadi /pellu/. Berbicara mengenai bunyi alir, Korea memiliki bunyi alir trill yang lebih mendekati bunyi alveolar tap/flap (Kim, 2007). Bunyi ini merupakan alofon dari bunyi /l/ dengan distribusi komplementer di dalam bahasa Korea. Bunyi tap [ɾ] ini muncul di posisi onset sedangkan bunyi lateral [l] muncul di posisi lainnya, seperti di posisi coda dan word medial dalam geminasi. Sedangkan pada bunyi hambat, dalam bahasa Korea bunyi /b/ dan /p/ akan muncul tergantung bunyi apa yang ada di dekatnya dan letak bunyi tersebut karena bahasa Korea hanya memiliki satu bunyi kendur hambat bilabial (Kim-Renaud, 2009). Dalam sistem bunyinya, tidak ditemukan bunyi konsonan bersuara dan tak bersuara. Sebagai gantinya, terdapa bunyi lax dan tense, seperti bunyi /p/ pada kata ‘kamar’ yang dalam bahasa Korea adalah /paŋ/ dan bunyi /p*/ pada kata
4
/p*aŋ/ yang berarti ‘roti’. Jika pun ditemukan bunyi bersuara, bunyi tersebut hanya muncul di distribusi bunyi tertentu. Pada kata /pabo/ yang berarti ‘bodoh’, bunyi /p/ dan /b/ yang muncul sebenarnya berasal dari satu bunyi /p/, sehingga bunyi [p] hanya muncul pada distribusi #_ dan bunyi [b] di antarvokal, #kv_v#. Hal inilah yang membuat penutur bahasa Korea menemukan kesulitan dalam memproduksi konsonan bersuara dan tak bersuara di bahasa Indonesia. Jika ada seorang penutur asli berkata /babi/ dan /papi/ maka sulit bagi penutur bahasa Korea untuk membedakan dua bunyi bersuara dan tak bersuara itu. Selain itu, banyak sekali terjadi asimilasi pada konsonan hambat bahasa Korea dipengaruhi oleh bunyi yang ada di dekatnya. Seperti yang terjadi pada bunyi /b/ di kata ibnida yang berarti ‘adalah’ akan berubah menjadi bunyi /m/ karena konsonan bilabial /b/ bertemu konsonan nasal /n/, menjadi imnida. Ini merupakan proses nasalisasi di mana bunyi-bunyi lain jika bertemu dengan bunyi nasal akan berubah juga menjadi bunyi nasal (Nathan, 2008). Karenanya, disini diambil sebuah hipotesis bahwa penutur berbahasa ibu bahasa Korea akan mengalami kesulitan pada saat proses memproduksi bunyibunyi konsonan Bahasa Indonesia dalam distribusi bunyi tertentu. Produksi bunyi sendiri dianggap sangat penting karena produksi bunyi ini mempengaruhi arti dari sebuah kata. Bunyi yang salah diproduksi dapat membawa arti yang berbeda. Karenanya penelitian pada ranah fonologi dianggap penting untuk dilakukan (Ellis, 2012). Melihat jarak yang lebar dari kedua bahasa itu, maka penelitin ini pun dilakukan. Penilitian ini nantinya diharapkan dapat menunjukan bagaimana
5
kemampuan memproduksi pembelajar bahasa Korea terhadap bunyi-bunyi konsonan bahasa Indonesia yang ditemuinya. Memilih ranah BIPA atau Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing yang sedang hangat dibicarakan di kalangan akademisi, penelitian ini melihat proses produksi dari sisi fonemis di mana bunyi berpengaruh terhadap arti dari bahasa target. Selain itu, alasan kenapa penutur Korea dipilih karena pada saat ini negara gingseng ini sedang memegang perekonomian dunia dengan inovasi-inovasi teknologinya maka banyak sekali pembelajar yang berasal dari negara tersebut datang di Indonesia dan belajar bahasa Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah Setelah memaparkan tentang latar belakang penelitian ini sehingga penelitian ini layak dilakukan, maka berikutnya akan dipaparkan rumusan masalah yang akan ditemukan dalam penelitian ini. Ada tiga rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana kecenderungan pemroduksian bunyi konsonan hambat, paduan, dan alir oleh penutur berbahasa ibu bahasa Korea? 2. Apa saja bentuk-bentuk strategi fonologis yang muncul pada proses pemroduksian bunyi konsonan dalam distribusi bunyi kata dan frasa bahasa Indonesia? 3. Mengapa tingkat kecenderungan dalam proses produksi bunyi konsonan bahasa Indonesia oleh tiap-tiap grup penutur Korea berbeda?
6
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan kecenderungan keberterimaan dan ketakberterimaan pemroduksian bunyi konsonan hambat, paduan dan alir bahasa Indonesia oleh penutur berbahasa ibu bahasa Indonesia. 2. Memaparkan bentuk-bentuk strategis fonologis yang digunakan oleh penutur berbahasa ibu bahasa Korea pada saat memroduksi bunyi konsonan bahasa Indonesia dalam distribusi bunyi yang tak berterima di dalam bahasa Korea. 3. Menjelaskan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya perbedaan kecenderungan pemroduksian konsonan bahasa Indonesia dari tiap-tiap grup penutur Korea.
1.4. Manfaat Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memiliki beberapa manfaat yang dipaparkan dalam tiga bagian besar, yaitu manfaat teoritis, manfaat praktis, dan manfaat didaktis. 1.4.1.
Manfaat Teoritis Pada manfaat teoritis, berhubungan dengan ilmu fonologi komparatif,
diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber dalam ranah baru ini, khususnya berkaitan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Korea, khususnya yang dapat digunakan untuk penelitian ke depannya. Seperti yang sudah diketahui, penelitian terhadap bahasa Korea di Indonesia masih kurang, sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
7
Bagi mahasiswa Indonesia yang sedang belajar ilmu linguistik, penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Bagi ilmu linguistik, diharapkan penelitian ini bisa menjadi salah satu temuan baru di dalam ranah linguistik terapan. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah manfaat yang ditujukan bagi para pengajar bahasa Indonesia untuk orang asing. Diharapkan penelitian ini bisa menambah pengetahuan mereka terhadap pembelajar asing, khususnya pembelajar dari Korea. Dengan membaca penelitian ini diharapkan mereka bisa memahami karakteristik pembelajar dari Korea dan bisa menyiapkan metode pengajaran yang cocok untuk pembelajar dari negeri gingseng tersebut. 1.4.3. Manfaat Didaktis Selain kedua manfaat yang sudah disebutkan di atas, ada satu lagi manfaat yang yang diberikan dari penelitian ini, yaitu manfaat didaktis. Penelitian ini diharapkan dapat membantu orang-orang yang sedang belajar bahasa. Di sini ada dua macam bahasa, sehingga tidak hanya penutur berbahasa Korea yang mendapat manfaatnya, tetapi juga penutur berbahasa Indonesia yang sedang belajar bahasa Korea. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam proses penguasaan bahasa dalam segi pelafalan. Dengan saling memahami karakter bunyi di masing-masing bahasa, dalam penelitian ini adalah bahasa asal dan bahasa target, maka proses penguasaan bahasa akan semakin mudah.
8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berada di ranah fonologi. Dikarenakan ranah ini sangat luas maka ruang lingkup dari penelitian ini dipersempit pada kemampuan produksi bunyi-bunyi konsonan hambat, paduan, dan alir dalam bahasa Indonesia oleh penutur berbahasa Korea. Di dalam penelitian ini akan dilihat kemapuan penutur asing, penutur berbahasa ibu bahasa Korea khususnya, dalam memproduksi bunyibunyi tersebut. Penelitian ini juga mempersempit bunyi konsonan-konsonan yang digunakan. Konsonan yang digunakan adalah bunyi hambat /b, p, g, k, d, t /, bunyi paduan /c,j/, dan bunyi alir /l, r/. Hal ini dikarenakan di dalam bahasa Indonesia bunyi hambat dan paduan dibedakan menjadi bunyi bersuara dan tak bersuara sedangkan di dalam bahasa Korea menjadi bunyi kendur, kencang, dan aspirat. Sedangkan bunyi alir tril dan lateral merupakan dua bunyi yang berbeda di dalam bahasa Indonesia sedangkan di dalam bahasa Korea merupakan dua alofon dari satu bunyi yang berdistribusi komplementer.
1.6. Tinjauan Penelitian Penelitian tentang interaksi pada dua bahasa dalam proses pemerolehan bahasa merupakan sebuah topik yang sudah berulang-ulang diteliti. Namun, sampai saat ini topik ini masih hangat dibicarakan karena proses pemerolehan bahasa sendiri tak pernah berhenti. Proses pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh bahasa asal dan bahasa target, sehingga proses pemerolehan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lainnya sangatlah beragam. Selain itu masih banyak bahasa di dunia yang belum disentuh sehingga masih banyak hal-hal baru yang dapat digali.
9
Alasan inilah yang membuat penelitian yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa terus menerus berkembang. Bercermin pada tiga penelitian terdahulu, penelitian terhadap proses produksi bunyi konsonan bahasa Indonesia oleh pembelajar berbahasa ibu bahasa Korea ini kembali mengangkat topik yang sudah dipaparkan dalam buku Languages in Contact: Findings and Problems yang membahas tentang proses interferensi pada satu bahasa ke bahasa lainnya (Weinreich, 1963). Penelitian lainnya yang digunakan adalah disertasi yang diterbitkan di Universitas California, Berkeley, oleh Charles Bond Chang di tahun 2010 yang berjudul First Language Phonetic Drift During Second Language Acquisition. Yang terakhir, sebuah disertasi dari Universitas Hawai’I yang berjudul The Articulation of Korean Coronal Obstruents: Data from Heritage Speakers and Second Language Learners. Disertasi ini diterbitkan pada tahun 2013 oleh Insung Ko. Pada bukunya, Weinreich (1963) memperkenalkan proses interferensi yang dulunya lebih dikenal dengan nama interlingual influence. Proses interferensi menunjukan bahwa bahasa yang dikuasai lebih dulu memiliki sifat dominan terhadap bahasa yang sedang dipelajari. Di bukunya juga dipaparkan bahwa interferensi muncul di berbagai ranah linguistik. Dikarenakan penelitian ini menyempitkan diri pada ranah fonologi, maka interferensi pada ranah fonologi lebih menjadi sorotan dibandingkan pada ranah lainnya. Interferensi pada ranah fonologi merupakan interferensi yang paling sering terjadi dikarenakan dalam mempelajari bahasa, kemampuan menggunakan bahasa target secara lisan merupakan tanda bahwa bahasa target telah dikuasai. Namun,
10
kenyataannya sering kali bahasa lain yang dikuasai sebelumnya, terutama bahasa ibu, mempengaruhi proses penguasaan dalam ranah fonologi, seperti contohnya intonasi, aksen, atau produksi fonem-fonem bunyi pada bahasa target. Pada penelitian Weinreich memaparkan dua kasus, di mana kasus pertama sistem utama adalah Romansh dan sistem kedua adalah Scwyzertutsch. Dalam kasus pertama ini ditemukan sebuah bunyi yang muncul tidak ditemukan di gantikan dengan bunyi yang dimiliki oleh Romansh. Bukan hanya bunyi konsonan namun juga bunyi vokal. Pada kasus kedua ditemukan sebaliknya, di mana sistem utama adalah Scwyzertutsch dan sistem kedua adalah Romansh. Hasil yang muncul hampir sama, di mana sounds subtitutions muncul di dalam kasus ini. Terjadi juga interferensi bahasa pertama terhadap bahasa yang dipelajari. Hal tersebutlah yang menjadi inti dari penelitian Weinreich. Dari kedua kasus tersebut ditemukan empat tipe dasar dari interferensi, yaitu; 1. Under-differentiation of phonemes 2. Over-differentiation of phonemes 3. Reinterpretation of distinctions 4. Actual Phone Substitution Hasil penelitian yang dipaparkan oleh Weinreich ini sangat membantu pada penelitian ini karena sama-sama mengangkat topik interferensi. Namun, penelitan Weinreich pada ranah fonologi lebih menegaskan tentang hasil dari memproduksi fonem-fonem pada bahasa target, sama halnya dengan penelitian ini
11
yang melihat kemampuan memroduksi bunyi dengan hadirnya dua sistem, yaitu sistem bahasa Korea dan bahasa Indonesia. Pada penelitiannya, Chang (2010) mencoba memaparkan hasil bagaimana kemampuan pembelajar bahasa tingkat awal dalam performa berbahasa kedua. Bahasa pertama merupakan bahasa Inggris dan bahasa kedua yang menjadi fokus penelitian adalah bahasa Korea. Para partisipan mengambil kelas formal bahasa Korea dan dapat dilihat dalam produksi bunyi-bunyi Korea terdapat interferensi dari bahasa ibu, yaitu bahasa Inggris. Selain itu, ditemukan juga VOT atau voice onset time, perhitungan tentang perubahan bunyi tak bersuara menjadi bersuara, dalam performa pembelajar di minggu kedua. VOT di dalam bunyi tak bersuara di bahasa Inggris dapat disamakan dengan bunyi aspirat di bahasa Korea. Dalam penelitian ini juga ditemukan juga efek dari bahasa kedua ke dalam bahasa pertama walaupun tidak begitu tinggi. Efek ini muncul pada pembelajaran onset bahasa kedua membangun cross-language linkages di dalam prosesnya pada level yang beragam. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ko (2013) tak hanya fokus pada faktor akustik bunyi tapi juga pada static palatography (SPG), yaitu kemungkinan palatalisasi bunyi-bunyi obstruent, seperti bunyi hambat, afrikat, dan frikatif, dalam bahasa Korea yang ditilik dengan linguograms dan palatograms. Tak hanya melihat proses palatalisasi yang mungkin muncul di tengah proses produksi bunyi, disertasi ini juga mencoba meneliti bahwa kemampuan bahasa pertama dalam melafalkan bunyi koronal mempengaruhi kemampuan
12
dalam memproduksi bahasa kedua. Para penutur berbahasa Inggris ini dibagi dalam tiga kelompok, yang pertama adalah kelompok pembelajar bahasa Korea di tahun pertama, yang kedua adalah pembelajar bahasa Korea di tahun kedua, dan yang ketiga adalah penutur yang mewarisi bahasa Korea. Hasilnya, pada kelompok ketiga ditemukan bahwa tingkat linguo-palatal yang terjadi paling rendah dibandingkan grup lainnya. Sedangkan pada kelompok kedua dan ketika mengalami interferensi dari bahasa pertama sehingga pada saat melafalkan bunyi koronal bahasa Korea terdengar seperti bunyi hambat dan afrikat yang biasa mereka produksi saat berbahasa Inggris. Ketiga penelitian ini dipilih karena ketiganya membahas tema yang hampir sama dan ketiganya dapat menambah informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Pada tulisan Weinreich ditemukan proses interferensi yang menjadi tajuk utama dari penelitian ini. Sama halnya dengan tulisan Chang yang membahas tentang efek dari bahasa pertama terhadap proses pemerolehan bahasa kedua. Sedangkan tulisan Ko digunakan karena membahas tentang konsonan obstruen yang juga menjadi objek dari peneletian ini. Ketiganya diambil karena memiliki tajuk dan objek yang digunakan di dalam penelitian ini.
1.7. LANDANSAN TEORI 1.7.1. Transfer Bahasa Dalam Proses Pemerolehan Bahasa Transfer bahasa atau language transfer digadang- gadang sebagai bagian dari sebuah proses pemerolehan bahasa kedua. Transfer bahasa adalah proses di mana seorang penutur menantang dirinya untuk berpikir dan bertutur dengan
13
bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Namun, Kellerman dan Sharwood Smith, seperti yang dikutip dalam buku Gass dan Selinker (1994), tak setuju dengan istilah transfer bahasa dan interferensi karena hal itu mengotak-ngotakan kemampuan. Mereka lebih suka mereka menyebut proses bilingual ini sebagai cross-linguistic influence di mana mencangkup hal baik dari pembelajaran bahasa seperti transfer bahasa, indera tradisional, dan juga hal negatif seperti, interferensi, penolakan, pelesapan bahasa, baik pada bahasa pertama maupun bahasa kedua, dan juga penilaian dalam belajar. Berbicara tentang transfer bahasa, ada dua macam transfer bahasa, yaitu transfer yang positif, atau disebut juga sebagai facilitation dan transfer yang negative, atau interferensi (Gass & Selinker, 1994). Karenanya, interferensi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pemerolehan bahasa. Interferensi dari bahasa pertama selalu muncul baik pada proses pemelorehan bahasa maupun proses pembelajaran bahasa. Pada dasarnya proses pemerolehan bahasa kedua yang diteliti dari sisi linguistik pasti melalui penelitian bahasa pertama, baik secara langsung maupun tak secara langsung. Dalam bukunya, Vivian memaparkan penelitian dari Uriel Weinreich yang membahas tentang pengaruh dari bahasa pertama (L1) dalam pemelorehan bahasa kedua (L2). Dalam buku yang ditulis Weinreich dipaparkan mengenai proses interference. Inteferensi terjadi saat seorang penutur dihadapkan pada situasi bilingual dan dia diharuskan untuk membedakan norma-norma dari bahasa-bahasa yang dia kuasai. Inteferensi dapat muncul di berbagai tataran. Salah
14
satu yang paling ketara dan mudah dideteksi adalah inteferensi di dalam sistem fonologis. Sering kali ditemukan interferensi dari L1 saat si penutur sedang menggunakan L2. Sering kali karena ketiadaaan bunyi dan norma-norma suprasegmental L2 pada L1, tanpa menyadarinya mereka menghilangkan bunyi atau norma tesebut. Namun, dalam perkembangannya, seperti yang telah dipaparkan Gass dan Schachter (1991), bahwa interferensi bersifat dua arah. Bukan hanya L1 yang mempengaruhi L2, namun bisa juga L2 mempengaruhi L1. Pada satu titik L1 bisa menghilang secara bertahap dikarenakan penguasaan bahasa lain atau L2. Menurut Weinreich (1963) interferensi terjadi dalam dua bentuk, yang pertama adalah tuturan langsung dalam komunikasi bilingual atau pengetahuan bilingual terhadap bahasa. Bentuk yang pertama menunjukan bahwa interferensi terjadi pada saat tuturan terjadi, di mana interferensi muncul saat penutur berbicara bahasa lain. Sedankan bentuk kedua merupakan interferensi yang terjadi di dalam kognitif, terjadi dalam kepala orang yang menguasai lebih dari satu bahasa. Sebelum dituturkan pun interferensi terjadi di dalam kepala dan tak bisa dilihat secara kasat mata. Sedangkan berdasarkan behaviorist theory, dikatakan bahwa tantangan utama dalam proses pembelajaran bahasa adalah interference dari pengetahuan sebelumnya (Ellis, 2012). Jika kebiasaan lama yang sudah terbentuk masuk dalam usaha pembelajaran hal baru maka akan muncul yang namanya proactive inhibition. Bercermin pada proses tersebut maka sering kali terjadi usaha penghilangan
15
kebiasaan lama dalam proses mempelajari hal baru. Namun, proses ‘penghilangan’ atau unlearning di sini tidak bertujuan untuk menghilangkan L1 dan menggantinya dengan L2, walaupun sangat mungkin dalam proses ini L1 hilang sedikit demi sedikit. Behaviorist theory di sini menekankan tentang ide ‘kesulitan’ yang selalu dihadapi oleh pembelajar. Kesulitan ini pun berbeda pada setiap bahasa, tergantung kesamaan dan perbedaan dari bahasa target dan bahasa pertama. Kembali lagi ke teori yang sudah dipaparkan Gass dan Selinker dalam bukunya tentang dua arah transfer bahasa, dalam proses pemerolehan bahasa ‘kesulitan’ dapat membawa proses ke kedua arah tersebut. Apabila kesulitan yang dihadapi pembelajar tidaklah tinggi, atau tingkat kemiripan bahasa pertama dan bahasa target sangatlah tinggi, maka proses pemerolehan akan mengarah ke pada positive transfer. Namun, apabila perbedaan bahasa pertama dan bahasa target sangatlah tinggi, proses mungkin saja berjalan ke arah negative transfer. Kesalahan pastilah tak terelakan dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Dalam proses memproduksi bahasa target (Target Language) ada banyak strategi yang muncul, agar kaidah-kaidah fonologis yang tak ditemukan di bahasa asal (Native Language) namun ditemukan di bahasa target dapat diproduksi. Ellis dan Barkhuizen (2005) juga menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran L2, keberhasilan produksi bunyi bahasa target merupakan tanda bahwa proses pembelajaran L2 berhasil. Namun, proses produksi ini bukan merupakan variabel yang diturunkan. Banyak faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan dari proses produksi, seperti di bawah ini. 1) Pembelajar bahasa sering kali melakukan kesalahan pada saat produksi
16
2) Keberagaman dalam bahasa pembelajar. Hal ini dapat memunculkan preplan production di mana pembelajar mencoba menata rencana di kepalanya, proses kognitif, sebelum akhirnya memproduksi bunyi sehingga bunyi yang keluar bisa tepat atau paling tidak mendekati bunyi dari bahasa target. Selain itu juga mungkin saja muncul spontaneous production yang merupakan proses produksi bunyi secara spontan tanpa ada proses merefleksikan sebelumnya. Semua bunyi keluar secara spontan begitu saja sehingga kemungkinan terjadi kesalahan sangatlah besar. 3) Jika dihubungakan dengan proses penelitian, cara mengoleksi data juga mempengaruhi hasil data. Data yang diambil secara sadar dan tak sadar, dalam kata atau di dalam frasa. Dengan kata lain kondisi eksternal di mana bunyi tertentu diproduksi sangatlah mempengaruhi keberhasilan dari bunyi itu diproduksi. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan dari penelitian ini dilakukan. 4) Selain itu, pengaruh dari bahasa ibu (L1) ke bahasa target (L2) jelas merupakan hal yang sangat penting. Hal inilah yang telah banyak diteliti ahli-ahli bahasa dalam proses pemerolehan bahasa. 1.7.2. Strategis Fonologis Dalam memroduksi bunyi baik dalam bahasa sendiri maupun bahasa lain ditemukan strategis fonologis. Selanjutnya akan dipaparkan strategis fonologis yang ditemukan baik di dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Korea yang nantinya muncul dalam proses pemroduksian bunyi bahasa Indonesia oleh penutur berbahasa ibu bahasa Korea.
