BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UndangUndang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah mendorong perubahan lingkungan baik lingkungan
ekonomi,
menyebabkan
sosial
semakin
maupun
besarnya
politik.
tuntutan
Perubahan
masyarakat
tersebut
terhadap
juga
kualitas
pelaksanaan kinerja sektor publik, di mana kinerja organisasi sektor publik saat ini sering dipandang tidak efisien dan tidak efektif. Kinerja
sektor
bertanggungjawab
publik
dan
yang
responsif
berkualitas terhadap
adalah
kepentingan
kinerja
yang
masyarakat.
Pertanggungjawaban kinerja ini dapat diterapkan melalui akuntabilitas publik. Akuntabilitas
publik
sebagai
salah
satu
perwujudan
transparansi
dan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan sektor publik dalam mewujudkan good governance. UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance antara lain transparency, responsiveness, concensus orientation, equity, efficiency, dan effectiveness (Mardiasmo, 2003). Adanya usaha dalam pencapaian good governance ini mengarahkan model pengelolaan sektor publik kepada model manajemen yang lebih berfokus kepada penilaian kinerja sebagai pertanggungjawaban kepada publik. Pendekatan manajemen sektor publik ini dikenal sebagai konsep New Public Management
1
2
(NPM). Penerapan konsep NPM menyebabkan adanya perubahan manajemen sektor publik dari sistem manajemen tradisional yang kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang lebih fleksibel, mengakomodasi pasar, lebih sistematis dan rasional. Konsep ini lebih berorientasi pada input, output, dan outcome yang memberikan perhatian lebih besar pada pencapaian kinerja dan akuntabilitas publik. Pencapaian kinerja merupakan komponen yang paling penting dalam penerapan konsep NPM. Untuk melihat perkembangan pencapaian kinerja tersebut, diperlukan alat yang disebut pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja ini merupakan proses untuk melihat perkembangan dari hasil atau capaian yang dilakukan oleh organisasi dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkannya. Ada beberapa macam pendekatan dalam pengukuran kinerja, salah satu yang umum digunakan adakah pendekatan model logika (logic model). Model ini dipandang sebagai metoda yang efektif dalam merencanakan dan mengevaluasi suatu program. Model ini menghubungkan keterkaitan antara input, aktivitas, output dan outcome yang dihasilkan dari suatu program atau kegiatan. Pengukuran kinerja dengan model logika dilakukan dengan melihat capaian kinerja dari output atau outcome yang dihasilkan. Untuk mengukur seberapa besar pencapaian output atau outcome tersebut, maka diperlukan suatu indikator kinerja. Menurut Susanto (2009), indikator kinerja merupakan uraian ringkas yang menggambarkan tentang suatu kinerja yang akan diukur dalam pelaksanaan suatu program terhadap tujuannya. Indikator ini bisa berupa ukuran kuantitatif maupun ukuran kualitatif.
3
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah menyebutkan bahwa dalam rangka pengukuran dan peningkatan kinerja serta lebih meningkatkan akuntabilitas kinerja setiap instansi pemerintah, perlu menetapkan indikator kinerja utama di lingkungan instansi masing-masing. Di mana indikator kinerja utama merupakan ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi. Penyusunan indikator yang tepat diperlukan agar pengukuran kinerja menjadi lebih akurat. Menurut Mahmudi (2010: 156), masalah potensial yang muncul
dalam
pengembangan
indikator
kinerja
dan
berdampak
pada
terdistorsinya sistem manajemen kinerja antara lain. 1. Input atau biaya tidak teralokasi pada program secara akurat. 2. Semua perhatian kualitas yang terjadi tidak tercatat. Jika seluruh atribut kualitas yang didekatkan terhadap semua level input dan output tidak dicatat secara akurat, maka efisiensi dan efektivitas yang dilaporkan akan mengalami kesalahan. 3. Adanya kegagalan dalam mempertimbangkan eksternalitas (spill-over effect) yang muncul dari suatu program dan tidak mencatat semua dampak negatif yang diakibatkan oleh program tersebut. 4. Faktor-faktor eksternal tidak dimasukkan dalam menyusun indikator kinerja, seperti perubahan ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan demografis. Faktor-faktor tersebut dapat memberikan dampak terhadap efisiensi dan efektivitas.
