BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi karena bakteri semakin hari semakin menjadi masalah kesehatan yang sulit untuk diatasi. Terlebih karena penggunaan antibiotik yang tidak tuntas sesuai aturan pemakaian, serta penggunaan antibiotik yang tidak tepat diagnosa, tidak tepat bakteri penyebab penyakit, dan tidak tepat dosis. Hal ini menimbulkan resistensi bakteri terhadap obat-obat antibiotik yang ada (Prescott et al., 2003; Lamont et al., 2006). Tingginya tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotik juga akan menurunkan suksesnya terapi dengan antibiotik. Di alam, mikroba cenderung hidup berkoloni, menempel pada suatu permukaan dan mensekresi substansi polimer ekstraselular (extracellular polymeric substance, EPS). Kondisi ini disebut biofilm. EPS mengikat beberapa lapis sel mikroba menghasilkan matriks biofilm dan berfungsi sebagai bentuk perlindungan mikroba terhadap pengaruh luar termasuk diantaranya zat-zat antimikroba dan sistem pertahanan tubuh. Hal tersebut menyulitkan senyawa antimikroba untuk memberikan efeknya pada mikroba yang dituju, selain karena sulit menembus hambatan EPS, juga karena mikroba yang tumbuh didalam biofilm diketahui memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan ketika mikroba tersebut berada dalam keadaan planktonik (free floating). Di alam, biofilm ditemukan di plak gigi, paru-paru penderita cystic fibrosis, dan alat-alat kesehatan yang ditanam sebagai implant dalam tubuh misalnya kontak lens,
1
2
artificial joint pada persendian, alat pacu jantung, kateter, IUD dan lain sebagainya (Sardi et al., 2013). Infeksi akibat biofilm merupakan problem utama mengingat komunitas mikroba di dalam matriks biofilm sangat resisten terhadap agen antimikroba. Pada banyak kasus, pengobatan infeksi akibat biofilm mikroba pada implant harus dilakukan dengan cara melepas implant dan menggantinya dengan implant baru, dimana prosedur ini menyita waktu dan biaya tinggi dan acap kali membahayakan nyawa pasien. Hingga saat ini masih sangat sedikit agen kemoterapi yang memiliki kemampuan untuk membunuh mikroba dalam fase biofilm (Donlan, 2002). Salah satu bakteri yang diketahui mampu menghasilkan biofilm adalah Staphylococcus aureus. Bakteri ini termasuk bakteri Gram positif dan patogen pada manusia. Hampir setiap orang pernah mengalami infeksi karena S. aureus, infeksi ringan hingga berat, baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang tergolong ringan misalnya bisul, jerawat, dan infeksi luka. Sedangkan infeksi yang lebih berat adalah pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih (Brooks et al., 2001; Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Timbulnya problem resistensi bakteri dan tingginya angka infeksi bakteri khususnya
yang
disebabkan
oleh
biofilm
S.
aureus
mengakibatkan
ditingkatkannya dosis obat antibiotik yang diperlukan dalam mereduksi biofilm yang akhirnya justru memicu problem resistensi bakteri yang lebih luas dan timbulnya efek samping negatif dari obat-obat antibakteri terhadap pasien.