17
Sebelumnya akan dijelaskan yang dimaksud dengan strategi fonologis. Strategi fonologis merupakan bagian dari repair strategies di mana strategi ini digunakan pada saat memroduksi dan menangkap informasi dari sebuah bahasa. Menurut Hwang (2011) Repair Strategy merupakan strategi-strategi yang digunakan penutur suatu bahasa saat mereka memrodiksi bahasa tersebut. Strategi ini mencangkup native repair strategy, strategy yang digunakan oleh penutur asli dalam memroduksi bunyi-bunyi dalam bahasanya sendiri dan repair strategy used for foreign structure di mana strategi ini digunakan oleh penutur dari satu bahasa saat mereka memroduksi bunyi-bunyi pada bahasa lain (target language). Bentuk dari repair strategy sendiri beragam, ada yang merupakan bentuk dari tuturan seperti filler, pengulangan, pembetulan, maupun dalam bentuk perubahan bunyi seperti nasalisasi, palatalisasi, dan masih banyak lagi. Repair strategy digunakan pada saat penutur menghadapi pola deret bunyi yang tak berterima di dalam bahasa target. Archibald (2006) memaparkan tentang bagaimana penyisipan bunyi vokal di akhir kata (epenthetic) dan pelesapan bunyi (sound deletion) merupakan repair strategy yang sering digunakan oleh penutur Korea saat memproduksi kata-kata dalam bahasa Inggris. Tak hanya untuk deret bunyi, repair strategy juga digunakan dalam pembentukan silabel. Hawkins dan Lozano (2006) memaparkan bahwa dalam bahasa satu dan bahasa lain deret bunyi pembentuk silabel tidaklah sama. Pola silabel satu bahasa bisa saja menjadi masalah dari bahasa lain sehingga dibutuhkan repair strategy seperti epentesis dan pelesapan bunyi. Repair strategy dalam proses produksi bunyi inilah yang selanjutnya dinamai phonological strategy atau strategi fonologis.
18
Berbicara mengenai repair strategy dan strategi fonologis, maka akan muncul proses-proses fonologis yang digunakan dalam bahasa tertentu. Menurut Chaer (2009) terdapat lima penyebab proses fonologi. Yang pertama adalah akibat dari proses koartikulasi. Yang dimaksud di sini adalah proses artikulsi sertaan yang menyertai proses artikulasi primer atau utama. Karenanya ada ancang-ancang pada saat memroduksi bunyi maka bunyi yang diproduksi mengalami perubahan. Kemudian, yang kedua adalah akibat pengaruh lingkungan bunyi. Di sini bunyi yang ada di sekeliling bunyi utama mempengaruhi proses pengartikulasian. Yang selanjutnya adalah akibat distribusi, di mana posisi atau letak bunyi tersebut diujarkan sangatlah berpengaruh. Yang keempat adalah akibat dari proses morfofonemik, di mana pembentukan kata baru mempengaruhi sebuah bunyi diproduksi. Yang terakhir dan yang tak kalah penting adalah akibat dari perkembangan sejarah. Penyebab terakhir ini tak semata-mata mengenai kajian fonologi, namun berkaitan juga dengan pemakaian unsur-unsur leksikal dari sebuah budaya dan masyarakat. Berdasarkan pemaparan penyebab-penyebab munculnya perubahan bunyi oleh Chaer, maka selanjutnya akan dipaparkan strategi fonologis yang kemungkinan muncul disebabkan faktor-faktor di atas. Strategi fonologis yang akan dipaparkan di sini adalah strategi yang muncul di dalam hasil penelitian. 1.7.2.1.
Penegangan Bunyi (Tensification) Penegangan bunyi merupakan proses fonologi di mana bunyi konsonan
kendur berubah menjadi bunyi tegang. Dalam bahasa Korea ditemukan proses post-obstruent tensification di mana jika ditemukan dua bunyi obstruen
19
berurutan maka bunyi obstruen yang muncul kedua akan menjadi bunyi tegang (Shin, Kiaer, & Cha, 2013). Proses penegangan bunyi itu juga sering disebut dengan reinforcement (Lee & Ramsey, 2001).
Proses penegangan: a) /p, t, k/ + lax obstruent /p, t, k/ + tense obstruent Contoh: /ip-ku/ [ibk*u]
‘pintu masuk’
b) /pʰ, tʰ, kʰ/ + lax obstruent /p, t, k/ + tense obstruent Contoh: yeopʰ-bang /yeop-baŋ / [yeopp*aŋ]
‘kamar sebelah’
c) /p*, t*, k*/ + lax obstruent /p, t, k/ + tense obstruent d) /s, s*, c, cʰ/ + lax obstruent /t/ + tense obstruent Contoh: us-ki-da /ut-gi-da/ [utk*ida]
‘ditertawakan’
Dapat dilihat di sini terjadi juga proses netralisasi pada bunyi konsonan aspirat dan tegang sebelum terjadi penegangan bunyi pada bunyi obstruent kendur. Di sini menunjukan juga fakta bahwa dalam bahasa Korea hanya ditemukan obstruent kendur di posisi coda. Karenanya, proses penegangan bunyi ini tak otomatis terjadi pada bunyi alir yang mendahului bunyi obstruen kendur dan tak ditemukan pada deret bunyi nasal dan obstruen kendur. 1.7.2.2.
