BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wacana tentang peran penting dan pemisahan agama dalam praktik sebuah negara memang tidak ada habisnya. Dalam sebuah negara hampir selalu ada kelompok yang berpendapat bahwa agama tetap harus memiliki peran dalam kehidupan bernegara. Namun di sisi lain tetap ada kelompok yang mengatakan bahwa agama seharusnya dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Hurley, dalam esaynya ‘Religion in Politics’ mengungkapkan bahwa jika politik hanya diartikan sebagai ‘partai politik’ semata dan agama adalah lembaga yang mengatur ototoritas praktik agama dalam negara – maka memang benar agama dan politik seharusnya dipisahkan. Namun politik memiliki arti yang lebih luas dari sekedar praktik politik dalam partai politik. Politik juga berarti tata kelola dalam sebuah negara. Kepentingan, administrasi, hingga pengaturan hubungan luar negeri merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam politik. Sementara agama, selain sebagai sebuah institusi yang mengatur hubungan manusia dengan sesuatu yang holy, juga berpengaruh terhadap etika seseorang
1
dalam kehidupan bernegara. Dari sudut pandang kedua inilah yang menyebabkan mengapa politik dan agama tidak dapat sepenuhnya dipisahkan1. Setidaknya terdapat dua debat besar yang muncul dari fenomena ini. Posisi pertama, adalah mereka yang sepakat bahwa agama dapat digunakan sebagai alat mobilisasi masyarakat dalam kehidupan berpolitik. Kedua, adalah mereka yang sepakat bahwa tidak seharusnya agama dijadikan alat mobilisasi politik. Fenomena pertama – yaitu pihak yang merasa bahwa agama dapat dijadikan alat mobilisasi politik dapat dilihat dalam pemilihan Presiden di Amerika. Hingga masa pemerintahan George Bush, presiden sebelum Barack Obama, agama masih digunakan sebagai alat untuk memobilisasi dukungan politik. Bush yang menginisiasi War on Terror dengan melakukan invasi ke Iraq dan membuka Guantanamo Detention Centre menggunakan agama, khususnya ketakutan terhadap agama tertentu, sebagai alat untuk meloloskan kebijakannya. Hal yang sama dengan Amerika Serikat juga terjadi dalam masa pemerintahan Gordon Brown yang memimpin Inggris hingga tahun 2010. Terlepas dari posisi Kristen sebagai established church dan Kristen sebagai state religion di Inggris Gordon Brown memposisikan Gereja dan agama sebagai alat untuk memobilisasi dukungan dalam masa pemerintahannya. Meski telah dikritik dan dipertanyakan relevansinya dengan kondisi Inggris kontemporer, Brown bersikukuh bahwa agama Kristen tetap harus ada dalam pemerintahan di Inggris.
1
Hurley, DE. 1971. The Role of Religion in Politics. A Journal of Social and Political Theory. Bergharn Books
2
Inggris memang merupakan negara yang unik karena Kristen merupakan state religion
di Inggris. Church of England merupakan established
church yang masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat pun dalam kehidupan legislatif di Inggris. Fakta bahwa Inggris mempunyai established church dan mempunyai state religion membuat kita membayangkan satu hal. Apakah ini berarti Inggris merupakan negara yang sangat religius? Semua penduduknya pergi ke gereka setiap minggu? Gereja memainkan peranan yang penting dalam pemerintahan? Namun ada fakta berbeda yang pada tahun 2012 dilansir oleh YouGOV (sebuah lembaga sensus di Inggris2. 67% responden mengatakan bahwa agama seharusnya tidak lagi menjadi urusan publik di Inggris. 51% persen responden mengatakan bahwa agama hanya menghasilkan lebih banyak keburukan dibanding kebaikan. Ketika pertanyaan mengenai peran Church of England dalam pemerintahan, hasil survey ini pun menunjukkan perbedaan yang sangat tipis. 42% penduduk Inggris mengatakan Church of England masih berperan penting dalam pemerintahan. Hasil ini hanya berbeda 1% dari 41% responden yang berpendapat bahwa peran Church of England sudah tidak lagi signifikan.
