BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menjelang pemilihan presiden (Pilpres), suhu politik nasional semakin memanaskan pertarungan calon presiden dan wakil presiden. Ajang perebutan kursi nomer satu di Indonesia ini telah menjadi pesta akbar demokrasi yang ditunggu oleh masyarakat dalam menaruh secercah harapan perubahan. Euphoria yang beragam dari masyarakat dalam mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden, menambah ramai pertarungan di dalam dan di luar arena politik. Pilpres yang bersifat langsung ini telah diselenggarakan untuk pertama kali pada tahun 2004. Pemilihan ini menjadi sarana untuk memperebutkan hati pemilih melalui beragam cara kampanye politik calon presiden dan wakil presiden. Pada tahun 2014 untuk pertama kalinya pilpres hanya dua pasang calon yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) serta Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sehingga pemilu tersebut hanya berlangsung satu putaran. Ajang pilpres tidak hanya menjadi arena pertarungan gagasan atau ide program dalam menjawab berbagai persoalaan bangsa. Tetapi juga menjadi arena untuk berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati rakyat melalui citra, popularitas, dan elektabilitas pasangan calon di tengah masyarakat. Kehadiran Tim sukses (Timses) dari masing-masing calon semakin menambah pergolakanpergolakan dalam mensuksekan setiap pasang calon yang diusungnya. Cara dukungan yang beragam untuk satu tujuan yang sama dalam memenangkan calonnya, sering kali menimbulkan benturan kecil antara kedua kubu. Beberapa kejadian yang terjadi di Yogyakarta dalam masa-masa kampanye terbuka telah memberikan gambaran. Bentrokan antar kedua simpatisan pasang calon dibeberapa titik di Yogyakarta seperti Ngabean, Tegalrejo, dan Kotagede pada 24 Juni 2014 menandakan rentannya pergesekan di tingkat masyarakat. 1 Hal ini 1
Harian Jogja. 2014. Bentrok Kampenye Pilpres. Diakses pada tanggal 12 Mei 2014. Terarsip di http://www.harianjogja.com/baca/2014/06/25/bentrok-kampanye-pilres-berikut-lokasi-bentroksimpatisan-capres-di-diy-515292.
1
mengindikasikan Pilpres bukan hanya pertarungan di tingkat elite politik, tetapi juga merambat ke masyarakat akat rumput. Perebutan kursi nomer satu di Indonesia ini juga telah menarik perhatian sejumlah media massa lokal, nasional serta asing. Semua mata media seakan tertuju pada Pilpres selama penyelenggaraannya dilangsungkan dari proses penetapan calon hingga terpilihnya calon presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada umumnya masyarakat Indonesia cenderung tidak banyak yang dapat mengikuti setiap pasangan calon kemana pun mereka berada dalam mendapatkan informasi tentang calon tersebut. Menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90% masyarakat menggunakan
media
sebagai
sumber
informasi
pemilihan
umum.2
Ketergantungan pada media massa membuat masyarakat Indonesia juga harus pintar dalam memilih informasi yang ingin di aksesnya. Kepemilikan media oleh aktor politik telah membuat pemberitaan tidak berimbang menjadi problematika baru yang harus dihadapi masyarakat. Media massa menjadi lahan strategis yang dimanfaatkan calon dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Efek media massa yang cepat dan dapat menyebarkan secara luas membuat dua pasang calon memaksimalkan peran media massa secara masif. Tidak jarang kedua pasang melakukan komunikasi politik untuk membuat kemasan yang dibingkai sesuai kebutuhan yang diinginkan masyarakat. Iklan politik telah menjadi ladang yang sering digunakan selain pemberitaan. Fenomena iklan politik yang marak terjadi pada setiap ajang pemilihan ini masih menjadi strategi dalam mendekatkan dan mengenalkan calon pada masyarakat. Menurut survei Pol Tracking Institute dalam survei nasional 75% di bulan Desember 2013 menyatakan media sangat berpengaruh terhadap pilihan politik pemilih. 3 Media massa masih menjadi sumber informasi utama 2
Tim LSPP. 2005. Media Sadar Publik: Media Lokal Mewartakan Korupsi dan Pelayanan Publik. Jakarta : LSPP dan Open Society Institute. Hal.2 3 Pol Tracking Institute. 2013. Menangkap Geliat Pemberitaan Partai Politik Sepanjang Tahun 2013. Diakses pada tanggal 13 mei 2014. Terarsip di http://www.poltracking.com/publikasi/rilisriset-dan-survei/8-akun-twitter-sbyudhoyono.
2
masyarakat dalam menambah preferensi pemilih baik pemberitaan maupun iklan politik. Data dari Nielsen menyebutkan bahwa belanja iklan politik di kuartal pertama tahun 2014 secara total mengalami pertumbuhan sebesar 15% dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2013, dari Rp 23 Triliun menjadi Rp 26,7 Triliun. 4 Angka ini terus menunjukkan pertumbuhan hingga berlangsungnya Pilpres. Grafik belanja iklan politik yang terus membengkak ini menunjukan bahwa iklan masih menjadi salah satu cara yang dilakukan Timses dalam melakukan kampanye politiknya. Bahkan jika dilihat lagi dari jenis media yang digunakan dalam beriklan, televisi berada di peringkat pertama dalam hal penggunaan dan pengeluaran terbesar belanja iklan. Berdasarkan jenis media yakni pada televisi menjadi Rp 1,17 Triliun, surat kabar menjadi 1,26 Triliun dan pada majalah dan tabloid menjadi 14,27 Miliar. 5 Tidak heran jika setiap ajang pemilihan umum di gelar, iklan politik menjadi belanja tertinggi di antara iklaniklan lainnya. Masih menjadikannya televisi sebagai primadona dalam beriklan, tidak terlepas dari kelebihan yang dimiliki media ini. Dari konsumsi media di Indonesia televisi masih menjadi media utama bagi masyarakat, 95% masyarakat menyaksikan televisi. 6 Dengan daya jangkau yang luas, serta menyentuh hampir setiap kalangan di seluruh wilayah Indonesia, iklan televisi dipercaya dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam Pilpres. Pemanfaatan televisi sebagai media dalam beriklan sejalan dengan Nursal mengutip Riset Falkowski & Cwalian yang menunjukkan, iklan politik berguna untuk beberapa hal yakni Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat, Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian pilihan karena mempunyai 4
AC Neilsen. 2014. Pertumbuhan Belanja Iklan Berjalan Pelan. Diakses pada tanggal 16 Mei 2014. Terarsip di http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-pertumbuhan-belanjaiklan-berjalan-perlahan.html. 5 Ibid. 6 Merdeka. 2014. Televisi Masih Menjadi Media Favorit Bagi Masyarakat. Diakses pada tanggal 16 Mei 2014. Terarsip di http://www.merdeka.com/uang/televisi-masih-jadi-media-favorit-bagimasyarakat.html
3
kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu, Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan, Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu, Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional, Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan Interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan kegiatan politik.7 Dari riset di atas menunjukkan bahwa secara tidak langsung iklan dapat mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihannya. Masih banyaknya masyarakat yang belum menentukan pilihannya atau Swing Voters menjadi alasan iklan politik masih sangat diminati oleh kedua pasang calon. Di samping dapat memberikan preferensi pemilih, iklan politik juga dapat mempengaruhi pemilih. Pemanfaatan iklan politik dalam membangun citra kandidat juga dimanfaatkan para calon presiden dan wakil presiden 2014. Salah satunya kandidat Jokowi JK yang mengangkat tagline “Jokowi JK Adalah Kita” dalam setiap kampanyenya. Mengantarkan pasangan ini meraih popularitas tertinggi di antara calon lawannya. Popularitas Jokowi JK pada pemilu 2014 ini tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan timses dan mesin partai pendukungnya. Faktor lainnya dalam hal ini juga keberadaan figur keduanya dalam membangun citranya. Sebelum pencalonan diri menjadi presiden, popularitas Jokowi sebagai sebagai Walikota Solo terkenal sangat kontroversial dalam menjalankan tugasnya tersebut. Pengembangan mobil Esemka dan prestasi yang diraih kotanya selama menjabat, membuat insinyur lulusan Universitas Gadjah Mada ini menjadi media darling. Kehadirannya selalu menarik perhatian berbagai media massa yang terus mengikuti kegiatannya sehari-hari. Setelah hampir dua periode menjabat sebagai Walikota, Jokowi yang bersanding dengan Basuki Cahya Purnama mencalonkan diri dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Visi misi dalam membuat perubahan pada Jakarta dan tingkat popularitas keduanya telah mengantarkannya terpilih dalam pemilihan Gubernur, dengan mengalahkan incumbent saat itu Fauzi Bowo. Gagasan dan ideide dalam mengubah wajah Ibukota (Jakarta Baru) melahirkan inovasi baru dalam 7
Adnan Nursal. 2004. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 246
4
