1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Seorang sosiolog terkenal yang berasal dari Perancis, yaitu Bouman, mengungkapkan bahwa “manusia baru menjadi manusia sesudah hidup bersama dengan sesama manusia”. Hal tersebut disebabkan karena adanya faktor kebutuhan hidup, perasaan suka menolong, rasa harga diri, hasrat untuk patuh, untuk mencari perlindungan dan yang lainnya karena adanya suatu kepentingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 11). Untuk memenuhi kebutuhan kepentingannya, manusia mengadakan hubungan antara satu dengan yang lainnya yang disebut dengan kontak. Dalam melakukan kontak antara satu sama lain atau bermasyarakat, dapat timbul suatu pertentangan dalam kepentingan sehingga menimbulkan adanya perselisihan atau disebut juga konflik atau sengketa. Sengketa diartikan sebagai suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam sesuatu hal. Selain itu, sengketa juga didefinisikan sebagai suatu konflik yang telah mengemuka. Dengan demikian, sengketa pada dasarnya ialah suatu perselisihan yang berwujud konflik yang dapat terjadi antara dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan kepentingan
seseorang
atau
sekelompok
bermasyarakat.
1
orang
dalam
kehidupan
2
Dengan timbulnya konfik atau sengketa, maka hukum memegang peranan penting dalam menyelesaikan masalah tersebut (Nurnaningsih Amriani, 2012: 1). Suatu sengketa biasanya dapat diselesaikan melalui pengadilan yaitu dengan proses beracara di sidang pengadilan (litigasi) atau melalui jalan kekeluargaan/musyawarah mufakat yang dalam istilah hukum sering disebut dengan mediasi. Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui sidang pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim. Penyelesaian dalam litigasi ini bersifat putusan, di mana salah satu pihak akan dinyatakan menang dan pihak lainnya kalah (win-lose solution). Prosedur dalam jalur litigasi sifatnya lebih formal dan teknis, memerlukan biaya yang mahal, serta lebih membutuhkan waktu yang cukup lama karena prosesnya yang berlarut-larut (Yahya Harahap, 2008: 233). Dewasa ini, lembaga peradilan banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak di mana kritikan tersebut antara lain : 1. Penyelesaian sengketa yang lambat. 2. Biaya perkara yang mahal. 3. Peradilan tidak tanggap. 4. Putusan pengadilan sering tidak menyelesaikan masalah. 5. Kemampuan hakim yang bersifat generalis, serta masih banyak kritik yang lainnya (Nurnaningsih Amriani, 2012: 2). Meskipun lembaga peradilan memiliki kedudukan dan keberadaan sebagai “pressure valve and the last resort” yaitu sebagai katub penekan dan jalan penyelesaian terakhir dalam
3
mencari kebenaran dan keadilan, namun semua kritik tadi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan (Yahya Harahap, 2008: 229). Selain melalui litigasi, proses penyelesaian sengketa dapat pula dilaksanakan
melalui
“Alternative
Dispute
Resolution”
atau
ADR.
“Alternative Dispute Resolution” (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif ialah pengelolaan suatu konflik berdasarkan manajemen kooperatif (cooperation conflict management). Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dijelaskan bahwa Alternative Dispute Resolution (ADR) diartikan sebagai suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan (Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan. Alternatif dalam penyelesaian sengketa jumlahnya banyak, diantaranya mediasi, arbitrase, konsiliasi, negosiasi, pencari fakta (fact finding), penilaian ahli dan lain sebagainya. Namun alternatif yang lebih sering digunakan di masyarakat adalah mediasi, di mana mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan atas asas kesukarelaan melalui suatu perundingan dengan dibantu
4
oleh seorang mediator atau lebih untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak (Takdir Rahmadi, 2011: 16). Yahya Harahap (2008: 236) dan Syahrizal Abbas (2011: 25) samasama mengungkapkan berbagai keuntungan dalam pelaksanaan mediasi. Keuntungan-keuntungan tersebut diantaranya, mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan lebih cepat, tidak berbelit-belit, murah atau biaya ringan, penyelesaiannya lebih bersifat informal yang mampu menciptakan suasana saling pengertian karena yang menyelesaikan sengketa adalah para pihak sendiri, proses penyelesaian bersifat konfidensial, hubungan para pihak kooperatif, komunikasi dan fokus penyelesaian, aturan pembuktian tidak perlu, bebas dari dendam, serta hasil yang dituju adalah sama-sama menang (win-win solution). Selain memiliki berbagai keuntungan, penyelesaian perkara atau sengketa dengan mediasi juga didukung oleh dasar legitimasi yang kuat yang berasal dari falsafah negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini terdapat pada sila keempat Pancasila yang berbunyi kebijaksanaan
dalam
“Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat
permusyawaratan/perwakilan”.
