BAB I PENDAHULUAN Inggris senantiasa mengalami pro dan kontra mengenai isu integrasi Eropa. Perdebatan mengenai partisipasi Inggris di dalam integrasi Eropa sudah berlangsung sejak ECSC (European Coal and Steel Community) dibentuk. Pemerintah Inggris yang pada saat itu dipimpin oleh Clement Attlee dari Partai Buruh juga diundang untuk ikut ambil bagian dalam perundingan ketika pembentukan ECSC masih diwacanakan pada tahun 1950.Attle menolak tawaran tersebut karena merasa kerjasama ECSC akan bertolak belakang dengan prinsip nasionalisme yang dimiliki oleh Inggris. 1Partai Konservatif mempertimbangkan untuk meneriwa tawaran untuk berpartisipasi dalam negosiasi pembentukan ECSC namun pada akhirnya setuju dengan penolakan yang diajukan oleh pemerintah Buruh karena menganggap tujuan ECSC terlalu utopis. Inggris masih enggan untuk bergabung dalam integrasi Eropa ketika ECSC mengembangkan kerjasama ekonomi mereka melalui pembentukan EEC. Pemerintah Inggris lebih memilih untuk membentuk EFTA (European Free Trade Association) pada tahun 1959 bersama dengan Austria, Denmark, Norwegia, Portugal, Swedia, dan Swiss. Asosiasi dagang dari 7 negara ini juga dikenal sebagai outer seven karena dibentuk untuk memblokade pengaruh ekonomi dan dagang yang disebabkan oleh integrasi ekonomi EEC. Sebutan ini bisa juga dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar anggota dari EFTA merupakan negara yang menolak untuk bergabung dengan EEC dan negara yang tidak diterima keanggotaannya dalam EEC. Namun karena tidak ada manfaat yang signifikan dari kerjasama EFTA, maka pemerintah Inggris segera mempertimbangkan untuk mengajukan aplikasi keanggotaan kepada EEC. Ide dan tujuan untuk bergabung menjadi anggota EEC disampaikan oleh PM Inggris, Harold Macmillan dalam pidato di depan majelis rendah (House of Commons) pada tanggal 31 Juli 1961. 2 Dalam pidato tersebut Macmillan menjelaskan bahwa keanggotaan Inggris dalam kerjasama EEC memiliki arti penting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki oleh Inggris dan persemakmuranserta meningkatkan kerjasama yang
1
Thillien, Dexter. “In Or Out, the UK and the EU.”Global Politics. 2008. 5 Desember 2010
2 “Guide to the European Union.”. Spartacus.2010. 1 Januari 2011
1
lebih signifikan dalam EFTA. Oleh karena itu, Macmillan mengusulkan pertemuan diantara Inggris dan ECC untuk membahas isu-isu yang dianggap riskan. Tindakan Macmillan ini memberikan dampak terhadap disparitas yang mulai muncul di dalam tubuh Partai Konservatif di parlemen. Kedaulatan dan independensi Inggris menjadi alasan utama kelompok kontra. Anggota parlemen dari kelompok Konservatif, Anthony Fell menganggap tindakan Macmillan akan membawa kekacauan bagi kepentingan nasional dan kedaulatan Inggris. Sejumlah Negara anggota Persemakmuran seperti Kanada, New Zealand, dan Australia memberikan reaksi yang serupa. Mereka merasa kecewa dengan kebijakan pemerintah Inggris untuk bergabung dengan EEC dan khawatir hal tersebut akan berdampak buruk bagi hubungan dagang mereka. 3 Macmillan berhasil mendapatkan dukungan parlemen untuk merealisasikan ide keanggotaan Inggris di EEC meskipun pada akhirnya gagal pada proses negosiasi dengan ECC karena veto dari Perancis. Keberhasilan Macmillan untuk merealisasikan kebijakan keanggotaan EEC melalui dukungan parlemen dilatarbelakangi oleh perubahan situasi politik dalam negeri Inggris pada saat itu. Hingga tahun 1954, kebijakan politik luar negeri Inggris terhadap Eropa didominasi oleh pengaruh dari Departemen Luar Negeri yang sebagian besar terdiri dari politisi ortodoks yang memiliki pandangan anti Eropa.4Adanya pergantian generasi di Departemen Luar Negeridan adanya pengaruh dari Departemen Keuangan dan Perdagangan yang lebih melandaskan fokus kebijakan pada kepentingan ekonomi mempengaruhi perubahan politik luar negeri pemerintah Inggris yang lebih pro Eropa pada periode waktu dari tahun 1950-1960. 