2
Secularism in Britain, diakses dari
https://yougov.co.uk/news/2012/03/06/secularism-britain/, pada 22 Juni 2016 pukul 02.00 WIB http://cdn.yougov.com/cumulus_uploads/document/6195qkb1kr/YG-ArchivesPol-ST-results-17-190212.pdf
3
Melihat kenyataan ini membuat pertanyaan soal bagaimana peran agama di Inggris muncul. Apakah Kristen sebagai state of religion masih memiliki peran yang sama? Apakah konsep sekularisasi cukup menjelaskan hal ini? Atau kita mesti menggunakan konsep yang berbeda untuk menjelaskan perubahan yang terjadi di Inggris? Pada Januari 2016, media mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan mengenai jumlah warga negara Inggris yang berafiliasi dengan Chruch of England. Menurut data yang dilansir, hanya 1,4% dari warga Inggris yang kini berafiliasi dengan Church of England dan aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Jumlah total dari penduduk Inggris yang masih aktif mengikuti kegiataan keagamaan di Church of England turun sebesar 22,000 ke angka 764,700 warga negara3. Atau turun sekitar 7% dalam 5 tahun saja. Angka ini merupakan angka yang terendah sepanjang sejarah Church of England di Inggris. Berita yang dilansir tersebut ternyata diambil dari data yang secara resmi dikeluarkan oleh Church of England pada 2014. Dalam data yang bisa diakses secara publik dan dinamakan Statistic of Mission, Church of England mengeluarkan statitstik dari 16.000 gereja di seluruh Inggris untuk melaporkan jumlah orang yang mengikuti kegiataan keagamaan yang digelar oleh Church of England dan jumlah warga Inggris yang mengikutinya. Baik misa yang dilakukan secara rutin tiap minggu, Sekolah Minggu untuk anak-anak, hingga prosesi pemakaman dan pernikahan yang juga diselenggarakan oleh Church of England. 3
Church of England Attendance Plunge To Record Low, diakses dari http://www.telegraph.co.uk/news/religion/12095251/Church-of-England-attendanceplunges-to-record-low.html pada 18 Juni 2016 pukul 22.30 WIB
4
Penurunan ini tidak terjadi secara mendadak, namun perlahan dan terus menunjukkan tren yang sama. Seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
Data yang diambil dalam jangka waktu 11 tahun, dari tahun 2004 hingga 2014 tersebut menunjukkan tren penurunan yang perlahan namun cukup signifikan. Hingga tahun 2012 jumlah warga negara Inggris yang megikuti kegiatan keagamaan setiap minggu di Church of England tidak pernah berada dibawah angka 1 juta. Namun pada 2013, angka tersebut mulai menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Pihak Church of England kemudian mengganti pertanyaan pada responden dan mengubah pelaporan dalam Statitistic of Mission. Bahwa mulai tahun 2013 kegiatan kegamaan yang dilakukan di sekolah (school services) juga akan masuk dalam perhitungan dan digambarkan dengan chart yang berbeda.
5
Dalam rentang waktu yang sama Statistic of Mission juga menunjukkan bahwa jumlah orang terbanyak yang masih berafiliasi dengan Church of England adalah mereka yang sudah dewasa, yang diwakili dengan chart berwarna hijau. Penganut anak-anak hanya berada dalam jumlah yang sangat kecil. Data yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa jumlah warga Inggris yang berpartisipasi dalam pelayanan Mingguan Church of England turun sebesar 13% dari tahun 2004. Jumlah anak-anak yang hadir dalam pelayanan Mingguan Church of England juga turun dari 16% di tahun 2004 ke 14% pada tahun 2014.