berbagai hal seperti reformasi birokrasi dan Kartu Jakarta Sehat. Pendekatan Jokowi dalam mengatasi persoalaan yang ada, mengantarkan popularitasnya semakin dikenal masyarakat akar rumput. Sosok kesederhanaannya dan kedekatannya dengan rakyat membuatnya identik sebagai figur pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyatnya dengan blusukannya. Gaya kepemimpinannya yang berbeda ini dengan aktor politik lainnya, membuat Jokowi mampu membangun merek sendiri. Hingga karir politiknya kian bersinar dengan mencalonkan diri dalam Pilpres bersama JK. Figur Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres tidak dapat dipandang sebelah mata. Mantan presiden Indonesia periode 2004-2009 ini telah memiliki banyak pengalaman dalam pemerintahan Indonesia. Pengalamannya dalam menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintah membuatnya tidak asing lagi dengan berbagai persoalaan yang dihadapi bangsa ini. Figur JK terkenal sebagai pemimpin yang mampu bergerak cepat dalam mengatasi persoalaan seperti penyelesaian konflik dibeberapa daerah di Indonesia. JK juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Kehadiran Jokowi JK dalam Pilpres, membuat pasangan ini saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Track record yang baik keduanya di mata masyarakat, membuat pasangan ini diunggulkan diberbagai lembaga survei. Namun menjelang Pilpres 2014 tidak hanya citra positif yang menghampiri keduanya, citra negatif kedua figur pasangan sebagai calon presiden dan wakil presiden 2014 selama masa kampanye juga nampak sangat kuat. Berbagai serangan dan kampanye hitam marak menghiasi pemberitaan diberbagai media massa di Indonesia. Isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) menjadi topik yang hangat menghantam pasangan Jokowi JK. Kampanye hitam yang menyerang Jokowi JK merupakan imbas kecemburuan mendalam akibat pasangan nomer urut dua ini dekat dengan
5
rakyat yang benar-benar membumi. 8 Bahkan akibat banyaknya isu-isu miring, citranya positifnya mulai memudar. Sehingga berdampak pada popularitas keduanya yang sempat menurun sebelum pemilihan. Pemanfaatan Iklan dalam membentuk citra, sering digunakan aktor politik dalam setiap pemilihan umum. Iklan politik menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dalam komunikasi politik. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan pesan yang diinginkan calon dalam mengkonstruksi citra dirinya. Pesan ini akan tersampaikan dengan baik, apabila pesan yang terkandung didalamnya dipahami dengan mudah oleh audiens. Untuk itu menjadi hal yang tidak mudah dalam menyusun komunikasi dalam iklan politik. Strategi-strategi yang tepat akan membuat pesan iklan dapat diinterpretasikan baik oleh masyarakat atau begitupun sebaliknya. Tidak hanya personal calon yang kuat, tetapi juga bagaimana para calon memaksimalkan kelebihan iklan televisi membentuk image yang diharapkan. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dibangun komunikator terhadap komunikannya. Baik itu penyampaian informasi ataupun untuk membentuk pemahaman terhadap nilai-nilai yang ingin dibawa kepada audiensnya. Hal ini karena iklan dapat memberikan image tersendiri bagi siapapun yang melihatnya. Iklan telah dianggap sebagai manajemen citra yang berfungsi untuk menciptakan dan memelihara citra dan makna dalam benak konsumen.9 Dalam menghasilkan makna dibenak audiensnya iklan mampu membentuk persepsi yang berbeda dalam setiap individu. Persepsi adalah proses di mana seorang memilih mengorganisasikan, mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti di dunia ini. 10 Persepsi juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilewati seseorang untuk menyeleksi, 8
Metro News. 2014. Akademisi DIY: Kampanye Hitam menyerang karena Jokowi merakyat. Diakses pada tanggal 15 September 2014. Terasip di http://microsite.metrotvnews.com/jokowijk/read/2014/07/06/261988/akademisi-diy-kampanye-hitam-menyerang-karena-jokowi-merakyat 9 Peter J Paul dan Jerry C Olson. 2000. Consumer Behavior: Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran Jilid 1. Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. Hal. 179 10 Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol. Jakarta: Prenhalinndo. Hal. 240
6
mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi-informasi tertentu dalam rangka membentuk makna tertentu mengenai produk atau merek tertentu. Persepsi juga dipengaruhi banyak faktor baik dari dalam diri maupun pengaruh lingkungan luar. Untuk mengkonstruksi citra dalam pilpres 2014, pasangan Jokowi JK memanfaatkan iklan politik sebagai sebuah sarana dalam membentuk image yang diinginkan. Kedekatan bersama rakyat kecil di dalam iklan, semakin menguatkan citra pasangan ini yang sebelumnya sangat melekat kuat pada figur Jokowi. Pesan-pesan iklan akan membantu pasangan ini dalam membentuk citra kepada audiensnya, karena iklan mempunyai peranan penting dalam mengkonstruksi image ke pikiran audiensnya. Dengan begitu persepsi audiens akan dikonstruksi dalam proses encoding dari produsen iklan ke audiensnya. Meskipun demikian audiens juga memiliki peran penting dalam melakukan pembacaan pesan yang diberikan pada audiens melalui proses decoding. Dalam proses decoding audiens dapat melakukan melakukan pembacaan yang berbeda dari apa yang ditampilkan iklan. Sehingga tidak menjadi jaminan konstruksi citra dapat memberikan citra yang positif. Dalam melihat iklan, audiens tidak serta merta menerima begitu saja apa yang dikatakan iklan. Ada proses di mana audiens secara aktif melakukan pembacan pada iklan secara selektif sehingga dapat menimbulkan pemaknaan yang berbeda dari apa yang ditampilkan oleh iklan tersebut. Audiens dalam melakukan pembacaan dilakukan dengan caranya masing-masing sesuai dengan pengalaman dan interaksi yang dapat membentuk konstruksi dipikirannya. Dengan kata lain, iklan dapat memberikan konstruksi citra melalui sebuah pengiriman pesan terhadap audiens, namun audiens secara bebas memaknai iklan tersebut sesuai dengan jalan pikirannya masing-masing. Hal ini memberikan indikasi bahwa apa yang disajikan iklan tidak memiliki nilai-nilai yang mutlak dalam memberikan pesan-pesannya kepada audiens. Pengaruh tersebut sangat bergantung pada interpretasi audiens dalam melakukan pembacaan aktif pada iklan pasangan Jokowi JK. Dalam penelitian ini audiens yang melakukan 7
interpretasi adalah mahasiswa Fisipol UGM yang terbagi dalam dua kategori yakni pemilih pemula dan pemilih dewasa. Kekuatan iklan dalam mengkonstruksi citra berkembang dengan menyentuh
berbagai
lapisan
masyarakat
termaksud
mahasiswa
Fisipol.
Mahasiswa yang juga cenderung banyak bersinggungan dengan pilpres, memberikan kedekatan tersendiri dalam semaraknya pesta demokrasi yang dilangsungkan lima tahun sekali tersebut. Tidak jarang sikap politik tersebut sering ditampilkan secara terang-terangan dalam mendukung pasangan calon baik secara langsung ataupun melalui media sosial. Meskipun demikian mahasiswa dipandang memiliki sifat kritis dalam melihat fenomena kampanye pilpres 2014. Di samping itu juga banyaknya informasi dikalangan mahasiswa baik itu dari media ataupun lingkungan kampus telah memberikan mereka beragam sudut pandang dalam melihat fenomena iklan politik. Dengan melihat interpretasi pemilih pemula dan pemilih dewasa dalam proses penerimaan atau penolakan hadirnya iklan pasangan Jokowi JK yang dipengaruhi beragam faktor. Di mana mahasiswa dengan intelektualitasnya dapat menilai iklan pasangan Jokowi JK. Hal lainnya juga, mahasiswa merupakan pemilih dalam pilpres 2014. Ini menunjukan mahasiswa juga menjadi target audiens dalam iklan tersebut. Untuk itu menarik untuk melihat pembacaan mahasiswa yang memiliki latar belakang pendidikan sosial dan politik dalam meresepsi iklan Jokowi JK.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana resepsi pemilih pemula dan pemilih dewasa terhadap iklan politik versi “Jokowi Jk Adalah Kita” dalam membangun citra pada pemilihan presiden 2014 di televisi?”
8
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktik-praktik resepsi pemilih pemula dan pemilih dewasa secara mendalam, dalam meresepsi iklan politik pasangan Jokowi JK dan untuk melihat proses penerimaan citra politik terhadap audiens pada pemilihan presiden 2014.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang didapat setelah melakukan penelitian ini adalah : 1. Memaparkan praktik resepsi pemilih pemula dan pemilih dewasa dalam proses penerimaan sebuah iklan politik Pilpres 2014. 2. Memberikan sumbangsih pemikiran dalam bidang komunikasi, khususnya berkenaan dengan studi resepsi audiens dalam membaca makna iklan politik terhadap pencitraan suatu kandidat. 3. Mendorong tumbuhnya keinginan untuk penelitian-penelitian lanjutan lainnya dalam melihat suatu fenomena atau permasalahan.
