BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dinamika desentralisasi dan otonomi daerah selalu menemukan relevansinya di setiap periode pemerintahan di Indonesia. Otonomi daerah pada dasarnya adalah mengenai keleluasaan daerah menentukan prioritas kebijakannya sendiri dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Asal muasal keleluasaan itu secara
teoritik berasal dari kekuasaan yang digenggam oleh negara, kemudian baru dipencarkan secara vertikal dan horizontal. Secara horizontal, kekuasaan yang dimaksud dipencarkan ke lembaga negara di tingkat pusat, sedangkan secara vertikal kekuasaan dipencarkan ke daerah.1 Desentralisasi fiskal sendiri didefinisikan sebagai penyerahan sebagian dari tanggung jawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintahan di bawahnya yakni provinsi dan kabupaten/kota.2 Kendatipun perdebatan mengenai manfaat dari desentralisasi fiskal di Indonesia masih terus berlangsung, timbul harapan besar bahwa desentralisasi fiskal akan memberi manfaat seperti dalam hal perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengentasan kemiskinan, dan manajemen ekonomi makro yang lebih baik serta sistem tata pemerintahan yang baik (good governance).
1
Nur Solikhin, 2009, Awasi Perda Berdayakan Daerah Seri Panduan Pemantauan Legislasi Daerah, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, hlm. 19. 2 Wahyudi Kumorotomo, 2008, Desentralisasi Fiskal Politik dan Perubahan Kebijakan 19742004, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm.1.
1
2
Gagasan dasar desentralisasi fiskal
adalah penyerahan beban tugas
pembangunan, penyediaan layanan publik, dan sumber daya keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga tugas-tugas tersebut akan lebih dekat ke masyarakat dengan harapan kemampuan pemerintah daerah akan dapat ditingkatkan dan pertanggungjawaban akan lebih terjamin. Arti penting desentralisasi fiskal juga diargumentasikan oleh Bahl dan Linn sebagaimana dikutip dalam Kumorotomo sebagai berikut: Terdapat tiga argumentasi pentingnya desentralisasi fiskal. Pertama, jika unsur-unsur belanja dan tingkat pajak ditentukan pada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat, maka layanan publik di daerah akan dapat diperbaiki dan masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah. Kedua, pemerintah daerah yang lebih kuat akan menunjang pembangunan bangsa karena bagaimanapun masyarakat lebih mudah mengidentifikasi diri dengan pemerintah daerah dibanding pemerintah pusat. Apabila tanggung jawab mengenai perpajakan, kebijakan keuangan, dan layanan publik diserahkan ke pemerintah daerah, maka pemerintah daerah akan saling bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat yang tentunya akan memperbaiki pembangunan bangsa. Ketiga, keseluruhan mobilisasi sumber daya akan bertambah baik karena pihak pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibanding pemerintah pusat.3 Pemerintahan daerah di Indonesia dilaksanakan melalui prinsip-prinsip otonomi daerah yang salah satunya dilakukan melalui pengaturan alokasi sumber daya negara yang dapat memberi kesempatan bagi peningkatan kinerja daerah dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publiknya. Kebijakan desentralisasi fiskal sebagai tindak lanjut dari kebijakan otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari daerah sendiri di samping transfer dana pusat dalam membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan yang sudah menjadi kewenangan daerah. 3
Ibid., hlm. 6.
3
Wujud dari kewenangan daerah untuk menggali dana dari sumber sendiri tersebut adalah kewenangan untuk melakukan pungutan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan jenis-jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (yang selanjutnya disingkat UUPDRD) dan aturan pelaksanaannya. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam kaitannya dengan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah belum terlihat adanya kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.4 Data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada tahun 2014 memperlihatkan bahwa kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah mengalami ketimpangan yang relatif besar. Pada tahun 2014 dana perimbangan yang bersumber dari transfer pusat masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu mencapai sebesar Rp 482,22 triliun atau sekitar 63,49% sedangkan PAD hanya mencapai sebesar Rp 108,35 triliun atau sekitar 23,74%.5 Peranan pajak dalam pembiayaan daerah yang rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis, dan kemampuan masyarakat. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan
4
Adrian Sutedi, 2009, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.157. 5 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, 2014, “Deskripsi dan Analisis APBD 2014”, www.djpk.kemenkeu.go.id (online), diakses 23 Oktober 2015, hlm. 3.