5 Integrasi EEC semakin erat melalui pembentukan resmi EC (European Community) pada bulan Juli 1967 melalui Traktat Penggabungan (Merger Treaty) yang sebelumnya telah ditandatangani pada tanggal 8 April 1965.EC merupakan perwujudan integrasi dari berbagai macam kerjasama yang sebelumnya telah dibangun dalam ECSC, EEC, dan EURATOM. Hal ini menjadi salah satu pijakan penting dalam perkembangan integrasi Eropa. Pemerintah
3
Louati, Claudia. “British, the Commonwealth, and the Europe.” Nouvelle Europe. 2010. 1 Januari 2011 4 Young, John W. 1995. “British Officials and European Integration, 1944-1960.” Building Postwar EuropeNational Decision Makers and European Institution 1948-1963. Ed. A. Deighton. New York: St. Martin’s Press. Hal. 87-106 5 Audland, Christopher dan Roy Denman, R. Ranieri (ed.) “Negotiating Britain’s Membership of the European Communities:1961-1963 and 1971-1972”. University of Manchester Working Papers in Economic and Social History.43. 6-7
2
Inggris yang pada saat itu berada di bawah kepemimpinan anggota Partai Konservatif pro Eropa, Edward Heath segera mengupayakan kembali keanggotaan Inggris di dalam EC. Inggris masuk sebagai anggota resmi ECC pada tanggal 1 Januari 1973 bersama dengan Irlandia dan Denmark. Meskipun Heath memperoleh dukungan mayoritas dari anggota Partai Konservatif, namun tindakan Heath menyebabkan segregasi di dalam tubuh partai tersebut. Salah satu anggota Partai Konservatif, Enoch Powell secara terbuka menolak ide keanggotaan Inggris dalam EC. Powell pun menjadi pemimpin bagi sekitar 60 anggota parlemen sayap kanan yang memiliki pandangan serupa. 6 Pada tahun 1971, sebelum pengambilan suara kedua dilakukan, dua anggota kabinet junior dari Partai Konservatif, Teddy Taylor dan Jasper Moore, mengundurkan diri karena tidak setuju dengan kebijakan keanggotaan Heath.7 Harold Wilson yang menggantikan posisi Heath sebagai Perdana Menteri segera mengadakan pertemuan dengan EC untuk mengajukan syarat keanggotaan tambahan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kontroversi mengenai status keanggotaan Inggris di ECC. Syarat keanggotaan tersebut mencakup langkah renegosiasi pada beberapa isu seperti; mengubah kebijakan pertanian EC untuk membuka kesempatan ekspor bagi anggota persemakmuran dan menerapkan kebijakan pemotongan harga pada produk agrikultur sehingga lebih terjangkau bagi masyarakat Inggris, memperoleh hak untuk menentukan kebijakan industri secara independen, dan mengubah ketentuan finansial yang telah disepakati dalam negosiasi keanggotaan sebelumnya, khususnya berkaitan dengan masalah anggaran. 8 Wilson segera menyelenggarakan referendum yang sebelumnya dijanjikan pada masa pemerintahan Heath setelah negosiasi syarat keanggotaan dengan EC disepakati. Referendum ini tidak saja menentukan lolos tidaknya langkah pembaharuan dalam syarat keanggotaan yang direncanakan oleh Wilson namun juga untuk menentukan keberlangsungan keanggotaan Inggris dalam EC. Sejumlah kampanye pemerintah yang bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat Inggrisdalam referendum keanggotaan EC dilakukan. Selain berisi himbauan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan referendum, kampanye pemerintah ini secara tersirat juga dilakukan sebagai upaya untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar mereka mendukung keberlanjutan keanggotaan Inggris di EC.
