BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Pemilihan presiden adalah pemilihan terpenting dalam setiap negara demokrasi presidensiil (Jones, 1999). Pemilihan umum presiden atau pemimpin negara adalah salah satu bentuk partisipasi politik (Huntington & Nelson, 1976; Sastroatmodjo, 1995; Miriam, 2008; Surbakti, 2010). Indonesia melakukan pemilihan umum presiden dan wakilnya secara langsung yang ketiga kalinya pada tanggal 9 Juli 2014. Pemilu presiden (pilpres) tahun ini berlandaskan pada UU Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon harus diusung oleh partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi minimal 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Persyaratan tersebut meminimalkan jumlah capres, satu sisi memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan, disisi lain membatasi demokrasi, karena hanya partai besar yang dapat mengusung capres. Pemilihan umum presiden atau pemimpin negara adalah salah satu bentuk partisipasi politik (Huntington & Nelson, 1976; Sastroatmodjo, 1995; Miriam, 2008; Surbakti, 2010). Verba, Nie, dan Kim (1978) mendefinisikan partisipasi politik sebagai aktivitas hukum oleh warga negara yang bertujuan mempengaruhi seleksi dalam pemerintahan. Pendapat serupa juga dikemukakan Weiner (1980), menurutnya partisipasi politik adalah usaha terorganisasi warga dalam memilih pemimpin yang mempengaruhi kebijakan umum. Partisipasi politik menjadi
1
2
indikator penting kesehatan dan semangat demokrasi (Karp & Banducci, 2007). Partisipan politik harus memiliki harapan yang beralasan atau paling tidak suaranya didengar dalam musyawarah yang menuju ke sana. Kepercayaan merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat mau berpartisipasi dalam politik (Sahn, Sahn, & Tantawi, 2013). Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap lembaga, sistem politik, dan pemerintahan menurun oleh karena berbagai kasus, skandal, dan korupsi yang ada (Bowler & Karp, 2004; Chiru & Gherghina, 2012), namun masih memiliki kepercayaan pada calon presiden yang sesungguhnya adalah politisi. Terdapat beberapa permasalahan yang berkembang di masyarakat, yang pertama adalah turunnya kepercayaan masyarakat pada politik. Kepercayaan merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat mau berpartisipasi dalam politik. Kepercayaan bukan satu-satunya faktor penyebab partisipasi politik masyarakat, namun kepercayaan adalah salah satu faktor yang terpenting (Sahn, Sahn, dan Tantawi, 2013). Kondisi semacam ini digambarkan oleh Paige (1971), partisipasi politik militan-radikal, memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam politik oleh karena kesadarannya sebagai warga negara tinggi, walaupun kepercayaan pada politik rendah. Berdasarkan data KPU pada tahun 2014 tercatat 133.574.277 pemilih atau sekitar 70% dari daftar pemilih tetap. Pada dua pemilihan umum presiden terakhir, ada penurunan partisipasi politik masyarakat berdasarkan persentase jumlah pemilih dengan jumlah terdaftar. Berdasarkan data KPU, pada tahun 2004 putaran pertama terdapat 122.293.844 pemilih (79,76%) dan putaran kedua sebanyak
116.662.705
pemilih
(77,44%).