4
bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%.6 Hal ini kontradiktif dengan ciri utama yang menunjukkan suatu daerah dapat dikatakan otonom adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya bahwa, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola, dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya. Ketergantungan
kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin sehingga PAD khususnya dalam penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. 7 Meskipun UUPDRD telah diberikan perluasan basis pajak daerah, penentuan tarif, dan penambahan jenis pajak baru, namun hasil yang diberikan terhadap penerimaan daerah masih kurang kompetitif dan optimal.8 Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara pusat dan daerah sangat timpang. Pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak pusat dan daerah. 9 Ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber penerimaan pajak
memberikan petunjuk bahwa
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia dari sisi
Sigit Murwito, 2014, “Sistem Closed List UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Optimalisasi Penerimaan Daerah”, Brief Publikasi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Edisi Oktober-Desember 2014, http://www.kppod.org/index.php/en/publikasi/kppodbrief (online), diakses tanggal 23 Oktober 2015, hlm. 18. 7 Ibid. 8 Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia, 2014, “Kajian Untuk Mendukung Naskah Akademik Perubahan UU Nomor 28 Tahun 2009”, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), http://www.djpk.kemenkeu.go.id/tadf (online), diakses 09 Desember 2015, hlm. 2. 9 Sigit Murwito,Op.Cit., hlm. 19. 6
5
revenue assignment10 masih terlalu sentralistis. Sementara distribusi pajak antar daerah timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi sedangkan pemungutan
pajak dan retribusi daerah pun masih menyisakan sejumlah
persoalan. UUPDRD lahir menggantikan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 memiliki beberapa tujuan penting terkait penguatan kapasitas fiskal daerah dari sisi penerimaan pajak dan retribusi serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat tentang pungutan-pungutan yang boleh dipungut oleh daerah. Salah satu hal yang menjadi point utama dalam UUPDRD tersebut adalah adanya ketentuan tertutup dalam memungut pajak oleh pemerintah daerah atau dikenal dengan sebutan closed list system. Hal ini berarti bahwa pajak yang boleh dipungut hanya jenis pajak yang tercantum dalam UU tersebut, di luar jenis-jenis tersebut tidak diperbolehkan untuk dipungut. Selain perubahan sistem menjadi closed list, UU ini juga memberikan perluasan basis pajak, keleluasaan pemerintah daerah dalam menetapkan tarif pajak dan pengalihan dua jenis pajak pusat ke daerah yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). UUPDRD secara eksplisit menentukan lima jenis pajak provinsi dan sebelas jenis pajak kabupaten/kota.11 Jumlah pajak daerah tersebut lebih banyak jika dibandingkan
10
Diartikan sebagai pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal pendanaan atau penerimaan. Pasal 2 ayat (1) menentukan jenis pajak provinsi terdiri atas: (a) Pajak kendaraan bermotor; (b) Bea balik nama kendaraan bermotor; (c) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor; (d) Pajak air permukaan; dan (e) Pajak rokok. Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten/kota berdasarkan Pasal 2 ayat (2) terdiri atas: (a) Pajak hotel; (b) Pajak restoran; (c) Pajak hiburan; (d) Pajak reklame; (d) Pajak reklame; (e) Pajak penerangan jalan; (f) Pajak mineral bukan logam dan batuan; (g) Pajak parkir; (h) Pajak air tanah; (i) Pajak sarang burung walet; (j) Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan; (k) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 11
6
dengan UU sebelumnya yaitu UU Nomor 34 Tahun 2000. Alasan utama pemerintah membentuk UUPDRD tersebut adalah untuk melakukan pembaharuan pajak daerah. Pada bagian umum penjelasan UUPDRD dijelaskan alasan pemerintah membentuk peraturan tersebut adalah: Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah, pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi, basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. 12 Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang ditekankan pada aspek pengeluaran atau belanja dengan memperbesar porsi di daerah dilatarbelakangi oleh berbagai alasan yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan salah satunya adalah kondisi antar daerah yang sangat heterogen antara lain dapat dilihat dari jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, kondisi geografis, serta kondisi dan potensi perekonomian daerah.13 Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelengggaraan otonomi daerah, pemerintah daerah sudah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah, pemberian
kewenangan kepada daerah dalam
penetapan tarif, dan juga penambahan jenis pajak baru yang sebelumnya dipungut oleh pusat, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
12 13
Paragraf ke-5 Penjelasan UUPDRD. Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 52.
