BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi di Afrika Utara pada periode 2011 seperti perang sipil, konflik dalam negeri, konflik karena perubahan ekonomi dan perubahan pemerintahan, perubahan ideologi, terorisme, konflik etnis, beserta semua peristiwa yang melanggar hak asasi manusia dan hak individu, membuat gelombang perpindahan penduduk di wilayah Afrika Utara menuju wilayah yang dirasa lebih aman menjadi tinggi. 1 Individu yang terpaksa berpindah dari negara asalnya karena adanya alasan tertentu yang mengacam keselamatan jiwa seseorang seperti yang telah disebutkan diatas kemudian dapat dikategorikan sebagai pengungsi. Dalam kasus negara-negara di Afrika Utara, tujuan untuk berpindah adalah Benua Eropa. 2 Benua Eropa dapat diibaratkan sebagai “Benua Harapan” bagi para pengungsi yang berasal dari Afrika Utara. Benua Eropa yang makmur, aman, dan secara jarak relatif bisa dijangkau membuat para pengungsi merasa akan aman jika mengungsi ke Eropa. Berbagai cara ditempuh untuk mencapai Benua Eropa, salah satunya melalui laut Mediterania yang memisahkan antara Benua Afrika dan Benua Eropa. Negara - negara di Benua Eropa yang berada di bagian selatan seperti Italia dan Yunani merupakan dua negara pertama yang akan dicapai jika para pengungsi mengambil rute laut ini. 3 Italia, dalam hal ini sebagai salah satu negara dengan posisi terdekat dengan Benua Afrika terutama wilayah Afrika Utara berperan sebagai “pintu gerbang” bagi masuknya para pengungsi untuk kemudian bisa menetap di Italia atau menuju negara lain di Benua Eropa bagian utara. Italia pada 1
E. O. Awuku. Refugee Movements In Africa And The Oau Convention On Refugees..Journal of African Law, Vol. 39, No. 1 (1995), pp. 79-86 Cambridge University Press. 2 L. Kaplow. Why are migrants surging into europe now? Sept 2 2015 www.npr.org/selections/parallels/2015/09/02/436905792/why-are-migrants-surging-intoeurope-now 3 F. Guarascio dan Alastair Macdonald EU eyes new migrants quotas ; relucant countries can buy ot. 7 Sep 2015 http://mobile.reuters.com.article/2015/09/07/us-europe-migrants-eu-quotasidUSKCN0R70YX20150907
1
awalnya merupakan negara asal para imigran yang kemudian menuju negara di Benua Eropa lain seperti Perancis, Jerman dan bahkan menuju ke Amerika Serikat untuk tujuan ekonomi. Selain itu pada era berkembangnya fasisme, banyak penduduk Italia yang mengungsi akibat tekanan politik.4 Akan tetapi memasuki tahun 1980an, Italia telah mengalami peningkatan jumlah imigran yang berasal dari negara dunia ketiga. Imigrasi ini telah mengantar Italia sebagai negara yang berperan dalam rancangan migrasi internasional. 5
Gambar 1. Peta Pergerakan Imigran Benua Afrika ke Benua Eropa (Sumber iMap )
Jumlah imigran yang memasuki wilayah Italia yang berasal dari Benua Afrika dengan melewati jalur Laut Mediterania selama periode 2014
4
G. S. Goodwin-gill And Helene lambert.(Ed). 2010. The Limits Of Transnational law Refugee law, Policy Harmonization and Judicial dialogue in the European Union. Cambridge University Press. United Kingdom. P. 108 5 S. Strozza. International Migration Review, vol. 38, no. 1 (spring, 2004), pp. 309-331. The center for Migration Studies Of New York, Inc.
