BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk dari orang yang terinfeksi larva cacing (mikrofilaria) kepada orang yang sehat.1 Penyakit filariasis pada umumnya menyerang orang dewasa yang aktif bekerja terutama yang mempunyai aktifitas di luar rumahpada malam hari. Hal ini terkait dengan aktivitas menghisap darah nyamuk vektor tertinggi pada malam hari. Penyakit filariasis ini dapat menurun produktifitas kerjanya.2 Filariasis limfatik dengan morbiditas akut dan kronis tersebar di daerah tropis dan sub tropis di Asia, Afrika, Pasifik Barat dan beberapa bagian dari Amerika.3 Data tahun 2009
menunjukkan bahwa
mikrofilaria
telah
menginfeksi lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia. Sebanyak 60 juta orang di antaranya (64%) terdapat di regional Asia Tenggara. Ada 11 negara di Asia Tenggara yang endemis filariasis, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. 1 Filariasis tidak menyebabkan kematian tetapi merupakan salah satu penyebab utama kecacatan jika tidak segera diobati. Ketidakmampuan dan kecacatan yang disebabkan oleh filariasis berakibat pada masalah ekonomi dan sosial. Selain itu, menimbulkan dampak psikologis bagi penderitanya, misalnya bagi mereka yang hidup dengan gejala kronis akan menderita karena diasingkan
keluarganya
dan
masyarakat,
juga
mengalami
kesulitan
mendapatkan pasangan dan menghambat keturunan.4 Mikrofilaria (MF) rate 1% atau lebih merupakan indikator suatu Kabupaten/ Kota menjadi daerah endemis filariasis. MF rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan darah jari (SDJ) yang positif mikrofilaria dengan http://digilib.unimus.ac.id
jumlah SDJ yang diperiksa dikali seratus persen. Daerah yang mempunyai MF rate tinggi berarti di daerah tersebut banyak ditemukan penduduk yang mengandung mikrofilaria di dalam darahnya. Semakin tinggi MF rate semakin tinggi pula risiko terjadi penularan filariasis. 1 Tahun 2002 pemerintah telah mulai mencanangkan program eliminasi penyakit kaki gajah di Indonesia dan telah menetapkan sebagai salah satu program prioritas. Program ini dicanangkan sebagai respons dari WHO yang menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi filariasis (“ The Global Goal of Elimination of Lymfatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”).5 Faktor-faktor yang diduga sebagai faktor risiko kejadian filariasis, antara lain lingkungan yang mendukung penularan filariasis, adanya kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan tidur tidak menggunakan kelambu. Kelambu dapat berfungsi sebagai alat pelindung diri dari gigitan nyamuk. Peningkatan kepadatan dan resistensi vektor terhadap insektisida juga diduga sebagai faktor risiko kejadian filariasis. 6 Beberapa penelitian sebelumnya telah diteliti mengenai komunitas nyamuk tersangka vektor filariasis di daerah endemis, epidemiologi filariasis klinis, kajian nyamuk vektor di daerah endemik filariasis. Guna mendukung kepentingan pemberantasan vektor penyakit filariasis, perlu diteliti deteksi mikrofilaria pada nyamuk Culex berdasarkan tingkat Microfilaria Rate (Mf Rate). Faktor yang diduga sebagai risiko tinggi penularan filariasis adalah densitas nyamuk Culex yang merupakan vektor filariasis di perkotaan. Keberadaan Culex tersebar hampir di seluruh dunia, khususnya di daerah tropis dan sub tropis. Dibandingkan dengan yang lain dari genus Culex, spesies yang tersebar paling luas adalah Culex quinquefasciatus atau Culex fatigans. Jumlah kasus klinis filariasis di Indonesia sampai tahun 2010 yang dilaporkan sebanyak 11.969 kasus.7 Hal ini memposisikan penyakit filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah-daerah endemis. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang mempunyai kasus filariasis adalah di Indonesia. Jumlah kasus filariasis mencapai 451 penderita
http://digilib.unimus.ac.id
pada tahun 2010, dan meningkat menjadi 537 penderita pada tahun 2011. Ditemukan 141 kasus baru pada tahun 2011 di 9 kabupaten/kota yaitu Kota Pekalongan (125 kasus), Kabupaten Banjarnegara (5 kasus), Kota Semarang (2 kasus), Kabupaten Boyolali (1 kasus), Kabupaten Demak (1 kasus), Kabupaten Batang (1 kasus), dan Kabupaten Pemalang (1 kasus). 8 Kota Pekalongan merupakan daerah endemis filariasis di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2004-2010 data kasus klinis dan kronis filariasis di Pekalongan telah dilaporkan sebanyak 202, terdiri dari 11,39% untuk kasus kronis dan 88,61% untuk kasus klinis filariasis. Ada 3 kecamatan yang angka Mf Rate >1% yaitu Kecamatan Pekalongan Barat terdiri dari Kelurahan Tegalrejo (2,40%), Kelurahan Pasirsari (2,34%), dan Kelurahan Pabean (3,40%), Kecamatan Pekalongan Selatan terdiri dari Kelurahan Bumirejo (5,48%) dan Kelurahan Kertoharjo (4,18%), Kecamatan Pekalongan Utara terdapat pada Kelurahan Bandengan (3,57%). Wilayah Kecamatan Pekalongan Selatan terdapat Kelurahan Jenggot yang meskipun angka mikrofilaria <1%, namun masih bertambahnya kasus filariasis dikarenakan Kelurahan Jenggot berbatasan langsung dengan Kelurahan Kertoharjo (4,18%). Data hasil pemeriksaan survey darah jari (SDJ) filariasis pada tahun 2012 menunjukan Kelurahan Jenggot Kota Pekalongan merupakan daerah yang mempunyai jumlah kasus terbanyak (21 kasus) dan Kelurahan Banyurip Ageng merupakan daerah dengan kasus terendah (9 kasus). Kelurahan Jenggot kasusnya 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan Kelurahan Banyurip Ageng. 9 Pendeteksi keberadaan mikrofilaria pada nyamuk Cx. quinquefasciatus dapat mendukung program pengendalian vektor filariasis. Angka infeksi mikrofilaria pada nyamuk vektor dapat mendukung program yang tepat sasaran. Densitas nyamuk Culex merupakan faktor penularan filariasis di perkotaan. Keberadaan mikrofilaria pada nyamuk Culex perlu dideteksi untuk mengetahui proporsi nyamuk vektor yang infeksius. Hal ini dapat mendukung program pengendalian vektor yang tepat sasaran.
