BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Negara Indonesia berdasarkan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik
yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa negara yang berbudaya serta seutuhnya digali semurninya dari bumi Indonesia, dapat dikatakan memilih bentuk Negara Kesatuan secara sadar berdasarkan pilihan plural serta kemajemukan bangsa dan tanpa adanya paksaan dari negara lain dalam menerapkan demokrasi yang ditujukan membawa negara pada ranah gemah ripah lohjinawi sebagai suatu keputusan politik untuk membangun suatu bangsa-negara yang akan berdampingan dengan negara lain. Dalam perjalanan negara sangat dibutuhkan pembuatan Undang-undang sebagai pondasi suatu negara. Undang-undang bersifat dinamis, mengikuti arus kemajuan jaman sesuai dengan kebutuhan dari negara tersebut yaitu Indonesia, karena seiring waktu Pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang terkadang tidak dapat mengikuti perkembangan kemajuan dari suatu negara sehingga harus selalu mengalami pembaruan sehingga selalu mampu beriringan dengan kenutuhan negara. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan suatu paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa Orde Baru sangat didominasi oleh pendekatan sentralistik dimana urusan pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Perjalanan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 telah berjalan sekian lama hingga reformasi, selama
Universitas Sumatera Utara
perjalanan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut telah mengebiri hakhak daerah sepenuhnya sehingga menimbulkan efek yang sangat besar dengan hilangnya kreativitas daerah dalam mengembangkan daerah karena selalu menunggu keputusan dari pusat akan apa yang harus dan boleh dilakukan oleh daerah jika pemerintah daerah melakukan kebijakan berdasarkan inisiatif daerah sendiri maka akan berakibat fatal bagi daerah itu sendiri karena akan dianggap tidak tunduk kepada Pemerintah Pusat. Dahulu, Undang-undang yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan sejak reformasi telah dua kali membentuk Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan selanjutnya mengalami perbaikan Undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menunjukkan kemajuan dalam demokrasi dengan dibukanya jalur independen dalam membangun demokrasi seutuhnya dan menghargai nilai-nilai dalam pencapaian demokrasi. Rozali Abdullah (2005) menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000 yang dibentuk pada masa reformasi dilandasi oleh suatu semangat yang besar untuk merubah keadaan yang terpenjara selama ini dengan menggali kembali nilai-nilai pemerintahan daerah sehingga mampu menjadikan pemerintahan yang desentralistik sebagai suatu agenda utama dari reformasi. Adanya perubahan paradigma Pemerintahan Daerah yang sangat radikal yang berhasil mengurangi peran Pemerintah Pusat yang sangat dominan terasa dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan Di Daerah, perubahan radikal tersebut adalah dilakukannya pengalihan urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat menjadi kewenangan daerah. Dengan semangat reformasi yang membawa perubahan kepada daerah dengan mejadikan sebagian kewenangan pusat sebagai kewenangan daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak sesempurna harapan karena menyebabkan gejolak dalam konsep peralihan tersebut, adanya peraturan Perundang-undangan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan dalam otonomi daerah yang mengatur apa saja yang menjadi kewenangan daerah yang tentunya adalah bagian dari kewajiban dari pemerintahan daerah, dari kondisi tersebut menyebabkan terjadinya instabilitas nasional yang pada akhirnya melahirkan keputusan politik untuk kembali merubah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 yang ditetapkan pada 15 Oktober 2004 menjadi jawaban bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak berlaku lagi secara hukum. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melahirkan beberapa perubahan yang cukup nyata yang pada dasarnya ditujukan untuk meredakan konflik kewenangan pusat dengan daerah serta ketegangan antara hubungan Kepala Daerah dengan DPRD yang dilihat dari sisi kekuatan legislatif atau dengan kata lain bahwa Lembaran Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sering dijadikan instrumen untuk melakukan ancaman impeachmant terhadap Kepala Daerah yang pada akhirnya dapat diselesaikan dalam bentuk kompromi politik yang tentunya justru menunjukkan kesenjangan karena tidak ada kaitannya
Universitas Sumatera Utara
dengan peningkatan kinerja Kepala Daerah yang di evaluasi dalam LPJ Kepala daerah tersebut. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa perubahan signifikan dari Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 adalah diterapkannya pemilihan langsung oleh rakyat dalam memilih pemimpin daerah yang tentunya sebagai Kepala Daerah hasil pilihan rakyat yang dominan pada daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Beralihnya pemilihan kepala daerah dari dipilih melalui DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi dipilih langsung oleh rakyat menyebabkan beralihnya pertanggungjawaban kepala daerah yang pada awalnya kepada DPRD menjadi kepada rakyat yang memilihnya. Prihatmoko (2005) menjelaskan bahwa bila Presiden dipilih langsung oleh rakyat maka berlaku turunan bersifat hukum dimana pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah selayaknya dipilih pula oleh rakyat mengingat Gubernur adalah Wakil Pemerintah Pusat yang terdapat didaerah. Begitu juga sebaliknya bila Presiden dipilih oleh MPR sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dimana MPR yang memilih Presiden sebagai Mandataris MPR maka bersifat turunan ketika Gubernur dipilih oleh DPRD. Sesungguhnya sistem apapun yang dipakai, pemilihan langsung atau pemilihan perwakilan serta pengangkatan tentu memiliki nilai positif dan nilai negatif sebagai konsekuensinya, kembali kepada cara pandang dan kepentingan dari kemurnian sejarah pembentukan negara tersebut. Pada akhirnya sistem apapun yang dipakai dengan menjalankan peraturan secara baik dan benar serta penuh pertanggungjawaban sesuai dengan norma dan nilai-nilai maka sistem apapun yang dipakai akan membawa kesejahteraan bagi rakyat terutama dalam pelayanan publik.