Selain secara usia, Statisctic of Mission juga mengeluarkan data mengenai jumlah kegiatan keagamaan yang paling banyak diikuti. Dari data yang bisa dilihat dari tabel di bawah dapat diketahui bahwa jumlah orang yang hadir dalam pelayanan
6
Mingguan Church of England selalu berada di bawah angka 1 juta orang dari tahun 2004 hingga 2014. Kehadiran dalam perayaan natal mengambil porsi paling besar. Namun kehadiran dalam perayaan natal Church of England pun menunjukkan jumlah penurunan yang cukup signifikan. Sempat mencapai angka 3 juta pada 2006, di tahun 2014 angka itu turun sampai di bawah 2.500.000 kehadiran.
Melihat berbagai fakta di atas, muncul pertanyaan mengenai bagaimana hubungan antara Church of England sebagai established church di Inggris dengan negara. Mengapa terjadi penurunan yang cukup signifikan? Bagaimana kita dapat menjelaskan fenomena ini?
7
Rumusan Masalah: -
Bagaimana penurunan jumlah afiliasi dengan Church of England di Inggris dipandang dari sekularisme jenis ketiga?
Landasan Konseptual - Sekularisme Sekularisme bukan lagi merupakan sebuah konsep yang baru dalam kehidupan bernegara. Untuk menjelaskan bagaimana konsep ini bisa dipahami Jose Casanova mengkategorikan sekularisme yang dianggap sebagai ekses tidak terelakkan dari modernisme kedalam 3 sudut pandang4:
Sekularisme yang berarti menurunnya jumlah pemeluk kepercayaan dan mereka yang melakukan aktivitas keagamaan. Definisi ini adalah definisi yang sekarang banyak digunakan dalam perdebatan sekularisme kontemporer.
Sekularisme yang dalam prosesnya melibatkan privatisasi agama dalam kehidupan masyarakat. Dalam definisi ini sekularisme, seperti yang diungkapkan oleh Weber, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebuah negara jika ingin menjadi sebuah negara modern.
4
Nation and Religion: Perspectives on Europe and Asia, halaman 178 https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=mtGPshIgTgC&oi=fnd&pg=PA178&dq=religion+secularism&ots=obvl2sp9Jx&sig=KzCe4bxsNsH2J 0n4IQCBKtEb3OM&redir_esc=y#v=onepage&q=religion%20secularism&f=false
8
Yang ketiga adalah sekularisme sebagai pemisahan sisi-sisi agama dalam sebuah negara. Baik dalam tata pemerintahan, kehidupan ekonomi, maupun keilmuan. Definisi ini merupakan definisi sekularisme klasik yang banyak digunakan. Atau sering juga disebut sebagai
“Emansipasi dari norma dan institusi keagamaan.” Dalam definisi ini diartikan bahwa kekuatan sekarang sudah tidak lagi berada di tangan sesuatu yang suci (holy) namun berada di pemerintahan juga di tangan keinginan publik. Ketiga definisi di atas, diakui Casanova masih menyisakan perdebatan diantara pengamat sekularisme di Amerika dan Eropa. Di Amerika Serikat pengamat sekularime lebih condong menolak definisi sekularisme modern, seperti yang dijelaskan di definisi pertama Casanova. Pengamat sekularisme di Amerika serikat mengatakan bahwa pada dasarnya Amerika Serikat merupakan sebuah negara multikultur yang sangat plural. Maka akan sangat sempit jika hanya mengartikan sekularisme sebagai menurunnya jumlah pemeluk agama dan pelaku aktivitas keagamaan. Sekularisme di Amerika Serikat lebih dipandang sebagai persaingan antara ‘pasar bebas agama’ dan ‘keputusan rasional dari warga negara.’ Siapapun bisa memilih keyakinan apapun yang ia inginkan. Sedangkan di Eropa, pengamat sekularisme sepakat menerjemahkan sekularisme sebagai proses yang tidak terelakkan dari makin lemahnya kekuatan institusi keagamaan di masyarakat. Yang menyebabkan menurunnya jumlah pemeluk agama dan mereka yang melakukan aktivitas keagamaan juga terkena dampak
9
