BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan American Association of Otolaryngology, tonsilektomi merupakan tindakan bedah kedua yang paling sering dilakukan pada pasien anak-anak (Hashmi et al., 2012). Tonsilektomi merupakan prosedur bedah yang dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi yaitu mengangkat tonsil seluruhnya, termasuk bagian kapsul, dengan melakukan diseksi pada rongga peritonsiler antara kapsul tonsil dan dinding muskuler (Baugh et al., 2011). Pada tahun 2006, terdapat 530.000 tonsilektomi yang dilakukan pada anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun (Baugh et al., 2011). Pada usia lebih dari 16 tahun, angka tonsilektomi mencapai 78 per 100.000 pada tahun 1996, yaitu 3200 kasus (Paradise et al., 2002). Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah kasus tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi masih belum jelas. Diketahui pada tahun 1999-2003 terdapat 427 kasus di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (Hermani et al., 2004). Sedangkan, di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta didapatkan 332 kasus pada tahun 2006-2011 (Jenny et al., 2013). Di RSUD dr. Moewardi Surakarta, didapatkan 832 kasus tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi pada tahun 2010-2013 (Rekam medis RSUD dr. Moewardi Surakarta). Komplikasi bedah tersering pada tonsilektomi adalah nyeri dan perdarahan pasca operasi. Nyeri pasca tonsilektomi muncul karena terjadinya kerusakan mukosa, pembuluh darah, jejas pada otot konstriktor faringeus,
kerusakan serabut saraf glosofaringeus atau vagus serta terjadinya inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri (Wanri, 2007). Nyeri pasca operasi timbul karena terjadinya dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri (Abraham dan Schlicht, 2001; Woolf, 2004; Hurley dan Wu, 2005). Para ahli menyadari tentang betapa pentingnya arti penanganan nyeri pasca operasi yang adekuat, dikaitkan dengan arti klinis timbulnya sensasi nyeri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor terhadap peningkatan morbiditas pasien (Woolf, 2004). Parasetamol (asetaminofen) merupakan analgesik dan antipiretik yang paling sering digunakan pada anak-anak (David et al., 2004). Parasetamol bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, yaitu inhibisi sentral enzim siklooksigenase (Lee et al., 2010). Penggunaan parasetamol dalam manajemen nyeri pasca operasi ini, dapat digunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan obat lain (Buck, 2011; Wafa and Aburwais, 2011). Dalam sebuah metaanalisis dari 40 penelitian yang melibatkan 4171 pasien yang membandingkan penggunaan parasetamol dengan plasebo pada nyeri pasca operasi, penggunaan parasetamol 1000 mg dapat memperbaiki kondisi nyeri hingga 50% dibandingkan plasebo (Sachs, 2005). Pada
2
November 2010, Food and Drug Administration (FDA) dan penelitian oleh Wafa dan Aburwais (2011) menyetujui bahwa parasetamol intravena lebih efektif dalam manajemen nyeri ringan hingga sedang pasca tonsilektomi pada anak. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) juga digunakan untuk mengurangi nyeri pasca tonsilektomi pada anak yaitu dengan cara menghambat produksi prostaglandin di area operasi. Mekanisme kerja AINS menginhibisi secara perifer enzim siklooksigenase, sehingga sintesis asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu, yang pada akhirnya akan menghambat aktivasi nosiseptor perifer pada proses patofisiologi nyeri (Langford et al., 2006). Fungsi analgetik AINS ini telah terbukti efektif dalam manajemen nyeri ringan hingga sedang pasca operasi pada anak-anak dengan sedikit
menyebabkan
keluhan
mual
muntah,
walaupun
juga
dapat
meningkatkan risiko perdarahan pasca operasi (Lewis et al., 2013). Ketorolak tromethamine merupakan obat AINS intravena golongan pyrolo pirole yang saat ini telah diterima secara luas di Amerika Serikat dan disetujui oleh FDA sejak tahun 1989 untuk pengobatan nyeri pasca operasi dalam berbagai prosedur tindakan (Patrocinio et al., 2007; Baley et al., 2014). Ketorolak bekerja secara perifer menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesis prostaglandin yang berperan dalam proses inflamasi terganggu (Wilmana dan Gan, 2007). Salah satu aspek penilaian efikasi dari obat analgetik adalah dengan cara menilai tingkat nyeri yang timbul dengan skor Visual Analog Scale (VAS)
3
(Patrocinio et al., 2007). Menurut penelitian Carney et al. (2001) membuktikan bahwa ketorolak dapat mengurangi penggunaan opioid dan menurunkan morbiditas selama 48 jam pertama setelah pembedahan pada anak. Sudah banyak penelitian yang membandingkan skor VAS antara ketorolak maupun parasetamol dengan obat AINS lain yang bersifat selektif menghambat enzim siklooksigenase. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Amrat A et al. (2013) pada pasien pasca operasi paratiroidektomi, didapatkan skor VAS pada pemberian ketorolak dibandingkan parasetamol intravena adalah 3,4 + 1,7 dan 4,5 +2,1 pada menit ke-60 pasca operasi. Beberapa hasil penelitian di atas tentang parasetamol dan ketorolak sebagai terapi analgetik pasca operasi memunculkan perbedaan pendapat di antara para ahli kesehatan tentang efektifitas kedua obat tersebut. Parasetamol maupun ketorolak memiliki cara kerja yang tidak terlalu jauh berbeda, yaitu dengan
inhibisi
enzim
siklooksigenase
yang
menghambat
sintesis
prostaglandin, namun keduanya memiliki kecenderungan efikasi yang berbeda. Sehingga, penulis tertarik untuk mengetahui dan meneliti lebih lanjut tentang perbedaan tingkat nyeri antara pemberian parasetamol infus dan ketorolak intravena, dan juga peneliti ingin membuktikan bahwa ketorolak intravena lebih baik dalam menurunkan tingkat nyeri pasca tonsilektomi pada anak.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut “Apakah terdapat perbedaan tingkat nyeri antara pemberian parasetamol infus dan ketorolak intravena pasca tonsilektomi pada anak ?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan tingkat nyeri antara pemberian parasetamol infus dan ketorolak intravena pasca tonsilektomi pada anak. 2. Tujuan khusus 1.
Menganalisis perbedaan efektivitas analgesia antara parasetamol infus dan ketorolak intravena dalam mengatasi nyeri pasca tonsilektomi pada anak.
2.