3
Usaha untuk mengatasi problem infeksi terkait biofilm salah satunya adalah dengan mencari senyawa antibiofilm dari produk alam dan melakukan kombinasi senyawa-senyawa antibakteri yang sudah ada untuk memperoleh aktivitas antibiofilm dari senyawa-senyawa antibakteri yang lebih efektif dan efisien. Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa alam yang dipandang cukup menjanjikan bagi penemuan agen-agen antimikroba baru (Pires et al., 2011). Minyak atsiri kemangi (Ocimum basilicum L. forma citratum Back.) sudah banyak diteliti memiliki aktivitas antimikroba, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Maryati pada tahun 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsirinkemangi memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Pada penelitian oleh Suppakul et al. (2003) menyebutkan bahwa minyak atsiri kemangi menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap sebagian besar bakteri Gram positif dan Gram negatif, serta jamur. Dalam penelitian ini akan ditentukan kemampuan dan dosis hambat minimum minyak atsiri kemangi terhadap pertumbuhan planktonik dan biofilm S. aureus serta dosis kombinasi minyak atsiri dengan beberapa antibiotik seperti eritromisin, kloramfenikol, streptomisin, dan ciprofloksasin. Hal ini ditujukan untuk memperoleh informasi kemungkinan terbentuknya aktivitas sinergisme antara kombinasi antibiotik dengan minyak atsiri uji yang dapat meningkatkan efektivitas penggunaan obat antibakteri dan selanjutnya diharapkan dapat mengurangi tingkat resistensi mikroba dan dapat mengatasi problem yang ditimbulkan oleh biofilm bakteri. Kandungan senyawa pada minyak atsiri uji
4
diketahui dengan melakukan analisa kandungan senyawa minyak atsiri menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS). Penelitian ini pada akhirnya diharapkan diperoleh suatu informasi kemungkinan kombinasi antara antibiotik dengan minyak atsiri kemangi, sehingga untuk selanjutnya dapat dikembangkan sebagai kandidat bahan obat yang potensial dalam penggunaannya untuk mengatasi problem infeksi biofilm bakteri khususnya S. aureus. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, dalam penelitian ini permasalahan penelitian dipersempit menjadi : 1. Bagaimana efektivitas minyak atsiri kemangi terhadap fase planktonik dan biofilm S. aureus ? 2. Apakah kombinasi antibiotik eritromisin, kloramfenikol, streptomisin, dan ciprofloksasin dengan minyak atsiri kemangi akan menunjukkan aktivitas antibiofilm yang lebih tinggi dibanding aktivitasnya dalam bentuk tunggal ?
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu informasi kemungkinan kombinasi antara beberapa antibiotik dengan minyak atsiri kemangi, sehingga untuk selanjutnya dapat dikembangkan sebagai kandidat bahan obat yang potensial dalam penggunaannya untuk mengatasi problem infeksi biofilm bakteri khususnya S. aureus.
5
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui efektivitas minyak atsiri kemangi terhadap fase planktonik dan biofilm S. aureus 2. Mengetahui kombinasi antibiotik eritromisin, kloramfenikol, streptomisin, dan ciprofloksasin dengan minyak atsiri kemangi yang menunjukkan aktivitas antibiofilm lebih tinggi dibanding aktivitasnya dalam bentuk tunggal. E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Tentang Mikrobiologi a. Biofilm Biofilm merupakan bentuk struktural dari sekumpulan mikroba yang dilindungi oleh matriks ekstraseluler yang disebut Extracellular Polymeric Substance (EPS), dimana EPS merupakan produk yang dihasilkan sendiri oleh mikroorganisme tersebut dan dapat melindungi dari pengaruh buruk lingkungan (Prakash et al., 2003). Hal tersebut menyulitkan senyawa antimikroba untuk memberikan efeknya pada mikroba yang dituju, selain karena sulit menembus EPS , juga karena mikroba yang tumbuh di dalam biofilm diketahui memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibanding ketika mikroba tersebut dalam keadaan planktonik (free floating) (Sardi et al., 2013). Pembentukan biofilm diawali dari melekatnya beberapa bakteri yang hidup bebas (sel planktonic) pada suatu permukaan, kemudian membentuk
6
lapisan tipis monolayer biofilm. Pada saat ini, pembelahan berhenti beberapa jam dan terjadi banyak perubahan pada sel planktonik yang menghasilkan transisi sel planktonik menjadi sel dengan fenotip biofilm. Sel biofilm ini akan menghasilkan EPS yang akan melekatkan mereka pada suatu permukaan dan melekatkan satu sama lain untuk membentuk mikrokoloni. Bila sel-sel terus melanjutkan pertumbuhan dan membentuk lapisan yang semakin tebal, maka mikroba yang melekat pada lapisan terdalam permukaan akan kekurangan zat-zat nutrisi dan terjadi akumulasi produk buangan yang bersifat toksik (Donlan, 2002). Pembentukan EPS dalam pembentukan biofilm perlu dihambat agar lapisan biofilm tidak terbentuk. Penghambatan ini dapat dilakukan dengan menghambat quorum sensing agar menghambat aktivasi gen-gen yang dapat mengkode terbentuknya EPS (Hentzer & Givskov, 2003). Mayoritas mikroorganisme tumbuh dalam bentuk biofilm dan bukan dalam bentuk planktonik (melayang-layang bebas, individualistik, dan secara cepat membelah diri). Mereka menempel pada berbagai permukaan baik biotik maupun abiotik yang lembab (Donlan & Costerton, 2002; Costerton et al., 2005). The National Institutes of Health (NIH) menyatakan bahwa biofilm merupakan penyebab mayoritas infeksi pada manusia (Douglas, 2003). Salah satu faktor virulensi S. aureus adalah kemampuannya untuk membentuk biofilm yang dapat menyebabkan peningkatan toleransi terhadap antibiotik dan desinfektan serta resistensi terhadap fagositosis dan sel-sel imunokompeten lain (Hoiby et al., 2010 ; Li et al., 2012).
