BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu mata pelajaran wajib mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi (UU No. 20 Tahun 2006 tentang sistem pendidikan nasional pasal 37) memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya membentuk warga Negara yang memiliki kecerdasan, rasa bangga, dan tanggung jawab serta mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat dilihat dari tujuan PKn yang tercantum dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah : a. Berpikir
secara
kritis,
rasional,
dan
kreatif
dalam
menanggapi
isu
kewarganegaraan b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bermasyarakat dengan bangsa-bangsa lainnya d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan tekhnologi informasi dan komunikasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Soemantri (2001:3) mengungkapkan bahwa “guru harus mendidik siswa melalui proses berpikir kritis, analisis, dan kreatif yang
1
dikembangkan menjadi cara-cara berpikir warga negara yang demokratis, cerdas, dan bertanggung jawab”. Namun, proses pembelajaran PKn selama ini masih terjebak pada proses belajar yang monoton, yang menyebabkan siswa terpaku pada menghafal materi sehingga hanya menyentuh kemampuan berpikir tingkat rendah. Sedangkan dalam proses pembelajaran PKn memerlukan keterlibatan siswa secara aktif untuk mengembangkan kemampuan berpikir analisis, melihat langsung agar proses pembelajaran tersebut dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Kelemahan PKn selama ini terletak pada proses belajar, proses belajar masih lemah dan terperangkap pada “proses menghafal”, menyentuh kognitif tingkat rendah. Porses belajar belum mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, kualitas partisipasi siswa dalam belajar masih rendah, mereka belum diperankan sebagai pembelajar yang secara mandiri melakukan kegiatan lebih dari itu, belajar belum diartikan sebagai pengembangan potensi berpikir, posisi penerima masih banyak dilakukan oleh siswa. Begitu pula siswa belum dilibatkan secara optimal dalam pembentukan konsep berdasarkan potensi intelektual dan emosional dirinya sendiri. (Al-Mukhtar, 1999:70). Dari hasil pantauan penulis selama melakukan PPL di SMP Negeri 12 Malang, melalui pengamatan selama proses pembelajaran dikelas memperlihatkan bahwa kelemahan PKn selama ini memang terletak pada proses pembelajarannya yang belum melibatkan siswa sebagai seorang pemikir yang diharapkan dapat membentuk suatu konsepnya sendiri berkaitan dengan materi yang dibahas. Pembelajaran PKn masih kurang memberikan aktivitas pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Beck dan Dole (Rois, 2002:7) mengungkapkan bahwa 2
“peningkatan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan dengan penekanan kepada proses mengamati, membandingkan, mengelompokkan, menafsirkan, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan”. Shahib (2003:87) mengungkapkan bahwa “bila sejak awal siswa telah diberikan kesempatan untuk mengamati dan dibiasakan berpikir analisis, siswa akan terbiasa berpikir kritis. Sebaiknya, bila siswa terlalu dibebani dengan hafalan dan tidak mengembangkan potensi berpikirnya maka mereka hanya akan terampil dalam hal meniru dan mengingat saja, sedangkan siswa perlu melatih keterampilan berpikir dan daya kreatifitasnya untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di sekitar mereka. Wahab (1990:56) juga mengemukakan bahwa, ada empat alasan mengapa siswa perlu dibiasakan mempunyai kebiasaan berpikir kritis, karena : a. Tuntutan jaman, kehidupan kita dewasa ini menuntut setiap warga Negara dapat mencari, memilih dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara b. Setiap warga Negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut berpikir kritis dan kreatif c. Kemampuan memandang sesuatu hal dengan cara baru dalam memecahkan masalah d. Merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar siswa kita disatu pihak bisa bersaing dengan fair, dilain pihak bisa bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