Universitas Sumatera Utara
Dalam semangat pembentukan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
adalah bertujuan
bahwa pemilihan langung Kepala Daerah tidak lain demi menjalankan desentralisasi demokrasi sampai pada tingkat lokal maka dengan kata lain pemilihan Gubernur melalui lembaga Legislatif dalam Revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 akan membuat kemunduran kehidupan demokrasi yang sudah mulai tumbuh di tingkat lokal. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan bagian dari catatan sejarah yang penting untuk diingat, dengan tidak melupakan sejarah yang pernah dilewati maka secara wajar mengingatkan bahwa terdapat catatan penting dari proses perjalanan sejarah yang dilewati tersebut dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama seakan terkesan bahwa perubahan tidak memberikan hasil yang maksimal seiring bertambahnya umur suatu negara. Momentum sejarah dari perjalanan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentunya untuk meluruskan cita-cita reformasi yang tidak lain melewati demokrasi menuju kesejahteraan yang tentunya diprioritaskan. Kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus mempu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan bukan bersifat elitis dan ekslusif yang hanya menguntungkan elit penguasa lokal. Rozali Abdullah (2005) menjelaskan bahwa lahirnya otonomi daerah tidak lain merupakan turunan dari lahirnya desentralisasi yang mengatur kewenangan daerah yang pada awalnya terdapat dalam Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 dalam semangat reformasi. Ciri utama otonomi daerah dalam negara kesatuan adalah adanya pola hubungan hierarkis antara pusat dengan daerah. Daerah
Universitas Sumatera Utara
otonom dibentuk oleh pusat dan bahkan dapat dihapus apabila tidak mampu melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah berasal dari Pemerintah Pusat dan tanggungjawab pemerintahan ada ditangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945. Desentralisasi sebagai suatu kebijakan dalam negara kesatuan berawal dari adanya pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat dan menetapkan kekuasaan yang akan diserahkan kepada daerah sebagai kewenangan. Semakin sentralisasi pemerintahan dalam suatu negara maka akan semakin sedikit kekuasaan pemerintahan daerah dan begitu juga sebaliknya semakin desentralistik pemerintah dalam negara maka akan semakin luas urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Pemberian otonomi seluas mungkin kepada daerah sebagai suatu kewenangan pemerintah daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap tanggungjawab akhir pemerintahan ada ditangan Pemerintah Pusat. Secara nyata konsekuensi yang terjadi adalah semakin maju suatu bangsa secara sosial, ekonomi, dan politik maka akan semakin sedikit daerah yang diatur oleh pusat dan sebaliknya jika semakin rendah kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara tentunya akan semakin banyak aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Maka, sudah seharusnya Pemerintah Daerah meyakinkan Pemerintah Pusat bahwa kepercayaan dalam bentuk tanggugnjawab yang diserahkan Pusat kepada Daerah dapat dilaksanakan semaksimal mungkin dalam melaksanakan otonomi sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang ditentukan pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
1.2
Perumusan Masalah Melalui pemberlakuan otonomi daerah yang melatarbelakangi hadirnya
pemilihan secara langsung dirasakan tidak banyak perubahan berarti dalam pendewasaan demokrasi melalui pemilihan kepala daerah sehingga timbul gagasan untuk melahirkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, melalui pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi jalan keluar untuk mendemokrasikan sistem yang terdapat dalam pemerintahan. Dari keadaan latar belakang maka penulis dengan studi pustaka memilih judul “Analisis Perbandingan Terhadap Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.” Saat ini, secara nyata disadari bahwa telah ada aturan baru mengenai pemilihan kepala daerah secara Independent yang diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 dimana dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut memperbolehkan pasangan calon mengajukan diri menjadi calon kepala daerah tanpa melalui pencalonan dari partai sehingga semakin membuka lebar peluang demokrasi dalam pemilihan kepala daerah namun penulis memilih membatasi penulisan pada persoalan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Dari keadaan tersebut penulis merumuskan permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004?
