BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam beberapa
tahun terakhir mulai dari praderegulasi sampai pascaderegulasi. Pengklasifikasian perbankan sesusai dengan jenis, kepemilikkan, kegiatan usaha, pembentukkan uang giral serta sistem organisasinya. Lembaga keuangan dibagi menjadi lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank yang masing-masing memiliki tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Dan untuk menciptakan perbankan yang sehat, kuat dan efisien maka diperlukan arsitektur perbankan indonesia. Data statistik perbankan tanah air yang dirilis Bank Indonesia, 15 Agustus 2011, menyebutkan bahwa total aset bank-bank umum nasional di triwulan I – 2011 naik sebesar 19,2% dibanding periode yang sama tahun 2010, menjadi Rp. 3.195,11 Triliun. Laba bersih mencapai sebesar Rp. 37,096 Triliun, meningkat 26,4% dibandingkan periode yang sama di tahun 2010 yang lalu. Demikian pula dari segi rasio-rasio keuangan. Menghadapi badai krisis global (1998, 2008, dan krisis Eropa 2011) fungsi intermediasi perbankan terus berjalan dengan baik dan industri perbankan di Indonesia memiliki daya tahan yang kokoh serta menunjukkan prestasi yang baik. Namun demikian dalam rangka membangun industri perbankan di tanah air yang kuat, perbankan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut terutama berasal dari meningkatnya kebutuhan produk dan layanan
10 Universitas Sumatera Utara
perbankan yang dibutuhkan nasabah dan persaingan makin ketat serta penetrasi layanan perbankan di Indonesia yang belum mampu mengimbangi pertumbuhan ekonominya, sehingga margin keuntungan khususnya dari pendapatan bunga makin menurun. Dalam kegiatannya terdapat tiga pemain dalam dunia perbankan, yaitu bank, deposan, dan peminjam. Deposan menyimpan uangnya di Bank dengan harapan memperoleh return berupa bunga atas uang yang dipinjamkannya kepada Bank. Selanjutnya Bank akan menawarkan uang tersebut kepada peminjam dalam bentuk kredit dalam rangka memperoleh pendapatan bunga. Tingkat suku bunga yang ditetapkan Bank kepada peminjam akan lebih tinggi dari pada tingkat suku bunga yang ditetapkan Bank kepada deposan. Suku bunga yang dikenakan bank atas uang yang ditawarkan disebut suku bunga kredit. Sedangkan suku bunga yang ditetapkan bank kepada deposan disebut suku bunga deposito. Sebagian besar laba yang dihasilkan oleh bank berasal dari kredit yang telah disalurkan kepada masyarakat, yaitu dalam bentuk bunga kredit. Penentuan tingkat suku bunga kredit tidak hanya penting bagi perbankan tetapi juga perekonomian, untuk mengatur tingkat bunga perbankan nasional, bank sentral salah satunya menggunakan instrumen penentuan tingkat bunga acuan dalam hal ini adalah bank Indonesia rate. Bank Indonesia rate merupakan suku bunga kebijakan BI yang menjadi acuan suku bunga di pasar uang. Secara umum, jika suku bunga kredit naik maka bank akan semakin berminat menawarkan uang. Disisi lain, tingkat suku bunga kredit akan mempengaruhi keputusan konsumen
11 Universitas Sumatera Utara
dalam mencari fasilitas pinjaman. Konsumen yang rasional akan memilih bank yang menetapkan tingkat suku bunga kredit terendah (Kusumastuti, 2005). Bank Indonesia mulai 31 Maret 2011 mewajibkan perbankan untuk mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK) secara luas ke masyarakat. SBDK adalah suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. Kebijakan itu dilakukan untuk meningkatkan transparansi mengenai produk perbankan. Pengaturan ini akan meningkatkan tata kelola yang baik dan menjadi sasaran untuk mendorong kompetisi yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang lebih baik. Transparansi juga akan meningkatkan perlindungan konsumen karena dapat membentuk level of playing field yang sama antara bank dan nasabah/masyarakat, sehingga biaya dan risiko produk kredit perbankan akan semakin mudah dipahami guna mendukung pengambilan keputusan kredit yang lebih baik oleh nasabah. BI juga menjelaskan, perhitungan SBDK (prime lending rate) yang merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen, yaitu (a) harga pokok dana untuk kredit atau (HPDK), (b) biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit dan (c) margin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan. SBDK dipublikasikan kepada masyarakat dalam bentuk angka akhir berdasarkan hasil perhitungan komponen SBDK untuk 3 (tiga) jenis kredit yakni kredit korporasi, kredit retail dan kredit konsumsi (KPR dan non KPR). Kredit konsumsi Non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan
12 Universitas Sumatera Utara