6
Young, John W. Britain and the European Unity 1945-1999. Houndmills: Macmillan Press, 2000. Hal.106 Jones, Alistair. Op Cit., Hal. 130 8 King, Anthony. Britain Say Yes: The 1975 Referendum on the Common Market. Washington D.C: American Enterprise Institute for Public Policy Research, 1977. Hal.75-76 7
3
Bersisian dengan kampanye Wilson, kubu pro Eropa pun secara aktif menyerukan arti penting keanggotaan EC bagi Inggris melalui pendekatan dalam konteks manfaat ekonomi. Poin mengenai potensi dan kesempatan ekonomi ini terutama ditujukan kepada kalangan masyarakat petani dan bisnis. Menurut kubu pro Eropa, keanggotaan EC juga dapat dimanfaatkan sebagai langkah awal dari upaya penetrasi nilai dan perspektif Inggris ke dalam jantung Eropa. Di seberang mereka, kubu eurosceptic tetap mengusung masalah kedaulatan dan nasionalisme untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar menolak keanggotaan EC. Hasil referendum yang diadakan pada tanggal 5 Juni 1975 menunjukkanbahwa sekitar 67,2 % persen dari warga Inggris menghendaki keberlanjutan keanggotaan Inggris di EC. 9 Jumlah keseluruhan masyarakat yang berpartisipasi dalam proses referendum mencapai angka 64,5%. Sebagian besar masyarakat yang memilih untuk mendukung keanggotaan EC berasal dari kalangan menengah dan menengah ke atas. Pesan kampanye mengenai manfaat ekonomi yang ditujukan kepada kalangan petani dan bisnis pun secara efektif mampu menambah suara dukungan dari kalangan Konservatif pedesaan.10Hasil referendum 1975 merupakan bukti keberhasilan kampanye yang dijalankan oleh pemerintah dan kubu pro Eropa. Kontroversi mengenai integrasi Inggris diantara kubu pro dan kontra di Inggris kembali memuncak ketika UE mengajukan program pembentukan mata uang bersama (single currency) yang dibentuk melalui EMU (Economic Monetary Union). Kontroversi mengenai integrasi Eropa sebelumnya terbagi menjadi kelompok pro Eropa dan anti Eropa. Kelompok anti Eropa tidak hanya melakukan kritik terhadap kebijakan UE namun juga mengajukan tuntutan untuk mengeluarkan Inggris dari keanggotaan UE. Kontroversi yang terjadi ketika EMU/euro muncul mendorong pembentukan kelompok baru. Kelompok ini secara tegas menolak syarat konvergensi yang ada di dalam EMU dan menolak pengadopsian euro untuk menggantikan poundsterling namun tidak memiliki keinginan untuk keluar dari keanggotaan UE. 11 Anthony Forster memisahkan kelompok kontra EMU/euro menjadi empat bagian; kelompok kontra dari partai atau non partai serta kelompok kontra yang anti UE atau anti
9
“1975 Referendum on EC Membership.” History Learning Site. 2010. 4 Maret 2010 10 Fisher, Jeremiah J. 2005.“Ideology and Social Attitudes: A Review of European and British Attitudes to European Integration.”Thesis. Florida State University. Hal.36 11 Forster, Anthony. Euroscepticism in Contemporary British Politics: Opposition to Europe in the British Conservative and Labour Parties Since 1945. London: Routledge, 2002. Hal. 107
4
EMU. 12Kontroversi mengenai euro melahirkan sejumlah kelompok partisan seperti Pro Euro Conservative Party, Keep the Pound dari Partai Konservatif, dan Labour Against the Euro Group. Kelompok non partisan yang lahir dari kontroversi EMU/euro misalnya saja 4sterling, Bussiness for Sterling, New Europe, dan the New Alliance. Sejumlah kelompok lama sepertiDemocracy Movement, European Movement, dan Britain in Europe juga turut ambil bagian dalam perdebatan EMU/euro. Inggris di bawah pemerintahan John Major menolak untuk mengadopsi euro karena merosotnya kondisi ekonomi Inggris setelah bergabung dengan ERM (Exchange Rate Mechanism). ERM adalah suatu mekanisme yang dibentuk untuk menstabilkan nilai tukar mata uang melalui pengaturan suku bunga. ERM merupakan salah satu bagian di dalam EMU. Meskipun penyebab kemerosotan ekonomi lebih disebabkan oleh kesalahan pemerintah Inggris dalam memilih momentum untuk ikut serta dalam ERM, namun kegagalan ERM menjadi faktor yang memperkuat alasan kelompok kontra untuk mempengaruhi keputusan pemerintah menolakeuro. Kondisi
tersebut juga semakin