penurunan. Casanova menjelaskan bahwa pengamat sekularisme di Eropa cenderung bergerak dari definisi tradisonal sekularisme ke definisi modern sekularisme, sesuai dengan keadaan masyarakat5. Khusus untuk kasus Inggris, sekularisme juga dapat dijelaskan dengan konsep Believing Without Belonging (BWB, Mempercayai Tanpa Harus Memiliki) yang diungkapkan oleh Grace Davie pada tahun 1990. Pendapat ini kemudian dielaborasi kembali oleh David Voas dan Alasdais Crockett pada tahun 2005. BWB berusaha menjelaskan bagaimana Ingris bertransformasi sebagai negara yang menjadikan Kristen sebagai state religion dan memiliki established church namun mengalami penurunan jumlah pemeluk keyakinan. 1. “Most Britons are Christian but unchurched”
2. Banyak masyarakat Inggris yang memilih untuk percaya, namun meninggalkan pilihan untuk melakukan hal-hal yang diwajibkan oleh kepercayaan mereka. 3. BWB menunjukkan bahwa sesuatu yang sakral dan dipercaya tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat Inggris. Justru konsep ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dapat menjadi semakin luas diterima dengan caranya sendiri dalam sebuah masyarakat. Ketiga poin di atas merupakan beberapa pendapat Davie yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana fenomena BWB terjadi dalam masyarakat Inggris. 15 5
Jose Casanova Essay. Rethinking Secularization: A Global Comparative Perspective. http://www.iasc-culture.org/THR/archives/AfterSecularization/8.12CCasanova.pdf
10
tahun setelah konsep Davie keluar, Voas dan Crockett berusaha menjelaskan proses sekularisme di Inggris dengan konsep lebih anyar yang mereka sebut:
‘Neither Believing nor Belonging.’ Konsep ini muncul sebab Voas dan Crockett melihat bahwa jumlah pemeluk kepercayaan di Inggris berbanding lurus dengan jumlah orang yang mengikuti kegiatan keagamaan. Sebab itu sudah tidak lagi rasional menurut Voas dan Crockett untuk mengkategorikan masyarakat Inggris sebagai orang yang percaya, namun tidak melakukan kegiatan keagamaan. Voas dan Crockett merasa generasi muda yang sekarang memilih untuk tidak berafiliasi dengan institusi keagamaan manapun sebenarnya bukan sedang melalui masa BBW, melainkan hanya sedang menjalani fase menuju lepas dari institusi keagamaan sepenuhnya. Voass dan Crockett melakukan analisa terhadap British Household Panel Survey dalam jangka waktu 10 tahun dari 1991 hingga 2000. Dalam analisa tersebut Voas dan Crockett menanyakan 3 pertanyaan kepada setiap responden: a. Apakah responden merasa terhubung dengan suatu kepercayaaan (untuk menentukan afiliasi) b. Jika pernah, seberapa sering responden mengikuti kegiatan keagamaan (untuk mengukur level kehadiran responden) c. Menurut responden, apakah memiliki kepercayaan mmbawa dampak yang kecil, sedang, atau besar dalam hidup responden? (untuk mengukur tingkat kepercayaan responden)
11
Dari ketiga pertanyaan tersebut, Voas dan Crockett kemudian melakukan perbandingan yang dibagi ke dalam 9 gelombang. Gelombang 1 adalah data yang didapat pada tahun 1991, sedang gelombang ke 9 adalah data yang didapatkan pada tahun 2000. Dari data yang didapatkan diketahui bahwa dalam tingkat afiliasi, kehadiran dalam kegiatan agama, serta level kepercayaan gelombang pertama selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan gelombang 9. Hal menarik lain yang bisa diamati adalah tingkat afilasi, kehadiran dalam kegiatan keagamaan, serta level kepercayaaan yang tertinggi terjadi pada mereka yang berusia 55 tahun – 62 tahun. Sementara mereka yang berusia 20-an hingga 40-an dikategorikan memiliki tinggat afiliasi yang rendah. Seperti yang bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