kredit tanpa agunan. Adapun definisi dari 3 (tiga) jenis kredit tersebut adalah definisi yang digunakan oleh internal setiap bank. Pengaturan ini akan meningkatkan tata kelola yang baik dan menjadi sasaran untuk mendorong kompetisi yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang lebih baik. SBDK belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK. Kriteria bank yang wajib mempublikasikan SBDK adalah Bank yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp.10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih wajib melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah melalui: (i) papan pengumuman di setiap kantor bank, (ii) halaman utama website bank, dalam hal bank memiliki website, dan (iii) surat kabar bersamaan dengan pengumuman. Dengan fakta ini dapat dikatakan SBDK mencerminkan kondisi bank yang sebenarnya bukan berdasarkan hasil kesepakatan atau perbandingan dengan bank lain. Belum lagi pada saat penetapan suku bunga kredit, bank juga melakukan benchmarking atau analisis terhadap pihak kreditor. Tak dapat disangkal bahwa pada kenyataan bank-bank berkompetisi agar suku bunga yang ditetapkan bank dapat bersaing dan menarik bagi masyarakat, sehingga dapat terjadi suku bunga suatu bank dengan bank yang lain besarannya relatif sama. Bank yang tidak melakukan
publikasi
informasi
SBDK,
dikenakan
sanksi
administratif
13 Universitas Sumatera Utara
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Berikut ini merupakan data mengenai SBDK Ritel Bank BUMN Januari-Juni 2013. Tabel 1.1 Perkembangan SBDK Ritel BUMN Januari -Juni 2013
Nama Bank PT BANK MANDIRI PT BANK RAKYAT INDONESIA. PT BANK NEGARA INDONESIA PT BANK TABUNGAN NEGARA
Tahun 2013 Suku Bunga Dasar Kredit (%) Januari Pebruari Maret April Mei 12,00 12,00 12,00 12,00 12,00 11,50 11,50 11,50 11,50 11,50 11,60 11,60 11,60 11,60 11,60 10,25 10,25 10,25 10,25 10,25
Juni 11,75 11,75 12,95 10,68
Tabel 1.1. menunjukkan bahwa kondisi SBDK ritrel bank BUMN bulan Januari sampai dengan Juni 2013 relatif konstan dan mengalami kenaikan pada bulan Juni 2013. SBDK tersebut di atas belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masingmasing debitur/kelompok debitur seperti jumlah, jangka waktu, risiko, hingga proyek yang dibiayai. Suku bunga kredit di kisaran 10-15 persen, level tersebut masih lebih tinggi dibanding di China dan Thailand yang berkisar 4-8 persen. Kondisi bunga kredit yang tinggi saat ini, memberikan profit atau pendapatan bagi kalangan perbankan. Namun sebaliknya menjadi salah satu faktor penghambat bagi pelaku ekonomi yang bertindak sebagai debitur. Pendapatan
perbankan
dari
bunga
kredit
dalam
operasionalnya
dipengaruhi oleh biaya oprasional (BOPO) bank. BOPO merupakan kelompok
14 Universitas Sumatera Utara
rasio yang mengukur efisiensi dan efektivitas operasional suatu perusahaan dengan jalur membandingkan satu terhadap lainnya (Dendawijaya, 2005). Semakin
rendah
BOPO berarti
semakin
efisien
bank
tersebut
dalam
mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar (Riyadi, 2006). Menurut Laporan Bank Indonesia (BI), per akhir Januari 2013, rasio BOPO sebagai indikator tingkat efisiensi perbankan adalah 75,40% dimana rasio idealnya BOPO 70%-80%. Angka ini mengalami penurunan atas rasio BOPO pada akhir 2011 sebesar 85,34%. Penurunan BOPO terjadi pada hampir semua kelompok bank. Demikian juga dengan rata-rata suku bunga kredit pada triwulan IV-2012, untuk tiap jenis penggunaan mengalami penurunan. Meski suku bunga kredit mulai turun, sektor ritel usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih mengeluhkan beratnya pembiayaan usaha dari perbankan. UMKM menilai suku bunga perbankan sekarang masih relatif tinggi. Bunga kredit merupakan salah satu dari banyak biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, jika bunga kredit turun maka akan berdampak terhadap efisiensi biaya operasional dan bertambahnya laba perusahaan. Bank berperan penting sebagai penyedia dana bagi dunia usaha dan dunia industri, sehingga besarnya bunga kredit yang ditetapkan oleh bank mempengaruhi aktivitas dunia usaha dan dunia industri. Menurut Santoso (2011) selaku Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia (BI) rata-rata suku bunga kredit ritel masih cukup tinggi karena biasanya ritel ini membutuhkan cost yang lebih tinggi dan membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
15 Universitas Sumatera Utara
