BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1997, persoalan yang dihadapi masyarakat kian meningkat. Salah satu masalah yang dihadapi adalah kondisi kekurangan pangan yang disebabkan meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok. Peningkatan harga kebutuhan pokok tersebut tidak dibarengi oleh
peningkatan
penghasilan
masyarakat,
sehingga
berdampak
pada
berkurangnya tingkat pemenuhan kebutuhan pokok sementara kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan primer sebagai syarat hidup secara biologis bagi manusia. Pola konsumsi pangan sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah tangga seperti tingkat pendapatan, harga pangan, selera dan kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan juga dipengarahui oleh karakterestik rumah tangga yaitu jumlah anggota rumah tangga struktur umum jenis kelamin, pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pemenuhan pangan bukan hanya sekedar makan dalam pengertian kenyang tetapi juga harus terpenuhi unsur protein, karbohidrat dan mineral sesuai kebutuhan tubuh. Kebutuhan tubuh yang dimaksudkan adalah untuk dapat bergerak dan bekerja, sehingga jenis pekerjaan tertentu akan membutuhkan porsi makanan tertentu pula, oleh karena itu masyarakat sekarang pada umumnya telah beralih mengkonsumsi bahan pangan. yang lebih bergizi, sehingga kesehatan masyarakat secara umum dapat diperbaiki.
1
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, sehat serta halal merupakan syarat utama guna mewujudkan masyarakat yang bermartabat serta sumberdaya yang berkualitas. Sebagai kebutuhan pokok, pangan harus dicukupi dan tersedia setiap waktu di setiap rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dapat dilakukan dengan mengusahakannya sendiri dengan cara bercocok tanam dan juga dengan membelinya di pasar. Bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan kedua cara ini dapat dilakukan, namun tidak bagi warga kota dimana lahan pertanian sudah sangat terbatas seiring dengan perkembangan zaman. Karena keterbatasan tersebut maka orang cenderung untuk memilih makanan yang tersedia disekitarnya dan hanya sesekali mencari bahan makanan lain sebagai selingan sebagai solusi dari masalah tersebut. Karena apa yang tersedia di lingkungan berbeda-beda, maka setiap masyarakat memiliki ciri khas tersendiri dalam memanfaatkan apa yang ada disekitarnya sebagai bahan pangan. Faktor kepercayaan juga menjadi salah satu faktor penentu dalam mengkonsumsi bahan pangan, terutama dalam hal menyaring bahan pangan yang sesuai dengan kepercayaannya. Demikian pula dengan pendapatan, selera, dan kemudahan memperolehnya. Untuk itu perlu menggali dan mengembangkan pangan lokal suatu daerah. Dalam perspektif strategi pangan lokal dapat dijadikan komplementer atau memberi ruang alternatif bagi konsumen guna memilih selain atau dikombinasikan bersama beras sebagai makanan pokok yang murah dan terjangkau konsumen. Berdasarkan fakta
2
tersebut, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul : “Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Toraja Utara”. B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang dikemukakan maka dapat dirumuskan permasalahannya yaitu: 1.
Bagaimana Tradisi orang Toraja dalam mengkonsumsi bahan pangan.
2. Faktor yang mendukung bertahannya tradisi konsumsi pangan. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan pokok kajian diatas sebagai berikut: 1.
Untuk menggambarkan Tradisi orang Toraja dalam mengkonsumsi bahan pangan.
2.
Untuk menjelaskan faktor mendukung bertahannya Tradisi konsumsi pangan.
2. Kegunaan penelitian Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat berguna antara lain sebagai: 1. Secara teoritis, penelitian ini mampu memberi sumbangsih yang berarti terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang pola konsumsi pangan masyarakat. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada pihak-pihak terkait khususnya pemerintah dan
3
masyarakat daerah setempat, guna memberikan perhatian yang lebih terhadap pangan agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. D. Kerangka Konseptual. Makanan dan pola konsumsi masyarakat merupakan salah satu bagian dari fenomena budaya masyarakat yang menentukan arah dan rancangan akan hidupnya mengenai makanan ke dalam bentuk pola makan. Sistem pengetahuan dan norma-norma berkenan dengan makanan tentunya tidak terlepas akan pemahaman mereka dari segi emik. Foster (1968:315) mengartikan makanan sebagai sesuatu yang tumbuh di ladang–ladang, yang berasal dari lauk yang muncul dimeja kita pada waktu makan. Dapat berarti pula bahwa yang dikategorikan sebagai makanan adalah bahan yang ada di lingkungan tersebut. Dalam mengkonsumsi makanan, masyarakat atau manusia dipengaruhi oleh kepercayaan dan pengetahuan tentang makan. Pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan secara emik ke dalam bentuk penggolongan makanan itulah yang nantinya melahirkan klasifikasi makanan dari segi sosial budaya. Cecil Helman (dalam Apomfires 2002: 10) mengklasikasi makanan dari segi sosial budaya ke dalam lima kategori pokok: 1. Makanan yang sakral dan profan 2.Makanan yang digunakan sebagai obat dan obat sebagai makanan 3. Makanan sebagai simbol status sosial 4. Makanan pararel
4
Begitu pentingnya pembahasan mengenai makanan disadari jauh lebih banyak menyita perhatiannya ketimbang masalah lain Audrey Richards,(dalam Rakbi 2006). Pola konsumsi makanan dapat dikenal atas beberapa peristilahan atau sebutan yang kesemuanya merujuk pada pengertian yang sama seperti pola pangan, pola makanan, kebiasaan makan dan kebiasaan pangan. Mamoer (dalam Rakbi, 2006), mengertikan pola makanan dan kebiasaan makan sebagai susunan konsumsi makanan yang dimakan setiap hari untuk mencukupi kebutuhan tubuh yang berdasarkan selera, kebiasaan juga agama, pendidikan dan pengetahuan tentang gizi, pendapat keluarga serta lingkungan sekitar. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa tokoh dan mengetahui kebiasaan makan suatu negara, seperti halnya Apomfires (2002:13) menjelaskan kebiasan makan pada komunitas adat suku Jae (Papua). Manusia, keluarga dan bahkan masyarakatpun dicirikan oleh pluralistik dan keberagaman atas kebudayaan dengan salah satu wujudnya berupa pola makan yang berbeda antara satu atau daerah dengan suku atau daerah lainnya. Realitas yang demikian mengantar kita sebagai penjembatan untuk memahami bahwa erat sekali kaitannya antara pemahaman akan suatu kebudayaan terhadap pola makan masyarakatnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari kebudayaanlah pola makanan suatu masyarakat atau komunitas akan lahir dan terbentuk. Kedinamisan merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan perubahanperubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya. Perubahan sosial budaya
5
yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, seperti yang ditegaskan oleh Gillin dan Gillin (Rakbi 2006), perubahan sosial dapat dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan materil, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut. Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan. Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya adat dan kebiasaan begitu kuatnya sehingga sulit untuk diubah. Hal ini merupakan bentuk halangan terhadap perkembangan dan perubahan kebudayaan. Setiap perubahan sosial selalu mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya akan mencakup juga perubahan sosial. Kebudayaan sebagai sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau warga dari kesatuan sosialnya, tumbuh, berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Secara sederhana Malinowski (dalam Sairin, 2002) mengatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu dapat dibagi pada tiga kategori besar yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan biologis, sosial dan psikologis.
6
Walaupun ketiga kebutuhan itu tampak terpisah namun sebenarnya ketiganya adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman yang merupakan salah satu dari kebutuhan biologis, manusia terikat dengan gagasan makanan yang dapat dikonsumsi dan makanan mana pula yang diharamkan untuk dikonsumsi. Gagasan tentang apa yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi itu bukanlah pilihan individu itu menjadi anggotanya. Adapun pengertian konsumsi sudah cukup jelas yaitu pemakaian kebutuhan sehari-sehari. Pengertian ini sesuai dengan pemahaman maksud khasanah dalam kamus populer (1990). Dalam kaitan dengan pola konsumsi maka cara pemenuhan kebutuhan pokok sehari-sehari adalah tergantung kepada kemampuan ekonomi masyarakat baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk lingkungan berdasarkan tata hubungan dan tanggung jawabnya didasarkan atas pola produksi, pola distribusi, dan sistem budaya yang memiliki yang sifatnya tercermin sebagai kebutuhan primer dan kebutuhan sekuder (Irma suryani 2000). Mengenai pengertian sistem ekonomi sebagaimana yang dikemukan oleh Winardi yang dikutip oleh Irma Suryani 2000, bahwa sistem ekonomi merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari sejumlah lembaga-lembaga atau pranata yang saling mempengaruhi satu sama lain yang ditunjukan kearah pemecah problem dasar setiap perekonomian. Berdasarkan kutipan tersebut apabila berbicara tentang sistem ekonomi ekonomi suatu masyarakat, maka terdapat suatu tata cara perilaku yang berpola dan saling terkait dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya seperti dikemukakan Gilarso (1994:7) yang dikutip oleh Irma Suryani
7
2000, tentang pengertian sistem ekonomi atau tata ekonomi (economic, Order) yang menunjukan kepada keselurahan tata cara untuk mengkordinasi perilaku masyarakat sedemikian rupa hingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan dinamis, sehingga kekacauan tersebut dapat terhindarkan. Produksi merupakan salah satu bagian dari organisasi ekonomi yang memperlihatkan bagaimana masyarakat bagaimana masyarakat menggunakan tenaga kerja dan teknologi untuk mengubah sumber daya alam menjadi bahan jadi yang setiap pakai untuk dikonsumsi pengertian produksi dalam kegiatan seharisehari atau dalam artian yang sempit adalah suatu kegiatan untuk menghasilkan barang-barang saja melainkan pula dapat menambah nilai suatu barang menjadi lebih berguna. Berbicara mengenai produksi pangan dalam penyediaan pangan, hal mendasar yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana aktivitas atau cara pengolahan lahan pertanian itu sendiri sampai bisa menghasilkan/berproduksi. Produksi disini bukanlah kebudayaan, tetapi cara mereka sampai bisa menghasilkan produksi bagian dari kebudayaan itu sendiri yang didalamnya terdapat
sistem
pengetahuan
dan
kebiasaan-kebiasaan.
Taylor
(dalam
Koentjaraningrat 1987), bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan serta kebiasaan yang di dapat manusia sebagai masyarakatnya. Berbagai macam pengetahuan tentang proses pengolahan lahan pertanian guna memproduksi bahan pangan untuk keperluan konsumsi adalah merupakan kajian fenomena sosial budaya yang terbilang sangat sangat menarik, salah satu gambaran mengenai ketersedian pangan di Indonesia
8
dapat kita lihat seperti apa yang ditulis Suryana (2003: 127) yang dikutip oleh Rakbi 2006, walaupun secara makro ketersediaan pangan telah memenuhi standar kecukupan, namun kecukupan standar tingkat nasional tersebut tidak tercermin dalam tingkat konsumsi pangan perkapita atau secara mikro. Pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana penyediaan pangan di tingkat masyarakat belum tertata secara optimal dan lebih baik, maka dianggap perlu menggalakkan beberapa program dan upayah peningkatan produksi pangan pertanian yang efisien dan berdayaguna bagi pemenuhan pangan dan kecukupan gizi masyarakat. E. Metode Penelitian 1. Jenis dan tipe penelitian Seperti lazimnya penelitian Antropologi lainnya, untuk memperoleh data maka jenis penenelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
tipe deskriptif untuk menggambarkan berbagai kondisi sosial
budaya dalam kehidupan masyarakat. 2. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah Kab. Toraja Utara Kec. Rantepao. Adapun lokasi tersebut sengaja dipilih karena Toraja Utara merupakan daerah yang mempunyai pola konsumsi pangan yang tinggi karena adat istiadatnya. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung berbagai macam situasi dan tingkah laku dalam kehidupan sosial budaya
9
masyarakat. Teknik ini bertumpu pada indra yang dimiliki, yakni penglihatan. Kegiataan yang dilakukan dalam observasi ini adalah mengamati bagaimana perilaku masyarakat Toraja Utara yang berhubungan dengan tradisi dalam mengkonsumsi bahan pangan serta interaksi antara satu dengan lainnya yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan. b. Wawacara dilakukan pada informan yang dipilih dan dianggap dapat memberikan informasi tentang fokus masalah penelitian. Untuk melakukan wawacara terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara namun pada situasi tertentu dan waktu yang tepat, wawancara dapat dilakukan secara spontan seperti dalam pembicaraan sehari-sehari tetapi terfokus pada masalah penelitian mengenai “Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Toraja Utara”. c. Study literatur, yakni membaca beberapa buku yang relevan dengan penelitian. Dalam study literatur ditemukan beberapa data sekunder tentang kondisi geografis secara umum, teori-teori yang dapat dijadikan pisau analisis dalam melihat fenomena sosial budaya yang ada, serta definisi beberapa konsep yang menunjang penulisan laporan. 4. Teknik Penentuan informan Pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan data dan informasi yang dibutuhkan. Informan digolongkan kedalam dua golongan yakni, (1) Informan kunci yakni orang yang mengetahui dengan jelas
10
kondisi daerah penelitian dan mampu menunjukkan siapa-siapa saja yang dapat memberikan informasi mengenai masalah yang akan diteliti. Biasanya yang bertindak sebagai informan ahli adalah kepala desa ataupun tokoh masyarakat yang disegani dan berperan penting dalam kelangsungan hidup masyarakat . (2) Informan biasa, yakni orang yang mengetahui tentang masalah yang akan diteliti. Informan biasa yang diambil untuk masalah penelitian yakni orang yang terlibat dalam pola konsumsi pangan. 5. Teknik Analisa Data Analisis data merupakan upaya menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Data yang diperoleh di Lokasi penelitian kemudian dianalisis setelah dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk laporan lapangan Adapun data yang diperoleh terbagi atas dua jenis : a) Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti (informan). Data primer diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara. b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau instansi tertentu misalnya Badan Pusat Statistik. Dalam menganalisis data diperlukan beberapa tahap yakni : 1.
Memilih-milih antara data yang menunjang dan tidak menunjang sesuai dengan fokus penelitian.
11
2.
Memeriksa data dengan catatan lapangan sehingga dapat diketahui informasi yang telah diperoleh selama berada dilapangan.
3.
Data yang diperoleh, baik pernyataan langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan fokus penelitian.
4.
Keabsahan data melalui triangulasi, dimana yang dilakukan dalam proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu dengan informan yang lain.
F. Sistematika Penulisan Keseluruhan dari penulisan ini terdiri dari 5 bab yang keberadaannya satu dengan yang lainnya saling berkaitan serta tak bisa dipisahkan. Komposisi bab tersebut adalah: 1.
Bab I berisikan Pendahuluan yang berisikan latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, rumusan masalah, dan metode penelitian.
