BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Tubektomi dapat berupa pengikatan dan pemotongan, dapat juga Tubektomi untuk wanita disebut juga sebagai oklusi tuba atau sterilisasi. Indung telur akan menghasilkan sel telur dengan siklus sebulan sekali mulai menarche sampai menopause. Sel telur tersebut kemudian masuk ke dalam saluran tuba yang apabila bertemu dengan spermatozoa akan terjadi pembuahan. Kehamilan terjadi apabila mudigah tertanam pada dinding rahim. Dengan tubektomi maka perjalanan sel telur terhambat sehingga tidak dapat bertemu dan tidak dibuahi oleh sperma (Prawiroharjo, 1996). Dijepit dengan cincin (tubal ring), penjepit (tuba klip), atau pita tuba (tuba band). Selain itu dapat dilakukan koagulasi elektrik. Setelah melakukan tubektomi, siklus haid akan tetap berlangsung seperti semula sebelum tubektomi (Siswadi, 2007). Tubektomi
mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut; cara
relative mudah, murah dan aman, hanya memerlukan sekali motivasi, sekali tindakan dan tidak memerlukan pengawasan lebih lanjut yang terus menerus. Angka kegagalan rendah dan sangat efektif dalam mencegah kehamilan dan efek samping sedikit. Umumnya tidak terjadi keluhan yang berkepanjangan pada akseptor tubektomi (kontrasepsi mantap) apabila dilakukan secara baik,benar dan sesuai prosedur (Sarwono,1996) Keluhan awal yang terjadi pada post operasi hanya bersifat rasa nyeri pada daerah sayatan, dan infeksi yang terjadi sekitar 1-3% dan ini dapat ditanggulangi
Universitas Sumatera Utara
dengan antibiotik dan perawatan yang adekuat. Selain keunggulan dari tubektomi juga mempunyai dampak negatif seperti; dapat terjadi perdarahan dalam rongga perut atau terjadi infeksi daerah panggul, tetapi angka kejadiannya sangat jarang. Lebih ekonomis karena hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan saja, apabila dilakukan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, maka efek samping, resiko komplikasi dan kematian sangat minimal (Sarwono, 1996). Faktor yang mempengaruhi masyarakat khususnya wanita yang PUS tidak memilih metode kontrasepsi tubektomi ini salah satunya adalah tidak ada dukungan dari keluarga khususnya suami yang disebabkan oleh banyaknya efek samping dari tubektomi terutama respon seksual terhadap suami. Banyak yang tidak setuju terhadap tubektomi ini dari salah satu pasangan suami dan istri yang disebabkan oleh kurangnya informasi tentang tubektomi. Hasil penelitian Sahid (2008) tentang dari 43 respon ditemukan pengguna akseptor tubektomi mayoritas sudah mendapat konseling pra tubektomi sehingga dapat disimpulkan bahwa penting untuk memberikan informasi terkait tubektomi untuk memberikan pemahaman positif tentang hal ini. Oleh sebab itu bagi pasangan suami istri yang akan melaksanakan tubektomi ini perlu konseling dari tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat yang melayani kontrasepsi keluarga berencana. Faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak menggunakan tindakan tubektomi ini dapat dianggap tidak reversibel artinya kontrasepsi ini dilakukan sekali dalam seumur hidup wanita tersebut (Sarwono,2008). Walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka tuba kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi yaitu operasi dengan
Universitas Sumatera Utara
bedah mikro sudah banyak dikembangkan. Tehnik ini tidak saja menyambung kembali tuba fallopi dengan baik, tetapi juga menjamin kembalinya fungsi tuba. Hal ini disebabkan oleh tehnik bedah mikro yang secara akurat menyambung kembali tuba dengan trauma yang minimal,, mengurangi perlekatan pasca operasi, mempertahankan fisiologi tuba, serta menjamin fimbriae tuba tetap bebas sehingga fungsi penangkapan ovum masih tetap baik (Sarwono,2006) walaupun angka keberhasilannya kecil. Faktor-faktor lain yang mengharuskan seorang wanita usia subur yang berstatus pasien psikiatrik yang dirawat dirumah, tidak menutup kemungkinan akan menjadi hamil. Kondisi ini menyebabkan wanita tersebut
kurang tanggap
terhadap penggunaan jenis kontrasepasi lain. Sebaiknya pada wanita ini dengan status tersebut diberikan kontrasepsi tubektomi. Jika ada kegagalan pada metode tubektomi ini maka kemungkinan terjadi resiko tinggi kehamilan ektopik. (Sarwono,2006). Pada ibu yang post tubektomi sementara waktu akan merasa berduka atau merasa kehilangan sesuatu dari tubuhnya disebabkan kurangnya pengetahuan pasien tentang tubektomi ini atau tingkat pengetahuan / pendidikan pasien yang rendah. Metode dengan operasi tubektomi ini dijalankan atas dasar sukarela dalam rangka Keluarga Berencana. Tugas perawat harus memberikan penjelasan tentang berbagai alternatif pengendalian kehamilan permanent dan sementara, konseling difokuskan untuk membicarakan rasa takut dan pemahaman yang keliru tentang tubektomi ini dan kenikmatan seksual menurun tidak benar kecuali hal tersebut disebabkan oleh faktor psikis (Sujiyatini,2009).