2
mencapai 55,000.6 Sejak tahun 2008 jalur ini setidaknya telah dilalui 25.000 pencari suaka setiap tahunnya. Jumlah ini meningkat menjadi 63.000 di tahun 2011 seiring dengan adanya peristiwa Arab Spring Revolution di wilayah negara-negara Afrika Utara, terutama di Libya dan Tunisia.7 Membanjirnya imigran yang akan mencari suaka di Benua Eropa dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang singkat ke wilayah Italia membawa konsekuensi terhadap masalah politik, budaya, ekonomi serta sosial antara penduduk asli dan pendatang. Duta Besar Italia untuk Polandia mengatakan bahwa bertambahnya jumlah pengungsi yang juga berstatus imigran ilegal merupakan sebuah ancaman untuk keamanan tidak hanya untuk Italia tetapi juga bagi Uni Eropa.8 Oleh sebab itu pemerintah Italia kemudian melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan pengungsi di wilayahnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa pemerintah Italia bukanlah entitas tunggal, sehingga kebijakan yang diambilnya tidak bisa terlepas dari adanya rezim-rezim internasional yang ada, dimana Italia sebagai salah satu anggota rezim-rezim
tersebut.
Untuk
mengurusi
masalah
pengungsi,
dunia
internasional telah memiliki rezim yang mengatur mengenai pengungsi yaitu Konvensi Mengenai Status Pengungsi Tahun 1951 serta Protokol 1967 yang mengatur ketentuan tambahan dari konvensi. Konvensi dan Protokol ini dalam prakteknya dijalankan dan diawasi oleh UNHCR (United Nations High Commisioner on Refugee). Setiap negara yang menandatangani dan meratifikasi harus patuh pada ketentuan yang telah diatur berdasarkan pacta sun servanda, dimana negara yang menandatangani perjanjian wajib patuh pada apa yang ditulis dalam perjanjian tersebut, dalam hal ini termasuk patuh pada Kovensi 1951 dan Protokol 1967. Hingga April 2015, terdapat 145 negara yang meratifikasi 6
D. Berrett.2014. Illegal immigration to Europe shows sharp rise. (Daring) http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/immigration/10865652/illegal-immigration-toeurope-shows-sharp-rise.html diakses pada 11 mei 2015 7 UNHCR. UNHCR Recommendations On Important Aspects Of Refugee Protection In Italy July 2013 (Daring) http://www.unhcr.org/500950b29.pdf 8 K.Zbytniewska and Krzysztof Kokoszczyński. EurActiv Poland. (Daring) http://www.euractiv.com/sections/eu-priorities-2020/italian-ambassador-illegal-immigrationposes-security-threat-europe, 9 Februari 2015. diakses pada 25 Mei 2015
3
konvensi dan 146 negara yang meratifikasi protokol 1967 serta 142 negara yang meratifikasi keduanya.9 Italia sendiri telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi 1951 pada 15 November 1954 dan mulai berlaku pada 13 Februari 1955. Italia kemudian meratifikasi Protokol 1967 pada 26 Januari 1972 untuk memperluas cakupan pengungsi dari yang hanya terbatas berasal dari wilayah Eropa pada perang dunia ke wilayah yang lebih luas yaitu seluruh dunia. Sedangkan sebagai bagian dari Uni Eropa, kebijakan Italia juga dipengaruhi oleh kesepakatan-kesepakatan yang telah terjadi antara negaranegara UE lainnya. Kebijakan mengenai pengungsi di negara-negara Eropa sendiri diketahui telah berubah dari yang mempertimbangkan human rights menuju pertimbangan kepentingan nasional negara-negara anggota dalam beberapa tahun terakhir. 10 Status Italia, sebagai sebagai “pintu gerbang” bagi masuknya pengungsi ke wilayah Eropa yang lain, membuat kebijakan yang diambil oleh Italia dalam menangani pengungsi akan mempengaruhi keadaan negara lain di kawasan Benua Eropa. TAHUN 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
JUMLAH PENCARI SUAKA DI ITALIA 30.300 17.600 10.400 34.100 17.352 27.800 64.000
POPULASI PENGUNGSI DI ITALIA 47.061 54.965 56.397 58.060 64.779 78.061 93.715
Tabel 1. Jumlah pencari suaka dan populasi pengungsi di Italia 2008-2014 Sumber : World Bank11 dan EUROSTAT12