Menganalisis perbedaan onset efek antara parasetamol infus dan ketorolak intravena sebagai analgetik pasca tonsilektomi pada anak.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah: mampu memahami pengaruh penggunaan obat analgetik intravena terhadap nyeri pasca tonsilektomi pada anak. 2. Manfaat Klinis: memberikan dasar dan pengetahuan untuk penanganan nyeri pasca tonsilektomi pada anak.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tonsilektomi 1. Definisi Tonsilektomi merupakan prosedur bedah yang dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi yaitu mengangkat tonsil seluruhnya, termasuk bagian kapsul, dengan melakukan diseksi pada rongga peritonsiler antara kapsul tonsil dan dinding muskuler (Baugh et al., 2011; Isaacson, 2012). 2. Epidemiologi Berdasarkan
American
Association
of
Otolaryngology,
tonsilektomi merupakan tindakan bedah kedua yang paling sering dilakukan pada pasien anak-anak (Hashmi et al., 2012). Tonsilektomi pertama kali diperkenalkan 2000 tahun yang lalu oleh Celcus dengan cara diseksi digital radikal. Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Pada saat itu tonsilektomi dilakukan dengan anestesi lokal dan pasien dalam keadaan duduk. Namun dari waktu ke waktu angka ini mengalami penurunan, diperkirakan 278.000 anakanak dibawah 15 tahun dilakukan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi (Younis dan Lazar, 2002). Pada tahun 2006, terdapat 530.000 tonsilektomi yang dilakukan pada anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun, hal ini dipengaruhi
6
salah satunya karena aktivitas imun terbesar pada tonsil terjadi dalam rentang usia 3-10 tahun (Baugh et al., 2011). Pada usia lebih dari 16 tahun, angka tonsilektomi mencapai 78 per 100.000 pada tahun 1996, yaitu 3200 kasus (Paradise et al., 2002). Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi masih belum jelas. Diketahui pada tahun 1999-2003 terdapat 427 kasus di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (Hermani et al., 2004). Sedangkan, di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta didapatkan 332 kasus pada tahun 2006-2011 (Jenny et al., 2013). Di RSUD dr. Moewardi Surakarta, didapatkan 832 kasus tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi pada tahun 2010-2013 (Rekam medis RSUD dr. Moewardi Surakarta). 3. Indikasi Tonsilektomi Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan
prioritas
relatif
dalam
menentukan
indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil (Wanri, 2007; Isaacson, 2012). Indikasi tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif (Drake dan Carr, 2013) : a.
Indikasi absolut 1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
7
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner. 2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase. 3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. 4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan diagnosis patologi anatomi. b. Indikasi relatif 1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. 2. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase. 3. Pembesaran tonsil unilateral yang diduga keganasan. 4. Prosedur Tonsilektomi Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi. a. Guillotine Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi (Hermani et al., 2004).
8
b. Diseksi Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak (Hermani et al., 2004). Pasien menjalani anestesi umum dengan teknik operasi meliputi : memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Kemudian dilakukan hemostasis dengan elektrokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin (Hermani et al., 2004). 5. Komplikasi Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi (Wanri, 2007). 1) Komplikasi anestesi Komplikasi terkait anestesi keadaan status kesehatan pasien,terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi (Wanri, 2007) :
9
a. Laringospasme. b. Gelisah pasca operasi. c. Mual muntah. d. Hipersensitif terhadap obat anestesi. 2) Komplikasi operasi a. Perdarahan Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah (Wanri, 2007). Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding atau perdarahan primer, kemungkinan akibat hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna (Wanri, 2007). Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pasca operasi. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, dapat karena infeksi sekunder pada fossa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah, ataupun perdarahan karena trauma makanan yang keras (Wanri, 2007).
10
b. Nyeri Nyeri pasca tonsilektomi merupakan nyeri akut yang muncul karena kerusakan mukosa, pembuluh darah, dan serabut saraf glosofaringeus atau vagus, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri, siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Hampir 86% pasien anak melaporkan adanya nyeri yang berat pasca operasi (pada hari ke-2) (Wanri, 2007; Fortier et al., 2009). Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien yang telah
menjalani
tonsilektomi.
Kebanyakan
penelitian
mengungkapkan nyeri yang hebat pada hari pertama pasca operasi, yang secara bertahap berkurang selama minggu pertama hingga akhir minggu kedua (Isaacson, 2012). Nyeri pasca operasi bisa dikontrol dengan pemberian analgetik. Parasetamol dengan kodein merupakan terapi peroral yang sering digunakan (Fakhim et al., 2011). Beberapa data menunjukkan bahwa obat AINS, diantaranya ketorolak, dapat dengan aman digunakan sebagai anti nyeri pasca tonsilektomi (Lewis et al., 2013).
11
B. Nyeri 1. Definisi Nyeri Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan (Morgan et al., 2006). Nyeri berdasarkan waktunya dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik, keduanya mempunyai mekanisme fisiologis yang berbeda sehingga memerlukan tindakan yang berbeda. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan. Nyeri akut memberikan peringatan bahwa penyakit atau cedera telah terjadi, dimana rasa sakit yang timbul biasanya terbatas pada daerah yang terkena. Nyeri akut merangsang sistem saraf simpatik sehingga menghasilkan respon gejala yang meliputi perubahan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung dan pernapasan, berkeringat, pupil melebar, gelisah, dan khawatir (Helms dan Barone, 2008). Untuk karakteristik nyeri akut meliputi pendeskripsian nyeri, perilaku mengerang, menangis, raut wajah kesakitan, atau perubahan tonus otot (Esen dan Turkinaz, 2010). Sedangkan nyeri kronis, didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung lama, intensitas bervariasi, kadangkala terdapat periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan), dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (Helms dan Barone, 2008).
12
Sifat individualisme rasa nyeri sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Standar emas untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung (Morgan et al., 2006). 2. Fisiologi Nyeri Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau pasca operasi harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik yang mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006) : a. Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa. b. Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka. c. Plastisitas neural (kornu dorsalis) : transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga kepekaan nyeri meningkat. d. Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi. e. Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme.
13
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer, dimana reseptor nyeri dari mukosa atau area yang mengalami trauma/kerusakan diteruskan oleh serabut aferen menuju medula spinalis, batang otak, talamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak (Woolf, 2004; Meyer et al., 2006). Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri (Woolf, 2004; Meyer et al., 2006). Nyeri pasca bedah sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan, terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar pembedahan, sehingga terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin dan bradikinin) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri (Abraham dan Schlicht, 2001; Woolf, 2004).