Aspirasi Dalam bahasa Korea bunyi obstruent aspirat merupakan sebuah fonem,
bukannya alofon dari suatau fonem seperti contohnya bunyi /k/ dan /kʰ/ merupakan sua fonem yang berbeda dan memiliki pola distribusi paraler. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, bunyi aspirat merupakan alofon dari bunyi
20
tak bersura. Chaer (2009) memaparkan bahwa proses aspirasi merupakan proses di mana konsonan tak bersuara dalam pengucapan diikuti dengan hembusan yang keluarnya dengan keras. Bunyi yang mengalami proses aspirasi tersebut disebut bunyi aspirat. Proses aspirasi sendiri merupakan proses artikulasi sekunder atau sertaan. Letupan yang muncul setelah bunyi tak bersuara dilambangkan dengan /ʰ/. Kecilnya ukuran lambang tersebut melambangkan bunyi tersebut bukan bunyi primer. Dalam bahasa Korea, selain memang ada bunyi aspirat sendiri, bunyi aspirat juga muncul apabila bunyi hambat kendur /p/ bertemu dengan bunyi geseran /h/, seperti pada kata ‘meletakan’ dan ‘diletakan’. (1) noh-go /not-ko/ [nokʰo]
‘meletakan’
(2) noh-ji /not-ci/ [nocʰi]
‘diletakan’
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa bunyi /c/ dan /k/ menjadi bunyi aspirat /cʰ/ dan /kʰ/ dikarenakan bunyi /h/ yang muncul di koda silabel sebelumnya. Hal ini merupakan proses aspirasi pada bunyi-bunyi konsonan obstruen tak bersuara bahasa Korea. 1.7.2.3.
Proses Penyuaraan (Voicing) dan Pengawasuaraan (Devoicing) Dalam bahasa Korea ditemukan banyak sekali proses voicing dan
devoicing. Proses inilah yang memunculkan bunyi bersuara dalam bahasa Korea yang sebenarnya tak dimilikinya. Bahasa Korea sebenarnya memiliki kesulitan dalam memproduksi bunyi bersuara di posisi inisial kata, namun bunyi bersuara ini mungkin muncul di posisi tengah kata karena bunyi obstruen kendur melemah di lingkungan
21
bunyi yang dianggap ‘lemah’. Lingkunan tersebut merupakan lingkungan bunyi di mana bunyi obstruen kendur itu berada di antara bunyi vokal atau berada di lingkungan bunyi sonoran seperti bunyi nasal atau bunyi geseran (Kim-Renaud, 2009). Pada bahasa Korea bunyi /p/ yang berada di lingkungan antarvokal dengan vokal /i/ mengikuti akan mengalami proses penyuaraan. Jip-i /jip-i/ [jibi]
‘rumah’
Di sini dapat dilihat bahwa bunyi /p/ yang berada di posisi koda berubah menjadi bunyi /b/ di posisi onset silabel selanjutnya dengan inti bunyi /i/. Sedangkan proses pengawasuaraan sering terjadi pada bunyi-bunyi obstruen di #_. (1) /babo/ [pabo]
‘bodoh’
Dapat dilihat bunyi hambat bilabial di #_ menjadi bunyi /p/ sedangkan bunyi di σ_v menjadi /b/. 1.7.2.4.
Netralisasi Proses netralisasi terjadi merupakan proses yang biasa terjadi di dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Korea. Proses netralisasi biasanya terjadi pada bunyi hambat bersuara di akhir kata. Pada bahasa Indonesia bunyi hambat bersuara itu akan berubah menjadi bunyi hambat tak bersuara. Sedangkan dalam bahasa Korea, tak hanya bunyi hambat yang mengalami netralisasi namun bunyi geseran, paduan, bunyi aspirat, dan bunyi tegang. /k, kʰ, k*/ /k/ /c, cʰ, c*/ /t/ /s, s*, h/ /t/
22
Proses netralisasi tak hanya terjadi pada bunyi konsonan obstruent. Bunyi hambat terjadi juga pada konsonan alir di mana bunyi /l/ sebagai coda sebuah silabel akan berubah menjadi bunyi tap/flap /ɾ/ jika silabel setelahnya diawali dengan bunyi vokal. Bunyi /ɾ/ tersebut kemudian menjadi onset dari silabel yang mengikutinya. Contoh: (1) kkeutʰ /kkɯt/
‘selesai’
(2) kkocʰ /kkot/
‘bunga’
(3) us /ut/
‘tertawa’
Di sini dapat dilihat bunyi /tʰ/, /cʰ/, dan /s/ berubah menjadi /t/. Di sinilah proses netralisasi terjadi. Netralisasi tak hanya terjadi pada bunyi obstruen namun juga pada bunyi alir. Bunyi koda /l/ akan berubah menjadi onset [ɾ] jika diikuti silabel berawalan bunyi vokal. (4) bal-i /bari/ Bunyi /l/ yang merupakan koda silabel pertama berubah menjadi bunyi /r/ dan menjadi onset silabel selanjutnya. 1.7.2.5.
Glotalisasi Glotalisasi bukan merupakan proses pengubahan bunyi, namun proses
penyertaan bunyi, bagian dari proses artikulasi sekunder. Pada proses ini bunyi hambat disertai pada glottis pada saat artikulasi utama terjadi, sehingga bunyi /ʔ/ muncul di dalam proses artikulasi primer (Chaer, 2009) /taat/ [taʔat]
23
1.7.2.6.
Lateralisasi Lateralisasi merupakan proses perubahan bunyi konsonan menjadi
bunyi lateral. Proses ini banyak ditemudi di bahasa Korea. Proses ini biasanya terjadi pada bunyi nasal yang berada di lingkungan bunyi lateral. Biasanya akibat dari proses lateralisasi ini adalah proses geminasi. /nan/ + /ɾina/ /nallina/ 1.7.2.7.
‘booming’
Asimilasi Asimilasi adalah proses perubahan bunyi secara fonetis yang
dipengaruhi bunyi lain dilingkungannya, baik bunyi sebelumnya maupun sesudahnya (Chaer, 2009). Asimilasi yang dipengaruhi bunyi bunyi di belakangnya maka proses tersebut disebut asimilasi progresif, sedangkan jika dipengaruhi bunyi di depannya maka disebut asimilasi regresif. Dalam bahasa Korea proses asimilasi sering terjadi pada bunyi hambat dipengaruhi oleh bunyi nasal yang ada di sekelilingnya (Shin, dkk. 2013). /min/ + /guk/ /miŋguk/ Proses asimilasi juga dapat diklasifikasikan dalam proses lain. Jika bunyi hambat berubah menjadi bunyi nasal, maka proses tersebut disebut nasalisasi. Selain itu ada proses asimilasi terhadap bunyi nasal yang dipengaruhi oleh bunyi lateral di dekatnya. Proses ini disebut dengan proses lateralisasi.
24
1.7.2.8.
Pelesapan Bunyi (Sound Deletion) Pelesapan bunyi adalah proses fonologis yang diakibatkan proses
morfologis. Di dalam proses fonologis ini biasanya sebuah fonem akan hilang dari sebuah silabel. Dalam bahasa Korea proses pelesapan bunyi sangat banyak ditemui. Setelah proses penegangan bunyi hambat dan paduan setelah bunyi obstruen kendur, biasanya terjadi pelesapan bunyi kendurnya. Selain itu juga terjadi pelesapan bunyi /h/ setelah bunyi nasal. 1) /k/ + /k/ /kk*/ /k*/ 2) /mun/ + /hwa/ /munwa/ 1.7.2.9.
