BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Yogyakarta terkenal dengan harga makanan murah. Banyak tempat yang
menjual aneka macam masakan, seperti makanan Indonesia, Jepang, Korea, India dan western food. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab masyarakat di Yogyakarta terutama kalangan mahasiswa, lebih suka makan di luar daripada harus repot – repot memasak sendiri atau makan di rumah. Kegemaran mahasiswa atau anak muda untuk makan di luar rumah dikenal juga dengan konsep eating out. Setiap orang memiliki alasan yang beragam kenapa mereka memilih untuk datang ke sebuah rumah makan, daripada membiasakan diri untuk mengkonsumsi masakan yang dimasak di rumah masingmasing. Batasan mengkonsumsi makanan di luar rumah tangga dikemukakan oleh peneliti dari Inggris, Alan Warde dan Lydia Martens mengatakan bahwa : There are a great many eating out events; eating a packet of crisps or fish and chips in the street, as well as a sandwich in the office, a barbeque at a friend’s house and an elaborate dinner in a restaurant would count, while returning home with a take – away pizza or made – up dish from supermarket would not (Warde & Martens, 2003:4).
Dalam pendapat tersebut dijelaskan pula jika seseorang membeli makanan di supermarket atau restoran kemudian dibawa pulang, hal ini tidak termasuk dalam kategori eating out. Warde dan Martens lebih lanjut memberikan kategori-kategori untuk mempersempit definisi eating out sehingga muncul definisi praktis yaitu sebagai
3
sebuah aktivitas sosiospasial. Selain itu eating out mencakup makanan yang dibeli, makanan yang disiapkan oleh orang lain. Kegiatan tersebut diadakan sebagai sebuah pertemuan yang sifatnya sosial dan spesial yang pastinya diiringi dengan menikmati sebuah masakan (Ibid., 46). Secara umum masyarakat gemar melakukan eating out sebagai bagian dari gaya hidup yang mereka pilih. Kebiasaan makan di luar (eating out) telah lama menjadi kajian para ahli, khususnya di Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Menurut studi yang dilakukan oleh Alan Warde dan Lydia Martens (2003:22-23), berdasarkan survey di Inggris, kegiatan eating out merupakan bentuk dari sebuah hiburan bagi masyarakat perkotaan. Mereka mengharapkan sensasi kesenangan dan kepuasan setelah melakukannya. Tempat makan atau warung makan di Yogyakarta sangat beragam, mulai dari jenis makanan yang dijual, sampai dengan asalnya. Sebut saja makanan Jepang, banyak warung tenda atau kedai yang menjual berbagai jenis masakan Jepang dengan harga yang murah dan rasa yang berbeda-beda. Sekarang muncul lagi pilihan lain, yaitu makanan Italia. Selama ini masyarakat hanya mengetahui Pizza Hut sebagai restoran yang menjual menu-menu makanan Italia, seperti pizza dan pasta. Namun sejak tahun 2008 di Yogyakarta, banyak warung menyajikan makanan Italia yang berbeda. Ada beberapa nama yang cukup terkenal seperti Nanamia Pizzeria, Zango, Pasta Gio, Il Mondo dan Arthemy yang menawarkan menu beragam yaitu pizza, pasta, zuppe, bruschetta dan gelato.
4
Jumlah pengunjung kedai ini selalu banyak, terutama pada malam hari. Pengunjungnya kebanyakan terdiri dari mahasiswa yang biasanya berkelompok. Makanan Italia muncul menjadi tren baru di kalangan masyarakat Yogyakarta, khususnya anak muda, sehingga menjadi alternatif dari jenis makanan asing yang sudah ada sebelumnya, seperti makanan Jepang, Korea dan India. Hal yang ditawarkan oleh beberapa tempat ini merupakan bentuk dari Italianisitas, bukan hanya melihat Italia dari sisi kebangsaannya, namun lebih kepada hal-hal yang stereotipikal Italia, seperti pizza, spaghetti, sepakbola, Vespa dan lukisan. Italianisitas dijadikan sebagai alternatif, bahkan menjadi bentuk resistensi dari apa yang sudah ada dan cenderung didominasi oleh Amerika. Pada akhirnya Italianisitas dapat dihubungkan dengan pendapat yang ada di masyarakat selama ini, bahwa apa yang ada di luar Indonesia itu bermakna simbolis sebagai modernitas. Hal tersebut menyebabkan tempat makan yang menjual makanan Italia sering ramai dikunjungi konsumen. Saya berasumsi jika makan makanan Italia merupakan sebuah gaya hidup, sedangkan makan makanan Indonesia kesannya hanya makan biasa. Objek dalam penelitian ini adalah dua kedai pizza di Yogyakarta yang banyak dikunjungi anak muda, yaitu Nanamia Pizzeria dan Il Mondo. Keduanya merupakan tempat yang memiliki konsep membawa nuansa dan menawarkan suasana khas kedai pizza di Italia. Hal tersebut dapat diamati dari menu makanan, penataan ruang, dekorasi, interior, musik, atmosfer dan cara membuatnya.