7
Mikroorganisme yang terlibat dalam biofilm umumnya lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dan terhadap mekanisme pertahanan tuan rumah dibandingkan sel planktonik. Fakta ini membuat biofilm menjadi sumber infeksi progresif (Donlan & Costerton, 2002). b. Staphylococcus aureus
Gambar 1. Bakteri Staphylococcus aureus (Sumber : http://www.bacteriainphotos.com)
Staphylococcus aureus berbentuk bulat atau lonjong (0,8 – 0,9 µm), jenis yang tidak bergerak, tidak bersimpai, tidak berspora dan Gram Positif. Tersusun dalam kelompok (seperti buah anggur). Pembentukan kelompok ini terjadi karena pembelahan sel terjadi dalam tiga bidang dan sel-sel anaknya cenderung untuk tetap berada di dekat sel induknya. Bakteri ini bersifat aerob dan tumbuh baik pada perbenihan sederhana dan temperatur optimum 37 oC dan pH 7,4. S. aureus tahan dipanaskan pada 60 oC selama 30 menit, tahan terhadap merkuri perklorid (sublimat) selama 10 menit, dan bersifat koagulase positif yang membedakan dari spesies lain (Gupte, 1990). Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir setiap
8
orang pernah mengalami berbagai infeksi S. aureus selama hidupnya, infeksi ringan hingga berat, baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang tergolong ringan misalnya bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Sedangkan infeksi yang lebih berat adalah pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus aureus juga dapat menyebabkan infeksi nosokomial, keracunan makanan (Brooks et al., 2001; Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Kemampuan S. aureus dalam menyebabkan penyakit sangat erat kaitannya dengan kemampuannya untuk tumbuh sebagai komunitas biofilm.
c. Media Kultur Media kultur merupakan bahan nutrisi yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang dilakukan di laboratorium. Habitat normal mikroorganisme perlu diketahui karena akan sangat membantu dalam pemilihan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium (Pratiwi, 2008). Media kultur dikelompokkan menjadi dua macam berdasarkan konsistensinya yaitu media cair (liquid media) dan media padat (solid media). Bila media cair merupakan ekstrak kompleks material biologis maka media tersebut dinamakan rich media atau broth. Media padat menggunakan bahan pembeku (solidifying agent), misalnya Agar yaitu suatu kompleks polisakarida yang diperoleh dari alga merah (red algae) (Pratiwi, 2008).
9
Media yang menunjang pertumbuhan berbagai ragam bakteri dan mikroorganisme lain bisa terdiri dari pepton, ekstrak daging, dan terkadang ekstrak khamir dilarutkan dalam air dengan jumlah yang bermacam-macam. Pepton merupakan produk yang dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung protein seperti daging, kasein, dan gelatin, tetapi ada berbagai macam pepton yang berbeda-beda dalam kemampuannya untuk menunjang pertumbuhan bakteri. Pepton ini merupakan sumber utama nitrogen organik yang dapat mengandung vitamin dan terkadang mengandung karbohidrat, bergantung kepada jenis bahan berkandungan protein yang dicernakan. Ekstrak daging sapi merupakan suatu ekstrak jaringan sapi yang dikonsentrasikan menjadi pasta, mengandung karbohidrat, senyawa nitrogen organik, vitamin yang larut air, dan garam-garaman. Ekstrak khamir adalah suatu ekstrak cair sel khamir, tersedia secara komersial dalam bentuk bubuk, ekstrak khamir ini merupakan sumber vitamin B, juga mengandung nitrogen organik dan senyawa-senyawa nitrogen (Pelczar & Chan, 1986). d. Sterilisasi Metode sterilisasi secara fisik dapat dilakukan menggunakan sterilisasi panas. Sterilisasi panas merupakan metode yang paling dapat dipercaya dan banyak digunakan untuk bahan yang tahan panas. Metode sterilisasi panas dengan menggunakan uap air disebut metode sterilisasi panas lembab atau sterilisasi basah. Metode sterilisasi panas tanpa kelembapan (tanpa menggunakan uap air) disebut metode sterilisasi panas kering atau sterilisasi kering (Pratiwi, 2008).