14
3. Reseptor Nyeri (Nosiseptor) Nosiseptor atau reseptor nyeri merupakan reseptor ujung saraf bebas yang berada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus. Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke susunan saraf pusat (SSP) untuk interpretasi nyeri (Woolf, 2004; Stoelting dan Hillier, 2006). Saraf nosiseptor bersinap di kornu dorsalis medula spinalis dengan lokal interneuron dan saraf proyeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan talamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal (Woolf, 2004; Stoelting dan Hillier, 2006). Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ viscera jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses
15
patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi. Penatalaksanaan nyeri secara umum adalah dengan pemberian obat-obatan inhibisi. Inhibisi sentral dengan pemberian jenis opioid, inhibisi perifer yakni dengan pemberian analgetik (Woolf, 2004; Stoelting dan Hillier, 2006). 4. Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway) Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks disebut sebagai nosiseptif sensoris (nociception), merefleksikan empat proses komponen yang terjadi antara kerusakan jaringan (sumber stimuli nyeri) sampai timbul persepsi nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006) :
Gambar 1. Jalur nyeri (Morgan et al., 2006). a. Proses Transduksi Transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri dirubah menjadi aktivitas listrik yang akan diterima ujung saraf (nerve ending), rangsangan ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri). Mediator kimia yang dapat merangsang reseptor chemo sensitive adalah bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin. Proses transduksi ini dapat dihambat oleh
16
obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS), dengan menghambat sintesis enzim siklooksigenase sehingga tidak terbentuk prostaglandin, prostaglandin berperan dalam menimbulkan sensasi nyeri (reaksi peradangan), yaitu berpengaruh terhadap mekanisme penghantaran aferen nosiseptor dari jaringan perifer. Akibat tidak terbentuk sintesis prostaglandin maka rangsangan aferen untuk sensasi nyeri ke saraf pusat (talamus) ditiadakan (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006; Vanderah, 2007). b. Proses Transmisi Transmisi merupakan proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan disalurkan dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis. Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut sebagai neuron kedua. Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona radiata menuju girus postsentralis korteks serebri. Proses transmisi ini dapat dihambat oleh anestesi lokal (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006; Vanderah, 2007). c. Proses Modulasi Adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Merupakan proses interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan tubuh
17
dengan input nyeri yang masuk ke kornu dorsalis medula spinalis. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi
(peningkatan),
ataupun
inhibisi
(penghambatan).
Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu dorsalis medula spinalis. Dimana kornu dorsalis berperan sebagai pintu gerbang yang dapat terbuka dan tertutup dalam menyalurkan impuls nyeri, yang diperankan oleh sistem analgesik endogen. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006; Vanderah, 2007). d. Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada talamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik tersebut (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006; Vanderah, 2007). 5. Penilaian Nyeri Skala penilaian nyeri merupakan tindakan pelaporan nyeri yang bersifat kuantitatif. Untuk mendapatkan penilaian intensitas nyeri yang paling valid dan dapat dipercaya maka skala yang dipilih disesuaikan dengan usia, kemampuan, dan kesukaan anak (Drendel
18
AL et al., 2006). Beberapa skala penilaian nyeri untuk anak-anak yang paling sering digunakan antara lain : a. Visual Analog Scale (VAS) Visual Analog Scale (VAS) pertama kali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Willianson et al., yang menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Penggunaan skala ini dapat dilakukan dengan meminta anak
menempatkan
sebuah
tanda
pada
garis
yang
paling
menggambarkan tingkat nyeri yang dialami. Dengan penggaris sentimeter, ukur dari ujung “tidak ada nyeri” sampai ke tanda tersebut dan catat hasil pengukuran ini sebagai skor nyeri. Kriteria penilaian 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 = nyeri sedang, 7-10 = nyeri berat. Teknik VAS ini diakui secara luas memiliki sensitivitas dengan validitas paling baik untuk pasien anak-anak setidaknya pada usia lebih dari 7 tahun (Shields et al., 2003; Mick et al., 2006). Literatur lain mengambarkan VAS sebagai garis horizontal dengan panjang 100 mm dengan keterangan di masing-masing ujung garis tersebut. Skor VAS ditentukan dengan cara mengukur titik/tanda yang diberikan pasien dalam satuan millimeter dari sisi kiri menuju akhir garis horizontal (skala 0 – 100). Skor 0 – 39 menunjukkan tidak
19
ada sakit, skor 40 – 79 menunjukkan sakit, dan skor 80 – 100 menunjukkan sakit sekali (Goult et al., 2001). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Berti M et al. (2000) pada pasien pasca bedah sendi lutut, skor VAS yang didapat pada pemberian parasetamol adalah 24 + 2,5 mm. Sedang, menurut Rodriguez MJ et al. (2003) pada pasien dengan keganasan tulang didapatkan skor VAS sebesar 40 + 30 mm pada pemberian ketorolak. Penelitian lain oleh Amrat A et al. (2013) pada pasien pasca operasi paratiroidektomi, didapatkan skor VAS pada pemberian ketorolak dibandingkan parasetamol intravena adalah 3,4 + 1,7 dan 4,5 + 2,1 pada menit ke-60 pasca bedah.
Gambar 2. Visual Analog Scale 0 – 100 mm (Goult et al., 2001)
Tidak nyeri (0)
Nyeri hebat (10)
Gambar 3. Visual Analog Scale 0–10 cm (Morgan et al., 2006)
20
b. Numerical Rating Scale (NRS) Numerical Rating Scale (NRS) atau skala numerik pertama kali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, merupakan skala yang menggunakan garis di bagian tengahnya, pembagian di sepanjang garis tersebut ditandai dengan unit dari 0 sampai 10. Dimana pasien mengungkapkan derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0–10. Angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang hebat. NRS juga memiliki sensitivitas yang baik dan menghasilkan data yang mudah dianalisis secara statistik. Skala ini sering digunakan pada anak-anak berusia lebih dari 8 tahun (Williamson dan Hoggart, 2005; Von Baeyer, 2006).
Gambar 4. Numerical Rating Scale (Williamson dan Hoggart, 2005) c. Verbal Rating Scale (VRS) Verbal Rating Scale (VRS) mengkategorikan nyeri sebagai tidak nyeri (none), ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Skala penilaian nyeri ini bersifat kategorikal dan hanya digunakan sebagai instrumen skrining secara kasar karena sensitivitas yang lemah. Sehingga, penilaian intensitas nyeri yang lebih akurat harus dilakukan menggunakan VAS atau NRS (Von Baeyer, 2006).