9
UNHCR. States Parties to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol. (Daring). http://www.unhcr.org/3b73b0d63.html diakses pada 25 Mei 2015 10 M. Kjærum. Refugee Protection between State Interests and Human Rights: Where Is Europe Heading? Human Rights Quarterly, Vol. 24, No. 2 (May, 2002), The Johns Hopkins University Press. P.513-53 11 World Bank. (Daring). http://data.worldbank.org/indicator/SM.POP.REFG 12 EUROSTAT. The number of asylum applicants in the EU jumped to more than 625 000 in 2014. 20 Maret 2015(Daring) http://ec.europa.eu/eurostat/documents/2995521/6751779/320032015-BP-EN.pdf/35e04263-2db5-4e75-b3d3-6b086b23ef2b
4
Dalam periode tahun 2010-2014, kepatuhan Italia terhadap rezim pengungsi internasional dapat dikatakan rendah. Hal ini dikarenakan Italia dinilai UNHCR dan European Court of Human Rights (ECHR) telah melanggar aturan yang disepakati dalam rezim yaitu mengenai pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh para pengungsi dan salah satu yang paling krusial yaitu hak non refoulement yang termuat dalam Pasal 33 Konvensi 1951. Kejadian pengusiran kapal atau yang disebut dengan push back dimulai ketika Italia mencoba untuk menghentikan kapal yang berisi imigran dari Afrika Utara melalui pelabuhan di Libya untuk masuk ke perairan Italia dengan mengadakan perjanjian dengan Pemerintah Libya dalam kerangka “The Treaty of Friendship, Partnership and Cooperation between the Italian Republic
and
Great
Socialist
People’s
Libyan
Arab
Jamahiriya”
(the “Friendship Pact”). Perjanjian yang ditandatangani pada 30 Agustus 2008 ini antara lain berisi kerjasama yang intensif untuk memerangi terorisme, kejahatan terorganisir, perdagangan obat dan imigrasi ilegal. Kedua belah pihak setuju untuk memperketat sistem penjagaan perbatasan di perbatasan darat Libya.13 Sejak berlaku efektifnya perjanjian ini pada 2009, kejadian pengusiran kapal semakin banyak terjadi, seperti dalam kasus yang melibatkan Italia dengan para imigran asal Eritrea yang disidangkan di Pengadilan HAM Eropa, Hirsi Jamaa and others v. Italy, dimana Italia dinilai melakukan kebijakan push backs sehingga dijatuhi sanksi denda oleh Pengadilan HAM Uni Eropa.14 Italia dihukum denda karena memulangkan kapal yang berisi pencari suaka yang berasal dari Eritrea dan Somalia pada tahun 2009. Kejadian pemulangan pengungsi ini berlangsung lagi pada 2013 dimana Italia memulangkan pengungsi ke Yunani. Hal lain yang juga menjadi indikator mengapa kepatuhan Italia dinilai rendah menurut laporan dari Proasyl pada 13
Human Rights Watch. 2009. Pushed back pushed around. (Daring) https://www.hrw.org/report/2009/09/21/pushed-back-pushed-around/italys-forced-returnboat-migrants-and-asylum-seekers 14 ECHR. Case of hirsi jamaa and others v. Italy. 23 Februari 2012 (Daring) http://hudoc.echr.coe.int/eng?i=001-109231#{"itemid":["001-109231"]}
5
tahun 2014, Italia gagal menyediakan akses prosedur minimal bagi para pencari suaka dan pengungsi sesuai aturan dalam Konvensi 1951 dan Regulasi Dublin. Italia juga
tidak bisa menyediakan fasilitas penunjang
kehidupan yang layak bagi para pengungsi yang menunggu disetujuinya suaka. 15 Tesis ini diambil untuk meneliti mengapa kepatuhan Italia dalam rezim pengungsi internasional utamanya dalam kebijakan yang diambil untuk menangani pengungsi dari Afrika Utara di wilayahnya rendah. Hal ini dilakukan karena selama ini belum banyak penelitian mengenai kepatuhan dalam rezim pengungsi internasional yang sebenarnya merupakan masalah krusial dalam memandang efektivitas penanganan pengungsi secara internasional. Ditambah lagi sebagai salah satu negara tujuan utama para pengungsi di seluruh dunia, kepatuhan Italia dalam rezim pengungsi internasional menjadi penting dalam rangka perlindungan para pengungsi.
