BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang harus ditangani dengan serius. Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, balita merupakan periode emas dalam kehidupan anak yang dicirikan oleh pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung pesat serta rentan terhadap kekurangan gizi (Hanum, 2014). Air Susu Ibu merupakan sumber gizi yang paling sempurna, baik kualitas maupun kuantitasnya dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI bukan sekedar sebagai makanan melainkan juga sebagai suatu cairan yang terdiri dari sel-sel yang hidup (seperti darah). ASI mengandung sel darah putih, antibodi, hormon, faktor-faktor pertumbuhan, enzim, serta zat yang dapat membunuh bakteri dan virus. Menggunakan tatalaksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan (Roesli, 2005). ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif untuk bayi yang berusia kurang dari 6 bulan secara global dilaporkan kurang dari 40%. Secara nasional cakupan ASI 1
2
untuk bayi sampai umur 6 bulan mengalami fluktuasi, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan cakupan ASI eksklusif bayi 0-6 bulan pada tahun 2002 sebesar 40%, tahun 2007 sebesar 32%, dan tahun 2012 sebesar 42%. Sementara itu pemberian susu formula terus mengalami peningkatan, terhitung pada 2007 sebesar 28% meningkat menjadi 29% pada tahun 2012 (Roesli, 2005; Depkes, 2014b). Mengacu pada target program tahun 2014 sebesar 80%, maka secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 52,3% belum mencapai target. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi tahun 2014 cakupan ASI Eksklusif di Jawa Tengah sebesar 60%. Di Kota Surakarta yang tertuang dalam Profil Kesehatan Kota Surakarta tahun 2014 sebesar 67,7%. Berdasarkan data Posyandu pada tahun 2014 di Wilayah Kerja Puskesmas Ngoresan, jumlah bayi usia 0-6 bulan yang diberi ASI eksklusif berjumlah 146 bayi dari total 268 bayi, artinya 54,5% bayi usia 0-6 bulan diberi ASI eksklusif dan 45,5% sudah diberikan makanan atau minuman selain ASI (Depkes, 2014a; Dinkes Surakarta, 2014). Pemberian ASI eksklusif sejak lahir pada anak akan mempengaruhi masukan zat gizi anak sehingga pertumbuhan anak juga akan berpengaruh. Dengan pemberian MPASI dini maka konsumsi energi dan zat gizi dari ASI akan menurun yang berdampak pada kegagalan pertumbuhan bayi dan anak (Fikawati et al., 2015). Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orangtua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh
3
kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada usia emas ini bersifat irreversible (tidak dapat pulih) (Marimbi, 2010). Status gizi erat kaitannya dengan pertumbuhan sehingga untuk mengetahui pertumbuhan bayi, perlu memperhatikan status gizinya. Menurut Riskesdas (2013), terdapat 5,7% balita dengan gizi buruk, 13,9% berstatus gizi kurang, dan 4,5% balita dengan gizi lebih. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %), prevalensi kekurangan gizi pada balita tahun 2013 terlihat meningkat. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Surakarta tahun 2014 dari 35.741 terdapat angka gizi kurang pada balita sebanyak 923 (2,6%) dan gizi lebih sebanyak 646 (3,7%). Data di Puskesmas Ngoresan pada tahun 2014 terdapat balita dengan status gizi kurang sebesar 3,3% dan gizi lebih sebesar 2,3% (Dinkes Kota Surakarta, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bayi usia 4-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ngoresan, memberikan gambaran sebagai berikut: ditemukan 15 bayi dengan status gizi tidak normal, terdiri dari 1 bayi dengan gizi lebih dengan riwayat pemberian ASI eksklusif dan 14 bayi dengan gizi kurang terdiri dari 6 bayi dengan riwayat pemberian ASI eksklusif dan 8 lainnya sudah diberikan MPASI. Peneletian tentang ASI pernah dilakukan oleh Drawisuda (2013) dengan judul “Hubungan Masa Pemberian ASI dengan Status Gizi Bayi Usia 6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Mojosongo Surakarta” dengan hasil bahwa tidak ada hubungan antara masa pemberian ASI dengan status
4
gizi bayi usia 6 bulan. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian saat ini adalah pada subyek, tempat, waktu penelitian, dan tipe variabel yang diteliti. B. Perumusan Masalah Adakah hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi pada bayi usia 4-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ngoresan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi pada bayi usia 4-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ngoresan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui status gizi bayi usia 4-6 bulan yang diberikan ASI eksklusif. b. Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi pada bayi usia 4-6 bulan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memperkaya pengetahuan mengenai Ilmu Kesehatan Anak khususnya tentang ASI eksklusif dan status gizi bayi. 2. Manfaat Praktis a. Menambah informasi masyarakat mengenai kelebihan ASI eksklusif serta pengaruhnya terhadap status gizi bayi.
5
b. Menjadi pertimbangan masyarakat untuk memberikan ASI secara eksklusif karena manfaatnya yang besar bagi status gizi bayi. c. Meningkatkan kegiatan promosi pentingnya ASI eksklusif oleh tenaga kesehatan. d. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.