12
Dari data tersebut sekularisme di Inggris menurut Voas dan Crockett sudah bukan lagi mengenai percaya namun memilih untuk tidak melakukan kegiatan keagamaan. Lebih spesifik dari itu, sekularisme di Inggris adalah tentang transmisi antar generasi yang menyebabkan turunnya tingkat afiliasi terhadap institusi keagamaan terlihat nyata. Dalam skripsi ini sekularisme akan dibagi menjadi 3 tahap. Sekularisme tahap pertama, sekularisme tahap kedua, dan sekularisme tahap ketiga. Dalam bukunya A Secular Age, Charles Taylor menjelaskan ketiga hal ini dengan cukup sederhana. Sekularisme tahap pertama terjadi saat hubungan antara manusia dengan agama tidak lagi ditunjukkan di depan public (secularized public place). Sekularisme tahap kedua terjadi ketika terdapat penurunan jumlah
13
pemeluk kepercayaan dan berkurangnya kegiatan keagamaan. Sedangkan sekularisme jenis ketiga berusaha menjelaskan sesuatu yang lebih besar dari kedua hal itu. Sekularisme jenis ketiga bukan tentang satu kepercayaan yang hilang di suatu negara, kemudian digantikan oleh kepercayaan lain. Bukan juga soal seseorang yang terpaksa melepaskan atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaannya karena ada aturan dari negara. Sekularisme jenis ketiga adalah konsep mengenai bagaimana di sebuah masyarakat yang sebelumnya merasa mempercayai Tuhan adalah suatu keharusan, bergeser ke keyakinan bahwa mempercayai Tuhan adalah sebuah alternatif. Sekularisme jenis ketiga sudah tidak lagi berbicara soal pemisahan negara dan agama. Tetapi tentang mereka yang memilih untuk abstain dari kepercayaan, meskipun kemudian merasa kehilangan.
Model Hubungan Negara dengan Gereja6: Untuk mengetahui lebih jelas tentang fenomena berkurangnya jumlah warga negara yang merasa berafiliasi dengan Church of England penulis juga akan menggunakan teori mengenai hubungan negara dengan gereja yang diutarakan oleh Julian Rivers dan Mark De Velde.
6
http://www.jubilee-centre.org/disestablishment-and-the-church-of-england-by-julianrivers/
14
1. Latar Belakang Established church dalam masyarakat Inggris yang plural Munculnya Church of England sebagai established church di Inggris dimulai pada tahun 1530-an, ketika Paus menolak permohonan pernikahan Henry VIII yang saat itu menduduki tahta Raja Inggris dengan Catherin Aregon, yang merupakan janda dari Pangeran Arthur, Kakak Henry VIII. Penolakan pihak gereja ini membuat Henry membebaskan diri dari hierarki yang dimiliki oleh gereja di Roma, kemudian memberikan gelar pada dirinya sebagai supreme head of the Church of England. Abad 17 merupakan masa yang penting bagi munculnya dorongan atas pluralisme dan toleransi beragama di Inggris. Di masa ini negara dan gereja mencapai kesepakatan bahwa parlemen akan mengambil alih peran-peran yang selama ini dijalankan oleh Raja atau Ratu Inggris. Meskipun pada awalnya ini hanya berarti parlemen memiliki kewenangan untuk mengurus berbagai berkas yang selama ini hanya diketahui oleh pihak gereja dan kerajaan, namun di masa ini pula mulai muncul beberapa tokoh yang menginginkan adanya kebebasan beragama dan mendorong terciptanya pluralisme di Inggris. Hal yang cukup signifikan dalam upaya mendorong kebebasan beragama dan pluralisme di Inggris terjadi ketika pemerintah bersedia mengesahkan Undang-undang Toleransi yang berarti mengakui kelompok kepercayaan di luar established church. Namun hal ini tidak berlaku bagi pemeluk Katolik yang masih harus menunggu hingga tahun 1828 untuk dapat sepenuhnya mengakses hak mereka sebagaai warga negara.