10
Salah satu metode sterilisasi adalah dengan menggunakan metode panas basah, biasanya menggunakan autoklaf. Autoklaf merupakan teknik sterilisasi menggunakan uap air disertai dengan tekanan. Ruangan di dalam autoklaf mampu menahan tekanan di atas 1 atm. Peningkatan tekanan menjadi 1,5 atm dan suhu 121 o C dapat dilakukan dengan cara menggantikan udara yang ada di ruang autoklaf dengan uap air lalu ditutup rapat sehingga suhu dan tekanan dapat meningkat. Pada waktu 10 – 12 menit dapat pula mematikan bentuk spora (Chatim & Suharto, 1994). Prinsip autoklaf adalah terjadinya koagulasi yang lebih cepat dalam keadaan basah dibandingkan keadaan kering. Proses sterilisasi dengan autoklaf dapat membunuh mikroorganisme dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel mikroorganisme. Proses ini juga dapat membunuh endospora bakteri (Pratiwi, 2008). Sterilisasi secara kimia dapat menggunakan alkohol. Alkohol mendenaturasi protein dengan jalan dehidrasi dan juga merupakan pelarut lemak. Membran sel dapat dirusak karena hal tersebut dan enzim-enzim akan dinonaktifkan oleh alkohol. Terdapat tiga jenis alkohol yang sering dipergunakan yaitu metanol, CH3OH; etanol, CH3CH2OH; dan isopropanol, (CH3)2CHOH. Semakin tinggi berat molekulnya, semakin meningkat pula daya bakteriosidnya (Chatim & Suharto, 1994). Sinar ultraviolet (sinar UV) dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme diudara. Panjang gelombang yang dapat membunuh mikroorganisme adalah antara 220-290 nm. Faktor penghambat dari sinar UV
11
ini adalah daya penetrasinya yang lemah. Hasil yang lebih baik dapat diperoleh dengan cara bahan-bahan yang akan disterilkan, baik yang berupa cairan, gas, atau aerosol harus dilewatkan (dialirkan) atau ditempatkan langsung dibawah sinar UV dalam lapisan-lapisan yang tipis (Chatim & Suharto, 1994).
e. Uji Aktivitas Antimikroba Secara in vitro dapat dilakukan pengukuran aktivitas antimikroba, hal ini
untuk
menentukan
konsentrasinya
dalam
potensi cairan
agen
tubuh
antimikroba atau
jaringan,
dalam dan
larutan, kepekaan
mikroorganisme terhadap suatu obat. Aktivitas antimikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pH lingkungan, komponen media, stabilitas obat, ukuran inokulum, dan waktu inkubasi (Brooks et al., 2001). Uji aktivitas antimikroba ini diukur respon pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Assay antimikroba (termasuk antibiotik dan substansi antimikroba nonantibiotik, misalnya fenol, bisfenol, aldehid) memiliki tujuan untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa antimikroba di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau manusia, dan untuk memonitor serta mengontrol kemoterapi obat. Uji antimikroba memiliki keuntungan yaitu diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Pratiwi, 2008).
