BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemerdekaan yang diraih Bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa diperoleh melalui perjuangan yang sangat panjang. Hasil dari perjuangan tersebut harus dipertahankan untuk memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia mewujudkan kesejahteraan yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1 Agar tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia tersebut dapat tercapai, maka negara melaksanakan pembangunan dalam segala bidang demi kesejahteraan rakyat, dan rakyat Indonesia itu sendiri harus merasa aman dari berbagai macam ancaman dan bahaya baik yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Usaha pembangunan ini juga harus didukung 1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 1991), hal 10
1
2
dengan tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk mengolah dan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia dengan baik dan bijaksana. Selain itu, negara melalui alat-alat perlengkapan negara harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung usaha pembangunan tersebut dengan tetap berpihak pada kepentingan umum. Usaha pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan dengan adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia walaupun dalam kenyataannya pemerintah masih mengalami banyak kendala. Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia dipertengahan tahun 1997 telah memporakporandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara Indonesia memang tidak sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkuri bahwa negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. 2 Tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun usahanya memprihatinkan. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang memprihatinkan yang akan berakibat pula pada tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam peraturan perundangundangan dalam rangka mengatasi permasalahan di dunia usaha, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan. Inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan, sebenarnya timbul
2
Ibid, hal 11.
3
karena ada “tekanan” dari Dana Moneter Internasional / International Monetery Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor ke kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. 3 Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang kepailitan pada awalnya terdapat dalam Wet Boek Van Koophandel (WVK) buku III, namun dicabut
dan
diganti
dengan
Staatblad
1905
No.
217
tentang
Faillissemensverordening staatblad 1906 No.348. Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Kepailitan Tahun 1905 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang bukan merupakan Undang-Undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekedar mengubah dan menambah beberapa pasal peraturan kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Kepailitan Tahun 1905 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ini dianggap tidak dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat, maka pemerintah bersama dengan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3
Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal 50.
4
Keadaan suatu perusahaan tidaklah selalu berjalan dengan baik dan terkadang mengalami kesulitan dibidang keuangan sehingga perusahaan tersebut tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya.
4
Di dalam menjalankan usahanya, perusahaan membutuhkan modal baik berupa uang ataupun berupa barang. Di dalam menjalankan usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi perusahaan raksasa, tetapi apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Untuk mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat melakukan peminjaman uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Pemberian pinjaman oleh kreditor kepada debitor didasarkan pada asumsi bahwa kreditor percaya debitor dapat mengembalikan utang tepat pada waktunya. Pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor tidak selalu dapat berjalan dengan lancar ada kalanya debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor walaupun telah jatuh tempo. Debitor yang tidak mampu melunasi utangnya, maka harta kekayaan debitor yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan atas utangnya. Di dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata telah diatur khusus mengenai hal utang piutang. Dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut tidak
4
Ibid, hal 51.
5
hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang debitor demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban yang berupa membayar utangnya kepada kreditor yang mengutanginya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang. 5 Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang- undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya. Kedua pasal tersebut di atas merupakan jaminan bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi untuk melaksanakan pembayaran utang oleh debitor kepada kreditor dengan adil diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu UndangUndang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya kekhawatiran kreditor melakukan pemangkiran atas pelunasan utang oleh debitor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Selama putusan permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan dapat pula mengajukan untuk menetapkan sita jaminan atas sebagian atau keseluruhan harta kekayaan debitor. Sebab debitor tersebut dapat melakukan kecurangan atas keseluruhan harta kekayaannya dengan cara mengalihkan seluruh
5
Ibid, hal 53.
6
kekayaannya sebelum ditetapkannya pernyataan pailit. Kepailitan di Indonesia masih baru dan studi mengenai permasalahan yang berkaitan tentang pemberian jaminan untuk pengajuan sita pada pemeriksaan kepailitan belum pernah diteliti, maka penulis tertantang untuk menulis mengenai studi tersebut. Permohonan pernyataan pailit yang disertai pemberian jaminan untuk pengajuan sita dalam sengketa kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam penulisan ini dapat memberikan jawaban atas persoalan akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 6 Selama penundaan kewajiban pembayaran utang tanpa diberi kewenangan oleh pengurus, debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian hartanya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 240 UUK No. 37 Tahun 2004 (sebelum Pasal 226 UU 1998). Apabila debitor melakukan tindakan hukum tanpa mendapat kewenangan dari pengurus, maka pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor tersebut. Kewajiban-kewajiban debitor yang dilakukan tanpa mendapat kewenangan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor sepanjang hal itu menguntungkan harta debitor. 7
6
Ibid, hal 54. Ibid, hal 55.