15
Pasca Undang-undang Toleransi disahkan Inggris mulai menghadapi penurunan jumlah pemeluk kepercayaan di dalam Church of England, hal ini membuat pihak negara mengeluarkan dana untuk mendukung pertumbuhan gereja di Inggris. Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi keputusan ini. Pertama, saat itu Inggris sedang menghadapi perang dalam Revolusi Perancis. Jika negara berhasil menarik kaum pekerja untuk melupakan masalah hidupnya dan memberikan harapan bahwa akan ada kebaikan setelah perang berakhir, maka akan lebih mudah menggerakkkan kaum pekerja untuk mendukun pemerintah dalam masa revolusi. Kedua, pasca Undang-undang Toleransi disahkan terjadi penyatuan antara Catholic Kingdom of Ireland dengan Protestant Kingdom of Great Britain yang terjadi dalam Union Act 1800. Penyatuan yang diharapkan dapat memperbanyak jumlah penganut keagamaan yang berafiliasi dengan Church of England justru menunjukkan kenyataan yang berbeda. Kurang dari 50% penduduk Inggris melakukan kegiatan keagamaan mereka di Church of England. Disinyalir terjadi karena kurangnya jumlah gereja yang dapat mengakomodir kegiatan keagamaan, pemerintah Inggris memutuskan menggelontorkan dana untuk pembangunan gereja. Mulai saat itu jumlah gereja yang berada di bawah naungan Church of England bertambah. Pun jumlah pemeluk keyakinan yang hadir dalam kegiatan keagamaan dan mereka yang merasa berafiliasi dengan Church of England. Hal inilah yang menjadi cikal bakal munculnya established church di tengah masyarakat Inggris yang sangat majemuk.
16
2. Hubungan Antara Gereja dan Negara yang Sepenuhnya Terpisah Dalam jenis hubungan ini gereja dan negara memiliki ikatan yang sepenuhnya terpisah. Walaupun negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak memeluk kepercayaan warga negara, gereja dan negara sama sekali tidak memiliki hubungan dalam level konstitusional. Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hubungan antara gereja dan negara di level ini adalah Amerika Serikat yang mengamandemen Undang-undangnya pada tahun 1791 dengan “Congress shall make no law respecting an establishment of
religion, or the free exercise.”
Dalam hubungan jenis ini gereja memiliki kebebasan untuk menjadi gereja – dalam kaitannya dengan menyelenggarakan kegiatan kegamaan dan mengatur bagaimana urusan di dalam gereja berjalan. Sementara negara hanya bertugas menjalankan hokum dan undang-undang yang memastikan semua sistem di dalam negara dapat berjalan.
3. Komitmen Simbolik Negara Terhadap Gereja Dalam hubungan jenis ini negara menyatakan dalam konstitusinya bahwa negara mengakui adanya Tuhan. Sebab itu negara mengakui pula keberadaan gereja sebagai bagian yang penting dalam negara.
17
Beberapa contoh yang menggambarkan hubungan ini adalah bagaimana klausa
“…negara dibangun atas dasar kepercayaan kepada Tuhan” ada dalam pembukaan undang-undang dasar yang dimiliki oleh Jerman, Kanada, dan Australia. Dalam hubungan jenis ini negara diingatkan bahwa keinginan rakyat dan pendapat mayoritas bukanlah satu-satunya penentu dalam memutuskan sesuatu. Berbeda dengan 3 negara yang telah disebutkan sebelumnya Inggris tidak memiliki undang-undang tertulis yang menandakan besarnya peran Tuhan atau gereja dalam negara. Namun secara simbolis Ratu atau Raja Inggris diberikan peran sebagai Defender of The Faith. Sebuah undang-undang atau peraturan negara juga tidak dapat disahkan tanpa persetujuan dari House of Commons dan House of Lords. Di dalam House of Lords sendiri terdapat 26 bishops yang duduk untuk memutuskan undang-undang.