5
Selama ini masyarakat lebih mengenal pizza yang berciri khas Amerika, seperti Pizza Hut. Ciri khas yang dimiliki yaitu roti cenderung tebal, lebih empuk, topping banyak, beraneka macam, pinggirannya yang dapat diisi dengan berbagai macam isian, seperti sosis atau keju yang dipanggang dalam oven. Nanamia Pizzeria dan Il Mondo menawarkan sesuatu yang berbeda. Pizza bergaya Italia yang disajikan menggunakan roti yang tipis, bertekstur renyah, garing, topping yang tidak terlalu banyak, dimasak dengan cara dibakar dalam tungku batu dan bahan bakar kayu. Semboyan dari Nanamia Pizzeria adalah “Serves real authentic Italian food for an affordable local price. Come and enjoy the secrets of Italian food in this cozy and warm place with a typical Mediterranean ambience”. Berdasarkan semboyan tersebut Nanamia Pizzeria ingin menunjukkan bahwa mereka benar-benar membawa nuansa Italia ke Yogyakarta. Usaha yang dilakukan merupakan sebuah bentuk dari glokalisasi. Mayoritas pengunjung Nanamia Pizzeria terdiri dari anak muda yang secara tidak sadar mengkonsumsi imaji dan ruang selain pizza itu sendiri. Glokalisasi merupakan kombinasi antara unsur global dan lokal. Dr. Ajai Prakash dan Dr. V.B.Singh dalam tulisan di Asian Journal of Technology and Management Research yang berjudul Glocalization In Food Business : Strategies of Adaption To Local Needs and Demands berpendapat bahwa, “Glocalization is a concept that explains the interactions between global and local dimension in any strategy” (vol. 01 – Issue : 01 (Jan – Jun 2011)). Global yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Italia, sedangkan lokal adalah Yogyakarta.
6
Hampir sama halnya dengan yang dilakukan oleh Il Mondo, kedai pizza yang terletak di daerah Demangan ini menjual menu makanan dari Italia, walaupun menawarkan konsep ruang yang berbeda. Bagi mereka yang ingin merasakan suasana dari kedai pizza di Italia yang hadir di Yogyakarta bisa datang ke Nanamia Pizzeria atau Il Mondo. Berkaitan dengan persoalan gaya hidup, Pierre Bourdieu dalam karyanya berjudul Distinction menjelaskan bahwa, “gaya hidup terbentuk karena sebuah pilihan yang berhubungan dengan selera, posisi seseorang dan sistem klasifikasi kelas dalam ruang sosial” (1986 : 175). Hal ini diperkuat dengan pendapat Alan Warde dan Lydia Martens, “Consumption, it is argued, is precisely one of the field in which decisions are taken to differentiate and distinguish one individual from another” (2003 : 12 - 13). Tersedianya banyak pilihan tempat yang menjual beragam makanan di Yogyakarta, menyebabkan aktivitas eating out atau makan di luar menjadi sebuah gaya hidup bagi masyarakatnya yang memang berasal dari berbagai daerah. Pada akhirnya berpengaruh pula terhadap pola konsumsi yang mereka lakukan. Faktor lainnya adalah bahwa gaya hidup dapat dipengaruhi oleh habitus yang bersifat individual, “lifestyles are thus the systematic products of habitus” (Bourdieu, 1984 : 178). Hal ini juga berkaitan dengan selera, lingkungan sosial dan kepemilikan modal. Tindakan memilih suatu jenis makanan atau tempat makan tertentu, mereka gunakan untuk membuat distingsi berdasarkan selera masing – masing.