2. Bab II adalah Tinjauan Pustaka, yang didalamnya memuat tentang konsepkonsep serta hasil penelitian sebelumnya yang menunjang pembahasan tentang pola konsumsi pangan. 3. Bab III merupakan Gambaran umum lokasi yang menerangkan secara umum kondisi-kondisi geografis dan sosial lokasi penelitian. 4. Bab IV yakni bab Pembahasan yang terdiri dari sub-sub yang memuat penjelasan mengenai fokus penelitian 5.
Bab V yang merupakan Penutup yang didalamnya terdiri dari kesimpulan dan saran penulis mengenai hasil dari penelitian yang telah diuraikan.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Perilaku Konsumsi Pangan Perubahan perilaku hidup atau gaya hidup sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Akibat perubahan masyarakat dalam gaya hidup yang kemudian berlanjut pada perubahan konsumsi makanan sehari-hari telah terbukti mempengaruhi kebiasaan makan masyarakat. Pada beberapa komunitas memiliki pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan pola makan atau kebiasaan konsumsi pangan bagi setiap komunitas dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain kebiasaan, kesenangan, budaya, lingkungan alam (termasuk musim), agama dan sistem keyakinan, taraf ekonomi, umur, dan sebagainya. Kebiasaan makan masyarakat dari golongan etnis yang berbeda umumnya tidak sama. Mereka mempunyai cara-cara yang berbeda di dalam menentukan dan memilih makanannya. Perbedaan kebiasaan konsumsi pangan antara golongan etnis dapat dijelaskan melalui suatu pandangan yang dijelaskan oleh beberapa ahli. Bahwa pemilihan makanan pada diri seseorang tidak begitu saja secara otomatis terjadi. Faktor sosial budaya hanyalah merupakan salah satu unsur disamping unsur-unsur lain dijadikan bagi seseorang didalam pemilihan makanannya.
13
Salah satu faktor sosial budaya yang terkait dengan pangan adalah kebiasaan konsumsi pangan. Berubahnya kebiasaan konsumsi pangan merupakan tugas yang luar biasa sulitnya karena kebiasaan konsumsi pangan telah terbukti paling menonjol perubahannya di antara semua kebiasaan. Apa yang kita suka dan yang tidak kita suka, kepercayaan terhadap apa yang kita makan yang berhubungan dengan kesehatan dan peristiwa ritual, telah ditanamkan sejak dari kecil. Hanya dengan susah payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak kecil, untuk memulai dengan makanan yang sama sekalipun berlainan jenis. Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan memasak, masalah kesukaan dan konteks kearifan lokal, kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahyul-tahyul yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi pangan, dengan kata lain pangan memiliki kategori budaya yang penting yang penting dan sebagai kategori budaya yang penting. Pangan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya (Foster, 1986). Secara umum pola konsumsi pangan di Indonesia memiliki satu ciri yang sama, yaitu terdiri dari 5 golongan : pertama, makanan pokok (beras atau pangan sumber karbihidrat lain), kedua, lauk pauk (dari pangan nabati dan hewani), ketiga, sayur mayur, keempat, kue-kue, jajanan atau buah-buahan yang dihidangkan kadang-kadang atau tetap antara waktu makan, juga biasa untuk suguhan tamu, kelima, air minum. Faktor–faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga serta faktor sosial budaya dan religi. Lebih jauh di jelaskan,
14
kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang terpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek sosial budaya konsumsi pangan adalah fungsi konsumsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sejalan dengan kondisi lingkungan sosial budaya (agama adat istiadat) yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan kebudayaan menjadi fenomena tingkah laku masyarakat yang dimanifestasikan dalam cara-aspek hidup, cara bertingkah laku dalam pemenuhan setiap kebutuhannya. Setiap individu dapat menentukan apa yang akan dikonsumsi sebagai makanan. Kebudayaan juga menentukan kajian seseorang yang boleh atau tidak dimakan suatu makanan. Ekspresi setiap individu akan berbeda satu dengan lain. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan. Kebiasaan makan terakumulasi dalam berbagai kegiatan sosial ekonomi dan budaya yang berimplikasi pada terbetuknya pengaruh yang kuat terhadap apa kapan, dan bagaimana komunitas atau masyarakat konsumsi makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan konsumsi pangan yang mengikutinya berkembang ditempat sekitar arti konsumsi pangan dan cara-cara menggunakannya. Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih makanan, jenis pangan yang harus diproduks, pengolahannya, penyiapan, dan penyajian. Pola konsumsi pangan dapat dikenal atas beberapa istilah atau sebutan yang kesemuanya merujuk pada pengertian yang sama seperti pola konsumsi makanan, pola makan, kebiasaan konsumsi pangan, atau kebiasaan makan. Berkaitan dengan pola konsumsi atau kebiasaan makan, ada banyak hal atau
15
faktor yang berhubungan dan saling terkait didalamnya. Koentjaningrat mengatakan bahwa pola konsumsi antara lain dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya yang meliputi juga cara-cara seseorang berfikir atau berpengetahuan yang ada dalam pikiran, perasaan dan pandangan tentang makanan. Tetapi yang ada dalam pikiran, perasaan dan pandangan itu kemudian dituangkan dalam bentuk tindakan memilih makanan. Adaptasi menuntut pengembangan pola-pola perilaku yang akhirnya membantu suatu organisme agar mampu memanfaatkan suatu lingkungan tertentu demi kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan maupun menghindari diri dari bahaya. Dilihat dari sisi budaya dan kebiasaan, sebagian orang Indonesia beranggapan belum lengkap atau belum merasa makan kalau belum makan nasi karena nasi dianggap begitu berharga, meskipun sudah menikmati berbagai jenis makanan pokok lainnya. Konsumsi makanan pokok merupakan proporsi terbesar dalam susunan hidangan masyarakat karena dianggap lebih penting diantara jenis makanan lain. Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam waktu tetentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal, beras dengan ubi kayu atau jagung) penelitian yang dilakukan PKK-LIPI di beberapa daerah juga menentukan
16
bahwa mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan mereka. Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikatif kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan hasil penelitian PKK-LIPI) dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada rumahnya. Misalnya, hanya makan 2 kali sehari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan 3 kali sehari, kebanyakan tidak dapat bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok sehingga panen berikutnya. Temuan-temuan ilmiah mengenai makanan pun seperti tak pernah berhenti mengalir. Kegiatan makan dan mencari makanan memang merupakan salah satu insting mendasar manusia. Sejak pertama kali manusia menjejakkan kaki di bumi bahkan sejak pertama kali ada kehidupan di bumi, kegiatan mengunyah, menelan dan
biarkan
sistem
pencernaan
mengurus
sisanya
telah
menjamin
keberlangsungan hidup manusia. Sehingga, bisa dikatakan bahwa mencari dan menikmati makanan adalah salah satu aspek mendasar kehidupan manusia. B. Konsumsi Pangan Masyarakat Pangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, tetapi juga sangat tergantung pada kualitas bahan pangannya. Kualitas konsumsi pangan meliputi jumlah makanan yang dimakan, sedangkan kuantitas meliputi ragam/jenis dan mutu biologi dari makanan yang dikonsumsi (Tarwojo, 1987). Bahan makanan yang dipilih sedapat mungkin bersumber dari
17
bahan pangan nabati maupun hewani yang mengandung beragam makanan yang diperlukan tubuh. Perbaikan konsumsi pangan penduduk berarti meningkatkan jumlah, mutu dan konsumsinya. Upaya memperbaiki konsumsi pangan adalah memberi perhatian khusus kepada beragam faktor yang berpengaruh, seperti penyediaan (terutama produksi dan impor) dan faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya dan teknologi (Suharjo, 1988). Sementara Chen (1987), mengatakan bahwa kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangan merupakan salah satu manivestasi kebudayaan dalam rumah tangga yang disebut gaya hidup. Gaya hidup ini, kebiasaan ini dipengaruhi oleh susunan keluarga, susunan hidangan (individu maupun masyarakat) dan kebiasaan-kebiasaan makan dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan lingkungan hidup. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh susunan keluarga, susunan hidangan (individu maupun masyarakat) dan kebiasaan-kebiasaan makan di dalam rumah tangga. Kebiasaan makan juga dipengaruhi oleh faktor kesediaan pangan, ekonomi, keluarga dan politik. Variabel-variabel tersebut dapat mempengaruhi perilaku individu maupun lingkungan masyarakat. Peningkatan perilaku pangan manusia adalah dengan meningkatkan adaptasi pada lingkungannya melalui pengetahuan tentang hal yang berpengaruh pada proses dalam pemilihan makanannya. Rendahnya pengetahuan, kebiasaan dan kepercayaan yang dipengaruhi oleh cara berfikir tradisional utamanya dalam peningkatan pangan merupakan penghambat terciptanya perilaku sehat di dalam masyarakat.
18
Lebih lanjut dikemukakan Chen (1987), bahwa budaya sebagai suatu gambaran bagaimana setiap individu memandang dunia ini termasuk makanan dan kebutuhan fisiknya serta cara memperoleh dan menggunakan makanan, nilai dan kesesuaian serta budaya sebagai satu kesatuan dalam sosial budaya dan tak dapat dipisahkan. Masalah pangan mencakup suatu lingkup yang cukup luas yaitu meliputi aspek produksi, konsumsi dan distribusi. Pada tingkat rumah tangga ternyata konsumsi energi dan protein bervariasi tergantung pada ciri-ciri demografis, sosial dan ekonomi serta potensi sumber daya setempat. Secara umum dikatakan bahwa masalah pangan merupakan sebagian dari masalah kesejahteraan pribadi, keluarga dan masyarakat akibat adanya ketimpangan antara kebutuhan persediaan, permintaan pangan dan kesehatan. Permintaan pangan mempunyai kaitan erat dengan pendapatan, harga pangan dan non pangan, pendidikan rumah tangga terutama ibu serta adat (cultur) dan kebiasaan (Sukirman, 1988). Hal senada dikemukakan juga oleh Tarwojo (1987) bahwa secara mikro jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh produksi, ketersediaan pangan nasional atau ketersediaan pasar, tetapi dipengaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan, pendidikan dan nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Makanan pokok pada umumnya memiliki fungsi-fungsi sosial tertentu, antara lain : 1.
Memenuhi kebutuhan perut
2.
Cara-cara identitas budaya
3.
Fungsi-fungsi agama dan magis
19
4.
Alat/cara komunikasi
5.
Pernyataan status ekonomi dan kesejahteraan
6.
Alat/cara mempengaruhi dan menunjukkan kekuatan / kekuasaan
Fungsi sosial makanan pokok juga memberi cara kekhususan golongan etnik/suku bangsa tertentu, oleh karena masi terkait dengan hal-hal yang bersifat sakral dan sebagainya. Alasan utama untuk memikirkan kondisi-kondisi tersebut terutama memikirkan kelangsungan hidup manusia, memikirkan pula bahwa disamping klasifikasi ilmiah tentang bahan pangan masyarakat juga masi memiliki cara-cara tradisional terhadap pengelompokan makanan sehingga perlu dikaji bagaimana karakteristik
perilaku
berkonsumsi
yang
berkaitan
dengan
aspek-aspek
antropologi. Kebiasaan makan dalam rumah tangga dan tingginya intervensi budaya dalam rumah sebagai salah satu faktor penentu budaya makan masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih berusaha memecahkan masalah kurang pangan. Makanan merupakan unsur penting bagi anak karena makanan penting untuk kesehatan saat ini dan akan datang. Semakin mudah umur seseorang semakin penting arti makanan buat mereka. Abunaim (1988) mengatakan bahwa tingkat keaktifan makan juga disebabkan oleh kebiasaan makan yang kurang memadai sedangkan faktor yang mempengaruhinya adalah sosial budaya dan ekonomi sebagai pengatur tidak langsung.
20
Hardiansyah (1998) mengemukakan pola kebiasaan makan disusun berdasarkan data jenis pangan, frekwensi penggunaan pangan serta banyaknya pangan (jumlah) yang dikonsumsi. Semakin sering suatu jenis pangan dikonsumsi maka semakin besar pula peluang jenis pangan tersebut tergolong kedalam pola konsumsi atau kebiasaan makan, sehingga derajat kesehatan ditentukan oleh tingkat kebiasaan makan dan kualitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan tersedianya semua pangan yang diperlukan oleh tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan yang prima. Pola konsumsi pangan adalah kebiasaan makan rumah tangga berupa cara yang dipakai orang untuk memilih bahan pangan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi kebudayaan dan sosial yang terdiri dari : 1.
Frekwensi makan keluarga
2.
Penyediaan makanan kecil ( selingan ) untuk keluarga
3.
Penyediaan buah-buahan untuk keluarga
4.
Penentuan menu makan untuk belanja
5.
Penyediaan dan menyajikan untuk keluarga
6.
Prioritas dalam pembagian makan
7.
Kebiasaan makan di luar dan jenis makanan yang dipesan
8.
Kebiasaan ibu membawa oleh-oleh jika ada kegiatan di luar rumah
Kebiasaan makan dipengaruhi oleh produksi ketersediaan pangan nasional ataupun ketersediaan pangan di pasar, daya jangkau/ekonomi konsumen, kesukaan, pendidikan, sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Sukirman (1987), mengemukakan bahwa pendapatan riil rumah tangga sebagai salah satu
21
faktor yang menentukan kebiasaan makan rumah tangga. Disamping itu, konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh harga pangan dan faktor sosial budaya keluarga. Jenis bahan pangan yang dikonsumsi dibagi kedalam beberapa kelompok pangan antara lain: 1) padi-padian dan umbi-umbian yang mengandung energi, 2) daging, ikan, nasi, dan telur yang mengandung protein, 3) kacang-kacangan dan 4) sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin dan mineral. Distribusi makanan dalam keluarga dipengaruhi oleh status yang terjalin antara keluarga atau pemenuhan makanan. Pengaruh lainnya dalam susunan makanan adalah efek dan kewajiban sosial. Pola makanan yang dihidangkan tiap harinya, serta jumlah, ragam dan bentuk bahan pangan yang terkandung di dalamnya, merupakan hal yang penting untuk mencapai kesehatan pangan. Pola hidangan biasa juga dipakai kriteria 4 sehat 5 sempurna dengan susunan sebagai berikut : nasi + lauk + sayur + buah dan susu. Pada tahun 1953, Soedarmo mengembangkan konsep 4 sehat 5 sempurna lebih lanjut. Empat sehat terdiri dari sereal dan umbi-umbian, protein hewani/nabati (lauk), sayur-sayuran (pauk) dan buah-buahan dan disebut 5 sempurna karena ditambah dengan susu. Susu merupakan makanan sumber protein yang berkualitas tinggi dan mengandung asam amino essensial. Jika kita membiasakan makan dengan konsep 4 sehat 5 sempurna maka penganekaragaman bahan makanan dapat terjamin sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dengan optimal (dalam Adam Sulaiman 2008).