E. Objek Penelitian Dalam menjawab fenomena yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah, maka objek dalam penelitian ini adalah pemilih pemula dan pemilih dewasa Mahasiswa Fisipol UGM yang diambil dari berbagai jurusan. Mahasiswa tersebut pernah melihat dan meresepsi praktik pencitraan yang disampaikan dalam iklan politik Jokowi JK versi “Jokowi JK Adalah Kita” di televisi. Praktik resepsi ini ingin melihat bagaimana pemilih pemula dan pemilih dewasa meresepsi iklan politik pasangan Jokowi JK. Pemilihan objek penelitian ini didasari pada peneliti ingin melihat bagaimana cara Mahasiswa Fisipol yang kesehariannya belajar mengenai sosial dan politik membaca fenomena pencitraan melalui iklan politik. Di samping itu beragamnya pengalaman setiap individu dengan latar belakang
9
yang berbeda-beda dalam melihat iklan politik, membuat praktik resepsi setiap mahasiswa akan berbeda.
F. Kerangka Pemikiran 1. Tren Iklan Politik Calon Presiden di Televisi Pasca revisi amandemen UUD 1945 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada pasal 6A. Membuat konstelasi politik Pilpres yang bertumpu pada parlemen bergeser ke tangan rakyat. Untuk pertama kalinya rakyat Indonesia diberikan mandat untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung pada tahun 2004. Dalam pemilihan ini, euphoria masyarakat beragam dalam menyambut pesta demokrasi terbesar ini. Kampanye politik hingga aksi dukung mendukung salah satu pasang calon mewarnai kemeriahan dalam memilih orang nomor satu di Republik ini. Animo masyarakat juga tercermin dari partisipasi politik dalam memilih pasangan presiden dan wakil presiden. Pada pilpres tahun 2004 sebanyak 114.257.04 juta pemilih yang menggunakan hak suaranya. Sedangkan pada tahun 2009 tercatat ada 121.504.481 juta pemilih. Terus meningkatnya angka partisipasi politik, juga membuat para calon presiden untuk melakukan strategi komunikasi politik yang baik. Kandidat sering dikemas dan dibingkai semenarik mungkin untuk menarik perhatian pemilih dalam memperebutkan pengaruh satu dengan yang lainnya. Melalui media massa para kandidat memanfaatkannya sebagai alat komunikasi politik, untuk membuat kedekatan atau citra yang ingin dibangun oleh mereka di mata masyarakat. Pada Pilpres 2004 dan 2009 silam telah memberikan gambaran, kekuatan dari media dalam melakukan komunikasi politiknya. Bahkan dalam dua perhelatan penyelenggaraan pilpres tersebut, tingginya biaya kampanye dalam beriklan di media massa tidak menjadi halangan para calon untuk menyebarkan informasi pada para pemilihnya. Sedangkan berdasarkan segmentasi media dalam beriklan politik, televisi menempati urutan pertama disusul oleh surat kabar, majalah dan tabloid. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan media televisi yang bersifat audio 10
visual yang menggabungkan komponen gambar, suara, teks dan gerak dalam satu rangkaian ruang dan waktu. Televisi telah menjadi industri yang menjanjikan bukan saja untuk kepentingan bisnis tetapi juga untuk kepentingan politik. Pada Pilpres 2004 dan 2009 iklan politik televisi dimanfaatkan oleh semua calon dalam menarik para pemilih. Pada putaran dua Pilpres 2004 SBY-JK mengambil tagline “Bersama Kita Bisa” ikut berperan penting dalam menyumbangkan kemenangan pasangan ini. Kesuksesan SBY dalam penyelenggaran Pilpres pertama kalinya secara langsung tidak lepas dari politik pencitraan yang dibangunnya. Sedangkan Pada Pilpres 2009 pasangan SBY-Boediono dengan iklan versi “Dari Rakyat Untuk Rakyat” menggambarkan latar belakang calon. Pasangan Megawati-Prabowo dengan iklan versi “Presiden Pilihan Kita” menggambarkan perubahan dengan harga kebutuhan yang pro rakyat. Pemanfaatan iklan televisi dalam setiap momentum pemilihan presiden diyakini dapat membawa hasil positif pada calon presiden. Pengaruh iklan diharapkan mampu meyakinkan pemilih untuk memberikan suaranya pada kandidat tertentu. Gaya kampanye yang cenderung lebih banyak bermain diranah media massa (televisi) pada Pilpres 2004 hingga 2009, seakan menggambarkan pentingnya televisi sebagai alat kampanye. Pada Pilpres 2014, terpilihnya dua pasang calon membuat persaingan peta kekuatan politik mengerucut pada dua kubu. Prabowo-Hatta yang diusung oleh partai Golkar, Gerinda, PAN, PKS, PPP dan PBB telah membentuk koalisi besar yang menguasai mayoritas suara parlemen. Sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla didukung partai PDIP, HANURA, NASDEM dan PKB disebut sebagai poros PDI Perjuangan. Terbentuknya dua kekuatan besar politik partai telah menjadikan presiden dan wakil presiden yang diusung melenggang ke panggung singgasana kursi nomer satu di Indonesia. Pertarungan dua pasangan calon presiden yang memiliki kekuatan hampir berimbang ini, semakin menarik perhatian masyarakat atau
pemilihnya.
Persaingan
yang
ketat,
membuat
keduanya
berusaha
memobilisasi semua kekuatan yang ada, untuk memenangkan presiden dan wakil presiden yang diusungnya 11
Persaingan kedua calon tidak hanya berlangsung di ranah politik praktis, namun juga perlahan kekuatan media massa mulai dibangun oleh masing-masing calon. Indikator ini terlihat dari beberapa media massa yang telah berafiliasi dengan salah satu calon. Media massa dijadikan alat untuk menyebarkan isu-isu positif dan negatif dalam memanaskan persaingan kedua belah pihak. Bahkan maraknya “Black Campaign” terhadap kedua belah calon telah menjadi isu sensitif sering dilakukan pada pada pilpres 2014. Media massa masih menjadi tulang punggung kedua calon dalam melakukan komunikasi politiknya. Pada pilpres 2014 televisi masih menjadi salah satu segmen media massa yang paling banyak dibelanjakan untuk beriklan. Keunggulan televisi dalam membawa pengaruh penyebaran informasi yang luas membuat media ini dimanfaatkan sebagai alat bagi calon presiden dan wakil presiden. Televisi menjadi strategi yang banyak dimanfaatkan sebagi media kampanye dalam menyebarkan informasi bagi kedua calon. Hal ini dikarenakan terdaftarnya 188.268.423 juta warga Indonesia dalam daftar pemilih tetap pada pilpres 2014 yang tersebar diberbagai daerah. 11 Membuat kampanye harus memiliki daya jangkau yang luas dan berpengaruh pada khalayaknya. Tidak dapat dipungkiri kehadiran televisi membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Kekuatan dan teknik penyampaian televisi dirasa lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan media-media lain. Televisi dapat mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan dilayar kaca dipandang sebagai sebuah realitas nyata. Kemampuan televisi dalam menyampaikan informasi memang tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan masyarakat dalam menonton televisi. Kelebihan inilah yang juga dimanfaatkan para calon presiden dan wakil presiden pada pilpres 2014. Pada pilpres 2014 televisi menguasai hampir 90% dari iklan yang digunakan oleh pasangan calon presiden, untuk media cetak hanya 9% dan radio 1%. 12 Kedua pasangan tersebut menghabiskan dana Rp 186 milyar 11
KPU. 2014. KPU Tetapkan DPT Pilpres 2014. Diakses 15 September 2014. Terarsip di http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2014/3343/KPU-Tetapkan-DPT-Pilpres-2014 12 Iklan Capres. 2014. Data belanja Iklan. Diakses 02 Februari 2015. Terarsip di http://www.iklancapres.org/iklan#
12
dalam beriklan di televisi. Pasangan Prabowo-Hatta yang mengusung iklan televisi “Garuda didadaku” ini menghabiskan Rp 93,72 miliar dengan 2900 spot iklan. Sedangkan pasangan Jokowo-JK dengan iklan televisi Jokowi-JK Adalah Kita menghabiskan Rp 92,91 miliar dengan 2875 spot iklan. 13 Tren komunikasi politik cenderung yang masih bermain diranah media massa (televisi) seperti hal pada Pilpres 2004 dan 2009 ini menunjukan betapa vitalnya dalam sebuah pesta demokrasi. Iklan politik di televisi dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkenalkan figur calon presiden dan wakil presiden kepada masyarakat. Dalam ajang lima tahunan tersebut, televisi masih menjadi alat kampanye yang masif digunakan calon presiden dan wakil presiden dalam memaparkan visi misi, janji politik, dan pembentukan citra. Dinamika persaingan yang tinggi antar kedua calon dalam mencitrakan dirinya di media televisi, membuat hampir setiap hari masyarakat dapat melihat iklan politik pasangan presiden dan wakil presidem menjelang Pilpres 2014. Hal ini juga terlihat dalam intensitas penayangan yang dilakukan stasiun-stasiun televisi Indonesia, yang secara berulang menayangkan iklan-iklan tersebut. Televisi masih menjadi lahan yang sangat strategis dalam membentuk opini dan citra capres dan cawapres dalam membentuk makna terhadap audiensnya. 2. Politik Pencitraan Dalam Iklan Citra merupakan legitimasi untuk memenangkan opini dan konstruksi yang berkembang di masyarakat. Secara sederhana citra politik merupakan suatu gambaran tentang politik yang memiliki makna, walaupun tidak selamanya sesuai dengan realitas politik yang sebenernya. Citra memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat. Konstruksi citra yang dikembangkan dipercaya sebagai strategi yang efektif untuk menarik simpati masyarakat dalam melihatnya. Citra yang yang terlihat akan membuat kesan-kesan pada pemilih. Di mana sebuah citra bertujuan untuk membangun popularitas para calon.