B. Rumusan Masalah Tesis ini kemudian akan menjawab pertanyaan penelitian mengenai mengapa kepatuhan Italia terhadap rezim pengungsi internasional rendah?
C. Kajian Pustaka Penelitian mengenai penanganan pengungsi sudah banyak dilakukan akan tetapi yang spesifik mengenai Negara Italia dan penelitian mengenai kepatuhan dalam rezim pengungsi internasional belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu dalam kajian pustaka ini berusaha mencari penelitian yang paling tidak memiliki bab dan subab yang sama dengan penelitian ini. Tulisan pertama berasal dari buku berjudul Refugee Rights and Realities Evolving International Concepts and Regimes karya Frances Nicholson dan Patrick Twomey yang berisikan gambaran umum mengenai pengungsi. Buku ini juga memaparkan mengenai peran UNHCR dalam menangani pengungsi di 15
M.Betke and Dominik Bender. The Living Condition of Refugee in Italy. 2010 http://www.proasyl.de/fileadmin/fmdam/q_PUBLIKATIONEN/2011/Italyreport_en_web_ENDVERSION.pdf
6
seluruh dunia termasuk di negara dunia ketiga. Selain peran UNHCR dipaparkan juga mengenai kebijakan Uni Eropa mengenai kebijakan suaka terpusat.16 Berbeda dengan tulisan pertama, tulisan kedua lebih memfokuskan penanganan pengungsi di Italia dan Belanda dalam bentuk studi komparasi. Tulisan kedua berasal dari jurnal Integration and How We Facilitate It: A Comparative Study of the Settlement Experiences of Refugees in Italy and the Netherlands karya Maja Korac,17 membahas mengenai kedua negara yang memiliki
kebijakan
yang
open
terhadap
pengungsi
serta
proses
pengintegrasian mereka di dalam negeri masing-masing. Kedua negara memiliki strategi masing-masing untuk membuat pengungsi yang kemudian akan menjadi warga negara Belanda dan Italia, menjadi terintegrasi kedalam negeri dan bisa beradaptasi serta berpartisipasi dengan lingkungan sosial. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan harus memahami pengungsi sebagai aktor sosial daripada sebuah obyek kebijakan ketika melakukan proses integrasi. Kedua tulisan di atas menganalisis mengenai bagaimana kebijakan negaranegara untuk menangani pengungsi di wilayah-wilayah mereka dan tidak secara spesifik menganalisis mengenai kepatuhan negara terhadap rezim pengungsi internasional. Berbeda dengan tulisan ketiga yang berjudul From Compassion to Compliance? : Trends in Refugee And Humanitarian Migration in Australia, tulisan Graeme Hugo,18 yang melihat adanya pergeseran dari perlakuan terhadap pengungsi hanya berdasarkan rasa kasihan ke kepatuhan terhadap perjanjian internasional. Australia yang dikenal sebagai salah satu negara tujuan para pengungsi sejak era perang dunia I dan berlanjut hingga sekarang. Kebijakan terhadap pengungsi dilakukan di pesisir dan di lepas pantai Australia. Dalam perkembangannya Australia mengalami 16
F. Nicholson and Patrick Twomey. (Ed) 1999. Refugee Rights and Realities EvolvingInternational Concepts and Regimes. Cambrigde University Press 17 M. Korac. Integration and how we facilitate it: a comparative study of settlement experiences of refugees in Italy and the Netherlands’, Sociology,Volume 37 No. 1, pp. 51-68. 18 G.J Hugo. 2002. From Compassion to Compliance?: Trends in Refugee and Humanitarian Migration in Australia, GeoJournal, Vol. 56 No. 1, pp. 27-37
7
beberapa kali pembuatan kebijakan terkait pengungsi akan tetapi peristiwa 11/9 yang menimbulkan gelombang ketakutan di Australia membuat para pengungsi makin sulit masuk ke Australia. Dalam kesimpulan, dikemukakan Ausralia masih mengalami kesulitan antara harus berpegang pada rezim pengungsi dan berhadapan dengan para pengungsi yang datang tidak hanya karena alasan keamanan atau mencari suaka tetapi lebih banyak yang datang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Penelitian ini dekat dengan penelitian ketiga dikarenakan sama-sama membahas mengenai kebijakan negara-negara dalam hal ini Australia dan Italia, untuk menangani masalah pengungsi di wilayahnya. Akan tetapi penelitian ketiga tidak melakukan analisis derajat kepatuhan Australia terhadap rezim pengungsi internasional seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini.
D. Landasan Teori 1. Teori Rezim Internasional Untuk
menjelaskan
mengenai
rezim
pengungsi
internasional
diperlukan pengertian terlebih dahulu mengenai teori rezim internasional. Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan, yang bersifat eksplisit maupun implisit yang saling berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan internasional. Sedangkan menurut Donald Puschala dan Raymond Hopkins, rezim ada disetiap wilayah isu di dalam hubungan internasional dimanapun ada keteraturan dalam perilaku.19 Menurut Steven Haggard dan Beth A. Simmons terdapat empat teori dalam rezim internasional, yakni teori struktural, game-theory, teori fungsional dan teori kognitif. Keempat teori tesebut kebanyakan bersifat state-centered. Teori struktural secara khusus meliputi tentang 19
S.Haggard and B. Simmons, 1987, Theories of International Regimes, International Organization, Vol. 41 No. 3 (Summer 1987) halaman 491-517
8
teori hegemonic stability dimana teori tersebut menerangkan bahwa keadaan internasional yang kebanyakan dipegang oleh negara-negara adikuasa sebagai pengaturnya itu mempengaruhi kerjasama. Teori ini berhubungan dengan rezim yang menciptakan dan memelihara keberadaan kekuatan yang dominan serta melemahnya rezim terhadap penyusutan negara-negara
yang
dianggap
pendekatan game-theory menerangkan
sebagai
hegemon.
tentang
Sementara
bagaimana
sebuah
kerjasama dapat terlaksana dalam kondisi anarkis yang mana dalam keadaan
tersebut,
otoritas
supranasional
sangatlah
lemah
untuk
menciptakan sebuah kepatuhan. Berbeda halnya dengan teori fungsional yang menjelaskan tentang perilaku atau institusi mengenai pengaruhnya, lebih melihat kapan rezim dibutuhkan. Teori kognitif lebih melihat kepada bagaimana perilaku aktor yang tidak dibentuk oleh kepentingan material terlalu banyak, akan tetapi oleh peran mereka di masyarakat. Para cognitivist berpendapat bahwa tidak ada national interest yang kaku dan tidak ada rezim yang benar-benar optimal.20 Teori kognitif merupakan percampuran dari tiga teori sebelumnya. Teori struktural, game-theory dan fungsional beranggapan bahwa kerjasama terjadi dalam penyelesaian isu-isu yang relatif jelas, sementara cognitivist
beranggapan
bahwa
isu-isu
tersebut
relatif
sebaliknya21 Terbentuknya rezim pengungsi internasional dinilai lebih tepat apabila dianalisis menggunakan teori fungsional. Hal ini dikarenakan terbentuknya rezim pengungsi internasional diakibatkan oleh kebutuhan akan solusi atas permasalahan pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan akibat Perang Dunia ke 2 atau stateless person.