22
Pengembangan dan penyempurnaan 4 sehat 5 sempurna yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1994 terdiri dari 6 kelompok pangan yaitu sereal, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buahbuahan dan susu. Pangan ini mengandung senyawa dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Rimbauawan (1999), mengemukakan bahwa pangan dengan makanan yang cukup, seimbang serta mutu yang baik merupakan pilihan terbaik untuk dikonsumsi. Nilai mutu bahan pangan ditentukan oleh kandungannya sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Pangan dengan kandungan yang lengkap secara proposional berpotensi menjadi pangan yang baik. C. Mutu pangan dan Kebiasaan Makan Pangan adalah segala bahan yang dimakan atau masuk ke dalam tubuh yang selanjutnya membentuk atau mengganti jaringan, memberikan tenaga atau mengatur semua proses dalam tubuh (Suhardjo, 1988, Handajani, 1994). Pangan juga mengandung nilai tertentu bagi kelompok manusia, suku bangsa atau perorangan sebagai unsur kesehatan, memberikan nilai yang dikaitkan dengan faktor-faktor emosi atau perasaan, tingkat sosial, agama atau kepercayaan dan lain-lain. Selanjutnya, Handajani (1994), menjelaskan bahwa pangan adalah bahan yang mengandung karbohidrat, lemak/minyak, protein, vitamin dan mineral yang dimakan dan diserap oleh tubuh. Bahan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan, penggantian sel yang rusak, dan semua proses tubuh yang vital. Makanan
23
bertujuan menyediakan tenaga untuk semua kegiatan. Apabila dalam sehari mengalami kurang makan maka tubuh kita terasa lemah, tak bertenaga, malas dan kurang semangat, sakit perut dan sebagainya. Perasaan lapar dan dahaga mendorong manusia untuk makan dan minum. Rasa lapar dan dahaga itu merupakan tanda pertama bahwa gizi yang diperlukan bagi kegiatan tubuh tidak mencukupi lagi. Makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga pembangun dan pengatur bagi kebutuhan seseorang. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan pada jenis makanan yang lain, sehingga diperoleh masukan makanan yang seimbang (Anonim, 1995). Menurut Susanto (2003), mutu pangan atas makanan adalah totalitas kandungan dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Ini berarti bahwa komponen-komponen pangan tidak hanya ditentukan oleh kandungan energi, karbohidrat, lemak tapi juga kandungan vitamin dan mineral. Sejak itu konsep mutu pangan yang semula diartikan sebagai kandungan pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan pangan yaitu persestase (%) konsumsi pangan terhadap kecukupan atau kebutuhan tubuh (Hardiansyah, 1988). Menurut undang-undang pangan (UU Nomor 7, Tahun 1996), mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan (makanan dan minuman). Secara sederhana mutu pangan dapat diartikan sebagai nilai yang didasarkan pada jumlah atau kandungan pangan dalam kaitannya dengan
24
kebutuhan dan tingkat ketrsediaannya secara biologis bagi tubuh (bio-availablity). Oleh karena itu mutu pangan secara sederhana ditentukan oleh jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan dan nilai biologis bagi tubuh. Konsep konsumsi pangan adalah makanan yang bernilai tinggi, yaitu makanan yang mengandung energi (yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak) (Hardiansyah, 1998). Konsep konsumsi pangan berbeda dengan konsep Mutu makanan. Makanan adalah pangan secara tunggal atas campuran/kombinasi beberapa pangan yang siap untuk dikonsumsi oleh karena itu mutu makanan tidak hanya ditentukan oleh bandingan dan nilai biologi yang dikandungnya secara proporsional tapi juga oleh faktor kebutuhan orang yang mengkonsumsi makanan tersebut. Perilaku
konsumsi
pangan
masyarakat
merupakan
kecendrungan
seseorang melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan makan. Seseorang yang bersifat positif terhadap makanan mempunyai kecendrungan berperilaku makan yang positif demikian pula sebaliknya. Perilaku (sikap) makan tertanam dalam diri seseorang akibat nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat dan lingkungannya. Perilaku individu meliputi segala sesuatu yang menjadi pengetahuannya (knowledge), sikapnya (attitudes) dan yang biasa dikerjakannya (action). Perilkau tidak muncul dalam diri individu tersebut (internal), melainkan merupakan interaksi individu dengan lingkungannya. Perilaku konsumsi pangan seseorang atau sekelompok masyarakat dipengaruhi oleh kebiasaan makan sehari-seharinya. Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang akibat proses (sosialisasi) yang
25
dipengaruhi dari lingkungannya dan meliputi aspek kognitif, efektif dan psikomotor (Berg, 1987). Tahap pertama dari kebiasaan makan adalah penerimaan pangan yang terjadi secara individual. Walaupun unsurnya hanya pangan dan individu, namun faktor yang mempengaruhi individu tersebut tidak terhitung jumlahnya. Demikian pula halnya pada anak-anak sekolah, proses terbentuknya perilaku konsumsi pangan bukanlah hal yang sederhana, karena didalamnya ikut serta berbagai faktor tertentu. Kebiasaan makan adalah budaya suatu rumah tangga, kelompok masyarakat atau negara yang kuat dari konsisten terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebiasaan makan pada suatu kelompok masyarakat dipertahankan dan dikembangkan secara turun temurun. Pola ini mempengaruhi cara memilih bahan dan jenis pangan apa yang harus diproduksi, diolah, disalurkan, disiapkan hingga dihidangkan. Analisis mutidisplin terhadap perilaku kebiasaan makan anak (Model Lund and Burk, dalam Sanjur, 1982), menjelaskan bahwa perilaku konsumsi anak tergantung dari motivasi / dorongan kebutuhan dan pemahaman (kognitif) tentang makanan. Pola konsumsi pangan dapat berfungsi sebagai cerminan (refleksi) dari kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, pengetahuan dan sikap terhadap pola konsumsi pangan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator perilaku pola konsumsi pangan. Kebiasaan makan individu dapat terlihat dari pola konsumsi pangan sehari-harinya. Karena perilaku konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan
26
makan, maka tingkat konsumsi pangan masyarakat, dapat juga dikatakan tolak ukur perilaku konsumsi pangan. Perilaku konsumsi pangan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan makan. Perilaku makan anak dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga, keluarga serta lingkungan sekolah. Perubahperubah lingkungan keluarga dan rumah tangga, keluarga serta lingkungan sekolah perubahan-perubahan lingkungan keluarga dan rumah yang perlu diperhatikan antara lain status ekonomi rumah tangga, pengetahuan dan sikap terhadap makanan, kepercayaan rumah tangga terhadap makanan serta keadaan dan sifat-sifat hidangan keluarga. Pada lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga perubahan-perubahan yang perlu diperhatikan meliputi pengalaman pendidikan anak seperti kegiatan makan bersama, pengetahuan dan sikap guru terhadap makanan (Sanjur, 1982). Dari sudut padang ilmu antropologi dan ilmu sosiologi, faktor umum yang mempengaruhi perubahan perilaku pola konsumsi pangan individu dan sistem sosial rumah tangga adalah adanya perubahan sosial (Sanjur,1982). Perubahan sosial dicerminkan oleh adanya perubahan dalam 3 hal, yaitu: (1) posisi atau status dan peranan anggota-anggota rumah tangga, (2) struktur sosial rumah tangga dan (3) pola interaksi dalam sistem sosial keluarga dan masyarakat. Dalam kebudayaan bukan hanya makanan yang dibatasi atau diatur, akan tetapi konsep tentang makanan, kapan dimakan, terdiri dari apa dan etiket makan. Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar serta berapa banyak mereka mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Jadi dengan demikian, nafsu makan dan lapar adalah suatu
27
gejala yang berhubungan namun bebeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskan adalah suatu konsep budaya yang dapat berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Makanan selain penting bagi kelangsungan hidup kita, juga penting bagi pergaulan sosial. Perilaku makan mempengaruhi prefensi seseorang terhadap jenis pangan yang menentukan kebiasaan makan sehari-hari. Hasil penelitian Pusat antar Universitas 1997 pada dua lokasi yang berbeda (kota dan desa) menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh nyata antara perilaku makan ibu desa dan kota namun sebanyak 26,7 % ibu desa dan kota yang bersikap netral. Hal ini terjadi diduga akibat masih adanya benturan antara nilai-nilai lama yang telah menjadi kebiasaan dengan nilai-nilai baru yang diterima melalui media penyuluhan pangan dan percontohan makanan sehat.
28
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis Dan Keadaan Alam Kabupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao terletak antara 2°-3° Lintang Selatan dan 119°-120° BujurTimur, dengan batas-batas wilayah : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten luwu dan Kabupaten Mamuju b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Pinrang d. Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Barat Kabupaten Toraja Utara dilewati oleh salah satu sungai terpanjang di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Saddang. Jarak ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai ± 329 km yang melalui kabupaten Tana Toraja Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kota Parepare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km persegi yang meliputi 21 Kecamatan. Kecamatan Baruppu dan Kecamatan Buntu Pepasan merupakan 2
29
Kecamatan terluas dengan luas masing-masing 162,17 km persegi dan 131,72 km persegi atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 25,52 persen dari seluruh wilayah Toraja Utara. Sungai Sa’dan merupakan sungai yang utama di wilayah ini. Alirannya terpecah kedua lembah: Rantepao di Utara dan Makale di Selatan. Anak-anak sungainya mengaliri lembah-lembahnya yang lebih kecil. Dalam keadaan biasa kedalamannya hanya setengah meter. Sungai ini dipenuhi serakan batu-batu besar. Oleh sebab itu, sekalipun lebarnya berkisar 40.100 meter, hanya ada beberapa tempat saja disungai ini yang dapat dilayari dengan rakit namun pada saat sekarang ini sudah jarang ditemukan masyarakat yang menggunakan rakit karena sudah ada jembatan. Wilayah Toraja Utara didominasi oleh jajaran pegunungan yang ketiggiaannya berkisar ± 600-2.176 meter, puncak tertinggi adalah gunung Sesean (2.176 m). Selain pegunungan, di wilayah ini terdapat juga bagian–bagian datar beberapa dataran tinggi dan dataran rendah, daerah berawa, delta dan jurang. Dataran ini merupakan lembah yang membentang di kaki pegunungan yang mengitarinya. Di daerah dataran tinggi, pencapaian aliran sungai ini kira-kira 800 m karena kondisi wilayah ini yang terletak di pegunungan dan tanpa pengaruh angin laut, suhu dapat menunjukkan perbedaan yang mencolok siang panas dan malam dingin. Musim hujan umumnya berlangsung pada bulan November-Juni. Kadang juga hujan turun sekitar bulan Maret - April. Musim kering biasa terjadi di bulan
30
Mei – Oktober. Tetapi sebagaimana musim kering pun dapat datang lebih awal atau lebih lambat. Kabupaten Toraja Utara terdiri dari 21 kecamatan. Luas daerah, prosentase luas terhadap luas kabupaten dan letak daerah menurut ketinggiannya dari permukaan laut perkecamatan dapat dilihat pada tabel berikut : TABEL I Luas Daerah dan Persentase Luas Terhadap Luas Kabupaten Dirinci Per Kecamatan Di Kabupaten Toraja Utara Tahun 2008 Luas Daerah Regional Area Luas Prosentase Area (km2) Percetage (2) (3) 47,64 4.14 26,00 2.26 39,00 3.39 49,50 4.30 84,84 7.37 68,00 5.91 36,00 3.13 9,42 0.82 10,29 0.89 23,44 2.04 40,05 3.48 46,51 4.04 80,49 6.99 21,00 1.82 21,68 1.88 47,27 4.11 77,49 6.73 54,71 4.75 74,25 6.45 131,72 11.44 162,17 14.08 1.151,47 100.00
Kecamatan District (1) 1. Sopai 2. Kesu’ 3. Sanggalangi 4. Butao 5. Rantebua 6. Nanggala 7. Tondon 8. Tallunglipu 9. Rantepao 10. Tikala 11. Sesean 12. Balusu 13. Sa’dan 14. Bangkele kila 15. Sesean Suloara 16. Kapala Pitu 17. Dende Piongan Napo 18. Awan Rante Karua 19. Rinding Allo 20. Buntu Pepasan 21. Baruppu Jumlah/total Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2008
Melihat wilayah Kabupaten Toraja Utara terdiri atas dataran tinggi yang meliputi daerah/kecamatan Barruppu’, Buntu Pepasan, Rinding Allo,Awan Rante 31
Karua, Kapala Pitu Dende’ Piongan, sa’dan,Sopai, Buntao’ dan dataran rendah, meliputi daerah Tikala, Rantepao, Tallunglipu, Tondon, Kesu’, Sanggalangi’. Kabupaten Toraja Utara merupakan salah satu daerah pertanian dan perkebunan. Tanaman yang dibudidayakan masyarakat Toraja Utara seperti kopi, coklat, padi serta komoditas tanaman pangan andalan lainnya yang dihasilkan seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, dan sayuran-sayuran. Daerah pertanian dan perkebunan meliputi Kesu’, Sopai, Sanggalangi’, Nanggala, Tondon, Balusu, Sa’dan. Daerah-daerah tersebut strategis dan cocok untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan, sedangkan daerah pemukiman dilihat dari jumlah paling banyak penduduknya adalah Rantepao karena merupakan pusat kota Toraja Utara. Sebagai sumber daya pengembangan, sub sektor perkebunan memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai aspek: ekonomi, ekologi, dan sosial. Pada aspek ekonomi, sektor perkebunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah, yang berimplikasi pada aspek sosial. Adapun pada aspek ekologi, sektor ini berperan besar dalam menjamin keseimbangan lingkungan hidup yang juga berdapak pada aspek-aspek sosial pembangunan. Dengan kondisi wilayah yang cukup luas yang terletak di areal strategis merupakan potensi ekonomi terutama disektor perkebunan. Untuk menunjang ini, diperlukan jangkauan pemasaran yang luas dan tepat. Sampai saat ini, hasil bumi yang dihasilkan berupa kopi, kakao, cengkeh, dll. Dalam bidang kehutanan, Toraja termasuk sukses melalui program partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam memelihara hutan. Data dari dinas
32
kehutanan (2008) menunjukkan daerah yang merupakan lokasi pemeliharaan (reboisasi), meliputi, Nanggala dengan luas area 50 ha, Bangkele Kila dengan luas area 100 ha, Dende Piongan Napo dengan luas area 50 ha, dan Sa’dan dengan luas area 120 ha. B. Aspek Demografi 1.