3
Dalam hal ini, guru hendaknya mengupayakan metode pembelajaran yang dapat menstimulus siswa untuk berpartisipasi secara aktif mengemukakan pendapat atau pemikirannya sehingga dapat meningkatakan kemampuan berpikir kritisnya. Penelitian pendidikan pada umumnya mengandung dua ciri pokok, yaitu, logika dan pengamatan empiris (Babbie, 1986:16). Kedua unsur penciri pokok penelitian ini harus dipakai dengan konsisten, artinya dua unsur itu harus memiliki hubungan fungsional-logis. Dalam hal ini logika merujuk kepada (a) pemahaman terhadap teori yang digunakan dan (b) asumsi dasar yang digunakan oleh peneliti ketika akan memulai kegiatan penelitian. Di samping itu pengamatan empiris bertolak dari (a) hasil kerja indera manusia dalam melaksanakan observasi dan kekuatan pemahaman manusia terhadap data-data lapangan. Kegiatan antara penggunaan logika dan pengamatan empirik harus berjalan konsisten, artinya kedua unsur (logika dan pengamatan empiris) harus memiliki keterpaduan dan memungkinkan terjadi dialog intensif. Dengan demikian pengamatan empiris harus dilakukan sesuai dengan pertimbangan logis yang ada. Sebagai contoh : dalam bidang pendidikan menurunnya prestasi siswa dapat diterangkan dengan asumsi bahwa (a) telah berkurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran tertentu di sekolah sebagai akibat dari terbatasnya prasarana laboratorium dan buku penunjang belajar (b) telah terjadi penurunan ratarata nilai ujian untuk mata pelajaran tertentu, disebabkan guru belum memahami pelaksanaan kurikulum yang berbasis kepada KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan). Penelitian pendidikan sebenarnya suatu proses untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar konsep yang dijadikan bahan kajian dalam penelitian. Hubungan 4
antar konsep itu ditunjukkan dalam sebuah hubungan. Setiap konsep yang dikembangkan sebagai variabel penelitian harus dapat menunjukkan beberapa indikator empirik yang ada di lapangan. Sebagai contoh konsep kemampuan mengajar guru, maka indikator empirik yang dapat diketahui adalah: a. Kemampuan penggunaan metode belajar guru di dalam kelas b. Penguasaan materi belajar pada mata pelajaran tertentu di kelas c. Kemampuan guru mengadakan asosiasi beberapa mata pelajaran tertentu di kelas. Hakekat pendidikan untuk mencerdaskan dan mencetak nilai-nilai luhur mengalami reduksi besar-besaran yang cenderung bertumpu pada kepentingan pragmatis liberal semata. Dunia dalam percepatan bukan diisi oleh generasi yang mampu menghadapi perubahan, melainkan lebih pada generasi yang mengabdi pada kekuasaan. Arah pendidikan makin jelas menuju pada kepentingan jangka pendek, seolaholah anak ditempa menjadi manusia yang harus paham berbagai masalah dengan mengabaikan kebebasan individunya. Anak diharuskan menjadi pribadi dengan predikat superlatif (serba cakap-pandai), sedangkan yang tak memenuhinya silakan minggir. Menurut Benny, ini akibat proses belajar yang terjadi bukan secara humanistik melainkan doktriner (h.103) sehingga pantaslah pendidikan kita hanya menghasilkan generasi robot, generasi yang dituntut selalu seragam hingga menafikan perilaku luhur. Singkatnya, salah seorang pelopor pendidikan R.A Kartini, menyebut perengkuhan pendidikan berarti habis gelap terbitlah terang. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, KI Hajar Dewantoro sebagai Bapak Pendidikan Nasional 5
