BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Semasa hidup, manusia akan melewati tahap-tahap perkembangan tertentu. Perkembangan manusia diawali dari pertumbuhan janin di dalam rahim hingga masa lansia. Setiap tahap perkembangan memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dilewati tiap individu. Begitu pula dengan lansia, yang juga menjalani tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). Tugas perkembangan lansia didominasi oleh penyesuaian diri (Havighurst dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan kondisi fisik yang mengakibatkan lansia harus mengurangi beberapa kegiatan yang dijalaninya. Tugas perkembangan lainnya adalah penyesuaian diri terhadap masa pensiun yang umumnya dijalani oleh lansia. Selain kedua hal di atas, tugas perkembangan lansia lainnya adalah menyesuaikan diri terhadap hilangnya pasangan (Hurlock, 1996). Kehilangan pasangan di masa lansia dapat terjadi karena kematian ataupun perceraian (Hurlock, 1996). Walaupun lebih banyak lansia yang menjadi janda atau duda akibat kematian pasangan, namun ada juga beberapa lansia yang mengalami kesendirian karena perceraian. Menurut data yang dihimpun oleh BPS-RI Susenas yang dilansir dalam Komisi Nasional Lanjut Usia pada tahun
1 Universitas Sumatera Utara
2009 persentase lansia di Indonesia yang mengalami perceraian adalah 2,21% dari total jumlah lansia. Jumlah ini memang cukup sedikit, tetapi hal ini menunjukkan bahwa perceraian di masa lansia juga perlu mendapat perhatian khusus (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Jumlah lansia yang bercerai di kota Medan, baik sebagai pihak penggugat maupun tergugat, pada tahun 2013 mencapai 177 orang. Tidak adanya keharmonisan merupakan penyebab utama dari perceraian (Pengadilan Agama Medan, 2013). Menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012), ketidakcocokan atau disharmonis antara pasangan lansia disebabkan oleh penurunan fungsi fisik dan psikologis dari lansia itu sendiri. Akibatnya timbulah ketegangan emosional yang mempengaruhi hubungan pernikahannya. Selain itu tidak sedikit lansia yang bercerai karena masing-masing tidak dapat menerima pendapat pasangannya. Pada sebuah artikel yang ditulis oleh Yadegaran (2012) disebutkan bahwa perceraian di masa lansia juga memiliki alasan yang cukup sederhana misalnya pasangan suami istri yang mempunyai tujuan hidup berbeda, hubungan yang tidak lagi dekat, atau tidak memiliki perasaan terhadap pasangan. Hurlock (1996) menjelaskan perceraian yang terjadi pada lansia tidaklah muncul akibat suatu permasalahan baru melainkan berasal dari sebuah keputusan yang telah dipikirkan sejak awal namun terhalang karena pasangan lebih mengedepankan kepentingan anak ataupun karena alasan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian mengemukakan beberapa hal yang mendasari terjadinya perceraian pada pasangan lansia. Sebuah studi yang dilakukan oleh Gottman (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) menyatakan bahwa penyebab terjadinya perceraian pada lansia didasari oleh kurangnya emosi positif selama menjalani pernikahan. Maksud dari kurangnya emosi positif seperti dicontohkan oleh Cavanaugh dan Blanchard-Fields (2006) misalnya ketika istri berbicara dengan semangat kepada suaminya tetapi tidak ditanggapi oleh sang suami. Dalam pernikahan seperti ini biasanya tidak terjadi pertengkaran yang hebat antara suami dan istri, bahkan pernikahan bisa bertahan cukup lama tapi akan lebih beresiko berakhir dengan perceraian. Di lain pihak, menurut penelitian Sternberg (dalam DeGenova, 2008) hal lain yang mendasari konflik dalam pernikahan lansia berdasarkan teori komponen cinta adalah pasangan lansia yang hanya memiliki komitmen di dalam pernikahannya. Komitmen meliputi suatu keputusan untuk berada di suatu hubungan dan menjaganya dalam jangka waktu yang lama. Namun komitmen saja tidak dapat mempertahankan suatu hubungan pernikahan. Di dalam pernikahan juga dibutuhkan hasrat dan kedekatan agar pernikahan bisa bertahan lama. Kekerasan juga merupakan salah satu penyebab perceraian pada lansia. Menurut data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Klas IA Medan, sekitar 6,1% dari kasus perceraian di masa lansia disebabkan oleh tindak kekerasan oleh pasangan (Pengadilan Agama Medan, 2013). Kekerasan yang terjadi di dalam
Universitas Sumatera Utara