7
7
Atas dasar kewenangan yang diberikan oleh pengurus, debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga semata-mata dalam rangka meningkatkan nilai harta debitor. Apabila dalam melakukan pinjaman tersebut perlu diberikan agunan, debitor dapat membebani hartanya dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sepanjang pinjaman
tersebut
telah
memperoleh
persetujuan
hakim
pengawas.
Pembebanan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta debitor yang belum dijadikan jaminan utang. Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun menghalangi pengajuan perkara baru. Walaupun demikian, dalam hal perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitor itu sendiri, akan tetapi kreditor tidak mempunyai kepentingan untuk mendapat sesuatu putusan guna melaksanakan haknya terhadap pihak ketiga, setelah tentang pengakuan tersebut di atas dicatat, maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal itu sampai akhir PKPU. 8 Debitor tidak boleh menjadi penggugat maupun tergugat dalam perkara-perkara mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa bantuan pihak pengurus. Dalam perjanjian sewa menyewa, apabila debitor bertindak sebagai penyewa suatu barang segera setelah PKPU dimulai, dengan kewenangan dari pengurus dapat mengakhiri sewa tersebut untuk sementara, asalkan 8
Mohamad Chaidir Ali, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal 25.
8
pemberitahuan untuk menghentikan sewa itu dilakukan menjelang suatu waktu perjanjian itu akan berakhir menurut kebiasan setempat. Dalam melakukan penghentian hendaknya diindahkan pula jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman, dengan ketentuan bahwa jangka waktu 90 hari adalah cukup (Pasal 251 ayat (1) dan (2) UUK Tahun 2004). Uang sewa telah dibayar sebelumnya, maka sewa tersebut tidak boleh dihentikan sampai menjelang hari akhir waktu untuk mana pembayaran uang telah dilakukan. Dan sejak putusan PKPU sementara diucapkan maka uang sewa merupakan utang harta debitor. Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dirasakan perlu untuk mengadakan penelitian tentang akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian sewa menyewa. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “AKIBAT HUKUM
PENUNDAAN
KEWAJIBAN
PEMBAYARAN
UTANG
TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA MENURUT UNDANGUNDANG NO 37 TAHUN 2004”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dirumuskan dalam penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana manfaat PKPU bagi pihak debitor dan kreditor dalam perjanjian sewa menyewa ?
9
2. Bagaimanakah kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang menurut UndangUndang No. 37 Tahun 2004 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain, yaitu: 1. Untuk mengetahui manfaat PKPU bagi pihak debitor dan kreditor dalam perjanjian sewa menyewa. 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Manfaat penulisan ini adalah: 1. Secara Teoritis Pembahasan masalah dari penulisan skripsi ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis dalam menghadapi pengetahuan tentang kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang, selanjutnya hasil peneliti ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam kajian mengenai kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang lainnya, serta untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa fakultas hukum. Hasil tulisan juga
10
diharapkan dapat menjadi pedoman bahan perbandingan dan juga bahan tambahan bagi peneliti yang mengkaji masalah sejenis. 2. Secara Praktis Diharapkan agar tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pembaca, baik dikalangan akademial maupun peneliti yang mengkaji masalah yang sejenis ke dalam suatu pemahaman yang komprehensif tentang sejauh mana kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang yang diharapkan dapat mendapat wawasan tentang akibat
hukum penundaan kewajiban
pembayaran utang terhadap perjanjian sewa menyewa menurut UndangUndang No 37 Tahun 2004.
D. Tinjauan Kepustakaan Pengertian akibat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu hasil dari perbuatan atau tindakan maupun kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu pihak yang berdampak kepada orang lain. 9 Pengertian lain dari hukum menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan. 10 Selanjutnya pengertian dari akibat hukum yaitu suatu hasil dari perbuatan atau tindakan maupun kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu pihak yang berdampak kepada orang lain 9
Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta:Lintas Media, 2004), hal 747. 10 W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2006), hal 612.
11
yang berhubungan dengan peraturan dan norma-norma hukum yang berlaku. 11 Pengertian pailit adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwewenang baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. 12Sedangkan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam perjanjian itu. 13Sedangkan mengenai pengertian perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan suatu barang (pada umumnya pemilik barang) kepada pihak penyewa untuk dinikmati untuk suatu jangka waktu tertentu dengan sejumlah harga sewa yang tertentu pula. Mengenai pengertian penundaan kewajiban pembayaran utang adalah debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang. 14
11
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, (Jakarta, 1980), hal 60. W.J.S. Poerwadarminta, op cit, hal 85. 13 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1994), hal 46. 14 Zainal Asikin, op. cit, hal 90. 12
12
E. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini sudah pernah ada dibahas oleh orang lain tetapi saya mencoba menulis skripsi ini dengan permasalahan yang berbeda. Dengan ini penulis dapat bertanggungjawab atas keaslian penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa penulisan ini adalah jauh dari unsur plagiat. Dalam yang mendukung penulisan ini dipakai pendapatpendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan, baik berupa karya ilmiah, Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Kepailitan, maupun pasal-pasal dalam KUH Perdata.
F. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian
merupakan
suatu
kerja
ilmiah
yang
bertujuan
untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu
atau
beberapa
gejala
hukum
tertentu
dengan
cara
menganalisisnya. 15Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. 15
hal. 6.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1996),
13
1. Jenis dan Sifat Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 16 Penelitian hukum normatif dikenal sebagai penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Berkenaan dengan penelitian kualitatif tersebut Anselmus Strauss dan Juliat Corbin menyebut sebagai berikut “Qualitatif research we mean any kind of research that procedure findings not arrived at by means of statistical procedures or ather means of quantifications. It can refer to research about persons, lives, behaviours, but also about organization functionating, social covenants intellectual relationship”.17 Tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang di
16
Ibid, hal 9. 17 Anselmus Strauss, dan Juliat Corbin, Basic of Qualitative Research, Grounded Theory Procedure and Technique, (Newbury, Park London, New Delhi : Sage Publication, 1979), hal 7.
14
dasarkan pada yang dikumpulkan 18. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifsir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan yang integral, dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information). 19 Ketiga kriteria penelitian kualitatif tersebut terdapat dalam penelitian skripsi ini, sehingga sangat beralasan menggunakan metode kualitatif dalam analisis data. Penelitian ini bersifat menyeluruh karena berupaya mendalami keseluruhan aspek dari tinjauan yuridis dalam permohonan kepailitan aspek hukum, yang keseluruhan dikonstruksikan dalam uraian-uraian yang sistematis. Penelitian ini juga berupaya mencari hubungan yang harmonis dari konsep-konsep yang ditemukan dalam bahan-bahan hukum primer dan skunder dengan menggunakan teori atau doktrin-doktrin hukum terkait Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. 2. Sumber Data Sumber data digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi 18
William J. Filstead, Qualitative Methods : A Needed Perspective in Evaluation Reseaarch, dalam Thomas D. Cook dan Charles S. Reichardt, ed, Qualitative and Quantitative Methods in Evalution Research, (London : Sage Publications, 1979), hal 38. 19 Chai Podhisita, et al, Theoritical Terminological, and Philosophical Issues in Qualitative Research, Qualitative Research Methods, hal 7.
15
teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karyakarya ilmiah lainnya. Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi : 1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan KUH Perdata. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini; 20 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, jurnal ilmiah, artikel bebas dari internet, juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. 21 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan 20
Ronny.H.Soemitro,Op.cit.hal.45. 21 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal 14-15.
16
identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal (di dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, KUH Perdata) yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab. 22 4. Analisis Data Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul,
maka
dilakukan
pengolahan,
penganalisisan
dan
pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah,
kemudian
dianalisis
secara
deskriptif.
Sehinga
selain
menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. 22
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal 195-196.
17
Pada penelitian hukum normatif, pengelolaan bahan hukum pada hakekatnya adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahanbahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan dalam penelitian kegiatan tersebut anatar lain memilih peraturan perundang-undangan primer, sekunder, tertier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan masalah Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut UndangUndang No. 37 Tahun 2004. Menemukan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam bahan-bahan hukum primer. Membuat sistematis dari bahan-bahan hukum sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan menemukan dan mengarahkan hubungan antara prinsipprinsip hukum dan klasifikasi dengan mengunakan kerangka teoritis yang ada sebagai pisau analisis. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh dengan mengunakan logika berpikir deduktif dan induktif.
G. Sistematika Penulisan Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslisan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
18
Bab II : Tinjauan Hukum Kepailitan Bab ini menguraikan tentang pengertian umum kepailitan, pihak yang dapat meminta pailit, prosedur permohonan pailit, akibat hukum kepailitan. Kemudian pengertian berakhirnya kepailitan, insolvensi atau pemberesan harta pailit, rehabilitasi. Lalu pengertian
keberadaan
dan
kompetensi,
kedudukan
dan
pembentukan, kompetensi, dan hakim . Selanjutnya pengertian penundaan kewajiban dan pembayaran utang. Bab III : Tinjauan Hukum Perjanjian Bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, pelaksanaan suatu perjanjian. Selanjutnya pengertian perjanjian sewa menyewa, kewajiban pihak yang menyewakan, kewajiban pihak penyewa, serta berakhirnya perjanjian sewa menyewa. Bab IV : Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Bab ini menguraikan tentang kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang. Bab V
: Kesimpulan dan Saran Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.