Penyisipan Bunyi (Insertion) Jika ditemukan deret bunyi yang tak berterima dalam silabel maka
penyisipan bunyi atau insertion akan dilakukan. Muslich (2008) menyatakan bahwa dalam proses fonologi anaptiksis digunakan untuk memperlancar ucapan dengan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan. Hal ini jelas sangat membantu jika ada deret konsonan dalam satu silabel yang polanya tak berterima. Anaptiksis ada 3 jenis yaitu protesis, epentesis, dan paragog. Protesis merupakan penyisipan bunyi pada awal kata. Epentesis merupakan penyisipan bunyi pada tengah kata. Terakhir, paragog merupakan proses penyisipan bunyi pada akhir kata. Bahasa Korea sering ditemukan proses penyisipan bunyi (insertion) vokal /ɯ/ pada kata-kata serapan. Sisipan bunyi ini dilakukan pada deret
25
konsonan yang tak berterima oleh bahasa Korea atau pada bunyi-bunyi konsonan yang muncul di distibusi _#.
1.7.2.10.
(1) Hit /hitʰɯ/
‘pukul
(2) Kiss /kisɯ/
‘cium’
(3) Front /pʰɯrontʰɯ/
‘depan’
Pergeseran Fonem Pergeseran fonem merupakan proses fonologi yang dipengaruhi oleh
proses morfologi. Karenanya, perubahan bunyi di sini mempengaruhi perubahan silabel (Chaer, 2009). Pergeseran fonem sendiri menyebabkan satu fonem berpindah dari satu silabel ke silabel lain. Jika dikaitkan dengan bahasa Korea maka pergeseran fonem ini berkaitan dengan hukum liaison di mana konsonan akhir dalam satu silabel bergeser ke silabel selanjutnya dikarenakan silabel yang mengikuti tersebut diawali dengan bunyi vokal (Kim-Renaud, 2009). Untuk lebih jelasnya akan diterangkan dengan pola di bawah.
σ1(kvk) + σ2(vk) σ1(kv) + σ2(kvk) /mok/ + /ɯl/ [mo+gɯl/ Namun, perubahan ini hanya terjadi pada struktur fonologi tidak pada struktur ortografi. Proses perubahan ini disebut dengan nama resyllabification. 1.7.2.11.
Geminasi Coda-Onset Sebelum lebih spesifik pada pengertian geminasi coda-onset, ada
baiknya membahas pengertian tentang geminasi terlebih dahulu.
26
Geminasi merupakan deret bunyi yang sama identik, yang sering dituliskan dengan dua konsonan atau vokal (Fromkin, dkk. 2011). Sedangkan Ladefoged (2011) menyatakan bahwa geminasi merupakan pelafalan konsonan yang panjang, begitu juga bunyi vokal. Geminasi ini merupakan fenomena fonologi yang tak biasa, namun ditemukan pada bahasa-bahasa tertentu, salah satunya bahasa Korea. Geminasi biasanya muncul pada satu distribusi bunyi, yaitu coda saja atau onset saja. Namun, pada bahasa Korea geminasi konsonan bisa muncul pada posisi coda-onset. Dalam bahasa Korea jika ditemui bunyi /rɯ/ yang ditambahi bunyi /a/ dan /ə/ maka bunyi /r/ akan mengalami lateralisasi dan kemudian bunyi tersebut akan memanjang menjadi /ll/ (Kim-Renaud, 2009). Geminasi coda-onset dalam bahasa Korea bisa berubah menjadi bunyi tegang di posisi onset silabel selanjutnya. Perhatikan perubahan di bawah ini. /morɯda/ + /ayo/ /mollayo/ /nat/ + /do/ /natto/ /nat*o/ 1.7.2.12.
Metatesis Metatesis merupakan proses perubahan urutan bunyi fonemis pada
sebuah kata (Muslich, 2008). Kridalaksana (2008) juga menyatakan hal yang sama yaitu proses perubahan letak yang terjadi pada bunyi maupun suku kata dalam sebuah kata. Dalam bahasa Indonesia proses metatesis ini sedikit ditemukan.
27
1.7.2.13.
Retrofleksi Proses retrofleksi merupakan proses fonologi yang diakibatkan adanya
koartikulasi, atau artikulasi sertaan yang menyertai proses artikulasi primer. Retrofleksi adalah proses di mana ujung lidah ditarik melengkung ke arah palatum pada saat artikulasi primer sedant terjadi (Chaer, 2009). Proses ini memiliki kemiripan dengan metatesis di mana ada sebuah fonem yang mengalami perpindahan posisi. Namun, sepenarnya Retrofleksi ini merupakan proses pemunculan bunyi, sedangkah proses metatesis merupakan perpindahan fonem. Setelah membahas tentang strategi fonologis segmental, kemudian selanjutnya akan dijelaskan unsur-unsur suprasegmental. Unsur suprasegmental merupakan unsur di luar kebahasaan yang tidak dibagi-bagi (Wijana, 2016) 1.7.2.14.
Jeda (Juncture) Jeda disebut juga kesenyapan. Jeda ini biasanya muncul di antara
dua entitas kebahasaan. Jedanya ini cenderung memiliki sifat fungsional (Setyaningsih & Rahardi, 2014). Hal tersebut juga didukung dengan pernyataan Muslich (2008) bahwa jeda merupakan proses suprasegmental yang lebih fungsional dibandingkan yang lainnya. Fungsi dari jeda sendiri adalah mengatur pemotongan atau pembagian dari rangkaian bunyi sehingga didapati pembagian-pembagian yang jelas. Sedangkan Wijana (2016) menyebut jeda sebagai perhentian. Perhentian yang muncul tidak membedakan makna namun dapat mempengaruhi makna.
28
Jeda dapat
ditemui di
antarkalimat, antarfrasa,
antarkata,
antarmorfem, antarsilaba, bahkan antarfonem (Muslich, 2008). Meskipun muncul di semua entitas, kualitas jeda yang muncul akan berbeda. Disebutkan bahwa jeda antarentitas kebahasaan yang lebih kecil, akan lebih singkat atau lebih pendek daripada jeda antarentitas kebahasaan yang lebih besar (Setyaningsih & Rahardi, 2014). Jeda sendiri memiliki lambang yang berbeda tergantung entitasnya. Jeda antarkalimat di dalam wacana ditandai dengan [#]. Jeda antarfrasa dalam klausa ditandai dengan [/ /]. Jeda antarkata dalam frasa ditandai [/]. Terakhir, jeda antarsuku dalam symbol ditandai dengan [+]. 1.7.2.15.