7
Mereka juga melakukan pembedaan antar jenis makanan, yaitu Italia dengan jenis makanan lainnya, seperti makanan Indonesia, Jepang dan fast food Amerika. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mengkaji bagaimana aktivitas eating out menjadi gaya hidup di kalangan anak muda Yogyakarta, direlasikan dengan konsumerisme dan glokalisasi, dengan objek penelitian di kedai pizza Nanamia Pizzeria dan Il Mondo. Anak muda yang saya maksud disini adalah mereka yang berusia antara 20 – 30 tahun, masih mahasiswa atau sudah memiliki pekerjaan tetap, berdomisili di Yogyakarta, gemar melakukan eating out dan aktif di jejaring sosial.
1.2.
Alasan Memilih Nanamia Pizzeria dan Il Mondo Yogyakarta sebagai Objek Penelitian Di Yogyakarta terdapat banyak tempat makan yang menawarkan
berbagai jenis makanan, suasana dan fasilitas untuk konsumennya. Mereka dapat memilih sesuai dengan keinginan dan selera masing – masing. Berbicara dalam konteks penelitian ini, ada beberapa tempat makan yang menjual makanan Italia. Sebut saja Pastagio, Zango, Parsley, Mediterania, Aglioo dan Kmeal’s, namun tempat ini menjual berbagai jenis makanan. Disana tidak hanya menu makanan Italia saja, seperti pizza dan pasta namun ada jenis makanan lain, yaitu steak, sushi dan sate. Nanamia Pizzeria dan Il Mondo hadir dengan membawa konsep yang berbeda. Kedua tempat ini fokus pada menu makanan Italia dan Italianisitas, walaupun tetap memiliki perbedaan. Di Nanamia Pizzeria, unsur Italia selain
8
menu makanan dapat terlihat di suasana, setting tempat, bahan makanan yang digunakan, cara memasak dan penamaan menu yang penjelasannya akan saya bahas lebih lanjut di bab IV. Hal lain yang membuat saya memilih Nanamia Pizzeria sebagai objek penelitian adalah slogan yang diciptakan, yaitu “Serves real authentic Italian food for an affordable local price. Come and enjoy the secrets of Italian food in this cozy and warm place with a typical Mediterranean ambience”. Dari kalimat ini, seolah konsumen dijanjikan dengan autentitas keitaliaan yang dimiliki. Saya pun ingin mengetahui sejauh apa autentitas Italia yang dimiliki oleh Nanamia Pizzeria. Il Mondo secara garis besar serupa dengan Nanamia Pizzeria, terutama di menu makanan, bahan – bahan yang digunakan, harga dan cara memasaknya. Hal yang membuat berbeda dapat terlihat dari suasana, bentuk bangunan, setting ruangan dan ornamennya. Saya pun mendapat akses untuk masuk ke dapur Il Mondo, sehingga saya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengamati cara membuat pizza dan berbagai macam bahan baku di dalam makanan Italia yang mereka sajikan. Berdasarkan pengamatan saya, kedua tempat ini selalu ramai dikunjungi konsumen, terutama pada malam hari, karena setelah makanan habis disantap, mereka dapat berbincang dan berinteraksi lebih lama dengan teman atau keluarga. Terkadang mereka sampai memesan makanan atau minuman lagi untuk menemani perbincangan.
9
1.3
Deskripsi tentang Nanamia Pizzeria Nanamia Pizzeria adalah nama untuk sebuah kedai pizza Italia yang ada
di jalan Moses Gathotkaca B. 13 - 14 Yogyakarta. Kedai yang berdiri sejak tanggal 10 September 2007 ini menyajikan pizza yang berbeda dari pendahulunya. Biasanya, pizza yang dijual adalah jenis American Style dengan adonan seperti roti tebal, lembut, tidak renyah dan dipanggang menggunakan oven. Nanamia Pizzeria menyajikan hal berbeda berupa pizza yang tipis, adonan tidak seperti roti dan sangat renyah sesuai dengan di negara asalnya yaitu Italia. Selain itu dari segi tempat pun berbeda, karena pizza gaya Amerika biasanya dijual di restoran mewah dan eksklusif. Nanamia Pizzeria yang berarti kedai pizza milik Nanamia (pemilik). Tempat ini mempunyai konsep tradisional Mediterania, dengan bangunan seperti kedai atau warung kecil. Desain interior dan cara memasaknya juga mengadopsi gaya Mediterania, seperti menggunakan tungku batu dengan bahan bakar kayu di dalam dapur terbuka. Para pengunjung juga dapat mencium aroma pizza saat sedang di bakar oleh pembuatnya sekaligus melihat proses memasaknya. Suasana memang sengaja dibuat nyaman dan “homy”. Penerangannya dibuat redup, agar suasana lebih terasa romantis, lengkap dengan alunan lagu berbahasa Latin yang easy listening, memberikan kesan santai, dan pelayanannya juga ramah. Namun datangnya pesanan agak lama bila dibandingkan dengan restoran fast food, karena pizza dimasak dengan cara tradisional.