sebagai bukti konkrit lain, bahwa melalui pendidikanlah manusia Indonesia bisa jadi maju dan beradab sehingga bisa bergaul, sejajar, dan dikenal di antara bangsa-bangsa di dunia. Dalam prakteknya, pendidikan memang beragam. Beberapa metode pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW di antaranya melalui tiga tingkatan, yakni lisan, tangan, dan hati. Tiga aspek pendidikan ini kemudian dijabarkan oleh para ahli terori pendidikan dari barat seperti Bloom, dengan pemenuhan aspek-aspek pengetahuan (cognitive), keterampilan (psychomotor), dan sikap (affective). Jelasnya, gabungan tiga aspek inilah yang dikehendaki oleh Islam. Di bangku sekolah, teori pendidikan dan tujuan pendidikan di atas kelihatannya rumit sekali. Padahal jika dikaji lebih dalam, kenyataannya tidaklah demikian. Hakekat pendidikan sebenarnya sederhana dan mudah diterapkan. lagipula hasilnya bisa direngkuh. Metodologi dalam arti umum, adalah studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip yang mengarahkan penelitian ilmiah. Dengan demikian, metodologi dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip dasar dan bukan sebagai metode atau cara-cara untuk melakukan penelitian. Pendidikan telah diyakini sebagai salah satu aspek pembangunan bangsa yang penting untuk mewujudkan warga Negara yang handal. Professional dan berdaya saing tinggi. Disamping itu, diyakini pula oleh berbagai bangsa bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses (nation and character building), yang sangat menentukan perjalanan dan regenerasi suatu bangsa. Pendidikan selalu
6
menjadi topik diskusi yang sangat (up to date topic of discussion) bagi NegaraNegara di penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Indonesia sebagai salah satu developing country telah menunjukan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan, yang secara yuridis tercermin dalam pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 1)”. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-undang (Pasal 2). Disamping itu masalah pendidikan juga tercermin dalam rencana strategis Depdiknas (2004-2009) yang merupakan landasan operasional dalam menjabarkan pendidikan kedalam kebijakan pendidikan nasional dan program-program kegiatan yang merupakan refleksi dan derifed dari tujuan pendidikan Nasional. Komite sekolah sebagai wakil dari kepedulian masyarakat terhadap mutu sekolah yang memiliki peran penting dan mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Mendorong
tumbuhnya
perhatian
dan
komitmen
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. b. Melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
7
a. Bagaimana aktivitas belajar siswa selama pengajar menerapkan strategi Contextual Teaching and learning (CTL), pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 12 Malang.? b. Bagaimana hasil belajar siswa ditinjau dari penguasaan materi pada strategi Contextual Teaching and learning (CTL), yang meliputi keterampilan dalam memprediksi, menyusun pertanyaan, mengklarifikasi, dan merangkum materi.? c. Bagaimana hasil belajar siswa setelah dilakukan uji dengan menggunakan strategi Contextual Teaching and learning (CTL), pada pembelajaran Pendidikan kewarganegaraan di SMP Negeri 12 Malang dalam jangka waktu tertentu.? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah ditentukan, maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Mendeskripsikan aktivitas belajar siswa selama pengajar menerapkan strategi Contextual Teaching and learning (CTL), pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 12 Malang. b. Mendeskripsikan hasil belajar siswa ditinjau dari penguasaan materi pada strategi Contextual Teaching and learning (CTL), yang meliputi keterampilan dalam memprediksi, menyusun pertanyaan, mengklarifikasi, dan merangkum materi. c. Mendeskripsikan hasil belajar siswa setelah dilakukan uji dengan menggunakan strategi Contextual Teaching and learning (CTL), pada pembelajaran Pendidikan kewarganegaraan di SMP Negeri 12 Malang dalam jangka waktu tertentu.