Aksen Setiap bahasa memiliki aksen masing-masing yang berbeda dari bahasa
lainnya. Aksen sendiri merupakan alat pembeda atau bisa juga disebut dengan keistimewaan dari satu bahasa (Hymen, dkk.1975). Trudgill (2006) menambahkan bahwa aksen bisa merupakan fenomena segmental dan nonsegmental dalam fonetik dan fonologi. Dia juga mengatakan bahwa aksen merupakan pembeda dari satu kelompok penutur. Pembeda tersebut dapat dilihat dari sistem fonologinya. Dalam bahasa Korea ditemukan banyak sekali aksen. Aksen di bahasa Korea disebutn santuri. Aksen yang paling banyak digunakan adalah aksen Seoul karena padatnya penduduk di kota tersebut. Ada dua ciri aksen yang digunakan di penelitian ini, yaitu proses aspirasi dan perubahan fonem. Aksen Seoul mengubah bunyi obstruen kendur menjadi obstruen aspirat (Wright,
29
2007). Proses aspirasi ini banyak ditemukan pada penutur usia muda di Seoul. Selain proses aspirasi, dalam aksen Seoul ditemukan beberapa perubahan fonem seperti bunyi /n/ yang berubah menjadi /d/ (Lee & Ramsey, 2000). Seperti kata /ne/ yang berarti ‘iya’ menjadi /de/.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1.
Objek Penelitian Objek penelitian dari penelitian ini adalah bunyi-bunyi konsonan dalam
bahasa Indonesia. Bunyi-bunyi yang akan dijadikan objek di sini adalah bunyi hambat, yaitu bunyi /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, dan /g/, bunyi paduan seperti /c/ dan /j/, dan yang terakhir adalah bunyi alir /l/ dan /r/. Bunyi-bunyi tersebut akan ditemukan pada kata-kata dan frasa-frasa yang diujikan. Kata-kata dan frasa-frasa tersebut akan muncul di beragam lingkungan untuk melihat bagaimana keberhasilan bunyi tersebut untuk ditangkap telinga penutur asing dan dilafalkan oleh mereka. Karena lingkungan bunyi di mana objek penelitian muncul maka penelitian ini akan memfokuskan pada 5 lingkungan bunyi, yaitu: 1) Bunyi hambat dan alir yang muncul di inisial kata tunggal 2) Bunyi hambat dan alir yang muncul di inisial pada kata di dalam frasa 3) Bunyi yang berdampingan dengan bunyi nasal bilabial /m/, nasal apikoalveolar /n/, dan nasal dorso-velar /ŋ/. 4) Bunyi yang berdampingan dengan bunyi geseran lamino-alveolar /s/ dan geseran faringal /h/. 5) Bunyi yang berada di posisi intervocalic atau diapit oleh 2 vokal.
30
1.8.2. Subjek Penelitian Yang menjadi subjek dari penelitian ini adalah 8 penutur asli bahasa Korea yang belajar bahasa Indonesia. Ada 8 penutur asli Korea yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kemudian kedelapan penutur tersebut dikelompokan dalam tiga kelompok. Kelompok pertama berisi tiga penutur berada di usia 20-30 tahun dan memiliki bahasa kedua bahasa Inggris. Ketiganya belajar di jurusan Sastra Inggris, satu orang bahkan bekerja di London, Inggris. Kelompok ini merupakan pembelajar bahasa Indonesia yang pernah mengambil kursus tidak lebih dari 3 minggu pada saat tes dilakukan. Kelompok kedua adalah kelompok yang tinggal selama satu tahun di Indonesia dan mengambil kelas bahasa Indonesia selama mereka tinggal di Indonesia. Ketiga penutur tersebut bisa berbahasa Inggris tapi hanya sebatas sebagai bahasa asing. Pembelajar pada kelompok ini mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan menggunakan kalimat utuh dan fluently. Sama dengan kelompok sebelumnya, kelompok ini memiliki batas umur dari 20 sampai 30 tahun. Berbeda dari kedua kelompok sebelumnya, kelompok ketiga ini berisi 2 penutur yang sudah tinggal di Indonesia selama lebih dari 5 tahun, namun hanya mengambil kelas bahasa Indonesia kira-kira lebih dari 12 bulan di tahun pertama mereka tiba di Indonesia. Usia kedua penutur ini pun berbeda, rata-rata berusia lebih dari 50 tahun. Kelompok ketiga ini seorang penutur belajar bahasa Inggris dan seorang lainnya tidak.
31
1.8.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini terdapat tiga tahap tes yang dilakukan, yaitu: 1) Tes Tahap 1 Tes tahap pertama merupakan tes yang digunakan untuk menarik gambaran awal tentang kemampuan pembelajar Korea memproduksi bunyi-bunyi bahasa Indonesia. Tes pertama ini merupakan video rekaman di mana sekelompok pembelajar Korea sedang melakukan tes berbicara (speaking experiment). Mereka akan diberi beberapa pertanyaan sederhana tentang hobi, jurusan, warna favorit, dll oleh guru dan diminta menjawabnya dalam bahasa Indonesia. Di sini dapat dilihat bagaimana mereka memproduksi bunyi secara natural. Jika melihat teori yang digunakan Ellis dan Barkhuizen (2005) tahap ini disebut sebagai tahap “naturally occurring”, di mana walaupun para pembelajar sedang dalam tes berbicara, tapi mereka tidak sadar bahwa pengucapan mereka sedang diteliti. Yang mereka sadari bahwa mereka harus bisa menjawab pertanyaan dalam bahasa Indonesia dengan tepat. Tujuan utama dari tes tahap ini adalah untuk melihat bunyi mana saja yang bermasalah bagi para pembelajar. Pembelajar sendiri dipilih secara random karena ingin dilihat kesulitan secara general tanpa klasifikasi. Kemudian diambil kesimpulan, yang nantinya akan menjadi hipotesis di tes selanjutnya, bahwa bunyi yang sulit untuk diproduksi adalah bunyi pasangan minimal konsonan hambat dan paduan serta bunyi alir. Selanjutnya dijelaskan oleh keduanya bahwa proses pengambilan data untuk hasil yang dapat menjawab hipotesis yang sudah diambil adalah dalam tahap “elicitation”. Ini merupakan proses di mana instrument yang didesain digunakan
32
untuk mendapatkan sampel produksi. Proses ini diaplikasikan pada tahap 2 dan tahap 3. Elicitation memiliki dua bentuk yang pertama ada clinical, dan yang kedua adalah experimental. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah yang kedua, yaitu elicitation experimental dimana prosedur penelitian ini dengan sangat hati-hati dan memepertimbangkan banyak faktor dikontrol. Penelitian jenis ini juga hanya focus pada bentuk linguistik yang spesifik, yaitu produksi bunyi konsonan hambat, paduan, dan alir dalam bahasa Indonesia oleh penutur berbahasa ibu bahasa Korea 2) Tes Tahap 2 Setelah mengamati performa pembelajar dalam tes berbicara di tahap pertama, maka selanjutnya akan dilakukan tes membaca (reading experiment) dalam skala kecil untuk menentukan kelompok yang akan digunakan untuk melakukan tes utama. Di dalam tahap ini dilakukan tes kecil dengan hipotesis yang sudah diambil di tes sebelumnya. Tahap ini dipilih pembelajar dengan variabel yang beragam untuk menentukan varibel mana yang nantinya menjadi batasan dalam pengelompokan partisipan tes tahap 3. 3) Tes Tahap 3 Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa kondisi di mana data diambil sangatlah mempengaruhi data yang di dapat. Karenanya sebelum berbicara mengenai metode dan teknik pengumpulan data pada tahap ini maka akan dipaparkan terlebih dahulu tentang situasi pengambilan data. Pada tes utama, tes tahap 3, yang merupakan tes pengambilan data, pembelajar dalam keadaan sadar bahwa mereka dijadikan sampel dari penelitian.