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pada kedua Undang-undang tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang bersifat Studi Pustaka ini adalah untuk
menggali jauh mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Adanya perubahan penting dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa masyarakat menjadi penentu akhir siapa yang berhak menjadi kepala daerah. Salah satu tujuan penting dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemilihan Gubernur sebagai kepala daerah yang dipilih dipilih oleh DPRD pada Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemilihan secara langsung oleh masyarakat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
1.4
Manfaat Penelitian Bagi Penulis, untuk menambah pemahaman penulis akan perkembangan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang semakin mendewasakan masyarakat dalam memahami perjalanan demokrasi pada pemilihan kepala daerah, juga sebagai kajian literatur dan meningkatkan kemampuan analisis dan berpikir khususnya mengenai pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah yang dipilih oleh Legislatif Daerah atau DPRD pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Bagi Pemerintah, sebuah harapan bahwa hasil analisis Studi Pustaka dalam penulisan tesisi ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran dari sekian banyak
Universitas Sumatera Utara
perspektif yang ada mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang lebih fokus membahas mengenai pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah. Bagi Program Studi, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sekolah Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara juga untuk melengkapi ragam penelitian bersifat Studi Pustaka tentang pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah sebagai bahan bacaan dan referensi dari sekian banyak karya ilmiah.
1.5
Kerangka Pemikiran Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai proses awal
berlakunya desentralisasi menegaskan bahwa Gubernur memiliki fungsi untuk mensinergiskan fungsi pemerintahan daerah dalam menerapkan otonomi daerah yang memiliki kewenangan yang dilimpahkan pusat kepada daerah yang dijamin oleh undang-undang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi. Amiruddin dan Zaini Bisri (2006) Demokrasi bukanlah sebuah utopia yang dapat dinyatakan dengan khayalan belaka untuk melihat betapa berartinya ketika sebuah demokrasi dapat dilakukan dan langsung dirasakan oleh masyarakat, demokrasi juga bukan merupakan hadiah cuma-cuma untuk warganya. Namun, jalan yang bisa menjamin masyarakat memperoleh manfaat demokrasi
adalah
dengan
mengemban
tanggungjawab
dan
menjaga
kesinambungannya. Demokrasi merupakan sebuah kewajiban rakyat untuk menjaga daerah untuk tetap dan selalu maju dengan konsep otonomi daerah yang dapat dilakukan untuk mencapai kemandirian daerah. Menurut Robert Dahl dalam
Universitas Sumatera Utara
Prihatmoko
(2005) demokrasi
lokal
mendorong masyarakat
di
sekitar
pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara rasional terlibat dalam kehidupan politik, dengan Pilkada secara langsung maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Dalam Hendratno (2009) Pengertian tentang desentralisasi tidak ada yang tunggal, banyak defenisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai desentralisasi. Menurut David K. Hart (Hendratno: 2009) banyaknya defenisi tentang desentralisasi disebabkan karena ada beberapa disiplin ilmu dan teori yang memberikan perhatian terhadap desentralisasi. Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang berarti “de” adalah lepas dan “centrum” adalah pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumahtangganya sendiri. Syaukani, Gaffar, dan Rasyid (2005) desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal dimana pemerintahan nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan di daerah
untuk
diselenggarakan
guna
meningkatkan
kemaslahatan
hidup
masyarakat. Dalam Hendratno (2009) istilah otonomi lebih cenderung berada dalam aspek politik –kekuasaan negara karena menyangkut seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintah yang telah diberikan sebagai wewenang daerah.