12
f. Uji Penghambatan Pembentukan Biofilm Metode uji antimikroba terdapat berbagai macam salah satunya adalah metode dilusi. Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan difusi padat (solid dilution). Metode dilusi cair / broth dilution test (serial dilusi) ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bacteriocidal concentration atau kadar bunuh minimum, KBM), sedangkan metode dilusi padat atau solid disolution test serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid), keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008). Kini terdapat cara dilusi yang sederhana dan banyak dipakai yakni menggunakan microdilution plate (mikrodilusi cair). Mikrodilusi cair merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji penghambatan pembentukan biofilm dari suatu mikroba. Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap dengan media cair. Kemudian diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan (Brooks et al., 2001). Metode mikrodilusi ini dapat menggunakan microplate polystirene Ubottom 96-well, metode pengukurannya menggunakan matrix quantification assay yang didasarkan pada pewarnaan spesifik komponen-komponen matriks menggunakan kristal violet. Keuntungan dari metode mikrodilusi cair
13
ini adalah bahwa uji ini memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri (Peeters et al,. 2007; Brooks et al., 2001). 2. Uraian Tentang Antibiotik Antibiotik merupakan suatu substansi kimia yang diperoleh dari atau dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang lainnya. Sekian banyak antibiotik yang berhasil ditemukan hanya beberapa saja yang cukup tidak toksik untuk dapat dipakai dalam pengobatan. Antibiotik yang baik sebaiknya memiliki sifat dapat menghambat atau membunuh mikroba patogen tanpa merusak inang, bersifat bakteriosid dan bukan bakteriostatik, tidak menyebabkan resistensi pada kuman berspektrum luas. Antibiotika mempunyai mekanisme kerja yang mampu mengganggu bagian-bagian yang peka di dalam sel, yaitu : 1. mempengaruhi sintesis dinding sel; 2. mengganggu fungsi atau merusak membran sel; 3. menghambat sintesis protein; 4. metabolisme asam nukleat; 5. metabolisme intermediate. (Chatim & Suharto, 1994)
14
a. Eritromisin
Gambar 2. Struktur Eritromisin (Brooks et al., 2001)
Eritromisin diperoleh dari Streptomyces erithreus dan mempunyai rumus kimia C37H67NO13. Eritromisin berikatan dengan reseptor (23S rRNA) pada subunit 50S ribosom bakteri. Obat ini menghambat sintesis protein dengan mengganggu reaksi translokasi dan pembentukan senyawa pemula. Aktivitas eritromisin meningkat pada pH alkali, pada konsentrasi 0,1–2 mg/mL aktif melawan bakteri gram positif diantaranya pneumokokus, streptokokus dan korinebakteri. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia trachomatis, Legionella pneumophila, dan Campylobacter jejuni. Varian yang resisten terjadi pada populasi mikrobia yang peka dan cenderung muncul selama pengobatan, khususnya infeksi stafilokokus. Eritromisin dapat menjadi pilihan sebagai ganti terhadap penisilin pada keadaan alergi. Eritromisin stearat, suksinat atau estolat yang diberikan secara oral empat kali sehari, memberi kadar serum 0,5-2 mg/mL. Bentuk lain diberikan secara intravena (Brooks et al., 2001).
15
Tergolong antibiotik makrolid, dapat bersifat bakteriostatik atau bakteriosid yang merupakan obat pilihan terhadap Mycoplasma dan penyakit
legioner.
Bermanfaat
juga
untuk
infeksi-infeksi
karena
stafilokokus, streptokokus grup A dan pneumokokus, terutama bila penderitanya peka terhadap penisilin (Chatim & Suharto, 1994). b. Kloramfenikol
Gambar 3. Struktur Kloramfenikol (Brooks et al., 2001)
Kloramfenikol secara alami dihasilkan dari kultur Streptomyces venezuelae tapi sekarang dapat dibuat secara sintetik. Kloramfenikol berbentuk kristal yang merupakan senyawa stabil yang diabsorbsi secara cepat dari saluran gastrointestinal, didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk mudah masuk ke sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal. Sebagian besar obat dinonaktifkan dalam liver melalui konjugasi dengan asam glukoronat (glucuronic acid) atau melalui reduksi menjadi arilamin yang inaktif. Ekskresi terutama dalam urin, 90% merupakan bentuk inaktif. Kloramfenikol merupakan penghambat yang kuat terhadap sintesis protein pada mikroorganisme. Obat ini memblokir ikatan asam amino pada rantai peptida yang mulai timbul pada unit 50S ribosom dengan mengganggu kerja peptidyl transferase. Resistensi terhadap
16
kloramfenikol disebabkan perusakan obat oleh enzim (Cloramfenicol acetyltransferase) (Brooks et al., 2001). Antibiotik kloramfenikol ini bersifat bakteriostatik, aktif terhadap sejumlah bakteri Gram positif dan Gram negatif, riketsia dan klamidia. Terutama dipakai untuk infeksi anaerobik, meningitis karena Haemophilus influenzae dan infeksi karena Salmonella typhi (Chatim & Suharto, 1994). c. Streptomisin Streptomisin merupakan aminoglikosida pertama yang ditemukan pada tahun 1940 sebagai produk Streptomyces griseus. Streptomisin bisa bakteriosidal
untuk
enterokokus
(misalnya
pada
endokarditis)
jika
digabungkan dengan penisilin. Efektivitas terapetik streptomisin menurun akibat timbulnya mutan resisten secara cepat. Semua mikrobia menghasilkan mutan resisten kromosomal terhadap streptomisin dengan frekuensi yang relatif tinggi. Mutan kromosom terjadi perubahan pada reseptor di P 12 pada subunit 30S ribosom. Resistensi yang diperantarai plasmid, mengakibatkan perusakan obat secara enzimatik. Enterokokus resisten tingkat tinggi (High level resistance) terhadap streptomisin (2000 mg/mL) atau gentamisin (500 mg/mL) juga resisten terhadap efek sinergis obat ini dengan penisilin (Brooks et al., 2001).