10
Konsep yang ditawarkan oleh Nanamia Pizzeria kental sekali dengan nuansa Italia. Tidak hanya terbatas pada menu yang disajikan, musik yang diputar yang berfungsi sebagai atmosfer dan pembawa suasana, namun dapat terlihat dari warna cat yang digunakan, yaitu jingga yang memberikan kesan hangat. Unsur lain yang terlihat adalah dekorasi yang diterapkan, seperti wallpaper dengan gambar salah satu kota di Italia, foto – foto yang memperlihatkan hal khas tentang Italia dan terpampang di beberapa sudut dinding. Properti pendukung berikutnya adalah meja dan kursi yang terbuat dari kayu. Di atas meja konsumen ada booklet daftar menu dengan warna kertas coklat. Lalu ada berbagai bumbu untuk menambah rasa pada makanan, seperti oregano dan cabe kering. Tata lampu yang digunakan Nanamia Pizzeria bercahaya kuning, cenderung temaram, dilengkapi dengan lilin kecil di masing – masing meja konsumen yang menambah suasana hangat dan akrab. Citarasa, cara penyajian pizza dan menu-menu pilihan lain, seperti zuppe, aneka pasta yang terdiri dari Spaghetti, Fettuccine, Penne, Ravioli dibuat menyerupai dengan aslinya di Italia menurut Nana. Minumannya tidak kalah beragam, ada aneka jus, smoothie, lassy dan olahan kopi seperti cappucino, espresso, latte, dan sebagainya. Pemiliknya yaitu Nana adalah seorang arsitek. Hampir keseluruhan dari tampilan Nanamia Pizzeria adalah hasil ide dan karyanya. Ia berusaha untuk menciptakan suasananya senyaman mungkin bagi pengunjung. Ia pun sengaja
11
membiarkan lubang antara dinding agar setiap pengunjung dapat saling melihat walaupun ada di tempat duduk yang berbeda. Walaupun sekarang tempatnya sudah diperpanjang, namun Nana mengatakan tidak ingin memperbesarnya lagi agar suasana intim yang hadir disana tidak memudar.
Gambar 1 : Tungku batu yang digunakan untuk memanggang pizza
Gambar 2 : Suasana Nanamia Pizzeria pada malam hari
12
Gambar 3 : Ruangan di Nanamia Pizzeria
1.3.1
Situasi di Nanamia Pizzeria Jam operasional Nanamia Pizzeria dimulai dari pukul 11.00 – 23.00
WIB. Saat hari kerja (weekday) biasanya memang tidak seramai di akhir pekan, namun selalu saja ada konsumen yang datang menghabiskan waktu untuk makan atau berbincang dengan teman atau keluarga disini. Pada saat siang hari, bertepatan dengan waktu makan siang, konsumen yang datang ke Nanamia Pizzeria terdiri dari mahasiswa, pegawai kantoran yang rata – rata berusia antara 20 - 30 tahun dan datang bersama teman – teman atau rekan kerja. Pada saat saya melakukan observasi di bulan April, terlihat konsumen yang terdiri dari keluarga, membawa anak mereka yang masih kecil, namun itu hanya 3 meja saja. Konsumen yang datang ke Nanamia Pizzeria tidak hanya berasal dari Indonesia saja, namun ada juga orang asing. Hal yang konsumen lakukan setelah makanan dan minuman habis adalah masih duduk di meja dan tetap melanjutkan berbincang dengan teman atau rekan kerja. Ada juga yang berbincang sambil menyantap pizza dan salad yang tersaji di meja. Mereka memanfaatkan tempat dan suasana hangat yang diciptakan oleh 13
Nanamia Pizzeria untuk melakukan interaksi sosial, tidak hanya terbatas pada mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan saja. Jumlah konsumen yang datang ke Nanamia Pizzeria tergantung dengan hari – hari tertentu, misalnya, pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis jumlah konsumen menurun dibandingkan dengan hari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Keadaan tersebut tidak mempengaruhi jumlah konsumen di malam hari yang selalu ramai. Semakin sore, konsumen yang datang semakin beragam, mulai dari keluarga bersama anak–anaknya, pasangan muda mudi dan sekelompok mahasiswa, namun rata-rata memang masih terdiri dari anak muda.