7
dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pertimbangan dua jenis pajak tersebut dialihkan kewenangannya pada daerah kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam Buku Pedoman Umum Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang disusun oleh DJPK Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang menyebutkan sebagai berikut: Dasar pemikiran dan alasan dari pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah antara lain Pertama, berdasarkan teori, PBB-P2 lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dengan yang menikmati hasil pajak tersebut. Kedua, pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan PAD sekaligus memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat, akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan PBB-P2. Keempat, berdasarkan praktik di banyak negara, PBB-P2 atau property tax termasuk dalam jenis local tax.14 Hal yang perlu diperhatikan dalam UUPDRD tersebut adalah pendaerahan PBB-P2 hanya dikenakan pada objek pajak bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. PBB untuk
kawasan yang digunakan untuk usahan perkebunan, perhutanan dan
pertambangan (P3) masih dipungut oleh pusat.15 Namun sekali lagi, potensi pajak tiap daerah sangat beragam dan tidak dapat disamakan. Penambahan jenis pajak baru yakni PBB-P2 dan BPHTB yang merupakan bagian dari property tax nyatanya belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat terbukti dengan masih dominannya dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum dibandingkan dengan PAD yang berasal dari pajak daerah dalam struktur 14
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2014, “Buku Pedoman Umum Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan”, http://www.djpk.kemenkeu.go.id (online), diakses 9 Desember 2015, hlm. 2. 15 Lihat Pasal 77 UUPDRD yang berbunyi “Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
8
APBD. Hal ini didukung oleh laporan penelitian Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia tahun 2014 yang mengemukakan bahwa potensi property tax khususnya PBB-P2 sebagai pajak daerah mampu dioptimalkan lagi dengan penambahan kewenangan daerah untuk memungut pajak untuk kawasan P3 namun yang tidak tergolong dalam tubuh bumi.16 Dengan penambahan kewenangan tersebut diperkirakan daerah akan mampu meningkatkan pendapatannya hingga 6%.17 Sebagai contoh adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki potensi daerah yang berbeda-beda. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai luas 3.185,80 km yang terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulon Progo.18 Setiap kabupaten/kota tersebut memiliki kondisi fisik yang berbeda sehingga potensi alam yang tersedia juga tidak sama. Perbedaan kondisi fisik ini ikut menentukan dalam rencana pengembangan daerah dan potensi pemungutan pajak khususnya pajak yang terkait dengan tanah dan bangunan (property tax). Kabupaten Sleman misalnya, dengan wilayah sub-urban yang mendominasi karena merupakan pusat pendidikan, perdagangan, dan jasa dimungkinkan memiliki potensi property tax yang lebih besar jika dibandingan dengan Kabupaten Kulon Progo yang potensi property tax nya lebih kecil karena sektor yang dominan adalah pertanian, perkebunan, perikanan, dan perhutanan. Berdasarkan potensi daerah yang berbeda 16
Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 17. 17 Ibid. 18 Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, http://www.jogjaprov.go.id/pemerintahan/situstautan/view/kondisi-geografis(online), diakses 09 Desember 2015.