Kependudukan dan Etnisitas Penduduk Kabupaten Toraja Utara berdasarkan data statistik tahun 2008
berjumlah 226.125 jiwa tersebar di 21 Kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 25.510 jiwa mendiami Kecamatan Rantepao sedangkan kecamatan yang tingkat kepadatannya paling rendah adalah Kecamatan Bangkele Kila dan Awan Rante Karua, yaitu 5.803 dan 4.870 jiwa. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang masing-masing 118.257 jiwa penduduk lakilaki dan 108.221 jiwa penduduk perempuan. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2007 mencapai 1,02% persen. Data mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan seks rasio dirinci perkecamatan di kabupaten Toraja Utara tahun 2008 dapat terlihat pada Tabel II berikut: TABEL II Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Seks Rasio Dirinci Per Kecamatan Di Kabupaten Toraja Utara Tahun 2008 No
1
Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2) 6.757
(3) 6.615
(4) 13.372
Sopai
33
Seks Rasio (%) (5) 102
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kesu’ Sanggalangi Buntao Rantebua Nanggala Tondon Tallunglipu Rantepao Tikala Sesean Balusu Sa’dan Bangkele Kila Sesean Suloara Kapala Pitu Dende Piongan Awan Rante Karua Rindingallo Buntu Pepasan Baruppu’ Jumlah
7.818 5.934 4.898 4.909 5.315 5.762 8.037 12.833 5.675 5.930 3.769 7.746 2.983 3.241 3.510 5.329 2.585 4.600 7.239 3.387 118.257
7.298 5.597 4.478 4.478 4.644 3.865 7.543 12.677 5.224 5.619 3.909 6.806 2.806 2.861 3.368 4.495 2.285 4.030 6.495 3.211 108.221
15.116 11.531 9.277 9.387 9.959 9.627 15.580 25.510 10.899 11.549 7.678 14.552 5.803 6.102 6.878 6.878 4.870 8.630 13.734 6.598 226.478
107 106 111 109 114 149 106 101 108 103 96 113 105 113 104 118 113 114 111 105 109
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2008
Penyebaran penduduk di setiap kecamatan tidak merata, hal ini dipengaruhi oleh karena keadaan topografi yang berbeda-beda dan juga karena jenis pekerjaan atau mata pencaharian dari penduduk Toraja Utara. Adapun data presentase penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama dan jenis kelamin di Kabupaten Toraja Utara tahun 2008 dapat dilihat pada tabel berikut ini: TABEL III Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin Di Kabupaten Toraja Utara Tahun 2008 No 1 2 3
Kegiatan Utama (1) Bekerja Mencari Pekerjaan Angkatan Kerja
Laki-Laki (2) 107.511 4.915 112.426 34
Perempuan (3) 76.336 5.552 81.888
Jumlah (4) 183.847 10.467 194.314
4 5 6 7 8 9 10
% Bekerja Terhadap Angkatan Kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya Bukan Angkatan Kerja Jumlah % Angkatan Kerja Terhadap Penduduk Usia Kerja
95.63
93.22
94.61
18.901 1.321
18.792 39.361
37.696 40.696
15.953 36.175 148.601 75.66
9.775 67.931 149.819 54.66
25.728 104.106 298.920 65.11
Sumber : Hasil Survey Angkatan Kerja Nasional 2008
Dari tabel tampak bahwa angkatan kerja yang paling banyak yaitu 194.314 jiwa, dimana laki-laki sebanyak 112.426 jiwa dan perempuan sebanyak 81.888 jiwa. Pada umumnya penduduk Kabupaten Toraja Utara merupakan penduduk asli. Adapun pendatang adalah mereka yang menikah dengan penduduk setempat yang memilih untuk tinggal menetap disana atau mereka yang bekerja sebagai PNS, pedagang, buruh, dll. Jumlah penduduk di Kabupaten Toraja Utara terdiri dari beragam suku, misalnya: Jawa, Bugis, Makassar, Manado, Ambon, Batak. Adapun warga asing seperti Cina, India, Barat, dan tentunya suku Toraja sendiri. Umumnya mereka tinggal dan menetap di wilayah Kecamatan Rantepao, yang menjadi pusat bisnis atau perdagangan dan perkantoran. 2.
Pola Pemukiman Penduduk Toraja Utara tersebar di 21 Kecamatan dengan keadaan
pemukiman yang cukup kondusif, mereka sadar akan pentingnya hidup sehat dengan menciptakan lingkungan pemukiman yang bersih dan sehat sebagai salah satu syarat terciptanya masyarakat yang sehat. Setiap keluarga memiliki
35
pembuangan tinja dan tidak membiarkan ternak berkeliaran, mereka membuatkan kadang untuk ternaknya. Perumahan penduduk khususnya di daerah perkotaan sudah didominasi bentuk rumah yang sudah permanen atau rumah batu sedangkan daerah pedesaan ada sebagian rumah batu dan sebagian lagi rumah panggung. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan sebagian sudah berpindah ke daerah dataran rendah atau daerah pinggir jalan karena jarak yang ditempuh ke kota cukup lama dan jarang kendaraan.alasan lain mereka pindah karena fasilitas di sebagian daerah pegunungan belum memadai, jarak rumah penduduk ke sekolah cukup jauh. 3. System Kekerabatan dan Stratifikasi Sosial a.
Sistem Kekerabatan Masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial yang hidup dan berkembang
sebagai akibat dan perkawinan akan menjadi suatu kesatuan sosial yang disebut keluarga atau rumah tangga. Keluarga adalah tempat untuk membina dan memperoleh berkat demi masa depan. Keluarga batih dan keluarga inti terdiri dari atas ayah, ibu, anak. Hubungan kekerabatan masyarakat Toraja Utara menampakkan suatu pola melalui hubungan darah (keturunan) maupun melalui hubungan perkawinan. Semuanya tercakup dalam rumpun keluarga yang disebut sangrapuan. Bentuk sistem kekerabatan yang dianut berupa bilateral yaitu sistem yang mengikuti garis keturunan pihak bapak maupun ibu.
36
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan,
untuk
mencegah
penyebaran
harta. Hubungan
kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Sebagai kepala rumah tangga, bapak bertanggung jawab atas ketentraman hidup dalam keluarga, memberi perlindungan atas segala macam gangguan yang mungkin terjadi dan memberikan kebahagiaan hidup baik jasmani maupun rohani. Misalnya hubungan baik perlu dipertahankan. Oleh karena itu orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat mempunyai peranan penting dalam memelihara nilainilai budaya melalui nasehat atau arahan-arahan agar terciptanya insan-insan bermoral baik.
37
Mengenai pewarisan harta pusaka tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita mereka memiliki hak yang sama untuk memperoleh warisan dengan ketentuan bahwa besar kecilnya warisan yang diterima oleh seseorang anak didasarkan atas pengabdian anak tersebut terhadap orang tuanya baik semasa hidup maupun pada saat diupacarakan dalam upacara rambu solo’ yang berhubungan dengan arwah orang tuanya. Istilah-istilah kekerabatan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Adapun istilah-istilah hubungan kekerabatan dalam masyarakat Toraja Utara adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Ambe Indo Siulu Baine Siulu Muane Adi’ Sampu Matusa Muane Baine Ipa’ Anak ure Ampo Mammi Ne’ Uttu’
: : : : : : : : : : : : :
Bapak Ibu Saudara perempuan Saudara laki-laki Adik Sepupu Mertua Laki-laki Perempuan Ipar Ponakan Cucu Nenek Buyut
b. Stratifikasi sosial Toraja Utara adalah nama yang digunakan saat ini untuk kawasan yang dihuni oleh mayoritas orang Toraja. Secara tradisional, wilayah ini disebut sebagai Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matari Allo. Makna yang dikandung dalam nama itu adalah negeri yang pemerintahan dan masyarakatnya bulat bagai bulan dan matahari.
38
Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik itu dalam aktivitasnya pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap maupun bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri. Tingkatan pertama TOKAPUA (Tana’ Bulaan). Tingkatan ini adalah golongan kelas atas dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini. Istilah itu seperti: Anak Patalo, Kayu Kalandona Tondok, Todi Bulle Ulunna, dan lain-lain. Semua istilah tidak lasim dipergunakan dalam bahasa sehari-sehari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertempuan formal lainnya. Kata Tokapua juga tidak pakai sehari-sehari, biasa diganti dengan kata Tosugi kalau golongan bangsawan ini termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan Tokapua ini berlainan ditiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang dikenal dengan nama“Tallu Lembangna“ yang mencakup kecamatan Makale, Sangngalla’ dan Mengkedek. Golongan Tokapua disebut “Puang” misalnya “Puang Makale”. “Puang sangngalla“ dan “Mengendek”. Di Daerah bagian sebelah barat Toraja, golongan Tokapua disebut “Ma’dika“ seperti “Ma’dika Ulusalu”, “Ma’dika Bittuang“. Di daerah bagian tengah Toraja golongan Tokapua disebut “Siambe“ untuk laki-laki dan “sindo” untuk perempuan. Misalnya Siambe’ do Buntupune’, Siambe’ lan tandung Labo’, Sindo’ lan Nanggala, Sindo’ dio Ke’te’ dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan.
39
Di daerah bagian Utara golongan Tokapua disebut “Puang” seperti Puang Sa’dan, Puang Balusu. Ada juga bagian daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan “Pong”, seperti “Pong Tiku do Pangngala“, Pong Massangka do Bori’. Pada umumnya golongan bangsawan ini yang memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang mengusai tanah persawahan di Toraja. TOMAKAKA (Tana’ Bassi) golongan menengah masyarakat Toraja disebut “Tomakaka“. Golongan ini erat hubungannya dengan Tokapua. Mereka adalah golongan bebas mereka juga memiliki tanah persawahan, Tomakaka yang tidak memiliki harta benda disebut “Tomakaka Kandian“. TO BUDA (Tana’ karurung dan Tana’ Kua-Kua) golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja ialah “To Buda“. Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka adalah penggarap tanah bangsawan kaum tani dan pekerja yang ulet. Tekun, dan hidup sangat sederhana. Golongan ini tidak boleh kawin dengan golongan yang lebih tinggi seperti Tokapua dan Tomakaka. Ketiga daerah adat yang telah disebut diatas menunjukkan perbedaanperbedaan dalam stratifikasi sosial tradisional. Serta aturan pelaksanaan upacara atau aluk dan perbedaan jumlah korban utama pada upacara pemujaan tertinggi. Di daerah adat Pekamberan, jumlah dasar kerbau pada upacara pemujaan tertinggi sebanyak 2 (dua) ekor, daerah adat Kapuangan 24 (dua puluh empat) ekor kerbau harus dikorbankan sebagai dasar persembahan korban kerbau.
40
Didaerah adat Kama’dikan dalam upacara pemujaan tertinggi, mempersembahkan seekor kerbau sebagai dasar korban. Keempat pelapisan sosial yang telah disebut diatas, berkaitan dengan peran, hak, serta kewajiban dalam pelaksanaan suatu ritual; sebab setiap kasta atau tana’ didasarkan pada mitos kejadian manusia. Mitos kejadian manusia ini juga merupakan dasar dari apa yang dikenal sebagai ada’ oto’ na, dalam masyarakat Toraja Utara. Pengaruh kasta atau tana’ masyarakat Toraja Utara terutama pada masyarakat perkotaan sudah ditinggalkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian muncullah dasar stratifikasi sosial yang baru misalnya dulunya kebanyakan faktor keturunan, namun sekarang menjadi prestasi dan kemampuan pribadi. C. Aspek Ekonomi 1. Mata Pencaharian Penduduk Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Toraja Utara adalah pegawai pemerintah, pedagang, pengusaha, POLRI, TNI, Rohaniawan, Peternak, Petani, buruh dan lain-lain.Toraja Utara secara umum wilayahnya sangat cocok dengan daerah pertanian dan perkebunan karena selain daerahnya subur, juga dapat dilihat dari komoditas pertanian dan perkebunan yang cukup besar seperti kopi, coklat, jagung, ubi, kacang, dll. 2. Sarana Dan Prasarana Ekonomi Jalan
merupakan
prasarana
angkutan
darat
yang
penting
untuk
memperlancar kegiatan perekonomian. Usaha pembangunan yang semakin
41
meningkat menuntut adanya transportasi untuk menunjang mobilitas penduduk dari dan ke suatu daerah. Kabupaten Toraja Utara saat ini dilalui oleh sebuah jalan poros
yang
menghubungkan
antara
Kabupaten
Tana
Toraja,
bahkan
menghubungkan antara Kabupaten Enrekang dan juga Kabupaten Luwu. Sarana angkutan umum yang tersedia di Toraja Utara adalah mobil kijang dan mikrolet atau yang akrab di sebut dengan pete-pete oleh masyarakat setempat. Mobil kijang merupakan angkutan antar kota sedangkan pete-pete secara umum hanya melewati jalan poros setiap hari yang merupakan angkutan dalam kota, sedangkan yang melewati jalan desa hanya pada waktu tertentu saja seperti pada hari pasar. Selain itu terdapat beberapa buah motor ojek untuk angkutan dalam desa yang biasanya beroperasi antar desa atau dari desa ke jalan poros. Sarana angkutan lain adalah sitor/bentor yang kerap dijadikan sebagai sarana transportasi oleh sebagian penduduk dalam kota. Sarana lain yang paling penting dalam mendukung perekonomian yaitu pasar, di Toraja Utara terdapat 1 pasar induk tradisional atau kelas I yaitu pasar Bolu dan beberapa pasar kelas II dan III seperti pasar pagi, To’karau’ dll. Ada beberapa komoditas yang diperdagangkan di pasar tradisional Toraja Utara yaitu barang-barang impor seperti plastik, peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, pakaian, kain, daun tembakau, pinang, sirih , gambir, tembakau dan rokok kretek (diimpor dari sulawesi Selatan dan pulau Jawa bahkan dari Cina) dan juga sayur mayur, buah-buahan, serta ikan segar (dari Luwu dan Enrekang), sedangkan komoditas lokal seperti kopi, coklat, kacang dan yang paling tidak ketinggalan
42
setiap hari pasar bahkan diluar hari pasar adalah babi dan kerbau tetapi khusus di pasar Bolu dan tidak dijual di pasar yang kelas lebih rendah.