13
Tempo. 2014. Dua Iklan Tv ini Andalan Jokowi JK. Diakses pada tanggal 18 Mei 2014. Terarsip http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/07/269591037/Dua-Iklan-TV-Ini-Andalan-Jokowi-danPrabowo.
13
Pentingnya citra diri dalam peta politik juga dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang. Ia menyatakan: “Dalam politik abad informasi, citra politik seseorang tokoh dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik seakan menjadi mantra yang menentukan pilihan politik. melalui mantra elektronik itu, maka presepsi, pandangan dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Ia juga telah menghanyutkan para elit politik dalam gairah mengkonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Politik kini menjelma menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang politik” 14 Politik pencitraan tidak dapat dilepaskan dari media massa. Media massa menjadi sarana dalam menyebarkan pesan-pesan kepada khalayak yang kemudian ditampilkan secara berulang. Sehingga pada akhirnya akan melekat di pikiran pemilih dan mendorong pemilih untuk membentuk citra positif pada kandidat tersebut. Pencitraan bukanlah realitas yang sesungguhnya tapi hanyalah sebuah representasi yang dibuat oleh komunikator. Apa yang ditampilkan bersifat cenderung manipulatif dengan menutupi sisi negatif dan hanya menampilkan sisi positif. Hal ini bertujuan untuk diterima calon kandidat oleh masyarakat sebagai sosok ideal yang layak untuk dipilih masyarakat dalam sebuah proses pemilihan Pada perkembangannya, citra seorang kandidat dibentuk melalui media massa seperti iklan politik yang dianggap efektif dalam membentuk sebuah realitas. Iklan politik diyakini dapat mengkonstruksi citra kandidat dalam benak pemilih. Persepsi dalam benak pemilih menjadi salah satu faktor penting dalam rangkaian kegiatan komunikas politik yang dilakukan para kandidat. Hal tersebut ditunjukan untuk membentuk citra dan persepsi positif tentang produk politik yang di iklankan. Iklan politik tidak sebatas alat melakukan pencitraan dan promosi, namun merupakan wujud komunikasi calon pemimpin dengan masyarakat. Iklan politik merupakan bagian dari representasi sosial diproduksi untuk menciptakan image yang mendorong orang memunculkan ketertarikan. Pencitraan 14
Sumbo Tinarbuko. 2009. Iklan Politik Dalam Realitas Media. Yogyakarta: Jalasutra. Hal .7
14
kemudian dimaknai sebagai alat untuk mengapai kekuasan. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar. Dalam konstelasi politik, citra dan popularitas menduduk posisi yang sangat penting. Selain bertujuan untuk menjaring suara konstituen, popularitas juga berperan sebagai jalan untuk mengkonstruksi citra kandidat. Dalam Pilpres maupun Pilkada langsung, kepopuleran sangat mendominasi dan menentukan bagi pilihan-pilihan yang dilakukan oleh rakyat. 15 Peran iklan sangatlah penting dalam kontestasi politik menjelang Pemilu 2014. Dengan segala kelebihannya, iklan mampu mengkonstruksi cara pandang khalayak terkait dengan gambaran kandidat yang akan dipilihnya. Karena efek yang ditimbulkan oleh media begitu besar bagi pengembangan citra seorang kandidat, iklan media massa masih menjadi lahan starategis dalam melakukan pencitraan pada diri masing-masing aktor politik. Upaya ini dilakukan agar membangun citra sesuai dengan apa yang diharapkan agar sampai di masyarakat. Oleh karena itu peran media menjadi sangat penting dalam politik pencitraan sebagai sebuah upaya membentuk Image dan untuk meningkatkan elektabilitas dalam pemilihan. 3. Pemilih Pemula dan Pemilih Dewasa Pengunaan iklan politik televisi dimanfaatkan kandidat agar pesan-pesan yang ingin disampaikan dapat dikomunikasikan dengan baik kepada segenap pemilih. Dengan karakter pemilih yang beragam, iklan harus menampilkan gaya kampanye yang menarik perhatian pemilih dan mudah dimengerti. Sehingga kehadiran iklan mampu memberikan preferensi pemilih seputar kandidat dari berbagai segmen. Dengan makna simbol, kata-kata dan gambar iklan politik juga mampu membentuk sebuah citra tertentu dalam benak pemilih baik pemilih pemula maupun pemilih dewasa. Pemilih pemula adalah mereka yang berusia 17-21 tahun, telah memiliki hak suara dan tercantum dalam daftar pemilih tetap serta pertama kali mengikuti 15
Pahmy Sy. 2010. Politik Pencitraan. Jakarta: Gaung Persada Pers. Hal. 37
15
pemilihan umum, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden yang terdapat dalam UU Pilpres 2008. Di mana kelompok ini menggunakan hak politik untuk pertama kali dalam pesta demokrasi. Dalam setiap ajang pemilihan umum, jumlah pemilih pemula tidak dapat dipandang sebelah mata. Terus meningkatnya pemilih pemula menjadi faktor strategis bagi kandidat untuk dapat mengambil hati pemilih. Bahkan sering kali pemilih pemula menjadi faktor penentu dalam setiap ajang pemilihan umum antara satu kandidat dengan kandidat lainnya. Masih banyak yang belum memiliki pilihan membuat pemilih pemula identik dengan swing voters. Di mana perilaku pemilih yang dapat berubah atau berpindah pilihan kandidat dalam pemilu yang di pengaruh beragam aspek tertentu. Pemilih pemula dalam ritual demokrasi Pilpres dan pemilihan legislatif (Pileg) selama ini sering dijadikan objek dalam kegiatan politik. Potensi suara yang dimiliki memberikan daya tarik tersendiri bagi para kandidat untuk saling mempengaruhi pemilihnya. Hal ini sering dimanfaatkan kandidat mengingat pemilih pemula yang baru memasuki usia hak pilihnya, sebagian besar belum memiliki jangkauan politik yang luas dalam menentukan arah politiknya. Informasi politik yang terbatas dan pengaruh lingkungan, membuat sebagian besar pemilih pemula cenderung mudah untuk dipengaruhi. Kelompok ini biasanya berstatus sebagai pelajar, mahasiswa serta pekerja muda yang masih dalam usiausia produktif. Secara psikologis pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang pada umumnya. Sifat dan perilakunya dalam pemilihan umum masih sangat sulit ditebak. Pemilih pemula merupakan pemilih eksklusif yang sulit terjangkau oleh penyelenggaraan Pemilu dan kandidat. Perilaku yang baru mengenal politik, membuatnya masih asing dalam mengenal lingkungan yang baru tersebut. Pendekatan kampanye secara konvensional tentu akan sulit untuk menarik minat pemilih pemula. Sifat yang masih apolitis, membuat pendekataan yang dilakukan membutuhkan penangan khusus yang tentu beda dengan pemilih pada umumnya. 16
Emosional pemilih pemula yang masih labil seringkali membuat mereka memilih berdasarkan hubungan kedekatan secara emosional. Lingkungan terdekat seperti keluarga, teman maupun iklan politik memilki peran penting dalam proses pembentukan pemilih dalam membentuk persepsi dibenak mereka. Kesadaran politiknya masih terbatas pada parokial semata, yang mana belum menyehatkan proses pemilihan umum dalam sistem demokrasi. Keberadaan iklan politik dalam pertarungan pilpres 2014 telah memberikan informasi seputar calon. Hadirnya iklan politik diharapkan dapat dimaknai positif bagi kelompok pemilih pemula dalam memenuhi ekspekstasi pemimpin yang akan dipilihnya. Minimnya pengalaman pemilih pemula yang minim dalam partisipasi politik diyakini menjadikan iklan politik sebagai sumber informasi yang paling mudah untuk mereka terima. Pemilih pemula diyakini pemilih yang memiliki keterkaitan dan keterlibatan yang kurang terhadap kampanye politik, telah menjadikan iklan politik sebagai sumber informasi mereka tentang kandidat. 16 Sedangkan pemilih dewasa berusia di atas 22 tahun. Pemilih dewasa merupakan pemilih yang sudah lebih dari sekali mengikuti pemilihan umum. Pemilih dalam kategori ini cenderung lebih memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi kompleksitas pemilu. Dalam beberapa moment pemilih dewasa karakternya lebih tersegmentasi. Ada beragam karakter yang dapat di identifikasikan dalam kategori ini. Pertama, karakter pemilih yang rasional. Di mana pemilih tipe memiliki pengetahuan yang lebih memadai dan mempunyai penilaian sendiri yang diyakininya. Tidak terpengaruh dengan identitas asal usul calon, yang penting adalah bagaimana calon mampu memajukan daerah atau bangsa yang dipimpinnya melalui visi misinya. Tipe kedua adalah pemilih pragmatis yang selalu mengharapkan sesuatu dalam setiap Pemilu. Tipe ini akan memanfaatkan Pemilu dalam menguntungkan dirinya. Seperti memanfaatkan uang pemberian calon tertentu untuk memilihnya. Sedangkan tipe ketiga pemilih 16
Kaid, Lynda Lee dan Christina Holtzh-Bacha. 2008. Encyclopedia of Political Communication. Volume 1&2. California: Sage Publication.