17
Gambar 4. Struktur Streptomisin (Anonim, 2015)
Streptomisin bersifat bakteriosid terhadap sejumlah besar bakteri Gram positif dan Gram negatif serta terhadap Mycobacterium tuberculosis (Chatim & Suharto, 1994). d. Ciprofloksasin
Gambar 5. Struktur Ciprofloksasin (Brooks et al., 2001)
Ciprofloksasin merupakan antibiotik golongan kuinolon turunan fluorinasi generasi kedua. Aktivitas pada bakteri Gram positif dan Gram negatif, mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar daripada generasi
18
sebelumnya dan toksisitas rendah serta mencapai kadar darah dan jaringan yang cukup untuk pemakaian klinis (Brooks et al., 2001). Antibiotik fluorokuinolon dibuat tahun 1980, contohnya adalah norfloksasin dan ciprofloksasin yang berspektrum luas dan mampu mempenetrasi jaringan. Ciprofloksasin dan norfloksasin terikat pada subunit β enzim DNA girase dan mengeblok aktivitas enzim yang esensial dalam menjaga supercoiling DNA dan penting dalam proses replikasi DNA. Mutasi pada gen pengkode DNA girase menyebabkan diproduksinya enzim yang aktif namun tidak dapat diikat oleh fluorokuinolon (Pratiwi, 2008). e. Terapi kombinasi antibiotik Kesuksesan pengobatan infeksi terkait biofilm yang dihasilkan oleh S. aureus sangat dibutuhkan dalam praktek klinis. Penggabungan obat antibiotik mulai direkomendasikan sebagai sarana untuk meningkatkan keberhasilan dalam pengobatan berbagai infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik secara kombinasi (dua antibiotik yang digunakan secara bersama-sama) dapat mempengaruhi kerja dari masing-masing antibiotik. Kombinasi antibiotik tersebut dapat bersifat antagonis dan dapat pula bersifat sinergis. Kombinasi antibiotik sering kali diberikan dalam perbandingan tetap dengan tujuan menambah kerja terapeutiknya tanpa menambah sifat buruknya untuk mencegah timbulnya resistensi bakteri (Pratiwi, 2008).
19
3. Uraian Tentang Tanaman Kemangi
Gambar 6. Daun Kemangi (Sumber : Anonim, 2015)
a. Klasifikasi Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Labiatae
Marga
: Ocimum
Jenis
: Ocimum basilicum L. (Depkes, 2001)
b. Deskripsi Habitus
: Semak, semusim, tinggi ±60 cm
Batang
: Berkayu, bulat, bercabang
Daun
:Tunggal, berhadapan, bulat telur, panjang 1 – 5 cm, lebar 6– 30 mm, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi, berbulu, pertulangan menyirip, hijau.
20
Bunga
:Majemuk, bentuk malai, daun pelindung bentuk elips, 510 mm, hijau, kelopak bentuk ginjal, berambut, kelopak tambahan bentuk tabung, berambut tebal, bertajuk empat, panjang ±5 mm, benang sari empat, putih, kepala sari kuning kecoklatan, putik bercabang dua, ungu, kepala putik putih, mahkota berbibir dua, putih.