Universitas Sumatera Utara
Dengan menandatangani surat Informed Consent atau surat persetujuan dari pasien atas tindakan medis yang akan dilakukan, karena penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun dari banyaknya faktor diatas yang menyebabkan masyarakat untuk tidak memilih Dengan dilakukannya tindakan medis termasuk kontrasepsi tubektomi ini, maka pengaruhnya terhadap pasangan suami istri cukup besar sehingga izin dari kedua belah pihak sangat dibutuhkan metode kontrasepsi tubektomi, tidak salah menjadi kondisi yang dominan. Adanya faktor lain yang menyebabkan masyarakat untuk tidak memilih metode kontrasepsi tubektomi seperti persepsi yang salah tentang metode ini (Wiknjosastro, 1999). Hasil para penelitian yang dilakukan peneliti terhadap beberapa ibu yang tidak mau memilih metode ini menyebutkan bahwa tubektomi dapat menyebabkan permasalahan seksualitas seperti menurunnya kenikmatan saat melakukan hubungan suami istri. Apabila pasangan tidak yakin benar bahwa atas alasan apapun, mereka tidak lagi menginginkan anak maka tidak di lakukan tubektomi. Namun tidak jarang dijumpai wanita yang menginginkan tubektomi karena tidak ada metode kontrasepsi lain yang cocok untuknya, atau karena ia beranggapan bahwa prosedur ini akan memperbaiki pola menstruasinya. Faktor-faktor lain yang diketahui meningkatkan resiko penyesalan setelah dilakukan tubektomi
antara lain menurut Glasier&Gebbie (2006),
adalah:
Masalah perkawinan / hubungan seksual, pasangan suami dan istri beranggapan bahwa tubektomi ini menyebabkan menurunnya respon seksual. Usia muda tidak dibenarkan untuk melalukan tubektomi, kecuali jika anak mereka sudah cukup dan istri tersebut tidak cocok menggunakan kontrasepsi yang lain. Waktu
Universitas Sumatera Utara
dilakukan tubektomi pada wanita yang menjalani seksio ceisar biasanya segera setelah melahirkan atau menjalani aborsi karena lebih besar kemungkinannya untuk proses pemulihan. Berdasarkan kondisi diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap respon seksual pada pasangan usia subur yang ada di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan. 2. Pertanyaan Penelitian Bagaimana persepsi suami dan istri tentang pengaruh tubektomi terhadap respon seksual. 3.
Tujuan Penelitian Mengidentifikasi persepsi suami dan istri tentang pengaruh tubektomi terhadap respon
4.
seksual.
Manfaat penelitian.
4.1 Pendidikan Keperawatan Dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk mata kuliah keperawatan maternitas, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik terutama mengenai persepsi suami dan pasien tentang pengaruh tubektomi terhadap respon seksual. 4.2 Pelayanan Keperawatan Dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan strategi
bagi
keperawatan maternitas dalam memberikan asuhan keperawatan yang lebih komprehensif pada pasangan usia subur dengan faktor resiko tinggi yang terkait dengan tubektomi.
Universitas Sumatera Utara
4.3 Penelitian Keperawatan Diharapkan dapat menjadi data dasar dan informasi bagi peneliti selanjutnya yang terkait dengan tubektomi terhadap respon seksual.
Universitas Sumatera Utara