Pada
pilpres
2009
terdapat
127.999.965 pemilih (74,81%). Pada tahun ini, 2014, tercatat 133.574.277 (70%)
3
(sumber: data KPU 2014). Hal ini menunjukkan adanya penurunan partisipasi pada pilpres 2014. Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam memberikan suara pada pemilu semakin baik kualitas pemilu dan demokrasi (Wibowo dalam Ant, 2014), yang terjadi adalah sebaliknya. Pilpres 2014 mengusung dua kandidat presiden, yakni Jokowi dan Prabowo. Jokowi dengan latar belakang teknokrat dan pengusaha, pada tahun 2012 meraih penghargaan “World Mayor Project 2012” sebagai walikota terbaik ke-tiga dunia versi The City Mayors Foundation (Subekti, 2013), terpilih sebagai Gubernur Jakarta di tahun yang sama, selanjutnya mencalonkan diri sebagai presiden RI di tahun 2014. Kandidat presiden berikutnya adalah Prabowo, berlatar belakang militer dan pengusaha, pernah mengikuti pilpres 2009 sebagai cawapres. Adanya dua kandidat dalam pilpres 2014 ini, menciptakan kecenderungan masyarakat untuk mengkategorisasikan diri ke dalam kelompok berdasarkan pilihan capres. Individu cenderung untuk memberi penilaian baik pada kelompok capres pilihannya dan menilai buruk pada kelompok capres lawan, atau disebut dengan ingroup favoritism dan outgrup derogation (Ellemers & Haslem, 2012). Setiap individu menginginkan capres pilihannya menang. Kondisi diantara dua kelompok pilihan capres yang memiliki kepentingan-kepentingan berbeda ini memunculkan perasaan berharap, takut, curiga, dan bermusuhan yang diungkapkan dalam bentuk verbal maupun non verbal. Hal ini dilakukan dengan cara berdebat, berdiskusi, atau berbincang ringan; bisa juga dengan dalam bentuk tulisan seperti menulis opini, membagikan tulisan dari orang terkenal (ahli) atau berita. Kondisi semacam ini memungkinkan rumor hadir untuk mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut (Knapp, 1944). Hal ini didukung
4
oleh pendapat Allport & Postman (1946), menurutnya ketika tidak ada kepentingan dan ambiguitas maka rumor akan sulit hadir. Munculnya rasa takut, kecewa, terancam atau cemas bilamana capres pilihannya tidak terpilih dan capres lain yang terpilih merupakan kondisi yang ambigu, rumor menyediakan informasi untuk menambah perasaan-perasaan tersebut serta memecah belah kelompok dan menghancurkan loyalitas (Knapp, 1944; Bartholomew & Victor, 2004). Kondisi pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua kandidat presiden, rumor yang beredar dan berkembang melebihi pilpres-pilpres sebelumnya. Rumor adalah informasi yang belum terbukti namun relevan serta memiliki sifat ambigu, bahaya, atau potensi ancaman (DiFonzo & Bordia, 2007). Rumor juga dapat didefinisikan sebagai pesan yang saat ini belum dibuktikan oleh penerima pesan, serta tidak menutup kemungkinan rumor tersebut dapat menjadi kebenaran atau kebohongan dengan pembuktian selanjutnya dikemudian hari (Liu, Jones, & Xu, 2014). Dalam konteks pemilihan presiden rumor dapat dibuat oleh siapapun, bisa dari pendukung capres, tim sukses, ahli, akademisi, berita, maupun dari capres itu sendiri. Berikut adalah salah satu contoh aktivitas penyebaran rumor.
5
Gambar ini terdapat pada halaman Facebook Anies Baswedan dan disebarkan oleh banyak pengunjung halaman tersebut.
Gambar 1 Rumor berupa opini seorang ahli
Ini adalah opini pribadi dari Anies Baswedan dalam merespon pemikiran Prabowo dalam debat calon presiden 2014, saat itu Prabowo memiliki konsentrasi yang lebih besar pada isu pembangunan sektor sumber daya alam daripada sumber daya manusia. Ketika pengunjung-pengunjung halaman tersebut ikut menyebarkan gambar dan tulisan ini ke publik, maka opini pribadi ini merupakan sebuah rumor.
6
Selain tulisan ahli dapat ditemukan rumor lain yang berupa fitnah, kasar, dan bahkan dapat dikategorikan dalam aktifitas pencemaran nama baik.
Gambar 2 Rumor Jokowi di internet Gambar yang tidak diketahui siapa pembuatnya ini adalah fitnah kasar yang diarahkan pada Jokowi. Informasi yang terdapat pada gambar tersebut adalah kandidat Jokowi keturunan suku bangsa Cina, non-muslim, telah meninggal, serta akan dikremasi. Rumor semacam ini jelas menimbulkan perasaan negatif, meresahkan, dan bermusuhan.
Gambar 3 Rumor Prabowo di internet Gambar ini mencoba mengingatkan lagi akan tragedi pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh Prabowo. Hal ini dikatakan rumor karena sampai hari
7
ini belum dapat dibuktikan kebenarannya, serta tergolong rahasia negara. Berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dimana CIA dan FBI ikut memberikan informasi mengenai karakter negatif dan data buruk capres dimasa lalu, bukan sebagai keberpihakan melainkan transparansi informasi pada publik demi kepentingan negara (Denny, 2004). Berikut adalah beberapa gambar rumor yang dapat diakses oleh masyarakat umum.