Sila
tersebut
menempatkan musyawarah pada kedudukan yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang didalamnya menyatakan tentang jaminan Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, maka persamaan hak harus selalu dihormati dan
5
dijunjung tinggi, terlebih dalam penyelesaian sengketa yang membutuhkan keputusan win-win solution (Syahrizal Abbas, 2011: 27). Dalam upaya menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia serta mewujudkan keadilan dalam suatu sengketa, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 (yang selanjutnya disebut dengan PERMA No.1 Tahun 2008) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam aturan tersebut khususnya pada Pasal 1 angka (7) PERMA No.1 Tahun 2008, disebutkan bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi yakni cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh seorang mediator, di mana mediator tersebut harus bersifat netral dan tidak memihak guna membantu mencapai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Salah satu hal yang juga mendukung pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa ialah adanya kritik-kritik tajam yang ditujukan pada lembaga peradilan. Salah satu kritik tersebut ialah kurangnya kemampuan hakim dalam menyelesaikan sengketa yang kompleks secara baik dan objektif, sebab kualitas hakim tidak seimbang dengan perkembangan teknologi dan menyebabkan putusan hakim sering menyimpang dari permasalahan pokoknya (Nurnaningsih Amriani, 2012: 17). Proses mediasi ada yang dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan. Proses mediasi yang dilakukan di luar pengadilan tidak diatur
6
secara rinci di dalam peraturan perundangan, akan tetapi lebih didasarkan pada pengalaman para praktisi. Lain hal nya dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan. Mediasi yang terintegrasi di Pengadilan telah diatur dengan jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 (yang menggantikan Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan dijelaskan bahwa “setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi”. Dengan demikian, mediasi sifatnya wajib untuk dilaksanakan terlebih dahulu sebelum perkara diperiksa oleh hakim. Dalam kaitannya dengan mediasi, hakim memiliki peranan yang cukup penting, karena mereka wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh jalan mediasi. Upaya hakim dalam mediasi bersifat imperatif, sehingga tidak boleh diabaikan dan dilalaikan, karena proses pemeriksaan perkara yang tidak menempuh prosedur mediasi merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
dan
154
RBg
(Rechtreglement
Buitengewesten)
dan
mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Sebenarnya sejak jauh hari sebelum sistem ADR (Alternative Dispute Resolution) dikenal pada era sekarang, telah ada landasan yang menuntut dan mengarahkan penyelesaian sengketa melalui musyawarah/mediasi. Hal itu
7
terdapat pada Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) maupun Pasal 154 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui mediasi. Dalam pasal tersebut telah ditentukan bahwa sebelum perkara diperiksa oleh hakim, hakim wajib mendorong para pihak yang berperkara untuk menempuh mediasi terlebih dahulu guna mencapai titik temu dalam permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan demikian, apa yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut semakin menegaskan
bahwa hakim
mempunyai
tugas untuk mengutamakan
pelaksanaan mediasi terlebih dulu, sebelum memeriksa dan memutuskan perkara melalui jalan litigasi. Dalam menghadapi suatu sengketa, hakim harus bersikap aktif untuk selalu mengupayakan mediasi antara pihak-pihak yang berperkara. Hakim harus membantu pihak yang berperkara dan berusaha semaksimal mungkin mengantisipasi segala hambatan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi guna tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan yang sesuai dengan asas yang tercantum dalam Pasal 2 angka (4) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dewasa ini, penyelesaian kasus sengketa melalui mediasi di Indonesia masih rendah yakni dibawah angka 5 persen. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Pusat Mediasi Indonesia, sekolah Pascasarjana UGM yaitu drg. Suryono, S.H., Ph.D, dalam penyelenggaraan Seminar dan Rembug Nasional yang bertajuk “Peace within Conflict Solution” yang dilaksanakan di Grha Saba
Pramana
(GSP)
UGM,
Kamis,
13
Januari
2012.
Suryono
8
mengungkapkan bahwa rendahnya penyelesaian kasus sengketa melalui mediasi sangat memprihatinkan karena sejak dahulu masyarakat Indonesia telah memiliki budaya musyawarah yang cukup kuat. (Ika, 2012, http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5170, diakses pada 5 Maret 2013). Meskipun pola-pola penyelesaian sengketa melalui mediasi memiliki akar yang cukup kuat dalam budaya masyarakat Indonesia, akan tetapi semua itu belum dapat menjamin keberhasilan dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi. Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan-perubahan dalam paradigma masyarakat sehingga masyarakat cenderung gengsi untuk melakukan mediasi. Selain
itu,
pendidikan
hukum
masa
lampau
yang
lebih
mengorintasikan lulusan pendidikan hukum untuk melihat litigasi sebagai cara penyelesaian yang utama, maka penyelesaian sengketa melalui mufakat tidak memperoleh kajian akademik yang cukup dan secara perlahan-lahan mulai dilupakan, sehingga akibatnya kini pemahaman masyarakat tentang nilai luhur dalam kehidupan semakin rendah dan menjadikan konflik justru diselesaikan
ke
pengadilan
(Ika,
2012,
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5170, diakses pada 5 Maret 2013). Selain itu, salah satu hal yang juga turut mempengaruhi perilaku masyarakat dalam penyelesaian sengketa yang lebih banyak membawanya ke ranah
hukum
melalui
proses
peradilan
yaitu
ketidaktahuan
dan
9
ketidakpahaman masyarakat terhadap mediasi. Padahal mediasi bisa menjadi salah
satu
alternatif
dalam
penyelesaian
sengketa
(Ika,
2012,
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5170, diakses pada 5 Maret 2013). Di lingkungan pengadilan, jarang dijumpai titik temu dalam proses mediasi penyelesaian sengketa. Produk-produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama menang (winwin solution) (Yahya Harahap, 2008: 241). Kasus sengketa yang dapat diselesaikan dengan mediasi harus memenuhi pertimbangan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bukti benar dan salah dikesampingkan untuk proses mediasi namun tidak boleh merugikan yang lemah. Jika diperlukan, hakim boleh saja melakukan negosiasi dengan kedua belah pihak secara terpisah untuk menemukan titik temu. Dalam suatu proses penyelesaian sengketa, hal ini sering disebut dengan istilah kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya (Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Berdasarkan pengamatan peneliti terkait dengan penyelenggaraan mediasi di Pengadilan Negeri Yogyakarta, para pihak yang bersengketa sering tidak menganggap adanya mediasi, bahkan mereka terkesan menyepelekan proses mediasi tersebut. Akibatnya, proses mediasi yang
10
dilaksanakan hampir selalu gagal dalam menghasilkan kesepakatan antara para pihak. Para pihak yang berperkara lebih menyukai untuk menyelesaikan perkaranya melalui jalur hukum, bukan melalui jalan mediasi.
Hal ini
terbukti dengan situasi yang menunjukkan bahwa meskipun para pihak telah diwajibkan untuk melakukan mediasi, namun para pihak yang berperkara (khususnya prinsipal yakni Penggugat dan Tergugat) tidak hadir dalam jadwal pertemuan sesi-sesi mediasi yang telah disepakati. Mereka hanya mewakilkan kepada kuasa hukum, di mana kuasa hukum tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan sendiri, karena posisi dan peran seorang kuasa hukum hanyalah mendampingi para pihak yang berperkara dalam menyelesaikan permasalahannya. Dalam hal ini, kuasa hukum justru berkewajiban
untuk
mendorong
para
pihak
sendiri
agar
berperan
langsung/aktif dalam proses mediasi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Selama ini perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi jumlahnya masih relatif rendah, bahkan dapat dikatakan sangat rendah. Situasi inilah yang dihadapi oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dari tahun ke tahun jumlah sengketa yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta semakin meningkat dan sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi masih sedikit. Sebagian besar sengketa lebih banyak diselesaikan melalui jalur litigasi dengan putusan pengadilan yang bercorak menang kalah.
11
Berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Negeri Yogyakarta, dapat terlihat bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi jumlahnya masih sedikit. Hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Statistik Sengketa di Pengadilan Negeri Yogyakarta
No
Tahun
Jumlah sengketa perdata
1 2 3 4 5
2009 2010 2011 2012 Januari-April 2013
128 perkara 122 perkara 156 perkara 164 perkara 57 perkara
Jumlah sengketa yang dapat mencapai titik temu 7 3 8 5 -
Sumber data : Statistik sengketa di Pengadilan Negeri Yogyakarta 2009 hingga April 2013, diolah pada tanggal 3 Mei 2013
Tahun
Dari tabel di atas, kita dapat mengetahui bahwa sengketa yang pada akhirnya dapat diselesaikan melalui mediasi (dalam arti para pihak dapat mencapai titik temu), jumlahnya masih relatif rendah. Hal ini berarti, proses penyelesaian sengketa-sengketa tersebut lebih banyak dilanjutkan melalui jalur litigasi yakni melalui proses sidang pengadilan yang berakhir dengan putusan yang bersifat winning or losing. Dalam menghadapi fenomena demikian, lalu bagaimana cara atau upaya
yang
ditempuh
oleh
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
dalam
menyelesaikan sengketa melalui mediasi? Apa hambatan yang ditemui Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam upayanya tersebut? Serta bagaimana hasil mediasi yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta?