17
konservatif sifatnya primordialisme. Nilai-nilai yang dibawa kandidat tidak menjadi ukuruan untuk memilih. Pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih sedikit akan menggunakan pendekatan berdasarkan ingatan, dengan proses memasuki tempat pemungutan suara dan mengambil keputusan lewat pertimbangan yang dapat pemilih munculkan dalam benak pemilih pada saat tersebut. Pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih luas akan melakukan suatu pendekatan yang terproses, mengkonstruksi evaluasi dari masing-masing kandidat selama kampanye berlangsung, dan akan menggunakan hasil evaluasi tersebut ketika memberikan suara di bilik pemungutan suara. 17 Tidak dapat dipungkiri, pada pemilih pemula dan pemilih dewasa masih memiliki angka golput yang masing-masing terbilang cukup tinggi di Indonesia. Pada pilpres 2014 angka golput keseluruhan mencapai 30,42 persen. 18 Golput di nilai sebagai sikap apatis karena dianggap sebagai tindakan tidak peduli pada persoalaan politik yang ada. Tidak berpartisipasi pemilih dalam arena pilpres banyak dipengaruhi oleh berbagi faktor. Menurut Eep Saefulloh Fatah latar belakang seseorang golput dipengaruhi tiga hal yakni Pertama golput teknis yang mana karena kesalahan teknis pendataan atau berhalangan hadir. Kedua golput politis, yang mana masyarakat tidak mempunyai pilihan dan pesimis pemilu tidak akan membawa perbaikan. Ketiga golput ideologi yang tidak percaya dan tidak mau terlibat karena alasan-alasan tertentu. 19
17
Holbrook, A.L; Bizer, G.Y; Bizer, J.A; Krosnick. 2000. Political Behavior of The Individual. Psychological Association and Oxford University Press. 18 Detik. Partisipasi Pemilih di Pilpres 2014 Menurun, Ini Penjelasan KPU. Diakses pada tanggal 08 Februari 2015. Terarsip di http://news.detik.com/read/2014/07/23/180617/2646389/1562/partisipasi-pemilih-di-pilpres-2014menurun-ini-penjelasan-kpu 19 Eep Saefulloh Fatah. 2008. Analisis Politik: Mengelola Golput. Jakarta
18
4. Resepsi Khalayak Terhadap Iklan Politik Menurut Jensen untuk menganalisis resepsi audiens dapat melalui tahap interpretasi. 20 Dalam proses interpretasi, audiens atau khalayak secara aktif mencari makna dalam sajian iklan hasil konstruksi dari media massa. Dalam praktiknya resepsi merupakan proses pemaknaan yang dilakukan oleh khalayak terhadap pesan media. Resepsi mencoba untuk menampilkan pemahaman atas informasi yang ditawarkan media melalui perspektif khalayak. Perspektif di mana khalayak memiliki kategori atau kriteria tersendiri dalam memaknai pesan yang masuk dalam pikirannya. Dari pesan yang masuk, kemudian diterjemahkan dalam konteks yang lebih mendalam sehingga menghasilkan sebuah definisi yang jelas dalam pemaknaan pesan. Resepsi merupakan satu penelitian tentang media yang menegaskan bahwa khalayak mempunyai kekuatan dalam melakukan pemaknaan terhadap isi pesan yang disajikan media. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive community yang selalu aktif dalam meresepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi media massa. 21 Stuart Hall juga mengembangkan penelitiannya mengenai analisis resepsi yang dikenal dengan model encoding-decoding. Model encoding-decoding Stuart Hall merupakan model yang menghadirkan sesuatu yang baru dalam penelitian khalayak. Hall mengajukan sebuah pendekataan kajian khalayak yang berusaha melihat bagaimana memahami berbagai content dari perspektif pembacanya. Asumsinya adalah bahwa makna teks media bukan merupakan sesuatu yang pasti. Namun teks media memperoleh makna hanya pada saat penerimaan ketika mereka dibaca, ditonton, dan didengar. Lebih jauh, jika teori uses and gratification memberikan pendekataan pada pemikiran bagaimana individual memilih dan menggunakan konten komunikasi, maka reception theory membahas apa yang 20
Klaus Bruhn Jensen & Nicholas W. Janskowski.1991. Ahandbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London: Routledge. Hal.140 21 Denis Mc Quail. 1997. Audience Analysis. London: SAGE Publications, Inc. Hal. 19
19
terjadi pada tindakan pengkonsumsian, bagaimana isi tertentu dari suatu pesan dilihat dan diinterpretasikan oleh receiver. 22 Encoding
merupakan
proses
pengemasan
pesan
yang
dilakukan
pembuatnya untuk disampaikan kepada khalayaknya. Beberapa proses sebelum menghasilkan pesan, pembuat memiliki tujuan atau ideologi yang ingin disampaikan. Tujuan inilah yang digunakan untuk mempengaruhi atau menanamkan gambaran tentang pesan yang diberikan. Sedang decoding dalam proses komunikasi merupakan bagian dari proses pembacaan makna pesan dalam media. Proses ini dipengaruh beberapa faktor yang ada dalam setiap individu. Faktor-faktor inilah yang membuat proses pembacaan makna menjadi beragam dan menghasilkan banyak penafsiran. Dalam penelitian kultural, bagaimana makna diproduksi dan dibagikan serta hubungan yang menentukan pemaknaan merupakan fokus perhatian utama dalam penelitian resepsi. Berikut gambaran proses model encoding-decoding Hall yang dideskripsikan dalam gambar I.1.
