BAB I PENGANTAR
A. Latar belakang Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Melalui pendidikan diharapkan manusia memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum pada Bab 1 Pasal 20 yaitu “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Oleh karena itu diperlukan suatu lingkungan belajar yang memiliki peran dalam mensejahterakan siswa, sehingga siswa yang belajar dapat mengikuti proses pembelajaran sampai akhir jenjang pendidikan dengan hasil yang terbaik. Pengaruh sekolah sebagai salah satu lingkungan belajar siswa dalam kesehatan, kesejahteraan dan perkembangan siswa membuat WHO (World Health Organization) memberikan perhatian khusus dengan dilakukannya Promosi Kesehatan Sekolah (Health-Promoting Schools). Program Health-Promoting Schools ini memiliki tujuan untuk meningkatkan jumlah sekolah yang dapat mempromosikan kesehatan dengan karakteristik sekolah yang mampu memperkuat kapasitasnya sebagai lingkungan yang sehat dalam kehidupan, pembelajaran dan tempat kerja
1
2
(WHO, 1998). Dengan adanya program tersebut, WHO berharap dapat menjadikan sekolah sebagai lingkungan belajar yang mampu memberikan kontribusi bagi siswa sebagai generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan sehat. Program WHO ini telah menjadi latar belakang dari terbentuknya konsep model teoritis yaitu kesejahteraan sekolah (school well-being) yang berdasarkan konsep kesejahteraan secara sosiologis (Konu & Rimpela, 2002). Model school wellbeing yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002) melihat kesejahteraan dari sudut pandang siswa yang terdiri dari empat aspek yaitu having (kondisi sekolah), loving (hubungan sosial), being (pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Konsep tersebut memiliki harapan bahwa kesejahteraan sekolah siswa lebih penting, yaitu perasaan siswa dalam menilai kelayakan sekolah mereka sebagai lingkungan belajar yang mampu memberikan dukungan, rasa aman, dan nyaman. School well-being yang diambil dari sudut pandang siswa dapat menjadi terobosan pengembangan evaluasi sekolah karena siswa adalah konsumen dalam pelayanan pendidikan, sehingga penting penilaian subjektif mereka untuk memenuhi program health-promoting school (Konu & Lintonen, 2005). Penilaian subjektif siswa tentang sekolah dalam hal ini yaitu tentang pelayanan dan fasilitas sekolah yang diharapkan mampu menunjang proses pembelajaran di lingkungan sekolah sangatlah penting, karena dengan adanya dukungan fasilitas sekolah diharapkan siswa memiliki rasa puas dalam lingkungan belajarnya (Owoeye & Yara, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Konu dan Lintonen (2005) mengungkapkan kondisi fisik sekolah yang paling perlu ditingkatkan adalah ventilasi, fasilitas toilet, dan suhu, yang merupakan beberapa indikator dari
3
aspek having yang mempengaruhi kepuasan siswa dalam The School Well-being Profile. Demikian pula dalam penelitian awal yang dilakukan peneliti pada siswa SMP Negeri Kota Yogyakarta didapatkan pernyataan siswa yang menunjukkan ketidakpuasan pada fasilitas sekolah seperti pada siswa SMPN B Yogyakarta berinisial TI yang menyampaikan pendapatnya sebagaio berikut : “lapangan kurang luas, dijadikan toilet dan musholla umum, banjir jika hujan, karpet di masjid bau, halaman depan sekolah dijadikan parkir bus dan membuat sesak nafas karena asap bus”. Pendapat lain dari siswa SMPN K Yogyakarta berinisial
FDA menyampaikan
pendapat dari sudut pandang lain dalam ketidakpuasan dengan sekolahnya, yaitu: “hampir semua bagian dari sekolah ini memiliki banyak kekurangan terutama sekolah ini terletak di sebelah jalan raya yang berarti saya harus kebisingan setiap harinya”. Pendapat
siswa
dari
SMPN
D
Yogyakarta
berinisial
AFM
menyatakan
ketidakpuasannya yaitu : “kantinnya terlalu kecil →jajan jadi berdesakan, ruang kelasnya kurang mencukupi, tata tertib terlalu menekan, kamar mandinya bau, kecil dan jumlahnya sedikit”. Ketidakpuasan terhadap kondisi fasilitas sekolah juga dinyatakan ADM, siswa SMPN C Yogyakarta, yaitu: “tidak ada kipas anginnya, mejanya kotor banyak corat-coret dan ada yang tidak ada lacinya”. Hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian siswa terhadap kondisi sekolah yang tidak mampu memberikan kenyaman pada siswanya. Terlebih lagi pada fasilitas yang mungkin dianggap sepele namun krusial keberadaannya seperti toilet dan kantin merupakan sarana umum yang turut berkaitan dengan kesehatan agar siswa tetap nyaman dalam lingkungan sekolah (WHO, 2003).