21
Gambar 5. Cara penilaian nyeri dimensi tunggal : (A) Visual Analog Scale (VAS). (B) Numerical Rating Scale (NRS). (C). Verbal Rating Scale (VRS) (Von Baeyer, 2006). d. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah (Faces scale) dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan, dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan cara penilaian nyeri, terutama untuk anak-anak. Skala wajah ini dinilai dengan menunjukkan salah satu gambar wajah yang merepresentasikan intensitas nyeri yang dirasakan. Pada umumnya, skala wajah ini lebih cenderung dipilih untuk menilai nyeri pada anak-anak usia 3 tahun atau lebih (Morgan et al, 2006).
Gambar 6. Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Morgan et al., 2006)
22
6. Peran Enzim Siklooksigenase (COX) Enzim Siklooksigenase (Cyclooxygenase-COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin (PG) dari asam arakhidonat. Prostaglandin adalah analog senyawa tidak alamiah dengan nama trivial asam prostanoat (bersifat asam). Mengenai peranan prostaglandin pada reaksi peradangan (nyeri) dapat dibuktikan dengan menyuntikkan prostaglandin E2 (PGE2) intradermal, dalam waktu singkat akan terlihat eritema, vasodilatasi, edema, dan hiperalgesia (rasa nyeri hebat). Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksi oleh inflamasi, yaitu COX-2 (Pang et al., 2003). Namun, saat ini telah dikenal tiga isoenzim COX yaitu COX-1, COX-2 dan COX-3. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada lokasi trauma dan menimbulkan inflamasi, demam dan nyeri (Zukrullah et al., 2012). COX-3 sendiri merupakan isoenzim yang barubaru ini ditemukan, merupakan varian turunan dari COX-1 yang hanya ditemukan di susunan saraf pusat dan otak (Zhang et al., 2004). Pada kondisi inflamasi akut maupun kronik, PGE2 merupakan prostaglandin utama yang dihasilkan di perifer dan sentral. PGE2 memegang peranan sangat penting, karena meningkatkan kepekaan
23
(sensitisasi) ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri sehingga dikeluarkan zat-zat mediator inflamasi, seperti histamin, serotonin, dan lainnya. Sehingga, hal ini akan menimbulkan gangguan pada jaringan yang berperan dalam proses inflamasi, seperti edema, rasa nyeri lokal serta kemerahan (eritema lokal). Reaksi peradangan ini dapat dihambat oleh analgetik, dengan cara menghambat enzim siklooksigenase sehingga tidak terbentuk prostaglandin (Morgan et al., 2006; Stoelting dan Hillier, 2006).
C. Parasetamol (Asetaminofen) Parasetamol merupakan salah satu derivat dari asetaminofen. Asetaminofen merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Efek anti inflamasi parasetamol hampir tidak ada, dikarenakan sifat inhibisi yang hanya bersifat sentral dari parasetamol (Katzung, 2002). Penggunaan parasetamol dalam manajemen nyeri pasca operasi, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan obat lain, telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian (Kaluzny et al., 2010; Wafa and Aburwais, 2011; Sen et al., 2012; Baley et al., 2014). Berdasarkan Cochrane Database Systemic Review (2008) yang ditulis oleh Tom dan rekan-rekannya, menyatakan bahwa pemberian parasetamol intravena dapat dijadikan pilihan terapi nyeri pasca operasi yang efektif dengan efek samping minimal
24
dibandingkan golongan opioid. Dalam sebuah metaanalisis dari 40 penelitian yang melibatkan 4171 pasien yang membandingkan penggunaan parasetamol dengan plasebo pada nyeri pasca operasi, penggunaan parasetamol 1000 mg memperbaiki kondisi nyeri hingga 50% dibandingkan plasebo (Sachs, 2005). Sebuah penelitian double-blind, dengan kontrol plasebo, terhadap 244 pasien dengan nyeri sedang hingga berat pasca bedah laparoskopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasa nyeri dirasakan lebih singkat pada pasien yang mendapatkan parasetamol intravena daripada plasebo intravena (24,9 menit vs. 53,9 menit, p < 0,003). Dan parasetamol intravena 1000 mg setiap 6 jam lebih signifikan menghilangkan nyeri dibandingkan parasetamol intravena 650 mg tiap 4 jam ataupun plasebo (Wininger et al., 2010). Alhashemi dan Daghistani pada tahun 2006 melakukan penelitian randomized controlled trials yang membandingkan parasetamol intravena 15 mg/kgBB dengan meperidin intravena 1 mg/kgBB terhadap 80 anak yang menjalani tonsilektomi. Hasil rata-rata skor nyeri pada ruang pemulihan hampir serupa, 3,1 dengan parasetamol dan 2,1 dengan meperidin (p = 0,147). Sehingga dinyatakan bahwa pemberian parasetamol intravena pada pasien anak yang menjalani tonsilektomi memberikan efek analgesia yang adekuat, efek sedasi lebih minimal, dan durasi rawat lebih singkat. Pada tahun 2007, mereka juga menemukan bahwa parasetamol intravena menghasilkan lebih sedikit nyeri daripada meperidin pada 40 anak yang menjalani bedah gigi (Viscusi et al., 2012).
25
Penelitian oleh Wafa dan Aburwais (2011) membandingkan efek analgesia parasetamol suppositoria 30 mg/kgBB dan parasetamol intravena 15 mg/kgBB terhadap 120 anak berusia 6-10 tahun pasca tonsilektomi. Pasien dalam kelompok parasetamol intravena menunjukkan efek analgesia yang lebih baik pada beberapa jam pertama pasca operasi daripada kelompok parasetamol suppositoria. Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol intravena lebih efektif dalam manajemen nyeri pasca tonsilektomi pada anak. Penelitian lain oleh Moghaddam et al.(2009) melaporkan terdapat perbedaan efek analgesia parasetamol yang signifikan pada anak-anak yang menjalani tonsilektomi dibandingkan dengan natrium diklofenak. Hal ini mendukung penelitian serupa yang melaporkan bahwa penggunaan diklofenak tidak lebih efektif daripada parasetamol dosis tinggi (90 mg/kgBB/24 jam vs. 60 mg/kgBB/24 jam) untuk mengatasi nyeri pasca tonsilektomi (Romsing et al., 2000).