2. Konsep Compliance
20 21
Ibid halaman 499 Ibid halaman 509-150
9
Untuk memahami mengenai kepatuhan suatu negara terhadap rezim internasional dibutuhkan pengertian mengenai konsep kepatuhan / compliance yaitu bagaimana dan mengapa mereka comply atau patuh dengan aturan-aturan rezim internasional. Menurut Beth A. Simmons, compliance dalam tulisannya dijelaskan sebagai berikut: “Compliance can be said to occur when the actual behavior of a given subject conforms to prescribed behavior, and non-compliance or violation occurs when actual behavior departs signicantly from prescribed behavior”
Menurut Oran Young, kepatuhan terjadi ketika perilaku aktual subjek sesuai dengan perilaku yang ditentukan, dan ketidakpatuhan atau pelanggaran terjadi ketika perilaku aktual aktor menjauh secara signifikan dari perilaku yang ditentukan. Definisi ini membedakan perilaku keputusan dengan implementasi perjanjian dan efektivitas. Pengadopsian aturan-aturan domestik bukan merupakan sebuah kepatuhan ketika aturanaturan tersebut belum mencerminkan bentuk patuh terhadap perjanjianperjanjian tersebut 22 Fisher (1981) membedakan kepatuhan menjadi first order dan second order. First order menjelaskan bahwa pasal-pasal dalam perjanjian yang telah dibuat di awal sudah bersifat mengikat.23 Sementara second order menekankan pihak ketiga untuk memastikan kepatuhan, seperti yang terjadi dalam WTO, the United Nations Human Rights Committee, dan the International Court of Justice. Pihak ketiga berfungsi untuk mengevaluasi, memonitor, dan memberi sanksi. Kepatuhan
juga berbeda dengan efektivitas, namun kepatuhan
diperlukan untuk menghadirkan efektivitas. Sebuah kesepakatan yang didesain dengan sangat lemah bisa jadi malah mencapai tingkat kepatuhan tanpa banyak berdampak pada fenomena yang menjadi perhatian. Kepatuhan
lebih
mengarah
kepada
management
problem dari
22
B. Simmons. International Organizations and Institutions .1998. p 77 A.Chayes and Antonia Handler Chayes, The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreements, Harvard University Press (1995). 23
10
padav enforcement problem. Menurut Chayes & Chayes, kepatuhan ada bukan karena ada ancaman hukuman, tetapi dipengaruhi oleh tiga alasan, yaitu : interaksi antar aktor yang melihat kepatuhan itu sendiri diperlukan; mempertimbangkan micro context yang mengarah pada permasalahan tertentu; dan mempertimbangkan keseimbangan keuntungan yang dibawa dan diharapkan. Sementara ketidakpatuhan bukan merupakan bentuk dari pengingkaran, melainkan lebih kepada isolasi atas ketidakmampuan administratif. Ketidakpatuhan dipengaruhi juga oleh tiga alasan, yaitu : ambiguitas; kapasitas terbatas negara dalam menerjemahkan hukum internasional ke dalam kebijakan; serta perubahan ekonomi dan sosial yang tidak bisa di kontrol.24 Menurut Jana Von Stein ada 4 hal yang mendorong sebuah negara untuk comply atau tidak dengan hukum internasional yang diikutinya yaitu karena institusi dalam negeri, tekanan internasional, reputasi, serta resiprokalitas. Institusi domestik berperan dalam mempromosikan nilainilai yang selaras dengan hukum internasional tersebut. Sedangkan tekanan internasional berkaitan dengan pemaksaan secara positif ataupun negatif seperti pemberian sanksi atau bantuan finansial. Reputasi berkaitan dengan citra yang ingin dicapai sebagai negara yang patuh dengan perjanjian sehingga akan membawa kemudahan di sektor lain. Yang terakhir resiprokalitas berkaitan dengan timbal balik yang akan dicapai jika patuh terhadap perjanjian. 25 Penelitian ini membutuhkan konsep compliance untuk menganalisis mengapa kepatuhan Italia terhadap rezim pengungsi internasional rendah, khususnya dalam kebijakan pada pengungsi yang berasal dari Afrika Utara. 24
A. Chayes dan A.H. Chayes, 'Compliance Without. Enforcement: State Behaviour Under Regulatory. Treaties. Negotiation Journal Volume 7. 1991. P. 311-330 25 J. V.Stein. "International Law: Understanding Compliance and Enforcement." The International Studies Encyclopedia. Denemark, Robert A. Blackwell Publishing, 2010. Blackwell Reference Online. 08 April 2010
11
E. Kerangka Analisis Data Jumlah imigran dan pencari suaka dari Afrika Utara ke Italia pada 2010-2014 meningkat didorong oleh peristiwa Arab spring revolution di Libya dan Tunisia.
Kepatuhan Italia rendah terhadap rezim pengungsi internasional dengan melakukan banyak pelanggaran terhadap
hak-hak
pengungsi
berdasarkan
Konvensi
Jenewa 1951.
Penyebab kepatuhan Italia rendah terhadap rezim pengungsi internasional dalam penanganan pengungsi yang berasal dari Afrika Utara adalah adanya tekanan dalam negeri dan tekanan luar negeri terutama Uni Eropa.