memperkuat persepsi mengenai status Inggris sebagai negara anggota UE dengan basis euroscepticism terbesar. Karakteristik Inggris yang cukup unik menjadi bagian yang menarik untuk disertakan dalam kajian integrasi Eropa. Inggris sebagai negara anggota resmi UE mau tidak mau terlibat dalam proses perkembangan integrasi yang diupayakan oleh UE. Kondisi Inggris yang eurosceptic seringkali menjadi hambatan sehingga dalam beberapa kesempatan Inggris terlihat tidak melebur dalam proses tersebut atau ke dalam UE sendiri, misalnya saja dengan mengajukan opsi opt-out dalam sejumlah ketentuan kerjasama. Oleh karena itulah kebijakan ratifikasi Traktat Lisabon yang diambil pemerintah Inggris pada masa kepemimpinan Gordon Brown menjadi bagian yang menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai bagaimana pemerintah Inggris sampai pada keputusan untuk meratifikasi Traktat Lisabon di tengah gelombang euroscepticism penting untuk dilakukan untuk mengembangkan khazanah ilmu Hubungan Internasional, khususnya berkaitan dengan dinamika politik dalam negeri yang mempengaruhi politik luar negeri suatu negara. Penelitian ini dapat menjadi bahan alternatif untuk melihat sejumlah kecenderungan yang terjadi dalam ranah internal Inggris melalui perspektif dari luar Inggris (outward looking). Selain itu kebijakan pemerintah Inggris untuk melakukan ratifikasi merupakan bagian yang 12
Ibid. Hal. 109
5
sangat menarik untuk diteliti karena hal yang demikian tidak biasa terjadi, terutama apabila mempertimbangkan kandungan Traktat Lisabon yang cenderung bersifat high politics. Oleh karena itu penelitian ini dapat dijadikan bahan alternatif untuk mengamati prosestransformasi politik luar negeri dalam kebijakan nasional suatu negara. 1.1 Latar Belakang Masalah Terdapat sejumlah gerakan kontra yang cukup kuat ketika PM Inggris Gordon Brown dari Partai Buruh memutuskan untuk menandatangani Traktat Lisabon pada tanggal 13 Desember 2007 yang dilanjutkan dengan proses ratifikasi resmi pada tanggal 16 Juli 2008. Gerakan kontra terhadap ratifikasi Traktat Lisabon kebanyakan berasal dari kalangan eurosceptic Inggris yang didukung pula oleh Partai Konservatif. Sebagian lain dari gerakan kontra juga berasal dari kelompok masyarakat non-eurosceptic yang menginginkan keputusan pemerintah untuk menandatangani dan meratifikasi Traktat Lisabon diambil melalui proses referendum. Persentase total dari keseluruhan masyarakat Inggris yang menginginkan referendum mencapai angka 73%. 13 Namun Brown tetap melanjutkan proses penandatangan dan ratifikasi Traktat Lisabon tanpa memenuhi tuntutan referendum yang diajukan oleh masyarakat Inggris. Perdebatan mengenai penandatangan dan ratifikasi Traktat Lisabon berlangsung sengit di parlemen. Kebijakan ratifikasi Brown bertentangan dengan tuntutan kelompok oposisi yaitu Partai Konservatif yang menghendaki penundaan ratifikasi sampai bulan Oktober. Menurut kelompok oposisi, parlemen perlu membahas kebijakan ratifikasi Traktat Lisabon paling tidak dalam kurun waktu 18 hari. Tuntutan ini ditolak melalui hasil pengambilan suara yang diambil dalam debat parlemen di majelis tingkat rendah (house of commons). Tuntutan oposisi dilanjutkan melalui pengajuan usulan dari ketua Partai Konservatif David Cameron agar keputusan ratifikasi diambil melalui referendum untuk memenuhi prosedur pengambilan kebijakan yang demokratis. Mayoritas anggota majelis tingkat tinggi (house of lords) menolak tuntutan referendum dari Partai Konservatif. Keputusan ini dicapai setelah melalui proses pengambilan suara yang sah. Brown menolak untuk mengadakan referendum karena isi manifesto kampanye New Labour yang dikeluarkan oleh Partai Buruh pada tahun 2005 menjanjikan referendum bagi Konstitusi Eropa. Menurut Brown Traktat Lisabon merupakan hasil perundingan hukum
13
Brogan, Benedict. “Seventy-three per cent of Britons want a Vote on the EU Treaty.” Daily Mail . 2007. 4 Maret 2010
6