pernikahan umumnya disebabkan karena level kepuasan pernikahan yang rendah dan masalah dalam komunikasi (DeGenova, 2008). Selain masalah ketidakharmonisan dan kekerasan, permasalahan ekonomi dalam kehidupan rumah tangga juga menjadi penyebab perceraian pada lansia. Menurut studi yang dilakukan oleh International Longevity Center di London, lansia lebih banyak mengalami permasalahan keuangan karena anggaran pensiun terus dipakai untuk melunasi hutang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang tidak mampu mengatur keuangan memiliki kemungkinan lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan lansia yang memiliki keuangan yang stabil (Republika Online, 2013). Perceraian memiliki dampak bagi lansia. Memang lansia pria maupun wanita yang kehilangan pasangan akibat kematian maupun perceraian akan mengalami hal yang sama, namun perceraian memiliki karakteristik yang khas. Di masa awal setelah bercerai, lansia akan menjadi marah kepada mantan pasangannya (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Hal ini sesuai dengan pernyataan SY yang berusia 62 tahun: “perasaan marah? Ya pastilah. Cuman lama-lama kita pikir-pikir ya ngapain lagi (marah). Sama mantan pasangan saya gak pernah berkomunikasi lagi. Pas anak saya nikah, di situlah saya bilang ‘maaf ya’. Dibilangnya, ‘ya udahlah, kita jalanin aja’” (wawancara personal, 5 Maret 2014)
Selain itu lansia yang bercerai akan merasakan trauma karena mereka telah membangun hubungan dalam jangka waktu yang lama dengan pasangan, melakukan aktivitas bersama, merencanakan masa depan bersama, dan memiliki
Universitas Sumatera Utara
komitmen dalam hubungannya, tetapi kini seseorang yang sudah lama dikenal telah menjadi orang asing (Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Kesepian merupakan salah satu dampak stres psikologis yang dialami lansia setelah kehilangan pasangannya (DeGenova, 2008; Matlin, 2008). Selain kehilangan pasangan, perasaan kesepian yang dialami oleh lansia ini dikarenakan hilangnya persahabatan di antara teman sebaya. Menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012) interaksi lansia dengan teman sebaya menurun karena keterbatasan yang dimiliki lansia misalnya keterbatasan fisik, gerak, serta akses komunikasi. Selain itu lingkup pertemanan menjadi mengecil karena proses kepindahan ataupun kematian. Dampak-dampak setelah bercerai biasanya disertai dengan usaha dalam menyesuaikan diri (Dewi, 2011). Dalam menyesuaikan diri terdapat pengadopsian sebuah pola perilaku pada situasi maupun konflik sehingga dengan cara tersebut nantinya akan muncul keselarasan dan keharmonisan antara individu dan lingkungan (Schneiders, 1964). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menjalin hubungan dengan orang lain merupakan suatu hal yang membantu pasca bercerai misalnya dengan membangun hubungan sosial atau menikah kembali. Menikah kembali dapat membantu lansia menyesuaikan diri setelah bercerai dimana individu yang menikah kembali menunjukkan penyesuaian yang lebih baik (Burgess & Locke, 1960; DeGenova, 2008). Pernikahan kembali lebih banyak dilakukan oleh pria setelah bercerai dibandingkan dengan wanita. (Komisi Nasional Lansia, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pernikahan kembali bukanlah bentuk penyesuaian setelah bercerai yang dipilih oleh wanita. Pada profil penduduk lanjut usia di tahun 2009 yang dihimpun oleh Komisi Nasional Lansia (2010) terlihat bahwa persentase lansia wanita yang bercerai sebanyak 3,14%. Hal ini diperkuat dengan pernyataan S, 63 tahun, yang menyatakan tidak ingin menikah kembali setelah bercerai dengan suaminya: “ah, ngapain lah nenek kawin lagi. Itu kan kerjaannya yang muda-muda aja. Kalo nenek enggak lah. Udah gak ada pikiran kayak gitu lagi” (Wawancara personal, 31 Mei 2013)
Pada lansia wanita, salah satu faktor yang membantu setelah bercerai adalah lingkungan (Schneiders, 1964). Kelompok dukungan (support group) merupakan bentuk bantuan yang bisa didapatkan oleh lansia wanita dari lingkungan. Support group dapat membantu lansia memulihkan keadaan pasca bercerai. Bagi wanita, kelompok ini akan memberikan pengaruh jika memberikan dukungan secara emosional (Oygard & Hardeng dalam Cavanaugh & BlanchardFields, 2006). Sebuah penelitian oleh Nisa (2009) mengenai wanita desa yang bercerai menunjukkan dukungan dari teman dan keluarga dapat membantu penyesuaian diri. Dalam sebuah wawancara personal, S (63 tahun) dengan cepat dapat melupakan permasalahan perceraiannya dan tidak mengalami rasa kesepian karena kegiatan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman sebaya yang ada di lingkungannya. “jadi nenek tinggal di kampung. Namanya pun kampung tapi ramai. Yang apa (menemani) ya kawan-kawanlah. Mengaji kita pigi sama-sama, ramai-ramai. Kan gak terasa apa, susah-susah. Yang susah-susah itu kan yang gak ada kegiatan. Duduk aja. Kalau (diajak) pergi, ayo.” (wawancara personal, 31 Mei 2013)
Universitas Sumatera Utara
Dukungan dari keluarga serta pandangan masyarakat terhadap perceraian juga membantu lansia wanita untuk menyesuaikan diri. Lansia wanita yang bercerai umumnya akan tinggal berdekatan ataupun tinggal bersama salah satu anaknya. Cara ini dilakukan lansia untuk dapat melakukan kontak sosial dengan orang di sekitarnya (Hurlock, 1996). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Widarti