Gambar I.1 Model Encoding/Decoding-Stuart Hall 23
Dari bagan model encoding-decoding tersebut, terlihat bahwa encoding dilakukan oleh pengirim pesan dan decoding dilakukan oleh penerima pesan. Di mana baik encoding dan decoding terhadap teks media dipengaruhi tiga oleh tiga 22
Windahl Sven, Benno H. Signitzer with Jean T.Olson. 1993. Using Communication Theory: An Introduction to Planned Communication. London: Sage Publication Ltd. Hal. 165 23 Stuart Hall.2006. “Encoding/Decoding” dalam Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner (Ed). (2006) Media and Cultural Studies: Keyworks. Oxford: Blackwell Publishing. Hal 165
20
hal yakni frameworks of knowledge, relation of production, dan technical infrastructure. Relation of production dan technical infrastructure terkait dengan penggambaran yang digunakan dalam iklan politik baik teks maupun gambar. Nilai-nilai atau ideologi dalam iklan menjadi dasar mengetahui kepentingan pembuatnya. Sedangkan frameworks of knowledge mengukur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Hall berpendapat bahwa walaupun kebanyakan teks polisemi, namun proses produksi makna teks, diuraikan melalui proses encoding-decoding teks yang tidak selalu berjalan lurus. Oleh karena itu apa yang dimaksud oleh media, belum tentu sama dimaknai oleh khalayaknya. Encoding dan decoding menjadi proses yang sangat fundamental dalam pertukaraan komunikatif ini. Encoding dan decoding inilah menurut Hall harus dipunya oleh peneliti saat melakukan peneliti. Menurut Hall, encoding juga bisa diartikan sebagai proses analisa dari konteks sosial politik di mana konten di produksi dan decoding adalah proses konsumsi dari suatu konten media. Dalam meresepsi, khalayak secara bebas dapat membaca, melihat, dan mendengar informasi mereka terhadap media. Kebebasan Pengguna juga terhadap pada proses seleksi terhadap jenis pesan atau informasi yang ingin diaksesnya. Media massa bukan salah satu faktor tunggal yang menentukan bagaimana teks di media diproses dan dimaknai. Meskipun media memiliki konstruksi sendiri dalam menanamkan pesan mereka kepada khalayak. Namun pengalaman dan faktor internal dari khalayak yang menentukan bagaimana hasil atau makna pesan dari media tersebut setelah diproses dalam dirinya. Dengan begitu khalayak memiliki pemaknaan yang akan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk memaparkan praktik-praktik resepsi khalayak maka digunakan teori resepsi Stuart Hall untuk menggambarkan praktik resepsi dan menentukan posisi resepsi khalayak. Dalam proses negosiasi makna praktik resepsi, Hall dalam Ida memaparkan tiga interpretasi yang digunakan individu merespon apa yang
21
dilihatnya dalam televisi yaitu Dominan/Hegemonic code, Negotiated code, dan Oppositional code : 24 a. Dominan/Hegemonic code Posisi audiens yang menyetujui dan menerima langsung apa saja yang disajikan oleh televisi, menerima penuh ideologi yang dari program tayangan tanpa ada penolakan atau ketidaksetujuan terhadapnya. b. Negotiated code Penonton yang mencampur interpretasinya dengan pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap interpretasi pesan atau ideologi dalam televisi. c. Oppositional code Penonton melawan atau berlawanan dengan representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan. Praktik resepsi menjadi hal yang penting bagi audiens dalam implikasinya terhadap sebuah iklan. Dengan segala keterbatasan pesan yang diberikan dan persaingan antar iklan politik dalam mengirimkan pesan, membuat iklan politik harus memiliki pemaknaan yang kuat dalam menanamkan pesan agar mudah diingat dan dipahami oleh audiens. Di samping itu juga iklan politik cenderung akan dimaknai secara beragam oleh masyarakat dalam melihat berbagai fenomena yang hadir di tengah lingkungannya.
24
Rachmah Ida. 2010. Metode Penelitian Studi Media dan Budaya. Surabaya: AUP.
22
Teori reception menurut Baran dan Davis memiliki beberapa kekuatan 25
yaitu : a. Memfokuskan perhatian lebih khusus pada individu dalam proses komunikasi massa. b. Merespon intelektual dan kemampuan dari penggunaan media (audiens). c. Menyatakan tingkatan dari makna dalam teks media. d. Mencari sebuah pengertian yang dalam dari bagaimana audiens menginterpretasi isi media. e. Dapat menyediakan sebuah analisis yang dalam pada proses media digunakan dalam konteks sosial sehari-hari. Meskipun pesan media yang dilihat, didengar, dan dibacanya adalah pesan yang sama. Hal ini memungkinkan beragamnya praktik resepsi pada setiap orang dalam melihat informasi atau pesan media. Hal senanda juga diungkapkan oleh Ien Ang yang menyatakan keadaan budaya mempengaruhi resepsi. Ang memberi penjelasan bahwa untuk menganalisis menggunakan resepsi tidak dapat mengabaikan variabel demografi seperti umur, lokasi, pendapatan dan jenis kelamin. 26 Faktor-faktor ini merupakan faktor penting dalam proses resepsi audiens. Sedangkan menurut Morley nilai kultural dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya merupakan faktor penting individu dalam mengurai pesan. Latar belakang kultural dan konteks sosial merupakan faktor penting dalam proses produksi makna. 27 Akibatnya, setiap khalayak menginterpretasikan program yang sama secara berbeda tetapi juga mengaitkan dengan identitas sosial. Konstelasi politik yang telah terbelah menjadi dua kekuatan besar terhadap dua pasang calon telah memberikan banyak sudut pandang yang bisa dihadirkan. 25
Stanley J Baran & Dennis K. Davis. Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future 5th Ed. Canada: Wadsworth Cenggage Learning. Hal. 244 26 Ien Ang.1996. Living Room Wars. London: Routledge Hal. 46 27 Joke Hermes. 2010. The Ethnographic Turn: The Histories and Politics of The New Audience Research. Leicester: University of Leicester.
23
Kampanye-kampanye hitam yang marak terjadi juga sedikit banyak membawa pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat. Berkaca pada fenomena yang belakangan marak terjadi ini, iklan politik diharapkan dapat membuat makna positif dalam proses penerimaan iklan dari sudut pandang audiens. Sehingga kekuatan iklan dalam mempengaruhi pikiran audiens dapat berjalan dengan baik. Pada intinya analisis resepsi berpendapat bahwa tidak akan ada pengaruh tanpa makna. 28 Perbedaan cara pembacaan tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Termaksud juga pemilih pemula dan pemilih dewasa yang memiliki pengalaman yang berbeda dalam mengikuti pemilihan presiden. Dapat memberikan kecenderungan perbedaan yang kental dalam meresepsi iklan politik Jokowi JK. Hal ini dapat dilihat dari faktor lingkungan dan faktor internal dalam setiap kategori pemilih yang berbeda. Pemilih pemula yang minim keikutsertaan dalam ajang pilpres dinilai akan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan eksternal seperti media massa dan kelompok-kelompok kecil. Sehingga akan menghasilkan gambaran tersendiri yang serupa tentang pasangan di dalam benaknya. Sedangkan pemilih dewasa akan lebih cenderung melakukan proses evaluasi yang terorganisir baik dari pengalamannya ataupun dari faktor eksternal sehingga akan lebih selektif menghasilkan makna di dalam benak pemilih. Hal ini memperlihatkan kecenderungan pemilih pemula akan lebih mudah untuk dipengaruhi dalam membentuk image pasangan. Sedangkan untuk pemilih dewasa akan lebih sulit dipengaruhi dalam membentuk makna dibenaknya. Kecenderungan ini juga akan menghasilkan perbedaan cara meresepsi iklan baik pemilih pemula dan pemilih dewasa. Sehingga akan menunjukan perbedaan pembacaan antara kategori pemilih meskipun iklan yang dilihatnya adalah sama.