F. Hipotesis Jawaban sementara dalam penelitian ini adalah bahwa tingkat kepatuhan Italia terhadap rezim pengungsi internasional rendah disebabkan karena pertama, adanya dorongan institusi dalam negeri seperti warga negara dan kelompok partai oposisi untuk melindungi kepentingan nasionalnya seperti kepentingan ekonomi, politik, dan budaya. Kedua, tekanan internasional yaitu tekanan dari negara-negara Eropa lainnya, dalam hal ini Jerman dan Perancis karena bertambahnya pengungsi akan membebani kondisi domestik mereka. Kebanyakan pengungsi hanya menjadikan Italia sebagai negara transit saja sehingga apabila status pengungsi ataupun temporary protection diperoleh mereka akan tetap menuju Jerman ataupun Perancis. Ketiga, tingkat kepatuhan yang rendah juga disebabkan oleh ambiguitas rezim serta
12
perbedaan kapabilitas yang dimiliki masing-masing negara. Rezim pengungsi internasional dinilai sudah tidak relevan lagi untuk menangani dan menjawab permasalahan pengungsi di era sekarang ini. Selain ketiga faktor diatas, faktor kepentingan Italia yang hanya berperan sebagai negara transit bagi para pengungsi yang akan menuju negara-negara Eropa dibagian utara, seperti Perancis dan Jerman membuat Italia tidak memiliki kepentingan untuk comply terhadap rezim pengungsi internasional di era sekarang.
G. Metode Penelitian Penulisan tesis ini akan dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian ini bertujuan bersifat deskriptif analitis, atau memberikan gambaran mengenai fenomena dan kasus yang diteliti. Menurut Neuman, penelitian yang sifatnya deskriptif akan menghasilkan sebuah gambaran detail dari suatu situasi, kondisi, atau hubungan sosial.26 Pengumpulan data dalam penulisan ini akan dilakukan dengan studi pustaka ( library research ) yaitu dengan mencari data – data sekunder berupa buku – buku literatur, majalah, jurnal, tabloid, dan internet serta dari sumber – sumber lain yang relevan dengan permasalahan yang ada.27
H. Sistematika penulisan Penulisan tesis mengenai Analisis Kepatuhan Italia dalam rezim pengungsi internasional : Studi Kasus Penanganan Pengungsi Dari Afrika Utara (Periode 2010-2014), akan dibagi ke dalam lima bab untuk mempermudah pembahasannya. Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Hipotesis, Kerangka Analisis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian. Bab ini tujuannya untuk memberikan gambaran umum penelitian.
26
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 3rd Ed. (Boston, Massachusetts: Allyn & Bacon, 1997), hal. 20 27 M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. 2003. P 27
13
Bab II, bab ini akan memaparkan sejarah masuknya pengungsi dari Benua Afrika di Italia dan apa saja upaya yang sudah dilakukan untuk menangani pengungsi sebelum adanya rezim pengungsi. Bab ini juga akan memaparkan secara singkat sejarah Konvensi 1951, Prokol 1967 dan UNHCR Bab III akan membahas bagaimana Italia mengimplementasikan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dalam kebijakan domestiknya serta kebijakan Uni Eropa dalam menangani pengungsi. Bab IV akan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan mengapa kepatuhan Italia rendah terhadap rezim pengungsi internasional yang dapat dilihat melalui kebijakan-kebijakan yang diambil dalam penanganan pengungsi. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal yaitu yang berasal dari dalam negeri Italia serta faktor eksternal utamanya Uni Eropa. Bab V akan berisi kesimpulan dimana tulisan ini berkesimpulan bahwa kepatuhan Italia terhadap rezim pengungsi internasional rendah disebabkan dua faktor yaitu karena dorongan dalam negeri seperti warga negara dan kelompok oposisi untuk melindungi kepentingan nasional Italia seperti kepentingan ekonomi, politik, dan budaya. Faktor kedua adalah adanya tekanan internasional yaitu tekanan dari negara-negara Eropa lainnya karena akan membebani kondisi domestik negara mereka masing-masing.
14