Gambar 4 Rumor Pilpres 2014 di Internet
Selain dalam bentuk gambar terdapat pula rumor dalam bentuk tulisan esai seperti halnya yang terdapat pada www.jpnn.com, www.voa-islam.com; linkis.com, tabloid Obor Rakyat (diakses tgl 26-3-14), yang menyebutkan Jokowi tidak menjalankan tata cara sholat dengan benar, orang tuanya terlibat PKI, melanggar janji lima tahun memimpin Jakarta, capres boneka, serta sebagai orang Jawa tidak memiliki “unggah-ungguh”, berani maju sebagai pesaing kandidat presiden setelah pada pilgub DKI diusung, dibesarkan, dan dibantu dalam pemenangan oleh Prabowo. Juga rumor-rumor tentang Prabowo yang
8
menyebutkan bahwa Prabowo melakukan pelanggaran HAM di Timor-Timur, penculik aktivis, terlibat dalam kerusuhan Mei 1998, dan diduga akan melakukan kudeta sehingga diberhentikan dari jabatannya pada masa pemerintahan Habibie (Wikipedia, 2015). Perang informasi tidak hanya berlangsung dalam bentuk iklan saja, namun juga dalam bentuk opini, berita, rumor yang dimuat di media massa. Ketika terdapat pihak sponsor, beberapa diantaranya malah dapat dikategorikan dalam black campaign, yaitu serangan pada pihak lawan tanpa adanya data dan fakta. Informasi yang dapat dibuktikan dengan data dan fakta biasa disebut negative campaign. Informasi yang dapat diakses melalui media massa ini, diduga menjadi langkah alternatif bagi calon pemilih dalam mengevaluasi kandidat presiden. Secara alami, rumor tidak dapat dipisahkan dari rasionalisasi dan proyeksi dari pendapat individu itu sendiri (Knapp, 1944). Shibutani (dalam Miller, 2005) berpendapat ketika kondisi tidak menentu, sumber berita yang biasanya menjadi referensi rusak, tidak tersedia, atau tidak dapat dipercaya, individuindividu cenderung untuk melakukan pemecahan masalah secara kolektif, dan menghasilkan informasi baru yang disebut rumor. Hal ini terjadi di Indonesia, alihalih memberi informasi yang membangun, pemberitaan di televisi, internet, pendapat ahli, ataupun tokoh panutan masyarakat malah menunjukkan keberpihakan ke pada salah satu kandidat presiden, tentunya membuat individuindividu pencari informasi cemas dan semakin kesulitan mendapat informasi yang nyata. Selain banyaknya rumor kandidat presiden pada pilpres 2014 ini, masalah di lapangan lainnya adalah masyarakat cenderung tidak mempercayai lembaga,
9
sistem politik, dan pemerintahan oleh karena berbagai kasus, skandal, dan korupsi yang ada (Bowler & Karp, 2004; Chiru & Gherghina, 2012). Pada pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua capres membawa polarisasi masyarakat ke arah kelompok tertentu berdasarkan pilihan calon presidennya. Masyarakat mengkategorisasikan diri ke dalam satu kelompok berdasarkan pilihan capresnya. Dalam kondisi seperti ini individu cenderung akan memberi penilaian yang lebih baik pada anggota kelompoknya dari pada orang lain yang diluar kelompok, serta mendorong sikap untuk menjelekkan kelompok lain, atau yang biasa disebut dengan ingroup favoritism dan outgrup derogation (Ellemers & Haslem, 2012). Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kemajuan negara. Terlebih rakyat berharap bahwa setiap presiden akan membuat perubahan kehidupan yang lebih baik. Sebagai negara demokrasi, seharusnya intensi masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi dalam pilpres tinggi. Indonesia mengalami penurunan partisipasi politik masyarakat secara beruntun dalam tiga pemilihan umum presiden. Tentu kepercayaan masyarakat pada kandidat presiden dan politik seharusnya tinggi pula. Disamping meningkatkan partisipasi politik (Southwell, 2012; Surbakti, 2000; Paige, 1971) kepercayaan juga menjadi kunci utama dalam menekan peredaran rumor (DiFonzo & Bordia, 2007). Diharapkan masyarakat dan pemegang kebijakan saling berkerjasama dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kandidat presiden dan politik baik institusi maupun sistem. Masyarakat Indonesia terbagi ke dalam dua pilihan capres. Hal ini tidak masalah, perbedaan pilihan dalam pemilihan umum adalah kewajaran. Masalah tersebut muncul ketika masyarakat mengkategorisasikan diri dalam kelompok