28
Jensen, Klaus Bruhn and Nicolas W. Jankowski, Op.cit., 2003, Hal. 135
24
G. Kerangka Konsep Iklan politik televisi menjadi cara yang dilakukan calon presiden dalam mempengaruhi pemilih sehingga membentuk image dalam benak pemilih. Iklan juga telah dijadikan strategi dalam membingkai calon, dengan menyoroti hal-hal tertentu dan mengabaikan hal-hal lain. Keberadaan media massa terutama televisi dalam beriklan sudah bukan lagi dipandang sebagai komoditas bisnis semata. Iklan politik yang muncul saat ini telah membuka jalan media massa televisi menjadi kendaraan politik yang digunakan untuk saling memperebutkan citra, opini dan pengaruh terhadap pemilih pemula dan pemilih dewasa. Namun sebuah iklan politik bukan hanya dilihat sebagai sebuah proses pengiriman pesan yang telah dikonstruksi, melainkan pada saat pesan iklan diresepsi oleh pemilih pemula dan pemilih dewasa, yang mana secara aktif meresepsi iklan politik. Karena iklan politik tidak akan berpengaruh tanpa sebuah makna terhadap audiensnya. Praktik resepsi terhadap iklan politik akan menghasilkan beragamnya makna. Hal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekternal setiap individu. Makna dihasilkan ketika audiens membaca, melihat, dan mendengarkan teks media. Selain itu audiens secara aktif dalam menghasilkan makna, bukan konsumen makna. Karena resepsi yang ditangkap tidak secara langsung terbentuk begitu saja oleh audiens. Audiens menginterpretasikan teks media dengan keadaan yang sesuai dengan dengan kehidupan sosial dan konteks sosial budaya mereka yang terbentuk. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif dikonstruksi audiens secara personal. Dalam penelitian ini pembahasan awal akan memuat praktik bermedia informan dalam pengalamannya bersinggungan dengan media. Hal ini bertujuan juga dengan melihat pengaruh kebiasaan bermedia informan dalam membentuk atau mengkonstruksi terhadap apa yang di interpretasi. Karena setiap informan memiliki pengalaman bermedia masing-masing. Dan sejauh mana konteks sosial informan seperti lingkungan dapat juga memberikan pengaruh dalam praktik resepsi di media. Faktor eksternal seperti lingkungan informan juga cenderung dapat memberikan kontribusi dalam membentuk pemaknaan dibenak informan. 25
Selanjutnya memaparkan interpretasi setiap individu dalam pembacaannya terhadap iklan. Interpretasi tersebut akan memunculkan pembacaan ketertarikan atau ketidak tertarikan individu pada iklan tersebut. Pada pembahasan selanjutnya akan menunjukan pembacaan pemilih pemula dan pemilih dewasa terhadap citra pasangan Jokowi JK. Dalam pembacaan informan tersebut, peneliti akan membandingkannya dengan citra yang dibentuk dalam nilai-nilai iklan pasangan ini. Di sini akan terlihat apakah ada perbedaan pemaknaan atau pembacaan citra sejalan dengan nilai yang iklan bawa. Dengan konteks pengalaman dan karakteristik yang berbeda dalam kriteria pemilih, cenderung akan mempengaruhi cara pandang dalam membaca pesan media. Pemilih pemula dan pemilih dewasa akan melakukan praktik resepsi yang berbeda. Orang yang terbiasa dengan politik, tentu akan berbeda memaknai iklan politik dibandingkan orang yang baru mengenal politik. Meskipun pesan iklan tersebut memiliki tujuan yang ingin disampaikan ke masyarakat, namun terkadang pemilih memiliki penilaian-penilaian sendiri dalam membaca komunikasi politik yang terkandung dalam iklan tersebut. Bagi pemilih pemula dan pemilih dewasa ini akan menjadi tantangan tersendiri, yang dapat membentuk praktik resepsi dalam iklan presiden. Pola-pola yang dapat membentuk praktik resepsi mereka menjadi hal yang menarik untuk diamati perkembangannya. Apakah kekuatan iklan politik dapat memberikan stimulus pada mereka dalam membentuk pola-pola pemaknaan tersebut atau malah sebaliknya. Faktor-faktor lain yang cenderung mempengaruhi praktik resepsi kedua kategori pemilih tersebut. Juga dalam penelitian ini memaparkan hasil resepsi berdasarkan kategori pemilih yang menggunakan hak suaranya dan pemilih yang golput. Sehingga akan tergambar proses resepsi pemilih yang menggunakan hak suaranya dan yang golput dalam membaca iklan pasangan Jokowi JK. Pesan yang dikirim akan menimbulkan berbagai proses penerimaan dan penolakan terhadap pemilih pemula dan pemilih dewasa. Pada penelitian ini 26
praktik resepsi akan digolongkan ke dalam tiga interpretasi yang digunakan individu dalam merespon apa yang dilihat dalam iklan politik kedua pasang calon yakni Hegemonic code, Negotiated code, dan Oppositional code. Penggolongan praktik resepsi ini akan terlihat dari hasil pemaknaan yang dilakukan oleh informan terhadap iklan politik kedua pasang calon. Jenis tiga interpretasi di atas akan diterapkan dalam praktik resepsi iklan politik presiden dan wakil presiden terhadap kategori pemilih. Di mana untuk menentukan posisi pembacaan peneliti menghubungkan interpretasi dengan citra yang dibaca oleh informan. Hall berargumen bahwa preferred reading merupakan ideologi dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh khalayak. Sebelum menganalisis pembacaan khalayak, perlu dijelaskan preferred reading atau ideologi dominan yang dikehendaki pengirim pesan. Selain mencoba memahami teks, peneliti juga akan melihat konteks yang mendasari pengirim pesan dalam membuat pesan dan menanamkan ideologi. Peneliti mencoba menganalisis pesan yang dimaksudkan iklan televisi “Jokowi Jk Adalah Kita” dalam menemukan makna dominan dalam iklan. Setelah preferred reading diketahui, barulah dapat menganalisis pembacaan khalayak untuk dimasukan dalam kategori dominant, negotiated, atau oppositional. Selanjutnya peneliti menganalisis bagaimana posisi pembacaan terbangun. Hal ini dilakukan dengan mengaitkan pemaknaan khalayak dengan konteks sosial dan faktor-faktor lainnya seperti lingkungan, usia dan pengalaman masing-masing informan sebagai khalayak. Secara sederhana berikut dimensi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian resepsi iklan politik “Jokowi JK Adalah Kita”:
27
Tabel I.1 Dimensi Penelitian
Dominant
Kategori Pemilih Pemilih Pemula
Negotiated
Audiens
tertarik Audiens
melihat
iklan dan menegosiasi
menginterpretasikan
proses
Audiens dalam menginterpretasikan
interpretasi ulang citra pasangan
sejalan dengan makna terhadap yang
Oppositional
iklan Jokowi
terkandung politik “Jokowi JK menolak
dalam iklan politik Adalah
Kita”
JK
dan
citra
yang
di ditampilkan
melalui
“Jokowi JK Adalah mana iklan kurang iklan politik “Jokowi Kita” terhadap citra menarik keduanya yang baik.
namun Jk
mereka
Adalah
memiliki Mereka
interpretasi
Kita”.
cenderung
yang menginterpretasi citra
sejalan dengan citra pasangan Jokowi JK pasangan Jokowi JK. kurang baik. Pemilih Dewasa
Audiens
tertarik Audiens
melihat
iklan dan menegosiasi
menginterpretasikan
proses
Audiens dalam menginterpretasikan
interpretasi ulang citra pasangan
sejalan dengan makna terhadap yang
iklan Jokowi
terkandung politik “Jokowi JK menolak
dalam iklan politik Adalah
Kita”
JK
dan
citra
yang
di ditampilkan
melalui
“Jokowi JK Adalah mana iklan kurang iklan politik “Jokowi Kita” terhadap citra menarik keduanya yang baik.
mereka interpretasi
namun JK
Adalah
memiliki Mereka
Kita”.
cenderung
yang menginterpretasi citra
sejalan dengan citra pasangan Jokowi JK pasangan Jokowi JK. kurang baik. Sumber: Diolah peneliti dari berbagai sumber
Dalam penelitian ini, mengadopsi pemikiran Hall dalam proses encoding dan decoding terhadap teks media dipengaruhi tiga oleh tiga hal yakni frameworks of knowledge, relation of production, dan technical infrastructure. Infrastruktur dan relasi produksi terkait dengan penggambaran yang digunakan dalam iklan 28
politik baik teks maupun gambar. Nilai-nilai atau ideologi dalam iklan menjadi dasar mengetahui kepentingan pembuatnya. Untuk itu, bagaimana proses penerimaan pemilih pemula dan pemilih dewasa tentang iklan Jokowi JK terkait konstruksi iklan yang ditampilkan oleh pasangan ini. Sedangkan kerangka pengetahuan mengukur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya oleh pemilih pemula dan pemilih dewasa dalam melihat citra Jokowi JK. Sehingga dalam penelitian ini melihat bagaimana iklan dikonstruksi oleh pengirim memberikan pengetahuan bagi pembacanya. Dalam penelitian ini juga mengadopsi penelitian yang dilakukan oleh David Morley. Konteks sosial melihat bagaimana audiens menginterpretasikan iklan berdasarkan dengan lingkungan sosial kehidupannya. Dalam konteks ini peneliti juga membagi dalam dua kategori pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu dan pemilih yang golput pada pilpres 2014. Peneliti juga mengadopsi konsep Ang, namun hanya akan mengunakan faktor demografis seperti umur dan membaginya menjadi kategori pemilih pemula yang berusia 17-21 tahun dan pemilih dewasa 22- 26 tahun dalam melihat praktik resepsi.