D. Agama dan Kepercayaan 1.
Agama yang dianut Pada umumnya sebagian besar masyarakat Toraja Utara menganut agama
Kristen. Hal tersebut dapat dilihat pada Perkembangan pembangunan dibidang spiritual yaitu sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan agama Kristen yang terdiri dari Kristen Protestan dan Katolik pada tahun 2008 masing-masing berjumlah 1.210 dan 287 unit. Ditinjau dari jumlah pemeluk agama, pada tahun 2008 di Kabupaten Toraja tercatat 326.174 Umat Kristen Protestan, 73.338 Umat Katolik, 34.345 Umat Islam dan 12.785 Umat Hindu.Dapat dilihat pada tabel: TABEL IV JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI KABUPATEN TORAJA UTARA TAHUN 2008 AGAMA DAN KEPERCAYAAN Kristen protestan Katolik Islam Hindu
JUMLAH 326.174 74.338 34.345 12.783
Sumber : BPS Toraja Utara 2008
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja tidak melepaskan diri dari kepercayaan asli yang diwariskan secara turun-temurun sejak dahulu kala yaitu Aluk Todolo. Aluk Todolo terdiri atas aluk yang berarti aturan yang telah
43
ditetapkan dan tidak dapat diganggu gugat. Kata “To“ berarti orang dan “Dolo“ berarti terdahulu. Jadi Aluk Todolo berarti peraturan dari orang-orang terdahulu. Berpangkal dari Aluk Todolo, manusia diwajibkan mempergunakan segala yang ada didunia dan sekaligus menyembah kepada 3 oknum yaitu:
1. Puang Matua Puang Matua berdasarkan Aluk Todolo dipandang sebagai dewa tertinggi yang dianggap sang pencipta seluruh alam yang diyakini bersemayan dibagian Ulunna Lino ( bagian utara bumi). Bentuk penyembahan kepada Puang Matua adalah mempersembahkan hewan seperti kerbau, babi, ayam. 2. Deata-deata Deata-deata berdasarkan Aluk Todolo dipandang sebagai dewa pemelihara. Penguasa dan pengatur kehidupan yang bersemayan dibagian Matallo (bagian timur bumi). Bentuk penyembahan kepada deata-deata adalah mempersembahkan hewan seperti kerbau, babi, ayam. 3. Tomembali Puang Tomembali Puang berdasarkan Aluk Todolo dianggap sebagai pengawas yang bersemayam di Pollo’na Lino (bagian Selatan Bumi). Betuk penyembahan
kepada
Tomembali
Puang
adalah
dilakukan
oleh
keturunannya untuk memperingati arwah nenek moyang dengan mempersembahkan hewan seperti kerbau dan babi (Tandilitin 1978:3-4). Demikian nilai-nilai tradisional yang ada dalam Aluk Todolo masih
44
dipegang erat oleh penduduk, seperti yang tampak dalam upacara Rambu Solo dan Rambu Tuka”. 2.
Kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan Seperti yang telah dijelaskan bahwa agama-agama yang terdapat di Toraja
Utara adalah Kristen Protestan, Katolik, Islam dan Hindu.Kegiatan-kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan masyarakat Toraja Utara seperti kebaktian rumah tangga, Natal, Paskah bagi umat Kristiani sedangkan bagi umat Islam, mereka sering mengadakan sunatan, hakekah, ta’ziah, Idul Fitri dan pernikahan yang dilaksanakan oleh masing-masing agama. Masyarakat Toraja Utara sangat rukun saling bertoleransi antara satu dengan lainnya tanpa memandang suku dan agama, terbukti setiap ada kegiatan keagamaan, masyarakat satu sama lainnya ikut membantu mereka yang melaksanakan acara, misalnya Natal, Idul Fitri, Pernikahan, mereka bekerja bersama-sama dalam mempersiapkan acara tersebut mulai dari dekorasi sampai makanan tetapi khusus bagi orang kristen, makanannya dikerjakan di tempat yang terpisah dengan makanan yang lainnya sedangkan makanan umum biasanya orang-orang tertentu atau tidak sembarang orang yang mengerjakan mengingat ada makanan yang diharamkan oleh agama lain. 3.
Kepercayaan dan Ritual Adat Istiadat Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat Toraja Utara masih
percaya dengan pamali, misalnya tidak boleh potong ayam atau masak ayam dirumah kalau ada anggota keluarga di rumah yang meninggal dan tidak boleh mengangkat mayat dari kuburan/liang untuk dipindahkan atau mengganti
45
peti/bungkusan mayat yang sering diadakan orang Toraja yang dikenal dengan istilah ma’nene’ kalau musim tanam karena konon katanya padi atau tanaman yang ditanam busuk. Salah satu wujud ritual dari adat istiadat masyarakat Toraja Utara yang masih menonjol adalah upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’ atau yang dikenal dengan upacara kematian, bagi masyarakat Toraja Utara pelaksanaan acara tersebut bukan berarti menghamburkan uangnya akan tetapi apa yang mereka lakukan merupakan ungkapan rasa hormat dan tanda terima kasih kepada keluarga mengingat jasa-jasanya selama hidup. Pada Upacara Rambu Tuka’ waktunya hanya 1 (satu) hari saja tetapi pada Upacara Solo’ biasannya waktu yang diperlukan paling kurang 1 minggu dan paling lama 1 bulan karena banyak ritual-ritual yang diadakan sebelum masuk acara puncaknya misalkan pertama, mayat diarak-arak keliling kampung bahkan keliling sampai ke kota dengan istilah Ma’palao, acara tersebut biasanya dirangkaikan dengan perpindahan mayat dari rumah yang ditinggali ke rumah Tongkonan bahkan ke lapangan atau Rante kemudian disemayamkan ± 3 hari di Alang/Lumbung yang biasanya tempat menyimpan padi orang Toraja kemudian diangkat ke Lakkian/tempat mayat yang khusus disediakan, lalu diteruskan dengan acara Ma’pasilaga Tedong atau aduh kerbau kemudian masuk dalam acara inti/puncak. Meskipun masyarakat Toraja pada umumnya telah memeluk agama baru yaitu agama kristen tetapi mereka tetap memelihara apa yang mereka anggap sebagai adat Toraja. Adat yang mereka anut itu sebetulnya adalah aluk yang dianggap netral terhadap iman Kristen atau upacara adat dimana isi dan bentuknya
46
mereka rubah berdasarkan Firman Tuhan dimana dalam rangkaian acara tersebut melibatkan agama khusus pada malam hari dan pada hari terakhir saat mayat akan dibawah ke kuburan/liang diadakan kebaktian untuk menghibur keluarga dan pada siang harinya menggelar ritual adat istiadat. Karena waktunya cukup lama maka biaya yang dikeluarkanpun tidak sedikit seperti membeli kerbau, babi, membuat pondok, bahkan untuk pesiapan makanan dan minuman yang akan disuguhkan pada tamu tetapi keluarga sudah mempersiapkan sebelumnya.
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Ketersediaan Dan Konsumsi Pangan Secara Tradisional Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga ketersediaannya harus selalu terjamin dan terpenuhi. Oleh karena itu, manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tentram serta sejahtera lahir dan batin semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup baik dari segi jumlah, mutu dan ketersediaannya yang terjangkau serta berkualitas dan merata. Ketersediaan pangan pada suatu daerah atau wilayah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan sehingga masyarakat bebas dari kekurangan pangan serta kelaparan dan masyarakat dapat hidup secara aktif, sehat serta produktif. Ketersediaan pangan harus memenuhi standar kecukupan baik secara makro maupun secara mikro sehingga penyediaan pangan dapat tertata secara optimal dan lebih baik. Oleh karena itu, kecukupan pangan merupakan hal yang sangat strategis. Kebiasaan mengkonsumsi pangan di kalangan masyarakat Toraja Utara selain dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, juga sosial budaya dan faktor pribadi
48
yang ikut berpengaruh. Sedangkan distribusi pangan dipengaruhi oleh penentuan kebijakan dalam mendukung perbaikan secara produksi pangan baik jumlah maupun kemampuannya. Distribusi pangan sangat ditentukan juga oleh ketersediaan pangan baik wilayah maupun keluarga pada rumah tangga/individu. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh aksestabilitas, alam dan kemapuan dan kemampuan daya beli. Terkait dengan produksi pangan, masyarakat Toraja Utara cukup baik dalam hal pengolaan dan pemanfaatan lahan mereka untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan untuk ditanami padi, jagung, kacang, ubi serta sayur-sayuran, disamping itu juga untuk memperbaiki hasil panen serta mutunya, mereka membuat kelompok-kelompok tani dan dari pihak pemerintah setiap bulan rutin mengadakan penyuluhan kepada kelompok tani. Dalam hal distribusi pangan, masyarakat Toraja Utara khususnya yang berada di pedesaan sangat terbantu dengan adanya pasar-pasar kecil atau pasar kelas III yang berada di desa karena untuk menjual hasil pertanian/perkebunan serta untuk membeli kebutuhan mereka tidak perlu lagi ke kota. Terkadang pula pedangan yang di kota datang untuk membeli hasil ladang masyarakat karena harganya masih murah kalau langsung dari petani kemudian dijual lagi di kota tetapi tidak setiap hari pasar tersebut buka hanya seminggu sekali. Seperti penuturan seorang petani bernama bapak Thomas, 47 thn : Saya sangat senang selama ada pasar di desa kami, saya tidak perlu ongkos lagi ke kota untuk menjual kopi karena pedagang dari kota datang ke pasar ini membelinya. (wawancara 5 nopember 2010) Hal senada diungkapkan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Ester, 56 thn :
49
Pasar ini buka hanya seminggu sekali tapi kami sangat senang karena sangat membantu masyarakat setempat bahkan ada dari desa lain juga datang kesini menjual hasil ladangnya. (wawancara 5 nopember 2010).
Ketersediaan pangan dalam sebuah keluarga atau rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan komsumsi rumah tangga. Penentuan jangka
waktu
ketersediaan
makanan
pokok
biasanya
dilihat
dengan
mempertimbangkan jarak antara musim tanaman dengan musim tanaman berikutnya. Ukuran ini berlaku pada rumah tangga yang sumber mata pencaharian pokok sebagai petani. Seperti yang dilakukan masyarakat Toraja Utara dalam hal memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, jika musim penghujan mereka menanam padi karena sawah yang ada di Toraja Utara pada umumnya sawah tadah hujan tetapi jika musim kemarau mereka memanfaatkan sawah untuk menanam sayur-sayuran atau kacang tanah dan jagung dan hasilnya dijual ke pasar untuk membeli beras. Hal tersebut diperkuat oleh penuturan seorang informan bernama bapak Joni, 48 thn: Jika musim kemarau tiba maka otomatis kami tidak bisa tanam padi karena tidak air untuk mengairi sawah tetapi sebagai penggantinya kami tanamam kacang tanah di sawah dan hasilnya kami pakai untuk membeli beras. (wawancara 1 nopember 2010). Penyediaan dan konsumsi pangan bagi masyarakat Toraja Utara memerlukan suatu parameter, salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah pola pangan harapan. Dengan melalui pendekatan pola pangan harapan, hal ini dimaksudkan agar permasalahan
50
yang menyangkut pangan dapat teratasi dengan baik sehingga kebutuhan akan konsumsi pangan masyarakat Toraja Utara dapat terpenuhi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kesadaran masyarakat akan pentingnya penganekaragaman pangan dalam hal produksi dan penyediaan pangan untuk dikonsumsi semakin meningkat. Hal ini terlihat dari semakin banyak atau semakin beranekaragam hasil dari pertanian yang dijual di pasar-pasar. Kesadaran ini dipengaruhi karena tingginya tingkat konsumsi pangan masyarakat Toraja Utara. Selain itu, berkaitan dengan konsumsi pangan/kebiasaan makan, ada banyak hal yang berhubungan dan saling terkait didalamnya seperti dari segi ekonomi
yaitu
tingkat
penghasilan/pendapatan.
Penghasilan/pendapatan
merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Rumah tangga/individu yang tingkat penghasilannya lebih tinggi akan cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam mutu dan jumlah dibandingkan dengan rumah tangga/individu yang penghasilannya lebih rendah, mereka kurang mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh. Setidaknya penganekaragaman bahan makanan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan, akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh tidak terpenuhi. Hal yang sama pula yang dilakukan masyarakat Toraja Utara dalam mengkonsumsi pangan sehari-hari, tingkat penghasilan dalam rumah tangga/ individu sangat berpengaruh karena tidak semua masyarakat Toraja Utara mampu membeli makanan yang bermutu. Kondisi seperti inilah yang membuat sebagian
51
masyarakat Toraja Utara yang berpenghasilan rendah untuk memilih bahan makanan yang murah dan mudah didapatkan untuk dikonsumsi. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Selvi, 30 thn : Untuk makan sehari-hari itu tergantung dari penghasilan suami yang bekerja sebagai sopir, kalau sehari dapat penumpang banyak jadi pendapatannya juga lumayan jadi kami bisa beli makanan enak tetapi kalau pendapatan kurang, kami makan seadanya saja. (wawancara 22 nopember 2010).
Lain halnya dengan ibu Maya,39 thn, karyawan bank menuturkan : Dari penghasilan perbulan sengaja saya sisihkan lebih khusus untuk keperluan makan karena tiap hari menu makanan di rumah harus bervariasi karena anak-anak tidak mau makan kalau makanan itu-itu terus. (wawancara 26 nopember).
Kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi produk pangan ini juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat yang sudah semakin dinamis dikarenakan tuntutan kebutuhan hidup terutama pangan yang semakin tinggi. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi menyebabkan masyarakat melakukan upayah-upayah yang lebih keras untuk menutupi kebutuhannya tersebut. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya seorang ibu rumah tangga yang ikut bekerja untuk membantu suami dalam mencari nafkah. Seorang ibu rumah tangga yang ikut bekerja untuk membantu suami akan mengakibatkan berkurangnya waktu yang tersedia untuk menyiapkan kebutuhan keluarga. Hal ini bukan dianggap suatu kendala bagi suatu rumah tangga karena dengan semakin banyaknya anggota yang bekerja di luar, maka tingkat pendapatan keluarga pun akan turut meningkat. Kebutuhankebutuhan yang muncul, seperti kebutuhan konsumsi yang semakin tinggi dikarenakan keterbatasan waktu untuk keluarga tersebut tetap dapat dipenuhi oleh
52
keluarga tersebut. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi gaya atau cara konsumsi dari suatu keluarga khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Seperti penuturan seorang pedagang bernama ibu Lia, 32 thn : Penghasilan suami saya sebagai buruh upahnya Rp. 50.000 setiap hari belum mencukupi kebutuhan kami, makanya saya buka warung untuk bantu suami cari nafkah. (wawancara 1 nopember 2010).
Tingginya kegiatan yang dilaksanakan masyarakat Toraja Utara sehingga menyebabkan konsumsi pangan masyarakat semakin tinggi pula. Tingginya konsumsi pangan ini sudah menjadi gaya hidup masyarakat, hal ini terlihat dari mulai pemilihan bahan makanan sampai pada penyajiannya serta jumlah yang mereka butuhkan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Bagi sebagian masyarakat Toraja Utara, bahan pangan selain memiliki fungsi primer, sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary functions), yaitu memiliki penampakan dan citarasa yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen bila penampakan dan citarasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya. Itulah sebabnya bahan pangan harus selalu terjaga kualitasnya karena menjadi faktor penting dalam menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau tidak oleh konsumen. Mutu makan sangat ditentukan oleh mutu proteinnya yang bersumber dari nabati dan hewani. Jumlah komposisi yang diperoleh seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan pangan dapat dihitung atau dimulai dari jumlah pangan yang dikonsumsinya dengan menggunakan daftar konsumsi bahan makanan.