Dalam periode enam tahun terakhir, dari tahun 2007–2012, jumlah gerai ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 17,57% per tahun. Pada tahun 2007, jumlah usaha ritel di Indonesia masih sebanyak 10.365 gerai, kemudian pada tahun 2011 mencapai 18.152 gerai tersebar di hampir seluruh kota di Indonesia. Pertumbuhan jumlah gerai tersebut tentu saja diikuti dengan pertumbuhan penjualan. Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10%–15% per tahun. Penjualan ritel pada tahun 2006 sebesar Rp.49 triliun, dan meningkat hingga mencapai Rp.120 triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, pertumbuhan ritel diperkirakan masih sama, yaitu 10%–15%, atau mencapai Rp138 triliun. Jumlah pendapatan terbesar merupakan kontribusi dari hipermarket, kemudian disusul oleh minimarket dan supermarket. Menurut Ma’ruf (2006) pertumbuhan bisnis ritel, terutama bisnis ritel modern, saat ini semakin berkembang dengan pesat di Indonesia. Bisnis ritel memainkan peranan penting dalam perekonomian sebuah negara. Perekonomian negara tertolong dengan adanya bisnis ritel ketika terjadi krisis moneter pada akhir tahun 1997 di Indonesia. Bisnis ritel merupakan salah satu sektor utama perekonomian negara yang menghasilkan keuntungan besar di berbagai negara, termasuk negara-negara industri maju seperti Prancis, Inggris, Jepang dan Amerika Serikat. Fenomena yang dijabarkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak setiap kejadian empiris sesuai dengan teori yang ada. Hal ini diperkuat oleh adanya research gap dalam penelitian-penelitian terdahulu. Seperti penelitian
16 Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh Darna (2012), mengungkapkan kenaikan atau penurunan BI rate tidak berhubungan dengan penurunan SBDK namun SBDK berhubungan dengan kenaikan atau penurunan BOPO walaupun sangat rendah dan besarnya SBDK bukan hanya dipengaruhi oleh BI rate dan besarnya BOPO atau efisiensi biaya operasi bank, namun dipengaruhi juga oleh faktor lainnya seperti harapan perolehan keuntungan dari bank, persaingan dan lain-lain. Penurunan tingkat SBDK akan berdampak terhadap perekonomian khususnya di skala mikro yang pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap skala makro. Ketika BI rate mengalami kenaikan maka bunga pinjaman ataupun simpanan di bank dan lembaga keuangan yang lain juga ikut naik. Rate yang dikeluarkan oleh BI bukan merupakan peraturan melainkan hanya sebuah rujukan, sehingga tidak mengikat maupun memaksa. Sementara bagi BI sendiri, BI rate adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang disalurkan ke bankbank. Ketika BI rate naik, maka para bank menyimpan dana mereka di BI dalam bentuk SBI, dan akan menerima bunga per tahun. Artinya jika BI rate dinaikkan, Bank akan cenderung lebih memilih menyimpan dana tabungan nasabahnya di BI daripada disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit karena khawatir terhadap risiko kredit macet. Keadaan ini akan berbahaya terhadap perekonomian yang akan mengalami stagnasi. Tingkat suku bunga pada dasarnya merupakan refleksi dan kekuatan permintaan dan penawaran dana. Dengan demikian tingkat suku bunga mencerminkan tingkat kelangkaan atau kecukupan dana di masyarakat. Selain itu, tingkat suku bunga mempunyai kaitan yang cukup erat dengan berbagai indikator
17 Universitas Sumatera Utara
ekonomi lainnya. Di sisi internal tingkat suku bunga berkaitan dengan inflasi, permintaan dalam negeri dan nilai tukar rupiah. Dalam lingkup eksternal tingkat suku bunga sangat berperan terhadap arus modal masuk dan keluar. Oleh karena itu upaya pengendalian tingkat suku bunga yang dilakukan harus selalu memperhatikan keseimbangan berbagai faktor. Berdasarkan fenomena dan hasil penelitian terdahulu di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Analisis Penentuan Suku Bunga Dasar Kredit Ritel” (Studi Empiris pada Bank BUMN Indonesia Periode Oktober 2011-Maret 2013). 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah secara parsial BI rate dan BOPO berpengaruh terhadap SBDK ritel Bank BUMN di Indonesia ? 2. Apakah secara simultan BI rate dan BOPO berpengaruh terhadap SBDK ritel Bank BUMN di Indonesia ? 1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai berdasarkan perumusan masalah di atas
adalah untuk : 1. Mengetahui pengaruh BI rate dan BOPO terhadap SBDK ritel Bank BUMN di Indonesia secara parsial. 2. Mengetahui pengaruh BI rate dan BOPO terhadap SBDK ritel Bank BUMN di Indonesia secara simultan.
18 Universitas Sumatera Utara
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun penilitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :.
1. Bagi peneliti Sebagai wadah mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teori yang telah dipelajari selama kuliah, serta menambah wawasan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap SBDK ritel. 2. Bagi manajemen perusahaan Sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam mengaplikasikan variable-variabel penelitian ini untuk membantu meningkatkan minat para investor untuk melakukan investasi pada perusahaan ritel. 3. Bagi calon investor Dengan adanya kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan pada saat melakukan invesatasi pada sebuah perusahaan. 4. Bagi akademisi Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
dalam
pengembangan teori mengenai BI rate dan BOPO serta pengaruhnya terhadap SBDK ritel. 5. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumber
informasi
dalam
melakukan
penelitian
sejenis
dengan
menambahkan variabel lain.
19 Universitas Sumatera Utara