H. Metodologi Penelitian ini akan mencoba menggali praktik pemaknaan yang dilakukan audiens dalam melihat sebuah iklan politik pasangan Jokowi JK di televisi. Di mana sebuah pesan tidak lagi dipahami sebagai bola yang dilempar pengirim kepada penerima. Melainkan sebuah pesan yang dikirim (encoding) yang kemudian secara aktif diterjemahkan (decoding) penerima sesuai dengan penafsiran masing-masing individu. Proses encoding menjadi praktik pemaknaan audiens dalam melihat iklan politik. Hal ini menjadi menarik mengingat pemilih pemula dan pemilih dewasa yang berbeda membuat praktik pemaknaan pesan iklan menjadi beragam. Karakter pengalaman individu masing-masing dalam mengkonsumsi informasi menjadi faktor latar belakang perbedaan tersebut. Untuk itu pesan yang dimaknai akan berbeda dari audiens satu dengan yang lainnya. 29
Kecenderungan pemaknaan akan berbeda dan tidak selalu sama. Oleh karena itu praktik pemaknaan dalam banyak penelitian menjadi sukar untuk dibaca polanya. Karena masing-masing memiliki konteks fokus yang berbeda. Untuk dapat mendeskripsikan kompleksitas praktik pemaknaan pemilih pemula dan pemilih dewasa maka dalam penelitian ini menggunakan analisis resepsi. Analisis resepsi kemudian menjadi pendekataan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya. 29 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang akan menjelaskan bagaimana pemaknaan pemilih pemula dan pemilih dewasa terhadap iklan politik “Jokowi JK Adalah Kita”. Perpaduan metode dan pendekataan ini akan menghasilkan pembahasan dan menganalisa bagaimana pesan iklan dimaknai oleh pemilih pemula dan pemilih dewasa secara mendalam. Penarikan kesimpulan pada penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan logika induktif yaitu berangkat dari hal-hal khusus untuk menuju ke hal-hal yang bersifat umum. Penelitian kualitatif merupakan penelitian interpretatif, menjadikan peneliti sebagai instrumen penelitian yang harus terjun langsung ke lapangan. Oleh karena itu penelitian ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik. 1. Informan Penelitian Dalam menentukan informan pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengambilan purposive sampling, yaitu teknik pengumpulan sampel dengan pertimbangan tertentu. Penentuan sampel menggunakan kebijaksanaan peneliti dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi acuan dalam menjawab rumusan masalah yang ada. Teknik sampel ini tepat digunakan untuk penelitian kualitatif atau penelitian yang tidak melakukan generalisasi. Di mana lebih mengutamakan kedalaman data yang diperoleh. Dengan dikaitkan dengan 29
Jensen, Klaus Bruhn and Nicolas W. Jankowski, Op.cit., Hal. 137
30
konteks sosial dan usia yang berbeda-beda, pengalaman informan dalam memaknai sesuatu cenderung mempengaruhi kesan apa yang akan ditangkapnya. Lingkungan mahasiswa berada juga turut memberikan kontribusi dari bagaimana cara berpikir mereka dalam melihat fenomena iklan politik. Peneliti akan mencoba membagi informan menjadi dua kategori dalam penelitian ini yakni pemilih pemula dan pemilih dewasa yang masing-masing kategori berjumlah 6 orang. Secara keseluruhan jumlah informan dalam penelitian ini adalah 12 orang. Mahasiswa Fisipol UGM yang terdiri dari 6 jurusan yaitu Ilmu Komunikasi, Hubungan Internasional, Politik Pemerintahan, Manajamen Kebijakan Publik, Sosiologi, dan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Dari setiap jurusan akan diambil dua mahasiswa yang kemudian dimasukan kedalam kategori pemilih pemula dan pemilih dewasa. Serta dalam dua ketegori pemilih ini dibagi lagi menjadi dua kategori berdasarkan tingkat partisipasi dalam proses pemilu yakni pemilih yang memilih dan pemilih yang tidak memilih atau golput. Sehingga dalam setiap kategori pemilih pemula dan pemilih dewasa terdapat pemilih yang memilih dan yang golput. Pengkategorian tersebut diambil karena umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan citra. Pemilu pemula digolongkan berdasarkan usia 17-21 tahun, sedangkan pemilih dewasa rentan usia 22-26 tahun. Sehingga dapat gambaran yang beragam memberikan dalam melihat praktik resepsi bagi audiens pada hasil penelitian ini. 2. Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data dilapangan oleh peneliti untuk tujuan penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan narasumber. Peneliti berhubungan langsung dengan objek penelitian untuk mendapatkan data utama yang akan dipergunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara tidak langsung atau diperoleh dari sumber 31
kedua. Data-data sekunder dapat berupa penelitian sebelumnya, buku, internet, dokumentasi, dan sumber lain yang dapat menunjang penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini memadukan beberapa teknik untuk dapat memperoleh data yang diinginkan dalam menjawab permasalah yang ada. Yaitu wawancara mendalam, dokumentasi, dan studi kepustakan. Teknik ini digunakan untuk menunjang penelitian ini. Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Metode ini memungkinkan periset untuk mendapatkan alasan detail jawaban responden yang antara lain mencakup opini atau pemaknaan. Sehingga mendapatkan kedalaman data yang diperlukan untuk penelitian ini. Wawancara menjadi alat pengumpulan data yang penting dalam penelitian kualitatif yang melibatkan manusia sebagai subjek sehubungan dengan realitas atau masalah yang akan diteliti. Dalam
melakukan
wawancara
terhadap
informan,
pewawancara
menggunakan panduan yang menggunakan daftar pertanyaan yang menjadi pedoman peneliti
(interview guide). Pedoman pertanyaan dibuat berdasarkan
kebutuhan data yang diperlukaan dalam penelitian ini. Pertanyaan diturunkan dari kerangka pemikiran yang diajukan peneliti dalam mewakili konsep-konsep teori yang digunakan. Sehingga menjadi indikator dalam melakukan wawancara terhadap semua informan. Selain itu juga digunakan open-ended question, di mana pertanyaan dapat berkembang dan berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan peneliti. Sedangkan dokumentasi bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data. Dokumentasi dapat berbentuk dokumen publik yang berupa informasi di surat kabar, iklan, catatan-catatan yang berguna untuk menambahkan data penelitian. Dokumen yang didapat dalam berbagai bentuk seperti teks dan gambar akan dinarasikan ke dalam bentuk data yang 32
memudahkan peneliti dalam mendukung hasil penelitian. Kemudian studi kepustakaan untuk mengumpulkan data-data dan teori dalam penelitian ini, maka peneliti memanfaatkan berbagai macam data dan teori yang dikumpulkan melalui berbagai pustaka penunjang guna melengkapi data yang berhubungan dengan topik penelitian. 4. Teknik Analisis Data Ada dua elemen dalam analisis resepsi ketika menginterpretasikan teks, yakni: (1) Menganalisis hasil wawancara dan wacana dari audiens. (2) Kajian dalam analisis resepsi tidak melakukan pemisahan antara analisis dan interpretasi audiens tentang media. Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah model Miles Huberman dalam Moeloeng dijelaskan bahwa analisis data meliputi tiga alur kegiatan, Yaitu: 30 a. Reduksi Data Merupakan proses pemilihan data, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan dan verifikasi. Langkah ini dilakukan agar data yang tersaji dalam penelitian ini fokus pada tema yang di ambil dalam penelitian ini. Hasil wawancara dengan informan tidak seutuhnya mengambil keseluruhan isi transkrip, sehingga peneliti akan memilih selektif dalam memasukan data dalam penelitian ini. Kebutuhan penelitian menjadi dasar peneliti melakukan reduksi data. Sehingga hasil penelitian diharapkan dapat menjawab berbagai praktik resepsi yang dilakukan pemilih pemula.
30
Lexy Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 248
33
b. Penyajian Data Dalam penyajian data ini seluruh data dilapangan yang berupa hasil wawancara dan dokumentasi akan dianalisis sesuai dengan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya. Sehingga dapat memunculkan deskripsi tentang pemaknaan pemilih terhadap iklan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Langkah ini peneliti akan mengambil data yang telah direduksi dan menyajikan dalam bentuk transkrip dari semua informan hasil wawancara. Penyajian akan dikelompokan sesuai kategori yang sudah dibagi berdasarkan kriteria informan dan kategori. Penyajian data ini juga akan mengacu pada kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini. c. Penarikan Kesimpulan Kegiatan penggambaran secara utuh dari objek yang diteliti pada proses penarikan kesimpulan berdasarkan penggabungan informasi yang telah disusun dalam suatu bentuk yang tepat pada penyajian data. Melalui gambaran hasil yang ada, peneliti dapat memaparkan kesimpulan dari sudut pandang peneliti untuk lebih mempertegas hasil yang didapat dalam penelitian ini. Tahap ini peneliti akan melihat pola-pola pemaknaan yang sering muncul dalam resepsi pemilih pemula dan pemilih dewasa pada iklan presiden dan wakil presiden. Data-data utama akan menjadi landasan peneliti dalam menarik beberapa kesimpulan yang akan menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini. Peneliti sebelumnya menampilkan kembali iklan politik “Jokowi JK Adalah Kita” untuk dilihat pemilih pemula dan pemilih dewasa yang termaksud dalam informan penelian ini. Hal ini berguna untuk membangkitkan kembali ingatan informan dalam meresepsi iklan politik pada masa kampanye terbuka pilpres 2014. Ke dua, peneliti pengkategorian audiens yang termaksud pemilih pemula dan pemilih dewasa. Ke tiga, memaparkan interpretasi pemilih pemula dan pemilih dewasa terhadap politik citra iklan tersebut. Ke empat, 34
membandingkannya interpretasi informan dengan makna dominan yang terkandung dalam iklan dan mengkategorikan posisi interpretasi audiens terhadap pesan media tersebut, yakni dominant, negotiated, dan oppositional. Secara sederhana berikut langkah-langkah dalam menggambarkan hasil penelitian: 1. Menganalisis makna dominan (Preferred reading) dari teks yang akan diteliti dengan melakukan analisis iklan politik 2. Analisis dan interpretasi data mengenai iklan dari pengalaman mereka dalam bermedia 3. Interpretasi kemudian disandingkan dengan citra pasangan. 4. Hasil interpretasi khalayak dibandingan dengan preferred reading untuk
kemudian dikelompokkan 3 posisi interpretasi Hall yakni dominant, negotiated, dan oppositional reading.
35