10
berdasarkan pilihan capresnya. Kecenderungan untuk menilai kelompoknya yang terbaik dan kelompok lain adalah buruk merupakan sikap yang tidak menghargai perbedaan pilihan sesuai prinsip pemilu. Seharusnya kondisi pemilihan umum presiden 2014 yang hanya mengusung dua capres dapat direspon secara positif. Masyarakat seharusnya dapat menghargai pilihan orang lain yang berbeda, serta menyadari bahwa salah satu dari capres tersebut nantinya akan memimpin bangsa ini. Rendahnya kepercayaan pada politik, polarisasi dukungan yang berlebihan antar pendukung kandidat presiden, serta rusaknya sumber berita menjadi lahan subur bagi rumor untuk tumbuh dan berkembang. Bartholomew & Victor (2004) berpendapat keyakinan pada rumor ancaman dapat menyebabkan individu stress secara psikologis. Dalam penelitian yang sama disebutkan juga ketika rumor yang pada awalnya bersifat lokal kemudian ditanggapi oleh otoritas setempat yang cukup dipercayai seperti halnya: polisi, walikota, ahli militer, dan koran kota besar akan membuat keyakinan bersama bahwa rumor tersebut memang nyata dan benar (sebagai contoh kalimat: semua orang berkata begitu). Disamping itu, dampak dari rumor adalah meningkatkan penilaian negatif pada kandidat. Kaid dan Boydston (1987) menemukan bahwa masyarakat akan menilai kandidat sebagai seseorang yang buruk setelah melihat iklan politik negatif. Rumor juga dapat menurunkan kepercayaan pada politik maupun kandidat presiden (Ansolabehere & Iyengar, 1995; Kaid, 2002). Sahn, Sahn, dan Tantawi (2013) menyatakan ada 10 faktor intensi untuk berpartisipasi pada pemilihan presiden merupakan adaptasi dari kerangka teori Cambell dkk 1960 dan Sigelman 2001. Respon keterlibatan, grup interpersonal, media massa, kerugian memilih, kebermanfaatan memilih, perbedaan partai,
11
identifikasi partai, political trust, dan efikasi politik memiliki pengaruh positif terhadap intensi untuk berpartisipasi pada pemilihan presiden, sedangkan yang terakhir political cynicism memberikan pengaruh negatif terhadap intensi memilih. Mayer, Davis, dan Schoorman (1995) mendeskripsikan tiga hal yang membuat
individu dapat
mempercayai orang
lain:
(1)
ability,
memiliki
pengetahuan, keahlian, dan kompetensi; (2) integrity, sejauh mana individu merasakan orang lain bertindak sesuai dengan seperangkat prinsip-prinsip yang individu terima; dan (3) benevolance, sejauh mana individu yakin bahwa orang lain akan bertindak yang terbaik dalam memenuhi kepentingan individu. Ability, integrity, dan benevolance selanjutnya akan digunakan sebagai dimensi dari kepercayaan pada kandidat presiden. Tiga dimensi di atas diharapkan hadir pada individu calon presiden. Calon presiden harus memiliki memiliki pengetahuan, keahlian, dan kompetensi yang baik, serta mampu bertindak sesuai dengan prinsip, dan juga memiliki itikad untuk berbuat baik pada masyarakat. Kepercayaan politik atau political trust sebagai proses berpikir seseorang akan norma yang dijalankan oleh politisi maupun lembaganya sesuai dengan harapan. Kepercayaan tersebut bukan hanya hasil penilaian pribadi semata, namun juga harapan budaya dari masyarakat (Levy, 2008). Seseorang akan memiliki kepercayaan terhadap politik apabila manifestasi dari pelaku maupun produk politik tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Misztal (2001) berpendapat political trust merupakan kepercayaan seseorang terhadap komponen-komponen politik yang berlaku saat ini. Ketidak-percayaan terhadap politisi dikonseptualisasikan sebagai salah satu komponen kepercayaan politik, dimana didefinisikan sebagai orientasi afektif
12
global kepada pemerintah, yang merupakan evaluasi apakah output pemerintah memenuhi harapan masyarakat (Dancey, 2011). Turunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada politisi menurunkan angka keterlibatan masyarakat dalam politik serta perilaku memilih (Chiru & Gherghina, 2012). Kepercayaan politik sebagai kepercayaan seseorang terhadap komponen politik, menjadi hal yang penting dalam menjalin hubungan individu dengan politik, meningkatkan intensi memilih pada individu (Misztal, 2001; Chiru & Gherghina, 2012). Bowler dan Karp (2004), berpendapat skandal yang melanggar moralitas dan hukum menyebabkan kemarahan pada masyarakat, dan menciptakan sikap negatif masyarakat terhadap lembaga dan proses politik. Persepsi korupsi dan ketidakpercayaan umum pada politisi akan menghambat perkembangan hubungan antara masyarakat dengan partai (Chiru & Gherghina, 2012). Di Indonesia banyak politisi yang terlibat skandal, khususnya korupsi. Politisi yang terlibat kasus korupsi semakin terpapar dengan jelas. Menurut “Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan”, sepanjang tahun 2014-2019 tercatat 242 anggota DPR terlibat berbagai kasus, diantaranya: korupsi, tindak pidana, pelanggaran HAM, pelanggaran pemilu (Tunay, 2014). Menurut Marcus, Neuman, dan MacKuen (2000) individu tidak hanya merespon para kandidat secara positif atau negatif, melainkan dengan emosi yang spesifik. Antusiasme dan ketakutan (atau kecemasan) adalah emosi yang penting dalam pembelajaran dan keterlibatan politik individu. Antusiasme mempengaruhi keputusan kepada siapa suara diberikan, sedangkan ketakutan (kecemasan) meningkatkan pencarian informasi tentang para kandidat. Ketika individu tidak mengalami ketakutan (atau kecemasan), mereka cenderung mengandalkan
kebiasaan
yang
terdahulu
dalam
memilih.
Ketakutan
13
(kecemasan) memiliki peran penting dalam proses pencarian informasi, serta memicu pembelajaran dalam politik. Ketika informasi politik mengarah pada interaktivitas antara kandidat dengan individu pencari informasi mungkin hal ini akan menimbulkan kepercayaan individu terhadap kandidat tersebut (Kaid, 2002). Disisi lain, ketika informasi tersebut bukan interaktivitas kandidat, melainkan lebih kepada informasi negatif, tidak menutup kemungkinan informasi negatif meningkatkan sinisme individu pencari informasi dan menyebabkan individu tidak berpartisipasi pada pemilu (Ansolabehere & Iyengar, 1995). Informasi negatif adalah informasi yang sering digunakan dalam kampanye negatif atau hitam yang berisi serangan seorang kandidat pada kandidat lain yang dirancang untuk menarik perhatian publik pada kelemahan kandidat yang ditargetkan, seperti: kelemahan karakter, jejak pemilu sebelumnya, salah pernyataan, janji yang tidak ditepati, dan sebagainya (Pinkleton, Um, & Austin, 2002).
Nasution
(2004)
menyebutnya
sebagai
black propaganda
yaitu
penyampaian informasi dengan data-data yang tidak akurat, cenderung menfitnah, dan menyerang lawan politik. Hasil penelitian Lau, Sigelman, & Rovner (2007) menunjukkan bahwa kampanye tersebut bukanlah cara yang efektif dalam memenangkan suara, meskipun cenderung lebih mudah diingat dan merangsang pengetahuan akan kampanye. Pada penelitian yang sama juga didapatkan hasil tidak ada bukti bahwa kampanye tersebut
mempengaruhi jumlah pemilih, walau demikian
efikasi politik, kepercayaan pada pemerintah, dan suasana hati publik secara keseluruhan menurun.
14
Kampanye negatif atau hitam tidak efektif dalam memenangkan suara serta tidak mempengaruhi jumlah pemilih, namun menurunkan kepercayaan pada pemerintah (Lau, Sigelman, & Rovner, 2007). Individu memberi perhatian yang lebih pada informasi negatif daripada informasi positif (Fiske, 1980; Kahneman & Tversky , 1984; Pratto & John, 1991, dalam Martin, 2004). Informasi negatif juga memiliki sifat yang otomatis-cepat, mudah, tanpa usaha, bawah sadar, dan disebabkan oleh persepsi terhadap ancaman (Martin, 2004). Menurut DiFonzo dan Bordia (2007) ada empat dimensi informasi, yaitu rumor, berita, gosip, dan urban legend. Ke-empatnya dibedakan menurut pembuktian, pentingnya bagi pendengar, berisi tentang individu, berisi tentang fitnah, seberapa menghibur, dan kegunaan bagi pendengar. Informasi mengenai kandidat presiden dalam penelitian ini selanjutnya disebut dengan istilah rumor. DiFonzo dan Bordia (2007) mendifinisikan rumor sebagai informasi yang belum diverifikasi namun relevan yang beredar dalam konteks ambiguitas, bahaya, atau potensi ancaman, dengan fungsi untuk membantu individu memahami dan mengelola resiko. Salah satu faktor yang menurunkan kepercayaan politik atau kandidat presiden adalah rumor (Ansolabehere & Iyengar, 1995; Kaid, 2002). Walaupun informasi ini tidak signifikan memenangkan suara (Lau, Sigelman, & Rovner, 2007), rumor mendapat perhatian lebih dari individu daripada informasi positif (Fiske, 1980; Kahneman & Tversky , 1984; Pratto & John, 1991, dalam Martin, 2004), serta dalam kasus pilpres Indonesia 2014 sangat mungkin diteliti kembali. Menurut Ansolabehere dan Inyegar (1995) salah satu tipe pemilih yang cenderung didemobilisasi oleh partai melalui kampanye negatif atau hitam adalah
15
pemilih dengan tipe swing voter. Swing voter tidak memiliki komitmen tetap pada satu kandidat pemilu, serta tidak memiliki afiliasi kuat terhadap partai tertentu, dan bebas dari tekanan (Mayer, 2008 & Musthofa, 2011). Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dapat dikategorikan sebagai swing voter. Gender dan usia juga dapat menjadi faktor pembeda dalam penelitian rumor politik. Iklan kandidat presiden di televisi lebih mempengaruhi wanita daripada pria dalam memberi penilaian pada kandidat (Kaid & Bacha, 2000). Penelitian lain menyebutkan orang yang lebih muda lebih terasing dalam politik, terlebih wanita muda (Hayes & Bean, 1993). Dermondy, Lloyd, dan Scullion (2010) menyebutkan orang yang lebih muda lebih mudah curiga dan sinis. Universitas Gadjah Mada adalah universitas negeri terbaik di Yogyakarta, bahkan salah satu yang terbaik di Indonesia. Ketatnya proses seleksi masuk serta kebijakan akademik yang dilakukan UGM, kampus tersebut dikenal memiliki mahasiswa yang pintar dan kritis. Sikap kritis mahasiswa UGM seharusnya membuka peluang untuk mencari informasi akan kandidat presiden yang akan dipilihnya. Oleh karena itu, mahasiswa UGM diharapkan rasional dalam menyikapi rumor serta memiliki kepercayaan yang tinggi pada kandidat presiden. Mampu membedakan berita mana yang hanya fitnah belaka, informasi mana yang mengandung kebenaran, dan informasi mana yang memang tidak dapat dibuktikan, sehingga keinginan untuk berpartisipasi dalam politik tetap terjaga. Rumor dapat menghadirkan perasaan takut, cemas, curiga, bermusuhan (Allport & Postman, 1946; DiFonzo & Bordia, 2007; Knapp, 1944), serta memiliki tujuan memecah belah kelompok dan menghancurkan loyalitas (Knapp, 1944), dapat menyebabkan kondisi stress secara psikologis (Bartholomew & Victor,
16
2004). Rumor menurunkan kepercayaan politik atau kandidat presiden (Ansolabehere & Iyengar, 1995; Kaid, 2002). Pada pilpres 2014, banyaknya rumor yang beredar di masyarakat diperkirakan akan menurunkan kepercayaan pada kandidat presiden. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelusuran dan pengkajian masalah mengenai objek rumor kandidat presiden, gender, dan pengalaman memilih sebagai prediktor kepercayaan mahasiswa UGM terhadap kandidat presiden 2014. Dengan demikian penelitian ini diberi judul “Pengaruh keyakinan pada objek rumor kandidat presiden, gender, dan pengalaman memilih terhadap kepercayaan mahasiswa UGM pada kandidat presiden 2014”.
B. Rumusan Masalah Penelitian ini berupaya mengetahui pengaruh objek rumor, gender, dan pengalaman memilih terhadap kepercayaan mahasiswa UGM pada kandidat presiden 2014. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: - apakah objek rumor, gender, dan pengalaman memilih dapat menjadi prediktor kepercayaan mahasiswa UGM pada kandidat presiden 2014?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menguji keyakinan mahasiswa UGM terhadap objek rumor kandidat presiden 2014. 2. Menguji faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan mahasiswa UGM terhadap kandidat presiden 2014.
17
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Referensi keilmuan bagi pengembangan psikologi sosial dan politik. 2. Pertimbangan dan evaluasi bagi paktisi politik pemenangan kandidat presiden pemilu berikutnya.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang perilaku memilih banyak dilakukan dalam konteks Psikologis, diantaranya Bowler dan Karp (2004) melakukan penelitian dengan judul “Politicians, scandals, and trust in government”. Penelitian ini ingin melihat dampak skandal check-writing terhadap penilaian Kongres tahun 1990. Bagaimana dampak keterlibatan anggota dalam skandal mempengaruhi evaluasi Kongres sebagai sebuah institusi. Baik di AS maupun Inggris, skandal yang melibatkan anggota parlemen menurunkan penghargaan pada politisi umumnya dan parlemen pada khususnya. Dapat disimpulkan skandal yang melibatkan legislator memiliki pengaruh negatif pada sikap konstituen mereka terhadap lembaga dan proses politik. Grolund dan Setala (2007) pada penelitiannya berjudul “Political Trust, Satisfaction and Voter Turnout”, mempelajari bagaimana evaluasi warga negara pada sistem dan aktor politik yang mempengaruhi mereka untuk mengikuti pemungutan suara. Hasil yang didapat adalah kepercayaan pada parlemen memberi dampak positif pada pemilihan serta kepuasan pada demokrasi. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Dermody, Lloyd dan Scullion (2010) dengan judul “Young people and voting behaviour: Alienated youth and (or) an interested and critical citizenry?”. Penelitian ini menguji pengaruh trust, sinisme dan efikasi pada orang muda mempengaruhi perilaku memilih selama pemilihan
18
umum Inggris 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang muda umumnya curiga dan sangat sinis terhadap politisi dan Perdana Menteri (Tony Blair). Sinisme memiliki kontribusi pada perasaan keterasingan politik. Orang muda yang distrust dan sinis, mereka juga dapat tertarik dalam pemilihan umum dan ikut memilih. Miller (2010) melakukan penelitian berjudul “The Effects of Scandalous Information on Recall of Policy-Related Information.” Penelitian eksperimen longitudinal ini menemukan bahwa informasi skandal kandidat tidak signifikan mempengaruhi informasi kampanye, isu, serta kebijakan yang ditawarkan oleh kandidat tersebut. Fridkin dan Kenney (2011) melakukan penelitian berjudul “Variability in Citizens' Reactions to Different Types of Negative Campaigns.” Penelitian ini ingin melihat apakah iklan negatif menurunkan evaluasi pemilih terhadap kandidat (yang ditargetkan)? Hasil yang didapatkan beragam. Tidak semua iklan negatif mendemobilisasi pemilih. Pesan yang mengandung materi yang tidak relevan serta tidak beradab (tidak sopan) memiliki maksud untuk demobilisasi, sedangkan pesan yang relevan dan disajikan secara beradab akan melibatkan masyarakat dan meningkatkan partisipasi. Iklan yang tidak relevan serta tidak beradab efektif menurunkan minat pemilih yang memiliki sedikit toleransi pada retorika negatif.