4. Gereja sebagai established church dalam negara Saat gereja dijadikan sebagai established church berarti negara melangkah satu step lebih maju untuk tidak hanya sekadar menyediakan platform yang bisa digunakan semua orang untuk menganut sebuah kepercayaan tertentu. Melainkan menjadikan sebuah institusi keagamaan menjadi rujukan dalam kehidupan beragama dalam negara. Dalam jenis hubungan ini gereja dan Tuhan (Yesus Kristus) adalah satu-satunya yang harus diikuti dalam kehidupan bernegara. Tidak
18
ada penguasa di bumi yang dapat mengalahkan mereka. Aturan-aturan dalam negara pun akan dambil dari kitab suci. Inggris, dengan Church of England sebagai established church sebenarnya sudah tidak sepenuhnya melakukan praktek ini. Peran gereja dalam negara sebenarnya sudah mulai bergeser ke arah komitmen simbolik. Namun status established church masih tetap gereja miliki.
Argumen Utama: Inggris telah mengalami sekularisme jenis pertama dan jenis kedua. Terbukti dari sudah tidak ada lagi embel-embel keagamaan di ruang publik Inggris serta menurunnya jumlah pemeluk agama di Inggris. Hubungan antara gereja dengan negara dan bagaimana masyarakat Inggris sekarang memeluk agama akan lebih tepat jika dijelaskan dengan sekularisme jenis ketiga. Penempatan Church of England sebagai Established Church juga sudah tidak sepenuhnya tepat. Sebab peran dan bagaimana Church of England mempengaruhi kehidupan masyarakat Inggris juga telah mengalami pergeseran. Skripsi ini berusaha melihat perubahan hubungan antara gereja dan negara, bagaimana masyarakat Inggris mulai melonggarkan afiliasinya dengan Church of England melalui sudut pandang sekularisme jenis ketiga.
E. Metode dan Jangkauan Riset
19
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan sifat data yang sekunder yaitu metode kualitatif yaitu sebuah metode analisa datadata yang sifatnya non-angka, data-data ini berupa pernyataan, berita, laporan. Jika terdapat tabel, skema dan diagram yang sifatnya kuantitatif, hal ini hanya untuk memperkuat deskripsi analisa saja, dan bukan merupakan hasil akhir. 7 Sementara teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan (library research). Menurut Sutrisno Hadi, studi kepustakaan adalah sumber kepustakaan yang penting karena didalamnya terdapat kondensasi (kumpulan) dari sebagian terbesar penyelidikan yang pernah dilakukan orang.8 Teknik analisis data yang digunakan didalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk menggambarkan situasi yang dipandang relevan secara obyektif dan jelas atas dasar fakta-fakta yang terjadi untuk kemudian diambil kesimpulan. Data-data yang telah dikumpulkan merupakan data-data sekunder, yang artinya dalam penulisan ini penulis tidak menjalankan observasi (penelitian) langsung namun lebih mengacu pada sumbersumber yang telah ada, yang diolah melalui studi kepustakaan (Library Research). Data-data dikumpulkan dan diolah melalui : 1. Buku-buku 2. Surat Kabar dan Majalah 3. Jurnal Sosial Politik dan Artikel 7
Catherine Cassel and Gillian Symon (editor), 1994, Qualitative Methods in Organizational Research, Sage Publications, London, hal.3-4. 8 Sutrisno Hadi, 1984, Metodologi Research 1, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 57.
20
4. Internet (Web Site). Kemudian terkait dengan jangkauan penelitian maka untuk memfokuskan pembahasan, penulis akan berkonsentrasi pada penjelasan ketiga gelombang sekularisme di Inggris dan menjelaskan kondisi Inggris saat ini melalui kacamata sekularisme jenis ketiga.
F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terbagi atas empat bab yang terbagi masing-masing sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, metode dan jangkauan riset, serta sistematika penulisan. Bab II merupakan bab yang berisipenjelasan mengenai perkembangan sekularisme di Inggris Bab III merupakan bab yang membahas tentang sekularisme di Inggris, khususnya berkaitan dengan berkembangnya sekularisme jenis ketiga di negara Eropa tersebut. Bab IV merupakan bab yang berisi kesimpulan dari uraian pembahasan bab-bab sebelumnya
21