Gambar 7. Struktur molekul Parasetamol : N-(4-hydroxyphenyl) acetamide (Buck, 2011).
Farmakokinetik Parasetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu sekitar ½ jam dan waktu paruh plasma antara 1-3 jam (Viscusi et al., 2012). Onset analgesia parasetamol intravena biasanya muncul dalam
26
waktu 5-10 menit setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 60 menit dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2-15 menit. Konsentrasi maksimal yang tercapai dalam darah setelah pemberian parasetamol intravena lebih tinggi hingga 70% daripada pemberian dengan dosis yang sama peroral. Konsentrasi maksimal dalam darah berkisar antara 25 ± 4 mcg/mL pada neonatus hingga 31 ± 9 mcg/mL pada orang dewasa (Buck, 2011). Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol dimetabolisme di hati dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal (Joel, 2001; Katzung, 2002).
Farmakodinamik Mekanisme
kerja
pasti
tentang
bagaimana
parasetamol
memproduksi efek analgesia dan antipiretik masih belum jelas. Mekanisme aksi yang utama dari parasetamol adalah menekan sinyal transduksi dari perifer di medula spinalis melalui inhibisi sentral enzim siklooksigenase-3 (COX-3), dimana COX-3 ini hanya diinduksi di sistem saraf pusat dan otak (Mattia dan Coluzzi, 2009). Beberapa literatur mengatakan bahwa enzim COX-3 ini memiliki kaitan yang erat dengan parasetamol. Inhibisi enzim COX ini pada sistem saraf pusat akan mengurangi konsentrasi prostaglandin E2, sehingga menurunkan ambang batas hipotalamus untuk menurunkan panas, dan aktivasi jalur inhibisi serotonergik descenden untuk menghasilkan analgesia (Buck, 2011; Viscusi et al., 2012).
27
Analgetik dan antipiretik dari parasetamol sebanding dengan aspirin dan obat AINS lainnya, akan tetapi aktifitas anti inflamasi perifernya hampir tidak ada. Parasetamol secara selektif menghambat kerja COX-3 sehingga sintesis prostaglandin dihambat. Sejumlah besar COX-3 terdapat dalam korteks serebri, dan parasetamol sendiri mampu menembus sawar darah otak, sehingga efek antipiretik parasetamol lebih efektif dibandingkan obat AINS lainnya. Oleh karena parasetamol tidak menghambat COX-1, maka efeknya terhadap gangguan lambung juga kecil dan tidak memiliki efek mengencerkan darah. Salah satu sifat dari parasetamol adalah adanya “Ceiling effect” dimana tidak signifikannya efek yang akan muncul pada pemberian dosis tambahan apabila dosis terapeutik telah tercapai (Joel, 2001; Timothy dan Jane 2002, Buck, 2011).
Sediaan dan dosis Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu, parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Parasetamol intravena dapat diinfus selama lebih dari 15 menit, dan efektif selama 10-15 menit. Untuk pasien usia 2-12 tahun dan berat badan kurang dari 50 kg, dosis yang digunakan adalah 12,5 mg/kgBB/pemberian setiap 4 jam, atau 15 mg/kgBB/pemberian setiap 6 jam. Sedangkan pada pasien dengan berat badan lebih dari 50 kg, parasetamol 1000 mg intravena dapat diberikan setiap 6 jam. Dosis tunggal maksimal yang bisa diberikan adalah
28
15 mg/kgBB, dan dosis maksimum harian 75 mg/kgBB atau 3750 mg (Baley et al., 2014). Pemberian dosis parasetamol 20 mg/kgBB dapat memberikan efek analgesia yang adekuat hingga 24% pada anak-anak yang menjalani tonsilektomi.
Beberapa
penelitian
terbaru
menunjukkan
bahwa
peningkatan dosis parasetamol oral (40 mg/kgBB) atau dengan parasetamol supositoria (40-60 mg/kgBB) dapat meningkatkan efek analgesia yang muncul (Pickering et al., 2002). Tabel Rekomendasi dosis parasetamol intravena
Tabel 1. Rekomendasi dosis parasetamol intravena (Viscusi et al., 2012).
Efek samping Reaksi alergi terhadap derivat paraaminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Penggunaan semua jenis analgetik dosis
besar
secara
menahun
terutama
dalam
kombinasi
dapat
menyebabkan nefropati analgetik. Akibat dosis toksik yang paling serius ialah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB) parasetamol (Joel, 2001).
29
D. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) Obat AINS digunakan secara luas karena efek anti inflamasi, analgetik, sebagai inhibitor aktivitas COX serta generasi prostanoid proinflamasi lainnya. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, anti inflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Hal ini merupakan mekanisme kerja yang penting dari obat AINS (Pang et al., 2003). AINS bekerja dengan mengurangi sintesis prostaglandin melalui inhibisi enzim COX yang terdiri atas dua isoform utama (COX-1 dan COX-2). Prostanoid diproduksi oleh isoenzim COX-1 yang melindungi mukosa lambung, mengatur aliran darah ginjal, serta memicu agregasi platelet. AINS diketahui memicu toksisitas pada saluran pencernaan, yang diduga berkaitan dengan blok aktivitas enzim COX-1, sedangkan efek anti inflamasi AINS muncul dari inhibisi isoform COX-2 (Ong et al., 2010). AINS digunakan untuk mengurangi nyeri pasca tonsilektomi pada anak-anak (Langford, 2006). Fungsi analgetik AINS telah terbukti efektif dalam manajemen nyeri ringan hingga sedang pasca operasi pada anak. Namun AINS diketahui dapat meningkatkan risiko perdarahan pasca tonsilektomi (Lewis et al., 2013).