Universitas Sumatera Utara
Syaukani, Gaffar, dan Rasyid (2005) kata kunci otonomi daerah adalah “kewenangan”, seberapa besarkah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam menginisiatifkan
kebijaksanaan,
mengimplementasikan
dan
memoblisasi
dukungan sumber daya untuk kepentingan implementasi. Dengan kewenangan tersebut maka daerah akan menjadi kreatif untuk menciptakan kelebihan dan insentif kegiatan ekonomi dan pembangunan daerah. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Kepala daerah adalah kepala pemerintahan yang terdapat di daerah yang bertanggungjawab untuk memandirikan masyarakat dalam otonomi daerah pada konsep desentralisasi yang di pilih secara langsung oleh masyarakat dan bertanggungjawab penuh kepada masyarakat yang telah memilihnya. Kepala daerah haruslah seorang yang dekat masyarakat dan dikenal oleh masyarakat pula, dan karena itu kepala daerah haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat atau masyarakat dan diserahi kekuasaan untuk memimpin daerah. Leo Agustino, (2009) mengatakan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung secara esensial bertujuan untuk lebih menguatkan legitimasi politik “penguasa” di daerah. Menurut Eep Saepullah (TribunNews, Jakarta 31/7/2010) penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan amandemen dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadikan titik tumpu otonomi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi samar. Karena, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan Provinsi memiliki kewenangan yang lebih besar sebagai titik tumpu otonomi. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengubah secara signifikan isi Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 bahwa titik tumpu otonomi yaitu Kabupaten/Kota namun kemudian
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Provinsi sehingga praktis menjadi samar, yang mana sebenarnya yang menjadi titik tumpu dari otonomi daerah sehingga akhirnya seolah-olah keduanya menjadi titik tumpu maka dengan itu bila ingin menerapkan dengan menghapuskan pemilihan langsung kepala daerah maka harus disepakati terlebih dahulu mengenai soal titik tumpu tersebut. Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (2009) menjelaskan bahwa tujuan Pilkada langsung adalah untuk memperkuat integrasi dan kohesi sosial masyarakat, karena masyarakat dapat mempelajari bagaimana cara mengelola perbedaan kepentingan melalui Pilkada langsung. Pilkada telah menjadi budaya dalam masyarakat, mengubah tradisi sebagai sebuah budaya politik masyarakat dan memperkenalkan dengan sesuatu hal yang baru dalam bentuk pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung, meskipun lebih baik, perlu menghapus prasangka-prasangka masyarakat yang dianggap kurang sesuai dalam masyarakat dan menerangi ketidaktahuan masyarakat serta meyakinkan masyarakat bahwa kepentingan masyarakat akan diperjuangkan oleh sebuah perjuangan untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik dan sepenuhnya di berikan kepada kepala daerah untuk mengatur daerahnya untuk mencapai tujuan yang ingin di capai. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa berlakunya pemilihan kepala daerah untuk daerah provinsi yang dijamin dalam undang-undang dalam pelaksanaannya yang dipilih langsung oleh masyarakat. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan Kepala Daerah oleh masyarakat secara langsung secara gamblang memperlihatkan politik
Universitas Sumatera Utara
uang dalam masyarakat sementara bila dibandingkan dengan pemilihan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak berbeda jauh dari pemilihan kepala daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2204 karena tetap menggunakan politik uang namun tidak secara gamblang diperlihatkan kepada masyarakat karena pemilihan kepala daerah dilakjukan secara tertutup oleh Dewan di daerah (DPRD). Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melalui pemilihan langsung ternyata mendorong sebagain besar kepala daerah untuk korupsi yang diakibatkan besarnya pengeluaran pada saat mencapai kepala daerah sehingga tidak heran jika seorang calon Kepala Daerah Provinsi menghabiskan Rp. 10-100 Miliar untuk ikut pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu sangat memungkinkan bahwa banyak Kepala Daerah akhirnya berurusan dengan hukum. Setiap Undang-undang memiliki kelebihan dan kekurang tersendiri, demikian juga dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah dan tentunya memiliki alasan pembenar masing-masing dalam pemilihan Gubernur sebagai kepala daerah.pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara sah bahwa dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung dan pada kenyataannya menyedot anggaran yang berlebihan juga maraknya konflik horizontal akibat ketidakpuasan atas hasil terutama jumlah suara. Dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 memiliki penguatan dalam Undang-undang Pasal 18 Ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan Provinsi, kabupaten, dankota dipilih secara demokratis”
dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa kepala daerah dipilih oleh karena DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat maka dengan kata lain melegalkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa pemilihan Gubernur adalah juga hasil pemilihan rakyat. Sementara kalimat demokratis dalam Pasal 18 Ayat (4) dengan tegas dipilih secara demokratis, titik persoalan adalah bagaimana mendudukkan persoalan kata demokratis tersebut dalam memilih kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara