BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu antara lain diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).1 Arti makna dalam fungsi tanah sebagai hak dasar setiap orang terdapat dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang kemudian diratifikasi kedalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas standar kehidupan yang memadai. Hak atas standar kehidupan yang memadai dalam hal ini penulis ber pandangan bahwa Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup secara berkelanjutan. Negara Indonesia sebelum merdeka sebagian besar tata hukum pertanahan yang berlaku adalah Hukum Pertanahan Belanda yang dibuat oleh Pemerintah Belanda.2 Adapun beberapa periodesasi pemerintahan di era Pemerintah Belanda yang terdiri dari VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie 1602-1799), 1
Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, P.T. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.7 2 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi Pertama, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 14
1
2 Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811), Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816), dan yang terakhir adalah masa pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.3 Masa politik hukum pertanahan Belanda dalam bentuk tabel secara sistematis penulis tampilkan di bawah ini.
No.
Masa Pemerintahan
Bentuk Kebijakan Pertanahannya
Penerapannya
1
VOC (Verenigde Politik Pertanian Oost Indische Compagnie 16021799).
1) Contingenten adalah pajak atas hasil tanah pertanian yang diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeserpun; 2) Verplichte Leveranten adalah suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apaapa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan; 3) Roerendienste, yaitu kebijakan ini dikenal dengan nama kerja rodi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
2
Gubernur Herman Tanah Partikelir Willem Daendles (1800-1811).
Kebijakan tanah partikelir adalah kebijakan yang dilakukan dengan menjual tanah rakyat indonesia kepada orang-orang Cina, Arab, maupun bangsa Belanda sendiri dengan memiliki sifat, corak istimewa serta hak pertuanan. Hak Pertuanan contohnya adalah sebagai berikut :
3
Ibid
3 1. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa; 2. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; 3. Hak untuk mengadakan pungutanpungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk; 4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar; 5. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan; 6. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudanggudangnya, dan sebagainya.
3
Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Land Rent atau Pajak Tanah
Pemilikan tanah-tanah di daerahdaerah Swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada pemerintah Inggris dan sebagai akibat hukumnya adalah hak pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan demikian tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Ingris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris seperti apa yang mereka berikan sebelumnya kepada raja mereka sendiri.
4
Gubernur Johanes van den Bosch.
Sistem Tanam Dalam sistem tanam paksa ini, petani Paksa atau dipaksa untuk menanam suatu jenis Cultuurstelsel tanaman tertentu yang secara langsung
4 maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada saat itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahunnya.
Hukum pertanahan Belanda dibentuk untuk melaksanakan politik hukum pertanahan Pemerintah Belanda dengan tujuan kepentingan dan keuntungan Pemerintah Belanda serta diadakan semata-mata bagi kepentingan para pengusaha besar.4 Beberapa masa periodesasi politik hukum pertanahan pada era Pemerintah Belanda dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Algameene Maatregel Van Bestur (AMVB) Stb. 1856-64, Agrarische Wet 1870 dan Agrarische Besluit.5 Pada era masa politik hukum pertanahan Belanda yang dimaksud dengan Algameene Maatregel Van Bestur (AMVB) Stb. 1856-64 adalah peraturan yang di bentuk Pemerintah Belanda dengan mengapuskan sistem tanam paksa (cultur stelsel) yang terjadi sejak tahun 1830. Saat masa berlakunya sistem tanam paksa terdapat pembatasan bagi pengusaha besar swasta untuk berusaha dibidang perkebunan besar. Pengusahaan tanaman-tanaman untuk ekspor bagi pengusaha besar swasta yang ingin mengusahakan tanah yang luas harus berdasarkan dengan Hak Eigendom seperti apa yang dikenal dengan sebutan “Tanah Partikelir”. 6 Masa
4
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Edisi Revisi, cet.12, Penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 40 5 H.M Harba, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 24 6 Boedi Harsono, op.cit, hal.35
5 cultur stelsel sejalan dengan politik monopoli yang dilakukan pemerintah kolonial untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada massa cultur stelsel tidak diadakan persewaan tanah. Persewaan tanah mulai diadakan kembali setelah adanya Algemeene Maatregel van Bestuur (AMVB) yang diundangkan dalam Stb. 1856-64 dibuka kembali kesempatan menyewa tanah dari Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 62 Ayat 3 RR. Periodesasi selanjutnya masa politik hukum pertanahan Pemerintah Belanda adalah masa Agrarische Wet.7 Agrarische Wet dibentuk atas desakan pengusaha besar swasta, hal ini dikarenakan sejak tahun 1830 tengah giat-giatnya dilaksanakan cultuur stelsel (peraturan tanam paksa) dimana pihak pengusaha swasta terbatas kemungkinannya memperoleh tanah-tanah yang luas dan kuat haknya dalam jumlah besar sangat terbatas. Dengan lahirnya Agrarische Wet ini, pengusaha besar swasta asing dalam rangka memperluas usahanya di bidang perkebunan memperoleh Hak Erfpacth berjangka waktu paling lama 75 tahun, serta ada kemungkinan tanah dari orang-orang indonesia. Agrarische Wet berhasil memberikan keuntungan yang besar bagi perkembangan modal asing di Indonesia dalam lapangan pertanian besar, bahkan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi pemodal besar asing. Sebaliknya, bagi rakyat Indonesia justru menimbulkan
kemiskinan,
kesengsaraan,
dan
penderitaan
yang
sangat
menyedihkan. 8 Pelaksanaan Agrarische Wet diatur lebih lanjut dalam berbagai
7
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin I), hal. 13-14 8 Ibid, hal.15
6 peraturan pelaksanaannya antara lain Agrarisch Besluit (Koninklijke Besluit) Stb 1870-118, dan Ordonansi-ordonansi. Periodesasi politik hukum pertanahan era Pemerintah Belanda yang terakhir adalah Agrarische Besluit (Koninklijke Besluit) Stb. 1870-118. Agrarische Besluit adalah suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Belanda dan penerapannya khusus hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Hal pokok yang sangat penting dalam pelaksanaan politik hukum pertanahan Belanda adalah pernyataan “domein verklaring” yang merupakan asas dalam ketentuan Pasal 1 Agrarische Besluit dan dinyatakan: “bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai Hak Eigendom-nya, adalah domein (milik) negara”. Asas ini dinilai oleh bangsa Indonesia kurang menghargai, bahkan memperkosa hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat. Fungsi domein verklaring dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan adalah: a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah untuk memberikan tanah dengan Hak-Hak Barat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti Hak Erfpacht, Hak Opstal, dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring pemberian tanah dengan Hak Eigendom dilakukan dengan cara pemindahan Hak Milik Negara kepada penerima tanah; b. Di bidang pembuktian pemilikan. Setiap tanah harus ada pemiliknya, dan setiap pemilik tanah harus dapat membuktikan kepemilikan hak atas tanahnya, kalau tidak maka tanah tersebut adalah tanah milik Negara. 9 Akibat dari adanya politik hukum pertanahan Belanda, maka Hukum Agraria yang berlaku berstruktur ganda atau dualistik yaitu di satu pihak berlaku Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat dan di lain pihak berlaku
9
H.M Harba, op.cit, hal. 28
7 Hukum Tanah Barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata dan merupakan hukum tertulis. Dengan demikian di bidang penguasaan dan pemilikan tanah, terdapat perbedaan hukum yang berlaku. Untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan itu dan golongan Timur Asing berlaku Hukum Tanah Barat berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Buku II KUH Perdata. Sedangkan untuk golongan Bumi Putera (Pribumi) berlaku Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat. Sehingga terdapat adanya tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah berdasarkan Hukum Tanah Barat (KUH Perdata) dan terdapat pula tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki dengan hak-hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Tanah Adat. Tanah-tanah yang dikuasai dan dihaki berdasarkan Hukum Tanah Barat berlaku Buku II KUH Perdata, sedangkan tanah yang dikuasai dan dihaki berdasarkan Hukum Tanah Adat berlaku Hukum Adat. 10 Dualisme dalam Hukum Tanah bukan karena hak atas tanah yang berbeda Hukum Perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya. Tanah dalam Hukum Indonesia mempunyai status atau kedudukan hukum tersendiri, terlepas dari status hukum subyek yang mempunyainya. Tanahtanah yang termasuk dalam Hak Barat adalah tanah dengan Hak Eigendom, Hak Erfacht, Hak Opstal yang disebut tanah-tanah Hak Barat atau tanah-tanah Eropa. Tanah-tanah yang masuk kedalam hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah dengan Hak Adat. 11
10 11
H.M Harba, op.cit, hal. 29 Boedi Harsono, op.cit, hal.54
8 Pada era politik hukum pertanahan Belanda saat berlakunya Agrarische Wet terkait dengan Hak Guna Bangunan disebut juga sebagai Hak Opstal yakni sebagai suatu Hak Kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain. Sebutan untuk Hak Opstal kemudian beralih menjadi Hak Guna Bangunan sejak Indonesia membentuk suatu unifikasi hukum di bidang pertanahan dengan membentuk Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) (selanjutnya disebut UUPA). Undang-undang ini dibentuk mengingat ketentuan undang-undang yang berlaku
sebelumnya
tersusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari
pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional serta pembangunan semesta. Terbentuknya
UUPA
merupakan
landasan
dan
sebagai
amanah
konstitusional dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan Hak Menguasai Negara yang selanjutnya melahirkan wewenang untuk Negara dan ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 UUPA. Wewenang tersebut memberikan Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang salah satunya untuk menentukan dan mengatur hubunganhubungan antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA.
9 Terkait dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas, A.P. Parlindungan memberikan pandangannya yaitu :12 Dengan demikian Negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan, kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaan (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Negara juga menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut. Menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) memiliki arti bahwa bagaimana seharusnya hubungan antara Orang atau Badan Hukum dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA serta mengutip pendapat A.P. Parlindungan bahwa wewenang yang dimiliki oleh Negara sejatinya merupakan wewenang yang diberikan UUPA yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Penggunaan wewenang tersebut dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.13 Penulis mengkaji berdasarkan pendapat A.P. Parlindungan terkait dengan kewenangan Negara sebagai kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan, atas penggunaan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya14 masih terdapat kekosongan hukum khususnya dalam hal kepastian hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undangundang. UUPA dan peraturan pelaksananya yakni Peraturan Kepala Badan
12
A.P Parlindungan, 1990, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat A.P Parlindungan I), hal. 29 13 Ibid 14 Ibid
10 Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah (selanjutnya disebut perkaban) secara normatif tidak memiliki kepastian hukum berkaitan dengan hal tersebut. Tanah sebagai faktor produksi yang utama harus berada di bawah kekuasaan Negara. Tanah dikuasai oleh Negara artinya tidak harus dimiliki Negara. Negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi Negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Hak menguasai Negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada lembaga dan hubungan hukum konkret antara Negara dengan tanah Indonesia. 15 Negara
berwenang
peruntukan, penggunaan,
menentukan
pengaturan
dan
penyelenggaraan
persediaan dan pemeliharaannya. Negara juga
berwenang menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari) bumi, air, ruang angkasa dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak-hak atas tanah yang diatur oleh Negara diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 53 UUPA.
15
H.M Harba, op.cit, hal. 91
11 Kewenangan Negara dalam bidang Hukum Pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.16 Selain berbagai jenis hak atas tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA tentang hak-hak atas tanah, kewenangan Negara di bidang pertanahan lainnya adalah mengatur tentang pembatasan kepemilikan tanah. Pembatasan kepemilikan tanah secara tegas telah diatur di dalam ketentuan Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dalam penjelasan pasal ketentuan Pasal 7 dinyatakan bahwa asas yang menegaskan soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam Pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya. Pasal 11 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hubungan hukum antara orang, termasuk Badan Hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur agar tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Dalam penjelasan pasal demi pasal substansi ketentuan Pasal 11 dinyatakan bahwa pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Demikian pula sebaliknya.
16
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, hal. 83.
12 Pasal 17 ayat (2) UUPA mengatur tentang substansi pembatasan maksimum dan minimum kepemilikan tanah yang dapat dikuasai oleh Keluarga atau Badan Hukum: (1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh Satu Keluarga atau Badan Hukum; (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat; (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah; (4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Mengacu pada ketentuan Pasal 17 Ayat (2) UUPA sebagai peraturan pelaksananya dalam hal pembatasan maksimum penguasaan tanah, oleh pemerintah selanjutnya dibentuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional ini mengatur secara spesifik terkait pembatasan kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Ketentuan Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tentang pemberian Hak Milik, menyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai : a. Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi);
13 b. Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi); c. Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan Sosial yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi). Pengaturan terkait dengan pemberian Hak Guna Bangunan diatur dalam ketentuan Pasal 4 dan dinyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai: a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi); b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi); dan c. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan. Pasal 9 mengatur lebih lanjut bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai: a. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi); b. Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi). Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000 M2 (dua juta meter persegi). Pengaturan terkait dengan Hak Pakai diatur dalam ketentuan Pasal 10 dan dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai:
14 a.
b.
c.
Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 100.000 M² (seratus ribu meter persegi); Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M2 (sepuluh ribu meter persegi); Pemberian Hak Pakai untuk Badan Hukum swasta, BUMN/BUMD atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi).
Penulis berpandangan terkait dengan substansi batas kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah yang terdiri dari Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Guna Usaha telah diatur secara tegas di dalam beberapa substansi pasal Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah yakni dalam ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 10 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA. Namun UUPA dan Peraturan Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran ini masih terdapat kekosongan norma hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui ketentuan batas luas yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal yang secara tegas mengatur tentang Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan UUPA yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 juga tidak mengatur secara tegas tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Dalam substansi ketentuan Pasal 35 UUPA dijelaskan tentang Hak Guna Bangunan yaitu :
15 1. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun; 2. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun; 3. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Penjelasan pasal ketentuan Pasal 35 menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) adalah berlainan dengan Hak Guna Usaha maka Hak Guna Bangunan (HGB) tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Substansi ketentuan pasal 35 ayat (1), (2), dan (3) hanya menjelaskan definisi Hak Guna Bangunan, jangka waktu berlakunya Hak Guna Bangunan serta masa perpanjangannya dan beralihnya Hak Guna Bangunan. Secara tegas pasal ini tidak mengatur tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang melakukan pelanggaran hukum dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Subtansi ketentuan Pasal 36 selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa Hak Guna Bangunan hanya dapat dimiliki oleh : (1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah ; a. Warganegara Indonesia; b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
16 Penjelasan substansi Pasal 36 adalah ketentuan pasalnya sama dengan ketentuan Pasal 30 dan dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak tersebut adalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progresip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal asing, Hak Guna Bangunan hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana. Substansi Pasal 36 UUPA dan penjelasan pasalnya hanya mengatur siapa subyek/pihak yang berhak menguasai Hak Guna Bangunan namun tidak mengatur tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undangundang. Dalam proses terjadinya Hak Guna Bangunan selanjutnya diatur dalam ketentuan Pasal 37 UUPA. Substansi ketentuan pasal ini menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada : (1) Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan Pemerintah; (2) Mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Pasal 37 UUPA hanya mengatur tentang terjadinya Hak Guna Bangunan, dimana Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan dari tanah milik perseorangan melalui perjanjian berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan tersebut. Pasal ini secara tegas tidak mengatur tentang pengaturan
17 penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Pasal 38 UUPA selanjutnya mengatur tentang kewajiban pendaftaran Hak Guna Bangunan bagi pihak pemegang hak serta terkait dengan peralihan dan hapusnya hak tersebut wajib didaftarkan. Ketentuan pasal ini tidak mengatur tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undangundang. (1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 ; (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39 selanjutnya mengatur tentang Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Substansi pasal ini tidak membahas persoalan tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Demikian pula sama halnya dengan ketentuan Pasal 40 UUPA hanya menjelaskan hapusnya Hak Guna Bangunan yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu : a. Jangka Waktunya Berakhir; b. Dihentikan Sebelum Jangka Waktunya Berakhir Karena Sesuatu Syarat Tidak Dipenuhi; c. Dilepaskan Oleh Pemegang Haknya Sebelum Jangka Waktunya Berakhir; d. Dicabut Untuk Kepentingan Umum; e. Diterlantarkan; f. Tanahnya Musnah; g. Ketentuan Dalam Pasal 36 Ayat (2).
18 Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 penjelasan pasal demi pasalnya adalah tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam Pasal 38 sudah dijelaskan di dalam penjelasan umum (angka IV). Substansi dari penjelasan umum angka IV adalah tentang usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38 ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts-kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Secara tegas dalam penjelasan Pasal 40 ini juga tidak mengatur pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Dalam ketentuan Pasal 40 huruf (b) dijelaskan hapusnya Hak Guna Bangunan disebabkan oleh beberapa hal dan salah satunya dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. Sesuatu syarat tidak dipenuhi ini secara spesifik penggaturannya lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
19 (1) Hak Guna Bangunan hapus karena: a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena: 1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau 2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau 3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. Ditelantarkan; f. Tanahnya musnah; g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Substansi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang membahas tentang hapusnya Hak Guna Bangunan tidak mengatur bahwa Hak Guna Bangunan dapat berakhir apabila penguasaan oleh pemegang haknya melebihi batas ketentuan luas yang ditentukan oleh undang-undang. Pada peraturan pemerintah di atas juga tidak dijelaskan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
20 Kepastian hukum berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang sangat diperlukan agar tidak terjadi penguasaan Hak Guna Bangunan melampaui batas luas yang ditentukan oleh undang-undang dan berpotensi menimbulkan praktek monopoli dalam sektor properti bila tidak disertai sanksi yang tegas dari instansi yang berwenang dan ketentuan peraturan perundang-undangan akan menjadi lebih efektif apabila terdapat sanksi di dalamnya. Kekosongan norma hukum juga terlihat terkait dengan pengaturan hal di atas dalam beberapa peraturan-peraturan perundangundangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara sistematis penulis tampilkan dalam bentuk tabel dibawah ini. No 1
Peraturan Perundang-Undangan
Pasal
Peraturan Pemerintah Republik Pasal 1 Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah
Subtansi dan Argumentasi Penulis Badan-Badan Hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai Hak Milik atas tanah : a. Bank-Bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (LembaranNegara Tahun 1958 No. 139); c. Badan-Badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-Badan Sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
21 Penjelasan pasal demi pasal: Penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas. Argumentasi penulis: Ketentuan Pasal 1 tidak menjelaskan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
2.
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 9 ayat tentang Pendaftaran Tanah (1) dan (2)
1. Obyek pendaftaran tanah meliputi : a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai; b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Wakaf; d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun; e. Hak Tanggungan; f. Tanah Negara. 2. Dalam hal Tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan Tanah Negara dalam daftar tanah. Penjelasan pasal demi pasal: Penjelasan pasal demi pasal ketentuan Pasal 9 ayat (1) adalah cukup jelas. Penjelasan Pasal 9 Ayat 2 dalam ketentuan pasal demi pasalnya adalah Pendaftaran tanah yang obyeknya bidang tanah yang berstatus Tanah Negara dilakukan dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertipikat
22 Argumentasi Penulis: Ketentuan pasal ini tidak menjelaskan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
3.
Peraturan Pemerintah Republik Pasal 21 Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik. Penjelasan pasal demi pasal: Penjelasan Pasal 21 substansinya menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan berbeda dengan Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan dapat juga diberikan atas tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik. Argumentasi Penulis: Pasal ini juga tidak mengatur secara tegas pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
Dalam pendekatan perbandingan hukum yang penulis lakukan terhadap kepemilikan tanah dalam sistem hukum pertanahan yang ada di Australia dengan subyeknya Badan Hukum dijelaskan dalam Foreign Acquisitions and Takeovers Act 1975 Pasal 7 dinyatakan bahwa Orang atau Badan Hukum yang membeli real estate rumah baru dan tanah kosong untuk Resort Pariwisata Terpadu (Integrated Tourism Resort) luasnya minimal adalah 50 hektar.17 Hal ini tentunya berbeda dengan sistem Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia yang tidak memberikan 17
Listyowati Sumanto, 2016, Aspek Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Di Australia, Jurnal Hukum Prioris, Magister Kenotariatan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 7
23 pengaturan secara pasti/khusus terkait pembatasan tanah minimum bagi Badan Hukum yang ingin berbisnis di sektor Resort Pariwisata Terpadu. Pembatasan minimum ini penting adanya untuk memberikan kepastian hukum dan persaingan yang sehat dalam sektor properti. Sebagai pendekatan studi kasus guna pengkajian secara komperhensif dalam penelitian ini, adapun kasus yang dapat penulis deskripsikan dalam penelitian ini terkait dengan penguasaan Hak Guna Bangunan dengan melebihi batas luas tanah. Kasus ini terjadi di Bali khususnya di wilayah Tabanan yang disebut dengan kasus Pan Pacific Bali Nirwana Resort. Pan Pacific Bali Nirwana Resort berlokasi di Tabanan dan didirikan di atas lahan seluas 103 hektar dan telah menguasai ratusan hektar tanah rakyat yang sekaligus merangsek ke radius kesucian Pura Tanah Lot.18 Komponen pariwisata dan pengambil kebijakan di sektor pariwisata diminta segera menghentikan kegiatan mengorbankan pura sebagai objek wisata. Penggunaan fasilitas yang disucikan ini dinilai terdistorsi hanya untuk mencari keuntungan finansial tanpa mengindahkan kesakralan pura dan taksu Bali. Demikian terungkap dalam hasil rapat internal Komisi A DPRD Bali, Senin (23/12/2002). Komisi ini menyoroti kecenderungan pariwisata budaya yang kebablasan menjadi bisnis pengeruk uang saja. Jika ini dibiarkan terus, inilah awal yang dapat menghancurkan taksu dan membuat leteh (kotor) tanah Bali. 19
18
I Made Ardana Putra, 2003, Bagaimana Pariwisata Budaya Mendatang ? (Artikel Balipost Edisi 2 Januari 2003), avalaible from; URL; http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/2/op2.htm. Data diakses/diunduh pada hari Minggu tanggal 19 Mei 2015. 19
Ibid
24 Pan Pacific Bali Nirwana Resort terletak di atas tebing curam yang menghadap ke samudera hindia dan Pura Tanah Lot serta menawarkan lapangan golf. Resort ini menyediakan kamar-kamar hunian yang mewah dan 5 kolam renang outdoor yang tersebar di area seluas 103 hektar. Resort juga menawarkan layanan antar-jemput terjadwal gratis ke daerah Kuta dan Seminyak. Pan Pacific Bali Nirwana Resort berjarak hanya 200 meter dari Nirwana Bali Golf Course, dan 45 menit berkendara dari Bandara Internasional Ngurah Rai dan terletak sejauh 500 meter dari Pura Tanah Lot yang indah.20 Tanah dalam definisi hukum pertanahan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Guna mencegah masalah pertanahan agar tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah yang disebut dengan Hukum Tanah. 21 Jumlah manusia yang semakin bertambah sedangkan luas tanah tetap, mengakibatkan tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Orang-perorangan, Badan Hukum, Instansi Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah juga memerlukan tanah untuk pelaksanaan tugasnya dan untuk kepentingan lain seperti misalnya pengembangan daerah-daerah pemukiman baru, penyediaan saranaprasarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya. Pemeliharaan terhadap kelestarian lingkungan juga tidak kalah penting, agar nantinya tanah yang merupakan bagian dari aset bangsa Indonesia ini dapat 20 21
Ibid K. Wantijk Saleh, 1982, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 7
25 diwariskan kepada penerus generasi bangsa di massa depan. 22 Peran Negara melalui pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan keseragaman pengaturan berkaitan dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Hal ini penting untuk dilakukan agar lingkungan tetap dijaga kelestariannya dan persaingan usaha di sektor industri properti dapat dikontrol dengan baik oleh pemerintah. Dengan beranjak dari kekosongan norma hukum berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, menarik bagi penulis untuk mengangkat judul penelitian yang
berjudul
“AKIBAT
HUKUM
PENGUASAAN
HAK
GUNA
BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG”. Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan Hak Guna Bangunan. Guna menunjukan sisi orisinalitas penelitian ini dan menghindari adanya plagiat atau pengulangan penelitian, adapun penelitian tesis terdahulu yang dapat penulis tampilkan, yaitu : 1.
Tesis dari Andina Dyah Pujaningrum (mahasiswa Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2014 dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten Badung”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang adanya
22
A.A. Ayu Ray Saraswati, 2015, Implikasi Hukum Pembebasan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Pengelolaan Yang Izin Pemanfaatan Tanahnya Dicabut Oleh Gubernur, (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal.2
26 kesenjangan antara das sollen dan das sein dimana pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan substansinya diberikan selama 30 tahun namun pada kenyataanya diberikan selama 50 tahun. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi hak dan kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan serta bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hak dan kewajiban dari pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik serta hak dan kewajiban pemegang Hak Milik yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan dapat dilihat di dalam akta sewa-menyewa, akta perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan, dan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. Perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dapat diberikan apabila hak dan kewajiban masing-masing pihak juga dijalankan. Perlindungan hukum diberikan apabila dalam proses pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan yang diberikan selama 50 tahun tentu saja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tidak memenuhi aturan yang berlaku
27 pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak mendapatkan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. 2. Tesis dari I Gede Etha Prianjaya (mahasiswa Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2014 dengan judul penelitian “Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Sedangkan Perjanjian Kreditnya Belum Berakhir”. Dalam penelitian tesis ini membahas permasalahan tentang bagaimana kedudukan jaminan Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir dan upaya apakah yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan Hak Tanggungan sudah berakhir. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kedudukan kreditur dalam hal jaminan berupa Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir menjadi kreditur konkurent. Pihak pemegang Hak Tanggungan di dalam pemberian kredit bank dengan jaminan Hak Guna Bangunan yang mempunyai batas waktu penguasaan harus sesuai dengan perjanjian kredit ataupun jangka waktu kredit. Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktu penguasaan sudah habis maka ketika Hak Guna Bangunan yang dijadikan jaminan dan sudah dibebani Hak Tanggungan akan ikut berakhir ketika jangka waktu Hak Guna Bangunan telah berakhir. Upaya yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan Hak Tanggungan sudah berakhir
28 adalah ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang menjadi jaminan kredit dengan melakukan perikatan kuasa membebankan Hak Tanggungan mengingat proses Hak Guna Bangunan masih dalam proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa Membebankan
Hak
Tanggungan
(SKMHT).
Setelah
selesainya
perpanjangan jangka waktu terhadap jaminan tersebut maka dilakukan suatu proses pemasangan Hak Tanggungan kembali oleh pihak bank yang didasari oleh Surat Kuasa Membebankan Hak Taggungan (SKMHT). 3. Tesis karya A.A Ayu Ray Saraswati (mahasiswa Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang dibuat pada tahun 2015 dengan
judul
penelitian
“Implikasi
Hukum
Pembebanan
Hak
Tanggungan Atas Tanah Hak Guna Bangunan Di atas Tanah Hak Pengelolaan
Yang
Izin
Pemanfaatan
Tanahnya
Dicabut
Oleh
Gubernur”. Dalam penelitian tesis ini membahas permasalahan tentang bagaimanakah status hukum tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang telah dicabut izin pemanfaatannya oleh Gubernur dan akibat hukum pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya telah dicabut oleh Gubernur. Kesimpulan dari penelitian tesis ini adalah status hukum Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya telah dicabut oleh Gubernur menjadi hapus. Namun, tidak serta merta menghapus hak atas tanah. Atas dasar pencabutan izin pemanfaatan tanah
29 ini Gubernur dapat mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Provinsi untuk membatalkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang memberikan konsekuensi yuridis pada hapusnya Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan.
Dicabutnya
surat
keputusan
pemanfaatan
tanah
hak
pengelolaan oleh Gubernur merupakan wujud dari pengawasan dan kontrol yang dilakukan sebagai pemegang Hak Pengelolaan. Kewenangan mencabut izin pemanfaatan tanah ini didasarkan pada delegasi wewenang bidang pertanahan dari Pemerintah Pusat sebagai konsekwensi Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Akibat hukum dari pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya telah dicabut oleh Gubernur menyebabkan Hak Tanggungan menjadi hapus. Karena dengan hapusnya hak atas tanah maka berakibat pada segala perbuatan hukum yang dilakukan termasuk pembebanan Hak Tanggungan. Perjanjian kredit masih tetap ada, hanya saja kreditor tidak lagi memiliki hak istimewa sebagai pemegang hak tanggungan (kreditur preference) yang mendapat kedudukan yang diutamakan dalam pelunasan piutangnya atas jaminan yang diberikan berupa hak atas tanah tersebut. Berdasarkan pada beberapa penelitian tesis terdahulu di atas, terlihat jelas perbedaan yang dibahas dalam penelitian ini. Tesis dari Andina Dyah Pujaningrum membahas permasalahan tentang apakah yang menjadi hak dan kewajiban bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan
30 serta bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas tanah yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan. Tesis dari I Gede Etha Prianjaya membahas permasalahan tentang bagaimana kedudukan jaminan Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir dan upaya apa yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan hak tanggungan sudah berakhir. Tesis dari A.A Ayu Ray Saraswati membahas permasalahan tentang status hukum tanah Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang telah dicabut izin pemanfaatannya oleh Gubernur dan akibat hukum pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang izin pemanfaatan tanahnya telah dicabut oleh Gubernur. Sedangkan pada penelitian ini dengan judul “Akibat Hukum Penguasaan Hak Guna Bangunan Oleh Badan Hukum Yang Melampaui Batas Luas Ketentuan Undang-Undang”, substansi permasalahan yang dibahas adalah bagaimanakah pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas ketentuan undangundang. Dengan demikian dalam penelitian tesis ini terlihat jelas perbedaan permasalahan yang hendak diteliti, sehingga penelitian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait orisinalitasnya atau keasliannya.
31 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis deskripsikan di atas, adapun rumusan permasalahan penelitian yang dapat penulis uraikan adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang ? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang ? 1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini yang hendak dicapai adalah (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma sience as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus (het doel in het onderhoek) dari penelitian ini adalah mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan penelitian yaitu : 1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara komperhensif tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang, menghindari terjadinya praktik monopoli dibidang persaingan usaha properti dalam pembangunan hunian hotel
32 dengan status Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum, mengurangi eksploitasi terhadap alam dalam hal ini tanah secara berlebihan terkait dengan alih fungsinya serta melaksanakan Catur Tertib Pertanahan yang terdiri dari tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan kelestarian lingkungan hidup. 2. Untuk memberikan kepastian hukum terkait pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas ketentuan luas undang-undang. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kritis guna memecahkan masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat dan memberikan kontribusi keilmuan untuk pembenahan dalam kajian akademis tentang perlu adanya kepastian hukum secara normatif terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang dan hal ini tidak diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah.
33 1.4.2 Manfaat Praktis. 1) Manfaat bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kritis kepada pihak-pihak (pejabat maupun instansi) yang terkait dengan pertanahan. Penelitian ini bermanfaat dalam memecahkan permasalahan yang terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undangundang dan hal ini tidak diatur di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. 2) Manfaat bagi Subyek Hukum Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang aspekaspek hukum pertanahan secara umum dan referensi bagi pihak-pihak yang bertindak sebagai subyek hukum (orang atau badan hukum) dalam penguasaan tanah dengan status Hak Guna Bangunan. Referensi yang diberikan adalah terkait dengan hal pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap subyek hukum (orang/badan hukum) yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang. 3) Manfaat bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi masyarakat yang memohon ataupun yang memiliki hak atas tanah tentang pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi pihak yang menguasai Hak Guna Bangunan
34 melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Hak Guna Bangunan dapat terjadi di atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara karena penetapan Pemerintah dan di atas tanah Hak Milik karena perjanjian yang yang dibuat dengan akta otentik oleh pejabat yang berwenang antara pemilik tanah dengan pihak yang berkepentingan selaku pemohon Hak Guna Bangunan. 4) Manfaat bagi Penulis Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk memberikan tambahan pengetahuan hukum tentang masalah yang diteliti serta untuk kepentingan penyelesaian studi. Jawaban dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan akibat hukum dan sanksi terhadap penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. 1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir A. Landasan Teoritis Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan”. 23 Penulis lebih lanjut mengutip pendapat Gijssels dalam penjelasannya menyatakan bahwa, “Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji”. 24 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa Teori Hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan 23
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 4 24 Ibid, hal. 5
35 yang untuk sementara ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para ahli hukum. Konsep
(concept)
adalah kata
yang
merupakan abstraksi
yang
digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.25 Ilmu hukum memiliki banyak konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum”. 26 J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa “Asas Hukum” adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai. 27 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu peraturan perundang-undangan. Teori hukum yang digunakan oleh penulis sebagai pisau analisis untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.5.1. Teori Kepastian Hukum. Teori Kepastian Hukum memiliki 2 (dua) substansi penting. Substansi yang pertama adalah adanya ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat memberikan pemahaman kepada Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau Badan Hukum untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Substansi yang kedua adalah merupakan jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari kesewenang-wenangan tindakan pemerintah. Dengan
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 47. 26 M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, hal. 56. 27 J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 123.
36 adanya aturan hukum yang bersifat umum itu Badan Hukum dapat mengetahui dan memahami terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau dilakukan Negara terhadapnya. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan. 28 Teori ini memiliki relevansi untuk menganalisis rumusan masalah pertama untuk memberikan adanya kepastian hukum dalam pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang mengingat Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas. Teori ini juga berfungsi untuk membentuk aturan hukum yang bersifat umum sehingga Badan Hukum dapat mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan apa yang dapat dibebankan Negara terhadapnya. 1.5.2. Teori Keadilan. Aristoteles memformulasikan bahwa Filsafat Hukum membedakan keadilan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Hal ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang 28
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal.158
37 sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law).29 Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi yang terganggu menjadi seperti sedia kala.30 Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan bahwa keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta dalam mendukung upaya tersebut. 31 Teori ini memiliki relevansi untuk menjawab rumusan masalah pertama terkait dengan persoalan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum memberikan pengaturan yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Penulis dengan mengutip pendapat Jhon Rawls tentang teori keadilannya berpandangan bahwa di dalam membentuk suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keadilan dan daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan yang tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan tentang perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini 29
Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadiyah University Press, Jakarta, hal. 54. 30 Sutarman Yodo, 2013, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta, hal.37 31 Jhon Rawls dalam Bambang Kusumo, 2009, Teori Keadilan, Erlangga Jakarta, hal. 18
38 harus mencerminkan nilai keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam mendukung upaya tersebut. 1.5.3. Teori Principles Of Legality Teori ini berfungsi untuk menjawab kedua permasalahan dalam penelitian ini. In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of law: Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be congruence between what written statute declare and how officials enforce those statutes (#8).32 Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu; 2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas; 3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang harus bersifat prospefektif; 4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus jelas; 5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh 32
Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), p. 39.