9
tersebut dengan diberlakukannya UUPDRD yang telah mengkualifikasikan secara jelas jenis pajak apa yang merupakan wewenang pusat dan daerah, daerah dituntut untuk aktif menggali potensi pajak di daerahnya dengan tetap berpegang pada aturan dalam UUPDRD yang bersifat closed list. Berdasarkan hal tersebut di atas, terkait dengan pengaturan pajak daerah dan hubungannya dengan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, maka penulis tertarik mengkaji lebih dalam
terkait hal tersebut dengan mengangkat tesis
dengan judul “Pengaturan Pajak Daerah Sebagai Bentuk Desentralisasi Fiskal dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Studi Analisis Terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan penambahan jenis pajak baru yakni Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dalam UUPDRD terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo? 2. Apakah dengan penambahan jenis pajak baru tersebut dan penerapan sistem closed list dalam UUPDRD, daerah khususnya Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo lebih memiliki otonomi dalam konteks desentralisasi fiskal?
10
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji pengaturan pajak daerah terkait dengan penambahan jenis pajak baru yakni PBB-P2 untuk daerah, khususnya Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo, mengingat potensi tiap daerah yang berbeda terhadap pelaksanaan otonomi daerah. b. Untuk mengkaji, menganalisis, dan mendeskripsikan pengaruh penambahan jenis pajak daerah yaitu PBB-P2 dan penerapan sistem closed list dalam UUPDRD di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo terhadap otonomi daerah dan konsep desentralisasi fiskal. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif bertujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Klaster Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Terdapat beberapa manfaat yang ingin penulis capai melalui penelitian ini. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya adalah: 1. Manfaat Teoritis Dalam lingkup teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan
11
pengkajian ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kenegaraan, hukum administrasi negara, dan hukum pajak. Penelitian ini diharapkan mampu mengumpulkan berbagai informasi dan data yang lengkap guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas sehingga informasi yang diperoleh dapat dianalisis dengan metode yang tepat sampai pada penarikan kesimpulan yang sesuai rumusan permasalahan yang menjadi objek penelitian. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum, membantu dan memberikan acuan baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bagi pemerintah pusat, hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai bagian dari evaluasi dan perencanaan perubahan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih baik lagi dengan mengarusutamakan kebutuhan-kebutuhan daerah demi terselenggaranya pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan, evaluasi dan juga dimungkinkan sebagai kerangka pemikiran terkait pemahaman dan pelaksanaan otonomi daerah khususnya pengaturan mengenai pajak daerah yang sesuai dengan maksud dan tujuan otomi daerah. Dengan memahami konsep otonomi daerah yang baik dan benar serta ditambah dengan memahami konsep pengaturan pajak daerah berdasarkan hukum positif, maka pelaksanaan otonomi daerah yang terbingkai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tujuan yang dikehendaki bersama.
12
E. Keaslian Penelitian Penelitian
mengenai
“Pengaturan
Pajak
Daerah
Sebagai
Bentuk
Desentralisasi Fiskal dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Studi Analisis Terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo)” sepanjang pengetahuan penulis melalui penelusuran dan pengamatan bacaan pustaka terdapat beberapa karya tulis berupa laporan penelitian mahasiswa dan laporan penelitian dosen berkaitan dengan pengaturan pajak daerah dan desentralisasi fiskal. Namun, penelitian yang membahas secara komprehensif dan spesifik terkait dengan pajak daerah khususnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai bentuk desentralisasi fiskal dalam penyelenggaraan otonomi daerah belum ada yang melakukan penelitian. Dari beberapa penelitian sebelumnya, berikut adalah penelitian yang memiliki substansi yang kurang lebih sama dengan penelitian yang hendak penulis lakukan, antara lain adalah: Pertama, penelitian hibah disertasi19 yang disusun oleh Kadar Pamuji, 2013, dengan
judul
“Kebijakan
Pengelolaan
Pajak
Daerah
dalam
Kerangka
Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Analisa Terhadap Implementasi Wewenang Pengelolaan Pajak Daerah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)”, Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Volume 14 No. 3 September 2014. Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimana implementasi kebijakan wewenang pengelolaan pajak daerah 19
dalam
kerangka
pelaksanaan
otonomi
daerah?