53
Sumber pangan masyarakat berdasarkan sebaran konsumsi pangan masyarakat Toraja Utara sebagaimana pada tabel berikut :
Tabel V. Jenis dan Sumber Bahan Pangan Masyarakat Berdasarkan Sumber Perolehan Di Toraja Utara. Jenis Makanan 1. Beras 2. Umbi- umbian 3. Jagung 1. Kangkung 2. Mayana 3. Daun Singkong 4. Sawi 5. Labu Siam 6. Terung 7. Bayam 8. Kubis/kol 9. Jantung pisang 10. Kacang-kacangan 11. Lainnya 1. Ikan air tawar 2. Ikan Laut dan sejenisnya 3. Ikan Kering 4. Daging 5. Ayam 1. Pisang 2. Nangka 3. Salak 4. Nenas 5. Jeruk 6. Mangga 7. Kopi
Sumber Perolehan A.Makanan Pokok Pasar/Sawah Pasar/Ladang Pasar/Ladang B. Sayur Mayur Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang C. Lauk Pauk Pasar/Sawah/Sungai Pasar Pasar Pasar/ Pesta Adat Pasar/ Piaraan D. Buah-buahan dan Minuman Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/Ladang Pasar/warung/Ladang
54
8. Susu 9. Tuak/ Ballo’ 10. Lainnya 1. Kue dan Roti 2. Pisang Goreng 3. Jagung rebus/ Bakar 4. Lainnya
Pasar/warung Pasar/warung/Ladang Pasar/warung E. Jajanan dan Kue-kue Pasar/warung Pasar/warung Pasar/warung Pasar/warung
Dari hasil penelitian masyarakat Toraja Utara makan 3 kali sehari. Umumnya pola makan yang ditampilkan adalah makan pagi/sarapan, makan siang dan makan malam, dengan sumber kebutuhan pangan yang diperoleh pada tempat-tempat seperti dari pasar atau ladang. Seperti yang diungkapkan oleh ibu rumah tangga bernama Tina, 30 thn: Sebelum kami berangkat ke sawah atau kebun dan anak-anak berangkat ke sekolah, kami sarapan dulu sama-sama kemudian makan siang dan makan malam, untuk makan sehari-hari itu kami peroleh dari hasil ladang sendiri seperti beras dari sawah yang kami garap, sayur-sayuran dari kebun tetapi untuk lauk pauk seperti ikan, tempe dan daging kami beli di pasar.(wawancara 5 nopember 2010).
Hal yang sama diungkapkan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Ludia, 37 tahun : Dalam keluarga kami sehari makan 3 kali kalau makan pagi biasanya hanya makan makanan yang ringan saja seperti ubi atau jagung nanti kalau makan siang baru makan nasi dan lauk-pauk serta sayur-sayuran dan kalau makan malam makan nasi juga sama lauk pauk sama sayur-sayuran. (wawancara 5 nopember 2010)
Jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara
bervariasi.
Dari
seluruh
jenis
bahan
pangan
yang
dikonsumsi
dikelompokkan kedalam golongan padi-padian, jagung, umbi-umbian, sayur mayur
dan
lauk
pauk,
buah-buahan 55
dan
minuman
dan
lain-lainnya.
Penggolongan-penggolongan ini dapat dijelaskan secara sistematik sebagai berikut : 1. Golongan Padi-padian dan Umbi-umbian Beras dan umbi-umbian adalah sumber karbohidrat yang utama yang dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara sedangkan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung dan hasil olahan lainnya (makanan jajanan) juga dikonsumsi, masyarakat memiliki kemampuan untuk memvariasikan berbagai bentuk makanan. 2. Golongan Sayur Mayur dan Lauk Pauk Pada masyarakat Toraja Utara, ikan merupakan sumber protein hewani yang utama. Ikan yang dikonsumsi bersumber dari ikan laut, ikan air tawar dan ikan kering. Jenis ikan segar yang banyak dikonsumsi adalah ikan bandeng, ikan teri basah, ikan gurame, dan belut. Umumnya masyarakat Toraja Utara mengkonsumsi ikan karena selain mudah diperoleh juga harganya cukup terjangkau oleh masyarakat. Daging dan telur tidak banyak berperan sebagai sumber protein hewani masyarakat Toraja Utara, dalam memenuhi kebutuhan dan kecukupan pada pola konsumsi pangannya. Hal ini disebabkan jenis pangan tersebut relatif mahal jika dibanding dengan ketersediaan ikan pada masyarakat, sementara pangan asal ikan lebih banyak terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau pra-sejahtera di Toraja Utara. Daging dan telur bagi sebagian masyarakat Toraja Utara masih dianggap makanan mewah sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh golongan
56
menengah ke atas dan tidak banyak dikonsumsi oleh masyarakat prasejahtera, dan untuk konsumsi daging hanya pada acara tertentu saja yaitu pada saat pesta seperti Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. 3. Golongan Kacang-Kacangan Kacang-kacangan adalah sumber protein nabati yang utama dan juga sumber karbihidrat. Kacang-kacangan merupakan sumber protein nabati yang cukup tinggi hanya dikonsumsi dalam bentuk sayuran, lauk pauk, dan makanan selingan (sampingan). Kacang hijau dan kacang merah yang masyarakat Toraja Utara jarang mengkonsumsi . Menu tempe dan tahu dan hasil olahan kacang-kacangan pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara. 4. Golongan Sayur-Sayuran Sayuran yang dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara sudah beragam jenisnya. Berbagai jenis sayuran yang mendominasi masyarakat Toraja Utara antara lain : kangkung, mayana, daun singkong, sawi, labu siam, terong, kol, jantung pisang,dan lain-lain. Sayuran merupakan menu yang selalu tersedia dan siap dikonsumsi masyarakat Toraja Utara sehingga kebutuhan vitamin dan mineral cukup untuk kebutuhan tubuh, selain itu pula sayuran mudah didapat karena rata-rata masyarakat Toraja Utara menanam sayuran dikebun bahkan dipekarangan rumah kecuali masyarakat
yang
memungkinkan
di
untuk
kota
karena
menanam
57
lahannya
sempit
sayur-sayuran.
dan
tidak
Sayuran
yang
dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara, selain diperoleh dari ladang/kebun juga dibeli di pasar. 5. Golongan Buah dan Minuman Buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara adalah pisang yang selalu tersedia tiap saat, adapun lainnya diperoleh dipasar seperti buah mangga, nangka, salak, jeruk, nenas, dan lainnya, mereka mengkonsumsi sewaktu-waktu saja menurut musimnya. Untuk kelompok minum kopi dan teh masyarakat Toraja mengkonsumsi setiap hari tetapi untuk minuman tuak/ballo pada acara-acara tertentu saja seperti pesta Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ karena pada saat acara tersebut selalu disajikan tuak/ballo’. Bagi masyarakat Toraja Utara tuak/balo’ adalah minuman tradisional yang mempererat hubungan dengan kekeluargaan atau sesama orang Toraja dimana setiap ada acara baik pesta Rambu Tuka’ atau Rambu Solo’ mereka saling menolong memberi. Tuak/ballo’ pada acara-acara tersebut bukan untuk mabukmabukan tetapi sudah tradisi orang Toraja dari sejak dari dulu setiap pesta mereka menyajikan tuak/ballo untuk menjamu tamu-tamu yang datang pada saat pesta Rambu Tuka’ atau Rambu Solo’ dan minuman tersebut mengokohkan ikatan-ikatan sosial Makanan merupakan kebutuhan pokok yang mutlak dan tidak boleh tidak harus terpenuhi guna mempertahankan hidup dan menjalani kehidupan secara maksimal,
seperti
diketahui
bahwa
mengkonsumsi
makanan
karena
mengharapkan asupan gizi yang baik. Dalam mengkonsumsi bahan pangan atau
58
makanan tersebut lahirlah pola-pola yang unik dan beragam, pola tersebut bisa dikatakan sebagai pola makan atau kebiasaan makan. Kebiasaan makan merupakan cara-cara individu/kelompok masyarakat dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan bahan makanan yang tersedia berdasarkan latar belakang sosial budaya dimana mereka hidup. Kebiasaan makan pada suatu kelompok masyarakat merupakan budaya yang selalu dipertahankan dan dikembangkan secara turun temurun. Pola ini mempengaruhi cara memilih bahan dan jenis pangan yang harus diproduksi, diolah, disalurkan, disiapkan hingga dihidangkan. Keragaman konsumsi pangan juga dipengaruhi, oleh lingkungan, sosial budaya, serta kebiasaan makan yang turun temurun menyebabkan selera yang beragam. Pola konsumsi pangan masyarakat suatu daerah pada umumnya terbentuk karena adanya ketersediaan pangan berasal dari hasil tanaman dari luar daerah yang dapat dengan mudah beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada kondisi fisik tanah daerah tersebut serta mampu memproduksi dengan baik. Pada masyarakat Toraja Utara, konsumsi pangan tidak hanya dipahami sebagai suatu makanan yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang memakannya, tetapi lebih dari itu, makanan memiliki nilai-nilai sosial yang berimplikasi pada penguatan dan ungkapan solidaritas sosial serta mengokohkan ikatan-ikatan sosial. Dalam kehidupan sosial serta mengokohkan ikatan-ikatan sosial. Dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja Utara, dalam hal makanan
menjadi
salah
satu
media
pengungkapan
rasa
solidaritas,
kesetiakawanan dan pemupukan ikatan-ikatan sosial. Makanan difungsikan
59
sebagai sarana untuk menjalin hubungan-hubungan sosial. Menawarkan makanan adalah menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan sekaligus sebagai simbol antara yang memberi dan yang diberi makanan bahwa mereka telah terjalin hubungan timbal balik. Saling berbalasbalasan dalam memberi dan menerima makanan yang ditawarkan baik dalam hubungan pertetanggaan maupun dalam pada saat mengadakan kegiatan atau acara merupakan hal yang tidak asing lagi bagi Toraja Utara. Memberi dan menerima makanan menjadi hal lumrah dalam kehidupan sosialnya. Seseorang yang pada hari tertentu membuat makanan, maka bersangkutan senantiasa menawarkan kepada tetangga, sanak famili ataupun orang-orang terdekatnya. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang tokoh adat bernama bapak Bossen, 70 thn warga Toraja Utara menuturkan bahwa: Orang Toraja itu setiap ada yang membuat acara pasti anggota keluarga atau rumpun keluarga yang lain datang membawa makanan atau bahkan tetangga, mereka saling membantu satu sama lain. (wawancara 5 nopember 2010)
Hal yang sama diungkapkan oleh ibu Rita, 40 tahun ibu rumah tangga mengungkapkan: Kalau ada acara atau kegiatan yang diadakan dirumah yang berhubungan dengan makan pasti kita selalu kasih sama tetangga, begitupun sebaliknya jika tetangga mengadakan acara maka pasti kita selalu dikasih makanan. (wawancara 1 nopember 2010) Di dalam masyarakat Toraja Utara kegunaan simbolis dari makananmakanan yang sering dikonsumsi merupakan suatu alat untuk mengokohkan ikatan sosial serta media penting dalam upaya berhubungan satu sama lainnya.
60
Masyarakat Toraja Utara mengenal peranan makanan dalam mempertahankan ikatan keluarga dan persahabatan. Di dalam keluarga, kehangatan hubungan anggotanya terjadi pada waktu makan bersama begitupun diantara keluarga besar diupayakan pertemuan secara berkala dengan makan untuk memelihara dan mempererat hubungan silaturahmi. Idealnya, paling sedikit mereka melakukannya secara insidentil dalam bentuk makan bersama atau saling memberikan. Kebiasaan makan bersama menjadi kebiasaan keluarga dalam masyarakat Toraja Utara, secara budaya telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini tidak terlepas dari kegiatatan yang dilaksanakan seperti arisan-arisan keluarga dan acara lainnya. Acara tersebut rutin diadakan minimal sebulan sekali dan secara bergiliran dilaksanakan di rumah-rumah mereka, keluarga yang dapat giliran rumahnya sebagai tempat acara arisan tersebut selalu menyediakan makanan untuk dikonsumsi bersama-sama tetapi tidak menutup kemungkinan juga bagi yang lainnya untuk ikut membantu. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Ludia, 37 tahun mengungkapkan: Dalam keluarga besar kami selalu mengadakan arisan keluarga untuk mempererat rasa persaudaraan dan pasti disediakan makanan untuk dimakam bersama seperti nasi dan biasanya kita buat pa’piong dari daging atau ikan untuk lauk pauk.(wawancara 5 nopember 2010) Hal yang sama pula dilakukan masyarakat Toraja Utara, setiap mengadakan kegiatan sosial seperti kerja bakti atau ronda malam paling kurang sebulan sekali, mereka makan bersama-sama untuk lebih mempererat hubungan kekeluargaan atau persahabatan diantara satu sama lain. Adanya solidaritas yang tinggi dari setiap anggota masyarakat untuk ikut serta dalam setiap kegiatan sosial yang diadakan. Dalam kaitannya dengan konsumsi maka masyarakat dengan
61
sukarela menyumbangkan dan bekerja sama mengumpulkannya. Makanan yang dikumpulkan seperti nasi, lauk pauk, kopi, teh, gula, makanan tersebut ada yang sudah diolah dan ada pula yang masih mentah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan makan bersama yang dilakukan menunjukkan adanya rasa persaudaraan dan solidaritas yang tinggi diantara masyarakat Toraja Utara dalam membangun hubungan diantara mereka. Hal inilah yang selalu dipertahankan dan dilestarikan turun temurun sejak dari dulu sampai sekarang. Pada tingkatan yang lebih luas, makanan sering dihargai sebagai lambang indentitas sosial, sebagai status sosial. Namun tidak semua makanan mempunyai nilai lambang seperti itu. Dalam masyarakat Toraja Utara konsumsi makanan yang dianggap bergengsi tidak selamanya merupakan produk luar yang diperkenalkan kedalam komunitasnya, tetapi yang lebih penting adalah jenis makanan yang sejak dari awal disosialisasikan sebagai makanan khas yang memiliki ciri tradisional. Pertimbangan status dan prestise berkaitan dengan kebiasaan makan memainkan peranan penting. Suatu kemasyarakatan memiliki seperangkat nilai dan pemahaman terhadap makanan yang memiliki nilai status dan prestise yang tinggi. Berkaitan dengan klasifikasi makanan menurut nilai dan nilai status dan prestise, maka berdasarkan hasil penelitian ini juga berlaku hal yang sama bahwa dalam masyarakat Toraja Utara juga memiliki pemahaman dan nilai status dan prestise terhadap jenis makanan tertentu. Untuk masyarakat Toraja Utara makanan dari beras dan pa’piong yang memiliki nilai status yang tinggi dan
62
khas. Jenis makan ini seringkali disungguhkan dan disajikan bila ada tamu atau acara-acara. Pemahaman seperti ini yang mendorong masyarakat Toraja Utara pada umumnya menanam padi, itu menunjukkan bahwa beras secara tradisi masih dianggap makanan yang baik bagi masyarakat. Sehingga secara tradisi merupakan makanan utama. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebiasaan makan masyarakat Toraja Utara pada komoditi beras salah satu faktor pembentuknya karena padi banyak ditanam oleh masyarakat. Kemudian secara tradisi dan turun temurun dikonsumsi oleh masyarakat. Informasi yang dikumpulkan dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa beras sebagai makanan pokok yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat Toraja Utara. Hal ini dapat dipahami dengan pertimbangan bahwa masyarakat tersebut menganggap bahwa beras sebagai bahan makanan pokok. Selain beras, ada pula makanan selingan yang dikonsumsi seperti umbi-umbian, jagung. Selain faktor tradisi dan aspek ekonomi seperti yang terurai di atas, hal lain yang turut meningkatkan apresiasi masyarakat Toraja Utara terhadap kebiasaan makanan pokok adalah adanya upayah-upayah tiap keluarga untuk mengkombinasikan berbagai jenis bahan makanan. Sebagai contoh bahwa jenis sayur dan jenis ikan, daging, ataupun lauk pauk lainnya senantiasa menjadi pelengkap makanan. Makanan bagi manusia merupakan unsur utama yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Konsumsi makanan yang bermutu tinggi sangat diperlukan karena dapat memenuhi unsur kesehatan. Secara umum fungsi makanan adalah sebagai sumber energi atau
63
tenaga menyokong pertumbuhan tubuh, memelihara jaringan tubuh, mengganti yang rusak atau yang harus terpakai serta pengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan dalam cairan tubuh dan sebagai pertahanan tubuh. Makan merupakan kebutuhan pokok manusia. Makan sering juga disebut sebagai suatu upacara karena perbuatan makan dilakukan berdasarkan aturanaturan yang diikuti secara ketat dan selalu terulang tanpa melihat batas-batas waktu dan tempat. Selain dari itu, tradisi makan selalu dilihat sebagai sesuatu yang dihormati sehingga tradisi makan merupakan etika hidup dengan normanorma tertentu dalam masyarakat tersebut. Pertimbangan status pada masyarakat Toraja Utara memainkan peranan yang penting, terutama berkaitan dengan memproduksi dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Dalam masyarakat Toraja Utara terdapat pemahaman seperangkat pengetahuan mengenai jenis makanan yang pantas dan tidak pantas disajikan pada waktu-waktu tertentu, dan orang-orang tertentu yang dianggap sebagai tamu terhormat. Dengan demikian konsepsi ini berimplikasi terhadap cara-cara penyajian dan jenis makanan yang disajikan. Adalah merupakan suatu penghormatan apabila mereka kedatangan tamu terhormat, seseorang biasa menyajikan jenis makanan, baik dalam arti luas maupun makanan tambahan atau pendamping. Seperti yang diungkapkan oleh ibu Amel,35 thn pegawai PNS : Jika ada acara-acara keagamaan maka kita harus melihat tamu-tamu yang datang karena makanan yang disajikan dipisahkan untuk menghormati tamu yang datang, ada makanan untuk umum dan ada yang makanan khusus. (wawancara 29 oktober 2010).