4
5. Adanya kesalahan dalam melihat efisiensi rata-rata. Efisiensi marjinal dianggap sebagai efisiensi rata-rata, sehingga menimbulkan sumber daya ekstra yang dialokasikan ke suatu program. Keadaan tersebut menyebabkan efisiensi rata-rata tampak tinggi akan tetapi berdampak kecil terhadap output yang dihasilkan, sehingga efisiensinya menjadi terdistorsi. 6. Adanya kegagalan untuk mencegah terjadinya manipulasi kinerja oleh penyedia layanan. Masalah ini terjadi apabila aspek kinerja, seperti indikator kualitas atau indikator output tidak dicatat dengan baik. 7. Masalah sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku dapat menyebabkan distorsi sistem manajemen kinerja. Sikap dan perilaku tersebut antara lain, adanya keengganan untuk berubah (resistance to change), ketidakyakinan (keraguan) terhadap indikator yang digunakan, motivasi yang rendah dari manajemen level operasional untuk memenuhi indikator yang ditetapkan, manajemen yang tidak mendukung dan kecenderungan untuk menghindari dinilai atau diukur kinerjanya. Penelitian yang dilakukan oleh Micheli dan Neely (2010) mengenai pengukuran kinerja pada sektor publik di Inggris menunjukkan bahwa permasalahan yang umum dalam pengukuran kinerja sektor publik adalah lemahnya konsistensi dari indikator kinerja, target, dan prioritas. Akuntabilitas organisasi sektor publik umumnya disampaikan melalui media laporan keuangan dan laporan kinerja. Dengan demikian, indikator kinerja memiliki peran yang signifikan dalam pengendalian manajemen untuk menjamin bahwa organisasi dikelola dengan baik guna melayani para pemangku
5
kepentingannya sebaik mungkin (Akbar, 2011). Oleh karena itu perumusan indikator kinerja menjadi penting dalam proses pengukuran kinerja suatu organisasi baik organisasi sektor publik maupun sektor swasta. Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 9 Tahun 2007, pemilihan dan penetapan indikator kinerja utama harus memenuhi karakteristik yang baik yaitu spesifik, dapat dicapai, relevan, menggambarkan keberhasilan sesuatu yang diukur, dan dapat dikuantifikasi dan diukur. Pada sektor publik, indikator kinerja diukur dan dilaporkan dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sesuai dengan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999. Setiap tahun pemda menyusun dokumen LAKIP sebagai pertanggungjawaban kinerja kepada publik. Namun terdapat indikasi bahwa pengukuran kinerja di dalam LAKIP masih sebatas dokumentasi dan formalitas. Evaluasi LAKIP terhadap pemerintah kabupaten/kota di Indonesia pada Tahun 2012 yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menunjukkan hasil sebagai berikut: Tabel 1.1 Hasil Evaluasi LAKIP Kabupaten/Kota di Indonesia, 2012 Kriteria
Predikat
Jumlah Kabupaten/Kota AA Memuaskan A Sangat Baik B Baik 2 CC Cukup baik/memadai 103 C Agak kurang 257 D Kurang 76 Jumlah 438 Sumber: Kemeneg PAN dan RB, 2013 (diolah)