39 bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif); 6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundangundangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya; 7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap; 8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Relevansi teori ini adalah digunakan untuk menjawab permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini yang berfungsi sebagai tolak ukur substansi
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
yang
baik
guna
memberikan adanya kepastian hukum. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara normatif tentang penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Upaya dalam memberikan kepastian hukum kedepan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan Teori Principles Of Legality yang terdapat di dalam angka ke-3, 4 dan ke-8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturanperaturan tersebut. Makna hukum harus jelas pada angka ke 3 teori Principles Of Legality di atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas hukum
40 menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum dan undang-undang harus bersifat prospefektif. Konsep pemikiran dari teori ini dalam relevansinya membahas permasalahan dalam penilitian ini adalah dalam hal undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum menjangkau hal tersebut karena masih terdapat kekosongan hukum terkait dengan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Makna hukum harus jelas pada angka ke 4 teori Principles Of Legality di atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Teori ini berfungsi memberikan kejelasan dalam hal diperlukannya adanya pengaturan terkait penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang dan pengaturannya tidak diatur di dalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Ketentuan pasal yang dibentuk
41 dalam suatu peraturan perundangan-undangan harus memberikan kejelasan, kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Makna yang terdapat dalam angka ke 8 teori Principles Of Legality memberikan makna bahwa harus ada kesesuaian antara apa yang ditetapkan oleh undang-undang dengan bagaimana cara melaksanakan ketentuan undang-undang. UUPA merupakan undang-undang yang dibentuk dengan menganut sistem pembatasan kepemilikan dan penguasaan tanah, hendaknya di dalamnya juga memuat akibat hukum/sanksi apabila ketentuan pembatasan kepemilikan atau penguasaan luas tanah secara maksimum itu dilanggar sehingga terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. 1.5.4. Teori Pembentukan Norma. Teori pembentukan norma hukum menyatakan bahwa suatu aturan hukum yang dibentuk hendaknya mendeskripsikan : 1. Hukum adalah ide atau konsep umum tentang lembaga-lembaga hukum yang diabstraksikan dari peristiwa-peristiwa tertentu dari padanya 2. Hukum adalah suatu sistem hukum tertentu secara menyeluruh dan koheren yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negara tertentu 3. Hukum adalah ketentuan normatif tertentu dari Hukum: aturan atau norma dari suatu sistem hukum tertentu 4. Hukum merupakan abstraksi dari apa yang tampak yaitu Hukum dan hukum. Jika kita melakukan abstraksi , kita merujuk pada hal-hal konkret atau dapat diamati. Bagaimana kita dapat mengenali sesuatu kalau tidak memiliki gambaran untuk membimbing kita. Oleh karena itu kita harus beranjak dari yang khusus dulu yakni Hukum atau sistem hukum. 33 Teori ini memiliki relevansi untuk menjawab rumusan masalah yang pertama terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap
33
Antony Allot, 1980, The limit of Law, Butterworths, London, p.28
42 Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang yang tidak diatur didalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. 1.5.5. Teori Sistem Hukum Teori sistem hukum ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah yang kedua. Sistem hukum menurut H.L.A. Hart dalam gagasannya dibagi menjadi dua yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primery rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak dan hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law).34 Primary rules (aturan utama) di dalamnya terdapat dua model substansi. Model pertama adalah primary rules yang di dalamnya memiliki susbtansi yang disebut dengan aturan sosial (sosial rule) yakni keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial terkait dengan suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Model kedua adalah aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu/sebagian besar dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, masyarakat merasakan bahwa aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri. 35
34 35
H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96 Ibid, hal. 96-99
43 Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules, yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) dan apa bila di rinci terdiri dari : 1. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition); 2. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan; 3. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of ajudication lebih efisien, rules of change bersifat sedikit kaku dan rules of recognition bersifat reduksionis.36 Teori ini memiliki relevansi untuk membahas rumusan masalah kedua dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan primary rules dan secondary rules yang harus ada dalam setiap substansi peraturan perundang-undangan. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam substansi sistem hukum yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Primary Rules di dalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (sosial rule) yakni keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial dan suatu hal yang umum yang banyak dijumpai dalam masyarakat. Secondary Rules disebut dengan “aturan tentang aturan” (rules about rules) apa bila di rinci meliputi, Pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules
36
Ibid
44 of
change) dan Ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat
dikuatkan,
dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Keabsahan aturan (rules of recognition) terkait dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas tanah yang ditentukan undang-undang masih terdapat kekosongan hukum di dalam ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah. Dalam Teori Sistem Hukum dinyatakan bahwa undang-undang idealnya mempunyai keseragaman aturan sosial (sosial rule) yang berkaitan dengan keteraturan prilaku Badan Hukum dan undang-undang hendaknya yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah. Dua hal ini hendaknya diatur dalam ketentuan UUPA guna menjamin adanya kepastian hukum terkait dengan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. 1.5.6. Konsep Negara Hukum Sebagai dasar dan landasan konsep yang paling universal atau umum, penulis menggunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl. Konsep ini berfungsi sebagai acuan untuk membahas kedua permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Konsep Negara Hukum berfungsi sebagai indikator dalam memberikan analisa hukum terkait dengan pengaturan penguasaan dan akibat
45 hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Konsep Negara Hukum sering diterjemahkan dengan istilah “Rechtsstaat” atau “Rule of Law”. Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Paham Rechtsstaat ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Van Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution.37 Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam penelitian ini, digunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena Indonesia menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait dengan penerapan sistem hukum Eropa Kontinental. Konsep Negara Hukum menurut Julius Stahl yang disebutnya Rechtsstaat mencakup 4 (empat) elemen yang terdiri dari : a. Perlindungan hak asasi manusia; b. Pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; d. Peradilan tata usaha negara. 38
37
Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 3 38 Ibid
46 Substansi Konsep Negara Hukum yang memiliki relevansi terhadap pembahasan permasalahan dalam penelitian ini adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang. Pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undangundang pengaturannya perlu diatur di dalam ketentuan undang-undang oleh pejabat yang berwenang. Pemerintahan berdasarkan undang-undang memiliki makna bahwa hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara (pemerintahan). Segala tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang hanya bisa diberikan oleh pejabat yang berwenang apabila telah diatur dalam ketentuan undang-undang. Suatu peraturan akan menjadi lebih efektif dan mempunyai daya paksa untuk dipatuhi oleh subyek hukum apabila mempunyai sanksi hukum di dalamnya. 1.5.7. Konsep Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu jenis dari berbagai jenis hak-hak atas tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUPA. Hak Guna Bangunan konsepnya berawal dari konsep UUPA yang tidak memberikan kewenangan kepada Negara Republik Indonesia sebagai pemilik hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia melainkan dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dan hal ini disebut sebagai Hak Menguasai Negara.