12
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian
tentang
Upaya
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
dalam
Menyelesaikan Sengketa melalui Mediasi.
B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang diatas, peneliti dapat melakukan identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Meskipun masyarakat memiliki budaya musyawarah yang telah melekat sejak lama, namun pada praktiknya masyarakat lebih cenderung menyelesaikan sengketa mereka dengan jalan litigasi yakni melalui putusan pengadilan daripada melalui mediasi. Padahal mediasi sesuai dengan falsafah hidup bangsa yakni musyawarah untuk mencapai mufakat. 2. Masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap mediasi dalam lingkungan pengadilan sehingga masyarakat cenderung membawa persoalan mereka ke ranah hukum melalui proses peradilan. 3. Masih sedikitnya sengketa yang dapat menemukan titik temu dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri Yogyakarta sehingga banyak kasus sengketa yang dilanjutkan ke proses litigasi. 4. Adanya
kendala-kendala
yang
dihadapi
oleh
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi. C. Pembatasan Masalah Karena luasnya permasalahan yang ada berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan
13
pembatasan masalah agar lebih efektif dan efisien. Untuk pengkajian selanjutnya peneliti membatasi penelitian ini pada tiga permasalahan pokok : 1. Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi. 2. Kendala
yang
dihadapi
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
dalam
menyelesaikan sengketa melalui mediasi. 3. Hasil mediasi di Pengadilan Negeri Yogyakarta D. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
diatas
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan-permasalahan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi? 2. Apa kendala-kendala yang dihadapi Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi? 3. Bagaimana hasil mediasi yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Untuk
mengetahui
upaya
Pengadilan
Negeri
Yogyakarta
dalam
menyelesaikan sengketa melalui mediasi. 2. Untuk mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi.
14
3. Untuk mengetahui hasil mediasi yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan pustaka guna memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya untuk jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum di bidang Hukum Acara Perdata. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan sekaligus sebagai salah satu referensi bagi penelitian lain yang sejenis dengan penelitian ini di masa yang akan datang. 2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bekal untuk menerapkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Hukum Acara Perdata yang telah peneliti dapatkan di bangku kuliah, khususnya kemampuan dalam menelaah berbagai masalah yang ada di masyarakat yang berkaitan dengan Pendidikan Kewarganegaraan. b. Bagi Pengadilan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat memberikan masukan/bahan pertimbangan bagi pengadilan dalam upaya menemukan titik temu antara para pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa melalui mediasi.
15
c. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang keberadaan lembaga mediasi dalam penyelesaian sengketa, serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, (khususnya kepada para pihak yang sedang bersengketa), akan betapa pentingnya pelaksanaan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa, demi terciptanya kerukunan dan kebaikan bagi semua pihak. G. BATASAN ISTILAH Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap masalah yang diteliti, maka peneliti memberikan gambaran tentang maksud dari judul penelitian. Oleh karena itu perlu diberikan definisi istilah yang terdapat pada judul penelitian yakni sebagai berikut : 1. Upaya Upaya ialah suatu kegiatan/ usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu maksud/ tujuan yang diharapkan dengan cara mencari jalan keluar dari suatu perselisihan. 2. Menyelesaikan sengketa Menyelesaikan sengketa ialah kegiatan memecahkan masalah atau mencapai titik temu antara kedua belah pihak dalam suatu perkara, perselisihan, atau perbedaan pendapat yang terjadi antara dua orang atau lebih. 3. Mediasi
16
Mediasi ialah suatu perundingan yang dilaksanakan oleh pihakpihak yang berperkara guna memperoleh suatu kesepakatan/titik temu dengan bantuan seorang mediator. Dari berbagai definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa maksud dari judul penelitian “Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Menyelesaikan Sengketa melalui Mediasi adalah usaha yang ditempuh oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam memecahkan dan mencari titik temu dari suatu sengketa/perkara, (pertentangan kepentingan) yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan mengikutsertakan pihak ketiga sebagai mediator (dalam hal ini hakim) untuk mencapai titik temu dalam permasalahan/sengketa yang sedang dihadapi dengan berlandaskan semangat win-win solution.