Prosentase 0% 0% 0,46% 23,52% 58,68% 17,53% -
6
Dari hasil evaluasi tersebut terlihat bahwa hanya dua kabupaten/kota yang mendapat predikat baik, selebihnya mendapat predikat di bawahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran kinerja yang dilakukan oleh pemerintah daerah belum optimal. Ini dikarenakan beberapa permasalahan seperti belum selarasnya dokumen-dokumen perencanaan, ketidakmampuan mendefinisikan kinerja, dan ketidakmampuan menyusun indikator kinerja yang baik. Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi untuk penyusunan indikator kinerja, di mana indikator kinerja yang tepat dan terukur akan menunjang proses pengukuran kinerja yang lebih baik di pemerintah daerah. Kota Tangerang merupakan salah satu kota di Provinsi Banten yang telah menjalankan
sistem
akuntabilitas
kinerja
untuk
melaksanakan
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pada hasil evaluasi LAKIP yang dilaksanakan oleh Kemeneg PAN dan RB tahun 2012, Pemerintah Kota Tangerang mendapat predikat cukup baik/memadai (kategori CC). Hal ini disebabkan oleh masih adanya kekurangan yang terkait dalam pengukuran kinerja, seperti. 1. Belum selarasnya dokumen-dokumen perencanaan. 2. Indikator kinerja dalam pengukuran kinerja belum memenuhi kriteria indikator kinerja yang baik. 3. Tidak semua indikator mempunyai mekanisme pengumpulan data kinerja. 4. Indikator kinerja belum sepenuhnya menggambarkan hasil, belum cukup untuk mengukur kinerja dan masih belum selaras. Oleh karena itu penelitian ini mencoba mengevaluasi penyusunan
7
indikator kinerja dalam laporan LAKIP tersebut. Apakah indikator kinerja yang disusun telah menunjukkan kesesuaian informasi (hubungan yang logis) mulai dari perencanaan hingga pelaporannya. Di samping itu, penelitian ini mencoba melihat lebih jauh atas indikator kinerja yang telah disusun Pemerintah Kota Tangerang, apakah sudah berbasis hasil dengan menggunakan pendekatan Ongoing Performance Management and Measurement (OPM&M) dengan alat analis berupa model logika (logic model) yang diperluas atau dikenal dengan nama performance blueprint. Kemudian penelitian ini juga menganalisis apa saja yang menjadi kendala dalam penyusunan indikator kinerja pada Pemerintah Kota Tangerang. 1.1.1
Pertanyaan penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penelitian ini mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Apakah indikator kinerja yang digunakan oleh Pemerintah Kota Tangerang telah menunjukkan kesesuaian informasi (hubungan yang logis) dari perencanaan hingga pelaporannya? 2. Bagaimanakah kecenderungan indikator kinerja Pemerintah Kota Tangerang jika dievaluasi dengan pendekatan OPM&M menggunakan metoda alur logika yang diperluas (performance blueprint)? 3. Apa sajakah yang menjadi kendala dalam penyusunan indikator kinerja Pemerintah Kota Tangerang?