33
Pada saat merekam produksi juga mereka sadar bahwa mereka sedang berada di dalam tes yang bertujuan untuk melihat kemampuan mereka dalam memproduksi. Selain mengenai kondisi kesadaran partisipan, alat tes yang merupakan kelompok kata-kata tunggal dan frasa jugalah penting. Seperti yang sudah diungkapkan oleh Ellis dan Barkhuizen bahwa data sangat dipengaruhi oleh kondisi partisipan dan alat tes yang digunakan, seperti kata atau frasa. Hal ini juga yang menjadikan landasan kenapa dalam menyusun alat tes digunakan kata tunggal dan frasa. Tes yang digunakan pada tahap ini sama dengan tahap sebelumnya yaitu tes membaca (reading experiment) pada kelompok partisipan yang sudah digolongkan. Walaupun sama-sama tes membaca, tetapi kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata yang dipilih berdasarkan hasil penelitian dari data yang didapat dari tes tahap 2. Kata-kata dan frasa-frasa yang digunakan di sini lebih komplek. Ada dua bagian besar di dalam perangkat tes ini. 1) Bagian 1: Kata-kata Tunggal Pada bagian ini terdapat kata-kata tunggal yang kemudian dikelompokan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok kata-kata tunggal dengan bunyi hambat dan paduan sebagai inisial. Bunyi hambat dan paduan di posisi ini diikuti oleh bunyi vokal yang beragam. Pada kelompok kedua ditemukan kata-kata tunggal dengan bunyi hambat dan paduan yang berada di tengah kata dan berdampingan dengan bunyi nasal dan geseran, atau berada di antara bunyi vokal. Akan dilihat bagaimana deret konsonan ini mampu diproduksi. Kelompok ketiga merupakan kelompok kata yang
34
mengandung bunyi alir, baik di posisi inisial, berada di deret konsonan (nasal dan geseran), maupun di antara bunyi vokal (intervocalic). Pada bagian ini, jika memungkinkan akan digunakan kata-kata pembanding seperti pada kata hambat /kakak/ dan /gagak/, pada kata paduan /cicik/ dan /jijik/, dan pada kata alir seperti /polos/ dan /poros/. Hal ini untuk melihat kemampuan mereka untuk membedakan bunyi dengan kategori yang sama tapi memiliki kaidah pembeda. Kata-kata ini sengaja diletakan berurutan maupun menyebar. Hal ini bisa dijadikan alat untuk melihat faktor kesadaran pengucapan. Dengan ini dapat dilihat bagaimana bunyi sekategori tersebut diproduksi secara sadar dan tak sadar. 2) Bagian 2: Frasa-frasa Pada bagian ini terdapat frasa-frasa di mana bunyi hambat, paduan, dan alir ditemukan. Di bagian awal akan berikan frasa-frasa sederhana yang katakatanya banyak digunakan di percakapan sehari-hari, hingga kef rasa-frasa dengan kata-kata yang hanya digunakan dalam bidang-bidang tertentu, sehingga untuk pembelajar pada tahap awal akan kesulitan karena kemungkinan besar mereka belum pernah mendengar kata-kata tersebut. Bagian kedua ini diharapkan dapat memperlihatkan kemampuan pembelajar dalam memproduksi bunyi dengan keadaan tak sewaspada bagian pertama, karena bunyi-bunyi tersebut menyebar dan berada di dalam frasa. Data dari ketiga tahap tes ini akan dikumpulkan metode catat dan simak, di mana hasil tes tersebut menjadi data utama dari proses analisi (Kesuma, 2007).
35
Rekaman hasil tes tersebut akan didengarkan dan dicatat hasilnya dalam bentuk transkrip fonologis. 1.8.4. Metode dan Teknik Analisi Data Metode analisi data yang dipilih adalah metode padan. Metode padan bisa diaplikasikan apabila seluk beluk penentu dikuasai (Kesuma, 2007). Pada penelitian ini metode padan fonetis artikulatoris menjadi teknik pokok dalam menganalisis data. Data dalam bentuk rekaman, pertama-tama akan diubah ke dalam transkripsi fonetis. Data fonetis ini akan dicek oleh penutur asli yang merupakan alat penentu ketepatan pelafalan. Di sini bisa dikatakan bahwa penutur asli merupakan alat analisis. Untuk menunjukan proses-proses fonologi yang terjadi dan melihat fonem yang muncul digunakan soundwave dan spectrogram. Program yang digunakan di sini adalah Speech Analyze version 3.1.0 dari perusahan SIL International. 1.8.5. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian analisi data ini dilakukan secara formal menggunakan istilahistilah linguistik (Kesuma, 2007).
1.9.
Sistematika Penyajian 1) Bab I Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan landasan teori dari penelitian mengenai produksi bunyi-bunyi konsonan bahasa Indonesia oleh penutur asli bahasa Korea.
36
2) Bab II Perbandingan Kaedah Konsonan dan Silabel Bahasa Indonesia dan Bahasa Korea Bab ini menjabarkan kaidah-kaidah fonologi dari dua bahasa yang menjadi objek penelitian, yaitu bahasa Indonesia dan Korea. Di sini akan dilihat karakter bunyi konsonan dan juga kaidah-kaidah fonetis yang dimiliki tiaptiap bahasa. 3) Bab III Kecenderungan Penutur Korea dalam Memroduksi Bunyi Hambat, Paduan, dan Alir dalam Bahasa Indonesia Bab ini menjabarkan tentang kemampuan penutur asli Korea dalam melafalkan bunyi-bunyi konsonan yang ditemukan dalam kata-kata atau frasa-frasa bahasa Indonesia. Akan dilihat persentase keberterimaan dari masing-masing kelompok penutur. 4) Bab IV Strategi Fonologis Bab ini akan menunjukan kaidah-kaidah fonetis bahasa Indonesia yang tak mampu diproduksi oleh penutur Korea dan juga strategi fonologis yang digunakan agar dapat menghasilkan bunyi yang karakter bunyinya mendekati bunyi aslinya. Di sini digunakan wavesound dan spectrogram untuk membuktikan jenis strategi yang digunakan. 5) Bab V Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Kemampuan Penutur Berbahasa Ibu Bahasa Korea Dalam Memroduksi Bunyibunyi Konsonan Bahasa Indonesia Dalam bab ini akan dijelaskan tentang alasan-alasan yang mempengaruhi kemampuan penutur asing dalam memroduksi bunyi.
37
6) Bab VI Kesimpulan dan Saran Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan dan juga saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Penemuan-penemuan lain diluar fokus penelitian yang ditemukan di dalam proses penelitian juga dipaparkan di sini dan diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk penelitian selanjutnya.