Buah
: Kotak, coklat
Biji
: Keras, bulat telur, diameter ±1 mm, hitam
Akar
: Tunggang, putih kotor. (Depkes, 2001)
c. Khasiat dan Kegunaan Daun Kemangi Daun Ocimum basilicum L. berkhasiat sebagai peluruh kentut, peluruh haid, peluruh air susu ibu, obat demam, obat sariawan dan obat mual. Bijinya berkhasiat sebagai obat kencing nanah (Depkes, 2001). Minyak atsiri daun kemangi (Ocimum basilicum L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dengan nilai KBM 0,5 % v/v dan E. coli dengan nilai KBM 0,25 % v/v (Maryati et al., 2007). d. Kandungan Kimia Daun kemangi (Ocimum basilicum L.) mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid dan tanin, sedangkan bijinya mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Depkes, 2001). Minyak atsiri daun kemangi tersusun dari senyawa hidrokarbon, alkohol, ester, fenol (eugenol 1,19 %,
21
iso-eugenol), eter fenolat (metil clavicol 3,31 %, metil eugenol 1,9 %), oksida dan keton (Maryati et al., 2007). 4. Minyak atsiri Minyak atsiri (essential oil atau volatile oil) merupakan minyak yang mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami perubahan komposisi, larut dalam pelarut organik, memiliki komposisi yang berbeda-beda sesuai dengan sumber penghasilnya. Dalam keadaan segar dan murni minyak atsiri umumnya tidak berwarna, namun pada penyimpanan yang lama warnanya berubah menjadi lebih gelap (Gunawan & Mulyani, 2004). Minyak atsiri dapat diperoleh melalui 3 metode yaitu penyulingan atau destilasi, ekstraksi dan melalui pengepresan atau penekanan (Ketaren, 1985). Minyak atsiri dapat diuji efektivitas destilasinya meliputi organoleptis, penetapan indeks bias, penetapan bobot jenis serta dapat dilakukan
analisis
kandungan
senyawa
dengan
menggunakan
metode
kromatografi gas, sehingga dapat diketahui komponen-komponen yang ada dalam minyak atsiri tersebut (Depkes RI, 1979). Komponen minyak atsiri daun Ocimum basilicum L. yang berhasil diidentifikasi : xilena (campuran para, meta dan ortho), 6-metil-5-hepten-2-ol, linalool, neral (β-sitral), α-terpineol, geranial (α-sitral), α-humulena (α-kariofilena) dan geraniol, dengan komponen utama geranial (α-sitral), sitral, terpen, dan fenolik. Minyak atsiri daun kemangi juga mampu menghambat pertumbuhan S. aureus, E. coli, Bacilus cereus, Pseudomonas fluorescens, Aspergillus flavus, Candida albicans, Streptococcus alfa, dan B. subtilis (Sudarsono et al., 2002).
22
5. Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS) Gas pemisahan
Chromatography-Mass senyawa
organik
Spectrometry
menggunakan
dua
(GCMS) metode
adalah analisis
metode yakni
kromatografi gas untuk menganalisis jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa untuk menganalisis struktur molekul senyawa analit (Agusta, 2000).
Kromatografi
gas
adalah
metode
kromatografi
pertama
yang
dikembangkan pada zaman instrumen dan elektronika yang telah merevolusikan keilmuan selama lebih dari tiga puluh tahun. Sekarang kromatografi gas dipakai secara rutin di sebagian besar laboratorium industri dan perguruan tinggi. Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di dalam kolom. Waktu tambat diukur dari jejak pencatat pada kromatogram dan serupa dengan volume tambat dalam KCKT dan Rf dalam KLT. Kekurangan kromatografi gas adalah bahwa ia tidak mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam jumlah besar. Fase diam pada kromatografi gas biasanya berupa cairan yang disaputkan pada bahan penyangga padat yang lembam (kromatografi gas-cair), bukan senyawa padat yang berfungsi sebagai permukaan yang menjerap (kromatografi gas-padat) (Gritter, 1991). Spektroskopi massa adalah metode analisis untuk mendapatkan berat molekul dengan mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion muatan
23
yang diketahui, dengan mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam medan magnetik seragam (Sastrohamidjojo, 1991). Instrumen yang digunakan dalam sistem GCMS yakni gas pembawa, kolom, fase diam, suhu, dan detektor. Gas pembawa yang digunakan harus tidak reaktif, murni, kering, mudah diperoleh, dan dapat disimpan dalam tangki tekanan tinggi. Gas pembawa biasanya mengandung gas helium, nitrogen, hidrogen, atau campuran argon dan metana. Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis detektor yang digunakan. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya terdapat fase diam. Ada dua jenis kolom yaitu kolom kemas (packing column) dan kolom kapiler (capillary column). Kolom kemas terdiri atas fase cair yang tersebar pada permukaan penyangga yang lembam (inert) yang terdapat dalam tabung yang relatif besar (diameter dalam 1-3 mm). Fase diam hanya dilapiskan pada penyangga. Kolom kapiler jauh lebih kecil (0,02-0,2 mm) dan dinding kapiler bertindak sebagai penyangga lembam untuk fase diam cair. Fase diam yang digunakan dapat bersifat polar, semi polar, atau non polar. Jenis fase diam akan menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran senyawa. Pemisahan dapat dilakukan pada suhu tetap yang disebut pemisahan isotermal dan dapat dilakukan pada suhu berubah secara terkendali yang disebut pemisahan suhu terprogram. Pemisahan suhu terprogram dapat meningkatkan resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran yang mempunyai titik didih pada kisaran yang luas (Gandjar & Rohman, 2009). Detektor yang digunakan dalam sistem GCMS harus stabil dan tidak merusak analit. Spektrometer massa
24
berfungsi sebagai detektor dalam GCMS yang terdiri dari sistem ionisasi dan sistem analisis. Dari analisis GCMS akan diperoleh dua data berupa kromatogram dan spektrum massa. Spektrum massa hasil analisis dibandingkan dengan spektrum massa yang terdapat dalam bank data seperti WILEY 229 library atau NIST (National Institute Standard of Technology) library (Agusta, 2000).
F. Landasan Teori Mikroba yang terdapat dalam bentuk biofilm umumnya lebih tahan terhadap antimikroba dibandingkan bentuk planktonik sel mikroba dan juga terhadap mekanisme pertahanan tuan rumah. Fakta ini membuat mereka menjadi sumber infeksi progresif. Uji penghambatan biofilm sendiri dapat dilakukan dengan menekankan pada pencegahan terbentuknya biofilm dan mendegradasi biofilm yang sudah terbentuk. Mekanisme pembentukan biofilm itu sendiri masih belum jelas. Hanya saja dikatakan bahwa biofilm yang terbentuk akan melindungi mikroba yang hidup di dalamnya terhadap pengaruh dari luar. Hal tersebut menyulitkan senyawa antimikroba untuk memberikan efeknya pada mikroba yang dituju selain karena sulitnya menembus barier tersebut, juga karena mikroba yang tumbuh di dalamnya memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan mikroba tersebut dalam keadaan planktonik (Donlan & Costerton, 2002). Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa alam yang dipandang cukup menjanjikan bagi penemuan agen-agen antimikroba baru (Pires et al., 2011). Minyak atsiri sudah banyak diteliti memiliki aktivitas antimikroba, misalnya seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Maryati pada tahun 2007 yang
25
menyatakan minyak atsiri daun kemangi memiliki aktivitas antimikroba, hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri daun kemangi memiliki aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Suppakul et al. (2003) menyebutkan bahwa minyak atsiri daun kemangi menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap sebagian besar bakteri Gram positif dan Gram negatif, serta jamur. Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi memiliki keuntungan yaitu melalui efek sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi selain dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama jika keduanya memiliki mekanisme aksi yang berbeda tetapi saling mendukung (Li & Tang, 2004). Penelitian yang telah dilakukan oleh Saginur et al. (2006) menunjukkan bahwa kombinasi antimikroba dapat meningkatkan kepekaan mikroba dalam biofilm. Penggunaan beberapa minyak atsiri dalam campuran dapat meningkatkan efektivitas antimikroba, sebagaimana dilaporkan oleh Pan et al. (2003) dan Ouhayoun (2003). Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kemungkinan sinergisme antara minyak atsiri uji dengan beberapa antibiotik dalam menghambat pembentukan biofilm S. aureus.
26
G. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1. Minyak atsiri kemangi menghambat pertumbuhan fase planktonik dan biofilm S. aureus 2. Kombinasi antibiotik eritromisin, kloramfenikol, streptomisin dan ciprofloksasin dengan minyak atsiri kemangi diprediksi memiliki aktivitas antibiofilm terhadap
S. aureus yang lebih tinggi dibanding
aktivitasnya dalam bentuk tunggal.