8
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai evaluasi penyusunan indikator kinerja di Kota Tangerang belum pernah dilakukan, namun beberapa penelitian tentang evaluasi indikator kinerja atau berhubungan dengan pengukuran kinerja telah dilakukan. Oetami (2000) melakukan penelitian mengenai evaluasi proses penyusunan indikator kinerja di instalasi laboratorium RS Islam Klaten. Hasilnya disajikan dengan menggunakan pola hubungan antara balanced scorecard dan aliansi. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara visi, misi, penetapan tujuan, dan perencanaannya antara Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Islam Sultan Agung, sedangkan dalam proses penyusunan program hanya sebagian yang terkait, tetapi pada proses penyusunan anggaran tidak terkait sama sekali. Melalui penerapan balanced scorecard dan aliansi dapat diketahui indikator-indikator yang dipergunakan bersama antara FK Unnisula dan RS Islam Sultan Agung misalnya: indikator kinerja sumber daya manusia di RSSIA. Kajian mengenai penggunaan indikator kinerja pada sektor publik dituliskan oleh Zakaria et. al. (2011) yang meneliti tentang penggunaan indikator kinerja kunci di sektor publik, studi kasus di Malaysia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan indikator kinerja kunci untuk mengukur kinerja organisasi tidak hanya diperlukan pada sektor swasta tetapi juga sektor publik. Penggunaan indikator kinerja kunci pada sektor publik telah memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas administrasi dan pelayanan. Peneliti menyarankan pada penelitian selanjutnya sebaiknya pemerintah
dapat
menyediakan indikator terbaik untuk mengukur kinerja instansi pemerintahan
9
dengan menempatkan nilai tambah pada implementasi Indikator Kinerja Kunci (IKK). Marvin (2012) melakukan penelitian evaluasi penyusunan indikator kinerja pada Pemerintah Kabupaten Bantul. Penelitian ini menggunakan model performance blueprint dengan model alur logika yang diperluas dan analisis empat kuadran (four quadrant analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator kinerja Pemerintah Kabupaten Bantul belum menunjukkan kesesuaian informasi (hubungan yang logis) antara dokumen perencanaan hingga dokumen pelaporan. Indikator kinerja SKPD/unit kerja sebagian besar belum menunjukkan indikator berbasis hasil (result-based performance indicator). Analisis dengan performance blueprint menunjukkan bahwa sebagian besar (90 persen) indikator kinerja program utama/kegiatan Pemerintah Kabupaten Bantul
berorientasi
output/aktivitas (service-delivery outcome) dan belum berorientasi hasil/manfaat yang dapat dirasakan masyarakat (community outcome). Wuryandari (2012) melakukan penelitian mengenai evaluasi penyusunan indikator kinerja pada Universitas Gadjah Mada berdasarkan pada pendekatan Ongoing Performance Management and Measurement (OPM&M) dengan menggunakan model performance blueprint. Hasil dari evaluasi tersebut yaitu para penyusun indikator kinerja sudah memahami apa yang dimaksud dengan indikator kinerja meskipun dengan tingkatan yang berbeda-beda. Selain itu, indikator kinerja kegiatan rutin sebagian besar masih bersifat delivery service dan indikator kinerja kegiatan pengembangan sudah lebih berorientasi pada community outcome.
10
Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan dari penelitian terdahulu. Kesamaannya adalah penelitian ini sama-sama mengevaluasi penyusunan indikator kinerja dengan model alur logika diperluas (performance blueprint). Perbedaannya adalah pada objek penelitian di mana penelitian ini dilakukan di tempat dan waktu yang berbeda yaitu pada Pemerintah Kota Tangerang.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian 1.3.1
Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah.
1. Menganalisis kesesuaian informasi (hubungan yang logis) pada indikator kinerja mulai dari perencanaan hingga pelaporan pada sistem pengukuran kinerja Pemerintah Kota Tangerang. 2. Menganalisis
indikator
kinerja
Pemerintah
Kota
Tangerang
dengan
pendekatan OPM dan M menggunakan metoda alur logika yang diperluas (performance blueprint). 3. Menganalisis kendala dalam penyusunan indikator kinerja Pemerintah Kota Tangerang. 1.3.2
Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain.
1. Sebagai masukan dan kontribusi praktis khususnya bagi pemerintah Kota Tangerang mengenai pengukuran kinerja berbasis hasil (outcome) dengan metoda alur logika diperluas (performance blueprint). 2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang tertarik dalam kajian manajemen kinerja sektor publik khususnya dengan pendekatan model logika.
11
3. Sebagai masukan bagi pemerintah pusat dan Kementrian PAN dan RB dalam merumuskan kebijakan pengukuran kinerja instansi pemerintah.
1.4 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi menjadi empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, menguraikan tentang tinjauan pustaka, landasan teori dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Bab III, menguraikan tentang cara penelitian, hasil analisis data dan pembahasannya. Bab IV Kesimpulan dan Saran, merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran atau rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.