64
Hal seperti itulah yang selalu dilakukan masyarakat Toraja Utara setiap melakukan kegiatan keagamaan, bagi masyarakat yang beragama Kristen, setiap minggu selalu mangadakan kebaktian rumah tangga, dalam acara tersebut selalu disiapkan makanan bagi tamu yang datang seperti nasi serta lauk pauk atau kadang juga hanya menyajikan minuman dan kue-kue. Acara lain yang sering diadakan seperti hari besar umat Kristen yaitu natal yang diadakan setiap tahun, dalam acara seperti itu selalu disiapkan makanan tetapi acara tersebut kadang mengudang masyarakat yang beragama lain sehingga makanan yang disajikan selalu dipisahkan antara makanan yang khusus dan makanan umum. Hal yang sama pula yang dilakukan oleh masyarakat Toraja Utara yang beragama Islam, acara yang sering dilaksanakan seperti hakekah, ta’ziah serta acara lain seperti hari besar agama yaitu idul fitri dan idul adha, dalam acara tersebut selalu diadakan makan bersama. Kadang pula mereka mengudang agama lain untuk makan bersama. Tradisi seperti inilah yang selalu dipertahankan masyarakat Toraja Utara untuk saling menghormati antara satu sama lain. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh agama bernama bapak Yulianus,46 thn: Dalam tradisi orang Toraja Utara, setiap ada kegiatan keagamaan yang dilaksanakan mereka selalu menyajikan makanan untuk para tamu dan mereka kadang pula mengundang agama lain makan bersama untuk memperkokoh hubungan antara masyarakat Toraja. (wawancara 26 nopember 2010)
Hal serupa diungkapkan oleh seorang informan bernama Matilda, umur 19 thn mahasiswa mengungkapkan: Makan bersama bukan hanya sekedar mengisi perut tetapi bagaimana kita memaknai hal tersebut karena sudah tradisi orang Toraja yang turun temurun dan sebagai lambang tali persaudaraan diantara orang Toraja
65
untuk saling menghormati satu sama lainnya. (wawancara 20 nopember 2010). Makanan merupakan wujud dari toleransi manusia oleh karena dalam proses pengolahan bahan-bahan mentah sehingga menjadi makanan, begitu pula dalam perwujudannya, cara penyajiannya dan pengkonsumsiannya sampai menjadi tradisi. Semua hal itu hanya mungkin terjadi karena adanya dukungan dan adanya hubungan yang saling terkait dengan berbagai aspek yang ada dalam kehidupan beragama dan dengan berbagai unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Sehubungan pula dengan makanan yang biasanya dipandang pantas untuk dimakan, dijumpai banyak pola pantangan dan larangan. Suatu pantangan dan larangan berdasarkan agama disebut haram hukumnya dan individu yang melanggar pantangan tersebut berdosa. Hal ini disebabkan makanan dan minuman yang dipantangkan mengganggu kesehatan dan jasmani atau rohani bagi yang memakan atau meminumnya. B. Faktor Yang Mendukung Bertahannya Tradisi Konsumsi Pangan Pola konsumsi atau kebiasaan makan masyarakat Toraja Utara merupakan bagian dari kebudayaan karena dipengaruhi oleh faktor budaya seperti adat. Menurut istilah, adat berarti kebiasaan, sesuatu yang dikenal, diketahui, yang sering berulang dilakukan. Adat adalah suatu kebiasaan yang diturun-alihkan sejak dari nenek moyang kepada anak cucunya turun temurun, yang sudah berurat berakar di kalangan masyarakat yang bersangkutan. Adat merupakan bagian dari kebudayaan
suatu
masyarakat.
Orang-orang
tua
senantiasa
mengawasi
pelaksanaan adat itu dari generasi ke generasi sebagai tata tertib yang suci dan
66
pantang untuk dilanggar. Dengan demikian maka adat dipandang sebagai pangkal ketertiban dan keserasian dalam masyarakat, himpunan norma yang sah harus dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Jadi adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau diizinkan dan yang dilarang. Di dalam pengertian adat/ada’ ada pelaksanaan upacara-upacara menuruti kelaziman, suatu hal yang bagi orang Toraja sendiri bukanlah hal yang baru. Dengan demikian upacara aluk disamakan dengan upacara adat/ada’. Nama berganti tetapi isi dan pelaksanaannya tidak ada yang berubah, jadi mengadakan upacara adat/ada’ berati juga mengadakan atau menjalankan upacara aluk. Maka orangpun berkata-kata tentang adat Toraja meskipun yang dimaksudkannya ialah pelaksanaan suatu aluk. Kata aluk menjadi terbatas pemakaiannya, mungkin itu pulalah orang menyangka bahwa adat/ada’ lebih luas jangkauannya dari pada aluk. 1. Rambu Tuka’ Berdasarkan
kosmogoni
dan
teogoni,
upacara-upacara
tersebut
dilaksanakan disebelah timur laut; arah kediaman para dewa dan leluhur. Rambu Tuka’ disebut juga Rampe Matallo atau ritus-ritus sebelah timur. Berdasarkan hal tersebut maka dinamakan “asap yang naik” artinya asap persembahan itu naik ke langit sebelum matahari mencapai puncak. Waktu sesudah pukul 12.00 diperuntukkan untuk ritus-ritus sebelah barat. Rambu Tuka’ adalah keseluruhan ritus-ritus persembahan untuk kehidupan, makna ritus-ritus adalah memohon berkat dan segalah kebutuhan hidup di dunia. a.
Pernikahan (Rampanan Kapa’)
67
Perkawinan di kalangan orang Toraja dinamakan Rampanan Kapa’. Dari segi nilai budaya Rampanan Kapa’/pernikahan begitu penting di kalangan orang Toraja. Bahkan ada yang menaruh perkawinana sebagai yang pertama dalam urutan nilai-nilai. Mengenai persyaratan perkawinan orang Toraja, hal itu banyak menyangkut pelapisan sosial berdasarkan keturunan. Wanita dari golongan bangsawan (Puang) dilarang kawin dengan laki-laki dari lapisan sosial yang lebih rendah. Bila hal itu tejadi maka baik laki-laki maupun perempuan akan dihukum mati yang dalam pelaksanaannya diasingkan saja dari tengah-tengah keluarga. Sebaliknya tidak ada larangan bagi laki-laki dari kalangan bangsawan untuk mengawini perempuan dari lapisan sosial yang lebih rendah Persyaratan lain untuk nikah orang Toraja adalah Kapa’. Kapa’ ialah suatu perjanjian yang diadakan pada saat peresmian perkawinan bahkan bila terjadi perceraian, maka pihak yang bersangkutan harus membayar denda kepada pihak yang tidak bersalah. Jumlah kapa’ ditentukan oleh lapisan sosial (tana’). Untuk bangsawan tinggi(tana’ bulaan) jumlahnya 24 ekor kerbau, bangsawan menengah (tana’ bassi) enam ekor kerbau, orang merdeka (tana’ karurung) dua ekor kerbau, golongan hamba (tana’ kua-kua) seekor babi betina. Pelaksanaan perkawinan orang Toraja begitu sederhana, jika dibandingkan dengan upacara-upacara lainnya. Hewan yang dipotong untuk dikonsumsi sebagai lauk pauk ialah babi, ayam dan ikan. Ada
68
tiga cara atau tingkatan pelaksanaan upacara perkawinan orang Toraja sebagai berikut: Bo’bo’bannang (bo’’bo’= nasi, bannang=benang) yaitu cara melaksanakan perkawinan yang sangat sederhana. Perkawinan dilakukan pada malam hari. Pada waktu malam pengantin lakilaki ditemani beberapa orang datang ke rumah pihak wanita. Disana diadakan makan bersama dengan menu sederhana biasanya hanya ikan saja. Setelah makan bersama, upacara perkawinan selesai. Rampo Karoen (rampo=datang, karoen=sore/petang) rombongan mempelai laki-laki tiba pada sore hari. Terjadilah dialog atau tanya jawab dengan menggunakan bahasa sastra yang tinggi atau pantun antara pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Juga perjanjian perkawinan yang dinamakan Kapa’ ditentukan oleh tokoh adat. Untuk konsumsi para tamu dipotong seekor babi dan sejumlah ayam untuk lauk-pauk. Setelah makan malam bersama, maka upacara selesai. Rampo Allo yaitu perkawinan yang lebih meriah, dimana perkawinan diselenggarakan di waktu siang. Rombongan mempelai laki-laki tiba sebelum jam 12.00. Inilah perkawinan untuk orang lapisan atas atau bangsawan. Perkiawinan didahului oleh lamaran oleh keluarga calon pengantin laki-laki. Untuk konsumsi para tamu dipotong dua ekor babi dan sejumlah ayam
69
menurut kebutuhan. Setelah acara siang, masih ada acara makan bersama di rumah laki-laki yang dinamakan Ma’pasule Barasang (ma’pasule=mengembalikan, barasang=bakul). Bakul yang telah dikirim oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sekarang dikembalikan dengan diisi makanan oleh pihak laki-laki. Sesudah makan bersama, maka acara perkawinan selesai. b.
Mangrara Banua (syukuran rumah/penahbisan sebuah Tongkonan) Untuk pembangunan Rumah/renovasi Tongkonan ada dua belas ritus, masing-masing harus dilaksanakan dengan persembahannya. Sesudah pembangunan/renovasi selesai, haruslah dilaksanakan sejumlah ritus sebagai persiapan mangrara banua/syukuran yang sebenarnya. Ma’pallin yaitu memohon pengampunan atas segalah kesalahan yang dilakukan selam pembangunan/renovasi. Kurban seekor ayam. Sitama (berdamai) yaitu memohon maaf atas segalah percekcokan antara
anggota
keluarga
selama
pembangunan/renovasi
berlangsung. Kurban seekor ayam. Ma’garu’ga’ yaitu menyucikan tempat orang menyiapkan makanan untuk para pekerja dan tukang. Kurban seekor ayam. Massuru’ alang yaitu menyucikan tempat pelaksanaan ritus-ritus dan
proses
pembangunan.
Upacara
alang/lumbung. Kurban seekor ayam.