47 Boedi Harsono dalam pendapatnya mengatakan bahwa pemilik bangunan berbeda
dengan
pemilik
hak
atas
tanah
dimana
bangunan
tersebut
berada/didirikan. Hal ini juga terjadi persamaan konsep bahwa pemegang Hak Guna Bangunan dimana bangunan tersebut berada/didirikan dengan pemegang hak milik atas tanah adalah berbeda. Pada hakekatnya hak yang ditentukan pada Hak Guna Bangunan bertujuan untuk dipakai secara „tempat untuk membangun sesuatu di atasnya‟ (bukan diperuntukan untuk usaha pertanian). 39 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pengertian bangunan (gedung) adalah : Wujud fisik hasil pekerjaan kosntruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus. Berdasarkan definisi di atas dapat disebutkan bahwa bangunan yang dimaksud dalam ketentuan undang-undang ini adalah: 1. Bangunan tersebut hasil dari pekerjaan manusia; 2. Pembangunannya merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ruang; 3. Konstruksinya sebagian atau seluruhnya menyatu dengan tempat kedudukan di atas/di dalam tanah dan atau air; 4. Berfungsi sebagai tempat kegiatan manusia (ekonomi, keagamaan, sosial, budaya, dan kegiatan khusus). Hak Guna Bangunan menurut A.P. Parlindungan adalah suatu hak yang sebelumnya tidak dikenal dalam perangkat hak-hak atas tanah menurut hukum adat. Hak ini mulai ada sejak disahkannya UUPA dan diadakan dengan tujuan untuk memenuhi masyarakat ekonomis yang modern. Hak Guna Bangunan 39
Boedi Harsono, op.cit, hal.285
48 sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 16 UUPA mempunyai sisi pembeda dalam arti terdapat kekhususan dalam karakteristik haknya. Tujuan pengunaan tanahnya dan batas waktu penguasaannya berbeda dengan hak atas tanah yang lain. Hak Guna Bangunan hanya dimungkinkan penggunaan tanahnya untuk keperluan membangun dan memiliki bangunan, dengan jangka waktu pengunaan yang terbatas, dapat dialihkan kepada pihak lain dan dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. 40 Konsep Hak Guna Bangunan digunakan untuk mengetahui karakteristik dari Hak Guna Bangunan. Dengan mengetahui konsep Hak Guna Bangunan ini dapat menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini. 1.5.8. Konsep Politik Hukum. Politik hukum menurut Moh. Mahfud MD dinyatakan bahwa politik hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Lingkup pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakan. 41 Konsep politik hukum ini berfungsi untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua mengingat masih adanya
40
A.P Parlindungan, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju,, Bandung, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan II), hal. 51 41 Moh. Mahfud MD dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2
49 kekosongan hukum dalam hal pengaturan penguasaan dan akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan melampaui batas luas ketentuan undang-undang.
50 B. Kerangka Berpikir AKIBAT HUKUM PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN OLEH BADAN HUKUM YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG Latar Belakang Masalah : Pasal 7 UUPA pada prinsipnya menganut sistem pembatasan kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah. UUPA dan peraturan pelaksananya yakni Perkaban No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas akibat hukum dan sanksi hukum penguasaan Hak Guna Bangunan yang melebihi batas luas ketentuan undang-undang.
Rumusan Masalah :
Metode Penelitian :
1. Bagaimanakah pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang ? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang ?
1. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum. 2. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan perbandingan hukum, pendekatan kasus, dan pendekatan analisis konsep hukum.
Landasan Teoritis
1. Rumusan Masalah 1: a. Teori Kepastian Hukum b. Teori Keadilan c. Teori Principles Of Legality d. Teori Pembentukan Norma e. Konsep Negara Hukum f. Konsep Hak Guna Bangunan g. Konsep Politik Hukum
2. Rumusan Masalah 2: a. Teori Sistem Hukum b. Teori Principles Of Legality c. Konsep Negara Hukum d. Konsep Politik Hukum
Sasaran
-
-
Sasaran dari penelitian ini adalah untuk memberikan kajian tentang kepastian hukum secara normatif tentang pengaturan sanksi hukum dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai Hak Guna Bangunan dengan melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang. Sasaran lain dari penelitian ini adalah untuk menghindari terjadinya praktek bisnis monopoli dibidang properti dalam hal pembangunan hotel dengan status Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melebihi luas batas tanah, serta melaksanakan Catur Tertib Pertanahan yang terdiri dari tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan kelestarian lingkungan hidup.
51 1.6. Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian. Untuk menghimpun bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan pembahasan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum. 42 Kekosongan norma hukum dalam penelitian ini terdapat di dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara tegas pengaturan penguasaan dan akibat hukum terhadap Badan Hukum yang menguasai hak guna bangunan melebihi batas luas ketentuan undang-undang. 1.6.2 Jenis Pendekatan. Dalam penelitian hukum normatif dikenal adanya 7 (tujuh) jenis pendekatan yaitu pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundangundangan (the statuta approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical dan conceptual approach), pendekatan frasa (words & phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). 43 Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan perbandingan hukum (comparative approach)
42 43
Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif” Surabaya, hal. 284 H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.24
52 pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach). Pendekatan
peraturan
perundang-undangan
adalah
penelitian
menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam penelitian ini diteliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis; 2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum; 3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis. 44 Pendekatan
kasus
dalam
penelitian
normatif
bertujuan
untuk
memepelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus-kasus yang telah terjadi dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum. 45 Pendekatan perbandingan hukum adalah pendekatan yang umumnya dilakukan dengan membandingkan isi aturan hukum negara lain yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti, atau dapat juga dalam rangka mengisi kekosongan dalam hukum positif. Penelitian seperti itu hanya dilakukan terhadap unsur-unsur yang dapat di bandingkan (tertium comparationis) dengan bahan 44 45
Jhony Ibrahim, op.cit, hal.302 Jhony Ibrahim, op.cit, hal.301
53 hukum yang menjadi fokus penelitian.46 Penulis dalam penelitian ini melakukan perbandingan hukum terhadap negara Australia. Pendekatan analisis konsep hukum adalah analisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional.47 Hal ini dilakukan dengan melalui dua cara. Cara pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. Cara kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan pengadilan. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum. Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut dibawah ini : Bahan Hukum Primer terdiri dari : Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104; c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
46 47
Jhony Ibrahim, op.cit, hal.315 Jhony Ibrahim, loc.cit
54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643; d. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 107. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari : 1. Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ; 2. Internet dengan menyebut nama dan situsnya. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).48 Adapun metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus menerus sampai menemukan titik jenuh, dan hal ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier di inventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
48
I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.32
55 Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang dianalisis dan disusun secara sistematis. 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum. Pada tehnik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan tehnik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding). Tehnik deskripsi adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 49 Tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding) menggunakan teknik konstruksi hukum. Dalam tehnik konstruksi hukum, penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 2 jenis metode yaitu: 1. Argumentum a contrario adalah penalaran yang secara konkrit dilakukan pada ketentuan aturan hukum dalam undang-undang dan hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara eksplisit disebut dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut; 2. Rechtsverfijning
atau
penghalusan
hukum
adalah
oleh
Sudikno
Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum”. Konsep dari penalaran ini berlawanan dengan analogi. Pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan hukum yang dikhususkan. 50
49
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 43 50 Sudikno Mertokusumo dalam I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal.48
56 Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret. 51 Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengaitkannya pada peristiwa konkret tertentu. Apabila terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan ditemukan melalui penemuan hukum.
51
Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo III), hal. 56.