BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebutuhan permintaan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, sehingga menyebabkan pemotongan sapi dari berbagai jenis juga semakin meningkat. Dalam usaha meningkatkan produksi dan produktivitas sapi potong, kontrol terhadap pemotongan sapi-sapi betina adalah sangat penting peranannya terhadap perkembangan populasi, sehingga kelestarian populasi dapat dijaga dengan baik. Yang dimaksud pemotongan sapi-sapi betina ini adalah sapi-sapi betina dalam strata umur produktif yaitu umur satu tahun sampai dengan umur dibawah delapan tahun, strata umur ini merupakan kondisi pencapaian laju produksi puncak sapi betina untuk menghasilkan produksi terbaik (Suswono, 2009). Peranan RPH disini sangat penting dalam proses penyediaan daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Fungsi dari RPH ini tidak hanya melakukan penyembelihan namun juga merupakan tempat seleksi dari ternak yang akan disembelih (pemeriksaan ante-mortem), proses penyembelihan hewan dan proses penanganan daging sehingga daging yang keluar dari RPH merupakan daging yang memiliki kualitas yang baik dan aman untuk dikonsumsi masyarakat (Febrianta, 2009). RPH selain untuk kendali penyakit hewan yang bersifat
1
2
zoonosis, memudahkan distribusi daging hasil pemotongan dan kendali lingkungan yang baik dari limbah pemotongan, sebenarnya juga merupakan tempat pengendali tidak dipotongnya sapi-sapi betina produktif. Tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi kasus pemotongan sapi-sapi betina produktif. Sapi potong pada umur produktif boleh dipotong dengan syarat antara lain, cacat fisik dan tidak dapat difungsikan dengan baik seperti patah tulang kaki dan disfunsional organ reproduksi. Pelanggaran pemotongan sapi betina produktif adalah pelanggaran peraturan-peraturan yang telah digariskan, hal ini disebabkan peraturan yang kurang benar, baik oleh petugas pemegang hak dan pemilik ternak (Soejosopoetro, 2008.). Pemeriksaan ante-mortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan fisik. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan sehat nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak biasa berjalan menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya lancar tanpa menunjukkan gejala kesakitan (Hayati dan Choliq, 2009). Petugas yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan ante-mortem adalah dokter hewan atau pemeriksa daging dibawah petugas berwenang dari pemerintah (Dinas Peternakan). Pemeriksaan dilakukan pada hari pemotongan atau sehari sebelumnya. Para dokter dan petugas inilah yang berhak menentukan apakah hewan dapat dipotong atau tidak (Suardana dan Swacita, 2008). Hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya pemotongan sapi betina produktif di RPH ( Rumah Pemotongan Hewan ) Pesaggaran, di karenakan
3
kurangnya pasokan sapi yang masuk, sementara permintaan akan daging di masyarakat semakin meningkat maka jalan yang di pilih oleh penjagal di RPH adalah untuk memotong sapi betina produktif. Faktor lain yaitu karena harga sapi betina yang lebih murah dari sapi jantan. Di sisi lain pada peternak sapi berskala kecil di masyarakat yang menjual sapi betina masih produktif karena kendala desakan biaya hidup. Untuk itu sebagai intelegent peternakan harus menemukan solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang menghambat tercapainya program swasembada daging sehingga kebutuhan pangan akan protein dari daging sapi di dalam negeri tercapai dan dapat mensejahterakan kehidupan rakyat (Hapid, 2008). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah rasio pemotongan sapi betina dan sapi jantan termasuk sapi betina produktif
yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan
Pesanggaran. 2. Bagaimanakah kondisi kesehatan sapi-sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran ? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimanakah rasio pemotongan sapi betina dan sapi jantan termasuk sapi betina produktif yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran. 2. Untuk mengetahui kondisi kesehatan sapi-sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran.
4
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : 1. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai rasio pemotongan sapi betina dan sapi jantan serta ada tidaknya pemotongan sapi betina bibit, produktif dan bunting di Rumah Pemotongan Hewan Pesanggran. 2. Diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi sapi bali yang dipotong di RPH Pesanggaran dan kualitas daging sapi yang diproduksi. 3. Dapat dijadikan tolak ukur evaluasi kerja dan kinerja RPH Pesanggaran dalam menyediakan daging sapi yang ASUH. 1.5 Kerangka Konsep Kebutuhan akan daging sangat tinggi karena daging merupakan bahan pangan hewani yang mempunyai gizi tinggi dan mengandung sumber protein, vitamin B komplek serta mineral khususnya zat besi. Protein asal daging mengandung asam amino esensial yang lengkap sehingga baik digunakan sebagai sumber protein hewani dalam perbaikan gizi (Hadiwiyoto, 1983). Kualitas daging penting untuk diketahui oleh konsumen dan bagi mereka yang berkecimpung dalam pengelolaan daging (Arka, 1988). Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong bagi konsumsi masyarakat (Manual Kesmavet, 1993). Untuk memenuhi hal tersebut, dituntut suatu RPH yang berkualitas dan
5
dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk menghasilkan daging yang ASUH. Oleh karena itu daging yang dihasilkan oleh RPH Pesanggaran harus memenuhi syarat sehat dan aman. Pemeriksaan ante-mortem yang meliputi jumlah sapi yang dipotong, kesehatan sapi, kelainan, pemeriksaan umur dan pemeriksaan kebuntingan. Pemeriksaan ante-mortem adalah pemeriksaan ternak dan unggas potong sebelum disembelih. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan dengan mengamati dan mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak yang dipotong, perkiraan umur, kesehatan dan kelainan. Adapun maksud pemeriksaan ante-mortem adalah agar ternak yang akan disembelih hanyalah ternak yang sehat, normal dan memenuhi syarat. Sebaliknya, ternak yang sakit hendaknya ditolak untuk dipotong. Tujuan dari pemeriksaan ante-mortem adalah agar daging yang akan dikonsumsi masyarakat adalah daging yang benar-benar sehat dan bermutu (Suardana dan Swacita, 2008). Hasil akhir pemeriksaan ini dapat dibagi tiga kelompok : (1) ternak yang dipotong secara reguler adalah ternak yang sehat, normal dan memenuhi syarat normal, (2) ternak yang ditolak untuk dipotong yaitu ternak yang menderita suatu penyakit menular, masih produktif dan betina bunting, (3) ternak yang dipotong darurat yaitu ternak yang menderita kelainan lokal seperti fraktur, abses, neoplasma dan ternak yang kondisinya meragukan perlu pemeriksaan lebih lanjut (Arka dkk, 1992).
6
Salah satu faktor penyebab terhambatnya pengembangan usaha peternakan sapi potong di Indonesia adalah sistem manajemen yang dilakukan masih bersifat tradisional, karena masih terbatasnya sumber daya yang dimiliki oleh peternak. Peternak kebanyakan memelihara ternak sebagai usaha sampingan yang berfungsi sebagai tabungan disaat mereka memerlukan uang, sehingga disinyalir masih banyak dijumpai penjualan dan pemotongan sapi betina yang masih dalam umur produktif yang tidak hanya melanggar undang-undang tetapi juga menghambat peningkatan populasi sapi potong. Jumlah sapi betina akan menurun sehingga pedet yang dihasilkan akan menurun dan jumlah pemotongan sapi betina produktif di RPH Pesanggaran akan terus terjadi, termasuk kemungkinan adanya pemotongan sapi betina produktif, atau yang sedang bunting di RPH Pesanggaran.