4
Aspek lain dalam School Well-being yakni having yang menerangkan relasi sosial
antar
penduduk
sekolah
dan
lingkungan
luar
sekolah
yang
turut
mempengaruhi kebijakan dalam sekolah (contoh: orang tua, dan lingkungan yang ditempati sekolah). Yakni bagaimana hubungan siswa dengan siswa sebayanya (Buchanan & Bowen, 2008), hubungan siswa antar angkatan (Konu & Lintonen, 2006), hubungan siswa dengan guru (Vedder, Boekaerts, & Seegers, 2005; Maele & Houtte, 2011), hubungan guru dengan orang tua (Wentzel, 1998), bullying (Dake, Price, & Telljohann, 2003), serta iklim sekolah (LaRusso & Selman, 2011). Pernyataan siswa SMPN kota Yogyakarta dalam penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti turut memberikan pendapat tentang hubungan sosial berkaitan dengan school well-being. Siswa SMPN E Yogyakarta berinisial DSV menyatakan hubungannya dengan teman: “Baik. Saya berkomunikasi dan ikut bergabung di beberapa komunitas diterima dengan baik dan juga dapat bergaul dengan baik, tanpa ada yang memusuhi saya”. Hubungan dengan guru : “cukup baik, karena selalu berkomunikasi dengan guru dan guru menerima saya cukup baik”. Sedangkan, siswa SMPN K Yogyakarta berinisial YPA menyatakan hubungannya dengan siswa: “Baik, kita bisa bekerja kelompok dengan baik, bisa saling melengkapi, kita saling membantu satu sama lain”. Namun, jika ditanya tentang dukanya dalam bersekolah selama ini, jawabannya: “sering diejek sama temen yang laki-laki”. Selanjutnya, tentang hubungan dengan guru: “hubungan saya baik-baik saja. Bila saya tidak paham terhadap pelajaran, saya bisa dijelaskan lagi sampai paham”.
5
Berbeda dengan pendapat NH, siswa SMPN C Yogyakarta yang menyampaikan hubungannya dengan teman biasa saja, dengan menyebutkan sebagai berikut: “karena teman-teman di sekolah sering mengatakan kepada saya kalau saya lebih rendah daripada mereka”. Pernyataan tersebut sudah mengindikasikan adanya tindakan bullying yang NH alami di sekolah. Dari beberapa pendapat tentang hubungan sosial di sekolah yang disampaikan siswa dalam survei yang dilakukan peneliti terungkap bahwa beberapa siswa mampu memberikan dukungan satu sama lain dan beberapa siswa justru terlibat dalam tindakan bullying, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, hal tersebut dapat diindikasikan masih belum terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Aspek selanjutnya yaitu being dalam school well-being menurut Konu dan Rimpela (2002) merupakan kesempatan siswa yang diberikan sekolah untuk pemenuhan diri (self-fulfillment). Pemenuhan diri yang dimaksud adalah usaha sekolah dalam memberikan apresiasi kepada siswa untuk turut mengambil peran dalam pengambilan keputusan, serta pengembangan diri melalui pengetahuan, dan ketrampilan sesuai bakat dan minat siswa, dimana sekolah sebagai lembaga payung yang bertugas mengawasi dan mengarahkan kegiatan siswa tersebut. Berbeda jika sekolah kurang bisa menghargai siswanya seperti pada penelitian awal yang dilakukan peneliti, yang mana siswa SMPN K Yogyakarta berinisial RA yang menyoroti tentang pihak sekolah yaitu guru yang kurang bisa menghargai siswanya dengan berpendapat : “guru-guru ada yang saling berbeda pendapat tetapi tidak bisa menghargai, cara mengajarnya ada yang kurang dipahami, ada guru yang selalu menjelek-jelekkan muridnya sendiri”.
6
Pendapat RA dalam menilai guru sebagai pihak sekolah yang seharusnya mampu memberikan penghargaan pada muridnya, namun yang dirasakan justru sebaliknya. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan dalam sekolah yang membuat siswa tidak mendapatkan apresiasi yang baik, sehingga siswa memiliki harga diri yang rendah (Chu et al, 2010 dalam Tian, Liu, Huang, & Huebner, 2012). Lain halnya dengan siswa SMPN E Yogyakarta berinisial BPP yang mendapatkan kesempatan untuk mewakili sekolah dalam ajang perlombaan, lewat pernyataan berikut : “kesan yang disukai selama bersekolah disini yaitu mengikuti dan memenangkan OSN SMP”. Serta siswa SMPN D Yogyakarta berinisial FAW yang berpendapat: “seneng bisa jadi pengurus OSIS karena bisa ikut kegiatan di sekolah terus”. Dapat diartikan bahwa keikutsertaan FAW menjadi pengurus OSIS yang merupakan lembaga perwakilan siswa dalam sekolah membuat FAW memiliki rasa senang, yang mengindisikasikan bahwa FAW merasa puas dengan kehidupan sekolahnya. Status
kesehatan
merupakan
salah
satu
aspek
dalam
kaitannya
kesejahteraan individu yang memungkinkan dalam mengungkap kesehatan fisik, dan kesehatan mental remaja (Shaffer-Hudkins, Suldo, Loker, & March, 2010). Oleh karena itu penting status kesehatan dalam school well-being untuk mengetahui adanya simptom-simptom yang dirasakan siswa di sekolah, agar tercapai kepuasan di sekolah yang menandakan kualitas sekolah yang baik. Pada penelitian awal yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa beberapa siswa merasa kelelahan yang mengindikasikan bahwa kualitas kehidupan yang dirasakan siswa kurang baik. salah satu siswa yang mengeluhkan kelelahan adalah
7
siswa SMPN B Yogyakarta berinisial RHM yang menyatakan keluhannya di sekolah sebagai berikut ini: ”kadang kecapekan dan waktu tidur siang tidak ada karena kegiatan banyak”. Siswa SMPN D Yogyakarta berinisial MYA juga menyatakan kelelahan dengan alasan yang berbeda, pernyataannya yaitu: “saya sering kelelahan karena sekolahnya jauh jadi ortu sering khawatir” Demikian juga dengan siswa SMPN K Yogyakarta berinisial AYK yang menyatakan pendapatnya: “jika pulang siang saya selalu mengantuk dan selalu merasa capek karena membawa tas yang berat dan pulang naik bis trus jalan kaki sampai rumah rasanya capek sekali”. Kelelahan yang dirasakan RHM, MYA dan AYK merupakan salah satu tanda kesehatan yang kurang baik sebagai siswa. Namun kelelahan bukanlah satusatunya yang dikeluhkan siswa dalam kaitan status kesehatan di sekolah, ada siswa yang pernah mengalami jatuh di sekolah, cedera saat ekstra kurikuler, serta sakit yang menyebabkan siswa harus tidak hadir di sekolah karena harus beristirahat di rumah. Pada pengamatan peneliti pada tanggal 28 Februari 2013 di SMPN D Yogyakarta ada juga siswa yang merasa tidak enak badan sewaktu di sekolah dan menggunakan fasilitas UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk dapat beristirahat disana. Adanya keluhan-keluhan yang disampaikan oleh siswa-siswa tersebut merupakan keluhan psikologis yang berkaitan dengan nyeri psikosomatis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hjern, Alfven dan Ostberg (2007) pada siswa sebanyak 2588 berusia 10-18 tahun yang kecenderungan dari siswa-
8
siswanya mengalami stress di sekolah, dimana keluhan psikologis tampaknya berfungsi sebagai mediator stress di sekolah untuk gejala sakit/nyeri psikosomatik. Dari temuan di lapangan serta temuan literatur dapat disimpulkan bahwa masih belum tercapai adanya kesejahteraan di sekolah (school well-being) yang ditandai dengan rasa ketidaknyamanan, ketidakpuasan, serta kualitas kehidupan di sekolah yang kurang baik di beberapa SMP Negeri Kota Yogyakarta. Selain daripada itu, siswa SMP yang dalam perkembangan remaja awal sedang mengalami masa transisi baik transisi secara perkembangan dari masa anak-anak ke dewasa, serta transisi sekolah dari SD ke SMP turut mempengaruhi kesejahteraan remaja sebagai siswa di sekolah (Shoshani & Slone, 2012) Sekolah turut mengambil andil yang besar dalam perkembangan siswa, karena hampir seharian mereka berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan sekolah yang sehat dapat meningkatkan kesehatan dan pembelajaran yang efektif, serta memberikan kontribusi pada siswa dalam perkembangannnya menuju individu yang matang, sehat, memiliki ketrampilan dan bermanfaat untuk masyarakatnya (WHO, tt). Oleh karena itu, sangat penting adanya menciptakan school well-being untuk siswa yang menginjak bangku SMP, karena sesuai dengan usia masuk SMP yaitu sekitar usia 12 atau 13 tahun yang merupakan awal dari masa perkembangan remaja (Santrock, 2003). Masa remaja merupakan transisi dari perkembangan masa anak-anak menuju kematangan masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Perubahan lain yang dirasakan oleh remaja adalah transisi sekolah dari sekolah dasar (SD) menuju ke sekolah menengah
9
pertama (SMP) yang kebetulan juga merupakan masa transisi dari perkembangan remaja (Eccles & Midgley, 1990). Keadaan ini dapat menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan bagi siswa SMP, karena mereka memiliki persepsi tentang kualitas kehidupan sekolah yang kurang memuaskan sehingga siswa SMP kurang bertanggung jawab terhadap sekolah, kurang menyukai guru-guru mereka, serta hal ini terjadi tanpa memandang seberapa berhasil nilai siswa-siswa secara akademis (Hirsch & Rapkin dalam Santrock, 2003). Pengalaman transisi siswa dalam lingkungan sekolah memiliki peran penting dalam membentuk penyesuaian psikologis dan perilaku siswa dari SD ke SMP (Way, Reddy, & Rhodes, 2007). Penyesuaian siswa di sekolah seperti inilah saat remaja menentukan pilihan dan mengambil sikap yang tepat, karena pilihan dan sikap yang tepat akan berpengaruh pada sisa hidup mereka dalam menentukan masa depan. Dalam masa penyesuaian diri di sekolah yang baru, siswa memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang sekolah yang akan ditempati selama 3 tahun kedepan. Penelitian yang dilakukan Haladyna dan Thomas pada tahun 1979, serta Hirsch dan Rapkin pada tahun 1987 (dalam Mullins & Irvin, 2000) terungkap bahwa selama masa transisi, siswa mengalami penurunan pada kepuasan di sekolah serta menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan permasalahan akademis maupun yang bukan secara negatif. Permasalahan penyesuaian siswa ini diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti dengan sejumlah guru Bimbingan Konseling (BK) di SMP negeri Kota Yogyakarta bahwa penyesuaian diri siswa masih menjadi kendala untuk berada
10
dalam lingkungan baru yang akhirnya memunculkan permasalahan-permasalahan di tahun awal mereka. Dari survei awal yang dilakukan peneliti dengan responden siswa-siswa di beberapa SMP Negeri Kota Yogyakarta dapat ditampilkan pada gambar 1:
Survei permasalahan siswa SMP Negeri Kota Yogyakarta 3% 2% 4% 7%
7%
bullying 28%
prestasi kelelahan
7%
masalah keluarga masalah pribadi 15% 27%
masalah asmara masalah pertemanan masalah ekonomi terpaksa sekolah
Gambar 1. Survei permasalahan siswa SMP Negeri di Kota Yogyakarta
Dengan deskripsi tiap permasalahan yang menjadi tren saat ini, antara lain: 1. Dibully oleh teman sebaya dan atau oleh kakak kelas, dengan prosentase 27%. Dengan prosentase tersebut, maka peneliti menambahkan survei tentang bullying. Adapun bentuk bullying yang pernah dirasakan oleh siswa selama bersekolah di SMP yang ditempati sekarang, yaitu : sebanyak 31,3% siswa pernah diejek karena bentuk tubuh atau karena warna kulit, 27,1% siswa pernah
11
dipukul atau dicederai, 13,6% siswa pernah dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bukan dari keinginannya, 10,7% siswa pernah diejek karena agamanya, 8,5% siswa pernah diejek karena penampilannya, 6,7% siswa pernah dipaksa untuk membuatkan PR oleh siswa lain, 5,1% siswa pernah diejek karena miskin, 3,4% siswa pernah mendapatkan pelecehan seksual, 2,8% siswa pernah dipalak/diminta uangnya secara paksa, dan, 5,1% siswa menyatakan mendapat perlakuan diskriminasi dari guru. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ternyata sebanyak 20,1% siswa pernah melakukan tindakan tersebut diatas pada siswa lain. Prosentase dari survei bullying ditampilkan pada gambar 2: Diskriminasi oleh guru Melakukan 5% tindakan bullying
Survei Bullying
pada siswa lain 20% Diejek karena penampilan 9%
Dipukul/dicederai 27%
Diejek karena agama 11% pelecehan seksual 4% Diejek karena miskin 5%
Dipaksa melakukan sesuatu 14%
Dipalak 3% Dipaksa buat PR 1%
Diejek bentuk tubuh/warna kulit 1%
Gambar 2. Survei bullying
2. Prestasi belajar yang rendah, dengan prosentase 21%. Dari hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti, responden menyatakan mendapatkan nilai jelek
12
prosentase tersebut didapatkan melalui jumlah indikator yang disampaikan oleh siswa dari survei, yaitu: 83% siswa menyatakan bahwa nilai yang didapat tidak memuaskan (jelek), dan 17% siswa menyatakan bahwa prestasi yang rendah karena kurang mampu konsentrasi belajar. Data tersebut dikuatkan dengan wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap guru BK di SMPN O pada tanggal 9 Januari 2013 menyatakan bahwa beberapa siswa kelas VII memiliki nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) pada semester I dan diberi kesempatan untuk melakukan ujian ulang (remedial) namun nilainya tetap rendah. Hal serupa juga disampaikan oleh guru BK SMPN A pada tanggal 10 Januari 2013 bahwa kebiasaan belajar yang kurang baik memberi pengaruh pada rendahnya prestasi belajar siswa. 3. Kelelahan, dengan prosentase 15%. Dari hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti, responden menyatakan mendapatkan nilai jelek prosentase tersebut didapatkan melalui jumlah indikator yang disampaikan oleh siswa dari survei, yaitu: 47% siswa menyatakan bahwa pelajaran/tugas yang diberikan oleh guru berat, 21% siswa menyatakan kelelahan karena jauh dari rumah dan 32% siswa menyatakan kelelahan karena mengikuti les atau ekstra kurikuler. Data tersebut diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti terhadap guru BK di SMPN G pada tanggal 7 Februari 2013 menyatakan sekitar hampir 30% siswa yang diterima berasal dari luar kota Yogyakarta (Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul dan kabupaten Kulon Progo). Lain halnya pernyataan dari guru BK SMPN O untuk wawancara awal peneliti pada tanggal 9 Januari 2013 bahwa siswa SMP telah memiliki beban kurikulum yang berat, yaitu adanya beban tugas (PR) yang
13
diberikan guru pelajaran setiap hari, dimana dalam satu hari ada 6-7 pelajaran yang diberi PR. 4. Masalah keluarga (merasa kurang perhatian dari orang tua), dengan prosentase 7%. Data tersebut diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN I pada tanggal 23 Januari 2013 yang menyatakan ada siswa yang sering membolos, dikarenakan kurang perhatian dari orang tua yang ternyata sudah pisah rumah. 5. Masalah pribadi (berkenaan dengan transisi perkembangan remaja misal merasa dewasa tapi bersikap kekanak-kanakan), dengan prosentase 7%. Data tersebut diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN K pada tanggal 22 Januari 2013 yang menyatakan bahwa siswa kelas VII cenderung masih bersikap kekanak-kanakan dalam bersosialisasi. Demikian juga dengan pernyataan guru BK SMPN P pada tanggal 23 Januari 2013 yang menyampaikan bahwa siswa kelas VII merasa ada “euphoria” yaitu kesenangan yang besar karena telah diterima di sekolah negeri, dan merasa dirinya sudah dianggap “dewasa” oleh masyarakat dibanding pada saat SD. 6. Masalah asmara (pacar direbut, pacaran beda sekolah), dengan prosentase 3%. Data ini diperkuat dengan wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN O pada tanggal 9 Januari 2013 yang menyatakan bahwa siswi kelas VII sudah berani menyatakan perasaannya pada lawan jenis, serta dalam menyatakan hubungan pacaran pada guru lebih terbuka. Pendapat serupa juga disampaikan guru BK SMPN F pada tanggal 18 Januari 2013 bahwa siswa kelas VII telah
14
berani menyatakan hubungan pacaran sejak siswa-siswi tersebut dari SD yang akhirnya dilanjutkan sampai SMP kepada guru. 7. Masalah pertemanan (diajak berkelahi, belum terlalu kenal dengan siswa lain), dengan prosentase 7%. Data ini diperkuat dengan wawancara awal yang dilakukan peneliti terhadap guru BK SMPN O pada tanggal 9 Januari 2013 yang menyatakan bahwa beberapa siswa mengikuti siswa lain atau kakak kelas untuk ikut berkelahi, setelah diselidiki oleh guru BK SMPN O ternyata siswa tersebut di adu domba agar terjadi perkelahian. Pernyataan lain yang berkaitan dengan masalah pertemanan yaitu oleh guru BK SMPN A pada tanggal 10 Januari 2013, guru BK SMPN F pada tanggal 18 Januari 2013, guru BK SMPN P pada tanggal 23 Januari 2013 dan guru BK SMPN D pada tanggal 8 Februari 2013 yang memiliki pendapat yang sama berdasar observasi bahwa beberapa siswa kelas VII terjadi kesalah pahaman karena belum terlalu kenal dengan teman sekelas, serta beberapa siswa/siswi yang telah memiliki kelompok sendiri sehingga jika ada siswa lain yang ingin bergabung/bersosialisasi selalu dianggap tidak memiliki kesamaan. 8. Masalah ekonomi (kekhawatiran tidak bisa membayar LKS, tidak punya uang jajan), dengan prosentase 2%. Data tersebut diperkuat dengan wawancara awal oleh peneliti terhadap guru BK SMPN I pada tanggal 23 Januari 2013 yang menyatakan bahwa karena permasalahan ekonomi beberapa siswa memiliki semangat belajar dan status kesehatan yang rendah. Wawancara terhadap guru BK SMPN J pada tanggal 22 Januari 2013 turut memperkuat data tentang
15
permasalahan ekonomi siswa SMP dari kelompok KMS yang merasa tidak percaya diri karena dijadikan bahan ejekan siswa lain yang non-KMS. 9. Siswa merasa terpaksa sekolah yang ditempatinya, karena tidak diterima di SMP yang diinginkan, dengan prosentase 2%. Data tersebut diperkuat dengan wawancara awal peneliti terhadap guru BK SMPN P pada tanggal 23 Januari 2013, guru BK SMPN C pada tanggal 8 Februari 2013 dan guru BK SMPN K yang memiliki pendapat yang sama bahwa ada beberapa siswa yang sebenarnya tidak ingin bersekolah di SMP yang ditempatinya karena nilai NEM yang tidak mencukupi untuk masuk ke SMP yang diinginkan. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi fenomena kehidupan di sekolah yang mengkhawatirkan, karena siswa yang pergi ke sekolah tampaknya bisa stres yang ternyata berhubungan dengan ketakutan akan kegagalan (Matos, Gaspar, Tome, & Cruz, 2012). Dapat diartikan dari hal tersebut bahwa siswa merasa tidak nyaman berada di sekolah, karena adanya afek negatif yang dirasakan siswa yang menandakan bahwa belum tercapainya kesejahteraan di sekolah. School well-being pada siswa SMP dapat dipengaruhi oleh faktor internal (efikasi diri, penyesuaian diri, regulasi diri, self esteem, persepsi diri) dan faktor eksternal (dukungan sosial, kelompok tertentu, lingkungan sosial, iklim sekolah). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Karademas (2006) menjelaskan bahwa hubungan antara efikasi diri, dukungan sosial dengan kesejahteraan sangatlah penting, karena keyakinan pribadi yang berhubungan dengan relasi sosial mampu membentuk harapan serta hasil yang mengindikasikan adanya kepuasan hidup pada individu. Hal tersebut juga dapat menerangkan bahwa proses penilaian terhadap
16
fungsi diri akan keyakinan (efikasi diri) serta interaksi dengan lingkungan (dukungan sosial) dapat menjadi intervensi yang tepat dalam menumbuhkan kesejahteraan (well-being) yang dirasakan individu. Sejalan dengan penelitian Karademas, penelitian yang dilakukan oleh Vieno, Santinello, Pastore dan Perkins (2007) mengungkapkan bahwa pada remaja awal berusia 13 tahun dimana efikasi diri muncul sebagai dasar bagi kesejahteraan yang baik, serta adanya dukungan sosial khususnya dari teman sebaya (teman sekelas) menjadi komponen penting dalam kehidupan di sekolah pada remaja awal. Dari literatur diatas, didapatkan variabel yang mampu mempengaruhi kesejahteraan sekolah pada remaja sebagai siswa di sekolah yaitu efikasi diri dan dukungan teman sebaya. Dalam penelitian Caprara, Steca, Gerbino, Paciello, dan Vecchio, (2006) yang melibatkan 664 remaja menerangkan bahwa efikasi diri pada remaja mampu mempengaruhi kesejahteraannya dalam mengatur pengalaman emosi positif mereka agar tetap tercipta kepuasan dalam diri remaja, dimana remaja mampu meyakinkan kondisinya dengan lebih baik, memiliki penerimaan diri yang baik serta memiliki harapan yang positif tentang masa depan. Hal ini berbeda dengan yang dirasakan siswa SMPN K Yogyakarta berinisial FDA yang menyatakan permasalahannya sebagai berikut: “saya selalu terbayang akan masa depan saya, terkadang saya merasa terkucilkan, terkadang merasa jengkel dengan teman-teman saya, merasa minder, dan merasa malu karena sekolah disini”. Dari pernyataan FDA tersebut dapat disimpulkan bahwa masih ada siswa yang belum bisa menerima kenyataan yang ada dengan ditandai penerimaan diri yang rendah, dan tidak memiliki keyakinan pada diri yang positif terhadap masa depannya
17
sendiri. Adapun penyebabnya dimungkinkan karena fluktuasi emosi, perilaku dan kognitif dalam perkembangan remaja, yang dapat diindikasikan dengan emosi negatif FDA yaitu adanya kekhawatiran atau kecemasan pada masa depannya. Terlebih lagi berhubungan dengan perasaan malu dan terkucilkan di sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam akademis. Penelitian yang dilakukan oleh Moeini, Shafii, Hidarnia, Babaii, Birashk dan Allahverdipour (2008) menerangkan bahwa efikasi diri, persepsi terhadap stres dan kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang signifikan, yang mana ditandai dengan tingginya efikasi diri individu mampu meningkatkan kesejahteraan individu tersebut. Sebaliknya, individu yang memiliki efikasi diri yang rendah diperkirakan dapat mengarah pada depresi, karena jika individu tidak memiliki keyakinan diri dalam hidupnya maka peristiwa-peristiwa yang datang padanya akan menimbulkan perasaan negatif dan tidak nyaman. Dalam memahami siswa yang beranjak remaja, maka perlu mengetahui bahwa efikasi diri merupakan salah satu hal yang berpengaruh pada kemampuan mereka untuk dapat berhasil di sekolah. Hal tersebut diungkapkan oleh Zimmerman dan Cleary (2006) bahwa ada hubungan antara efikasi diri dengan tiga variabel penting yang berkaitan dengan fungsi sekolah, yaitu: motivasi akademik, prestasi akademik dan perkembangan pribadi remaja.
Tipe efikasi diri pada siswa yang
mampu mengantarkan siswa dalam keberhasilan di sekolah diketahui terdiri dari fungsi sosial (keyakinan diri dalam membentuk serta mempertahankan hubungan sosial siswa), fungsi regulasi diri (pengaturan diri dalam menentukan sikap dan
18
perilaku), dan fungsi akademik (pengaturan belajar, serta penguasaan materi pelajaran dalam mencapai prestasi yang optimal) (Zimmerman & Cleary, 2006). Dave, Tripathi, Singh dan Udainiya (2011) menerangkan bahwa tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh efikasi diri, yang mana keyakinan mempengaruhi perilaku individu. Sehingga jika siswa merasa percaya diri terhadap kemampuannya, maka siswa akan lebih mampu melakukan kegiatannya di sekolah dan mendapatkan hasil akademis yang baik. Dalam hubungannya dengan pengalaman transisi di sekolah yaitu perubahan dari SD ke SMP siswa yang percaya diri dengan kemampuannya dan proses belajar akan menganggap pengalaman transisi sekolahnya lebih positif, sedangkan siswa yang menganggap pengalaman transisi sekolah dengan adanya tugas yang sulit lebih beresiko memiliki permasalahan akademik dan perilaku di sekolah (Patrick & Drake, 2009). Studi yang dilakukan Patrick dan Drake tersebut sejalan dengan adanya permasalahan yang dihadapi oleh siswa SMPN di Kota Yogyakarta, dimana beberapa siswa menyatakan adanya pengalaman yang positif dari transisi sekolah (bertambahnya teman baru, mendapatkan ilmu baru), serta tidak menutup kemungkinan dengan adanya pengalaman negatif
(dibully, dimarahi guru,
kelelahan). Oleh karena itu, school well-being pada siswa secara internal memerlukan efikasi diri karena diyakini mampu memberi pengaruh pada kesejahteraan serta keberhasilan di sekolah. Hal tersebut ditandai dengan siswa mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, mampu menilai keberhasilan dari tugas yang dikerjakan, serta mampu menilai dengan pasti keyakinan dalam penguasaan materi atau tugas tertentu.
19
Clark (2008) menjelaskan dalam penelitian yang dilakukan bahwa remaja merupakan masa penuh dengan tekanan, yang ditandai dengan adanya afek yang negatif dalam kepuasan hidup remaja. Sehingga penting adanya dukungan dari teman sebaya karena remaja yang menganggap bahwa temannya mendukung tidak memiliki pengalaman terhadap stress. Perubahan besar dalam remaja pada umumnya ada peningkatan pada fokus serta keterlibatan teman sebaya. Pentingnya penerimaan sosial selama remaja dalam setting sekolah menandakan perlu adanya dukungan dari teman sebaya, karena selama remaja kedekatan antar teman sebaya dalam melakukan aktivitas bersama dan bahkan saran atau opini teman sebaya dianggap lebih penting dibandingkan dengan angota keluarga (Huffman, dalam Eccles, nd). Penelitian yang dilakukan oleh Wentzel, Barry dan Caldwell (2004) menemukan bahwa remaja dengan teman sebayanya menunjukkan tingkat kesejahteraan emosional yang tinggi. Dalam dukungan akademik pun teman sebaya memiliki korelasi positif dengan kenyamanan belajar siswa (Huang, Eslami, & Hu, 2010). Dukungan teman sebaya telah banyak membantu mengatasi masalah termasuk dukungan akademik di sekolah, transisi sekolah ke SMP, bullying, dan diskriminasi (Ellis, Marsh, & Craven, 2009). Dalam hasil penelitian Ellis, Marsh dan Craven
(2009)
menyarankan
program
dukungan
teman
sebaya
mampu
memfasilitasi penyesuaian siswa dalam konteks transisi perkembangan serta transisi di sekolah, bahkan memberikan bukti yang kuat bahwa dukungan teman sebaya
20
memiliki peranan yang signifikan dalam membantu kesejahteraan siswa selama transisi sekolah. Pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa akan dapat meningkatkan kesejahteraan dan status kesehatan siswa. Salah satunya dengan memberikan dukungan sehingga menambah rasa puas siswa terhadap pengalaman bersekolah yang menyenangkan (Samdal, Nutbeam, Wold, & Kannas, 1998). Berdasarkan penjelasan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, serta temuan di lapangan didapatkan dua hal yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan school well-being, yaitu efikasi diri dan dukungan teman sebaya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah apakah ada peran efikasi diri dan dukungan teman sebaya terhadap school well-being pada siswa SMP Negeri di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran efikasi diri dan dukungan teman sebaya terhadap school well-being pada siswa SMP Negeri di Kota Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
21
pengembangan kajian psikologi positif dan psikologi pendidikan pada khususnya di Indonesia tentang school well-being, efikasi diri dan dukungan teman sebaya, serta kajian tentang transisi perkembangan dan transisi sekolah siswa SMP. Secara praktis, diharapkan penelitian ini akan menjadi masukan dan sebagai sumber informasi dalam memahami dinamika psikologis siswa SMP yang mengalami dua transisi secara bersamaan dalam kaitannya kesejahteraan sekolah, efikasi diri dan dukungan teman sebaya. Mampu membantu pihak-pihak terkait baik pemerintah dan masyarakat secara luas dalam memahami siswa SMP secara proporsional dari sisi psikologi.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Psikologi positif merupakan kajian psikologi yang terkini. Kajian ini menawarkan bahasan baru tentang perilaku manusia. Psikologi positif memandang pola perilaku, kognisi, dan emosi yang negatif ditafsirkan sebagai masalah dalam hidup, bukan sebagai gangguan atau penyakit. Pengembangan kajian psikologi positif ini juga memacu peneliti untuk menelaahnya secara empiris. Variabel kesejahteraan sekolah, efikasi diri dan dukungan teman sebaya sebagai bagian kajian psikologi positif saat ini mulai didalami dari berbagai sudut pandang. Penelitian tentang kesejahteraan sekolah telah dilakukan oleh Konu dan Lintonen (2005) yang menguji penggunaan teori dari School Well-being Profile dalam mengetahui perbedaannya tiap tingkat kelas di SMP Finlandia. Subyek yang ikut serta dalam penelitian ini sejumlah 1346 siswa terdiri dari 35% kelas VII, 37%
22
kelas VIII, dan 28% kelas IX. Hasil penelitian menunjukkan bahwa The School Wellbeing Profile dapat digunakan sebagai alat evaluasi dalam membedakan kesejahteraan siswa di sekolah dengan tingkat kelas yang berbeda. Selanjutnya penelitian tentang kesejahteraan sekolah yang dilakukan oleh Løhre, Lydersen dan Vatten (2010) yang ingin mengetahui faktor-faktor yang membentuk kesejahteraan dan pengaruhnya di sekolah. Subyek penelitian sejumlah 419 siswa terdiri dari 230 siswa laki-laki dan 189 siswa perempuan dari kelas 1 sampai dengan kelas 10 di Norwegia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sekolah berhubungan erat dengan kesenangan dalam pekerjaan sekolah dan pada pengalaman mereka dalam menerima bantuan yang diperlukan dari guru. Penelitian yang dilakukan oleh Rahma (2011) tentang efikasi diri dan dukungan sosial dalam kaitannya penyesuaian diri remaja di panti asuhan. Dengan jumlah subyek sebanyak 47 anak berusia 13-17 tahun yang berada di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang. Hasil penelitian yang dilakukan yaitu bahwa efikasi diri dan dukungan sosial mempunyai pengaruh positif terhadap penyesuaian diri remaja dengan kontribusi sebesar 48,3%, dimana remaja yang berada di panti asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang memiliki efikasi diri dan dukungan sosial yang tinggi yang berarti kemampuan penyesuaian dirinya juga tinggi. Penelitian oleh Nuraini (2005) tentang hubungan religiusitas dan dukungan sosial teman dengan penyesuaian diri remaja mengungkapkan bahwa religiusitas dan dukungan sosial berkorelasi dengan penyesuaian diri remaja di Kotamadya Tembilahan dengan sumbangan efektif sebesar 47,57%. Subyek yang diberikan
23
skala sebanyak 120 siswa dengan karakteristik usia 15 sampai 18 tahun dan memiliki orang tua lengkap. Berdasarkan hasil temuan penelitian terdahulu, belum banyak penelitian mengenai efikasi diri dan dukungan teman sebaya, maupun school well-being siswa SMP, kebanyakan penelitian yang dilakukan dari luar negeri. Selain itu, penelitian di Indonesia sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti tentang efikasi diri dan dukungan teman sebaya dalam kaitannya school well-being siswa SMP yang mengalami transisi dalam perkembangan remaja sekaligus transisi sekolah.