yang sama sekali berbeda dengan Konstitusi Eropa. Meskipun sebagian besar isi Traktat Lisabon dapat dikatakan serupa dengan Konstitusi Eropa, namun struktur dan konsekuensi dari keduanya berbeda. Oleh karena itu, Brown berpendapat bahwa pemerintah Buruh tidak memiliki kewajiban untuk mengadakan referendum untuk memutuskan ratifikasi terhadap Traktat Lisabon. Pada kesempatan selanjutnya, Brown memberikan alasan bahwa referendum Traktat Lisabon tidak tepat karena isi Traktat yang terlalu rumit. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana Inggris sampai pada keputusan untuk menandatangani dan meratifikasi Traktat Lisabon? 1.3 Landasan Konseptual Bagaimana Inggris pada masa pemerintahan Gordon Brown sampai pada keputusan untuk menandatangani dan meratifikasi Traktat Lisabon dapat dijelaskan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok merupakan kajian yang menekankan tingkat analisa kelompok. Kajian ini memusatkan perhatian pada kumpulan individu yang berinteraksi demi mengejar tujuan politik yang sama. Pendekatan kelompok menganggap kelompok sebagai bagian yang lebih mempengaruhi individu daripada sebaliknya. Kelompok juga dianggap memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap proses politik daripada individu. Oleh karena itu, karakteristik kelompok dianggap sangat berpengaruh terhadap individu dan perilaku individu sendiri sering menyesuaikan kelompok. Dalam pendekatan kelompok, terdapat asumsi bahwa seorang individu akan mengembangkan komitmen, kepentingan, dan perspektif yang sesuai dengan kelompok dimana invidu tersebut menjadi anggotanya. 14 Pendekatan kelompok membantu peneliti untuk menjembatani hubungan diantara karakteristik kelompok dengan keputusan politik luar negeri seperti penandatangan dan ratifikasi Traktat Lisabon oleh pemerintah Inggris. Pendekatan ini digunakan untuk memahami latar belakang tindakan PM Gordon Brown ketika ia menandatangani dan meratifikasi Traktat Lisabon melalui penjelasan terhadap afiliasi Brown dalam kelompok tertentu. Brown merupakan anggota Partai Buruh yang sejak masa kepemimpinan Tony Blair meletakkan dasar nilai partai pada kerangka ideologi New Labour. New Labour adalah reformasi politik yang merubah haluan Partai Buruh dari partai sayap kiri menjadi kiri tengah. Transformasi Partai Buruh dilakukan untuk memberikan opsi yang lebih luas bagi 14
Mas’oed, Mohtar.Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989. Hal.42-43
7
masyarakat, di luar perdebatan yang tidak ada habisnya diantara sayap kiri dan sayap kanan di Inggris.15 Transformasi yang dilakukan oleh New Labour berpengaruh pula terhadap perubahan kebijakan luar negeri Partai Buruh. Orientasi kebijakan luar negeri yang dibuat oleh Partai Buruh melalui prinsip New Labour lebih condong pada upaya perolehan peran kepemimpinan di Eropa bagi Inggris. Oleh karena itu, keterlibatan Inggris secara langsung dalam proses integrasi Eropa dianggap sebagai salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk memperoleh tujuan ini. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa New Labour memiliki komitmen dan kepentingan untuk mendekatkan hubungan Inggris dengan UE karena mereka memiliki perspektif bahwa upaya tersebut akan membawa manfaat yang lebih besar bagi kepentingan Inggris. Langkah Brown dalam penandatangan dan ratifikasi Traktat Lisabon merupakan manifestasi dari komitmen, kepentingan, dan perspektif yang dikembangkan oleh Brown sebagai anggota New Labour. Penjelasan
mengenai
bagaimana
Brown
sampai
pada
keputusan
untuk
menandatangani dan meratifikasi Traktat Lisabon semakin diperkuat melalui konsep kompetisi elit. Elit yang dimaksud disini adalah kalangan yang menduduki berbagai posisi dan stratifikasi dalam sistem sosial. Kalangan elit terbagi menjadi dua, yaitu yang memegang otoritas untuk memerintah dan yang tidak memegang otoritas.16 Hubungan diantara kelompok-kelompok elit ini lalu dijelaskan oleh Max Weber dalam kompetisi elit. Menurut Weber, adanya kemunculan birokrasi untuk merasionalisasikan kerja organisasi pada perkembangan kehidupan politik menyebabkan politik berkembang menjadi suatu arena yang diperuntukkan bagi kelompok-kelompok yang aktif di dalamnya saja. Kemunculan organisasi birokratis ini memperlebar jarak keterlibatan masyarakat dalam kompetisi politik.17 Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang cukup besar diantara mereka yang aktif dalam politik dan mereka yang pasif sehingga kompetisi yang bersifat politis hanya terjadi di kalangan elit saja.
1.4 Argumen Utama Argumen utama dari tulisan ini adalah Gordon Brown sebagai seorang pembuat keputusan mengembangkan komitmen, kepentingan dan perspektif berdasarkan afiliasinya 15
“Labour Party Manifesto: New Labour Because Britain Deserves Better.”.Political Stuff. 1997.5 Desember 2011.< http://www.labour-party.org.uk/manifestos/1997/1997-labour-manifesto.shtml> 16 Rum, Muhammad.2008.”Strategi Mobilisasi Politik Thaksin Shinawatra.”Skripsi.Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Hal.11 17 Ibid.
8
dengan New Labour. New Labour memiliki komitmen dan kepentingan untuk meningkatkan pengaruh Inggris di Eropa dengan harapan Inggris dapat memanfaatkan Eropa untuk mencapai kepentingan nasional. Hal ini menjelaskan tindakan Partai Buruh yang lebih pro Eropa pada masa New Labour. Komitmen, kepentingan, dan perspektif inilah yang mempengaruhi tindakan Brown untuk menandatangani dan meratifikasi Traktat Lisabon ketika ia menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri Inggris. Melalui pendekatan kompetisi elit, keberhasilan Brown merealisasikan ratifikasi Traktat Lisabon di tengah kontroversi pro/kontra dilatarbelakangi oleh dominasi kelompok pro Eropa dalam parlemen dan kabinet pada masa pemerintahan Brown. Kelompok kontra yang berasal dari partai oposisi maupun dari dalam Partai Buruh sendiri menjadi bagian yang marjinal dalam jajaran elit politik pada masa pemerintahan Brown sehingga tidak memiliki pengaruh politik yang signifikan. Aksi kelompok kontra dari kalangan non elit juga tidak mampu mempengaruhi kebijakan ratifikasi Brown karena pengambilan keputusan seperti kebijakan
ratifikasi,
menurut
pendekatan
kompetisi
elit,
merupakan arena yang
diperuntukkan bagi kelompok elit politik saja. Oleh karena itu, kelompok kontra tidak mampu memberikan tekanan politik terhadap Brown untuk membatalkan penandatangan atau ratifikasi Traktat Lisabon.
1.5 Teknik Pengumpulan Data Pembahasan masalah dalam penelitian ini merujuk pada data-data sekunder, yaitu studi pustaka yang dilakukan melalui buku, jurnal cetak maupun elektronik, working paper, dan surat kabar. 1.6 Sistematika Penulisan Tulisan ini akan disusun dalam lima bagian. Bab pertama merupakan bagian dari latar belakang masalah kontroversi diantara kubu pro dan kontra Eropa di Inggris berkaitan dengan integrasi Eropa, rumusan masalah yang menjadi fokus mengenai apa yang diulas dalam tulisan ini, kerangka dasar pemikiran dan argumen utama. Bab kedua akan menjelaskan isi Traktat Lisabon. Bab ketiga akan menjelaskan kontroversi diantara kelompok pro dan kontra Eropa Inggris terhadap integrasi Eropa dengan menyertakan elaborasi tentang anatomi dari kubu kelompok pro dan kontra di Inggris. Maksud dari anatomi di sini yaitu penjelasan mengenai pembagian kelompok pro/kontra Inggris diantara partai politik, faksi di dalam partai, dan kelompok pro/kontra antar partai beserta dengan penjelasan alasan dari masing9
masing kelompok untuk menolak atau mendukung Traktat Lisabon dan proses referendum. Penjelasan mengenai landasan kekuatan dan pengaruh politik dari masing-masing kelompok juga dilakukan untuk melihat sejauh mana kelompok tersebut mampu mentransfer idenya ke dalam kebijakan Inggris. Bab keempat akan menjelaskan kronologi sejak Traktat Lisabon dinegosiasikan di UE hingga proses penandatangan dan ratifikasi oleh pemerintah Inggris. Akhirnya, bab kelima akan menjadi kesimpulan yang akan memaparkan hasil penelitian.
10