http://digilib.unimus.ac.id
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut “Adakah perbedaan proporsi infeksi mikrofilaria pada nyamuk Culex sp berdasarkan tingkat Mf Rate”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan proporsi infeksi mikrofilaria pada nyamuk Culex sp di daerah Mf Rate tinggi dengan di daerah Mf Rate rendah. 2. Tujuan Khusus a. Menghitung densitas nyamuk yang tertangkap di dalam rumah dan di luar rumah menurut status Mf Rate kelurahan b. Mengidentifikasi spesies-spesies nyamuk yang diduga vektor filariasis di lingkungan rumah menurut status Mf Rate kelurahan c. Mengidentifikasi umur nyamuk yang telah tertangkap d. Menghitung persentase nyamuk yang kenyang darah e. Mendeteksi keberadaan mikrofilaria pada nyamuk yang tertangkap f. Menganalisis perbedaan proporsi infeksi mikrofilaria pada nyamuk Culex sp di daerah Mf Rate tinggi dengan di daerah Mf Rate rendah
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk menghindari penularan penyakit filariasis di daerah yang tingkat Mf Rate tinggi maupun di daerah yang tingkat Mf Rate rendah dan sebagai sumber informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.
http://digilib.unimus.ac.id
E. Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No. 1.
2.
3.
Peneliti (tahun) Akhmat Hasan Huda (2002)
Hasmiwati dan Nurhayati (2008)
Lasbudi P. Ambarita, dan Hotnida Sitorus (2004)
Judul Studi Komunitas Nyamuk Tersangka Vektor Filariasis di Daerah Endemis Desa Gondanglegi Kulon Malang Jawa Timur Tahun 2002 Kajian Nyamuk Vektor di Daerah Endemik Filariasis di Kenagarian Mungo, Kabupaten Lima Puluh Kota Studi Komunitas Nyamuk Di Desa Sebubus (Daerah Endemis Filariasis), Sumatera Selatan Tahun 2004
Desain Studi Cross Sectional
Cross Sectional
Variabel Bebas dan Terikat - Epidemiologi Filariasis Klinis - Komunitas nyamuk dan vektor filariasis yang diduga
-
Kepadatan nyamuk Filariasis
Hasil -
-
-
-
Cross Sectional
-
Komunitas nyamuk Nyamuk infeksius Microfilaria Rate (Mf Rate)
-
-
-
-
http://digilib.unimus.ac.id
Desa Gondanglegi Kulon merupakan daerah endemis filariasis klinis yang dibuktikan adanya penderita filariasis klinis akut dan kronis Vektor filariasis utama yang diduga menjadi penular penyakit adalah Cx. quinquefasciatus, sedangkan vektor potensialnya adalah Cx. bitaeniorhynchus, An. vagus dan An. subpictus.
Dari hasil penangkapan nyamuk didapatkan 5 jenis, yaitu: An. Negrrimus, Armigeres spp, Cu. bitaeniorhyncus, Cu. tritaeniorhynchus dan Mansonia uniformis. Dari 5 jenis nyamuk yang tertinggi kepadatannya adalah Cu. tritaeniorhynchus, yaitu 78,8%. Tidak ditemukan nyamuk yang mengandung larva. 5 spesies nyamuk tertangkap(Mansonia bonneae/dives, Mansonia uniformis, Culex spp, Aedes aegypti, dan Anopheles separatus ). Aktivitas menggigit Mansonia bonneae/divis di luar rumah tertinggi pada pukul 18.00 sampai 19.00, sedangkan di dalam rumah tertinggi didapatkan pada pukul 20.00 sampai 21.00 Aktivitas mengisap darah Mansonia uniformis di luar rumah tertinggi pada pukul 20.00 sampai 21.00 dan pukul 21.00 sampai 22.00. Aktivitas mengisap darah di dalam rumah tertinggi pada pukul 20.00 sampai 21.00 Tidak ditemukannya satupun nyamuk yang mengandung larva cacing filaria Angka Microfilaria Rate (Mf Rate) di desa ini sebesar 1,12%.
Dilihat dari beberapa keaslian penelitian di atas ada persamaan dan perbedaan penilitian. Adapun persamaan penelitian yaitu mendeteksi mikrofilaria pada vektor yang diduga menularkan penyakit filariasis. Semua nyamuk yang tertangkap diidentifikasi jenis nyamuknya dan kemudian dilakukan pembedahan. Perbedaan penelitian ini dibanding dengan penelitian-penelitian di atas adalah dilakukannya deteksi mikrofilaria pada nyamuk Culex berdasarkan tingkat Mf Rate dan tempat pelaksanaan penelitian.
http://digilib.unimus.ac.id