30
Gambar 8. Proses sintesis enzim siklooksigenase (COX) (Ong et al., 2010). Ketorolak Ketorolak tromethamine merupakan obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) intravena golongan pyrolo pirole yang memiliki efektifitas analgesia serupa dengan opioid yang sering digunakan, dan saat ini telah diterima secara luas dalam pengobatan nyeri pasca operasi dalam berbagai prosedur pembedahan (Patrocinio et al., 2007). Ketorolak telah digunakan secara luas di Amerika Serikat dan disetujui oleh FDA sejak tahun 1989. Secara keseluruhan, ketorolak diakui memiliki profil yang aman, meskipun memang perlu diperhatikan potensi yang memicu perdarahan (Baley et al., 2014). Ketorolak mempunyai onset kerja yang cepat, tidak menyebabkan ketergantungan obat, dapat diberikan secara parenteral, tanpa iritasi pada lokasi suntikan (Forrest et al., 2012). Efektifitas ketorolak telah dibuktikan dalam berbagai percobaan terdahulu yang membandingkan rasa nyeri pasca tonsilektomi. Rusy et al. (1995) menemukan bahwa ketorolak lebih efektif daripada parasetamol
31
dalam tatalaksana nyeri pasca tonsilektomi pada anak. Forrest et al. (2012) juga melaporkan bahwa ketorolak lebih bermanfaat dibandingkan analgetik opoid dalam mengontrol nyeri pasca tonsilektomi. Sedangkan, Han et al. (1998) menyebutkan bahwa pemberian ketorolak intravena selama induksi anestesi memiliki efek analgesia yang bermakna pasca tonsilektomi dan adenoidektomi pada anak. Menurut penelitian Carney et al. (2001) membuktikan bahwa ketorolak mengurangi penggunaan opioid dan menurunkan morbiditas selama 48 jam pertama setelah pembedahan pada anak. Pada tahun 2004, Soenarjo et al., membandingkan efektivitas analgesia ketorolak dengan ketoprofen intravena dalam mengatasi nyeri pasca tonsilektomi. Hasilnya menunjukkan bahwa ketorolak 30 mg intravena memiliki efektivitas analgesia yang lebih baik dibandingkan ketoprofen 100 mg intravena. Sebuah penelitian lain yang membandingkan efektifitas obat analgesia 24 jam pasca operasi uvulopalatopharyngoplasty, 86% dari pasien yang mendapatkan ketorolak melaporkan nyeri ringan atau bahkan tidak ada nyeri dibandingkan 60% pasien yang menggunakan ketoprofen melaporkan nyeri sedang hingga berat. Hal ini membuktikan bahwa ketorolak lebih efektif dalam mengontrol nyeri pasca bedah (Patrocinio et al., 2007).
32
Gambar 9. Struktur molekul ketorolak :+ 5-Benzoyl-2,3-dihydro-1-Hpyrrolizine-1-caroboxylicacid,2-amino2 (hydroxymethyl)-1,3-propanediol (Patrocinioet al., 2007).
Farmakokinetik Rumus molekul : C19H24N2O6. Berat molekul : 376,41. Larut dalam air. Ketorolak memiliki onset kerja analgesia sekitar 15-20 menit, dan mencapai efek puncak dalam waktu 30-60 menit (Patrocinio et al., 2007). Sedangkan, durasi aksi ketorolak berlangsung 6 sampai 8 jam dengan pemberian intravena lebih dari 15 detik. Ratarata waktu paruh akhir ketorolak pada pasien anak adalah 6,1 jam. Ketorolak di metabolisme secara primer melalui konjugasi hepatik dengan asam glukoronik sehingga metabolit menjadi inaktif, dan diekskresi melalui ginjal (Baley et al., 2014).
Farmakodinamik Ketorolak bekerja menghambat sintesis prostaglandin di perifer melalui jalur siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), dengan afinitas sedikit meningkat pada COX-1. Baik COX-1 maupun COX-2 merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan mediator kimia dalam tubuh. Inhibisi enzim ini secara primer oleh ketorolak mencegah produksi PGE2, sebuah mediator kimia dan merupakan subklas dari 33
prostaglandin yang aktif dalam berbagai fungsi tubuh, termasuk nosiseptif, inflamasi, kontraksi dan relaksasi otot polos, sekresi mukus dan asam lambung, serta reaksi febris. Sehingga impuls nyeri di perifer terhambat (Anderson dan Holford, 2007; Wilmana dan Gan, 2007). Sintesis tromboksan, sebuah mediator kimia yang membantu agregasi platelet, juga akan terhambat melalui inhibisi COX-1; hal inilah yang berperan dalam kecenderungan ketorolak meningkatkan perdarahan. Meskipun demikian, efek terhadap tromboksan ini, sama halnya seperti PGE2, terbatas pada durasi aksi obat tersebut; fungsi platelet akan kembali normal ketika obat telah dieliminasi dari dalam tubuh (Baley et al., 2014).
Sediaan dan dosis Untuk pasien usia 2 tahun atau lebih, dosis ketorolak intravena yang direkomendasikan adalah 0,5 hingga 1 mg/kgBB setiap kali pemberian, dengan maksimum dosis per pemberian adalah 30 mg, diberikan setiap 4 sampai 6 jam. Durasi maksimum penggunaan ketorolak di Amerika Serikat adalah 5 hari (Baley et al., 2014).
Efek samping Sejumlah penelitian membuktikan bahwa efek supresi sintesis prostaglandin oleh AINS berpotensi menimbulkan ulkus dan erosi gastrointestinal,
gangguan
pembekuan
darah,
nefrotoksisitas,
bronkokonstriksi dan perdarahan abnormal (Anderson dan Holford, 2007). Efek samping yang paling sering menjadi perhatian adalah
34
potensi ketorolak menimbulkan perdarahan akibat blokade sistem COX-1. Dari tujuh penelitian yang fokus pada anestesi, pediatri dan pembedahan (terutama THT-KL), 2 di antaranya mengindikasikan adanya peningkatan risiko perdarahan, dan 5 lainnya membuktikan beberapa derajat koagulopati (Baley et al., 2014).
35
E. Kerangka Teori Tonsilektomi
Kerusakan mukosa dan serabut saraf
Membran Phospolipid melepaskan Asam Arakhidonat KETOROLAK
PARASETAMOL
INTRAVENA
INFUS Jalur Siklooksigenase
COX-2
COX-1
COX-3
Prostaglandin
PAIN PATHWAY Sensitisasi Perifer
Proses Transduksi ↓ Proses Transmisi ↓ Proses Modulasi ↓ Persepsi Nyeri (Otak)
Nyeri pasca tonsilektomi
36
Sensitisasi Sentral
F. Kerangka Konsep
Golongan AINS Parasetamol infus Tingkat Nyeri Golongan AINS Ketorolak intravena
G. Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan tingkat nyeri antara kelompok yang mendapatkan parasetamol infus dengan ketorolak intravena pasca tonsilektomi pada anak. Skor VAS lebih baik pada pemberian ketorolak intravena dibandingkan parasetamol infus pasca tonsilektomi pada anak.
37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu 1. Tempat penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Rawat Inap SMF THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, dan RSUD Wonogiri. 2. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2015 - Desember 2015.
B. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain Randomised Controlled Trial.
Randomisasi
Sampel Kelompok I Populasi Target
Populasi
VAS
(Parasetamol infus)
Terjangkau Sampel Kelompok II
VAS
(Ketorolak intravena)
C. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di RSUD dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, dan RSUD Wonogiri yang dilakukan program tonsilektomi.
38
1. Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah pasien tonsilektomi yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusi (penerimaan) : 1. Pasien anak berusia < 18 tahun (berdasarkan kategori usia anak menurut World Health Organization (WHO), (Onis M et al., 2007). 2. Pasien tonsilitis kronik dengan berat badan < 50 kg yang menjalani program tonsilektomi. 3. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan setelah mendapatkan penjelasan ( informed consent ). Kriteria eksklusi (penolakan) : 1. Pasien yang dilakukan tonsilektomi dengan indikasi keganasan. 2. Pasien yang dilakukan tonsilektomi dengan pemberat peritonsilar abses. 3. Pasien tonsilitis kronik disertai adanya hipertrofi adenoid. 4. Lama operasi > 2 jam. 5. Pasien yang mendapat terapi AINS selama tiga hari sebelumnya. 6. Kelainan fungsi ginjal dan fungsi hati. 7. Alergi terhadap parasetamol dan ketorolak atau obat AINS lainnya. 2. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling, dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam
39
sampel penelitian hingga besar sampel terpenuhi (Sudigdo dan Sofyan, 2011). Secara statistik besar sampel minimal yang diperlakukan dalam penelitian ini agar sifatnya representatif atau bisa digeneralisasikan dihitung dengan rumus untuk rerata dua populasi independen : (Sudigdo dan Sofyan, 2011) n1 = n2 = 2 ( Zα + Zβ) x S
2
d
n = 2 (1,645 + 0,842) x 2,1
2
2
n = 13,64 dibulatkan menjadi 14 Dengan resiko drop out sebesar 10 % maka : 14 + 1,4 = 15, 4 dibulatkan menjadi 16 per kelompok. Keterangan : Zα dan Zβ
= deviat baku normal untuk α (tingkat kesalahan tipe I) dan β (tingkat kesalahan tipe II). Pada penelitian ini ditetapkan α = 0,05 atau tingkat kemaknaannya 95% (p < 0,05), dan β = 0,200 atau tingkat ketajamannya (power) 80%. Nilai Zα untuk α = 0,05 adalah 1,645 dan Zβ untuk β = 0,20 adalah 0,842 (Sumber : Tabel distribusi Z, Sudigdo dan Sofyan, 2011).
40
S
= Simpang baku dari VAS berdasarkan penelitian sebelumnya yang diharapkan.
d
=
x1 – x2 = Beda lama efek analgesia yang dapat
ditolerir. Nilai S dan d ditetapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan parasetamol. VAS nyeri dicatat pada skala 4,5 + 2,1 mm. Dari rumus diatas didapatkan besar sampel n : 16, untuk masing-masing kelompok, N : 32, untuk besar seluruh sampel. Besar sampel minimal berdasarkan perhitungan dalam penelitian ini adalah 32 penderita, dan hasil penelitian dilapangan didapatkan besar sampel sebanyak 40 penderita. Dengan cara randomisasi penderita dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok I parasetamol infus 20 penderita dan kelompok II ketorolak intravena 20 penderita. Semua penderita dengan didampingi keluarga diberikan penjelasan pada saat sebelum operasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan prosedur yang akan dijalani serta bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi lembar informed consent dan telah mendapatkan ijin dari komite etik kedokteran. 3. Variabel Penelitian 1.
Variabel bebas (independent variable) : Parasetamol infus dan ketorolak intravena.
2.
Variable terikat (dependent variable) : Tingkat nyeri dengan VAS.
41
D. Definisi Operasional 1. Tonsilektomi dengan teknik diseksi. Definisi Tonsilektomi : operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina dengan teknik diseksi. 2. Parasetamol infus dan Ketorolak intravena Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik dan analgetik. Sedangkan ketorolak tromethamine merupakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) intravena golongan pyrolo pirole yang memiliki efektifitas analgesia serupa dengan opioid. Obat ini diberikan sebagai terapi analgetik kepada kelompok pasien yang telah menjalani tonsilektomi untuk mengurangi komplikasi nyeri pasca operasi. Cara ukur : Parasetamol generik dengan kemasan berbentuk botol infus diberikan 15 mg/kgBB secara intravena kepada sampel dalam kelompok perlakuan 1 dengan berat badan < 50 kg. Sedangkan, ketorolak generik dengan kemasan berbentuk ampul diberikan 1 mg/kgBB secara intravena kepada sampel dalam kelompok perlakuan 2. Skala : Kategorik 3. Tingkat Nyeri Definisi nyeri : pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Tingkat nyeri diukur dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS).
42
Cara ukur : Untuk pasien usia diatas 12 tahun dengan menggunakan skala Visual Analog Scale (VAS). VAS digambarkan sebagai garis horizontal dengan panjang 10 cm dengan keterangan di masing-masing ujung garis tersebut. Pasien dari kedua kelompok penelitian diminta memberikan tanda pada garis tersebut, yang merepresentasikan rasa nyeri yang mereka rasakan dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Skor VAS ditentukan dengan cara mengukur titik/tanda yang diberikan pasien itu dalam satuan sentimeter dari sisi kiri menuju akhir garis horizontal (skala 0 – 10). Skor 0 : menunjukkan tidak ada rasa sakit, skor 1 - 3 : menunjukkan rasa sakit ringan, skor 4 – 6 : menunjukkan rasa sakit sedang, dan skor 7 – 10 : menunjukkan rasa sakit berat. Sedangkan untuk pasien usia dibawah 12 tahun, penghitungan skor nyeri dengan Wong Baker Faces Pain Rating Scale dimana pemeriksa menyamakan wajah ekspresi nyeri pasien dengan gambar skala nyeri wajah Wong Baker. Hasil ukur VAS/Wong Baker antara 1 – 10. Pengukuran skor VAS ini dilakukan setelah pasien terbangun pasca operasi, serta selanjutnya setiap 6 jam pasca operasi selama 24 jam, yaitu pada jam ke-6, ke-12, ke-18, dan ke-24. Skala : Numerik
43
E. Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian: 1. Alat tonsilektomi diseksi set THT-KL, yaitu: lampu kepala, spatula lidah, mouthgag Davis Boyle, pisau sickle, disektor tonsil, hemostatik klem, alis klem, hak pilar, pengikat dari Ruder, benang chromic catgut ukuran 1-0, kanul suction tonsil. 2. Alat penilaian tingkat nyeri dengan VAS dan Wong Baker Faces Pain Rating Scale : lembar penilaian tingkat nyeri VAS dan Wong Baker, alat tulis.