(2012)
menunjukkan
beberapa
partisipan
penelitiannya
dapat
menyesuaikan diri karena mendapatkan dukungan dari pihak keluarga. Sementara itu beberapa partisipan lainnya masih belum bisa untuk menyesuaikan diri akibat pandangan negatif masyarakat mengenai perceraian dan keluarga yang menyalahkan partisipan atas perceraian. Selain lingkungan, agama juga dapat memberikan kontribusi terhadap penyesuaian diri lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Indriana, Desiningrum, dan Kristiana (2011) menunjukkan bahwa religiusitas yang dimiliki lansia berhubungan secara signifikan dengan penyesuaian diri lansia. Lansia yang religius dapat menjadi individu yang lebih dapat menyesuaikan diri sehingga mencapai kesejahteraan sosial. Teori penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) memuat indikator-indikator yang menunjukkan bahwa seseorang telah menyesuaikan diri secara normal. Indikator-indikator tersebut antara lain: tidak menunjukkan emosi yang berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, dan tidak menunjukkan rasa frustrasi, mampu mengarahkan diri, memiliki pertimbangan rasional, kemauan untuk belajar dari pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis serta objektif dalam menilai suatu masalah. Penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
Wahyuningsih (2007) menunjukkan bahwa individu yang bersikap realistis dengan menerima status janda atau dudanya dapat menyesuaikan diri lebih baik. Hal ini senada dengan pernyataan seorang lansia wanita yang menerima status jandanya dan menjadikan kunjungan ke tempat anak-anaknya sebagai cara untuk menyesuaikan dirinya. “(pengaruh perceraian) gak ada. Dia gak suka sama kita apa boleh buat... Sekarang biasa aja. Nanti nenek melancong-melancong ke tempat anak di sana, di sini. Gak ada nenek pikir-pikir (perceraian)” (wawancara personal, 31 Mei 2013) Berdasarkan fenomena yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat bahwa perceraian juga dapat terjadi di masa lansia. Perceraian juga memberikan dampak dalam kehidupan lansia seperti misalnya kesepian. Untuk itulah dibutuhkan penyesuaian diri agar tercipta keselarasan dalam diri walaupun tanpa kehadiran pasangan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana penyesuaian diri lansia setelah mengalami perceraian.
B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin meneliti bagaimana penyesuaian diri pada lansia setelah bercerai berdasarkan indikator-indikator penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri lansia setelah bercerai.
Universitas Sumatera Utara
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dalam ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan lanjut usia. Selain itu penelitian ini juga dapat memberikan manfaat bagi peneliti lainnya. Selama ini penelitian mengenai lansia hanya menyoroti permasalahan psikologis lansia yang kehilangan pasangan karena kematian. Semoga penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang ingin mengetahui kasus perceraian di masa lanjut usia.
2. Manfaat Praktis Selain ditujukan untuk menambah informasi, penelitian ini juga dapat memberikan manfaat lainnya seperti: a.
Memberikan informasi mengenai indikator-indikator penyesuaian diri setelah bercerai;
b.
Menjadi sumber acuan bagi lansia yang bercerai untuk dapat menyesuaikan dirinya
setelah
bercerai
dengan
mengacu
pada
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penyesuaian diri dan indikator penyesuaian diri yang normal; c.
Membantu lingkungan di sekitar lansia untuk memahami kondisi psikologis yang dialami lansia yang telah bercerai sehingga dapat membantu lansia untuk menyesuaikan diri.
Universitas Sumatera Utara
E. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I
: Bab ini berisi latar belakang mengenai kasus perceraian di Indonesia, khususnya pada lansia serta dampak dan penyesuaian setelah terjadinya perceraian. Selanjutnya dipaparkan juga tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan dari penelitian ini.
Bab II
: Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menjelaskan lebih dalam lagi mengenai penyesuaian diri, lansia, dan perceraian pada lansia.
Bab III
: Bab III berisi metodologi penelitian seperti apa yang akan dilakukan selama penelitian berlangsung.
Bab IV
: Bab IV berisi analisa dari data yang telah dikumpulkan dan pembahasan berdasarkan teori digunakan.
Bab V
: Bab V berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran, baik saran yang ditujukan untuk peneliti selanjutnya maupun saran praktis untuk dalam kehidupan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara