BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Membahas kasus tindak kekerasan terhadap anak, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan tren kekerasan terhadap anak meningkat. Tahun 2010 tercatat 48 persen kekerasan terjadi pada anak, tahun 2011 tercatat 52 persen dan tahun 2012 tercatat 62 persen.
Berdasarkan
laporan yang diterima, pelaku kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangorang yang seharusnya melindungi anak, persentasenya adalah sebagai berikut, anggota keluarga sebanyak 24 persen, orang-orang di lingkungan sosial anak sebanyak 56 persen dan orang –orang yang berada di sekolah sebanyak 17 persen. Sepanjang tahun 2013 tercatat 1.620 kasus kekerasan terhadap anak dimana 490 kasus diantaranya adalah kasus kekerasan fisik, 313 kasus kekerasan psikis dan 817 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. Angka kasus kekerasan terhadap anak yang paling tinggi adalah kekerasan seksual, dimana korban perlakuan salah seksual terhadap anak terdiri dari 60 persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan. Menanggapi laporan-laporan kekerasan terhadap anak yang terus meningkat ini maka KPAI menyatakan Indonesia tahun 2014 dalam keadaan darurat perlindungan anak. Data-data kasus perlakuan salah terhadap anak ini seperti menafikan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang menandatangani KHA, dan meratifikasinya melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Dua belas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2002 Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagai Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPerlindungan Anak). UU
1
2
Perlindungan Anak adalah salah satu bagian dari mengoperasionalkan KHA. UU ini didasari oleh empat prinsip utama KHA yaitu non-diskriminasi, yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta hak berpartisipasi. UU Perlindungan Anak adalah UU mengenai hak-hak anak yang mejelaskan secara rinci tentang perlindungan anak, sebagaimana perlindungan adalah salah satu hak anak yang paling penting. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Namun seperti halnya UU lainnya, UU Perlindungan Anak pun kurang menjangkau orang tua, guru dan masyarakat umum, sehingga mereka tidak mengetahui tentang hak-hak apa saja yang dimiliki anak. Kesenjangan antara UU Perlindungan Anak dengan pengetahuan orang tua dan masyarakat mengakibatkan perlakuan salah (abuse) terhadap anak kerap terjadi. Perlakuan salah ini dapat dikategorikan dalam perlakuan salah aktif dan perlakuan salah pasif. Perlakuan salah aktif meliputi tindakan kekerasan (violent) secara fisik, emosi dan seksual, sedangkan perlakuan salah pasif
mengacu pada
penelantaran (neglect) yang dapat dimetaforakan sebagai kekerasan dimana tidak melibatkan tindakan fisik (Browne & Lynch, 1989). Seiring terpublikasinya berita-berita kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak oleh media, dan informasi data pelaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya berkewajiban melindungi anak, menimbulkan kekhawatiran yang besar dari orang tua dan guru. Situasi yang mencemaskan orang tua dan guru ini mendorong Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada untuk mengadakan Temu Wicara Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini, dengan mengundang para ahli, praktisi dan pemangku kebijakan yang berkaitan
3
dengan perkembangan anak dan perlindungan anak usia dini. Dari kegiatan Temu Wicara yang diadakan tanggal 17 Mei 2014 ini, dimana terdapat peserta yang terdiri dari orang tua, guru dan mahasiswa, ditemukan
137
bahwa
orang tua memiliki beberapa hambatan dalam melindungi anak-anak mereka dari perlakuan salah seksual. Hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua antara lain adalah kurangnya pemahaman orang tua tentang pendidikan seks, masih adanya perbedaan persepsi orang tua terhadap pendidikan seks, kurangnya keterampilan orang tua tentang bagaiamana cara menyampaikan pendidikan seks kepada anak, masih besarnya shame culture dalam berkomunikasi dengan anak tentang seksualitas, masih kurangnya kesadaran orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka ketika berinteraksi dengan orang-orang terdekat atau orang-orang yang mereka percayai termasuk pihak sekolah. Para orang tua merasa kebingungan memahami hal-hal apa saja yang termasuk dalam perlakuan salah seksual, mengenali tanda-tandanya, karakateristik pelaku dan korbannya serta bagaimana cara pencegahan perlakuan salah seksual tersebut. Pullins dan Jones (2006) menyatakan bahwa banyak orang tua tidak menyadari tanda-tanda peringatan dan indikasi dari perlakuan salah seksual. Pengetahuan orang tua tentang perlakuan salah seksual terhadap anak dan pencegahannya terlihat sangat terbatas dengan berkembangnya kebiasaan mempercayakan anak mereka pada anggota keluarga yang mungkin saja berisiko dan rentan serta memiliki karakteristik sebagai pelaku kejahatan dan korban, orang tua hanya mengandalkan kejujuran dari cerita anak (Chen & Chen, 2005; Chen, Dunne & Han, 2007; Elrod & Rubin, 1993; Pullins & Jones, 2006; Tutty, 1993; Tang & Yan, 2004). Beberapa penelitian di berbagai negara menemukan bahwa banyak orang tua yang merasa kurang percaya diri, kurang
4
perbendaharaan kata dan sumber daya untuk berbicara dengan anak-anak mereka, sehingga akhirnya menghilangkan/ mengabaikan kenyataan yang membahayakan bahwa selalu ada kemungkinan pelaku kejahatan berada di sekeliling anak-anak mereka dan apa yang harus dilakukan jika kejahatan seksual terjadi; sebagai gantinya mereka berfokus pada konsep yang kurang penting seperti memberitahukan anak mereka tentang orang asing yang berbahaya (Briggs, 1988; Finkelhor dalam Hanks dkk, 1999; Wurtele, Kvaternick & Franklin, 1992b; Chen & Chen, 2005; Chen, et.al., 2007). Paramastri, Supriyati & Priyanto (2010), menyatakan bahwa opini masyarakat mengenai kekerasan seksual dan dampaknya, ciri-ciri pelaku atau korban kekerasan seksual, serta strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi anak yang mengalami kekerasan seksual, diakui masih sangat minim. Maka diharapkan dengan adanya panduan, orang tua cukup percaya diri untuk membangun komunikasi dengan anak mulai dari usia dini dan meningkatkan ikatan antara orang tua dan anak agar diskusi seputar tema perlindungan diri dari perlakuan salah seksual bukan menjadi bahasan yang kaku. Adanya ketabuan dalam membicarakan masalah seksual membuat beberapa korban tidak berani melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada orang tua mereka. Hal tersebut diperparah oleh adanya asumsi jika melaporkan atau menuntut pelaku kekerasan seksual, maka hal tersebut justru akan menambah aib bagi korban dan keluarganya, sehingga orang tua cenderung memarahi bahkan menutup kasus tersebut (Paramastri dkk, 2010). Masa anak usia dini merupakan tahapan perkembangan yang paling rentan menerima perlakuan salah seksual. Johnson (2004) mengatakan perlakuan salah seksual terhadap anak usia dini banyak yang tidak diketahui, karena kemungkinan anak belum memiliki keterampilan komunikasi yang baik
5
dalam melaporkan sebuah kejadian dan tidak detail dalam menyampaiannya, anak tidak mengenali bahwa sebuah tindakan merupakan sebuah perlakuan yang salah/ tidak patut, terlebih jika pelaku merupakan pengasuhnya sendiri. Hal ini sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak usia dini yang masih berada di tahap praoperasional, yang menurut Piaget dalam rentang usia 2 sampai 7 tahun anak belum mampu bernalar secara logis mengenai peristiwaperistiwa yang terjadi. Sehingga di tahap perkembangan kognitif ini, pelaku sering memanipulasi anak dengan memberikan hadiah atau informasi yang salah tentang nilai-nilai untuk memuaskan hasrat seksualnya. Tipu daya ini kerap berhasil digunakan karena anak usia dini belum memahami tentang bagianbagian tubuh yang tidak boleh disentuh, perintah-perintah yang tidak boleh dilakukan, tentang hadiah baik dan hadiah buruk serta tentang rahasia baik dan rahasia buruk. Biasanya anak mengalami perlakuan salah seksual atau pada mulanya menerima aktifitas seksual tersebut karena tidak memiliki kemampuan dalam membedakan perilaku seksual dengan perilaku yang mengekspresikan kasih sayang (Donaldson, Whalen & Anastas, 1989; Browne & Finkelhor, 1986; Riggs, Alario & McHorney, 1990). Oleh karena itu, mengajarkan langkah-langkah pencegahan perlakuan salah seksual terhadap anak usia dini dalam bentuk konkret yang mudah dipahami anak sangatlah dibutuhkan. Berdasarkan sifat-sifat perkembangan ini, perlakuan salah seksual terhadap anak tidak hanya dapat berdampak dalam jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Perlakuan salah seksual ini juga melibatkan perlakuan salah secara fisik dan emosi karena di banyak kasus perlakuan salah seksual disertai dengan ancaman dan kekerasan fisik. Pada anak, dampak jangka pendek perlakuan salah seksual ini antara lain gangguan perilaku seperti mengotori,
6
membasahi atau melukai diri sendiri, situasi emosi yang tidak normal seperti kecemasan, depresi dan menarik diri, gangguan belajar dan pendidikan serta gangguan dalam relasi sosial (Hanks, Hobbs & Wynne, 1988). Sedangkan dampak jangka panjang dari perlakuan salah seksual terhadap anak berupa masalah kesehatan mental seperti depresi, bunuh diri, melukai diri sendiri, penghargaan diri yang rendah, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Anak tersebut juga akan mengalami kesulitan penyesuaian secara seksual dengan terlibat prostitusi, kesulitan dalam pernikahan, keengganan dalam kontak secara seksual, dan kesulitan dalam mengontrol kesuburan. Perlakuan salah ini memperbesar kesulitan anak seperti mengulang siklus perlakuan salah (korban menjadi pelaku), perlindungan yang berlebihan dan ketakutan akan kedekatan dengan orang lain. Anak juga bisa mengalami disfungsi sosial seperti terlibat kenakalan, perilaku kriminal dan pelaku kekerasan (Briere & Runtz dalam Hanks dkk, 1999). Pada tahun 1994, Breire & Elliot mengungkapkan dampak jangka panjang perlakuan salah seksual dapat menimbulkan berbagai macam masalah dan gejala-gejala yang dapat dikategorikan secara umum berupa stres paska trauma, gangguan kognitif, luka emosional, penghindaran,
lemah akan
kesadaran diri, dan kesulitan berhubungan secara interpersonal. Perlakuan salah seksual pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi karena dapat meningkatkan risiko mereka terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) atau HIV ketika mereka dewasa yang akan berpengaruh pada perilaku seksual mereka di masa depan. Penelitian Peen Handwerker (1993) pada 407 laki-laki dan perempuan di Pulau Barbados, menemukan bahwa perlakuan salah seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak menyebabkan aktifitas seksual yang berisiko tinggi saat remaja baik pada anak laki-laki maupun
7
anak perempuan. Aktifitas yang berisiko ini berkaitan dengan jumlah pasangan yang dimiliki oleh remaja tersebut dan berkaitan dengan usia mereka saat pertama kali berhubungan seks. Pada umumnya hal ini disebabkan oleh rasa malu dan stigma pada korban perlakuan salah menimbulkan rasa tidak berdaya, tidak dicintai dan tidak mampu berkata “tidak” terhadap hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan. Perasaan negatif ini bersifat menetap dan seperti “barang yang rusak” mereka merasa tidak pantas dan tidak mampu melindungi diri sendiri. Perlakuan salah seksual juga berkaitan dengan masalah umum ginekologi
seperti
keputihan
dan
nyeri
panggul
kronis.
Schei
(1990),
mengemukakan bahwa peristiwa traumatis dapat membawa efek kumulatif pada korban, dimana di tiap pengalaman meningkatkan kemungkinan terjadinya nyeri panggul kronis dan gejala somatis lainnya. Schei juga mengatakan terdapat asosiasi yang kuat antara hidup dalam hubungan yang abusive dengan kemungkinan memasuki tahap Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau penyakit radang panggul yang menyebabkan kemandulan dan tumor. Secara psikologis, rasa sakit yang dialami korban merupakan sebuah pertahanan mereka dalam melawan limpahan emosi-emosi yang berkaitan dengan pengalaman traumatis. Berkaitan
dengan
perkembangan
anak,
untuk
mengantisipasi
terpeliharanya rasa tidak berdaya, rasa tidak dicintai dan tidak mampu berkata “tidak” terhadap hal-hal yang tidak ingin anak lakukan, gaya pengasuhan orang tua serta ikatan orang tua dan anak sangat berperan penting. Hal ini mempengaruhi perkembangan kognitif dan perilaku anak dalam hal perlindungan diri dari perlakuan salah seksual (Carey, Walker, Rossouw, Seedat & Stein, 2008). Budaya keluarga yang menghargai anak, gaya pengasuhan yang suportif dan terbuka akan mengajarkan anak bahwa ia memiliki posisi tawar dalam
8
keluarga. Ia memiliki hak suara dan diizinkan untuk berkata “tidak” terhadap sesuatu hal yang tidak disukai atau tidak nyaman baginya. Anak dibiasakan untuk mengemukakan pendapat, mengungkapkan perasaannya dan terjalinnya komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, dalam hal ini tidak hanya komunikasi dalam bentuk instruksi tetapi orang tua lebih banyak menyediakan waktu
untuk
mendengarkan
anak-anak
mereka.
Kebiasaan
orang
tua
mendengarkan cerita anak juga mempercepat dan mempermudah tindakan pertolongan bilamana anak mengalami perlakuan salah seksual. Contoh-contoh sikap menghargai yang ada dalam keluarga juga akan membuat anak menjadikan hal ini sebagai model dalam berinteraksi dengan teman sebayanya. Nilai-nilai seperti ini sangat penting untuk dikembangkan dalam sebuah keluarga (Appleton & Stanley, 2009; Prinz, Sanders, Shapiro, Witaker, & Lutzker, 2009). Anak usia dini juga harus dipahamkan tentang bagian-bagian tubuh yang harus dilindungi dan bagaimana cara melindunginya. Transfer pengetahuan tentang perlindungan diri pada anak usia dini ini sangat baik disampaikan oleh orang tua, guru di sekolah dan teman-teman sebayanya dalam interaksi sosial anak, mengingat sebagian besar waktu anak usia dini dihabiskan di rumah dan di sekolah. Berdasar teori ekologi, orang tua dapat bekerja sama dengan guru untuk bersama-sama mentransfer nilai-nilai dan langkah-langkah perlindungan ini kepada anak-anak sesuai dengan usia dan kondisi anak. Orang tua dan guru harus memiliki persepsi yang sama agar dapat menjadi jembatan antara rumah dan sekolah (McDermott, 2008). Namun berdasarkan data preliminary, orang tua masih mengalami banyak hambatan untuk mentransfer nilai-nilai dan langkah-langkah perlindungan diri kepada anak-anak mereka. Mulai dari pengetahuan yang minim tentang
9
perlakuan salah seksual terhadap anak, pemahaman yang kurang serta perbedaan persepsi tentang pendidikan seks yang bagi sebagian orang tua dianggap berfungsi untuk melindungi anak dari perlakuan salah seksual, namun sebaliknya bagi sebagian orang tua lainnya dirasakan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi anak untuk tidak melakukan aktifitas-aktifitas seksual sebelum waktunya. Belum lagi orang tua masih merasa malu untuk berdiskusi tentang halhal yang berkaitan dengan seksualitas pada anak-anak mereka. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode pembelajaran orang dewasa yang mengandung materi-materi tentang perlakuan salah seksual, cara perlindungan diri dari perlakuan salah tersebut beserta latihan-latihan dan panduan agar orang tua mampu mentransfer pengetahuan yang telah mereka miliki pada anak-anak mereka. Materi-materi ini sebaiknya terangkum dalam sebuah tema pengetahuan yang memudahkan orang tua dalam meningkatkan pemahaman dan kemampuan mereka mentransfer pengetahuan tersebut. Sebagai langkah untuk mencegah munculnya perbedaan persepsi orang tua tentang pendidikan seks, juga untuk menyesuaikan tahapan perkembangan anak usia dini dengan keterampilan perlindungan diri anak usia dini dari perlakuan salah seksual, materi pendidikan kesehatan reproduksi diasumsikan lebih sesuai untuk digunakan dibanding materi pendidikan seks. Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Kesehatan reproduksi memiliki tiga aspek yaitu aspek fisik, mental dan kesejahteraan sosial. Kesehatan reproduksi berkaitan dengan kesehatan individu dan lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kesehatan reproduksi anak usia dini
10
mengukur status kesehatan anak seperti fungsi fisik, kesehatan mental, persepsi kesehatan secara umum, penyakit atau reproduksi yang tidak sehat dan vitalitas (Sadana, 2002). Dalam kesehatan reproduksi dibahas bagaimana cara-cara menjaga organ-organ reproduksi atau dalam hal perlakuan salah seksual bisa dikatakan cara-cara melindungi organ-organ reproduksi agar dapat berfungsi dengan sehat sehingga tidak hanya sehat kondisi fisik, tetapi kondisi psikologisnya juga sehat. Melalui pengetahuan tentang kesehatan reproduksi anak-anak bisa mempelajari pencegahan perlakuan salah seksual, bahkan anak kecilpun mampu mempelajari sebagian informasi tentang perlindungan diri (Finkelhor & Strapko, 1992; Wurtele & Owen, 1997), dan informasi perlindungan diri ini bisa disebarkan melalui dukungan orang tua dalam pencegahan perlakuan salah seksual (Elrod & Rubin, 1993; Nibert, Cooper & Ford, 1989; Pohl & Hazzard, 1988; Wurtele, Kast & Melzer, 1992a; Wurtele dkk, 1992b). Berbeda dengan pendidikan seks, menurut Shelby (2003), pendidikan seks cocok digunakan pada tahap perkembangan dimana perilaku seksual aktif mulai muncul. Materi dalam pendidikan seks membahas tentang anatomi tubuh, pubertas, reproduksi, peran gender, identitas dan godaan seksual (sexual harassment), kehamilan yang tidak diinginkan, kekerasan dalam berpacaran, berhubungan seks yang aman sehingga tidak terlular Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS. Pendidikan seks cenderung mengajarkan tentang rekonstruksi sikap seksual, perkembangan seksual, seks dan kesehatan, permasalahan seksual, hubungan laki-laki dan perempuan (Lin, Chu & Lin, 2006) bagaimana melakukan hubungan seks yang aman, mencegah penularan HIV/AIDS dan IMS melalui hubungan seks, pencegahan dari kehamilan yang tidak diinginkan dan
11
pernikahan usia muda (Shelby, 2003). Pendidikan seks lebih membahas tentang seksualitas seseorang dan konsekuensi dari berhubungan seks. Kesehatan reproduksi mencakup aspek-aspek fisik, mental dan sosial dimana akibat perlakuan salah seksual baik jangka pendek maupun jangka panjang juga mencakup tiga aspek tersebut, seperti masalah ginekologis, stress paska trauma dan disfungsi sosial. Kesehatan reproduksi juga berkaitan erat dengan kualitas pengasuhan dalam keluarga dan norma-norma sosiobudaya, dimana hubungan/ kedekatan antara orang tua dan anak termasuk proses komunikasi tentang nilai-nilai budaya dalam keluarga juga dibahas di dalamnya. dalam hal perlindungan terhadap anak usia dini, orang tua dan keluarga meruapakan pihak yang paling berperan. Nilai-nilai dalam keluarga akan menjelaskan apakah interaksi-interaksi tersebut aman atau berisiko bagi anak dalam interaksi sosialnya sehari-hari (Sadana, 2002; Van Den Akker, 2012). Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan, transfer pengetahuan tentang perlindungan diri anak usia dini ini baiknya dilakukan oleh orang tua (McDermott, 2008), namun data preliminary menunjukkan kesenjangan akan kebutuhan ini, yaitu orang tua masih memiliki pemahaman dan keterampilan yang kurang dalam mengajarkan perlindungan diri anak dari perlakuan salah seksual. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan ini, beberapa penelitian sebelumnya yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman orang tua menggunakan metode Coaching for Parents (CfP) dapat dijadikan rujukan (Brookfield dalam McDermott, 2008; First & Way, 1995; Florin & Dokecki, 1983). Dengan metode ini orang tua dapat menggali kemampuan-kemampuan yang telah mereka miliki, pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dijadikan pembelajaran dan peningkatan pemahaman tentang pendidikan kesehatan
12
reproduksi
serta
melakukan
latihan-latihan
untuk
lebih
terampil
dalam
mengajarkan kesehatan reproduksi pada anak-anak mereka (Florin & Dokecki, 1983; Flaherty, 1999). Senada dengan pernyataan Kolb dkk (1999) yang medefinisikan pembelajaran pada orang dewasa sebagai proses dimana pengetahuan
dihasilkan
melalui
transformasi
pengalaman.
Pemahaman
merupakan hasil kombinasi penyerapan dan penjelmaan pengalaman. Dengan metode Coaching for Parents ini juga orang tua diharapkan dapat menjangkau jumlah penerima manfaat yang lebih luas karena orang tua dapat mengajarkan kesehatan reproduksi pada anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya sehingga pencegahan perlakuan salah seksual terhadap anak menjadi lebih optimal (Florin & Dokecki, 1983). Namun orang tua juga membutuhkan media sebagai pegangan mereka untuk berkomunikasi dengan anak perihal perlindungan diri dari perlakuan salah seksual (Paramastri dkk, 2010). Data preliminary juga mengungkapkan bahwa orang tua merasa kesulitan menemukan kata-kata yang tepat dalam menjelaskan dan memberi contoh perlindungan diri terhadap perlakuan salah seksual. Mereka khawatir pemilihan kata-kata yang mereka gunakan justru membingungkan anak, membuat anak salah memahami dan terkesan terlalu serius atau menakutkan bagi anak-anak mereka. Media komunikasi yang diharapkan orang tua merupakan media yang menarik dan dapat dijadikan panduan, dapat dipahami oleh orang tua dan anak usia dini, sehingga memudahkan proses transfer pengetahuan yang dimiliki orang tua kepada anak-anak mereka. Panduan ini juga akan membimbing orang tua untuk lebih fokus dalam menanamkan nilainilai yang melindungi anak dalam kehidupan sehari-hari.
13
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah program intervensi yang dapat meningkatkan pemahaman orang tua tentang perlindungan diri anak usia dini dari perlakuan salah seksual dan meningkatkan keterampilan orang tua dalam mentransfer pengetahuan perlindungan diri dari perlakuan salah seksual kepada anak usia dini?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah program coaching kesehatan reproduksi anak usia dini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman orang tua dan mengetahui tingkat keterampilan orang tua mentransfer pengetahuan perlindungan diri dari perlakuan salah seksual kepada anak usia dini dalam situasi laboratorium.
2. Manfaat Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu berkontribusi dalam pengembangan ilmu psikologi terutama psikologi perkembangan, dan menambah referensi penelitian tentang pencegahan perlakuan salah seksual terhadap anak. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada orang tua dan masyarakat terkait perlindungan anak usia dini dari
14
perlakuan salah seksual serta memberikan informasi pada anak usia dini mengenai cara-cara perlindungan diri dari perlakuan salah seksual.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang pencegahan terhadap perlakuan salah seksual sudah banyak dilakukan, penelitian-penelitian dibawah ini merupakan penelitian pencegahan terhadap perlakuan salah seksual pada anak, antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta tahun 2010 oleh Ira Paramastri, Supriyati dan Muchammad A. Priyanto yang berjudul “Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children” bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau opini tentang konsep perlakuan salah seksual, metode dan media pencegahannya dengan subjek penelitian siswa SD kelas IV, orang tua, dan guru dari SD yang sama serta para ahli seperti dokter, psikolog dan ketua LPA.
Dari
penelitian
ini
ditemukan
bahwa
dibutuhkannya
program
pencegahan seperti panduan pencegahan perlakuan salah seksual untuk anak, orang dan guru serta media-media sebagai langkah pencegahan awal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian ini tidak sampai pada melakukan program intervensi pencegahan perlakuan salah seksual dan memiliki subjek penelitian dengan latar belakang yang lebih beragam. 2. Penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 2009 oleh Ratih Puspitasari yang berjudul “Pemasaran Sosial Peningkatan Keterlibatan Orang Tua Dalam Mencegah
Perlakuan
Salah
Seksual
Pada
Anak”
bertujuan
untuk
menggambarkan pengetahuan orang tua mengenai perlakuan salah seksual pada anak dan pencegahannya serta menjelaskan pelaksanaan pemasaran
15
sosial untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam mencegah perlakuan salah seksual pada anak. Penelitian ini menemukan bahwa metode pemasaran sosial dapat meningkatkan kesadaran orang tua dan masyarakat sehingga terlibat dalam pencegahan perlakuan salah seksual pada anak. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah pada metode intervensi yang dilakukan yaitu dengan metode pemasaran sosial, sedangkan peneliti menggunakan metode coaching. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Rebecca M. Bolen di Amerika Serikat pada tahun 2003 dengan judul “Child Sexual Abuse: Prevention or Promotion?” menggunakan metode promosi pola hubungan yang sehat dengan promosi perilaku prososial dan mengurangi dominasi laki-laki atas perempuan yang bertujuan untuk mengurangi perilaku negatif sehingga berkurangnya perilaku perlakuan salah seksual. Metode ini lebih berfokus pada pencegahan perilaku perlakuan salah seksual untuk mengurangi prevalensi kasus perlakuan salah seksual. Subjek penelitian mereka adalah anak usia sekolah dengan program berbasis sekolah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada subjek penelitiannya yaitu langsung pada anak usia sekolah dan metode penelitian yang dilakukan. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Nnenna Ohalete di San Diego pada tahun 2006 dengan judul “African American Father-Child Reproductive Health Communication” menggunakan metode etnografi dimana menunjukkan bahwa percakapan antara ayah dan anak tentang kesehatan reproduksi membuat anak lebih melindungi dirinya dan menunda untuk berhubungan seks sebelum usia 18 tahun. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah
16
materi komunikasi kesehatan reproduksi yang digunakan dikarenakan adanya kriteria subjek penelitian yang berbeda.