70
ini
berlangsung
di
Mangrimpun
(menghimpun)
yaitu
ritus
ini
merupakan
penyampaian kepada para leluhur, yang berasal dari tongkonan itu. Dengan ritus ini orang hendak memperlihatkan kepada mereka bahwa pembanguna/renovasi sudah selesai. Kurban seekor babi. Untammui lalan sukaran aluk yaitu pengucapan syukur atas penyusunan Aluk Todolo, dalam hal ini adat dan aluk banguna banua. Kurban seekor ayam. Untammui lalan tagari sanguyun yaitu pengucapan syukur atas pengawasan para dewa selama pembangunan/renovasi. Kurban seekor ayam. Untammui lalan kalimbuang boba yaitu pengucapan syukur atas semua mata air tempat air ditimba selama pembangunan/renovasi. Kurban seekor ayam. Untammui lalan tetean bori’ sola bulaan tasak yaitu pengucapan syukur atas segala harta, khususnya emas, yang digunakan untuk pembiayaan. Kurban seekor ayam. Seremonia-seremoni mangrara banua harus sesuai dengan status dan fungsi sosial tongkonan yang bersangkutan dapat juga dikatakan bahwa mangrara banua dengan ritus-ritus yang lengkap hanya berlaku untuk tongkonan yang paling terkemuka. Untuk rumah biasa, penahbisannya disebut ma’padao para. Sebagai pengucap syukur dua ekor babi dipotong untuk konsumsi para hadirin. Untuk tongkonan biasa sebuah keluarga. Istilah banua juga digunakan, tetapi ritus-ritusnya dilakukan sehari. Untuk tongkonan terkemuka atau tongkonan
71
dengan fungsi berdasarkan struktur sosial, yaitu tongkonan pekamberan (pekaindoran) digunakan istilah mangrara tongkonan. Ritus-ritus dilaksanakan selama tiga hari. Tiap hari punya ritus tersendiri. Banyak babi dipotong untuk dikonsumsi secara bersama-sama dan untuk dibagi-bagikan kepada anggota persekutuan (komunitas) menurut adat artinya menurut struktur sosial. Hari pertama disebut ma’tarampak, penahbisan lapisan pertama atap bambu. Hari kedua ma’papa (mengatapi) berarti menahbiskan atap yang sudah selesai dikerjakan. Hari kedua ini disebut allo matanna artinya puncak mangrara banua/ syukuran rumah atau penahbisan Tongkonan. Pada hari ini jumlah babi yang dipotong ratusan ekor. Hari ketiga disebut ma’bubung artinya meletakkan bubung atap, penahbisan bubung atap yang sudah selesai dikerjakan. Hanya keluarga dekat yang ikut pada hari ini dan babi yang dipotong jauh lebih sedikit. Untuk penahbisan (mangrara) tongkonan layuk, tongkonan paling terkemuka, atau tongkonan pesio aluk, tongkonan yang bertugas mengawasi pelaksanaan aluk, ritus-ritusnya sama dengan mangrara banua sama dengan diatas. Keduanya berbeda dalam satu hal saja, yaitu kurbannya harus seekor kerbau. Ritus ini disebut ditallurarai, artinya dengan persembahan dengan persembahan tiga macam darah, yaitu: darah ayam, babi, dan kerbau; sementara jumlah babi tidak terbatas. Itulah ritus-ritus dan seremoni-seremoni untuk pentahbisan sebuah tongkonan. Mula-mula semua ritus adalah aluk. Tetapi menurut penafsiran lain, tidak semua seremoni bersifat religius, tetapi hanya merupakan ketentuan adat berdasarkan struktur sosial. Hal ini merupakan masalah etnis, sama seperti unsur-
72
unsur gotong- royong dalam persekutuan keluarga atau marga pada pelaksanaan keseluruhan ritus. Pada penyelenggaraan ritus-ritus, aspek gotong royong ini sangat penting. Gotong-royong merupakan ciri khas setiap masyarakat kuno. Namun, disamping arti dasar yang bersifat lokal ini tersandung juga didalamnya nilai universal, yang dapat menangkal masuknya pengaruh individualisme, termasuk juga dikalangan kaum cendikiawan dan semua orang yang hidup dalam suasana modern, baik pria maupun wanita. 2. Rambu Solo’ Rambu Solo’ adalah upacara untuk orang mati. Secara harfiah Rambu Solo’ berarti ketentuan-ketentuan untuk asap yang menurun, artinya ritus-ritus persembahan untuk orang mati yang dilaksanakan sesudah pukul 12.00, ketika matahari bergerak mulai turun atau terbenam. Rambu Solo’ juga disebut Rampe Matampu’ atau ritus-ritus di sebelah barat karena dilaksanakan sesudah pukul 12.00 yaitu matahari berada di sebelah barat. Rambu Solo’ ditandai oleh kesadaran bahwa setiap manusia terhisap dalam persekutuan masyarakat. Kita dapat menganalisis dan memahami kesadaran itu, tetapi nilainya hanya dapat dihayati secara benar dan eksistensial oleh para warga masyarakat tersebut. Bila orang mengadakan salah satu upacara adat, seseorang yang bukan keluarga dapat diundang secara lisan (dikambaroi). Tetapi untuk acara Rambu Solo’ tidak ada undangan, apabila seseorang merasa bahwa ia mempunyai hubungan dengan orang yang punya hajatan, secara naluri ia merasa harus
73
menghadiri upacara itu. Kehadiran itu sudah dengan sendirinya merupakan ungkapan hubungan persekutuan. Dalam peristiwa lingkaran hidup seperti itu, dirangkaikan dengan acara makan bersama dan telah menjadi tradisi bagi mereka untuk saling menolong dan memberi berbagai jenis makanan kepada sanak famili, handai tolan, maupun yang dibuat sendiri oleh pemilik hajatan. Dalam penelitian ini diketahui bahwa pada acara pesta-pesta Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ yang ada di Toraja Utara sering kali disediakan berbagai macam makanan baik yang berasal dari sumbangan keluarga, handai tolan, maupun yang dibuat sendiri oleh pemilik hajatan salah satunya adalah pa’piong. Sebagai hasil wawacara penulis kepada informan Ida 19 tahun mahasiswa mengemukakan: Tradisi adat Toraja pada pesta-pesta adat dalam mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari daging kerbau atau babi yang sudah disembelih, kemudian dimasak bersama-sama. Cara memasak daging kerbau atau babi adalah daging kerbau atau babi yang telah disembelih, dimasak dengan daun mayana dengan cara dicampur terlebih dahulu kemudian di masak di dalam bambu yang dikenal dengan istilah Pa’piong” atau dimasukkan ke dalam wadah yang besar kemudian setelah masak baru dibagi-bagikan kepada keluarga, tetangga, handai tolan atau semua yang hadir pada saat acara tersebut untuk dimakan bersama-sama.’ (wawancara 29 oktober 2010) Hal senada diungkapkan seorang kepala adat, Menurut informan bapak Layuk,60 tahun mengemukakan: Setiap ada acara yang dilaksanakan orang Toraja baik acara Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ maka semua rumpun keluarga ataupun tetangga datang membawa makanan yang sudah masak seperti nasi dan pa’piong untuk dimakan secara bersama-sama pada acara tersebut tetapi ada juga keluarga yang datang membawa kerbau atau babi lalu dipotong kemudian dibagi-bagikan kepada semua masyarakat ataupun disumbangkan kepada gereja atau disumbangkan untuk pembangunan jalan atau jembatan. (wawancara 30 oktober 2010)
74
Hal senada pula diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat yang bernama bapak Palallo,45 tahun : Kalau ada keluarga yang mengadakan acara Rambu Solo’, kalau itu keluarga dekat pasti kita bawakan kerbau atau babi tetapi kalau sudah keluarga jauh babi atau pa’piong saja, jika acara Rambu tuka’ seperti acara orang nikah atau mangrara banua (syukuran rumah) keluarga hanya bawa babi,nasi atau pa’piong walaupun pada saat acara tersebut biasa juga ada kerbau dipotong tetapi keluarga tidak ada yang datang bawakan kerbau karena nanti acara Rambu Solo’ baru bisa datang bawa kerbau. (wawancara 30 oktober 2010) Berdasarkan
hasil
penelitian
terhadap
masyarakat
Toraja
Utara
menunjukkan bahwa status ekonomi berimplikasi pula terhadap pola konsumsi masyarakat. Semakin tinggi status sosial-ekonomi maka semakin bervariasi pula jenis makanan yang dikonsumsi atau disediakan. Banyaknya jumlah dan keragaman makanan yang disajikan pada acara dan pesta lingkaran hidup seperti pada acara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ akan semakin menambah kesan dimata komunitas yang bersangkutan bahwa yang empunya hajat tergolong sebagai orang yang menempati posisi sosial-ekonomi yang tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Paulus, 50 thn seorang PNS mengatakan: Makanan yang disajikan pada saat acara dapat menggambarkan orang yang mengadakan acara tersebut, apakah dari kalangan ekonomi atas, menengah atau bawah. (wawancara 8 nopember 2010) Makanan dan minuman tradisional yang selalu dikonsumsi orang Toraja di setiap acara adat berupa : Pa’piong yaitu makanan yang dimasukkan ke dalam bambu kemudian dimasak. Pa’piong daging disajikan pada acara-acara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’
75
Pantollo’ pamarrasan yaitu masakan ini terbuat dari campuran sayur pangi dengan daging atau ikan dan biasanya disajikan pada acara adat. Tori’ yaitu kue khas Toraja yang terbuat dari tepung beras dan campuran gula merah kemudian digoreng. Kue ini selalu disajikan pada acara-acara adat. Tuak/ballo’ yaitu minuman khas Toraja yang diambil dari pohon enau dan disajikan pada acara Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Makanan merupakan unsur budaya yang membawa makna budaya bagi komunitasnya. Di dalam makanan itu, orang tidak hanya mengkonsumsi material makananya melainkan mengkonsumsi kreativitas dan keagungan budaya. Tidak ada yang heran bila ada orang yang makan pa’piong terasa hampa maknanya bila makan diluar Toraja. Begitu pula sebaliknya, masyarakat akan memiliki kebanggaan tertentu bila mengkonsumsi pa’piong yang dibeli asli dari Toraja. Oleh karena itu, kebudayaan atau adat istiadat suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk dikonsumsi.
76
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap sejumlah masalah dari pembahasan yang telah diuraikan terhadap pola konsumsi pangan masyarakat Toraja Utara. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja Utara, konsumsi pangan sudah menjadi tradisi dan menjadi gaya hidup mulai dari penyediaan bahan pangan, penyajian pangan hingga cara konsumsi pangan masih dipertahankan sampai sekarang, mengkonsumsi pangan bukan sekedar mengisi perut atau sekedar kumpul semata tetapi menunjukkan adanya rasa kekeluargaan dan toleransi yang tinggi diantara mereka serta dapat mempererat hubungan silaturahmi dan kehangatan antar anggota keluarga.
2.
Dalam mengkonsumsi pangan tidak terlepas dari faktor yang memperkuat tradisi tersebut yakni kegiatan atau acara yang diadakan seperti acara adat, kegiatan sosial dan keagamaan karena lewat kegiatan tersebut selalu dirangkaikan dengan makan dan salah satu media/sarana untuk menjalin hubungan serta pengungkapan rasa solidaritas, kesetiakawanan dan 77
pemupukan ikatan-ikatan sosial adalah makanan. Menawarkan makanan adalah menawarkan kasih sayang, perhatian dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan sekaligus sebagai simbol antara yang memberi dan yang diberi makanan bahwa mereka telah terjalin hubungan saling timbal balik. Saling berbalas-balasan dalam memberi dan menerima makanan yang ditawarkan baik dalam hubungan pertetanggaan, kegiatan sosial dan keagamaan maupun dalam kaitan dengan upacara adat merupakan hal yang tidak asing lagi bagi Toraja Utara. Memberi dan menerima makanan menjadi hal lumrah dalam kehidupan sosialnya, semakin tinggi strata sosial masyarakat Toraja Utara maka semakin beragam pula makanan yang dikonsumsi. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan kesimpulan, maka ada beberapa saran yang penulis sampaikan: 1.
Dengan berbagai macam problem yang berkaitan dengan pangan, maka perlu ada pemecahan atau solusi terbaik dari pihak pemerintah dalam hal ketersediaan/pengadaan pangan, stabilitas penyediaan bahan pangan dan akses individu atau masyarakat untuk mendapatkan pangan yang bermutu.
2.
Bagi masyarakat Toraja Utara, konsumsi pangan tidak terlepas dari faktor tradisi seperti adat, kegiatan sosial dan kegiatan keagamaan. Penulis berharap agar tradisi tersebut tetap dipertahankan namun bukan sebagai
78
ajang pamer-pameran tetapi untuk menjalin atau mempererat hubungan kekeluargaan antara satu sama lain sehingga ada manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Abunaim. 1988. Tinjauan Masalah Gizi di Indonesia Sampai Dewasa ini Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. LIPI. Jakarta. Adam, Sulaeman. 2008. Kebiasaan makan masyarakat berbasis jagung di desa Tompo Kabupaten Barru. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Anonim. 2003. Ekonomi Jagung Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta.
Apomfires, F. 2002. Makanan pada komunitas adat Jae : catatan sepintas lalu dalam penelitian gizi. Jurnal Antropologi Papua Vol.1, No 2.
Ayiek, A. 2008. Pola konsumsi pangan rumah tangga di wilayah historis pangan beras dan non beras di Indonesia. Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian departemen pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Berg, A. 1987 Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Rajawali. Jakarta.
Chen. 1987. The Challenge Of Global Malnatrition and The Response Of Internasional Agency. NFI Bull.
79
Foster - Anderson. 1986. Antropologi kesehatan. UI-Press. Jakarta
Handajani. 1994. Pengembangan cara sederhana penilaian makanan di kecamatan Bogor Timur. IPB. Bogor
Hardiansyah. 1988. Survey konsumsi pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Http: // Spiritente. Blogspot. Com / 2008 / 06 / Perubahan Paradigma-IlmuSosiatri:13
Irma, Suryani. 2000. Sistem ekonomi pedagang kaki lima di kampus. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar
Kobong, Theodorus, DR. 1992. Aluk, adat dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaan dengan injil. Institut Theologia Indonesia. Jakarta.
Kobong, Theodorus, DR. 2008. Injil dan Tongkonan. BPK gunung mulia. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia. Jakarta.
Rakbi. 2006. Pola konsumsi dan pengetahuan Gizi Masyarakat Petani. Skripsi Universitas Hasanuddin. Makassar
Rimbauwan. 1999. Teknik Pengukuran Mutu Pangan Pertanian Bogor. Bogor.
Ritser, George. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta. Rineka Cipta
Sairin, Syafri. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar 2
80
Sanjur, D. 1982. Sosial and cultural prestictives in nutrision. Washington DC: Prentice Hall, Inc. New York. USA.
Suharjo. 1988. Metode Survey Konsumsi Pangan. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor.
Sukirman. 1989. Sosial budaya gizi. IPB. Bogor Susanto. 1983. Teknik – teknik Wawancara dalam Survey Makanan Puslitbang. Depkes. Jakarta. Tarwojo. 1987. Peranan Penyuluhan Dalam Upaya Perbaikan Makanan Simponsium Makanan. Yogyakarta.
81
DAFTAR INFORMAN
1.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Thomas : 47 Thn : Petani : Laki-laki
2.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Ester : 56 Thn : Ibu rumah tangga : Perempuan
3.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Joni : 48 Thn : Petani : Laki-laki
4.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Selvi : 30 Thn : Ibu rumah tangga : Perempuan
5.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Maya : 39 Thn : Karyawan Bank : Perempuan
82
6.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Lia : 32 Thn : Pedagang : Perempuan
7.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Tina : 30 Thn : Ibu rumah tangga : Perempuan
8.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Ludia : 37 Thn : Ibu rumah tangga : Perempuan
9.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Bossen : 70 Thn : Tokoh adat : Laki-laki
10.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Rita : 40 Thn : Ibu rumah tangga : Perempuan
11.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Amel : 35 Thn : PNS : Perempuan
12.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Yulianus : 46 Thn : Tokoh Agama : Laki-laki
13.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Matilda : 19 Thn : Mahasiswi : Perempuan
83
14.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Ida : 19 Thn : Mahasiswi : Perempuan
15.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Layuk : 60 Thn : Kepala adat : Laki-laki
16.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Palallo : 45 Thn : Tokoh masyarakat : Laki-laki
17.
Nama Umur Pekerjaan Jenis Kelamin
: Paulus : 50 Thn : PNS : Laki-laki
84