Bagaimanakah
Merupakan hasil penelitian Hibah Disertasi Doktor dengan sumber dana dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Unsoed Tahun 2013 Berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Disertasi Doktor Nomor: 2538/UN23.10/PN/2013 tanggal 6 Mei 2013.
13
implementasi wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pajak daerah? Dari hasil pembahasan diketahui bahwa pemerintah daerah sebagai pelaksana otonomi daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam mengimplementasikan pengelolaan pajak daerah sebagai sumber PAD dan harus tunduk pada aturan yang sudah ditentukan oleh Pusat. Kedua, kurangnya kewenangan daerah dalam mengelola pajak daerah terlihat dengan adanya kewajiban evaluasi terhadap
perda pajak daerah yang akan dibuat oleh
pemerintah daerah. Ketiga, kebijakan pengelolaan pajak daerah yang diterapkan oleh pemerintah pusat diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pengawasan preventif
dan
represif
dan
adanya
keharusan
bagi
daerah
untuk
mengimplementasikan wewenang pengelolaan pajak daerah sesuai dengan arahan dari pemerintah pusat mengindikasikan kebijakan pengelolaan pajak daerah belum menunjukkan arah kepada pelaksanaan otonomi daerah yang sebenarnya. Kedua penelitian yang disusun oleh Adrianto Dwi Nugroho dan Mailinda Eka Yuniza, 2012, dengan judul “Pengaturan Pajak Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kota Yogyakarta”, Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Volume 24 No.1 Tahun 2012. Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimana perbedaan pengaturan mengenai pajak daerah yang terdapat dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang PDRD dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD dan apa sajakah alasan perubahan pengaturan tersebut? Selain itu, apa sajakah dampak yuridis yang ditimbulkan dari pemberlakuan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD terhadap pemungutan pajak daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
14
Kota Yogyakarta? Dari hasil pembahasan diketahui beberapa hal diantaranya perubahan substansial yakni (a) perluasan objek pajak daerah, penambahan jenis pajak daerah, dan penerapan sistem closed list; (b) perubahan tarif maksimum dan penetapan tarif pajak daerah; (c) pengawasan pembentukan peraturan daerah tentang pajak daerah dan; (d) perubahan persentase dan penerima bagi hasil pajakpajak daerah dan pengalokasian sebagai hasil penerimaan pajak untuk kegiatan yang berkaitan dengan objek pajak. Hasil pembahasan penelitian ini juga mengidentifikasi rasionalisasi perubahan pengaturan pajak daerah yang salah satunya disebabkan tidak optimalnya pelaksanaan sistem open list oleh pemerintah kabupaten/kota sehingga menyebabkan ketergantungan pemerintah kabupaten/kota pada dana-dana perimbangan dari pemerintah pusat. Selanjutnya, pembahasan mengenai permasalahan kedua dalam penelitian ini menjelaskan bahwa dampak yuridis yang ditimbulkan dari perubahan-perubahan UUPDRD terhadap produk hukum daerah tentang pajak daerah bersifat positif. Selain itu, upaya-upaya harmonisasi dengan UUPDRD baru telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta agar pemungutan pajak-pajak daerah pasca UUPDRD baru dapat memiliki dasar hukum. Perbedaan penelitian hukum yang akan penulis lakukan dengan beberapa penelitian sebelumnya sebagaimana telah disebutkan di atas adalah penelitian ini lebih menekankan pada analisis UUPDRD khususnya PBB-P2. Lebih lanjut lagi, penelitian ini mengkaji lebih dalam lagi terkait konsep otonomi daerah dan
15
konsep desentralisasi fiskal terkait hubungan keuangan antara pusat dan daerah dan kewenangan pemungutan antara pajak pusat dengan pajak daerah.