Tidak nyeri (0)
Nyeri hebat (10)
Bahan Penelitian: 1. Parasetamol generik injeksi dengan sediaan botol infus 1000 mg/100 ml 2. Ketorolak generik injeksi dengan sediaan ampul 30 mg/1 ml
F. Cara Kerja Pasien berusia < 18 tahun, yang telah lolos seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, dengan rencana tonsilektomi tanpa adenoidektomi dan telah menandatangani informed consent sebelumnya dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan tanpa premedikasi. Dilakukan pembiusan umum dengan
44
intubasi endotrakea dan injeksi fentanyl intravena dosis 1 mcq/kgBB oleh ahli anestesi pada kedua kelompok pengamatan. Anestesi umum dimulai koinduksi dengan Midazolam 0,5 mg/kgBB + Fentanyl 1 mcq/kgBB, dilanjutkan induksi dengan Propofol 1 – 2 mg/kgBB + pelumpuh otot Atracurium 0,5 mg/kgBB. Selama tindakan tonsilektomi berlangsung untuk maintenance digunakan Isoflurane 1,2 Vol%, dengan O2 dan N2O masing-masing 2 liter per menit. Fentanyl diberikan intermitten setiap 30 menit dengan dosis 0,5 mcq/kgBB. Operator tonsilektomi dilakukan oleh satu orang dokter THT-KL dengan teknik diseksi. Penelitian ini memakai sistem single blind dimana pasien dan keluarga tidak diberitahu bahwa pasien termasuk ke dalam kelompok parasetamol infus maupun ketorolak intravena. Setelah operasi selesai dan ekstubasi, pasien dipindahkan ke ruang Post Anasthesia Care Unit (PACU) dan diobservasi selama 1 jam hingga pasien sadar penuh sebelum akhirnya dipindahkan ke bangsal. Sebelum dipindahkan pasien dilakukan pengukuran VAS (waktu pengukuran dicatat), setelah selesai pengukuran VAS, pasien mulai diprogram pemberian analgetik (waktu pemberian obat analgetik dicatat). Untuk analgetik post operasi diberikan parasetamol infus dosis 15 mg/kgBB kepada sampel dalam kelompok perlakuan 1 dengan waktu pemberian intravena selama 2-15 menit. Sedangkan, ketorolak dosis 1 mg/kgBB diberikan kepada sampel dalam kelompok perlakuan 2 dengan waktu pemberian intravena lebih dari 15 detik. Setelah pemberian analgetik selesai, pasien dipindahkan.
45
Setelah di bangsal dan bising usus positif, pasien disarankan untuk mulai melakukan protokol makan minum post tonsilektomi awal yaitu diet cair dingin dan dianjurkan banyak minum untuk mencegah dehidrasi. Untuk penggunaan kompres dingin tidak dilakukan dalam penelitian ini. Enam jam pasca pemberian analgetik yang pertama, kedua kelompok pengamatan dilakukan pengukuran tingkat nyeri dengan Visual Analog Scale (VAS)/Wong Baker Faces Pain Rating Scale. Kemudian dilanjutkan kembali pemberian analgetik parasetamol infus ataupun ketorolak intravena setiap 6 jam, yaitu jam ke-6, ke-12, dan ke-18. Evaluasi tingkat nyeri yang timbul selanjutnya dicatat dengan VAS/Wong Baker Faces Pain Rating Scale setiap 6 jam setiap sebelum pemberian analgetik selanjutnya, yaitu pada jam ke-12, ke18, dan ke-24. Setiap dilakukan pengukuran VAS/Wong Baker Faces Pain Rating Scale maupun pemberian analgetik, waktu pengukuran dan waktu pemberian obat dicatat. Setelah penelitian selesai dilakukan dan selama dalam perawatan, apabila pasien masih merasakan keluhan nyeri, pasien akan diberikan analgetik sesuai dengan prosedur yang berlaku serta dilakukan pengawasan dan pencatatan bila terjadi adanya komplikasi.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Keterangan : : Pengamatan Skor VAS : Pemberian Obat Analgesia
46
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
G. Etika Penelitian Sebelum pelaksanaan penelitian, terlebih dahulu disiapkan surat persetujuan Panitia Tetap Etika Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
H. Teknik Analisis Data Data yang didapatkan dari kedua kelompok penelitian dikumpulkan dan dibandingkan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan tingkat nyeri dengan VAS antara kelompok yang mendapat parasetamol infus dan yang mendapat ketorolak intravena pasca tonsilektomi pada anak. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analitik komparatif numerik tidak berpasangan 2 kelompok. Dilakukan uji independent sampel t test untuk melihat perbedaan skor VAS antar kelompok perlakuan pada tiap jam penelitian apabila memiliki distribusi data normal. Jika data tidak berdistribusi normal maka uji beda yang digunakan uji Friedman dilanjutkan dengan Wilcoxon untuk melihat perbedaan skor VAS tiap jam penelitian pada tiap kelompok perlakuan dan kemudian dilakukan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan skor VAS antar kelompok perlakuan pada tiap jam penelitian. Semua perbedaan dinyatakan signifikan apabila uji beda secara statistik menghasilkan p < 0,05.
47
I. Alur Penelitian
Populasi
Consecutive sampling Sampel yang telah melalui proses inklusi-eksklusi, menjalani Tonsilektomi dengan teknik diseksi.
Setelah Tonsilektomi selesai, pasien dievaluasi selama 1 jam di ruang pemulihan hingga sadar penuh dan efek obat anestesi hilang sehingga mulai dapat di ukur tingkat nyeri dengan VAS.
Randomisasi
Kelompok perlakuan 1 Parasetamol infus 15 mg/ kgBB setiap 6 jam pasca tonsilektomi
Kelompok perlakuan 2 Ketorolak intravena 1 mg/kgBB setiap 6 jam pasca tonsilektomi
Penilaian skor VAS/Wong Baker pada jam ke-6, ke-12, ke-18, dan ke24. Diikuti pemberian analgetik pada jam ke-6, ke-12 dan ke-18.
Pengumpulan
dan
Pengolahan
data
Analisis data
48