8
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini antara lain yaitu: a. Manfaat bagi Peserta Didik Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh peserta didik untuk lebih memahami tujuan dari adanya strategi untuk mengembangkan semangat belajar dan memotivasi agar lebih memahami tujuan dari adanya pengembangan pembelajaran tersebut. b. Manfaat bagi Guru Manfaat yang diperoleh oleh guru dari hasil penelitian ini yaitu sebagai sumber belajar dan media pembelajaran dalam menyampaikan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Sehingga mempermudah seorang guru dalam memahami makna yang terkandung dalam nilai-nilai moral Pancasila yang dikembangkan, dan yang mempunyai fungsi yang sangat mendasar guna menerapkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara khususnya c. Manfaat bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi dan menjadi sumber rujukan bagi peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih jauh tentang strategi yang digunakan dalam menyampaikan materi Pendidikan Kewarganegaraan. Uraian dan telaah nilai-nilai dapat dijadikan pemikiran dan pengembangan penelitian selanjutnya,
khususnya
yang
mengkaji
tentang
Kewarganegaraan (PKn). d. Manfaat bagi pihak sekolah ditempat penelitian yaitu 9
materi
Pendidikan
Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang model dan strategi pembelajaran yang nantinya bisa diterapkan oleh pihak sekolah guna meningkatkan proses belajar mengajar agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. I.5 Batasan Penelitian Adapun batasan dalam penelitian ini adalah: a.
Penelitian ini dimaksudkan hanya mengkaji Strategi Contextual Teaching and learning (CTL), dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
b.
Penelitian ini dilakukan pada siswa-siswi kelas II SMP Negeri 12 Malang.
1.6 Penegasan Istilah 1.6.1 Strategi Strategi adalah tindakan nyata dari guru atau praktek guru dalam melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain strategi adalah politik atau taktik yang digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. 1.6.2 Pengembangan Pengembangan dalam arti yang sangat sederhana adalah suatu proses/cara pembuatan. Sedangkan menurut Drs. Iskandar Wiryokusumo M.Se. Pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, dan mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras.
10
1.6.3 Pembelajaran Pembelajaran merupakan terjemahan kata instruction mengandung makna tidak hanya ada dalam konteks guru – murid di kelas formal, akan tetapi juga meliputi kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri oleh guru secara fisik, dan dalam kata pembelajaran ditekankan pada kegiatan belajar siswa melalui usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar mengajar. Kegiatan pembelajaran merupakan bagian yang paling penting dalam implementasi kurikulum. Untuk mengetahui apakah pembelajaran itu efektif atau efisien, dapat diketahui melalui kegiatan pembelajaran. Untuk itu pengajar dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran ini bagaimana membuat kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Ciri utama kegiatan pembelajaran adalah adanya interaksi. Interaksi yang terjadi antara siswa dengan lingkungan belajarnya, baik dengan guru, teman-temannya, tutor, media pembelajaran, dan sumber-sumber belajar lainnya. Ciri lain dari pembelajaran adalah merupakan suatu sistem, yang di dalamnya terdapat komponen-komponen sebagai berikut: tujuan, materi / bahan ajar, metode pengajaran, media, evaluasi, siswa dan guru. Strategi dan metode pengajaran merupakan salah satu komponen di dalam sistem pembelajaran, tidak dapat dipisahkan dari komponen lain yang dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: tujuan pembelajaran, materi ajar, peserta didik / siswa, fasilitas, waktu dan guru. Jadi berdasarkan pengertian diatas, maka peneliti penyimpulkan bahwa strategi pengembangan pembelajaran merupakan suatu rencana tindakan (rangkaian kegiatan)
11
dalam rangka pengembangan penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Hal ini berarti bahwa di dalam penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tataran tindakan atau aplikasi. Strategi pengembangan pembelajaran disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran, artinya disini bahwa arah dari semua keputusan penyusunan strategi pengembangan pembelajaran adalah pencapaian tujuan, sehingga penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan yang telah ditentukan. 1.6.4 Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang menyangkut status formal warga Negara yang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1949. Undang-Undang ini berisi tentang diri kewarganegaraan, dan peraturan tentang naturalisasi atau pemerolehan status sebagai warga negara Indonesia (Winataputra 1995). Istilah KN merupakan terjemahan civics. Menurut Soemantri (1967) Pendidikan Kewarga Negaraan merupakan mata pelajaran sosial yang membentuk atau membina warga Negara yang baik, yaitu warga Negara yang tau, mau dan mampu berbuat baik.
12