1.4
Deskripsi tentang Il Mondo Kedai pizza Il Mondo berlokasi di Jalan Cendrawasih No. 21 A
Demangan, Yogyakarta. Kedai ini berdiri sejak tahun 2010, menyuguhkan konsep resto yang sangat unik, yaitu konsep tradisional bergaya Italia yang sudah di adaptasi dengan budaya Jogja. Hal ini dapat terlihat saat konsumen memasuki kedai. Mereka akan disambut oleh dapur yang berada di bagian depan, bahkan dapat secara langsung melihat proses pembuatan pizza. Nama Il Mondo memiliki arti dunia, dengan harapan agar kedai pizza ini dapat dikenal lebih luas lagi, tidak hanya di Yogyakarta (hasil wawancara dengan Andri, pemilik Il Mondo, pada tanggal 16 Mei 2013) Alat pemanggang pizza yang digunakan berupa tungku batu dengan bahan bakar kayu pohon rambutan, sehingga tak jarang dapat dijumpai ada bagian-bagian pizza yang sedikit gosong, teksturnya unik dan aroma yang khas.
14
Hal ini berbeda dengan restoran pizza yang selama ini kita kenal, menggunakan pemanggang modern dan elektrik (oven) dengan hasil panggangan yang matang merata dan konsisten. Konsep bangunannya menggunakan batu bata merah yang sengaja tidak disemen melainkan ditunjukkan warna dan tekstur aslinya. Meja, kursi dan lantainya pun terbuat dari kayu yang kontras dengan warna batu batanya. Banyaknya lampu temaram yang menempel di dinding dan menggantung di atapatap kedai menciptakan suasana yang hangat. Menu yang ditawarkan beragam seperti pizza, pasta, salad, snack dan kopi. Ruang untuk konsumen Il Mondo dipusatkan di lantai dua. Alasannya adalah untuk memberikan kenyamanan pada konsumen agar tidak merasa terganggu dengan pekerja yang lalu lalang di dapur. Hal yang membedakan dari kedai pizza lain adalah konsep dekorasi dan tata ruangnya yang dapat terlihat dari hiasan dinding berupa poster – poster film barat ditahun 1970 – 1980an yang sengaja di cetak oleh pemiliknya. Alunan musik yang diperdengarkan bukanlah musik latin yang erat dengan Italia, melainkan musik dengan aliran rock and roll. Saat saya melakukan wawancara dengan Mas Andri selaku pemilik Il Mondo, ia mengatakan memang sengaja menampilkan unsur selain Italia agar membedakan diri dari tempat lain yang serupa dan menciptakan kesan semangat kepada setiap konsumen yang makan disana. Pelayanan yang diberikan pun lebih santai karena konsumen dan pekerja dapat berinteraksi sehingga tidak ada jarak.
15
Gambar 4 : Ruangan untuk konsumen di Il Mondo
Gambar 5 : Ruangan di lantai 1 Il Mondo
1.4.1
Situasi di Il Mondo Il Mondo buka setiap hari dan memiliki jam operasional dari pukul
11.00-23.00 WIB. Pada hari – hari biasa (Senin - Kamis), jumlah pengunjung yang datang tidak sebanyak saat akhir pekan (Jum’at - Minggu) atau hari libur. Konsumen yang datang mayoritas adalah anak muda, seperti mahasiswa, anak sekolah dan pasangan muda – mudi, mereka biasanya datang secara berkelompok namun ada juga yang datang hanya berdua saja.
16
Sejak jam pertama buka, konsumen datang kesana untuk makan siang, menjelang sore hanya beberapa orang konsumen saja yang terlihat. Semakin malam, jumlah konsumen yang datang semakin ramai. Untuk menikmati satu porsi pizza, konsumen hanya perlu menunggu selama 15 menit. Tujuannya agar tingkat kematangannya pas dan semua bahan yang digunakan masih terjaga kesegarannya. Menurut Andri, hal yang membuat konsumen betah berada di Il Mondo adalah suasana nyaman, hangat dan bebas, tidak ada sekat yang menghalangi antar meja konsumen. Setelah makanan telah habis disantap, konsumen tetap berada di kursi dan berbincang dengan teman atau keluarga yang makan bersama. Sama seperti Nanamia Pizzeria, selain makanan, mereka juga mengkonsumsi tempat dan suasana yang diciptakan Il Mondo. Saat akhir pekan atau masa liburan, konsumen yang kebetulan ingin makan di
Il Mondo pada malam hari sampai rela menunggu dan masuk ke
waiting list karena memang ramai sekali. Konsumen yang datang pun berasal dari beragam kategori, tidak hanya anak muda saja, namun ada juga keluarga dengan membawa anak – anak mereka.
1.4.1
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan tersebut,
maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :
17
“Bagaimana eating out menjadi gaya hidup di kalangan anak muda Yogyakarta, direlasikan dengan konsumerisme dan glokalisasi di Nanamia Pizzeria dan Il Mondo?”
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian saya ingin mengetahui tentang : 1) penyebab eating out
menjadi salah satu gaya hidup di kalangan anak muda di Yogyakarta, 2) Bagaimana eating out dapat menjadi bentuk konsumerisme dan glokalisasi berdasarkan lokasi penelitian yaitu di Nanamia Pizzeria dan Il Mondo, 3) apa yang dikonsumsi oleh pelaku eating out, 4) bagaimana pelaku eating out melakukan konstruksi identitas menggunakan media sosial.
1.6
Manfaat Penelitian 1.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, khususnya berhubungan dengan gaya hidup yang selama ini telah dilakukan.
2.
Dapat menjadi referensi untuk penelitian – penelitian yang berada dalam wilayah kajian budaya dan media.
1.7
Sistematika Penulisan 1. Bab I Pendahuluan, membahas tentang latar belakang, alasan menjadikan Nanamia Pizzeria dan Il Mondo sebagai objek penelitian, deskripsi, situasi di Nanamia Pizzeria dan Il Mondo, rumusan
18
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. 2.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori, membahas tentang karya tulisan tentang eating out, gaya hidup, konsumerisme dan glokalisasi yang menjadi sumber penting dalam penelitian ini.
3.
Bab III Metodologi Penelitian, membahas metode penelitian yang digunakan, yaitu etnografi untuk mengetahui dan mendapatkan jawaban tentang eating out sebagai gaya hidup, konsumerisme dan glokalisasi. Metode ini dilakukan terhadap informan anak muda yang tinggal di Yogyakarta, pengelola kedai pizza Nanamia Pizzeria dan Il Mondo.
4.
Bab IV Hasil dan Pembahasan, membahas eating out menjadi gaya hidup di kalangan anak muda yang tinggal di Yogyakarta. Hal tersebut dapat dilacak dari hal yang dikonsumsi, mereka tidak lagi mengkonsumsi makanan saja. Gaya hidup juga melibatkan pemikiran Bourdieu, yaitu habitus dan modal. Bahwa tiap pelaku eating out yang menjadi informan dalam penelitian ini memiliki habitus dan modalnya masing – masing sebagai latar belakang mereka melakukan eating out. Eating out juga berhubungan dengan konsumerisme sebagai konstruksi dari pelakunya. Bahwa pelaku eating out di Nanamia Pizzeria dan Il Mondo juga mengkonsumsi suasana, tempat dan unsur Italia sebagai bagian dari glokalisasi yang terjadi. Eating out juga digunakan pelakunya sebagai alat untuk mengkonstruksi identitas. Hal
19
tersebut terlihat dari maraknya penggunaan media sosial untuk mengunggah foto atau informasi yang berhubungan dengan makanan. 5.
Bab V Kesimpulan, berisi simpulan dari hasil penelitian ini, bahwa memang ada relasi antara makanan, konsumsi, gaya hidup, bisnis dan media dalam praktek eating out. Bab ini juga menciptakan istilah baru, yaitu food capture yang berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan informasi tentang makanan di media sosial.
20